Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 9

Nama : Erika Windya P (170351616600)

Nita Andriani (170351616559)

Serent Resiana H (170351616591)

A. Permasalahan Bencana Kekeringan di Indonesia


a. Pengertian Kekeringan
Terdapat banyak definisi mengenai kekeringan. Tjasyono dan Harijono (2006)
menyatakan bahwa kekeringan adalah kesenjangan antara air yang tersedia dan air yang
diperlukan. Sementara AMS (1997) menjelaskan bahwa kekeringan merupakan suatu
peristiwa cuaca kering abnormal yang menyebabkan berkurangnya curah hujan sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan ketersediaan air secara hidrologi. Wilhite dan Glantz
(1985) sendiri mengklasifikasikan kekeringan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Kekeringan meteorologis (meteorological drought), yaitu berkurangnya presipitasi
hingga di bawah normal dalam suatu waktu tertentu. Biasanya hal ini digambarkan
sebagai penyebab utama terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan berdasarkan
definisi meteorologis sebagai berikut:
a. kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan
di bawah normal)
b. sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah
hujan jauh di bawah normal)
c. amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal
(curah hujan amat jauh di bawah normal).
2. Kekeringan hidrologis (hydrological drought), yaitu defisitnya ketersediaan air di
permukaan maupun di dalam tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian
muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah
hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah,
sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
a. kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5
tahunan
b. sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di
bawah periode 25 tahunan
c. amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran
amat jauh di bawah periode 50 tahunan
3. Kekeringan pertanian (agricultural drought), kekeringan ini berhubungan dengan
berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan
pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis. Intensitas
kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
a. kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d
sedang)
b. sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun
(terkena berat)
c. amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
4. Kekeringan sosio-ekonomi (socio-economic drought), menjelaskan kaitan
kekeringan dengan permintaan dan penawaran pasar terhadap barang-barang bernilai
ekonomi. Biasanya hal ini muncul setelah terjadi kekeringan meteorologi, hidrologi,
dan pertanian. Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan
air minum atau air bersih sebagai berikut:

5. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan
air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan
pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan
tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia. Intensitas
kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
a. Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
b. Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
c. Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.
Batasan tentang kekeringan bisa bermacam-macam tergantung dari cara
meninjaunya. Ditinjau dari Agroklimatologi yaitu keadaan tanah dimana tanah tak
mampu lagi memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan tanaman khususnya tanaman
pangan. Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi kekeringan ini yaitu tanaman,
tanah dan air. (Nugraha, 2015)
b. Pengelolaan Kekeringan di Indonesia
Pengelolaan kekeringan pada dasarnya adalah mengurangi resiko parahnya
kejadian kekeringan, dan hasilnya adalah mengurangi dampak kerugian akibat
kekeringan. Strategi pengelolaan kekeringan telah diidentifikasikan oleh Wilhite et al
(2006) bahwa ada 4 komponen penting di dalamnya, yaitu: 1) tersedianya informasi yang
tepat waktu dan dapat diandalkan pada para pengelola dan pengambil kebijakan; 2)
kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang mendukung pengkajian, komunikasi dan
penerapan informasi tersebut; 3) tersedianya kumpulan upaya pengelolaan resiko untuk
para pengambil kebijakan; dan 4) tindakan oleh para pengambil keputusan yang efektif
dan konsisten dalam mendukung strategi kekeringan nasional.
Pengelolaan kekeringan secara tradisional (Bazza, 2002) terdiri atas tahapan
sebagai berikut: 1) Memantau ketersediaan air di sungai, danau dan waduk, serta air
hujan; 2) Menentukan awal terjadinya kekeringan; 3) Menyiapkan program bantuan dan
pendanaan, yang didasarkan atas penilaian singkat, dengan dana yang diambil dari
bantuan, pinjaman, dan anggaran yang tidak terencana dengan baik; 4) Melaksanakan
program bantuan, yang seringkali dilaksanakan oleh lembaga khusus atau satuan tugas;
dan 5) Setelah kekeringan berlangsung, pihak-pihak terkait melupakan semuanya, dan
kembali ke kehidupan normal.
Adler (2010) mengungkapkan bahwa walaupun telah terjadi pergeseran
pengelolaan kekeringan, yaitu dari reaktif menjadi program preventif dan mitigasi
dampak bencana kekeringan, akan tetapi masih kurang adanya perhatian terhadap aspek
hukum. Hukum dan kelembagaan dapat mendorong kearah upaya yang lebih pro aktif
dan berorientasi pada pencegahan, dengan adanya peraturan dan lembaga yang
memfasilitasi masyarakat dalam mitigasi bencana kekeringan.
Teknik giliran atau rotasi, yaitu membagi-bagi suatu areal irigasi selama masa-masa
kekurangan air telah menjadi kearifan lokal di Indonesia (Supadi, 2009). Jenis-jenis
giliran air irigasi dilakukan apabila faktor k, yaitu rasio antara kebutuhan air dengan
jumlah air yang tersedia kurang dari satu. Berbagai jenis sistem giliran pemberian air
adalah sebagai berikut: 1) Secara penuh, adalah sistem pemberian air irigasi sesuai
kebutuhan secara terus - menerus tanpa adanya giliran; 2) Giliran tingkat petak tersier,
adalah sistem pemberian air irigasi mengacu berdasarkan blok petak tersier secara
berurutan dalam satu daerah irigasi; dan 3) Giliran secara penuh, adalah sistem
pemberian air berdasarkan pengelompokan petak dan mendapatkan air secara penuh.
Fagi (2007) menegaskan bahwa teknologi untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan air irigasi, seperti teknik irigasi bergilir teratur (rotational irrigation) telah
tersedia, dan beberapa sistem irigasi telah mempraktekkan, terutama saat terjadi
kekeringan El-Nino, sebagai contoh adalah teknik irigasi bergilir yang diterapkan di
Subang, Jawa Barat, wilayah pengairan Timur, Perum Jasa Tirta II.

c. Dampak Bencana Kekeringan

Kekeringan merupakan salah satu bencana hidrometeorologis yang sering terjadi


terjadi di Indonesia terutama pada bagan tanah gambut. Kekeringan adalah ketersediaan air
yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan
lingkungan. Bencana kekeringan adalah dampak dari perubahan iklim global El Nino dan
La Nina. Pada peristiwa El Nino ini sebagai penyimpangan iklim yang mengakibatkan
musim kemarau panjang menjadi panjang , sedangkan pada peristiwa La Nina dapat
menyebabkan musim penghujan berkepanjangan. Keduanya merupakan fenomena alam
yang bersifat normal dan selalu terulang pada pola tertentu (Kodoatie: 2011).

Kekeringan tidak dapat dihidari, karena ini merupakan faktor alam yang
mengendalikan dan secara perlahan berlangsung lama hingga musim hujan tiba.
Kekeringan berdasarkan penyebabnya, bahaya kekeringan termasuk kedalam kategori
bahaya yang disebabkan oleh alam. Karakteristik dari bahaya kekeringan cukup berbeda
dari bahaya yang lain, karena datangnya yang tidak tiba-tiba namun timbul secara perlahan
dan mudah diabaikan. Dampaknya akan terasa ketika lahan-lahan produktif seperti
pertanian tiba-tiba mengalami kegagalan panen maupun penurunan kualitas. Akibat yang
lebih ekstrim lagi adalah rusaknya sistem tanah yang berujung tidak termanfaatkannya
guna lahan yang optimal, kelaparan, dan rusaknya sistem sektor pertanian.

Dampak kekeringan terhadap masyarakat sudah banyak dirasakann oleh masyarakat.


Adapun beberapa dampak yang langsung mengnenai masyarakat diantranya yaitu ;
sumber-sumber air seperti sungai, embung, sumur sudah mulai berkurang volumenya. Pada
bulan Agustus selain sumber air sumur yang mengering, sungai-sungai juga mengering
karena curah hujan yang sangat rendah serta iklim yang masih pancraoba.

Kekeringan yang terjadi akan baru terasa saat air sumur mengering, sungai
mengering, serta sungai dan embung ataupun waduk sebagai penyimpan air mengalam
kekeringan sehingga tidak bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari serta
juga kebutuhan untuk mengairi daerah pertanian. Hal ini akan mengakibatkan masyarakan
mengalami kekurangan air untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Lahan pertanian
menjadi kering juga tidak dapat ditanami dan petani menjadi merugi dan tidak mempunyai
penghasilan dari panen hasil pertaniannya. Kerugian yang kita peroleh dari bencana
kekeringan ini diantaranya berdampak pada usaha peternakan yang mana karena penduduk
tidak punya bahan makanan untuk ternaknya sehingga harus membeli makanan ternak dari
daerah lain. Kekeringan juga merugikan usaha perikanan, dan bidang usaha lain yang
membutuhkan ketersediaan air yang cukup.

Dampak dari bencana kekeringan ini akan muncul sebagai akibat dari kurangnya
ketersediaan air yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara permintaan akan air
(kebutuhan air) dengan persediaan air suatu wilayah. Ada dua dampak besar yang akan
ditimbulkan yaitu dampak fisik dan dampak non-fisik.

a) Fisik
1) Kerusakan terhadap habitat spesies ikan dan binatang.
2) Erosi-erosi angin dan air terhadap tanah.
3) Kerusakan spesies tanaman.
4) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas air (salinisasi).
5) Pengaruh-pengaruh terhadap kualitas udara (debu, polutan, berkurangnya daya pandang).
6) Kekeringan juga menjadikan tanah menjadi mengeras dan retak-retak, sehingga sulit untuk
dijadikan lahan pertanian.
7) Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim kemarau menjadikan suhu
udara sangat tinggi dan sebaliknya pada malam hari suhu udara sangat dingin. Perbedaan
suhu udara yang berganti secara cepat antara siang dan malam menyebabkan terjadinya
pelapukan batuan lebih cepat.
b) Non Fisik
1) Ekonomi
(a) Kerugian-kerugian produksi tanaman pangan, susu, ternak, kayu, dan perikanan.
(b) Kerugian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
(c) Kerugian pendapatan petani dan lain-lain yang terkena secara langsung.
(d) Kerugian-kerugian dari bisnis turisme dan rekreasi.
(e) Kerugian pembangkit listrik tenaga air dan meningkatkan biaya-biaya energi.
(f) Kerugian-kerugian yang terkait dengan produksi pertanian.
(g) Menurunya produksi pangan dan meningkatnya harga-harga pangan.
(h) Pengangguran sebagai akibat menurunnya produksi yang terkait dengan kekeringan.
(i) Kerugian-kerugian pendapatan pemerintah dan meningkatnya kejenuhan pada
lembaga-lembaga keuangan.
2) Sosial Budaya
(a) Pada saat mengalami kekeringan, tanah akan menjadi kering dan lembut dan akan
menjadi debu yang akan menyebabkan penyakit pada manusia, dimana hal tersebut
dapat menganggu kesehatan manusia seperti sesak nafas.
(b) Banyak manusia yang mengalami kekurangan gizi dan kelaparan
(c) Manusia banyak yang meninggal akibat penyakit yang diderita karena kekeringan
(d) Antara pengguna air banyak yang konflik akibat berebut air
(e) Kondisi kehidupan di daerah pedesaan menurun
(f) Banyak pengangguran pada petani akibat sawah kering
(g) Terjadi migrasi ke luar negeri karena untuk mendapatkan pekerjaan
B. Penanggulangan Bencana Kekeringan
Ponce, et al. (2003) menyatakan bahwa dampak negatif kekeringan bisa dikurangi
melalui upaya-upaya persiapan (antisipasi) dan mitigasi. Komponen rencana antisipasi dan
mitigasi kekeringan terdiri dari prediksi (pendugaan), monitoring, penaksiran, dampak, dan
respon (Ponce & The Ojos Negros Research Group, 2003). Sedangkan Wilhite (2014)
menyatakan bahwa mitigasi kekeringan meliputi : a) pembangunan sistem peringatan dini,
sistem informasi yang komprehensif, dan menyempurnakan pendugaan musim, b)
meningkatkan konservasi air, berupaya mengurangi permintaan (demand) air, meningkatkan
suplai air melalui pemanfaatan sumber-sumber air yang lebih optimal, membangun
tampungan air (reservoirs), menghubungkan persediaan air antar kelompok masyarakat yang
berdekatan, c) menyusun perencanaan mitigasi kekeringan, dan d) penyadaran publik
(Wilhite, Sivakumar, & Pulwarty, 2014).
Wilhite, et al. (2014) menyatakan bahwa ada tiga tipe kebijakan untuk
penanggulangan bencana kekeringan. Pertama, kebijakan reaktif yang dilakukan pemerintah
dengan memberi bantuan langsung untuk melegakan penderitaan korban bencana kekeringan,
dengan jalan mendistribusikan air bersih, pemberian uang dan makanan, dan lain-lain. Tipe
kedua yaitu dengan mengembangkan program untuk mengurangi kerentanan dan dampak
bencana, atau disebut mitigasi. Tipe terakhir yaitu perencanaan dan implementasi kebijakan
penanggulangan bencana kekeringan, dengan membangun kapasitas kelembagaan yang lebih
besar, difokuskan pada peningkatan koordinasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan
terkait (Wilhite et al., 2014).
Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tips siaga bencana
kekeringan yaitu sebagai berikut:
Pra bencana
 Masyarakat harus memanfaatkan sumber air yang ada secara efektif dan efisien
 Menanam pohon sebanyak-banyaknnya di lingkungan
 Membuat dan memperbanyak resapan air dengan tidak menutup semua permukaan
dengan plester semen atau ubin keramik
 Membuat waduk disesuaikan dengan keadaan lingkungan
 Memberikan perlindungan sumber sumber air bersih yang tersedia, dan melakukan panen
dan konservasi air
 Memprioritaskan pemanfaatan sumber air yang tersedia untuk keperluan air baku untuk
air bersih.
Saat terjadi bencana
 Membuat sumur pantek atau sumur bor untuk mendapatkan air
 Menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah disediakan oleh dinas terkait
 Melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan
 Menyediakan pompa air
 Melakukan pengaturan pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir giling.
C. Tindakan Kesehatan Pra-Saat-Pasca Bencana
Pemerintah telah mengatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana dan hal tersebut merupakan sebuah upaya pemerintah yang
memiliki tujuan agar merubah paradigma penanganan bencana di Indonesia.
Adapun tahapan tindakan pra saat dan pasca bencana :
1. Pada saat pra bencana
Ya itu perlu dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan bencana,
pencegahan pengurangan risiko bencana, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan serta penegakan rencana tata ruang.
2. Pada saat bencana terjadi
Masyarakat harus tanggap darurat Yaitu mencakup pengkajian terhadap
kerusakan, sumber daya, lokasi pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan
kesehatan.
3. Pada saat pasca bencana terjadi
Meliputi seluruh kegiatan rehabilitasi yang termasuk perbaikan sarana dan
prasarana umum, pemulihan daerah bencana, bantuan perbaikan rumah dan
rekonstruksi pembangunan.
Daftar Pustaka

BNPB. Tips Siaga Bencana. BNPB (Online). https://bnpb.go.id/publikasi/siaga-bencana/siaga-


bencana-kekeringan.html. diakses pada 26 Oktober 2019.
Kodoatie, Robert J. 2011. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar.

Nugraha, Reza Putra. 2015. “Aplikasi SPEI dan SPI Sebagai Indeks Kekeringan Meteorologis”.
Skripsi. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ponce, V. M., & The Ojos Negros Research Group. 2003. Three issues of sustainable
management in the Ojos Negro Valley, Baja California, Mexico. Retrieved from
http://threeissues.sdsu.edu/three_is sues_droughtfacts04.html.
Wilhite, D. A., Sivakumar, M. V. K., & Pulwarty, R. (2014). Managing drought risk in a
changing climate : The role of national drought policy. Weather and Climate Extremes,
3(March 2013), 4–13. http://doi.org/10.1016/j.wace.2014. 01.002.

Anda mungkin juga menyukai