Anda di halaman 1dari 11

Penyebab dan Dampak Kekeringan, serta

Cara Penanggulangannya

Latar Belakang

Letak geografis diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis
khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia.
Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim
monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklimEl-Nino Southern
Oscillation (ENSO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila kondisi suhu
permukaan laut di Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino).
Berdasarkan analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa, ada kecenderungan
terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak
terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya awal musim
kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan.

Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang
berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul
bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata.
Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah
akan habis akibat penguapan (evaporasi),transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh
manusia.

Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah
kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang
ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses
sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun, suatu
kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang
signifikan.
Kekeringan menyangkut neraca air antara inflow dan outflow atau antara presipitasi dan
evapotranspirasi. Kekeringan tidak hanya dilihat sebagai fenomena fisik cuaca saja, tetapi
hendaknya juga dilihat sebagai fenomena alam yang terkait erat dengan tingkat
kebutuhan masyarakat terhadap air. Bertambahnya jumlah penduduk telah
mengakibatkan terjadinya tekanan penggunaan lahan dan air serta menurunnya daya
dukung lingkungan. Akibatnya kekeringan semakin sering terjadi dan semakin meluas.
Kekeringan dapat menimbulkan dampak yang amat luas, kompleks, dan juga rentang
waktu yang panjang setelah berakhirnya kekeringan. Dampak yang luas dan berlangsung
lama tersebut disebabkan karena air merupakan kebutuhan pokok dan vital bagi seluruh
makhluk hidup, yang tidak tergantikan oleh sumber daya lainnya.

Datangnya bencana kekeringan belum dapat diperkirakan secara teliti, namun secara umum
berdasarkan statistik terlihat adanya fenomena terjadinya kekeringan setiap empat atau lima
tahun sekali. Bencana kekeringan dapat disebabkan oleh curah hujan yang jauh di bawah normal
pada areal yang airnya telah dimanfaatkan secara maksimal atau pada musim kemarau panjang.
Dari segi sosial, dampak yang ditimbulkan oleh bencana kekeringan berbeda dengan dampak
bencana banjir, tanah longsor, tsunami, ataupun gempa bumi. Pada keempat jenis bencana
tersebut, secara sosial dengan cepat dapat menghimpun bantuan dari berbagai pihak, baik jangka
pendek ataupun jangka panjang. Berbeda halnya, bencana kekeringan malahan dapat
menimbulkan perpecahan dan konflik, baik konflik antar pengguna air dan antar pemerintah.

Kekeringan perlu dikelola dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

terus meningkatnya luas sawah yang terkena kekeringan sehingga berdampak pada
penurunan produksi sampai gagal panen

terjadinya kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun
kondisi iklim normal

periode ulang anomali iklim cenderung acak sehingga sulit untuk dilakukan adaptasi

kekeringan berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama

dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah

kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya dan tidak dapat dihilangkan.


Dengan pertimbangan tersebut sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan
semua pemangku kepentingan.

Penyebab Kekeringan dan Dampaknya

Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan (slow
onset disaster), berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas, dan
bersifat lintas sektor (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain). Kekeringan
merupakan fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan merupakan variasi normal dari
cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu, bulan,
tahun, bahkan abad. Dengan melakukan penelusuran data cuaca dalam waktu yang
panjang, akan dapat dijumpai variasi cuaca yang beragam, misalnya: bulan basah-bulan
kering, tahun basah-tahun kering, dan dekade basah-dekade kering.

Faktor penyebab kekeringan adalah :

adanya penyimpangan iklim.

Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian


Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau sebaliknya. Ini
semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Jumlah
uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah hujan, apabila
curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan kekeringan.

adanya gangguan keseimbangan hidrologis.

Gangguan keseimbangan hidrologis, kekeringan juga dipengaruhi oleh adanya


gangguan hidrologis seperti: 1) terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS)
terutama bagian hulu mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non
vegetasi yang menyebabkan terganggunya sistem peresapan air tanah; 2)
kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk
dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun
tajam; 3) rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan
akibat pendangkalan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah
sehingga memicu terjadinya kekeringan.

kekeringan agronomis.

Kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat kebiasaan petani memaksakan


menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak
mencukupi.

Kekeringan diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya, baik akibat alamiah dan akibat ulah
manusia.

Akibat Alamiah
Kekeringan Meteorologis; berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya kekeringan.

Kekeringan Hidrologis; berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan


air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk,
danau, dan elevasi muka air tanah. Terdapat tenggang waktu mulai berkurangnya
hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau, dan elevasi
muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya
kekeringan.

Kekeringan Pertanian; berhubungan dengan kekurangan lengas tanah


(kandungan air dalam tanah), sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas.
Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.

Kekeringan Sosial Ekonomi; berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak


terhadap kehidupan sosial ekonomi, seperti: rusaknya tanaman, peternakan,
perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran
transportasi air, dan menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan
perkotaan.

Kekeringan Hidrotopografi; berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai


antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.

Akibat Ulah Manusia

Kekeringan akibat manusia terjadi karena

kebutuhan air lebih besar daripada pasokan yang direncanakan akibat ketidak
taatan penguna terhadap pola tanam atau pola penggunaan air.

Kerusakan kawasan tangkapan air dan sumber-sumber air akibat perbuatan


manusia
Berdasarkan klasifikasi kekeringan tersebut, maka prioritas penanggulangan bencana
kekeringan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah. Khusus untuk
kekeringan yang disebabkan oleh ketidaktaatan para pengguna air dan pengelola
prasarana air, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk melaksanakan kesepakatan
yang sudah ditetapkan. Kepada masyarakat perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intensif,
sehingga memahami dan melaksanakan pola pengguna air sesuai peraturan/ketetapan.

Dampak terjadinya kekeringan antara lain :

produksi tanaman turun/rendah/puso bahkan menyebabkan tanaman mati


sehingga merugikan petani

Karena produksi rendah secara riil mengalami kerugian material maupun finansial
yang besar dan bila terjadi secara luas, akan mengancam ketahanan pangan
nasional

menyebabkan terganggunya hidrologis lingkungan yang berakibat terjadinya


kekurangan air pada musim kemarau.

Kekeringan saat ini telah membawa dampak yang lebih parah dan ancaman bencana
ekologis. Dampak kekeringan bisa kita periksa dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial,
medis, dan konflik dalam kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan saling
berpengaruh dan berkaitan satu sama lainnya.

Secara ekologi, kekeringan telah berakibat pada kuantitas air di sumber-sumber air
semakin berkurang seperti mata air, sungai, situ, embung-embung, waduk hingga
berkurangnya ketersediaan air bawah tanah. Kekeringannya juga bisa mengancam
terjadinya kebakaran hutan, seperti yang dialami oleh hutan-hutan di Gunung Papandayan
dan Ciremai Kuningan. Kekeringan juga menunjukan fenomena ketidakseimbangan siklus
hidrologi. Mengeringnya sumber-sumber air, membawa dampak pada lahan-lahan
pertanian dan perikanan. Menurut HKTI, kekeringan di Jawa Barat akan mengancam
sekitar 650.000 ha lahan pertanian sawah. Selain itu, ketersediaan air bersih untuk rumah
tangga pun semakin berkurang.

Secara ekonomi, kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan pertanian sawah dan ladang
berpangaruh pada menurunnya produksi hasil tani terjadinya puso dan gagal panen
sehingga berpengaruh pada berkurangnya pendapatan para petani dan buruh tani. Bagi
lahan-lahan pertanian di Jawa Barat, dampak kekeringan ini sudah di alami masyarakat
dan kaum tani perdesaan.

Kelangkaan air akibat kekeringan juga akan berdampak pada potensi konflik sosial di
masyarakat. Masyarakat akan melakukan tindakan-tindakann sendiri karena air
merupakan kebutuhan dasar manusia.. Di beberapa daerah di Cianjur, Sukabumi,
Tasikmalaya, Cirebon, Bandung dan daerah lainnya, kita bisa menyaksikan bagaimana
masyarakat yang haus air melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan air. Kondisi
ini, sungguh ironi dengan semakin merebaknya usaha jual beli air yang dilakukan
perusahaan negara, swasta dan pribadi baik yang memanfaatkan air permukaan dan air
bawah tanah.

Ancaman kekeringan juga akan berpangaruh pada kesehatan (medis). Sengatan panas
karena kenaikan suhu udara, dehidrasi karena kekuarangan asupan oksigen dari air dan
udara bersih merupakan ancaman yang serius. Bahkan, kelaparan dan kekurangan gizi
pada wilayah-wilayah tertentu bisa terjadi karena karakter alam tanah yang semula
memang kering.

Cara Penanggulangannya Dampak Kekeringan dalam pertanian

Kemarau dan hujan adalah bagian dari unsur dalam persenyawaan hidup manusia dan mahluk
hidup lainnya di muka bumi. Manusia tentu harus beradaptasi dalam menghadapi kekeringan dan
melakukan upaya agar tidak berdampak pada bencana ekologi yang semakin parah. Berangkat dari
penyebab kekeringan itu sendiri, maka ada beberapa usulan sebagai jawaban. Pasti jawaban
mujarab, ada pada petani, pengambil kebijakan, para ahli dan praktisi. Usulan yang bisa diajukan
diantaranya .

Untuk mengatasi kekeringan dapat dilakukan dengan cara:

gerakan masyarakat melalui penyuluhan;

membangun/rehabilitasi/pemeliharaan jaringan irigasi;

membangun/ rehabilitasi/pemeliharaan konservasi lahan dan air;

memberikan bantuan sarana produksi (benih dan pupuk, pompa spesifik lokasi);

mengembangkan budidaya hemat air dan input (menggunakan metode SRI/PTT).

Selanjutnya untuk mengatasi penyebab klimatologis perlu melakukan;

penyebaran informasi prakiraan iklim lebih akurat;

membuat kalender tanam;

menerapkan dan memperhatikan peta rawan kekeringan yang


dihasilkan Badan Litbang Pertanian melalui data interpretasi.

SRI (System of Rice Intensification).

Budidaya hemat air dan input pada tanaman padi salah satunya dengan metoda SRI (System of
Rice Intensification). SRI adalah cara budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan
proses management system perakaran dengan berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman dan
air. Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata bukan tanaman air tetapi dalam
pertumbuhan membutuhkan air, dengan tujuan menyediakan oxygen lebih banyak di dalam
tanah, kemudian tidak tergenang akar akan tumbuh dengan subur dan besar, maka tanaman
dapat menyerap nutrisi/makanan sebanyak-banyaknya.

Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang
produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8
ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai
petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan
untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana
mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam
tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan
pertumbuhannya.

Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI adalah :

Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih berdaun 2
helai

Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang

Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak
putus dan ditanam dangkal

Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah
(irigasi berselang/terputus)

Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari

Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk hijau)

Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut :

Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari


kebutuhan air untuk cara konvensional

memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan


keseimbangan ekologi tanah

Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi


ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan
pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang
langka

membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran


dan meningkatkan pendapatan keluarga petani

menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta


tidak mengandung residu kimia

mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang

Pemanfaatan Jerami

Sering kita jumpai dilapangan setelah masa panen padi, tumpukan jerami yang dibirkan
menumpuk di sawah atau kadang hanya dibakar saja. Sering kita menganjurkan kepada
para petani untuk tidak membakar atau membuang jerami tanaman padi di sawah.

Ada sebagian petani yang langsung membakar jerami miliknya, dijual ke pengepul jerami
untuk pakan ternak,ditumpuk begitu saja dll. Intinya Jerami dianggap sampah yang
dibenci dan lebih baik dimusnahkan.Padahal Jerami itu bisa dimanfaatkan oleh petani dan
peternak, dan bisa menghasilkan income tambahan bagi petani.

Perlu diketahui beberapa fakta dilapangan yang menyebabkan petani lebih suka
membakar jerami:

Jika jerami kita tumpuk disawah otomatis akan menjadi sarang


hama tikus bahkan hama-hama yang lain.

Jerami yang ditumpuk memakan waktu berbulan-bulan agar bisa


busuk, apalagi kalau musim kemarau akan lebih lama lagi karena
jerami cenderung kering.

Jika jerami langsung kita sebar disawah dan langsung diadakan


pengolahan tanah akan menyebabkan tanah menjadi masam
(asem-asemen) kalau orang banyumas bilang.

Petani lebih suka membakar jerami karena lebih praktis dan


mudah dalam mengelola jerami. Padahal dengan dibakar
otomatis jerami tersebut hanya akan menjadi abu dan karbon di
tanah. Selain itu dengan pembakaran jerami berarti petani akan
ikut andil dalam perusakan lapisan ozon pada bumi kita. Sehingga
akan mempercepat terjadinya pemanasan global.

Solusi pengelolaan jerami yang mudah dan praktis diantaranya:


Membuat jerami menjadi kompos. Seperti halnya membuat kompos dengan
bahan organik lain, dalam pembuatan kompos dengan media jerami juga
memerlukan mikro organisme dekomposer untuk mempercepat proses
fermentasi. Dengan menggunakan dekomposer hanya butuh waktu 15 -20 hari
untuk membuat kompos yang siap pake dan langsung bisa diaplikasi ke sawah
lagi. Dalam proses mengkomposkan jerami bisa ditambah dengan kotoran sapi
ataupun sampah hijau (bahan organik) yang lain.

Membuat jerami menjadi tape jerami. Tape jerami adalah hasil olahan jerami
dengan cara difermentasi sehingga menjadi bahan yang siap dikonsumsi ternak
ruminansia. Dengan dibuat tape jerami kandungan protein, nutrisi dan vitamin
pada jerami akan meningkat. Pada pembuatan tape jerami dekomposer yang
digunakan biasanya adalah golongan jamur karena prinsip kerjanya sama dengan
pembuatan tempe. Kotoran ternak hasil mengkonsumsi tape jerami sangat bagus
digunakan untuk kompos sawah kita.

Membuat jerami menjadi media tanam jamur. Dalam budidaya jamur merang dan
jamur kancing jerami padi merupakan bahan yang wajib digunakan untuk media
tanamnya. Limbah media jamur merang dan kancing yang tidak digunakan sangat
baik didaur ulang ke sawah digunakan sebagai kompos.

Jerami Sebagai Mulsa Tanaman. Saat memasuki musim kemarau, jerami bisa
dimanfaatkan sebagi mulsa tanaman yang tujuanya adalah mengurangi
penguapan air sehingga tanaman tidak kekeringan saat musim kemarau
panjang.

Pengaturan Pola Tanam

Sehubungan dengan adanya perubahan iklim yang terjadi di Indonesia secara umum dan
Provinsi Nusa Tenggara Barat secara khusus, maka seluruh pihak yang bergerak di sektor
pertanian harus mengerahkan seluruh daya upaya agar dampaknya terhadap produksi
tanaman yang berujung pada ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan petani,
dapat dikurangi seminimal mungkin. Oleh karenanya Kementerian Pertanian membuat
strategi Antisipasi, Mitigasi dan Adaptasi (AMA) perubahan iklim untuk mengurangi
dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian.

Antisipasi merupakan penyiapan arah dan strategi, program dan kebijakan dalam rangka
menghadapi pemanasan global dan perubahan iklim. Beberapa program yang penting
untuk dilaksanakan diantaranya : penyusunan strategi dan perencanaan pengembangan
infrastruktur (terutama jaringan irigasi), evaluasi tata ruang untuk pengaturan lahan
(penyesuaian jenis tanaman dengan daya dukung lahan), pengembangan sistem informasi
dan peringatan dini banjir serta kekeringan, penyusunan dan penerapan peraturan
perundangan mengenai tata guna lahan dan metode pengelolaan lahan. Tidak kalah
pentingnya adalah peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam
pemahaman perubahan iklim dan penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim.

Mitigasi adalah upaya memperlambat laju pemanasan global serta perubahan iklim
melalui penurunan emisi (pancaran) GRK serta peningkatan penyerapan GRK. Program ini
lebih difokuskan pada aplikasi teknologi rendah emisi, antara lain : varietas unggul dan
jenis tanaman yang rendah emisi dan atau kapasitas absorbsi karbon tinggi, penyiapan
lahan tanpa bakar, pengembangan dan pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik,
biopestisida dan pakan ternak rendah emisi GRK. Sebagai pribadi dan komunitas, kita juga
dapat berpartisipasi dalam upaya mitigasi ini dengan mempraktekkan hal-hal seperti :
mengurangi pengunaan aerosol, menghemat air dan energi, mendaur ulang barang-
barang seperti plastik, kertas dan kardus, gelas serta kaleng.

Adaptasi merupakan upaya penyesuaian teknologi, manajemen dan kebijakan di sektor


pertanian dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Program adaptasi lebih
difokuskan pada aplikasi teknologi adaptif, terutama pada tanaman pangan, seperti
penyesuaian pola tanam, penggunaan varietas unggul adaptif terhadap kekeringan,
genangan/banjir, salinitas dan umur genjah, serta penganekaragaman pertanian,
teknologi pengelolaan lahan, pupuk, air, diversifikasi pangan dan lain-lain. Secara
kelembagaan program ini diarahkan untuk pengembangan sistem informasi seperti
sekolah lapang iklim, sistem penyuluhan dan kelompok kerja (pokja) variabilitas dan
perubahan iklim sub sektor pertanian serta pengembangan sistem asuransi pertanian
akibat resiko iklim (crop weather insurance).

Teknologi adaptasi yang telah dan akan terus dikembangkan dalam menghadapi
perubahan iklim di sektor pertanian adalah : Kalender Tanam (pola tanam berdasarkan
pola curah hujan dan ketersediaan air irigasi), Varietas Unggul Baru yang adaptif (VUB
tahan kering dan umur genjah dan VUB tahan genangan), teknologi pengelolaan sumber
daya air (teknologi identifikasi potensi ketersediaan air, teknologi panen hujan dan aliran
permukaan, teknologi prediksi curah hujan dan teknologi irigasi) serta teknologi
pengelolaan sumber daya lahan/tanah seperti pemupukan.

Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekeringan

http://www.sigana.web.id/index.php/kekeringan.html

http://www.mdmc.or.id/petabencana/index.php/potensi-dan-analisa/45-penyebab-
kekeringan-dan-upaya-penanggulangannya

https://www.academia.edu/2044920/Patologi_Kekeringan_di_Jawa_Barat

https://warasfarm.wordpress.com/2013/03/22/manfaat-jerami-padi-bagi-petani-
peternak/

http://bakorluh.ntbprov.go.id/berita-229-upaya-mengatasi-dampak-perubahan-iklim-di-
sektor-pertanian.html

Mutakin, Jenal .Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode Sri (System of Rice
Intensification).Universitas Garut.Garut

Anda mungkin juga menyukai