Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan datang
berulang. Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang
jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa menjadi
kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di Indonesia
pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada tanaman
pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya.
Klasifikasi Kekeringan
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi berada di
bawah kondisi normal dalam suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan
meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.
amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal
(curah hujan amat jauh di bawah normal).
b. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air
tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan
air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan
berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga
kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum
atau air bersih sebagai berikut:
e. Kekeringan Antropogenik
Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai kebutuhan air yang berbedabeda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada setiap tahap
pertumbuhannya. Tanaman padi misalnya, memerlukan cukup banyak air selama
pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif
tahan terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang
riskan terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode
pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari
satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman
ke tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di
suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di
daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan
yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang
besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila
curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan
menyebabkan kekeringan.
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan
tanaman kekeringan yaitu:
Petani tak memperhatikan pola tanam, artinya petani menanam padi semaunya
dan kapan saja.
Terjadinya perubahan iklim. Misalnya awal musim hujan terjadi lebih lambat atau
lebih awal atau musim kemarau yang terjadi lebih awal, sehingga kebutuhan air
untuk tanaman tak mencukupi.
Terjadi kerusakan jaringan pengairan.
Keadaan ekstrim.
Langkah-Langkah yang Dilakukan untuk Menghadapi Kemungkinan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang
normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada
umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan
kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi.
Keterangan :
P = Curah hujan bulanan
1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga
dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan
sekali musim kemarau.
2. Pola Monsun
Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim
kemarau terjadi pada periode April-September.
3. Pola Lokal
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan
sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai
perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau.
Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola
monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun
sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal
sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.
Berdasarkan lima tipe utama dan empat subdivisi tersebut maka tipe iklim dapat
dikelompokkan menjadi 17 zona agroklimat Oldeman. Untuk menentukan tipe
iklim Oldeman menggunakan skema yang disebut skema segitiga. Kriteria tipe
iklim Oldeman sebagai berikut:
Data yang diperlukan adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun atau
lebih yang diperoleh dari sejumlah pos hujan/stasiun yang selanjutnya dihitung
rata-ratanya.
Penjelasan lebih detil dan aplikasi klasifikasi iklim ini akan dijelaskan pada
posting yang akan datang.
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat
kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah
(KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite
dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.
KL = TLP =
Keterangan :
Langkah-langkah penghitungan :
Kolom curah hujan (CH), diisi curah hujan rata-rata bulanan.
Kolom evapotranspirasi potensial (ETp) diisi nilai ETp standar (vegetasi rumput)
dengan urutan prioritas sbb: ETp lisimeter, Evaporasi Panci Kelas A dikalikan
tetapan, ETp hasil perhitungan dengan rumus Pennman, Thornwaite, Blaney
Criddle dan seterusnya.
Kolom CH - ETp diisi selisih jumlah curah hujan dan evapotranspirasi potensial
Kolom APWL (Akumulasi Potensial untuk penguapan), diisi jika hasil kolom CH ETp negatif dan kemudian diakumulasikan jika pada periode berikutnya CH - ETp
negatif.
Pengisian kolom KAT dimulai dari bulan pertama terjadi APWL berdasarkan tabel
Soil Moisture retention atau rumus sebagai berikut :k = 1.000412351 + (1.073807306)/KL
Kolom DKAT (Perubahan KAT) diisi nilai KAT dari bulan tersebut dikurangi KAT
bulan sebelumnya.
Kolom ETa (Evapotranspirasi Aktual) diisi jika CH > ETp maka ETa = ETp. Pada
bulan-bulan terjadi APWL (CH <>
Kolom defisit (D) diisi ETp-ETa
Kolom surplus (S) diisi saat tak ada D, maka S = CH-ETp-DKAT.
Lalu disusun neraca air lahan sesuai langkah-langkah tersebut di atas. Detil dan
aplikasi dari neraca air lahan akan dijelaskan pada posting yang akan datang.
C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rataratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi
perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai
Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin.
Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal
dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di
Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya
dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif.
Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan
positif).
Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan
kering di suatu tempat.
D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau
dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu
diinformasikan:
Permulaan musim yang menginformasikan kapan awal musim akan terjadi.
Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas II setiap bulan membuat prakiraan curah
hujan sehingga pendeteksian kekeringan dapat dipertajam lagi dengan prakiraan
hujan pada bulan yang akan datang. Untuk Stasiun Klas III dan IV dapat meminta
prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan
yang akan datang lebih kecil maka dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi.
Dan bila hal ini terjadi maka Stasiun yang menjadi koordinator dapat
memberikan peringatan dini kepada user dan bagi stasiun.
Sumber :
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam
Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika.
Jakarta.
http://ustadzklimat.blogspot.com/2009/04/pengertian-kekeringan-danlangkah.html
Kekeringan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang
berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila
suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim
kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan
sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya.
Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan
dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif
dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan. [1][2]
PBB memperhitungkan bahwa setiap tahun wilayah lahan subur seluas Ukraina hilang akibat
kekeringan, pembabatan hutan, dan ketidakteraturan iklim. [3]
Akibat yang dapat ditimbulkan oleh kekeringan dalam demografi adalah migrasi massal,
sebagaimana yang terjadi di wilayah Tanduk Afrika dan Sahel.
2.
3.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekeringan