Anda di halaman 1dari 18

OPTIMASI PADA PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR DALAM

PENGENDALIAN BANJIR DAN KEKERINGAN

Dosen Pengampu :

Eddy Nashrullah,S.T., M.T.


NIP. 19910708 202203 1 005

Oleh :

Antonio Sipasulta 2110811210050


Herman 2110811210066
Munawwaroh 2110811320044
Siti Lutfiyah Nur Jannah 2110811320051

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK SIPIL
BANJARBARU
2023
KATAPENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Makalah
berjudul "Optimasi pada Pengembangan Sumber Daya Air dalam Pengendalian Banjir
dan Kekeringan"ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Sumber
Daya Air.

Tidak lupa kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
dan dapat menjadi sumber inspirasi dalam upaya memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materi.

Kami selaku penulis berharap makalah ini dapat membantu menjelaskan pentingnya
optimasi dalam pengembangan sumber dayar air sebagai upaya dalam mengendalikan
banjir dan kekeringan. Makalah ini akan membahas konsep-konsep dasar mengenai
optimasi sumberdaya air, termasuk pemodelan matematika, algoritma, dan teknik
yang dapat digunakan dalam merencanakan dan mengelola sumber daya air secara
efisien.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan wawasan yang bermanfaat


bagi pembaca, terutama bagi mereka yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya air
dan penanggulangan banjir serta kekeringan. Kami juga berharap bahwa makalah ini
dapat mendorong upaya lebih lanjut dalam penelitian dan pengembangan di bidang ini,
sehingga kita dapat mencapai keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya air dan
mengurangi dampak negatif dari banjir dan kekeringan.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumber Daya Air merupakan salah satu unsur utama untuk kelangsungan hidup
manusia, disamping itu air juga mempunyai arti penting dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat. Air yang dibiarkan ke laut dan tidak dimanfaatkan atau disimpan, akan
hilang secara percuma tanpa dapat dirasakan manfaatnya. Walaupun air kita jumpai di
mana-mana namun kuantitas, kualitas dan distribusinya (ruang dan waktu) sering tidak
sesuai dengan keperluan.
Dalam satu tahun ketersediaan air di alam berubah-ubah, pada musim penghujan
air berlimpah-limpah sehingga sungai tidak dapat lagi menampung aliran air dan akan
mengakibatkan adanya banjir. Sementara pada musim kemarau ketersediaan air
berkurang, padahal kebutuhan air untuk rumah tangga, kota, dan industri (RKI) masih
tetap berlangsung, dalam kondisi ini sering terjadi kekurangan air atau kekeringan. Untuk
mengatur ketersediaan air agar di musim hujan tidak terjadi kelimpahan air (banjir) dan
kekeringan di musim kemarau maka perlu dikembangkan suatu usaha Konservasi Sumber
Daya Air.
Banjir dan kekeringan dalam suatu wilayah (DAS) terjadi akibat fenomena iklim
yaitu distribuasi curah hujan cenderung terjadi dalam waktu yang singkat dengan
intensitas tinggi, atau periode kemarau yang terjadi lebih panjang dari normalnya. Secara
umum penyebab banjir dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu: masukan
(hujan) dan sistem DAS. Masukan (hujan) meliputi faktor intensitas, lama dan distribusi
hujan, sedangkan sistem DAS meliputi faktor topografi, jenis 1 - 2 Analisis Penerapan
Teknologi Dam Parit Sebagai Alternatif Dalam Menangani Banjir dan Kekeringan Pada
Sub-DAS Kali Bekasi, Bekasi – Jawa Barat tanah, penggunaan lahan dan sistem transfer
hujan dalam DAS. Tingginya frekuensi hujan dengan jumlah yang besar dalam waktu
relatif singkat di musim penghujan, disertai perubahan penggunaan lahan menuju makin
luasnya pemukaan kedap (impermeable) menyebabkan hanya sebagian kecil curah hujan
yang dapat diserap dan ditampung oleh tanah melalui intersepsi maupun infiltrasi sebagai
cadangan air dimusim kemarau.

1.2 Rumusan Masalah


Makalah ini menitikberatkan pada sebab dan akibat yang ditimbulkan oleh
banjir dan kekeringan serta cara-cara mengendalikan dan mengantisipasinya sehingga
dapat menimimalisirkan dampak yang ditimbulkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Sumber Daya Air


Pengembangan sumber daya air adalah merupakan upaya pendayagunaan
sumber-sumber air secara terpadu dengan upaya pengelolaan, pengendalian, dan
pelestariannya. (Anto, 2011). Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan
manakala sumberdaya tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun
ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan
manusia pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaik-baiknya dari
segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan-kemantapan
nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan
dimaksudkan untuk mencegah pemborosan. (Fuady, 2008)
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada peningkatkan intensitas
pengelolaan lahan baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan di wilayah
DAS hulu untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan energi. Aktivitas
tersebut memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS secara keseluruhan.
Penanganan masalah lahan kritis atau konservasi tanah dan air secara parsial yang telah
ditempuh selama ini ternyata belum mampu mengatasi masalah tersebut dan juga tidak
efisien ditinjau dari segi biaya. Untuk itu, penanganan harus diubah dengan strategi
pelaksanaan kegiatan pengembangan konservasi tanah dan air melalui pendekatan
holistik dengan fokus pada sumber daya. Diperlukan inovasi pengembangan program
konservasi lahan dan sumberdaya air secara menyeluruh dan inovatif dalam merancang
pemanfaatannya berbasis kelompok pemukiman masyarakat. Pogram-program
pemerintah, terutama untuk pengentasan kemiskinan masyarakat yang dilaksanakan di
wilayah hulu DAS perlu dipadukan sehingga efektif dan efisien berguna bagi masyarakat.
Pengembangan inovasi dengan mengadopsi kearifan lokal menjadi salah satu pilihan
sebagai sumber kemandirian masyarakat dalam mengelola sumberdaya air secara
berkelanjutan. (Sallata, 2015)
2.2 Kekeringan
Kekeringan dapat didefinisikan sebagai periode tanpa air hujan yang cukup atau
suatu periode kelangkaan air. Periode tanpa air hujan disebut juga sebagai kekeringan
secara meteorologis atau klimatologis, sedangkan untuk periode kelangkaan air disebut
juga kekeringan secara hidrologis, pertanian dan social ekonomi. Kekeringan adalah
kondisi ketersediaan air yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan baik untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Dengan kata lain
kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan merupakan salah satu
fenomena yang terjadi sebagai dampak sirkulasi musiman ataupun penyimpangan iklim
global seperti El Nino dan osilasi Selatan. (Setiawan)
Kekeringan juga dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu
wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem
yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses
sehingga Batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Namun demikian,
suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerugian dan
kerusakan yang signifikan. (UU No. 24, 2007:2)
Kekeringan dapat didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air atau
kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau di bawah
volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus (Red, 1995). Dampak dari bencana
kekeringan ini muncul sebagai akibat dari kekurangan ketersediaan air yang
mengakibatkan terjadinya perbedaan antara permintaan akan air (kebutuhan air) dengan
persediaan air suatu wilayah. Kekeringan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis berdasarkan penyebab terjadinya, yaitu kekeringan alamiah dan
kekeringan akibat ulah manusia. Reed (1995) membedakan jenis kekeringan alamiah
menjadi 5, yaitu:
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan yang berada di
bawah normal dalam satu musim. Kekeringan Meteorologis berasal dari
kurangnya curah hujan dan didasarkan pada tingkat kekeringan relatif terhadap
tingkat kekeringan normal serta lamanya periode kering
b. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan
air tanah. Jenis kekeringan ini mencakup berkurangnya sumber-sumber air seperti
sungai, air tanah, danau, dan lokasi-lokasi penampung cadangan air.
c. Kekeringan Pertanian
Kekeringan pertanian berkaitan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air
dalam tanah), sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi
setelah gejala kekeringan meteorologi.
d. Kekeringan Sosial Ekonomi
Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak
terhadap kehidupan sosial ekonomi, seperti rusaknya tanaman, peternakan,
perikanan, berkurangnya tenaga listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran
transportasi air, dan menurunnya pasokan air baku untuk industri domestik dan
perkotaan.
e. Kekeringan Hidrotopografi
Kekeringan hidrotopografi berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai
antara musim hujan dan musim kering dan topografi lahan.

Manusia turut andil dalam menyebabkan kekeringan. Praktek-praktek


penggunaan lahan yang memberikan andil terhadap peningkatan desertifikasi seperti
penggundulan hutan, pengolahan tanah yang berlebihan, tempat penggembalaan terlalu
banyak, dan irigasi yang salah Kelola dianggap telah menyebabkan kekeringan yang
berlangsung dengan dahsyat. (Reed, 1995)
2.3 Banjir
Banjir merupakan suatu indikasi dari ketidakseimbangan sistem lingkungan
dalam proses mengalirkan air permukaan, yang dipengaruhi oleh besar debit air yang
mengalir melebihi daya tamping daerah pengaliran, kondisi daerah pengaliran, dan curah
hujan setempat. Faktor penyebab banjir adalah adanya interaksi antara factor penyebab
bersifat alamiah (kondisi dan peristiwa alam) serta campur tangan manusia yang
beraktifitas pada daerah pengaliran, (Siswoko, 2002).
Red (1995) mengemukakan bahwa banjir terjadi ketika permukaan air menutupi
daratan teluk-teluk kecil yang biasanya kering atau ketika air menggenangi pembatas-
pembatas air yang normal, Banjir yang merupakan bahaya yang paling luas menyebar
dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi di atas normal, gelombang-gelombang badai
dari badai tropis, jebolnya bendungan, salju yang meleleh dengan cepat atau bahkan pipa-
pipa air yang pecah Sebagian besar banjir bersifat merugikan terhadap tempat hunian
manusia. Akan tetapi, banjir dapt memberikan manfaat-manfaat tanpa harus
menimbulkan bencana dan memang perlu untuk menjaga Sebagian besar ekosistem
sungai. Banjir dapat mengisi kembali kesuburan tanah, menyediakan air untuk irigasi
tanaman dan perikanan, dan menyediakan cadangan-cadangan air musiman untuk
menopang kehidupan di daratan-daratan yang kering. Reed (1995) membedakan tipe
banjir menjadi 3, yaitu:
a. Banjir Bandang
Banjir ini biasanya didefinisikan sebagai banjir yang terrjadi dalam jangka waktu
enam jam dari permulaan curah huja yang tinggi, dan biasanya dikaitkan dengan
memuncaknua gumpalan-gumpalan awa, badai dan guruh yang dahsyat, siklus
tropis atau lewatnya cuaca dingin. Banjir bandang biasanya sebagai akibat dari
larinya tanah atas (runoff) karena hujan lebat, khususnya jika lereng tangkapan
bisa menyerap dan menahan Sebagian besar air itu.
b. Banjir Sungai
Banjir sungai biasanya disebabkan oleh curah hujan yang melanda daerah-daerah
tangkapan yang luas atau oleh lelehnya akumulasi salju musim dinginatau
kadang-kadang oleh sebab di atas. Tidak seperti banjir bandang, banjir sungai
biasanya akan menjadi besar secara perlahan-lahan, dan sering kali merupakan
banjir musiman dan berlanjur sampai berhari-hari atau bermingg-minggu.
c. Banjir Pantai
Banjir dahsyat yang merusak dari air hujan yang sering diperburuk oleh
gelombang badai yang diakibatkan karena angin yang terjadi di sepanjang pantai.
Seperti halnya banjir sungai, hujan yang turun dengan lebat di atas daerah yang
luas akan mengakibatkan banjir yang hebat pada muara sungai.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengendalian Banjir


Pada hakekatnya pengendalian banjir merupakan suatu yang kompleks. Dimensi
rekayasanya (engineering) melibatkan banyak disiplin ilmu teknik antara lain: hidrologi,
hidraulika, erosi DAS, teknik sungai, morfologi & sedimentasi sungai, rekayasa sistem
pengendalian banjir, sistem drainase kota, bangunan air dll. Di samping itu suksesnya
program pengendalian banjir juga tergantung dari aspek lainnya yang menyangkut sosial,
ekonomi, lingkungan, institusi, kelembagaan, hukum dan lainnya. Politik juga merupakan
aspek yang penting, bahkan kadang menjadi paling penting. Dukungan politik yang kuat
dari berbagai instansi baik eksekutif (Pemerintah), legislatif (DPR/DPRD) dan yudikatif
akan sangat bepengaruh kepada solusi banjir kota.
Pada dasarnya kegiatan pengendalian banjir adalah suatu kegiatan yang meliputi
aktivitas sebagai berikut:
• Mengenali besarnya debit banjir.
• Mengisolasi daerah genangan banjir.
• Mengurangi tinggi elevasi air banjir.
Pengendalian banjir pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun
yang penting adalah dipertimbangkan secara keseluruhan dan dicari sistem yang paling
optimal. Kegiatan pengendalian banjir menurut lokasi/daerah pengendaliannya dapat
dikelompokkan menjadi dua:
• Bagian hulu: yaitu dengan membangun dam pengendali banjir yang dapat
memperlambat waktu tiba banjir dan menurunkan besarnya debit banjir,
pembuatan waduk lapangan yang dapat merubah pola hidrograf banjir dan
penghijauan di Daerah Aliran Sungai.

• Bagian hilir: yaitu dengan melakukan perbaikan alur sungai dan tanggul, sudetan
pada alur yang kritis, pembuatan alur pengendali banjir atau flood way,
pemanfaatan daerah genangan untuk retarding basin dsb.
Sedangkan menurut teknis penanganan pengendalian banjir dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Pengendalian banjir secara teknis (metode struktur).
Pada pengendalian banjir secara metode struktur terdapat bangunan pengendali
banjir, yaitu:
➢ Bendungan/waduk : Bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah,
urugan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk
menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan
menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga
terbentuk waduk. Waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat
dibangunnya bendungan (PP No 37 Tahun 2010). Secara teknis perencanaan
untuk dam pengendalian banjir adalah dengan mengatur pintu pengendali
banjir pada bendungan dan/atau alokasi kapasitas. Pengendalian banjir
dengan waduk hanya dapat dilakukan pada bagian hulu dan biasanya
dikaitkan dengan pengembangan sumber daya air.

Gambar 3.1 bedungan


➢ Kolam retensi/penampungan (retention basin) : Seperti halnya bendungan,
kolam penampungan (retention basin) berfungsi untuk menyimpan
sementara debit sungai sehingga puncak banjir dapat dikurangi, retention
berarti penyimpanan. Tingkat pengurangan banjir tergantung pada
karakteristik hidrograf banjir, volume kolam dan dinamika beberapa
bangunan outlet. Wilayah yang digunakan untuk kolam penampungan
biasanya di daerah dataran rendah atau rawa. Dengan perencanaan dan
pelaksanaan tataguna lahan yang baik, kolam penampungan dapat digunakan
untuk pertanian.
➢ Check dam (penangkap sedimen) : Check dam adalah bangunan kecil
temporer atau tetap yang dibangun melintang saluran/sungai untuk
memperkecil kemiringan dasar memanjang sungai sehingga bisa mereduksi
kecepatan air, erosi dan membuat sedimen bisa tinggal di bagian hulu
bangunan. Sehingga bangunan ini bisa menstabilkan saluran atau sungai.

Gambar 3.2 Check dam


➢ Retarding basin : Retarding basin adalah suatu kawasan (cekungan) yang
didesain dan dioperasikan untuk tampungan (storage) sementara sehingga
bisa mengurangi puncak banjir dari suatu sungai. Dapat dikatakan pula suatu
tampungan (reservoir) yang mengurangi puncak banjir melalui simpanan
sementara. Retard berarti memperlambat.
Gambar 3.3 Retarding basin
➢ Polder : Polder adalah sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh
embankment baik bisa berupa tanah urugan/timbunan atau tanggul pasangan
beton atau batu kali yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan,
yang berarti tidak ada kontak dengan air dari daerah luar polder selain yang
dialirkan melalui saluran buatan manusia bisa berupa saluran terbuka atau
pipa. Polder berfungsi sementara untuk menampung aliran banjir ketika
sungai atau saluran tak bisa mengalir ke hilir secara gravitasi karena di sungai
tersebut terjadi banjir dan ada air pasang di laut untuk daerah pantai. Bila
mana polder penuh maka dipakai pompa untuk mengeluarkan air di dalam
polder tersebut sehingga daerah yang dilindungi tidak kebanjiran.
b. Pengendalian banjir secara non teknis (metode non-struktur).
Pengendalian banjir dengan tidak menggunakan bangunan pengendali akan
memberikan pengaruh cukup baik terhadap regim sungai. Contoh aktifitas
penanganan tanpa bangunan adalah sebagai berikut :
➢ Pengelolaan DAS : Pengelolaan DAS berhubungan erat dengan peraturan,
pelaksanaan dan pelatihan. Kegiatan penggunaan lahan dimaksudkan
untuk menghemat dan menyimpan atau menahan air dan konservasi
tanah.
➢ Pengaturan tata guna lahan : dimaksudkan untuk mengatur penggunaan
lahan, sesuai dengan rencana pola tata ruang yang ada. Hal ini untuk
menghindari penggunaan lahan yang tidak terkendali, sehingga
mengakibatkan kerusakan DAS yang merupakan daerah tadah hujan.
➢ Pengendalian erosi : Pengendalian erosi pada prinsipnya merupakan
tindakan-tindakan untuk mencegah dan mengendalikan erosi baik di DAS
maupun di tebing sungai. Beberapa cara pengendalian erosi di DAS
diantaranya : terasering, buffer strip ( garis penyangga), rotasi penanaman
(perubahan pola tanam), crop cover/penutupan lahan (dengan tanaman
lebat), penambangan harus mematuhi UU N0. 4 Tahun 2009.
➢ Peramalan (forcasting) dan sistem peringatan banjir (flood warning
system)
➢ Law enforcement : Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seperti, tidak
membuang sampah sembarangan dan tidak menggunduli hutan.
➢ Penyuluhan pada masyarakat : Permasalahan banjir adalah merupakan
permasalahan umum, terutama di daerah bawah, maka sudah saatnya
masyarakat yang berada pada daerah tersebut peduli akan pencegahan
terhadap bahaya banjir. Disamping itu pihak yang berwenang termasuk
instansi yang terkait, harus betul-betul melaksanakan pembinaan,
pengawasan, pengendalian dan penanggulangan terhadap banjir secara
intensif dan terkoordinas. Maka akhirnya kembali pada masyarakat itu
sendiri dan para aparat dari pihak yang berwenang, untuk dapat
meningkatkan kesadaran atas kewajiban sehubungan dengan
permasalahan banjir. Karena penanganan yang lebih dini dan perhatian
dari semua pihak, akan memudahkan untuk pengendalian banjir dan dapat
menurunkan biaya pemeliharaan.
3.2 Penanganan/Antisipasi Pengurangan Resiko Kekeringan
Kekeringan cenderung muncul di daerah-daerah kering dengan curah hujan yang
terbatas. Kalau respon kekeringan tidak direncanakan secara memadai oleh pemrintah-
pemerintah dan badan-badan pemberi bantuan, maka pemberian bantuan mungkin
menjadi salah sasaran atau tidak efektif (Red, 1995). Berikut adalah solusi yang bisa
digunakan untuk mengatasi kekeringan menurut Pedoman Pelaksanaan Program
Kampung Iklim :
1. Permanen air hujan : adalah mengumpulkan dan menampung air hujan, termasuk
aliran air permukaannya, semaksimal mungkin pada saat turun hujan untuk dapat
digunakan dan dimanfaatkan dalam menangani atau mengantisipasi kekeringan.
Air hujan dapat dikumpulkan misalnya dengan membuat lubang penampung air,
embung dan penampungan air hujan (PAH). Bentuk dan ukuran penampung air
hujan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masyarakat setempat, bisa
dalam skala individu maupun komunal.
2. Peresapan air : adalah upaya untuk meningkatkan resapan air dan mengembalikan
air semaksimal mungkin ke dalam tanah terkait dengan penanganan atau
antisipasi kekeringan, misalnya melalui pembuatan biopori, sumur resapan,
Bangunan Terjunan Air (BTA), rorak, dan Saluran Pengelolaan Air (SPA).
3. Perlindungan dan pengelolaan mata air : perlindungan dan pengelolaan mata air
perlu dilakukan untuk meminimalkan risiko terjadinya kekeringan akibat
perubahan iklim. Kegiatan dapat mencakup upaya fisik seperti pembuatan
struktur pelindung mata air dan konservasi tumbuhan di sekitar lokasi mata air,
maupun non-fisik seperti pembuatan aturan-aturan lokal yang dapat menjamin
mata air tetap hidup.
4. Penghematan penggunaan air : adalah upaya untuk menggunakan air secara
efektif dan efisien sehingga tidak mengalami pemborosan, misalnya penggunaan
kembali air yang sudah dipakai untuk keperluan tertentu dan pembatasan
penggunaan air.
5. Perencanaan penggunaan lahan : karena kekeringan menempatkan tekanan pada
daratam, praktek-praktek pertanian yang lebih baik akan bisa membantu untuk
menahan pengaruh-pengaruh kekeringan. Hal ini meliputi pengendalian erosi
dengan menanam rumput atau tanaman kacang-kacangan secara berlapis dan
melindungi terhadap serangan angin. Tingkat persediaan binatang harus memadai
sebanding dengan tersedianya lahan rumput dan persediaan air. Menggunakan
dan mengembangkan tanaman-tanaman pangan yang tahan terhadap kekeringan
harus terus didorong. Pembangunan tempat-tempat cadangan air bisa juga
bermanfaat.
6. Sistem irigasi/drainase : Setiap pembangunan jaringan irigasi dilengkapi dengan
pembangunan jaringan drainase yang merupakan satu kesatuan dengan jaringan
irigasi yang bersangkutan. Jaringan drainase berfungsi untuk mengalirkan
kelebihan air agar tidak mengganggu produktivitas lahan. Sistem irigasi/drainase
yang baik dapat mengurangi risiko gagal tanam dan gagal panen. Penerapan
sistem irigasi hemat air akan memperkuat kapasitas adaptasi untuk
mengantisipasi ketersediaan air yang berkurang akibat semakin panjangnya
musim kemarau pada daerah tertentu yang merupakan salah satu dampak
perubahan iklim.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Banjir dan kekeringan merupakan bencana alam yang kejadiannya silih berganti
dan dapat mengancam segala kehidupan, serta sistem produksi. Diduga adanya
kencenderungan perubahan perilaku bencana, hal ini dapat dilihat serta dapat dirasakan
dari segi intensitas, penyebaran, luasan serta frekuensinya. Sedang peningkatannya juga
cukup dirasakan dari tahun ke tahun.
Dalam menghadapinya, seluruh pihak termasuk masyarakat perlu melakukan
tindakan yang dapat mengantisipasi dan mengendalikan bencana tersebut sehingga dapat
meminimalisir resiko yang mungkin terjadi. Pengendalian banjir dan kekeringan pada
dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun yang penting adalah
dipertimbangkan secara keseluruhan dan dicari sistem yang paling optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Z. (2013). Tinjauan daerah aliran sungai sebagai sistem ekologi dan manajemen
daerah aliran sungai. Jurnal Lentera, 6(1).

Red, Shelia B. 1992. Pengantar Tentang Bahaya. Edisi Ke 3, UNDP dan DMTP.

Sallata, M. K. (2015). Konservasi dan pengelolaan sumber daya air berdasarkan


keberadaannya sebagai sumber daya alam. Buletin Eboni, 12(1), 75-
86.

Siswoko. 2002. Banjir, Masalah Banjir dan Upaya Mengatasinya. Jakarta: Himpunan Ahli
Teknik Hidroulika Indonesia (HATHI).

Suprianto. 2015. Wawasan Pengembangan Sumber Daya Air.


https://www.kompasiana.com/amp/suprianto/550926438133119474b1
e153/wawasan-pengembangan-sumber-daya-air. Diakses pada 10 Juni
2023 pukul 10.39 WITA.

Anda mungkin juga menyukai