DAYA AIR
Kekeringan merupakan salah satu bencana alam yang mengancam kehidupan dan
menimbulkan kerugian besar. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007)
menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir, dan proyeksi
iklim menunjukkan bahwa hal ini akan semakin parah di masa mendatang. Hal ini akan memberikan
dampak yang besar terutama untuk negara berkembang.
Salah satu komponen penting dari strategi untuk pengendalian kekeringan adalah sistem
pemantauan kekeringan yang komprehensif yang dapat memberi peringatan pada awal dan
berakhirnya kekeringan, menentukan tingkat keparahan, dan menyebar-luaskan informasi
kekeringan pada berbagai sektor terutama sektor pertanian, air bersih, energi, dan kesehatan,
Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air. Dalam kaitannya dengan ancaman bencana kekeringan, maka perlu
dilakukan analisis kekeringan untuk mengevaluasi bencana kekeringan yang terjadi, untuk digunakan
sebagai bahan perencanaan pengelolaan sumber daya air strategis dalam Pola dan Rencana
Pengelolaan Sumber Daya Air, serta Rencana Alokasi Air Tahunan. Sedangkan pada tingkat
operasional, untuk mengantisipasi bencana kekeringan yang akan terjadi, maka perlu adanya
pemantauan indikator kekeringan dan analisis untuk prediksi kekeringan (Gambar 1).
KEKERINGAN
Kekeringan berbeda dengan bencana alam lainnya. Wilhite (2010) menyatakan empat
perbedaan antara kekeringan dengan bencana alam lainnya, yaitu:
1) Karena kekeringan merayap, berakumulasi secara lambat, maka awal dan akhir terjadinya sulit
ditentukan;
2) Tiadanya definisi yang tepat dan berlaku umum membuat kerancuan apakah telah terjadi
kekeringan, dan jika terjadi bagaimana tingkat keparahannya. Walaupun banyak terdapat definisi
tetapi tidak ada yang dapat sekaligus memberikan arti yang tepat untuk para ilmuwan, pengambil
keputusan, dan masyarakat luas. Contohnya, batas untuk menyatakan kekeringan pada
umumnya tidak terkait langsung dengan dampak spesifik pada sektor ekonomi;
3) Dampak kekeringan adalah non-struktural, tidak seperti banjir, tanah longsor dan badai yang
menimbulkan kerusakan struktur secara nyata. Dampaknya menyebar lebih luas, tidak terlokalisir
seperti bencana alam lainnya;
4) Terdapat berbagai jenis kekeringan, dengan parameter yang berbeda, antara lain kekeringan
meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi.
1
Kekeringan Meteorologi dan Kekeringan Hidrologi
Kekeringan didefinisikan secara umum oleh UN-ISDR (2009) sebagai kekurangan curah hujan
dalam suatu periode waktu, biasanya berupa sebuah musim atau lebih, yang menyebabkan
kekurangan air untuk berbagai kegiatan, kelompok, atau sektor lingkungan. Kekeringan meteorologi
adalah kekurangan hujan dari yang normal atau yang diharapkan selama periode waktu tertentu.
Sedangkan kekeringan pertanian dicirikan dengan kekurangan lengas tanah, parameter yang
menentukan potensi produksi tanaman. Kekeringan hidrologi adalah kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah dalam bentuk air di danau dan waduk, aliran sungai, dan muka air tanah.
Siklus hidrologi pada Gambar 2 menyajikan air hujan yang jatuh di muka bumi menjadi aliran
permukaan dan air tanah berdasarkan struktur geologi, dan tata guna lahan pada daerah aliran
sungai. Untuk memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari, irigasi, industri, dan
lainnya, manusia menggunakan air permukaan yang berada di sungai, danau dan waduk, dan air
tanah. Kekeringan meteorology, yaitu berkurangnya curah hujan yang berkepanjangan akan
mengakibatkan berkurangnya debit aliran sungai, muka air danau dan waduk, serta muka air tanah,
yang dinamakan kekeringan hidrologi. Besarnya debit aliran sungai serta jumlah air di danau dan
waduk bergantung pada curah hujan pada daerah tangkapan air, dan dipengaruhi oleh karakteristik
daerah tangkapan air yaitu geologi dan tata guna lahan, serta campur tangan manusia dalam
menggunakan air. Penyebab kekeringan, maka perhatian harus dipusatkan pada kekeringan
meteorologi; sedangkan dampak kekeringan dikaji melalui kekeringan hidrologi dan kekeringan
pertanian (Dracup et al. 1980).
Gambar 2. Diagram sebab akibat keterkaitan antara kekeringan meteorologi, kekeringan pertanian,
dan kekeringan hidrologi.
2
Meningkat a
Gambar 3. Diagram sebab akibat keterkaitan antara kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologi
Selain dari penyebab kekeringan hidrologi yang bersifat alami tersebut diatas, bertambahnya
penduduk akan menyebabkan meningkat pula penggunaan air, yang jika tidak seimbang dengan
jumlah air yang tersedia juga akan mengurangi ketersediaan air di sungai, waduk dan air tanah.
Tekanan penduduk memerlukan lebih banyak ruang untuk aktivitasnya, yang mengubah tata guna
lahan dari hutan dan pertanian menjadi perkotaan dan permukiman sehingga mengurangi infiltrasi
dan pada gilirannya akan mengurangi ketersediaan air di sungai, waduk dan danau pada musim
kemarau
INDEKS KEKERINGAN
Indeks kekeringan merupakan suatu perangkat utama untuk mendeteksi, memantau, dan
mengevaluasi kejadian kekeringan. Karena kekeringan memiliki karakter multi-disiplin yang membuat
tidak adanya sebuah definisi yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia, maka tidak ada sebuah
indeks kekeringan yang berlaku universal. Sesuai dengan jenis kekeringan, terdapat pula indeks
kekeringan meteorologi, indeks kekeringan hidrologi, dan indeks kekeringan pertanian (Niemeyer,
2008). Indeks kekeringan menggabungkan berbagai data mengenai curah hujan, salju, debit aliran
sungai dan berbagai indikator ketersediaan air pada sebuah gambaran yang komprehensif. Suatu
3
indeks kekeringan pada umumnya merupakan sebuah angka, yang jauh lebih berguna dari banyak
data mentah untuk pengambilan keputusan (Hayes, 1999). Indeks kekeringan mendefinisikan
beberapa parameter kekeringan, yaitu intensitas, durasi, keparahan, dan sebaran spasialnya. Skala
waktu yang kerap digunakan adalah tahun dan bulan. Untuk menyatakan kondisi kekeringan yang
terkait dengan pertanian, penyediaan air, dan air tanah, paling sesuai adalah interval waktu bulan
(Panu and Sharma, 2002). Deret waktu (time-series) dari indeks kekeringan memberikan dasar untuk
mengevaluasi kejadian kekeringan (Ashok dan Singh, 2010). Indeks kekeringan digunakan untuk
mendukung pengelolaan kekeringan.
Persyaratan indeks kekeringan yang ideal untuk sistem pemantauan kekeringan menurut Rossi
et al. (2007) adalah:
a) menyatakan kekurangan air dalam komponen meteorologi dan hidrologi;
b) menggunakan data hidro-meteorologi yang mudah diperoleh secara tepat waktu;
c) dapat menjelaskan kondisi kekeringan, walau masih dalam tahap awal kekeringan;
d) dapat membandingkan berbagai kondisi kekeringan yang berbeda waktu dan lokasi;
e) menjelaskan dampak kekeringan; dan
f) dapat menilai tingkat kekeringan untuk memandu tindakan yang harus dilakukan.
Indeks kekeringan meteorologi telah memiliki metode yang disepakati dunia, yaitu
Standardized Precipitation Index (SPI), yang juga telah banyak digunakan dalam berbagai studi
kekeringan di Indonesia. Sedangkan untuk kekeringan hidrologi, sampai saat ini belum diperoleh
kesepakatan mengenai indeks kekeringan hidrologi yang dapat digunakan secara global. Di
Indonesia masih belum ada indeks kekeringan hidrologi yang telah diterapkan. Indeks kekeringan
hidrologi merupakan fungsi dari indikator kekeringan hidrologi, yaitu data yang diamati di lapangan,
yang berkaitan dengan kekeringan hidrologi, yaitu yang mudah tersedia adalah: debit aliran sungai,
serta muka air danau dan waduk. Semakin hari kekeringan hidrologi menjadi semakin rumit dengan
adanya campur tangan manusia berupa infrastruktur sumber daya air, hukum dan kelembagaan.
4
Index) menggunakan hujan efektif kekeringan yang berlangsung singkat maupun
harian tahunan.
5
pasokan air secara volume. Keandalan pasokan air jenis lainnya adalah yang berdasarkan waktu,
misalnya penyediaan air irigasi dengan tingkat keandalan 80%.
Jika pada suatu sistem penyediaan air terdapat waduk, yang menyimpan air di musim hujan
untuk digunakan pada musim kemarau, maka tingkat keandalan sistem, yang dinyatakan dalam
Faktor-K akan meningkat. Dengan demikian Faktor-K menyatakan tingkat pemenuhan kebutuhan air
dan keandalan sistem secara volumetrik, yang dapat diterapkan pada berbagai penggunaan air di
wilayah sungai, tidak hanya terbatas pada irigasi. Untuk mencapai keadilan alokasi air, kelompok
pengguna air yang sama, misalnya sesama irigasi, diatur untuk mencapai Faktor-K yang sama pula.
Akan tetapi antar pengguna air, misalnya untuk air bersih dan irigasi dapat memiliki Faktor-K yang
berbeda sesuai dengan prioritasnya.
Gambar 4, Diagram sebab-akibat penyebab kekeringan dan kelangkaan air serta upaya mitigasinya
6
air
Gambar 5 menunjukkan tiga buah kejadian kekeringan. Kejadian pertama merupakan kejadian
kekeringan yang paling parah; kejadian kedua adalah kejadian kekeringan yang paling lama
durasinya, dan kejadian ketiga merupakan kekeringan dengan intensitas tertinggi. Yevjevich (1967)
7
menggunakan istilah run-sum, run-length, dan run-intensity untuk menyatakan keparahan, durasi dan
tingkat kekeringan (magnitude) yang digunakan oleh Dracup et al. (1980).
Prosedur analisis run adalah: normalisasi distribusi, pemotongan batas kekeringan, dan kajian
durasi, intensitas atau magnitude, dan tingkat keparahan (severity) kekeringan. Pembakuan data
terhadap nilai tengahnya, dapat dilakukan dengan cara transformasi menjadi prosentase rata-rata,
penyimpangan dari rata-rata, atau dibuat menjadi baku normal-z. Pembakuan debit menjadi normal-z
ini tidak berdimensi, jadi dapat dibandingkan dengan data baku normal-z. Kekeringan terjadi jika data
berada dibawah tingkat potong, dan durasi kekeringan adalah waktu selama data tetap berada di
bawah ambang batas potong. SPI dan SRI menggunakan batas potong rata-rata. Edossa et al.
(2010) menggunakan batas potong debit andalan 70%, 80% dan 95a» menentukan tingkat keparahan
kekeringan.
8
Indeks Kekeringan SPI
Metode Standardized Precipitation Index (SPI) dikembangkan oleh Me. Kee et al. (1993) untuk
menganalisis secara kuantitatif defisit hujan dengan berbagai skala waktu. Perhitungan SPI diawali
dengan mengurangi hujan yang sebenarnya terjadi dengan hujan rata-rata menggunakan skala waktu
tertentu, dibagi dengan simpangan bakunya. Selanjutnya mengubah data menjadi bentuk peluang
kumulatif dengan jenis distribusi Gamma, untuk kemudian diubah menjadi bentuk distribusi Normal
Baku sebagai nilai indeks kekeringan SPI. Pada dasarnya proses perhitungan SPI merupakan upaya
untuk menjadikan deret data asli menjadi seragam sehingga dapat dibandingkan dengan kawasan
lain atau regionalisasi.
Kejadian kekeringan didefinisikan sebagai waktu pada saat SPI bertanda negatif terus menerus
sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut dinamakan durasi kekeringan. Jika nilai SPI
dijumlahkan selama tenggang waktu durasi kekeringan tersebut, maka akan menggambarkan jumlah
kekeringan atau tingkat keparahan kekeringan. Intensitas kekeringan adalah jumlah kekeringan dibagi
dengan durasi kekeringan (Hayes,1999) dan (McKee,1993). Deret SPI, akhirnya merupakan deret
waktu dengan distribusi frekuensi mendekati Normal, setelah melalui proses transformasi
(Gammanisasi) dan standardisasi menjadi Normal, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7. Nilai
SPI akan positif jika hujan diatas hujan rata- rata, dan negatif jika sebaliknya. Penyimpangan nilai SPI
dari rata-rata terkait dengan probabilitas terjadinya kekeringan, dan dapat digunakan untuk kajian
resiko kekeringan. Deret waktu SPI dapat digunakan untuk pemantauan kekeringan dengan
mendefinisikan batas untuk menentukan awal dan akhir terjadinya kekeringan. Tingkat keparahan
kekeringan dapat dianalisis melalui akumulasi nilai SPI (Adidarma et al., 2011)
Gambar 7. Distribusi frekuensi hujan bulanan asli dan setelah diubah menjadi SPI (Adidarma et al,
2011)
Indeks kekeringan SPI ini sangat populer dan diterima oleh masyarakat dunia sebab
sederhana, dapat dihitung untuk berbagai selang waktu, dapat menyatakan tingkat keparahan
kekeringan, dan dapat digunakan untuk sistem peringatan dini kekeringan (Hayes, 1999). Detail
perhitungan SPI diuraikan secara lengkap oleh Adidarma dan kawan-kawan (2011)
9
2. Susun debit runtut waktu Q1, Q3, Q6, dan Q12, yaitu data rata-rata bulanan, 3 bulanan, 6
bulanan, dan 12 bulanan.
3. Pilih distribusi statistik yang sesuai dengan debit runtut waktu tersebut diatas, antara lain pilihan
distribusi Normal, LogNormal, dan Gamma.
4. Transformasi data sesuai dengan distribusi yang sesuai.
5. s) Transformasi data menjadi baku normal, dengan rata-rata nol dan variansi satu.
6. Tentukan ambang batas pemotongan, misalnya nol untuk nilai rata-rata atau Q50%, -1,84 untuk
debit andalan Q80P»
7. Transformasi data menjadi indeks kekeringan hidrologi SRI seusai dengan distribusi statistik yang
sesuai dan ambang batas potong yang ditentukan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Adidarma, W. K., L. Martawati, Levina, dan 0. Subrata 2011. Model Monitoring Kekeringan dalam Kerangka
Manajemen Bencana yang Memberikan Informasi Secara Spasial dan Temporal. Jurnal teknik Hidraulik,
Vol. 2 No. 2, Desember 2011.
Dracup, John A., KilSeong Lee, and Edwin G. Paulson. 1980. “On the Definition of Droughts.” Water Resources
Research 16 (2): 297. doi:10.1029/WR016i002p00297.
http://www.agu.org/pubs/crossref/1980/WR016i002p00297.shtmI.
Edossa, DesalegnChemeda, Mukand Singh Babel, and Ashim Das Gupta. 2010. “Drought analysis in the Awash
river basin, Ethiopia.” Water resources management: 1441-1460. doi:10.1007/s11269-009-9508-0.
http://www.springerlink.com/index/a463727w342148x4.pdf.
Hayes, Michael J, 2007. “Drought Indices”, July 2007.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2007. Climate Change 2007: Synthesis Report, An
Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change, WMO, Geneva.
Mckee, Thomas B, Nolan J Doesken, and John Kleist. 1993. The relationship of drought frequency and duration
to time scales. In Eighth Conference on Applied Climatology, 17-22 January 1993, Anaheim, California,
17-22.
Mishra, Ashok K, and Vijay P Singh. 2010. “A review of drought concepts" Journal of Hydrology 391 (1-2): 202-
216. doi:10.1016/j.jhydroI.2010.07.012. http://dx.doi.org/10.1016/j.jhydrol.2010.07.012.
Niemeyer, S. 2008. “New drought indices.” Water Management (80): 267-274.
Panu, U. S., dan T. C. Sharma. 2002. "Challenges in drought research: some perspectives and future
directions.”Hydrological Sciences Journal 47(August): 19-30
Rossi, G, V Nicolosi, and ACancelliere. 2007. “Recent methods and techniques for managing hydrological
droughts." Option Mediteraneane, Series A-80 (80): 251-265.
UN-ISDR, 2009. Drought Risk Reduction Framework and Practices. United Nations International Strategy for
Disaster Reduction.
Van Loon, A. F., and H. A. J. Van Lanen. 2012. “A process-based typology of hydrological drought.” Hydrology
and Earth System Sciences 16 (7) (July 6): 1915-1946. doi:10.5194/hess-16-1915-2012. http ://www .
hvdrol- earth- syst- sci.net/16/1915/2012/.
Wilhite, D A, 2010. Quantification of Agricultural Drought for Effective Drought Mitigation, inAgricultural Drought
Indices, Proceedings of an Expert Meeting 2-4 June, 2010, Murcia, Spain, WMO, Geneva.
Yevjevich, Vujica. 1967. “An Objective Approach to Definitions and Investigations of Continental Hydrologic
Droughts” Hydrology Papers Colorado State University Fort Collins, Colorado (August).
Zaidman, MD. 2001. “Spatio-Temporal Development of Streamflow Droughts in North-West Europe.” Hydrology
and Earth System Sciences 5 (4): 733— 751. http://haI.archives-ouvertes.fr/hal-00304723/.
11