Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU
No. 24 tahun 2007). Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana,
kerentanan, dan kemampuan yang di picu oleh suatu kejadian.
Posisi geografis menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim
monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino Southern Oscillation
(ENSO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut di
Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino).
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa
yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul
bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim
kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah
kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang
ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga
batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun demikian, suatu
kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan.

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas dapat di simpulkan rumusan masalah berikut dalam
penyusunan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan kekeringan?
2. Apa saja tanda-tanda kekeringan?
3. Apa saja faktor penyebab kekeringan?
4. Bagaimana dampak kekeringan baik fisik maupun non fisik?

1
5. Bagaimana usaha untuk mitigasi untuk menangani bencana kekeringan baik pra bencana
saat bencana dan pasca bencana?

1.2 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan tujuan dalam penyususnan
makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kekeringan.
2. Untuk mengetahui tanda-tanda terjadinya kekeringan.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab kekeringan.
4. Untuk mengetahui dampak kekeringan baik fisik maupun non fisik.
5. Untuk mengetahui usaha mitigasi untuk menangani bencana kekeringan baik pra bencana,
saat terjadi bencana, dan pasca bencana.

1.3 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam menulis makalah ini adalah metode meringkas isi buku
dan fasilitas internet.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Kekeringan


Kekeringan sulit untuk dapat didefinisikan secara tepat, secara umum kekeringan
merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan (Bayong,
2004). Adapun definisi lain kekeringan merupakan suatu fenomena yang normal, biasanya
terjadi secara berulang sesuai dengan iklimnya. Mendefinisikan kekeringan merupakan hal
yang sulit karena sangat bergantung pada perbedaan wilayah, kebutuhan, sudut pandang
disiplin ilmu. Secara garis besar, kekeringan terjadi akibat kurangnya curah hujan yang turun
selama beberapa kurun waktu tertentu dan mengakibatkan kekurangan air untuk beberapa
kegiatan, kelompok, di beberapa wilayah (The National Drought Mitigation Center, 2014).
Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul ketika musim
kemarau tiba. Banyak tempat di Indonesia mengalami masalah kekurangan air atau defisit air
atau kekeringan. Dari perspektif kebencanaan kekeringan didefinisikan sebagai kekurangan
curah hujan dalam periode waktu tertentu (umum-nya dalam satu musim atau lebih) yang
menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kebutuhan (UN-ISDR, 2009). Kekurangan air
tersebut berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan pada suatu DAS. Pada umumnya
bencana kekeringan tidak dapat diketahui mulainya, namun dapat dikatakan bahwa
kekeringan terjadi saat air yang ada sudah tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Kerusakan lahan dan dampak kerugian yang diakibatkan oleh kejadian kekeringan
sangat luas dan nilai ekonomi kerugian cukup besar. Secara umum kejadian kekeringan
dapat ditinjau dari aspek: hidro- meteorologi, pertanian, dan hidrologi (Wilhite, 2010). Dari
aspek hidro- meteorologi kekeringan timbul dan disebabkan oleh berkurangnya curah hujan
selama periode tertentu. Dari aspek pertanian dinyatakan kekeringan jika lengas tanah
berkurang sehingga tanaman kekurangan air. Lengas tanah (soil moisture) merupakan
parameter yang menentukan potensi produksi tanaman. Ketersediaan lengas tanah juga erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah. Secara hidrologi kekeringan ditandai dengan
berkurang-nya air pada sungai, waduk dan danau (Nalbantis et al., 2008).
Kekeringan berkaitan dengan kondisi rata-rata jangka panjang kesetimbangan antara
presipitasi dan evapotranspirasi (yaitu evaporasi+transpirasi) di daerah tertentu pada kondisi
yang sering dianggap “normal”.Kekeringan juga berkaitan dengan waktu (adanya penundaan
pada awal musim penghujan, sehingga periode musim kemarau lebih panjang) dan tingkat

3
keefektifitasan hujan (yaitu intensitas curah hujan, jumlah kejadian hujan).Faktor iklim
lainnya seperti temperatur yang tinggi, angin kencang dan kelembapan relatif yang rendah
sering dikaitkan sebagai faktor-faktor yang memperparah kekeringan di banyak daerah di
dunia. Fenomena IOD (Indian Ocean Dipole) dan El Nino mempunyai dampak terhadap
curah hujan di Indonesia (Bayong, 2008). Fenomena IOD disebabkan oleh interaksi atmosfer
– laut di Samudera Hindia Ekuatorial, dimana terjadi perbedaan beda temperatur permukaan
laut antara Samudera Hindia tropis bagian barat atau pantai Afrika Timur dan Samudera
Hindia Tropis bagian timur atau Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2000).

Periode kekeringan di Indonesia sendiri dipengaruhi oleh peristiwa El Nino di


Samudera Pasifik ekuator dan pantai barat Amerika Selatan El Nino mempengaruhi aktivitas
curah hujan terutama di bagian timur dari pada bagian barat Kontinen Maritim Indonesia
(Bayong, 2002). El Nino menyebabkan variasi iklim tahunan.Ketika tahun El Nino, sirkulasi
zonal di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa
udara mengakibatkan penyimpangan awan-awan yang terbentuk bergeser ke Pasifik tengah
dan timur (Bayong, 2003). Fenomena El Nino dapat menimbulkan bencana kekeringan,
banjir, dan bencana lain yang dapat mengacaukan dan merusak pertanian, perikanan,
lingkungan, kesehatan, kebutuhan energy, kualitas udara dan sebagainya (Bayong, 2008).

Dampak dari kekeringan muncul sebagai akibat dari kurangnya air, atau
perbedaan antara permintaan dan persediaan air. Kekeringan paling sering dihubungkan
dengan curah hujan yang rendah atau iklim semi kering, sementara kekeringan juga terjadi
pada daerah-daerah dengan jumlah curah hujan yang biasanya besar. Manusia cenderung
mematok aktivitas-aktivitas mereka di sekitar keadaan kelembaban yang sudah biasa. Dengan
demikian, setelah bertahun-tahun hidup dengan curah hujan di atas rata-rata, manusia bisa
menganggap tahun pertama sewaktu curah hujan rata-rata kering terjadi kekeringan. Lebih
jauh lagi,tingkat curah hujan yang bisa memenuhi kebutuhan seorang peladang mungkin
merupakan kekeringan yang serius bagi seorang petani yang menanam jagung. Untuk
mendefinisikan kekeringan di suatu daerah, perlu dipahami dengan baik karakteristik
meteorologi dan juga persepsi manusia tentang kondisi-kondisi kekeringan.

2.2 Jenis-Jenis Kekeringan


Kekeringan hampir terjadi dimanapun, walaupun kejadiannya bervariasi dari wilayah
yang satu dengan wilayah lainnya. Kekeringan dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

4
a. Kekeringan Meteorologis (Meteorological Drought)

Kekeringan ini berkaitan dengan besaran curah hujan yang terjadi berada dibawah
kondisi normalnya pada suatu musim.Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis
merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan. Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis
adalah sebagai berikut; 1. Kering : apabila curah hujan antara 70% -85% dari kondisi normal
(curah hujan dibawah normal) 2. Sangat kering : apabila curah hujan antara 50% - 70% dari
kondisi normal (curah hujan jauh dibawah normal) 3. Amat sangat kering : apabila curah
hujan < 50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh dibawah normal) Menurut (The
National Drought Mitigation Center, 2014), Meteorological drought di definisikan
berdasarkan tingkat kekeringan (perbandingan antara jumlah “normal” atau rata-rata) dengan
lamanya masa kering. Definisi Meteorological Drought harus dianggap sebagai wilayah
khusus karena kondisi atmosfer yang mengakibatkan kekurangan curah hujan sangat
bervariasi dari wilayah satu dengan wilayah lainnya.Beberapa contoh dari meteorological
drought mengidentifikasi kekeringan berdasarkan jumlah hari dengan curah hujan kurang
dari threshold yang telah ditetapkan.Langkah ini hanya cocok untuk ambang pintu daerah
yang karakteristik dengan curah hujan yang turun sepanjang tahun seperti wilayah hutan
hujan tropis, beriklim lembab subtropics, atau beriklim lembab di lintang menengah.

b. Kekeringan Pertanian

Menurut (The National Drought Mitigation Center, 2014) kekeringan pertanian atau
Agricultural Drought berhubungan erat dengan karakteristik kekeringan meteorologi
(Meteorological Drought) maupun kekeringan hidrologi (Hydrological Drought) yang
berpengaruh pada pertanian dengan fokus pada kekurangan curah hujan, perbedaan antara
evapotranspirasi potensial dan aktual, deficit air tanah, berkurangnya air tanah atau tingkat
reservoir, dsb. Kebutuhan air untuk tanaman bergantung pada kondisi cuaca, karakteristik
biologis dari tanaman tertentu, tahap pertumbuhan, dan sifat-sifat fisis dan biologis tanah.
Definisi yang baik mengenai agricultural drought harus dapat menjelaskan variabel
kerentanan tanaman selama tahap-tahap pertumbuhan tanaman sejak awal masa
pertumbuhan.

5
c. Kekeringan Hidrologis

Menurut BNPB pada tahun 2014, kekeringan ini terjadi berhubungan dengan
berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah.Kekeringan hidrologis diukur dari
ketinggian muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara
berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air
tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awaln terjadinya kekeringan.

Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:

1) Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran dibawah periode 5
tahunan.
2) Sangat Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh dibawah
periode 25 tahunan.
3) Amat Sangat Kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat
jauh dibawah periode 50 tahunan.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kekeringan
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa
yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul
bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim
kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis
akibat penguapan (evaporasi),transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.

3.2 Tanda-Tanda Umum Kekeringan


Gejala terjadinya kekeringan adalah sebagai berikut:
1) Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya bencana kekeringan.
2) Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan
dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk,
danau dan air tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya
kekeringan.
3) Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah
(kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang
menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.

3.3 Faktor-Faktor Terjadinya Kekeringan


Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana kekeringan:
1) Lapisan tanah tipis
Dengan lapisan tanah yang tipis, air hujan yang terkandung dalam tanah tidak
akan bertahan lama. Hal ini dapat terjadi karena air akan lebih cepat mengalami
penguapan oleh panas matahari. Biasanya bencana kekeringan sering terjadi di
daerah pegunungan kars, karena di daerah ini memiliki lapisan tanah atas yang tipis.

7
2) Air tanah dalam
Air hujan yang jatuh pada saat musim penghujan, akan meresap jauh ke dalam
lapisan bawah tanah mengingat selain hanya mampu menyimpan air dengan
intensitas yang terbatas, tanah juga tidak mampu menyimpan air dengan jangka
waktu yang lebih lama.Hal ini menyebabkan aliran-aliran air di bawah tanah (sungai
bawah tanah) yang dalam, sehingga tanaman tidak mampu menyerap air  pada saat
musim kemarau, karena akar yang dimiliki tidak mampu menjangkaunya. Air tanah
yang dalam menyebabkan sumber-sumber mata air mengalami kekeringan di musim
kemarau, karena air yang terdapat jauh di bawah lapisan tanah tidak mampu
naik, sehingga kalaupun ada sumber mata air yang tidak mengalami kekeringan pada
musim kemarau, itu jumlahnya terbatas.
3) Tekstur tanah kasar
Tekstur tanah yang kasar, tidak mampu menyimpan air dengan jangka waktu
yang lama. Karena air hujan yang turun akan langsung mengalir ke dalam, karena
tanah tidak mampu menahan laju air. Di lain sisi, air yang terkandung dalam tanah
yang memiliki tekstur yang kasar akan mengalami penguapan relatif lebih
cepat, karena rongga-rongga tanah jelas lebih lebar dan sangat mendukung terjadinya
proses penguapan.
4) Iklim
Dalam hal ini iklim berkaitan langsung dengan bencana kekeringan. Keadaan
alam yang tidak menentu akan berpengaruh terhadap kondisi iklim yang
terjadi. Sehingga mengakibatkan perubahan musim. Misalnya: Akibat perubahan
kondisi iklim, menyebabkan musim kemarau berjalan lebih lama daripada musim
penghujan, dengan musim kemarau yang lebih lama tentunya akan memungkinkan
terjadinya bencana kekeringan. Karena kebutuhan air kurang terpenuhi di musim
kemarau.
5) Vegetasi
Vegetasi juga mempunyai andil terhadap terjadinya kekeringan .Jenis vegetasi
tertentu seperti ketela pohon yang menyerap air tanah dengan intensitas yang lebih
banyak,daripada tanaman lain, tentunya akan sangat menguras kandungan air dalam
tanah. Dan lebih parahnya, penanaman ketela pohon banyak terjadi di daerah
pegunungan karst yang rawan akan bencana kekeringan. Vegetasi lain yang dapat
memicu kekeringan adalah tanaman bambu. Bambu memiliki struktur yang sangat
rumit, dan menutupi permukaan tanah (lapisan tanah atas) di sekitar bambu itu
8
tumbuh. Sehingga kemungkinan tanaman lain untuk tumbuh sangat kecil. Dengan
demikian tanaman yang seharusnya berfungsi untuk menyimpan air tidak ada atau
terbatas jumlahnya.
6) Topografi
Topografi atau tinggi rendah suatu daerah sangat berpengaruh terhadap
kandungan air tanah yang dimiliki. Biasanya daerah yang rendah akan memiliki
kandungan air tanah yang lebih banyak daripada di daerah dataran tinggi. Hal ini
disebabkan karena air hujan yang diserap oleh tanah akan mengalir dari tempat yang
tinggi ke tempat yang rendah. Oleh karena itu air akan lebih banyak terserap oleh
tanah di dataran yang lebih rendah. Dengan kata lain.di dataran tinggi kemungkinan
terjadi bencana kekeringan lebih besar daripada di dataran rendah. Karena dataran
tinggi tidak mampu menyimpan air lebih lama.

3.4 Dampak Kekeringan


a. Fisik
1) Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.
2) Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.
3) Kerusakan spesies tanaman.
4) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).
5) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan, berkurangnya daya
pandang).
6) Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan retak-retak, sehingga sulit
untuk dijadikan lahan pertanian.
7) Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim kemarau menjadikan
suhu udara sangat tinggi dan sebaliknya pada malam hari suhu udara sangat dingin.
Perbedaan suhu udara yang berganti secara cepat antara siang dan malam
menyebabkan terjadinya pelapukan batuan lebih cepat.

b. Non Fisik
1) Ekonomi
(a) Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak, kayu, dan perikanan.
(b) Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
(c) Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara langsung.
(d) Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.
9
(e) Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-biaya energi.
(f) Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.
(g) Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga pangan.
(h) Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait dengan kekeringan.
(i) Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya kejenuhan pada
lembaga-lembaga keuangan.

2) Sosial Budaya
a. Saat terjadi kekeringan, tanah menjadi kering dan pasir lembut atau debu mudah
terbawa angin. Hal ini menyebabkan debu ada dimana, sehingga menimbulkan
banyak gejala penyakit yang berhubungan dengan pernafasan. Banyak orang yang
akan sakit flu dan batuk.
b. Pengaruh-pengaruh kekurangan pangan ( kekurangan gizi, kelaparan).
c. Hilangnya nyawa manusia karena kekurangan pangan atau kondisi-kondisi yang
terkait dengan kekeringan.
d. Konflik di antara penggunan air.
e. Masalah kesehatan karena menurunnya pasokan air.
f. Ketidakadilan dalam distribusi akibat dampak-dampak kekeringan dan bantuan
pemulihan.
g. Menurunnya kondisi-kondisi kehidupan di daerah pedesaan.
h. Meningkatnya kemiskinan, berkurangnya kualitas hidup.
i. Kekacauan sosial, perselisihan sipil.
j. Pengangguran meningkat, karena yang tadinya bertani kehilangan mata 
pencaharian.
k. Migrasi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan atau bantuan
pemulihan,banyaknya TKI (tenaga kerja indonesia) yang memilih keluar negeri.

3) Politik
Pemerintah harus bekerja keras untuk membuat kebijakan penanggulangan bencana
kekeringan. Badan khusus penanggulangan bencana juga harus dibentuk, seperti yang sudah
dibentuk di Indonesia yaitu BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

10
3.5 Mitigasi Dampak Kekeringan
Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana
1. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman data iklim
dari daerah ke pusat pengolahan data.
2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air dengan
memperhatikan historical right dan azas keadilan
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
4. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan
iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.
5. Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan
kekeringan.

Jika lebih dirincikan, tahap mitigasi bencana kekeringan adalah sebagai berikut:

1. Pra bencana
a) Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif.
b) Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang masih tersedia sebagai air baku
untuk air bersih.
c) Menanam pohon dan perdu sebanyak-banyaknya pada setiap jengkal lahan yang
ada di lingkungan tinggal kita.
d)  Membuat waduk (embung) disesuaikan dengan keadaan lingkungan.
e) Memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan dengan
plester semen atau ubin keramik.
f) Kampanye hemat air, gerakan hemat air, perlindungan sumber air
g) Perlindungan sumber-sumber air pengembangannya.
h) Panen dan konservasi air

Panen air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air hujan atau air aliran
permukaan pada saat curah hujan tinggi untuk digunakan pada waktu curah hujan rendah.
Panen air harus diikuti dengan konservasi air, yakni menggunakan air yang sudah dipanen
secara hemat sesuai kebutuhan. Pembuatan rorak merupakan contoh tindakan panen air aliran
permukaan dan sekaligus juga tindakan konservasi air.
Daerah yang memerlukan panen air adalah daerah yang mempunyai bulan kering
(dengan curah hujan < 100 mm per bulan) lebih dari empat bulan berturut-turut dan pada
musim hujan curah hujannya sangat tinggi (> 200 mm per bulan). Air yang berlebihan pada

11
musim hujan ditampung (dipanen) untuk digunakan pada musim kemarau. Penampungan
atau 'panen air' bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, sehingga sebagian lahan
masih dapat berproduksi pada musim kemarau serta mengurangi risiko erosi pada musim
hujan.
(1) Rorak
Rorak adalah lubang kecil berukuran panjang/lebar 30-50 cm dengan kedalaman 30-80
cm, yang digunakan untuk menampung sebagian air aliran permukaan. Air yang masuk ke
dalam rorak akan tergenang untuk sementara dan secara perlahan akan meresap ke dalam
tanah, sehingga pengisian pori tanah oleh air akan lebih tinggi dan aliran permukaan dapat
dikurangi.
Rorak cocok untuk daerah dengan tanah berkadar liat tinggi-di mana daya serap atau
infiltrasinya rendah—dan curah hujan tinggi pada waktu yang pendek.
(2) Saluran buntu
Saluran buntu adalah bentuk lain dari rorak dengan panjang beberapa meter (sehingga
disebut sebagai saluran buntu). Perlu diingat bahwa dalam pembuatan rorak atau saluran
buntu, air tidak boleh tergenang terlalu lama (berhari-hari) karena dapat menyebabkan
terganggunya pernapasan akar tanaman dan berkembangnya berbagai penyakit pada akar.
(3) Lubang penampungan air (catch pit)
Bibit yang baru dipindahkan dari polybag ke kebun, seharusnya dihindarkan dari
kekurangan air. Sistem 'catch pit' merupakan lubang kecil untuk menampung air, sehingga
kelembaban tanah di dalam lubang dan di sekitar akar tanaman tetap tinggi. Lubang harus
dijaga agar tidak tergenang air selama berhari-hari karena akan menyebabkan kematian
tanaman.
(4) Embung
Embung adalah kolam buatan sebagai penampung air hujan dan aliran permukaan.
Embung sebaiknya dibuat pada suatu cekungan di dalam daerah aliran sungai (DAS) mikro.
Selama musim hujan, embung akan terisi oleh air aliran permukaan dan rembesan air di
dalam lapisan tanah yang berasal dari tampungan mikro di bagian atas/hulunya. Air yang
tertampung dapat digunakan untuk menyiram tanaman, keperluan rumah tangga, dan
minuman ternak selama musim kemarau.
Embung cocok dibuat pada tanah yang cukup tinggi kadar liatnya supaya peresapan
air tidak terlalu besar. Pada tanah yang peresapan airnya tinggi, seperti tanah berpasir, air
akan banyak hilang kecuali bila dinding dan dasar embung dilapisi plastik atau aspal. Cara ini
akan memerlukan biaya tinggi.
12
(5) Bendungan Kecil (cek dam)

Cek dam adalah bendungan pada sungai kecil yang hanya dialiri air selama musim
hujan, sedangkan pada musim kemarau mengalami kekeringan. Aliran air dan sedimen dari
sungai kecil tersebut terkumpul di dalam cekdam, sehingga pada musim hujan permukaan air
menjadi lebih tinggi dan memudahkan pengalirannya ke lahan pertanian di sekitarnya. Pada
musim kemarau diharapkan masih ada genangan air untuk tanaman, air minum ternak, dan
berbagai keperluan lainnya.

(6) Panen air hujan dari atap rumah

Air hujan dari atap rumah dapat ditampung di dalam bak atau tangki untuk
dimanfaatkan selama musim kemarau untuk mencuci, mandi, dan menyiram tanaman. Untuk
minum sebaiknya digunakan air dari mata air karena pada awal musim hujan, air hujan
mengandung debu yang cukup tinggi.

Antisipasi penanggulangan kekeringan dapat dilakukan melalui dua tahapan strategi


yaitu perencanaan jangka pendek dan perencanaan jangka panjang.

a) Perencanaan jangka pendek (satu tahun musim kering):


1. Penetapan prioritas pemanfaatan air sesuai dengan prakiraan kekeringan.
2. Penyesuaian rencana tata tanam sesuai dengan prakiraan kekeringan.
3. Pengaturan operasi dan pemanfaatan air waduk untuk wilayah sungai yang
mempunyai waduk.
4. Perbaikan sarana dan prasarana pengairan.
5. Penyuluhan/sosialisasi kemungkinan terjadinya kekeringan dan dampaknya.
6. Penyiapan lapangan kerja sementara (padat karya) untuk meringankan dampak.
7. Persiapan tindak darurat.
8. Pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh air.
9. Penyediaan air minum dengan mobil tangki.
10. Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.
11. Penyediaan pompa air.
b) Perencanaan jangka panjang meliputi antara lain:
1. Pelaksanaan reboisasi atau konservasi untuk meningkatkan retensi dan tangkapan
di hulu.
2. Pembangunan prasarana pengairan (waduk, situ, embung).

13
3. Pengelolaan retensi alamiah (tempat penampungan air sementara) di wilayah
sungai.
4. Penggunaan air secara hemat.
5. Penciptaan alat sanitasi hemat air.
6. Pembangunan prasarana daur ulang air.
7. Penertiban pengguna air tanpa ijin dan yang tidak taat aturan.
c) Saat terjadi Bencana

Sasaran penanggulangan kekeringan ditujukan kepada ketersediaan air dan dampak


yang ditimbulkan akibat kekeringan. Untuk penanggulangan kekurangan air dapat dilakukan
melalui:

Pembuatan sumur pantek atau sumur bor untuk memperoleh air :

(1) Penyediaan air minum dengan mobil tangki.


(2) Penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan.
(3) Penyediaan pompa air.
(4) Pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat (seperti gilir giring).

Untuk penanganan dampak, perlu dilakukan secara terpadu oleh sektor terkait antara
lain dengan upaya:   

a) Dampak Sosial:
(1) Penyelesaian konflik antar pengguna air.
(2) Pengalokasian program padat karya di daerah-daerah yang mengalami
kekeringan.
b) Dampak Ekonomi:
(1) Peningkatan cadangan air melalui pembangunan waduk-waduk baru,
optimalisasi fungsi embung, situ, penghijauan daerah tangkapan air,
penghentian perusakan hutan, dll.
(2) Peningkatan efisiensi penggunaan air melalui gerakan hemat air, daur ulang
pemakaian air.
(3) Mempertahankan produksi pertanian, peternakan, perikanan, dan kayu/
hutan melalui diversifikasi usaha.
(4) Meningkatkan pendapatan petani, dan perdagangan hasil pertanian melalui
perbaikan sistem pemasaran.

14
c) Dampak Keamanan:
(1) Mengurangi kriminalitas melalui penciptaan lapangan pekerjaan.
(2) Mencegah kebakaran dengan meningkatkan kehati-hatian dalam penggunaan
api.
d) Dampak Lingkungan:
(a) Mengurangi erosi tanah melalui penutupan tanah (land covering).
(b) Mengurangi beban limbah sebelum dibuang kesumber air.
(c) Membangun waduk-waduk baru untuk menambah cadangan air pada musim
kemarau.
(d) Mempertahankan kualitas udara (debu, asap, dll) melalui pencegahan
pencemaran udara dengan tidak melakukan kegiatan yang berpotensi
menimbulkan kebakaran yang menimbulkan terjadinya pencemaran udara.
(e) Mencegah atau mengurangi kebakaran hutan dengan pengolahan lahan
dengan cara tanpa pembakaran.

2. Pasca Bencana
Kegiatan pemulihan mencakup kegiatan jangka pendek maupun jangka panjang akibat
bencana kekeringan antara lain:
a) Bantuan sarana produksi pertanian.
b) Bantuan modal kerja.
c) Bantuan pangan dan pelayanan medis.
d) Pembangunan prasarana pengairan, seperti waduk, bendung karet, saluran
pembawa, dll.
e) Penggunaan air secara hemat dan berefisiensi tinggi.
f) Penciptaan alat-alat sanitasi yang hemat air.

Kejadian kekeringan mempengaruhi sistem sosial, disamping sistem fisik dan sistem
lingkungan, sehingga manajemen kekeringan merupakan suatu tanggung jawab sosial,
yang pada dasarnya terarah pada upaya pasokan air dan mengurangi/meminimalkan dampak.

15
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Kekeringan merupakan suatu peristiwa atau suatu rangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh aktivitas alam tetapi aktivitas alam ini sangat menggangu dan merugikan
banyak aspek seperti aspek fisik dan non fisik (sosial budaya, ekonomi, politit). kerugian fisik
yang di timbulkan misalnya terutama rusaknya tanaman petani yang menggakibatkan gagal
panen dan kelaparan, selain itu kerugian fisik selalu menggarah pada manusia karena
kekeringan menyebabkan kekurangan air bersih yang memaksa orang untuk mengkonsumsi
air yang tidak sehat, bahkan banyak hewan, tanaman dan manusia mati karena kekurang air
yang sangat di butuhkan untuk bertahan hidup. Kerugian non fisik yaitu terjadi kerugian
terhadap pemasukan negara dan ekonomi.
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana kekeringan sebelum terjadi
dilakukan dengan cara mengadakan sosialisasi di masyarakat akan bahaya kekeringan yang
tejadi apabila masyarakat menggunakan air berlebihan diluar batas kebutuhan.

4.2 Saran
Bagi masyatrakat hendaknya menggunakan air dengan baik, jangan terlalu berlebihan
dalam menggunakan air kerena bisa meyebabkan kekuranagan air. Gunakanlah air
secukupnya atau sesuai kebutuhan. Menurut keagamaan kekeringan itu di sebabkan oleh
tingkah laku manusia sendiri yang terlalu serakah serta faktor kemaksiatan yang merajalela.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.


ISDR. 2009. UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. Switzerland: Jeneva.
Nalbantis, I. 2008. Assesment of Hydrological Drought Revisited. Water Resources
Management 23 (5) (July 22): 881-887.
Tjastono, Bayong. 2003. Geosains. Bandung: ITB.
Tjasyono, Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung: ITB.
Tjasyono, Bayong. 2008. Meteorogi Terapan. Bandung: ITB Press.
Wilhite, D. A. 2010. Quantification of agriculture drought mitigation, in agriculture drought
indices, Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June. Murcia, Spain, WMO, Geneva.
National Drought Mitigation Center. 2004. Type of Drought,
http://drought.unl.edu/DroughtBasics/TypesofDrought.aspx, diakses pada tanggal 22
September 2017.
Content://com.sec.android.app.sbrowser/readilist/0920181710631.mhtml, diakses pada
tanggal 22 September 2017.
http://sulfiani87.blogspt.co.id/2016/04/contoh-makalah-kekeringan.html?m=1, di akses pada
tanggal 22 September 2017.

17

Anda mungkin juga menyukai