Anda di halaman 1dari 13

MATERI PERTEMUAN 1

Kekeringan
Kekeringan
Lahan kering (drylands) merupakan bagian integral dari ekosistem, yang dicirikan oleh
kekurangan air dan meliputi lahan pertanian, lahan jelajah (range lands), lahan rerumputan (grass lands),
lahan hutan, dan lahan terdegradasi. Lahan ini adalah hasil dari variabilitas iklim dan aktivitas manusia,
tetapi sangat penting, karena mendukung mata pencaharian jutaan orang di dunia. Di lahan kering, curah
hujan sangat rendah dan tidak menentu, sedangkan potensi evapo-transpirasi melebihi curah hujan;
akibatnya, kelangkaan air mendominasi. Rata-rata rasio curah hujan tahunan terhadap evapo-transpirasi
potensial tahunan juga disebut indeks kegersangan (aridity index). Daerah dengan indeks kegersangan
dari 0,05 sampai 0,65 dianggap sebagai daerah lahan kering. Lahan kering dapat diklasifikasikan ke
dalam zona yang berbeda seperti hiper gersang (hyper arid) (dengan<0,05 indeks kegersangan), kering
(arid) (indeks kegersangan 0,05-0,20), semi-kering (semi-arid) (0,20-0,50 indeks kegersangan) dan
drysub-humid (0,50-0,65 indeks kegersangan).
An aridity index (AI) is a numerical indicator of the degree of dryness of the climate at a given location. The American
Meteorological Society defined it in meteorology and climatology, as "the degree to which a climate lacks effective,
life-promoting moisture". Aridity is different from drought because aridity is permanent whereas drought is temporary.
A number of aridity indices have been proposed; these indicators serve to identify, locate or delimit regions that suffer
from a deficit of available water, a condition that can severely affect the effective use of the land for such activities as
agriculture or stock-farming.
What is dry land ecology? Drylands are ecosystems, such as rangelands, grasslands and woodlands, which occupy
over 40% of the terrestrial surface, and are characterised by high temporal and spatial rainfall variability. Drylands are
dominated by grasslands, which cover more than one fifth of the planet's terrestrial surface.

Lahan kering menempati lebih dari 40% luas total permukaan tanah, yang merupakan rumah
bagi sekitar 35% populasi dunia. Sebagian besar luas lahan kering global (72%) terdapat di negara
berkembang, di mana sekitar 90% populasi dari total lahan kering tinggal (where about 90 % population
of total dry-lands live). Penghuni lahan ini adalah beberapa yang termiskin di dunia, banyak yang hidup
dengan kurang dari US$1 per hari. Sekitar satu miliar penduduk lahan kering pada umumnya dan Afrika

1
sub-Sahara pada khususnya berada di bawah ancaman pangan serta ketidakamanan mata pencaharian
yang parah. Air adalah komoditas paling langka di lahan kering, yang disebabkan oleh curah hujan yang
rendah dan tidak menentu, kemampuan sumber daya air yang tersedia buruk, praktik pengelolaan air
yang tidak efisien, dan tekstur tanah yang buruk. (Water is the scarcest commodity in drylands, which is
owing to occurrence of low and erratic rainfall, avail-ability of poor water resources, inefficient water
management practices and poor soil texture). Ketersediaan air per kapita hampir 35% lebih rendah di
lahan kering daripada rata-rata global dan hanya memiliki sekitar 8% pasokan air terbarukan di dunia.
Oleh karena itu, meningkatkan ketersediaan air untuk produksi tanaman merupakan tantangan
utama dalam pertanian lahan kering. Degradasi sumber daya alam karena eksploitasi berlebihan
merupakan perhatian utama lainnya dan hampir enam juta hektar lahan produktif hilang setiap tahun
karena degradasi lahan, yang menelan biaya 4-8% dari produk domestik bruto negara-negara
berkembang. Selain itu, sebagian besar tanah lahan kering kekurangan bahan organik, nitrogen total dan
fosfor karena suhu tinggi, tutupan vegetasi yang buruk dan tekstur tanah yang kasar. Dengan demikian,
curah hujan yang rendah dan sangat bervariasi, potensi evapo-transpirasi yang tinggi, kesuburan tanah
yang buruk ditambah dengan kapasitas menahan air yang rendah sering menyebabkan kegagalan
sebagian atau seluruh produksi tanaman. Akibatnya, ketidakstabilan sering terjadi dalam produksi
tanaman; Oleh karena itu, kerawanan pangan dan mata pencaharian merupakan tantangan terbesar di
lahan kering.
Di India, lahan kering menempati 69% dari total wilayah geografis (329 m ha) dan 57% dari total
area budidaya (141 m ha), yang tersebar di 177 distrik. Tanah-tanah ini menyumbang hampir 40% dari
total biji-bijian makanan dan terkonsentrasi sekitar 50% dari total tenaga kerja pedesaan dan 60% dari
peternakan negara. Banyak tanaman serealia (sorghum, pearl millet, jagung, finger millet), beberapa
legum (kacang ngengat, clusterbean, green gram, cowpea, pigeonpea, chickpea dan horse gram) dan
tanaman minyak (wijen, bunga matahari, kacang tanah dan sawi) yang tumbuh di lahan kering, tetapi
produktivitas semua tanaman sangat rendah.
Selain kondisi agroklimat yang keras, penggunaan metode budidaya tradisional, penanaman
berbagai tanaman berpotensi rendah, penggunaan genotipe yang tidak jelas, penerapan input eksternal
yang sangat sedikit atau tidak sama sekali merupakan kendala penting yang menyebabkan rendahnya
hasil. Selain itu, kurangnya sumber daya yang cukup untuk produksi tanaman dan efisiensi penggunaan
sumber daya yang rendah juga sangat memengaruhi produktivitas tanaman lahan kering. Dalam situasi
tersebut, ada kebutuhan untuk menerapkan teknologi pertanian lahan kering yang efisien, yang dapat
efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan hasil dan juga mengurangi
kemungkinan gagal panen.
Gulma merupakan hambatan utama untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan
produktivitas tanaman di lahan kering. Gulma sangat bersaing untuk mendapatkan faktor produksi
tanaman esensial pada umumnya dan air dan unsur hara pada khususnya dan menyebabkan kondisi
cekaman air dan unsur hara bagi tanaman pangan, yang mengakibatkan penurunan produksi tanaman
lahan kering sebesar 37-79%. Oleh karena itu, terdapat potensi yang sangat besar untuk meningkatkan
produktivitas di lahan kering dengan mengadaptasi teknologi pengendalian gulma yang tersedia dan
dengan mengembangkan teknologi yang layak secara ekonomi untuk mengelola gulma yang
mengganggu/berbahaya di lahan kering.
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang
berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila suatu
wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang
akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi),
transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Kekeringan adalah salah satu bencana yang ditandai
dengan keadaan kurangnya pasokan air pada suatu wilayah dalam jangka waktu berkepanjangan.
Kekurangan pasokan air dalam waktu yang lama akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan,
pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Kekeringan merupakan hubungan antara ketersediaan air
yang berada dibawah minimal kebutuhan air untuk hidup, lingkungan serta ekonomi. Kekeringan muncul
jika suatu wilayah mengalami curah hujan dibawah rata-rata secara terus menerus. Musim kemarau yang
berkepanjangan juga dapat menyebabkan suatu wilayah kering, karena cadangan air tanah habis akibat
penguapan, transpirasi dan penggunaan oleh manusia. Kondisi kekeringan yang parah dapat
dikategorikan sebagai bencana alam apabila wilayah yang mengalami kekurangan air telah kehilangan
sumber pendapatan, akibat gagal panen atau kematian bagian-bagian ekosistem lingkungan.

2
Kekeringan merupakan salah satu peristiwa yang kerap kali terjadi dan dirasakan oleh
masyarakat Indonesia, khususnya di daerah-daerah pegunungan. Kekeringan merupakan peristiwa
langkanya keberadaan air di suatu daerah pada waktu tertentu dan diakibatkan oleh beberapa peristiwa
tertentu. Peristiwa sudah bisa disebut dengan kekeringan ketika hanya ada satu sumber air yang masih
aktif dan digunakan untuk beberapa desa, atau ketika masyarakat harus mencari air hingga jauh
beberapa kilometer dan mereka harus mengantri untuk mendapatkannya. Kekeringan masuk dalam
kategori bencana karena dapat menimbulkan kerugian bagi manusia. Kekeringan dapat menjadi bencana
alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada
pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan
suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun, suatu
kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan. PBB
memperhitungkan bahwa setiap tahun wilayah lahan subur seluas Ukraina hilang akibat kekeringan,
pembabatan hutan, dan ketidakteraturan iklim. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh kekeringan dalam
demografi adalah migrasi massal, sebagaimana yang terjadi di wilayah Tanduk Afrika dan Sahel.
Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul ketika musim kemarau
tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami masalah kekurangan air atau defisit air atau kekeringan.
Dari perspektif kebencanaan, kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam periode
waktu tertentu (umumnya dalam satu musim atau lebih) yang menyebabkan kekurangan air untuk
berbagai kebutuhan. Kekurangan air tersebut berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada
suatu DAS. Pada umumnya bencana kekeringan tidak dapat diketahui mulainya, namun dapat
dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat air yang ada sudah tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan
sehari-hari. Kerusakan lahan dan dampak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian kekeringan sangat
luas dan nilai ekonomi kerugian cukup besar.
Secara umum, kejadian kekeringan dapat ditinjau dari aspek: hidro-meteorologi, pertanian,
dan hidrologi. Dari aspek hidro-meteorologi kekeringan timbul dan disebabkan oleh berkurangnya curah
hujan selama periode tertentu. Dari aspek pertanian dinyatakan kekeringan jika lengas tanah
berkurang sehingga tanaman kekurangan air. Lengas tanah (soil moisture) merupakan parameter yang
menentukan potensi produksi tanaman. Ketersediaan lengas tanah juga erat kaitannya dengan tingkat
kesuburan tanah. Secara hidrologi, kekeringan ditandai dengan berkurangnya air di sungai, waduk dan
danau. Berbagai macam indek untuk menyatakan kekeringan telah diusulkan dan digunakan,
misalnya Percent of Normal (PN) (Willeke et al., 1994), Standardized Precipitation Index (SPI)
(McKee et al., 1993), Palmer Drought Severity Index (PDSI) (Palmer, 1965), Palmer Hydrological
Drought Index (PHDI) (Karl and Knight 1985). Crop Moisture Index (CMI) (Palmer, 1968), Surface
Water Supply Index (SWSI) (Shafer and Dezman, 1982), Reclamation Drought Index (RDI), Deciles
(Gibbs and Maher 1967) and TLM (Tallaksen et al.,1997; Lanen et al., 2008).
Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air, baik untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan. Kekeringan merupakan masalah yang
dihadapi oleh hampir setiap negara di dunia ini meskipun kekeringannya berbeda pada tiap wilayah.
Kekeringan sebenarnya sulit untuk diberi batasan yang tegas, sebab kekeringan mempunyai definisi
berbeda tergantung pada sudut pandang bidang ilmu tertentu, tergantung letak daerah, dan kebutuhan
yang diperlukan. Contohnya, definisi kekeringan di Libya dimana curah hujan kurang dari 180 mm,
sedangkan definisi kekeringan di Bali jika tidak turun hujan selama 6 hari berturut-turut (National Drought
Mitigation Center, 2006). Menurut International Glossary of Hidrology (WMO 1974) dalam Pramudia
(2002), pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di
bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara
serius.
Ketika suatu daerah mengalami kekeringan maka akan berakibat pada kurangnya kelembaban
tanah yang akan menyebabkan panen atau hasil produksi pertanian tidak maksimal. Selain itu, apabila
kekeringan terjadi secara berkepanjangan selama satu musim atau lebih maka akan mengakibatkan
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air. Hal ini dapat menimbulkan dampak terhadap ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Terdapat 4 komponen penting dalam pengelolaan kekeringan yaitu:
1) tersedianya informasi yang tepat waktu dan dapat diandalkan pada para pengelola dan pengambil
kebijakan;
2) kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang mendukung pengkajian, komunikasi, dan penerapan
informasi tersebut;
3) tersedianya kumpulan upaya pengelolaan resiko untuk para pengambil kebijakan, dan

3
4) tindakan oleh para pengambil keputusan yang efektif dan konsisten dalam mendukung strategi
kekeringan nasional.
Salah satu bagian dari strategi kekeringan adalah pemetaan yang berisi informasi daerah potensial
dilanda kekeringan sehingga dapat memprediksi kekeringan dan memberikan peringatan dini terkait
kekeringan. Pemetaan risiko kekeringan bermanfaat dalam memberikan kualitas data yang dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengarahkan tindakan masyarakat untuk mengurangi risiko
terjadinya kekeringan di suatu daerah. Selain itu, pemetaan resiko juga menyajikan bagaimana resiko
dapat dikomunikasikan dengan cara yang mudah dipahami. Untuk menggambarkan tingkat kekeringan
atau derajat kekeringan di suatu daerah, diperlukan indeks yang mewakili suatu keadaan kekeringan
tersebut.
Indeks kekeringan yang umum digunakan antara lain Standardized Precipitation Index (SPI),
Palmer Drought Severity Index (PSDI), Crop Moisture Index (CMI), dan Surface Water Supply Index
(SWSI).
Indikator kekeringan berdasarkan nilai SPI dikategorikan empat jenis yaitu:
1) near normal, yakni terjadi defisit air yang mengakibatkan padang rumput atau tanaman belum cukup
memenuhi kebutuhan air;
2) moderate drought, mengakibatkan beberapa kerusakan pada tanaman dan padang rumput,
sedangkan sungai, waduk atau sumur mengalami kekurangan air;
3) severe drought, berupa kerugian pada tanaman atau padang rumput, serta kekurangan air dan
terjadi pembatasan air yang dapat digunakan; dan
4) extreme drought, mengakibatkan dampak besar terhadap tanaman dan padang rumput serta
kekurangan air yang sangat luas.
SPI ini digunakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk memetakan kekeringan
di Indonesia.
Kriteria dari intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis, yaitu:
1) kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5 tahunan,
2) sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah periode 25
tahunan; dan
3) amat sangat kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh di bawah
periode 50 tahunan.
Nilai return period didapatkan dari hasil perhitungan joint cumulative Probability Distribution Function
(PDF) antara durasi kekeringan dan magnitude (kekuatan) SPI sehingga dapat terbentuk grafik Time
Scale-Duration-Frequency (TDF) dan Time Scale Magnitude-Frequency (TMF).
Kekeringan merupakan bencana alam yang berhubungan dengan cuaca. Ini memengaruhi
wilayah yang luas selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Ini berdampak pada produksi pangan dan
mengurangi harapan hidup dan kinerja ekonomi wilayah besar atau seluruh negara. Kekeringan adalah
ciri iklim yang berulang. Itu terjadi di hampir semua zona iklim, dan karakteristiknya sangat bervariasi
antar daerah. Kekeringan (drought) berbeda dari kegersangan (aridity) karena kekeringan bersifat
sementara; kegersangan merupakan karakteristik permanen daerah dengan curah hujan rendah.
Apa fakta menarik tentang kekeringan? Kekeringan bisa berlangsung selama seminggu, sebulan,
setahun, atau bahkan lebih. Kurangnya curah hujan di suatu daerah merupakan salah satu penyebab
utama terjadinya kekeringan. Karena kurangnya air untuk irigasi tanaman, kekeringan juga dapat
memengaruhi rantai makanan yang mengakibatkan kelaparan. Saat iklim menghangat (climate warms),
kekeringan menjadi lebih umum. Kekeringan adalah kondisi alam yang berbahaya. Hal ini terkait dengan
kekurangan curah hujan selama periode waktu yang lama, biasanya untuk satu musim atau lebih.
Kekurangan ini mengakibatkan kekurangan air untuk beberapa kegiatan, kelompok atau sektor
lingkungan. Kekeringan juga terkait dengan waktu presipitasi. Faktor iklim lainnya seperti suhu tinggi,
angin kencang, dan kelembaban relatif rendah sering dikaitkan dengan kekeringan.
Kekeringan lebih dari sekadar fenomena fisik atau peristiwa alam. Dampaknya dihasilkan dari
hubungan antara peristiwa alam dan tuntutan pasokan air, dan sering diperburuk oleh aktivitas manusia.
Pengalaman dari kekeringan telah menggarisbawahi kerentanan masyarakat terhadap bahaya alam ini.
Definisi kekeringan ada dua jenis: (1) konseptual, dan (2) operasional. Definisi konseptual membantu
memahami arti kekeringan dan dampaknya. Misalnya, kekeringan adalah periode kekurangan curah
hujan yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan luas pada tanaman, yang mengakibatkan
hilangnya hasil. Definisi operasional membantu mengidentifikasi awal, akhir, dan tingkat keparahan
kekeringan. Untuk menentukan awal kekeringan, definisi operasional menentukan tingkat keberangkatan

4
(degree of departure) dari rata-rata curah hujan selama beberapa periode waktu. Ini biasanya dicapai
dengan membandingkan situasi saat ini dengan rata-rata historis. Ambang batas yang diidentifikasi
sebagai awal kekeringan (misalnya, 75% dari rata-rata curah hujan selama periode waktu tertentu)
biasanya ditetapkan secara arbiter. Definisi operasional untuk pertanian dapat membandingkan curah
hujan harian dengan evapotranspirasi untuk menentukan tingkat penipisan kelembaban tanah, dan
mengungkapkan hubungan ini dalam hal efek kekeringan pada perilaku tanaman. Definisi operasional
digunakan untuk menganalisis frekuensi, keparahan, dan durasi kekeringan untuk periode sejarah
tertentu. Definisi tersebut, memerlukan data cuaca pada skala jam, harian, bulanan, atau waktu lainnya
dan, mungkin, data dampak (misalnya, hasil panen). Klimatologi kekeringan untuk wilayah tertentu
memberikan pemahaman yang lebih besar tentang karakteristiknya dan kemungkinan terulangnya
kembali pada berbagai tingkat keparahan. Informasi jenis ini bermanfaat dalam perumusan strategi
mitigasi.
Kekeringan merupakan bencana alam yang berdampak cukup besar terhadap pertanian dan
perekonomian sehingga memengaruhi kehidupan penduduk di daerah yang dilanda kekeringan.
Meskipun gempa bumi dan banjir, kekeringan tampaknya kematian terbatas tetapi memengaruhi wilayah
yang lebih besar dan panjang periode waktu yang lebih lama. Palmer adalah seorang pelopor yang
mendefinisikan kekeringan sebagai konsekuensi dari kekurangan curah hujan permanen terhadap kondisi
normal rata-rata dalam jangka panjang. Herbst et al (1966) mengembangkan metode untuk menilai
kekeringan meteorologi yang kemudian dimodifikasi untuk daerah kering oleh Mohan & Rangacharya
(1991). Pendekatan yang dimodifikasi didasarkan pada fakta bahwa curah hujan bulanan diselidiki oleh 4
variabel yaitu onset dan penghentian kekeringan (onset and termination of drought), keparahan dan
durasi. Jika kekeringan terjadi pada bulan tertentu, diselidiki apakah pada bulan berikutnya kekeringan
berlanjut atau berakhir. Pendekatan ini diulang sampai akhir kekeringan diumumkan. Yazdani et al (2007)
meneliti kekeringan di DAS Zayanderud dan tanah di sekitarnya selama periode 32 tahun, selain itu,
mereka mempelajari statistik curah hujan di 85 stasiun penakar hujan menggunakan indeks persen
normal (percent of normal, PN), indeks dispersi curah hujan (dispersion of precipitation index DPI) dan
indeks curah hujan standar (standardized precipitation index, SPI). Pertama, mereka menentukan nilai
kekeringan menggunakan tiga indeks tersebut dan kemudian mengklasifikasikan kekeringan dalam
persen wilayah yang terkena dampak.
Lukas et al (2003) menghitung dan membandingkan tiga indeks kekeringan di Yunani
menggunakan data yang dikumpulkan dari 28 stasiun selama 40 tahun (1960-2000). Indeks yang
digunakan dalam penelitian mereka meliputi indeks curah hujan standar (standardized precipitation index.
SPI), indeks kelainan curah hujan (rainfall abnormality index, RAI) dan indeks Z. Mula-mula mereka
menghitung nilai indeks untuk interval 3,6,12 dan 24 bulan kemudian membandingkannya bersama-
sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga indeks memiliki efisiensi yang sama dalam penentuan
keparahan dan persistensi kekeringan.
Hong et al (2004) mengembangkan model untuk mengevaluasi tingkat keparahan risiko
kekeringan pada dua tanaman – jagung dan kedelai di Nebraska, AS. Karena efek akhir dari fenomena
kekeringan di pertanian adalah pada tanaman dan buah-buahan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menyajikan definisi sederhana yang efektif untuk kekeringan pertanian berdasarkan kinerja hasil dan
untuk mengusulkan indeks baru untuk mengevaluasi tingkat keparahan kekeringan pertanian dengan
mempertimbangkan semua faktor. Lukas et al (2008) dalam sebuah makalah berjudul 'perubahan iklim
pada tingkat keparahan kekeringan' mengevaluasi efek perubahan iklim terhadap tingkat keparahan
kekeringan di wilayah luas Tesla di Yunani. Untuk evaluasi, mereka menggunakan data yang
dikumpulkan dari 50 stasiun selama 30 tahun. Dengan menggunakan SPI, mereka menyimpulkan bahwa
kekeringan telah terjadi dengan tingkat keparahan yang berbeda di semua wilayah dalam interval yang
berbeda. Menurut temuan Raziei et al (2007) yang diperoleh SPI di provinsi Sistan dan Balouchestan,
Iran, probabilitas persistensi kekeringan di wilayah tengah lebih dari 70 persen sedangkan di wilayah
timur kurang dari 50 persen. Apalagi bagian tengah provinsi ini mengalami kekeringan sekitar 30 persen
dalam setahun. Oleh karena itu, provinsi ini memiliki situasi yang lebih rentan dibandingkan dengan
provinsi lain yang diteliti dalam makalah ini.
Di Belanda, perbedaan antara curah hujan dan penguapan pada pertengahan musim panas
tahun itu telah berulang kali digunakan untuk mengevaluasi tingkat keparahan kekeringan di tahun yang
sama. Metode ini sangat terkait dengan defisit kelembaban untuk tanaman selama musim tanam. Defisit
curah hujan pada setiap periode didefinisikan sebagai selisih antara curah hujan dan evapotranspirasi
pada periode tersebut. Evapotranspirasi didefinisikan sebagai penguapan tanaman referensi. Secara

5
umum, tanaman tidak tumbuh efektif pada periode dengan defisit kelembaban. Dengan tidak adanya
defisit kelembaban, surplus curah hujan akan dibuang di limpasan. Tanpa tindakan konservasi, surplus
air ini tidak dapat mengkompensasi defisit penguapan di masa depan. Hassanzade (2009) menyajikan
empat indeks kekeringan baru (MPD, RCPD, RMPD, CPD) untuk menyelidiki situasi kekeringan di
Isfahan menggunakan statistik dari semua stasiun sinoptik provinsi yang memiliki statistik lebih dari 10
tahun. Dia, juga, menyiapkan peta keparahan kekeringan untuk Isfahan dan menyimpulkan bahwa indeks
baru ini akan berkinerja lebih tepat dan lebih baik daripada SPI dan efektif dalam penilaian kekeringan.
Indeks-indeks ini mengungkapkan kekeringan yang terjadi selama 1999 hingga 2001 secara akurat,
sedangkan SPI gagal melakukannya di sebagian besar stasiun.
Ghasemi (1997) menghitung indeks kekeringan hidrologi dan meteorologi di Cekungan Karkheh
menggunakan statistik 12 stasiun pengukur hujan dan hidrometri di wilayah ini, indeks ini meliputi: SPI,
desil, Q95, Q7.10, Q7.20, Q30.10 dan Q4. 3, dia kemudian membandingkan indeks ini. Akhirnya, ia
melakukan zonasi kekeringan menggunakan GIS dan menyimpulkan bahwa kekeringan hidrologi dan
meteorologi tidak terjadi secara bersamaan di setiap stasiun dan dalam 50% dari waktu, rata-rata,
periode kekeringan terjadi secara bersamaan. Selanjutnya, kesimpulan lain dari penelitian ini adalah
sebagai berikut: periode kekeringan meteorologis lebih panjang daripada periode hidrologi; kekeringan di
bagian barat cekungan lebih parah daripada bagian timur; keparahan kekeringan dan frekuensi
kekeringan memiliki hubungan langsung. Hassanzade et al (2011) dalam penelitian berjudul 'Penerapan
metode momentum linier untuk mengevaluasi indeks kekeringan Cumulative Precipitation Deficit (DPD)
dan Maximum Precipitation Deficit (MPD) berdasarkan frekuensi regional' mengevaluasi indeks ini
menggunakan statistik dari 11 stasiun sinoptik di Provinsi Isfahan sebagai daerah semi-kering. Dalam
studi mereka, Generalized Logistic Distribution dipilih sebagai metode distribusi regional terbaik untuk
menganalisis kedua indeks tersebut. Selain itu, tingkat keparahan kekeringan dengan periode ulang yang
berbeda ditentukan dan hasilnya menunjukkan bahwa stasiun Naeen, Ardestan, dan Isfahan timur
mengalami kekeringan paling parah di provinsi tersebut. Pada akhirnya, air pertanian yang dibutuhkan
untuk melewati periode kekeringan dihitung untuk provinsi ini.
Eslamian et al (2012) dalam makalah yang berjudul 'Application of linear momentum method to
analysis regional frequency of the Monthly dry indexes' melakukan analisis frekuensi regional CPD dan
MPD menggunakan statistik dari 11 stasiun sinoptik di provinsi Isfahan sebagai wilayah semi-kering.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama bulan Mei hingga Oktober wilayah tersebut homogen dan
untuk sisa waktu, wilayah tersebut dibagi menjadi bagian-bagian homogen yang lebih kecil dengan
menerapkan teknik klasifikasi dan pembagian. Selain itu, dalam penelitian ini juga dihitung tingkat
keparahan kekeringan dengan periode ulang yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
alstations, kekeringan paling parah terjadi pada bulan Juni hingga Agustus – yaitu dari akhir musim semi
hingga pertengahan musim panas – dan di stasiun Ardestan, Naeen, Khour & Biabanak lebih parah
daripada stasiun lainnya. Dengan menggunakan hasil studi ini, dapat diperkirakan kebutuhan air untuk
pertanian setiap bulannya dan kemudian mengelola air yang tersedia di provinsi ini secara efektif.
Kekeringan, secara umum, menyiratkan kekurangan curah hujan yang akan berdampak negatif
pada suatu wilayah. Namun, sulit untuk membuat hubungan antara definisi kekeringan dan fenomena
hidrologi karena, pertama, mungkin tidak memengaruhi semua komponen sistem hidrologi secara
bersamaan, dan kedua, kekeringan bukanlah fenomena absolut, melainkan kekurangan kelembaban
relatif. Dengan definisi tersebut, kebutuhan air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya kekeringan,
sedangkan curah hujan dalam batas normal. Di sisi lain, definisi ini bersifat umum dan belum
membedakan antara aspek-aspek penting dari kekeringan yang meliputi kekeringan meteorologis,
hidrologis, pertanian, dan sosial ekonomi. Banyak definisi telah diusulkan untuk kekeringan sejauh ini,
tetapi masing-masing disajikan dari sudut pandang tertentu. Secara keseluruhan, konsep kekeringan
telah lama mengalami definisi yang komprehensif yang mencakup semua aspek yang berbeda sehingga
fenomena ini belum dipahami secara memadai. Karena semua aspek kehidupan dan berbagai bagian
masyarakat, khususnya lingkungan alam, dipengaruhi oleh kekeringan secara langsung atau tidak
langsung, pemahaman konsep ini dapat membantu praktisi dan pembuat kebijakan mengelola berbagai
bagian ekonomi secara efektif.
Definisi yang masuk akal untuk kekeringan yang diterima lebih dari definisi lain adalah bahwa
'kekeringan dihasilkan dari periode kondisi kering yang tidak normal yang berlangsung cukup lama
sehingga menyebabkan tidak seimbangnya situasi hidrologi suatu wilayah'. Dalam beberapa dekade
terakhir, di antara komunitas penduduk yang terkena dampak bencana alam, frekuensi fenomena
kekeringan dalam hal tingkat keparahan, durasi, wilayah yang terkena dampak, kematian, kerugian harta

6
benda dan dampak sosial dalam jangka panjang, lebih banyak daripada bencana alam lainnya. Terlebih
lagi, fenomena ini berbeda dengan bencana alam lainnya, karena fenomena ini terjadi secara perlahan
dalam jangka waktu yang relatif lama dan efeknya sering kali lebih lambat daripada bencana alam
lainnya.

Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap,
tidak meresap dan tidak mengalir. Umumnya, curah hujan dinyatakan dalam satuan millimeter. Curah
hujan satu bulan adalah jumlah curah hujan yang terkumpul selama 28 atau 29 hari untuk bulan Februari
dan 30 atau 31 untuk bulan-bulan lainnya. Jika curah hujan kurang dari 50 mm/10 hari, maka dikatakan
musim kering dan jika curah hujan lebih dari atau sama dengan 50 mm/10 hari, maka dikatakan sudah
memasuki periode musim hujan. Letak geografis mengakibatkan Indonesia rentan terhadap terjadinya
perubahan iklim. Salah satu faktor penyebab perubahan iklim adalah curah hujan. Curah hujan memiliki
pola curah hujan dengan karakteristik yang berbeda-beda. Berdasarkan rata-rata curah hujannya,
Indonesia terdiri atas tiga jenis pola hujan, yakni:
1. Pola Hujan Monsun. Pola hujan ini wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim
hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokkan dalam Zona Musim (ZOM) serta
memiliki bentuk hujan yang unimodal (satu puncak musim hujan). Dalam kurun waktu enam bulan
curah hujan relatif tinggi dan enam bulan berikutnya curah hujan relatif rendah. Pola musim hujan
terjadi pada bulan Oktober sampai Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga
September. Zona Musim (ZOM) terbagi menjadi 4, yaitu: a. Bulan Desember, Januari, dan Februari
(DJF) terjadi musim hujan. b. Bulan Maret, April, dan Mei (MAM) pada bulan tersebut terjadi transisi
dari musim hujan menuju musim kemarau. c. Bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) adalah musim
kemarau. d. Bulan September, Oktober, dan November (SON) terjadi transisi dari musim kemarau ke
musim hujan.
2. Pola Hujan Equitorial. Pola hujan yang memiliki bentuk yang bimodal (dua puncak musim hujan)
dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Pola hujan ini terjadi saat matahari
berada di dekat ekuator. Waktu terjadinya dari bulan Maret sampai Oktober.
3. Pola Hujan Lokal. Pola hujan ini memiliki bentuk seperti pola hujan monsun, namun bentuknya
berkebalikan dengan pola hujan monsun. Wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan berkebalikan
dengan pola hujan monsun.
Kekeringan terkait dengan komponen tertentu dari siklus hidrologi dan bagaimana defisit curah hujan
terkait dengan kekeringan. Berdasarkan perspektif tersebut, curah hujan dapat dipertimbangkan sebagai
pembawa sinyal kekeringan, dan tingkat debit sungai serta air tanah sebagai indikator terjadinya
kekeringan. Peta risiko kekeringan merepresentasikan informasi kekeringan secara umum dan juga untuk
memprediksi terjadinya bencana kekeringan suatu wilayah. Selain itu, peta risiko kekeringan juga dapat
berguna bagi manajemen dalam pengembangan strategi dan perbaikan proses manajemen risiko secara
terus-menerus dan berkesinambungan.

Penyebab Kekeringan
Kekeringan digolongkan menjadi salah satu jenis bencana alam yang ada di dunia, salah satunya
juga terjadi di Indonesia. Bencana alam merupakan peristiwa yang terjadi karena adanya penyebab
tertentu. Demikian juga dengan kekeringan ini. Terjadinya kekeringan ini karena disebabkan oleh
beberapa hal. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kekeringan di suatu daerah adalah sebagai
berikut:
 Musim Kemarau Terlalu Lama. Penyebab umum terjadinya kekeringan adalah musim kemarau
yang sangat panjang. Saat musim kemarau, curah hujan akan menurun drastis dari biasanya. Rata-
rata di Indonesia musim kemarau terjadi antara 3 bulan hingga 6 bulan. Namun jika kemarau
melebihi 6 bulan maka ketersediaan sumber air tanah yang pada tahun-tahun sebelumnya akan
terjadi kekurangan. Jika musim kemarau telah melewati batas waktu tertentu dari biasanya. Maka
masyarakat akan berupaya untuk mengurangi penggunaan air, karena khawatir sumber air yang ada
tidak akan mencukupi. Salah satu penyebab dari kekeringan yang paling umum dan paling wajar di
Indonesia adalah musim kemarau yang terlalu lama. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada jenis
hujan yang turun dalam waktu yang lebih lama daripada biasanya. Apabila biasanya hujan tidak turun

7
hanya selama kurang lebih enam bulan, namun ketika hujan tidak turun selama lebih dari enam bulan
maka masyarakat sudah kehilangan sumber air seperti biasanya. Musim kemarau yang terlalu lama
menyebabkan sumber air semakin sedikit persediaan airnya, sementara untuk penggunaannya
sendiri tidak berubah. Masyarakat tidak berusaha menghemat air meskipun sedang musim kemarau,
hanya saja apabila musim kemarau dirasa sudah melampaui batas maka masyarakat segera
mengupayakan hal-hal untuk menghemat penggunaan air karena khawatir apabila musim kemarau
panjang membuat persediaan air tidak cukup hingga masyarakat harus mencari ke tempat yang lebih
jauh, mengantri, bahkan harus membeli air. Maka dari itulah sebaiknya sebagai masyarakat dan
pengguna air yang baik, sebaiknya kita menggunakan air sewajarnya saja dan berusaha menghemat
air ketika sudah memasuki musim kemarau.
a. Tidak Ada Daerah Resapan. Kekeringan juga dapat disebabkan jika di dalam tanah sudah tidak ada
lagi cadangan air. Agar tanah dapat menyimpan air, maka diatasnya dibutuhkan pohon-pohon yang
berguna untuk menyerap air hujan kemudian menyimpannya sebagai air tanah. Daerah-daerah yang
masih asri umumnya memiliki cadangan air tanah yang lebih banyak daripada daerah gundul tanpa
pepohonan. Pohon-pohon ini tidak hanya berfungsi untuk mengikat air, namun juga sebagai sumber
oksigen, mencegah erosi dan lain sebagainya.
 Penggunaan Air Berlebihan. Penggunaan air diluar batas kewajaran dapat menyebabkan
kekeringan. Air yang digunakan tanpa memperhitungan kecukupan sumber air untuk melewati musim
kemarau akan menimbulkan kekurangan cadangan air pada bulan puncak kemarau. Oleh karena itu,
penghematan dharus dilakukan, misalnya dengan mandi menggunakan shower dan bukan
menggunakan gayung. Salah satu penyebab dari peristiwa kekeringan adalah penggunaan air yang
berlebihan. Meskipun kita mengetahui bahwa air mempunyai siklusnya sendiri, yakni air yang kita
gunakan dan kita buang akan meresap kembali ke dalam tanah, melalui penyaringan dan kemudian
muncul sebagai sumber air yang baru, namun penggunaan air harus tetap dihemat. Tidak semua air
akan meresap ke dalam tanah, bahkan sebagian air akan menguap karena terkena oleh sinar
matahari. Ketia air menguap maka air akan berubah menjadi uap air, kemudian naik ke atas terbawa
oleh angin hingga memasuki wilayah lain. Kemudian sebagian dari uap air tersebut akan berubah
menjadi hujan dan inilah proses terjadinya hujan. Hujan yang jatuh tidak semua jatuh ke pemukiman
masyarakat, bahkan hanya jatur di daerah pegunungan atau di gunung yang tidak digunakan sebagai
pemukiman masyarakat. Dengan demikian masyarakat sudah kehilangan sebagian dari sumber air
mereka.
b. Sumber Mata Air Menghilang. Berkurangnya atau hilangnya mata air dapat disebabkan oleh
berbagai hal, antara lain perubahan iklim, penebangan hutan, keringnya sungai bawah tanah dan
lain-lain. Jika sumber mata air seperti sumur telah kering, umumnya masyarakat akan membeli air
atau mengambil air ke sumber-sumber lain dengan menempuh jarak yang jauh.
c. Sumber Mata Air Jauh. Ketika masyarakat bergantung terhadap sumber mata air untuk memenuhi
kebutuhan air sehari-hari. Maka jika terjadi kekeringan pada sumber yang biasa diambil tersebut,
masyarakat tidak dapat lagi memperoleh sumber air. Oleh karena itu, masyarakat setempat akan
mencari sumber mata air lain yang bisa saja jaraknya berkali-kali lipat.
d. Tidak Ada Penampungan Air. Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup. Pada daerah yang
kerap mengalami kekeringan, umumnya akan membuat penampungan air. Penampungan air
tersebut ditujukan sebagai cadangan air bersih ketika musim kemarau tiba.
e. Minimnya peresapan air karena sedikitnya pohon. Peristiwa kekeringan di Indoenesia juga terjadi
karena minimnya peresapan air. Peresapan air ini dibentuk ketika kita menanam pohon. Akar
tanaman atau akar pohon akan meyerap air yang turun dari air hujan ke permukaan air dan
menyimpannya sebagai air tanah. Air yang tersimpan oleh akar-akar pohon ini akan di kunci di
bawah tanah sehingga kita bisa menggunakannya ketika musim kemarau tiba. maka dari itulah di
daerah yang mempunyai banyak pohon, keberadaan air akan lebih mudah ditemukan apabila
dibandingkan dengan daerah yang hanya ditanami sedikit pohon. Maka dari itulah sangat penting
bagi kita untuk ikut menanam pohon demi ketersediaan air yang sangat kita butuhkan. Suatu daerah
yang hanya memiliki sedikit pohon, pasti hanya memiliki tabungan air yang sedikit pula. Hal ini tidak
akan mencukupi bagi masyarakat ketika sudah memasuki musim kemarau. Maka dari itulah, ketika
musim kemarau tiba, daerah perkotaan akan lebih sedikit mempunyai cadangan air daripada di
pedesaan. Salah satu hal yang menyebabkan ini adalah karena di kota lebih sedikit pohon,
sementara di desa memiliki banyak pohon. Pohon- pohon tidak hanya berfungsi sebagai penyerap

8
dan penyimpan air saja, namun juga banyak fungsi penghijauan yang lainnya, seperti mengurangi
polusi udara, memperindah pemandangan, sebagai sumber oksigen, dan lain sebagainya.

Konservasi sebagai salah satu upaya pengelolaan sumber daya air dimaksudkan untuk menjaga dan
mempertahankan kelangsungan serta keberadaan sumber daya air, termasuk daya dukung, daya tampung, dan
fungsinya. Dalam kehidupan sehari-hari, konservasi sumber daya air dapat dilakukan dengan cara penanaman
pohon di sekitar mata air. “Konservasi sumber daya air merupakan upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Bagian
upaya melestarikan sumber mata air, diadakan gerakan penanaman pohon. Dengan adanya penghijauan dapat
melestarikan sumber-sumber mata air yang ada. Di sisi lain, pohon dapat mengikat dan menahan debit air. Di saat
hujan turun, akar pohon berperan penting untuk menyerap air hujan di sekitarnya sehingga air hujan tidak mengalir
secara sia-sia. Selain itu juga. akar pohon dapat mencegah terjadinya erosi yang berasal dari air hujan, sedangkan
batang pohon berfungsi sebagai tempat cadangan air di musim kemarau, sehingga ketersediaan air tanah secara
berkesinambungan tetap terjaga dan menjadikan debit mata air, sungai dan danau tetap besar, serta tidak terjadi
kekeringan pada musim kemarau dan pada musim penghujan bencana banjir tidak terjadi. Untuk menghadapi
ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat,
sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras.
Manfaat pohon. Menahan Laju Air dan Erosi Menurut penelitian, hutan mampu membuat lebih banyak air yang
terserap ke dalam tanah 60-80 persen. Dengan kemampuan ini, keberadaan pohon dapat meningkatkan cadangan
air tanah. Selain dapat menahan laju air, akar pohon berfungsi erosi tanah. Tanah yang terkikis akan masuk ke aliran
sungai dan menyebabkan terjadinya endapan.

f. Kekurangan sumber air. Kekeringan terjadi karena di suatu daerah kekurangan jumlah sumber air.
Sumber air yang dimaksud seperti mata air, ekosistem sungai, ekosistem danau, dan lain lain. Jika
suatu daerah jauh dengan sumber air, maka sangat sulit bagi mereka ketika terjadi kemarau panjang.
Jika sumber utama yang mereka miliki adalah sumur, maka ketika sumur mengering, sulit untuk
mendapatkan sumber air lainnya. Lain halnya ketika wilayah dilewati oleh sungai, dekat dengan
danau, dan sebagainya, maka kita akan mempunyai sumber air yang lain selain sumu. Maka dari itu,
keberadaan sumber-sumber air yang alami sangat penting.
g. Jauh jarak terhadap sumber air. Selain kekurangan sumber air, kekeringan juga dapat disebabkan
oleh sumber air yang jaraknya terlampau jauh. Misalnya dalam suatu kawasan jarak sumber air yang
paling dekat adalah tiga kilometer dan itupun di tempat yang terpencil, maka ketika musim kemarau
yang terlalu lama datang maka sumur-sumur menjadi kering. Ketika sumur kering, maka kita tidak
mempunyai alternatif sumber air lain kecuali yang telah disebutkan di atas. Maka mau tidak mau
masyarakat harus menempuh jarak yang jauh dan melewati jalan yang sulit untuk mencapai kesana.
h. Hanya sedikit tampungan air buatan. Di zaman sekarang, keberadaan tampungan air sangat
penting. Air merupakan hal yang sangat penting dan vital bagi kehidupan di bumi. Maka, sangat perlu
untuk membangun tempat penampungan air buatan, seperti waduk. Waduk tidak hanya berguna
untuk memenuhi kebutuhan petani akan irigasi sawah, namun juga sangat berguna sebagai
penyimpan cadangan air. Waduk berfungsi sebagai semacam tabungan air untuk dapat digunakan
oleh masyarakat ketika sedang kesulitan air.

Siklus air

9
Pergerakan air di permukan Bumi yang dinamakan siklus air.
Siklus air atau siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan
kembali ke atmosfer melalui proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Hidrologi merupakan bidang
ilmu yang berkaitan dengan siklus air, berkaitan dengan asal, distribusi, dan sifat air. Dalam konteks yang luas, ilmu
meteorologi dan oseanografi menggambarkan bagian dari rangkaian proses fisik global yang melibatkan air. Hingga
ilmu hidrologi berkaitan erat dengan teknik-teknik ilmiah yang bersumber dari matematika, fisika, kimia, teknik,
geologi dan biologi. Konsep-konsep dasar yang diterapkan diantaranya yaitu ilmu meteorologi, klmiatologi,
oseanografi, geografi, geologi, glasiologi, limnologi, ekologi, biologi, agronomi, kehutanan dan beberapa ilmu lain
yang berspesialisasi pada aspek fisik, kimia dan biologi.
Siklus air atau siklus hidrologi menggambarkan pergerakan molekul air dari permukaan bumi ke atmosfer
dan kembali lagi. Dalam sistem ini energi matahari memliki peran besar dalam siklus yang terjadi secara terus
menerus. Pada saat terjadi penguapan yaitu ketika air berubah dari cair menjadi gas (dari samudera, lautan, dan
badan air lainnya) sekitar 90% kelembaban terbentuk di atmosfer. 10% sisanya dilepaskan oleh tumbuhan dalam
bentuk transpirasi. Tumbuhan menyerap air dari dalam tanah kemudian memanfaatkannya dalam proses
fotosintesis, kemudian melakukan transpirasi. Sebagian kecil uap masuk ke atmosfer melalui sublimasi yaitu secara
langsung air berubah dari padat (es atau salju) menjadi gas. Susutan salju yang terjadi diakibatkan oleh sublimasi.
Penguapan dari lautan memberikan kontribusi utama dalam pergerakan siklus hidrologi. Penguapan, trasnpirasi, dan
sublimasi serta emisi vulkanik mendukung dalam proses hidrologi. Setelah air berada pada atmosfer yang rendah,
arus udara akan naik ke atas pada udara yang cenderung lebih sejuk, udara yang dingin uap air cenderung
membentuk awan dan tetesan awan dapat menghasilkan presipitasi (hujan, salju, hujan es, hujan beku). Ketika curah
hujan jatuh di atas permukaan tanah, maka siklus awal dimulai kembali. Sebagian air akan meresap ke tanah,
beberapa akan mengalir ke sungai, dan tembus ke lautan. Siklus ini akan berlanjut terus menerus, air hasil dari siklus
hidrologi dimanfaatkan manusia dalam berbagai kebutuhan mulai dari minum, mencuci, hingga
pertanian. Pemanasan air laut oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan
secara terus menerus. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan es dan
salju, hujan gerimis atau kabut. Presipitasi merupakan komponen penting mengenai bagaimana air bergerak dan
bersiklus, menghubungkan laut daratan dan atmosfer, mengetahui dimana curah hujan turun, salju atau hujan es
yang memudahkan para ilmuan untuk memahami dampak hujan pada lingkungan seperti aliran sungai, limpasan
permukaan dan air tanah. Siklus air memberikan gambaran bagaimana air mengalami penguapan dari permukaan
bumi kemudian naik ke atmosfer, mendingin dan mengembun menjadi hujan dan salju di awan. Air yang jatuh ke
permukaan bumi terkumpul di sungai dan danau, jatuh ke lapisan batuan berpori dan sebagian besar mengalir
kembali ke lautan. Pada perjalanannya, beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh
yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah.
Siklus air bumi dimulai sekitar 3.8 miliar tahun yang lalu ketika hujan turun di bumi dan membentuk lautan.
Hujan terbentuk dari uap air yang keluar dari magma cair di inti bumi, energi matahari membantu menggerakkan
siklus air dan gravitasi bumi mencegah air di atmosfer lepas dari bumi. [7] Ada sekitar 1,4 miliar km3 air (335 juta
mi3 air) di bumi termasuk air laut, danau, dan sungai mencakup air yang membeku seperti gletser, salju serta air
tanah dan air di bebatuan dan termasuk air di atmosfer berupa awan dan uap. Sekitar 97% air di bumi di lautan dan
2% membeku di lapisan es dekat kutub dan glester. Sebagian besar es berada di Antartika, sebagai kecil di
Greenland di Kutub Utara, dan sebagian kecil lainnya berada di gletser pegunungan seluruh dunia. Sebagian dari 1%
sisa air di bumi berada bawah tanah, akuifer dangkal, kelembaban tanah, atau berada dalam lapisan batuan. Sekitar
0.03% air berada di danau, lahan basah, dan sungai. Perlu diketahui bahwa dari total pasokan air dunia sekitar 96%
adalah garam dan 30% dari air tawar yang ada di dalam tanah.
Air yang ada di bumi sekarang ini adalah air yang sama dengan yang ada di bumi sejak awal karena adanya
siklus air. Siklus air mensirkulasi ulang air sehingga terbentuk awan dan terjadi presipitasi.

Tahapan siklus air

10
Siklus air diawali dengan pergerakan matahari, sinar matahari menghangatkan permukaan air laut atapun
permukaan air lainnya, menyebabkan air menguap dan es menyublim, berubah menjadi gas. [11] Proses yang
dipengaruhi oleh matahari secara tidak langsung memindahkan air ke atmosfer sehingga terkumpul membentuk
gumpalan awan dan jatuh sebagai presipitasi, hujan dan salju. Saat air hujan mencapai bumi ada beberapa hal yang
dapat terjadi yaitu: menguap kembali, mengalir di atas permukaan, atau meresap ke dalam tanah menjadi air
tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus berlanjut secara terus menerus dengan beberapa tahapan
diantaranya:
 Evaporasi / transpirasi - Siklus air diawali dengan evaporasi, air yang ada di laut, daratan, sungai, tanaman, dan
sebagainya menguap ke atmosfer dan menjadi awan karena menerima energi panas dari matahari. Air
berpindah dari hidrosfer ke atmosfer.
 Kondensasi - Proses dimana uap air di atmosfer berubah bentuk dari cair, kondensasi di awan dapat muncul
sebagai awan atau embun. Kondensasi merupakan kebalikan dari penguapan, karena uap air memiliki tingkat
energi yang tinggi daripada air ketika kondensasi terjadi, kelebihan energi dalam bentuk energi panas
dilepaskan.[14] Air yang telah berevaporasi akan menuju atmosfer. Pada keadaan jenuh, uap air (awan) akan
menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (presipitasi) dalam bentuk hujan, salju, hujan es.
 Presipitasi - Hasil ketika partikel kecil hasil kondensasi mengembang menjadi besar melalui penggabungan,
untuk menopang udara yang naik. Curah hujan dapat dalam bentuk hujan, hujan es, atau salju. Ketika terlalu
banyak air yang terkondensasi maka tetesan air di awan akan menjadi besar dan berat untuk menahan di udara
sehingga jatuh sebagai hujan, salju atau hujan es.[15] Saat hujan, salju atau hujan es mencapai bumi, maka air
akan mengalir ke sungai, samudera, atau meresap ke dalam tanah, dan masih akan bergerak menuju sungai
dengan pergerakan yang cukup lambat. Air tanah akan tersaring dengan baik, mungkin juga dapat tertutup oleh
es atau gletser. Bahkan dapat diserap oleh akar tanaman atau pohon.
 Runoff - terjadi ketika curah hujan berlebihan dan tanah tidak lagi menyerap air. Sungai dan danau merupakan
hasil runoff, jika runoff mengalir ke danau (tanpa saluran keluar untuk mengalir keluar dari danau) maka
penguapan merupakan cara air kembali ke atmosfer.
 Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan
batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal
atau horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
Air Permukaan - Air bergerak di atas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai
lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat
biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang
membawa seluruh air permukaan di sekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir
maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir
membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen
siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif
tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya. Tempat terjadinya evaporasi terbesar adalah di permukaan laut.
Karena proses ini terjadi secara terus menerus dan bersifat siklik, maka proses ini dikenal sebagai siklus atau daur
air.

Macam-macam siklus air


Siklus hidrologi dimulai dengan terjadinya penguapan dari permukaan laut, ketika kelembaban udara
meningkat, udara akan lebih dingin dan uap air mengembun membentuk awan, kelembaban dibawa ke atmosfer dan
kembali ke permukaan sebagai presipitasi. Ketika air mencapai tanah, proses yang terjadi yaitu 1) air akan menguap
kembali ke atmosfer, dan 2) air menembus permukaan tanah dan menjadi air tanah, air akan merembes ke lautan,
sungai dan sampai ke lautan atau akan kembali lahi ke atmosfer sebagai transpirasi. Siklus air terbagi menjadi tiga
jenis berdasarkan proses-proses yang dilaluinya serta seberapa jauh air tersebut bergerak dari tempat evaporasinya.
 Siklus Pendek / Siklus Kecil . Siklus pendek diawali dengan air laut menguap menjadi uap gas karena panas
matahari; kemudian terjadi kondensasi dan pembentukan awan pada ketinggian terntentu; selanjutnya turun
hujan di permukaan laut.
 Siklus Sedang. Siklus sedang diawali dengan air laut menguap menjadi uap gas karena panas matahari;
kemudian terjadi evaporasi; uap bergerak oleh tiupan angin ke darat; pembentukan awan; turun hujan di
permukaan daratan; air mengalir di sungai menuju laut kembali.
 Siklus Panjang / Siklus Besar . Siklus panjang diawali dengan air laut menguap menjadi uap gas karena panas
matahari; uap air mengalami sublimasi; pembentukan awan yang mengandung kristal es; awan bergerak oleh
tiupan angin ke darat; turun salju; pembentukan gletser; gletser mencair membentuk aliran sungai; air mengalir
di sungai menuju darat dan kemudian ke laut.

Konservasi Sumber Daya Air


Air merupakan elemen penting yang menjamin eksistensi kehidupan di bumi. Sekalipun air adalah sumber
daya yang dapat diperbarui, seyogyanya kita tidak boleh memanfaatkan air secara berlebihan tanpa adanya upaya

11
konservasi air demi memenuhi kebutuhan makhluk hidup di masa kini maupun masa mendatang. Konservasi sumber
daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar
senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu
sekarang maupun yang akan datang. Konservasi sumber daya air ini tidak hanya sebatas air yang ada di permukaan
tanah saja, tetapi juga yang ada di bawah permukaan tanah. Pengelolaan sumber daya air yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijak perlu dilakukan untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2004 dinyatakan bahwa : (1) Konservasi sumber
daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya
air. (2) Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan
dan pelestarian sumber air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada
pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Perlindungan dan pelestarian sumber
air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap lerusakan
atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan
manusia. hal ini dapat dilakukan dengan cara :
1. Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air
2. Pengendalian pemanfaatan sumber daya air
3. Pengisian air pada sumber air
4. Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi
5. Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada
sumber air
6. Pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu
7. Pengaturan daerah sempadan sumber air
8. Rehabilitasi hutan dan lahan; dan / atau
9. Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau kuantitas air sesuai dengan
fungsi dan manfaatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara :
 Menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada waktu yang diperlukan
 Menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif
 Mengendalikan penggunaan air tanah
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk mempertahankan dan memulihkan
kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air. Hal ini dapat dilakukan dengan cara :
 Memperbaiki kualitas air pada sumber dair dan prasarana sumber daya air
 Mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana sumber daya air
Berikut adalah beberapa upaya konservasi sumber daya air yang dapat dilakukan antara lain:
 Penanaman pohon di sekitar DAS (pohon yang banyak menyimpan cadangan air : bambu)
 Membuat biopori dan sumur resapan
 Melakukan penghematan terhadap penggunaan dan pengelolaan sumber daya air

Pertanyaan:
1. Apa itu evapo-transpirasi. Jelaskan
2. Jelaskan apa itu lahan kering (drylands)
3. Jelaskan pengertian indeks kegersangan (aridity index).
4. Jelakan penyebab terjadinya kekeringan
5. Jelaskan dampak dan kerugian yang disebabkan oleh kekeringan
6. Dua kategori kekeringan yaitu kekeringan alamiah dan kekeringan yang diakibatkan perbuatan
manusia. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis kekeringan alamiah.

Daftar Pustaka
- Willeke et al., 1994
- McKee et al., 1993
- Palmer, 1965
- Karl and Knight 1985
- Palmer, 1968
- Shafer and Dezman, 1982
- Gibbs and Maher, 1967
- Tallaksen et al.,1997
- Lanen et al., 2008

12
- Herbst et al (1966)
- Mohan & Rangacharya (1991).
- Yazdani et al (2007)
- Hong et al (2004)
- Raziei et al (2007)
- Hassanzade (2009)
- Ghasemi (1997)
- Hassanzade et al (2011)
- Eslamian et al (2012)

13

Anda mungkin juga menyukai