Anda di halaman 1dari 11

ANALISA KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN SUMBER

DAYA AIR
Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang mengancam kehidupan dan
menimbulkan kerugian besar. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007)
menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir, dan proyeksi
iklim menunjukkan bahwa hal ini akan semakin parah di masa mendatang. Hal ini akan memberikan
dampak yang besar terutama untuk negara berkembang.
Salah satu komponen penting dari strategi untuk pengendalian kekeringan adalah sistem
pemantauan kekeringan yang komprehensif yang dapat memberi peringatan pada awal dan
berakhirnya kekeringan, menentukan tingkat keparahan, dan menyebar-luaskan informasi
kekeringan pada berbagai sektor terutama sektor pertanian, air bersih, energi, dan kesehatan,
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air. Dalam kaitannya dengan ancaman bencana kekeringan, maka perlu
dilakukan analisis kekeringan untuk mengevaluasi bencana kekeringan yang terjadi, untuk digunakan
sebagai bahan perencanaan pengelolaan sumber daya air strategis dalam Pola dan Rencana
Pengelolaan Sumber Daya Air, serta Rencana Alokasi Air Tahunan. Sedangkan pada tingkat
operasional, untuk mengantisipasi bencana kekeringan yang akan terjadi, maka perlu adanya
pemantauan indikator kekeringan dan analisis untuk prediksi kekeringan (Gambar 1).

Gambar 1. Siklus manajemen bencana (Wilhite 1993)

KEKERINGAN
Kekeringan berbeda dengan bencana alam lainnya. Wilhite (2010) menyatakan empat
perbedaan antara kekeringan dengan bencana alam lainnya, yaitu:
1) Karena kekeringan merayap, berakumulasi secara lambat, maka awal dan akhir terjadinya sulit
ditentukan;
2) Tiadanya definisi yang tepat dan berlaku umum membuat kerancuan apakah telah terjadi
kekeringan, dan jika terjadi bagaimana tingkat keparahannya. Walaupun banyak terdapat definisi
tetapi tidak ada yang dapat sekaligus memberikan arti yang tepat untuk para ilmuwan, pengambil
keputusan, dan masyarakat luas. Contohnya, batas untuk menyatakan kekeringan pada
umumnya tidak terkait langsung dengan dampak spesifik pada sektor ekonomi;
3) Dampak kekeringan adalah non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor dan badai yang
menimbulkan kerusakan struktur secara nyata. Dampaknya menyebar lebih luas, tidak terlokalisir
seperti bencana alam lainnya;
4) Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, antara lain kekeringan
meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi.

1
Kekeringan Meteorologi dan Kekeringan Hidrologi
Kekeringan didefinisikan secara umum oleh UN-ISDR (2009) sebagai kekurangan curah hujan
dalam suatu periode waktu, biasanya berupa sebuah musim atau lebih, yang menyebabkan
kekurangan air untuk berbagai kegiatan, kelompok, atau sektor lingkungan. Kekeringan meteorologi
adalah kekurangan hujan dari yang normal atau yang diharapkan selama periode waktu tertentu.
Sedangkan kekeringan pertanian dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, parameter yang
menentukan potensi produksi tanaman. Kekeringan hidrologi adalah kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah.
Siklus hidrologi pada Gambar 2 menyajikan air hujan yang jatuh di muka bumi menjadi aliran
permukaan dan air tanah berdasarkan struktur geologi, dan tata guna lahan pada daerah aliran
sungai. Untuk memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari, irigasi, industri, dan
lainnya, manusia menggunakan air permukaan yang berada di sungai, danau dan waduk, dan air
tanah. Kekeringan meteorology, yaitu berkurangnya curah hujan yang berkepanjangan akan
mengakibatkan berkurangnya debit aliran sungai, muka air danau dan waduk, serta muka air tanah,
yang dinamakan kekeringan hidrologi. Besarnya debit aliran sungai serta jumlah air di danau dan
waduk bergantung pada curah hujan pada daerah tangkapan air, dan dipengaruhi oleh karakteristik
daerah tangkapan air yaitu geologi dan tata guna lahan, serta campur tangan manusia dalam
menggunakan air. Penyebab kekeringan, maka perhatian harus dipusatkan pada kekeringan
meteorologi; sedangkan dampak kekeringan dikaji melalui kekeringan hidrologi dan kekeringan
pertanian (Dracup et al. 1980).

Gambar 2. Diagram sebab akibat keterkaitan antara kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian,
dan kekeringan hidrologi.

Kekeringan meteorologi adalah variabilitas iklim berkurangnya curah hujan. Berkurangnya


hujan yang diiringi dengan meningkatnya suhu akan mengurangi lengas tanah dan disebut sebagai
kekeringan pertanian. Dengan berkurangnya curah hujan meningkatnya evaporasi dan berkurangnya
lengas tanah, maka menyebabkan kekeringan hidrologi, yaitu berkurang pula air yang tersedia di
sungai, danau dan waduk, serta air tanah.

2
Meningkat a

Gambar 3. Diagram sebab akibat keterkaitan antara kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologi

Selain dari penyebab kekeringan hidrologi yang bersifat alami tersebut diatas, bertambahnya
penduduk akan menyebabkan meningkat pula penggunaan air, yang jika tidak seimbang dengan
jumlah air yang tersedia juga akan mengurangi ketersediaan air di sungai, waduk dan air tanah.
Tekanan penduduk memerlukan lebih banyak ruang untuk aktivitasnya, yang mengubah tata guna
lahan dari hutan dan pertanian menjadi perkotaan dan permukiman sehingga mengurangi infiltrasi
dan pada gilirannya akan mengurangi ketersediaan air di sungai, waduk dan danau pada musim
kemarau

Kekeringan dan Kelangkaan Air


Kelangkaan air adalah situasi dimana sumber daya air tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan rata-rata jangka panjang. Kelangkaan air merupakan ketidakseimbangan jangka panjang,
dimana ketersediaan air kecil dari kebutuhan air, dan berarti bahwa kebutuhan air melebihi sumber
daya air yang dapat didayagunakan secara berkelanjutan [sustainable). Kelangkaan air adalah suatu
kondisi dimana pasokan atau kualitas air tidak dapat memenuhi kebutuhan semua sektor, termasuk
lingkungan. Sementara Van Loon, et al. (2012) menyatakan bahwa kelangkaan air disebabkan oleh
eksploitasi sumber daya air secara berlebihan, ketika kebutuhan air lebih besar dari ketersediaan air,
jadi berfokus pada akibat aktivitas manusia terhadap sistem hidrologi.
Perbedaan mendasar kekeringan dengan kelangkaan air adalah bahwa pengelolaan sumber
daya air dapat menanggulangi kelangkaan air, akan tetapi hanya dapat melakukan adaptasi terhadap
kekeringan dengan mengurangi kerentanan (vulnerability) dan meningkatkan ketahanan (resiIience)
dengan upaya pro-aktif. Palmer et al. (2008) dan Schiermeier (2008) menyarankan pergeseran fokus
pengelolaan kelangkaan air dari mengurangi kerentanan terhadap kekeringan menjadi mengurangi
eksploitasi berlebihan dari sumber daya air, atau dari menghadapi variabilitas alam menjadi
mengurangi akibat yang disebabkan oleh manusia (anthropogenic).

INDEKS KEKERINGAN
Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan
mengevaluasi kejadian kekeringan. Karena kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat
tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia, maka tidak ada sebuah
indeks kekeringan yang berlaku universal. Sesuai dengan jenis kekeringan, terdapat pula indeks
kekeringan meteorologi, indeks kekeringan hidrologi, dan indeks kekeringan pertanian (Niemeyer,
2008). Indeks kekeringan menggabungkan berbagai data mengenai curah hujan, salju, debit aliran
sungai dan berbagai indikator ketersediaan air pada sebuah gambaran yang komprehensif. Suatu

3
indeks kekeringan pada umumnya merupakan sebuah angka, yang jauh lebih berguna dari banyak
data mentah untuk pengambilan keputusan (Hayes, 1999). Indeks kekeringan mendefinisikan
beberapa parameter kekeringan, yaitu intensitas, durasi, keparahan, dan sebaran spasialnya. Skala
waktu yang kerap digunakan adalah tahun dan bulan. Untuk menyatakan kondisi kekeringan yang
terkait dengan pertanian, penyediaan air, dan air tanah, paling sesuai adalah interval waktu bulan
(Panu and Sharma, 2002). Deret waktu (time-series) dari indeks kekeringan memberikan dasar untuk
mengevaluasi kejadian kekeringan (Ashok dan Singh, 2010). Indeks kekeringan digunakan untuk
mendukung pengelolaan kekeringan.
Persyaratan indeks kekeringan yang ideal untuk sistem pemantauan kekeringan menurut Rossi
et al. (2007) adalah:
a) menyatakan kekurangan air dalam komponen meteorologi dan hidrologi;
b) menggunakan data hidro-meteorologi yang mudah diperoleh secara tepat waktu;
c) dapat menjelaskan kondisi kekeringan, walau masih dalam tahap awal kekeringan;
d) dapat membandingkan berbagai kondisi kekeringan yang berbeda waktu dan lokasi;
e) menjelaskan dampak kekeringan; dan
f) dapat menilai tingkat kekeringan untuk memandu tindakan yang harus dilakukan.
Indeks kekeringan meteorologi telah memiliki metode yang disepakati dunia, yaitu
Standardized Precipitation Index (SPI), yang juga telah banyak digunakan dalam berbagai studi
kekeringan di Indonesia. Sedangkan untuk kekeringan hidrologi, sampai saat ini belum diperoleh
kesepakatan mengenai indeks kekeringan hidrologi yang dapat digunakan secara global. Di
Indonesia masih belum ada indeks kekeringan hidrologi yang telah diterapkan. Indeks kekeringan
hidrologi merupakan fungsi dari indikator kekeringan hidrologi, yaitu data yang diamati di lapangan,
yang berkaitan dengan kekeringan hidrologi, yaitu yang mudah tersedia adalah: debit aliran sungai,
serta muka air danau dan waduk. Semakin hari kekeringan hidrologi menjadi semakin rumit dengan
adanya campur tangan manusia berupa infrastruktur sumber daya air, hukum dan kelembagaan.

Berbagai Jenis Indeks Kekeringan


Berbagai jenis indeks kekeringan yang terdiri atas indeks kekeringan meteorologis, hidrologis,
pertanian, dan gabungan. Deskripsi dan aplikasi berbagai indeks kekeringan tersebut disajikan
secara singkat pada Tabel 1,2, dan 3.

Tabel 1. Indeks Kekeringan Meteorologi


Indeks Metode Aplikasi
Prosentase Prosentase dari hujan aktual Baik untuk suatu daerah dan musim tertentu. populer
Normal dari hujan normal. dalam menyatakan prakiraan cuaca. Tidak dapat
Hujan normal dihitung dari data menentukan frekuensi penyimpangan; tidak mampu
seri yang panjang (minimal 30 mengidentifikasi dampak kekeringan atau untuk
tahun) rencana mitigasi kekeringan, belum mengakomodasi
distribusi hujan yang tak simetris.
Desil Desil pada curah hujan Di Australia petani mendapat bantuan pemerintah
bulanan. jika kekeringan desil 1 dan 2;
Dibawah median atau desil Baik untuk respon kekeringan meteorologis,
yang ke 50'X«, dibagi atas 5 memberikan gambaran statistik yang akurat
buah desil. Indeks ini banyak Memerlukan data yang panjang
menggantikan prosentase
normal
SPI, Standardized Data dinormalisasi, Untuk peringatan dini kekeringan, menyatakan
Precipitation Index McKee berdasarkan data seri keparahan kekeringan, cocok untuk manajemen
et al. (1993) yang panjang (minimal 30 resiko. Dapat dihitung untuk berbagai skala waktu,
Meteorologi tahun) menilai keparahan kekeringan. Relatif sederhana.
Telah disepakati dunia sebagai indeks kekeringan
meteorologis
PDSI, Palmer Drought Berdasarkan hujan dan suhu, Telah lama dan banyak digunakan di Amerika Untuk
Severity Index Palmer dihitung lengas tanah Lengas mewaspadai kekeringan pertanian. Secara spasial
(1965) tanah perlu dikalibrasi tidak konsisten, indeks antar wilayah tidak dapat
dibandingkan
Keetcfi-8yrom Drought Berdasarkan hujan dan suhu Sistem peringatan dini kebakaran hutan
Index (KBDI) Kalimantan,
Bappenas (1999),
Hoffmann et al..(1999)
EDI (Effective Drought Penyempurnaan SPI, dengan Menghitung tingkat kekeringan harian, sesuai untuk

4
Index) menggunakan hujan efektif kekeringan yang berlangsung singkat maupun
harian tahunan.

Tabel 2. Indeks Kekeringan Pertanian


Indeks Metode Aplikasi
CMI, Crop Moisture Index Pengembangan PDSI, dengan Cocok untuk pertanian pada awal musim
Palmer (1968) memasukkan lengas tanah tanam di musim panas. Kurang sesuai untuk
kekeringan yang berkepanjangan
Normalised Difference Menyatakan stress tanaman Untuk pertanian
Vegetation Index (NDVI) melalui infra merah data satelit

Tabel 3. Indeks Kekeringan Hidrologis


Indeks Metode Aplikasi
SWSI, Surface Water Supply Berdasarkan probabilitas tak- Melengkapi Palmer di negara bagian
Index terlampaui dari data debit, Colorado, dimana peranan salju dominan.
Shafer and Dezman (1982) hujan, salju dan muka air waduk Memonitor dampak kekeringan hidrologi pada
air baku, irigasi dan energi
SRI: Standardized Runoff Index Serupa SPI untuk runoff DAS Segura, Spanyol. Digabung menjadi
WS & D Expert Group Meeting debit tahunan dan tampungan waduk (CHS)
WFD CIS yang berkorelasi erat dengan SRI12. Untuk
Drought Contingency Plan, dan Drought Risk
Management Plan
Sequential Peak Analysis (SPA) Urutan debit rendah dibawah Zimbwabe (Nyabeze, 2004). Sederhana
batas tertentu
PHDI, Palmer Hydrological Berdasarkan PDSI untuk Digunakan NCDC untuk menentukan hujan
Drought Index menyatakan kekeringan yang mengakhiri kekeringan. Kelemahannya
hidrologi respon terhadap kekeringan lambat
Streamflow Drought Index Volume debit kumulatif dalam 3, Di Yunani. Sederhana dan efektif menyatakan
(SDI) Nalbatis dan Tsakiris 6, 9, dan 12 bulan tingkat kekeringan pada titik pengukuran
(2009) debit.
Q80Y», Q90Y» Indonesia Tingkat kekeringan dinyatakan Sederhana, dan terkait dengan keandalan
(Rancangan perMenPU) dengan debit andalan Q80% pasokan irigasi dan air bersih. Belum dapat
dan Q90'X» menyatakan durasi dan tingkat keparahan
kekeringan
Indeks gabungan (Ceylan, kombinasi hujan dan air di Di Turki
2009) waduk
Aggregate Drought Index Menggunakan data hujan, ADI bulanan dihitung dengan analisis
(ADI) Dracup (2004) debit, evapotranspirasi, dan komponen utama
lengas tanah.

Indeks Kelangkaan Air


Kelangkaan air (water scarcity) adalah untuk kekurangan air yang disebabkan oleh kebutuhan
air manusia. Indeks Kelangkaan Air (IKA) mengkaitkan kebutuhan air dengan ketersediaan air. Indeks
Kelangkaan Air (IKA) yang biasa digunakan adalah
1) Falkenmark Index (FI) yang merupakan jumlah air per-kapita dalam setahun; dan
2) Critically Index (CI) yaitu rasio antara kebutuhan terhadap ketersediaan (Brown dan Matlock,
2011).
Kelemahan kedua IKA tersebut adalah tidak memperhitungkan infrastruktur sumber daya air.
Untuk mengatasi kelemahan ini diusulkan penggunaan Faktor-K yang merupakan rasio antara pasok
dan kebutuhan air pada infrastruktur sumber daya air, sehingga menyatakan tingkat pemenuhan
kebutuhan air atau tingkat kelangkaan air pada infrastruktur sumber daya air, misalnya pada bendung
irigasi.
Di Indonesia sejak zaman Belanda telah dikenal adanya sistem pasten, yaitu alokasi air yang
menggunakan Faktor-K, yang didefinisikan sebagai ketersediaan air dibagi dengan kebutuhan air di
bendung. Sampai saat ini berdasarkan Pedoman dari Kementerian Pekerjaan Umum, di Faktor-K
masih digunakan di Indonesia untuk pemberian air di bendung dan petak tersier. Faktor-K yang
merupakan perbandingan antara penyediaan air dengan kebutuhan air telah diterapkan di Jawa sejak
jaman Belanda untuk mencapai keadilan alokasi air. Sampai dengan saat ini Faktor-K masih
digunakan di bendung irigasi dan bangunan bagi lainnya. Faktor-K ini menyatakan keandalan

5
pasokan air secara volume. Keandalan pasokan air jenis lainnya adalah yang berdasarkan waktu,
misalnya penyediaan air irigasi dengan tingkat keandalan 80%.
Jika pada suatu sistem penyediaan air terdapat waduk, yang menyimpan air di musim hujan
untuk digunakan pada musim kemarau, maka tingkat keandalan sistem, yang dinyatakan dalam
Faktor-K akan meningkat. Dengan demikian Faktor-K menyatakan tingkat pemenuhan kebutuhan air
dan keandalan sistem secara volumetrik, yang dapat diterapkan pada berbagai penggunaan air di
wilayah sungai, tidak hanya terbatas pada irigasi. Untuk mencapai keadilan alokasi air, kelompok
pengguna air yang sama, misalnya sesama irigasi, diatur untuk mencapai Faktor-K yang sama pula.
Akan tetapi antar pengguna air, misalnya untuk air bersih dan irigasi dapat memiliki Faktor-K yang
berbeda sesuai dengan prioritasnya.

Indeks Kekeringan dan Kelangkaan Air dalam Upaya


Mitigasi
Kekeringan dan Kelangkaan Air
Diagram sebab akibat pada Gambar 4 menunjukkan bahwa indeks kekeringan meteorologi IKM
dan indeks kekeringan hidrologi IKH memiliki fungsi yang penting dalam mitigasi bencana kekeringan,
yaitu sebagai masukan utama dari pengelolaan kekeringan, dalam memberikan evaluasi secara
obyektif mengenai tingkat kekeringan yang terjadi, dan dapat digunakan untuk deteksi dini dalam
rangka antisipasi bencana kekeringan

Gambar 4, Diagram sebab-akibat penyebab kekeringan dan kelangkaan air serta upaya mitigasinya

METODE ANALISIS KEKERINGAN


Analisis kekeringan dan kelangkaan air dilaksanakan sesuai dengan jenis kekeringan, yaitu
kekeringan meteorologi dari curah hujan, kekeringan hidrologi di sungai, kekeringan hidrologi di
danau dan waduk, serta kelangkaan air di pengguna air, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

6
air

Gambar 5. Analisis Kekeringan Hidrologi dan Kelangkaan air

Indeks Kekeringan Berdasarkan Theory of Run


Banyak indeks kekeringan, termasuk SPI (McKee, 1993) yang telah menjadi standar di dunia
untuk indeks kekeringan meteorologi, didasarkan atas Theory of Run. Adalah Yevjevich (1967) yang
memperkenalkan penggunaan cabang ilmu statistika yang dinamakan theory of run untuk mengkaji
kejadian kekeringan. Metode yang memerlukan data seri yang urut ini dinamakan juga sebagai
Sequent Peak Algorithm yang lazim digunakan dalam menentukan kapasitas tampungan waduk
berdasarkan data air masuk waduk dan air keluar dari waduk yang diharapkan.
Indikator kekeringan seperti misalnya data runtut waktu hujan atau debit X‹ dipotong pada
suatu ambang batas Xo, yang dapat berupa nilai rata-rata, median, atau persentil tertentu, atau angka
lainnya yang dapat berupa angka tetap maupun bervariasi menurut musim. Kekeringan didefinisikan
sebagai kondisi bilamana nilai indikator setelah dipotong berada di bawah garis ambang batas, atau
dengan lain perkataan jika nilainya negatif setelah dilakukan pemotongan. Selanjutnya Theory of Run
diterapkan pada data runtut waktu (time-series) indikator kekeringan yang telah dipotong,
sebagaimana disajikan pada Gambar 6 (Mishra and Singh, 2010). Durasi kekeringan D (Duration)
adalah panjang waktu antara garis memotong Xo menjadi negatif sampai dengan memotong Xo
menjadi positif. Tingkat kekeringan M (magnitude) dari suatu kejadian kekeringan adalah jumlah
kumulatif defisit di bawah ambang batas Xo. Sedangkan intensitas kekeringan I (Intensity) adalah
rata-rata penyimpangan dari Xo, atau hasil bagi antara keparahan dengan durasi
I=M/D

Gambar 5. Mendefinisikan kejadian kekeringan

Gambar 5 menunjukkan tiga buah kejadian kekeringan. Kejadian pertama merupakan kejadian
kekeringan yang paling parah; kejadian kedua adalah kejadian kekeringan yang paling lama
durasinya, dan kejadian ketiga merupakan kekeringan dengan intensitas tertinggi. Yevjevich (1967)

7
menggunakan istilah run-sum, run-length, dan run-intensity untuk menyatakan keparahan, durasi dan
tingkat kekeringan (magnitude) yang digunakan oleh Dracup et al. (1980).
Prosedur analisis run adalah: normalisasi distribusi, pemotongan batas kekeringan, dan kajian
durasi, intensitas atau magnitude, dan tingkat keparahan (severity) kekeringan. Pembakuan data
terhadap nilai tengahnya, dapat dilakukan dengan cara transformasi menjadi prosentase rata-rata,
penyimpangan dari rata-rata, atau dibuat menjadi baku normal-z. Pembakuan debit menjadi normal-z
ini tidak berdimensi, jadi dapat dibandingkan dengan data baku normal-z. Kekeringan terjadi jika data
berada dibawah tingkat potong, dan durasi kekeringan adalah waktu selama data tetap berada di
bawah ambang batas potong. SPI dan SRI menggunakan batas potong rata-rata. Edossa et al.
(2010) menggunakan batas potong debit andalan 70%, 80% dan 95a» menentukan tingkat keparahan
kekeringan.

Transformasi Normal Baku


Agar tingkat kekeringan berlaku secara umum, tidak bergantung pada lokasi dan waktu, serta
untuk memberikan nilai kemungkinan terjadinya tingkat kekeringan tersebut, maka dilakukan
transformasi normal baku sebagai berikut:
z = (Q— A)/ s
Dengan keterangan:
A‹ adalah rata-rata debit Q
So adalah simpangan baku debit Q
Maka Z akan mendekati distribusi normal baku dengan rata-rata 0 dan variansi 1.

Ambang Batas Tetap dan Ambanp Batas Musiman


Ambang batas potong (truncation threshold level) dapat berupa: a) suatu bilangan konstan,
misalnya debit rata-rata, atau debit andalan Q80'»; atau b) bervariasi menurut musim, atau bulan,
misalnya debit rata-rata atau debit andalan Q80% bulan Januari sampai dengan Desember. Ambang
batas musiman ini digunakan untuk menghilangkan efek musiman (seasonality) dalam analisis.

Transformasi Distribusi Statistik


Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa data debit aliran sungai tidak selalu memiliki
distribusi normal, Oleh karena itu dapat dilakukan transformasi distribusi statistik, yaitu LogNormal
atau Gamma pada data asli menjadi misalnya
X = Ln (Q)
Dan selanjutnya pada variabel X dapat ditransformasi menjadi normal bak. Dengan demikian terdapat
berbagai variasi metode untuk mendapatkan indeks kekeringan dari data asli sebagaimana disajikan
pada Gambar 6, yaitu: a) pemotongan dengan ambang batas yang tetap atau musiman; b) berbagai
probabilitas terlampauinya tingkat kekeringan, misalnya 50%, 80% dan 90%; dan c) penggunaan
berbagai distribusi statistik (Normal, LogNormal, atau Gamma).

Gambar 6. Berbagai kombinasi pembentukan IKH berdasarkan debit aliran sungai

8
Indeks Kekeringan SPI
Metode Standardized Precipitation Index (SPI) dikembangkan oleh Me. Kee et al. (1993) untuk
menganalisis secara kuantitatif defisit hujan dengan berbagai skala waktu. Perhitungan SPI diawali
dengan mengurangi hujan yang sebenarnya terjadi dengan hujan rata-rata menggunakan skala waktu
tertentu, dibagi dengan simpangan bakunya. Selanjutnya mengubah data menjadi bentuk peluang
kumulatif dengan jenis distribusi Gamma, untuk kemudian diubah menjadi bentuk distribusi Normal
Baku sebagai nilai indeks kekeringan SPI. Pada dasarnya proses perhitungan SPI merupakan upaya
untuk menjadikan deret data asli menjadi seragam sehingga dapat dibandingkan dengan kawasan
lain atau regionalisasi.
Kejadian kekeringan didefinisikan sebagai waktu pada saat SPI bertanda negatif terus menerus
sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut dinamakan durasi kekeringan. Jika nilai SPI
dijumlahkan selama tenggang waktu durasi kekeringan tersebut, maka akan menggambarkan jumlah
kekeringan atau tingkat keparahan kekeringan. Intensitas kekeringan adalah jumlah kekeringan dibagi
dengan durasi kekeringan (Hayes,1999) dan (McKee,1993). Deret SPI, akhirnya merupakan deret
waktu dengan distribusi frekuensi mendekati Normal, setelah melalui proses transformasi
(Gammanisasi) dan standardisasi menjadi Normal, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7. Nilai
SPI akan positif jika hujan diatas hujan rata- rata, dan negatif jika sebaliknya. Penyimpangan nilai SPI
dari rata-rata terkait dengan probabilitas terjadinya kekeringan, dan dapat digunakan untuk kajian
resiko kekeringan. Deret waktu SPI dapat digunakan untuk pemantauan kekeringan dengan
mendefinisikan batas untuk menentukan awal dan akhir terjadinya kekeringan. Tingkat keparahan
kekeringan dapat dianalisis melalui akumulasi nilai SPI (Adidarma et al., 2011)

Gambar 7. Distribusi frekuensi hujan bulanan asli dan setelah diubah menjadi SPI (Adidarma et al,
2011)

Indeks kekeringan SPI ini sangat populer dan diterima oleh masyarakat dunia sebab
sederhana, dapat dihitung untuk berbagai selang waktu, dapat menyatakan tingkat keparahan
kekeringan, dan dapat digunakan untuk sistem peringatan dini kekeringan (Hayes, 1999). Detail
perhitungan SPI diuraikan secara lengkap oleh Adidarma dan kawan-kawan (2011)

Indeks Kekeringan Hidrologi untuk Debit Aliran Sungai


Debit aliran sungai merupakan salah satu indikator kekeringan hidrologi yang mudah diamati di
lapangan. Jika debit aliran sungai kecil, atau terjadi aliran rendah (low' flow], maka hal ini merupakan
gejala adanya kejadian kekeringan. Jika kekeringan dianalisis dengan menggunakan perangkat
analisis untuk aliran rendah yaitu analisis frekuensi dan kurva durasi aliran, maka dapat diperoleh
kala ulang terjadinya kekeringan, akan tetapi tidak seperti pada bencana banjir yang dicirikan dengan
besarnya puncak banjir, untuk kekeringan yang lebih penting adalah durasi lama terjadinya
kekeringan. Kekeringan hidrologi pada aliran sungai dapat dikatakan sebagai suatu kejadian aliran
rendah dengan tingkat keparahan tertentu (Zaidman, 2001).
Indeks kekeringan untuk debit aliran sungai yang populer adalah Standardized Runoff Index
(SRI), yang merupakan penerapan SPI untuk debit aliran sungai (Shukla dan Wood, 2008).
Sebagaimana indeks kekeringan meteorologi SPI, indeks kekeringan SRI juga berdasarkan distribusi
Gamma. Pada tulisan ini digunakan SRI.GM dengan distribusi Gamma, atau juga disebut Adidarma
(2006) sebagai SPIQ; serta pengembangannya dengan distribusi Normal dan LogNormal, yang untuk
selanjutnya dinamakan SRI.ND dan SRI.LN. Serupa dengan SPI, maka SRI dapat dibuat untuk
1bulan, rata-rata nilai 3 bulanan, 6 bulanan, dan 12 bulanan
Tingkat keparahan kekeringan pada suatu saat dapat dinilai berdasarkan besaran indeks
kekeringan pada bulan yang bersangkutan. Sedangkan untuk setiap tahun dapat dihitung jumlah
kekeringan atau tingkat keparahan kekeringan tahunan, serta durasi lama kekeringan yang terjadi
dalam suatu tahun. Prosedur perhitungan indeks kekeringan hidrologi SRI ini adalah sebagai berikut:
1. Kumpulkan data debit aliran sungai bulanan. Lengkapi data debit yang kosong dengan analisis
hujan-aliran, interpolasi atau teknik melengkapi data debit lainnya.

9
2. Susun debit runtut waktu Q1, Q3, Q6, dan Q12, yaitu data rata-rata bulanan, 3 bulanan, 6
bulanan, dan 12 bulanan.
3. Pilih distribusi statistik yang sesuai dengan debit runtut waktu tersebut diatas, antara lain pilihan
distribusi Normal, LogNormal, dan Gamma.
4. Transformasi data sesuai dengan distribusi yang sesuai.
5. s) Transformasi data menjadi baku normal, dengan rata-rata nol dan variansi satu.
6. Tentukan ambang batas pemotongan, misalnya nol untuk nilai rata-rata atau Q50%, -1,84 untuk
debit andalan Q80P»
7. Transformasi data menjadi indeks kekeringan hidrologi SRI seusai dengan distribusi statistik yang
sesuai dan ambang batas potong yang ditentukan.

Reservoir Deficit Index


Kekurangan air pada danau dan waduk dapat diamati melalui tinggi muka air waduk, yang
selanjutnya dengan rumus atau tabel hubungan antara tinggi dan volume waduk dapat dihitung
volume air di waduk. Indeks Kekeringan Hidrologi Reservoir Deficit Index (RDI) merupakan rasio
antara tinggi muka air waduk pada suatu waktu, dengan median dari muka air waduk pada bulan
yang sama (Freese et al. 2011).
RDI = (wl - Mwl) / Mwl
Dengan keterangan:
wl = muka air waduk
Mwl = median muka air waduk
Persamaan ditas ini menyatakan penyimpangan tinggi muka air waduk terhadap median tinggi
muka air waduk pada bulan yang sama, dan selanjutnya dibakukan dengan membagi median pada
bulan tersebut, sehingga RDI menyatakan berapa persen penyimpangan tinggi muka air dari median
tiap bulan. Kesederhanaan RDI yang hanya membutuhkan data tinggi muka air waduk atau danau,
memungkinkan dapat diterapkan pada setiap waduk dan danau di Indonesia. Kategori kekeringan
RDI ini adalah Prosedur perhitungan indeks kekeringan pada waduk dan danau Kumpulkan data
runtut waktu bulanan tinggi muka air atau volume air pada danau atau waduk. Hitung indeks
kekeringan hidrologi untuk danau, RDI dengan berdasarkan rumus diatas.

Faktor-K sebagai Indeks Kelangkaan Air untuk Alokasi Air


Faktor-K merupakan perbandingan antara penyediaan air dengan kebutuhan air, yang telah
diterapkan di Indonesia sejak jaman Belanda untuk mencapai keadilan alokasi air. Sampai dengan
saat ini Faktor-K masih digunakan di bendung irigasi dan bangunan bagi lainnya. Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 32/PRT/ M/2007 tentang Pedoman Operasi Dan Pemeliharaan Jaringan
Irigasi menyatakan bahwa operasi jaringan irigasi pada bendung dilaksanakan dengan Perhitungan
faktor-K atau Faktor Palawija Relatif (FPR) yang dicatat dan dilaporkan dalam formulir 09-0.
Sedangkan untuk tingkat petak tersier diatur dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
498/KPTS/M/2005 tentang Penguatan Masyarakat Petani Pemakai Air Dalam Operasi dan
Pemeliharaan Jaringan Irigasi, yang menyatakan bahwa Rencana Pembagian Air (RPA) untuk pintu
tersier dilaksanakan berdasarkan faktor-K.
Faktor-K didefinisikan sebagai berikut:
Faktor-K = air tersedia / kebutuhan air(4-5)
Jika Faktor-K> 1, maka Faktor-K =1 (4-6)
Persamaan (4-6) menyatakan bahwa jika air yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan,
maka air yang dipasok akan sama dengan kebutuhan air. IKH dari Faktor-K diperoleh dengan
mengurangi Faktor-K yang menyatakan perbandingan antara pasok dan kebutuhan air, dengan
ambang batas.
IKH = Faktor-K —ambang batas (4-7)
Ambang batas yang digunakan pada studi ini adalah 1, sehingga jika Faktor-K = 1 maka IKH =
0 yang berarti tidak terjadi kekurangan air. Saat ini pada bendung irigasi biasa diterapkan Faktor-K
dengan klasifikasi seperti pada Tabel 4-1 berikut.

Tabel 4. Klasifikasi Faktor-K


Faktor-K Faktor- Klasifikasi
K * 70% SOP s Annan
Faktor—K< 70% 30% fi Potensi rawan kekeringan
Faktor-K< 50% Rawan kekeringan
Faktor-K< 30a» Sangat rawan kekeringan

10
DAFTAR PUSTAKA

Adidarma, W. K., L. Martawati, Levina, dan 0. Subrata 2011. Model Monitoring Kekeringan dalam Kerangka
Manajemen Bencana yang Memberikan Informasi Secara Spasial dan Temporal. Jurnal teknik Hidraulik,
Vol. 2 No. 2, Desember 2011.
Dracup, John A., KilSeong Lee, and Edwin G. Paulson. 1980. “On the Definition of Droughts.” Water Resources
Research 16 (2): 297. doi:10.1029/WR016i002p00297.
http://www.agu.org/pubs/crossref/1980/WR016i002p00297.shtmI.
Edossa, DesalegnChemeda, Mukand Singh Babel, and Ashim Das Gupta. 2010. “Drought analysis in the Awash
river basin, Ethiopia.” Water resources management: 1441-1460. doi:10.1007/s11269-009-9508-0.
http://www.springerlink.com/index/a463727w342148x4.pdf.
Hayes, Michael J, 2007. “Drought Indices”, July 2007.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report, An
Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change, WMO, Geneva.
Mckee, Thomas B, Nolan J Doesken, and John Kleist. 1993. The relationship of drought frequency and duration
to time scales. In Eighth Conference on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California,
17-22.
Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh. 2010. “A review of drought concepts" Journal of Hydrology 391 (1-2): 202-
216. doi:10.1016/j.jhydroI.2010.07.012. http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2010.07.012.
Niemeyer, S. 2008. “New drought indices.” Water Management (80): 267-274.
Panu, U. S., dan T. C. Sharma. 2002. "Challenges in drought research: some perspectives and future
directions.”Hydrological Sciences Journal 47(August): 19-30
Rossi, G, V Nicolosi, and ACancelliere. 2007. “Recent methods and techniques for managing hydrological
droughts." Option Mediteraneane, Series A-80 (80): 251-265.
UN-ISDR, 2009. Drought Risk Reduction Framework and Practices. United Nations International Strategy for
Disaster Reduction.
Van Loon, A. F., and H. A. J. Van Lanen. 2012. “A process-based typology of hydrological drought.” Hydrology
and Earth System Sciences 16 (7) (July 6): 1915-1946. doi:10.5194/hess-16-1915-2012. http ://www .
hvdrol- earth- syst- sci.net/16/1915/2012/.
Wilhite, D A, 2010. Quantification of Agricultural Drought for Effective Drought Mitigation, inAgricultural Drought
Indices, Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June, 2010, Murcia, Spain, WMO, Geneva.
Yevjevich, Vujica. 1967. “An Objective Approach to Definitions and Investigations of Continental Hydrologic
Droughts” Hydrology Papers Colorado State University Fort Collins, Colorado (August).
Zaidman, MD. 2001. “Spatio-Temporal Development of Streamflow Droughts in North-West Europe.” Hydrology
and Earth System Sciences 5 (4): 733— 751. http://haI.archives-ouvertes.fr/hal-00304723/.

11

Anda mungkin juga menyukai