5. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan
air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan
pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan
tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas
kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
a. Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
b. Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
c. Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara
meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak
mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman
pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman,
tanah dan air. (Nugraha, 2015)
b. Pengelolaan Kekeringan di Indonesia
Pengelolaan kekeringan pada dasarnya adalah mengurangi resiko parahnya
kejadian kekeringan, dan hasilnya adalah mengurangi dampak kerugian akibat
kekeringan. Strategi pengelolaan kekeringan telah diidentifikasikan oleh Wilhite et al
(2006) bahwa ada 4 komponen penting di dalamnya, yaitu: 1) tersedianya informasi yang
tepat waktu dan dapat diandalkan pada para pengelola dan pengambil kebijakan; 2)
kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang mendukung pengkajian, komunikasi dan
penerapan informasi tersebut; 3) tersedianya kumpulan upaya pengelolaan resiko untuk
para pengambil kebijakan; dan 4) tindakan oleh para pengambil keputusan yang efektif
dan konsisten dalam mendukung strategi kekeringan nasional.
Pengelolaan kekeringan secara tradisional (Bazza, 2002) terdiri atas tahapan
sebagai berikut: 1) Memantau ketersediaan air di sungai, danau dan waduk, serta air
hujan; 2) Menentukan awal terjadinya kekeringan; 3) Menyiapkan program bantuan dan
pendanaan, yang didasarkan atas penilaian singkat, dengan dana yang diambil dari
bantuan, pinjaman, dan anggaran yang tidak terencana dengan baik; 4) Melaksanakan
program bantuan, yang seringkali dilaksanakan oleh lembaga khusus atau satuan tugas;
dan 5) Setelah kekeringan berlangsung, pihak-pihak terkait melupakan semuanya, dan
kembali ke kehidupan normal.
Adler (2010) mengungkapkan bahwa walaupun telah terjadi pergeseran
pengelolaan kekeringan, yaitu dari reaktif menjadi program preventif dan mitigasi
dampak bencana kekeringan, akan tetapi masih kurang adanya perhatian terhadap aspek
hukum. Hukum dan kelembagaan dapat mendorong kearah upaya yang lebih pro aktif
dan berorientasi pada pencegahan, dengan adanya peraturan dan lembaga yang
memfasilitasi masyarakat dalam mitigasi bencana kekeringan.
Teknik giliran atau rotasi, yaitu membagi-bagi suatu areal irigasi selama masa-masa
kekurangan air telah menjadi kearifan lokal di Indonesia (Supadi, 2009). Jenis-jenis
giliran air irigasi dilakukan apabila faktor k, yaitu rasio antara kebutuhan air dengan
jumlah air yang tersedia kurang dari satu. Berbagai jenis sistem giliran pemberian air
adalah sebagai berikut: 1) Secara penuh, adalah sistem pemberian air irigasi sesuai
kebutuhan secara terus - menerus tanpa adanya giliran; 2) Giliran tingkat petak tersier,
adalah sistem pemberian air irigasi mengacu berdasarkan blok petak tersier secara
berurutan dalam satu daerah irigasi; dan 3) Giliran secara penuh, adalah sistem
pemberian air berdasarkan pengelompokan petak dan mendapatkan air secara penuh.
Fagi (2007) menegaskan bahwa teknologi untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan air irigasi, seperti teknik irigasi bergilir teratur (rotational irrigation) telah
tersedia, dan beberapa sistem irigasi telah mempraktekkan, terutama saat terjadi
kekeringan El-Nino, sebagai contoh adalah teknik irigasi bergilir yang diterapkan di
Subang, Jawa Barat, wilayah pengairan Timur, Perum Jasa Tirta II.
Kekeringan tidak dapat dihidari, karena ini merupakan faktor alam yang
mengendalikan dan secara perlahan berlangsung lama hingga musim hujan tiba.
Kekeringan berdasarkan penyebabnya, bahaya kekeringan termasuk kedalam kategori
bahaya yang disebabkan oleh alam. Karakteristik dari bahaya kekeringan cukup berbeda
dari bahaya yang lain, karena datangnya yang tidak tiba-tiba namun timbul secara perlahan
dan mudah diabaikan. Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti
pertanian tiba-tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang
lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak termanfaatkannya
guna lahan yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem sektor pertanian.
Kekeringan yang terjadi akan baru terasa saat air sumur mengering, sungai
mengering, serta sungai dan embung ataupun waduk sebagai penyimpan air mengalam
kekeringan sehingga tidak bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari serta
juga kebutuhan untuk mengairi daerah pertanian. Hal ini akan mengakibatkan masyarakan
mengalami kekurangan air untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Lahan pertanian
menjadi kering juga tidak dapat ditanami dan petani menjadi merugi dan tidak mempunyai
penghasilan dari panen hasil pertaniannya. Kerugian yang kita peroleh dari bencana
kekeringan ini diantaranya berdampak pada usaha peternakan yang mana karena penduduk
tidak punya bahan makanan untuk ternaknya sehingga harus membeli makanan ternak dari
daerah lain. Kekeringan juga merugikan usaha perikanan, dan bidang usaha lain yang
membutuhkan ketersediaan air yang cukup.
Dampak dari bencana kekeringan ini akan muncul sebagai akibat dari kurangnya
ketersediaan air yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara permintaan akan air
(kebutuhan air) dengan persediaan air suatu wilayah. Ada dua dampak besar yang akan
ditimbulkan yaitu dampak fisik dan dampak non-fisik.
a) Fisik
1) Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.
2) Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.
3) Kerusakan spesies tanaman.
4) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).
5) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan, berkurangnya daya pandang).
6) Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan retak-retak, sehingga sulit untuk
dijadikan lahan pertanian.
7) Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim kemarau menjadikan suhu
udara sangat tinggi dan sebaliknya pada malam hari suhu udara sangat dingin. Perbedaan
suhu udara yang berganti secara cepat antara siang dan malam menyebabkan terjadinya
pelapukan batuan lebih cepat.
b) Non Fisik
1) Ekonomi
(a) Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak, kayu, dan perikanan.
(b) Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
(c) Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara langsung.
(d) Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.
(e) Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-biaya energi.
(f) Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.
(g) Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga pangan.
(h) Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait dengan kekeringan.
(i) Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya kejenuhan pada
lembaga-lembaga keuangan.
2) Sosial Budaya
(a) Pada saat mengalami kekeringan, tanah akan menjadi kering dan lembut dan akan
menjadi debu yang akan menyebabkan penyakit pada manusia, dimana hal tersebut
dapat menganggu kesehatan manusia seperti sesak nafas.
(b) Banyak manusia yang mengalami kekurangan gizi dan kelaparan
(c) Manusia banyak yang meninggal akibat penyakit yang diderita karena kekeringan
(d) Antara pengguna air banyak yang konflik akibat berebut air
(e) Kondisi kehidupan di daerah pedesaan menurun
(f) Banyak pengangguran pada petani akibat sawah kering
(g) Terjadi migrasi ke luar negeri karena untuk mendapatkan pekerjaan
B. Penanggulangan Bencana Kekeringan
Ponce, et al. (2003) menyatakan bahwa dampak negatif kekeringan bisa dikurangi
melalui upaya-upaya persiapan (antisipasi) dan mitigasi. Komponen rencana antisipasi dan
mitigasi kekeringan terdiri dari prediksi (pendugaan), monitoring, penaksiran, dampak, dan
respon (Ponce & The Ojos Negros Research Group, 2003). Sedangkan Wilhite (2014)
menyatakan bahwa mitigasi kekeringan meliputi : a) pembangunan sistem peringatan dini,
sistem informasi yang komprehensif, dan menyempurnakan pendugaan musim, b)
meningkatkan konservasi air, berupaya mengurangi permintaan (demand) air, meningkatkan
suplai air melalui pemanfaatan sumber-sumber air yang lebih optimal, membangun
tampungan air (reservoirs), menghubungkan persediaan air antar kelompok masyarakat yang
berdekatan, c) menyusun perencanaan mitigasi kekeringan, dan d) penyadaran publik
(Wilhite, Sivakumar, & Pulwarty, 2014).
Wilhite, et al. (2014) menyatakan bahwa ada tiga tipe kebijakan untuk
penanggulangan bencana kekeringan. Pertama, kebijakan reaktif yang dilakukan pemerintah
dengan memberi bantuan langsung untuk melegakan penderitaan korban bencana kekeringan,
dengan jalan mendistribusikan air bersih, pemberian uang dan makanan, dan lain-lain. Tipe
kedua yaitu dengan mengembangkan program untuk mengurangi kerentanan dan dampak
bencana, atau disebut mitigasi. Tipe terakhir yaitu perencanaan dan implementasi kebijakan
penanggulangan bencana kekeringan, dengan membangun kapasitas kelembagaan yang lebih
besar, difokuskan pada peningkatan koordinasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan
terkait (Wilhite et al., 2014).
Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tips siaga bencana
kekeringan yaitu sebagai berikut:
Pra bencana
Masyarakat harus memanfaatkan sumber air yang ada secara efektif dan efisien
Menanam pohon sebanyak-banyaknnya di lingkungan
Membuat dan memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan
dengan plester semen atau ubin keramik
Membuat waduk disesuaikan dengan keadaan lingkungan
Memberikan perlindungan sumber sumber air bersih yang tersedia, dan melakukan panen
dan konservasi air
Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang tersedia untuk keperluan air baku untuk
air bersih.
Saat terjadi bencana
Membuat sumur pantek atau sumur bor untuk mendapatkan air
Menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah disediakan oleh dinas terkait
Melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan
Menyediakan pompa air
Melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir giling.
C. Tindakan Kesehatan Pra-Saat-Pasca Bencana
Pemerintah telah mengatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana dan hal tersebut merupakan sebuah upaya pemerintah yang
memiliki tujuan agar merubah paradigma penanganan bencana di Indonesia.
Adapun tahapan tindakan pra saat dan pasca bencana :
1. Pada saat pra bencana
Ya itu perlu dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
pencegahan pengurangan risiko bencana, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan serta penegakan rencana tata ruang.
2. Pada saat bencana terjadi
Masyarakat harus tanggap darurat Yaitu mencakup pengkajian terhadap
kerusakan, sumber daya, lokasi pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan
kesehatan.
3. Pada saat pasca bencana terjadi
Meliputi seluruh kegiatan rehabilitasi yang termasuk perbaikan sarana dan
prasarana umum, pemulihan daerah bencana, bantuan perbaikan rumah dan
rekonstruksi pembangunan.
Daftar Pustaka
Nugraha, Reza Putra. 2015. “Aplikasi SPEI dan SPI Sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis”.
Skripsi. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Ponce, V. M., & The Ojos Negros Research Group. 2003. Three issues of sustainable
management in the Ojos Negro Valley, Baja California, Mexico. Retrieved from
http://threeissues.sdsu.edu/three_is sues_droughtfacts04.html.
Wilhite, D. A., Sivakumar, M. V. K., & Pulwarty, R. (2014). Managing drought risk in a
changing climate : The role of national drought policy. Weather and Climate Extremes,
3(March 2013), 4–13. http://doi.org/10.1016/j.wace.2014. 01.002.