Konservasi Airt anah-Sebuah Pemikiran (2008) (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
Heru Hendrayana
Pengendalian Airt anah-Sebuah Pemikiran (2008) (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
Heru Hendrayana
PENDAHULUAN
Di Indonesia kebutuhan air bersih bagi masyarakat setiap tahun selalu meningkat
sesuai dengan dinamika pembangunan baik peruntukannya sebagai air minum dan
rumah tangga, industri, pertanian maupun menunjang usaha komersial lainnya. Sumber-
sumber alternatif untuk memenuhi kebutuhan air bersih adalah air hujan, air sungai, dan
airtanah. Airtanah biasanya menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
hal ini disebabkan karena airtanah mempunyai kualitas yang lebih baik, mudah
dieksploitasi, tidak perlu pengolahan dan dapat digunakan langsung di daerah yang
memerlukan. Dengan berbagai keuntungan dan anggapan airtanah sebagai common
property, airtanah dipergunakan tanpa pengelolaan dan perlindungan yang memadai,
sebagai akibatnya terjadi degradasi kualitas dan kuantitas air tanah di berbagai tempat.
Saat ini di beberapa kota besar di Indonesia telah terjadi degradasi airtanah dan
kerusakan lingkungan baik di daerah rechage maupun di daerah discharge. Terjadinya
kerusakan lingkungan di daerah recharge airtanah, antara lain karena penggundulan
hutan dan alih fungsi lahan menjadi areal pertanian bahkan menjadi pemukiman berikut
fasilitas pendukungnya. Pembentukan airtanah berkurang, sehingga jumlah cadangan
airtanah pada cekungan airtanah pun berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
mengecilnya debit mataair dan turunnya muka airtanah secara regional. Setiap musim
kemarau di beberapa daerah mengalami kekeringan dan kekurangan air. Sebaliknya di
daerah yang sama pada musim penghujan terjadi banjir.
Salah satu penyebab krisis air bersih di dunia sebagaimana terungkap pada 2nd
World Water Forum di Den Haag adalah kelemahan penyelenggaraan pengelolaan air di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada forum tersebut telah dinyatakan 7
tantangan pokok pada pengelolaan sumberdaya air, yaitu:
Pertama, mengutamakan penggunaan sumberdaya air sebagai air minum yang
bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia;
Kedua, menjamin tersedianya sumberdaya air bagi produksi pangan;
Ketiga, melindungi fungsi air untuk mendukung berkelanjutan kehidupan
ekosistem;
Keempat, mengusahakan pembagian sumberdaya air secara adil bagi sebanyak
mungkin manusia yang memerlukan;
Kelima, mengelola resiko yang berkaitan untuk menjamin berkelanjutan
sumberdaya air bersih;
Keenam, memberikan nilai kepada air;
Ketujuh, membangun good governance untuk mengelola sumberdaya air secara
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi
kebutuhan generasi masa depan.
Salah satu langkah nyata dalam rangka mengatasi masalah air di Indonesia pada
bulan April 2004 di Jakarta telah dilakukan “Deklarasi Nasional” oleh 11 (sebelas)
Menteri yang bernama “Deklarasi Nasional Pengelolaan Air Yang Efektif Dalam
Penanggulangan Bencana”. Adapun isi Deklarasi Nasional tersebut adalah:
1. Meningkatkan upaya pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air untuk
menanggulangi bencana
2. Melakukan pencegahan kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi
hutan dan lahan pada DAS kritis, pengelolaan kuantitas dan kualitas air, serta
pengendalian pencemaran air.
3. Meningkatkan koordinasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
meningkatkan kemampuan dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dan
masyarakat luas dalam pengelolaan air pada penanggulangan bencana.
4. Meningkatkan pertukaran data dan informasi di bidang pengelolaan sumberdaya
air dan penanggulangan bencana.
Heru Hendrayana 2
memperhatikan keseimbangan dan pelestarian sumberdaya itu sendiri, atau dengan kata
lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan.
Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi masalah
Nasional, sehingga mutlak dituntut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperkecil
dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi airtanah yang tidak terkontrol.
Pengelolaan airtanah harus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu pada
aspek hukum, yakni peraturan perundangan yang berlaku di bidang airtanah, serta aspek
teknis yang menyangkut pengetahuan keairtanahan (groundwater knowledge) suatu
daerah.
Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup
inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam
rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah pada hakekatnya melibatkan banyak
pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan
aspek teknis. Pengelolaan airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan
cekungan airtanah (Groundwater Basin Management). Pengelolaan airtanah yang
berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi airtanah dan
pemantauan keseimbangan pemanfaatan airtanah.
Pada saat ini pengelolaan airtanah dan kegiatan konservasi airtanah telah banyak
dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun Swasta, tetapi pada
kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi airtanah belum dapat mencapai
sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.
Heru Hendrayana 3
pelaksanaan pengelolaan airtanah tidak mendasarkan pada batas administrasi suatu
daerah, tetapi harus tetap mengacu pada konfigurasi cekungan airtanah dengan
memperhatikan kondisi batas hidrogeologi yang ada.
Heru Hendrayana 4
6. Pelaksaanaan koordinasi pengelolaan airtanah antar industri Pemerintah dan
atau antar Pemerintah Daerah guna mengoptimalkan pelaksanaan
perlindungan terhadap airtanah
7. Keterpaduan pengelolaan antara airtanah dan air permukaan sebagai upaya
mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya air terpadu
8. Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara airtanah dan air
permukaan guna mengatasi krisis air bersih
b. Pengelolaan sumberdaya air yang terdiri dari air hujan, air permukaan dan
airtanah tidak mungkin dilaksanakan oleh satu instunsi, akan tetapi harus secara
terkoordinasi antar instansi terkait. Dengan demikian pengelolaan pemanfaatan
air saling menunjang dapat dilaksanakan dengan optimal.
c. Sistem pengambilan keputusan tidak efektif karena campur tangan pemerintah
pada pengelolaan airtanah di daerah. Di samping itu, organisasi di daerah tidak
atau kurang dilibatkan, sehingga daerah tidak mempunyai rasa memiliki atas
sumberdaya air yang ada di wilayahnya.
d. Pengelolaan airtanah oleh Pemerintah Daerah yang tidak berdasar pada
cekungan airtanah lintas batas, tetapi lebih cenderung berdasarkan pada batas
administrasi. Hal ini jelas bertentangan dengan sifat dasar airtanah yang
mengalir sesuai kondisi hidrogeologinya tanpa mengenal batas administrasi.
e. Belum adanya jaringan data dan informasi airtanah yang terintegrasi antar
lembaga pengumpul atau pengelola data airtanah, hal tersebut akibat kurang
tegasnya penerapan peraturan dan keterbatasan sumberdaya manusia di
daerah.
f. Pemanfaatan airtanah secara parsial, kurang berkeadilan, belum menjadi hak
masyarakat, khususnya masyarakat miskin untuk mendapatkan akses
penyediaan air bersih guna memenuhi kebutuhan dasarnya.
g. Tidak dihargainya nilai ekonomi dan lingkungan airtanah pada pemanfaatannya,
tetapi lebih menitik beratkan pada eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan
bagi daerah dari pada perlindungannya.
h. Data dan informasi airtanah kurang memadai baik kuantitas maupun
kualitasnya. Data dan informasi kurang informatif dan tidak seragam dalam
format, belum tersusunnya standar sistem informasi airtanah, yang merupakan
alat bantu pada perencanaan pengelolaan dan pendukung pengambilan
keputusan.
Heru Hendrayana 5
i. Terjadinya konflik kepentingan antar pengguna sumber air baku, karena
meningkatnya degradasi kualitas, kuantitas, dan lingkungan airtanah, terutama
pada cekungan airtanah di perkotaan. Di sisi lain, terjadi peningkatan kebutuhan
sumber airbaku yang sangat pesat sejalan dengan dinamika pengembangan
wilayah.
j. Keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan,, biaya) baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah, mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan
airtanah kurang efektif dan kurang maksimal.
k. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas setiap pelanggaran yang
terjadi terhadap peraturan perundangan pengelolaan airtanah yang ada.
l. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi airtanah,
baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya, yang disebabkan terbatasnya
pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman airtanah (groundwater
knowledge).
Heru Hendrayana 6
Pengelolaan sumberdaya air secara terpadu antara airtanah dan air permukaan,
mengingat, bahwa airtanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem hidrologi
dengan air permukaan.
Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total (Total Groundwater
Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River
Basin. Pendekatan pengelolaan airtanah dengan mendasarkan konsep Regional,
Intermediate dan Local/Artificial Gruondwater Flow System guna memecahkan
permasalahan kuantitas dan kualitas airtanah pada setiap recharge area ataupun
discharge area.
Mempertimbangkan penilaian resiko (Risk Assessment) pada airtanah, baik pada
aspek kuantitas maupun kualitas pada setiap kebijakan pengelolaan airtanah. Hal
ini untuk meminimalkan dampak negatif akibat pemanfaatan airtanah terhadap
lingkungannya.
Desentralisasi pengelolaan airtanah dengan cara memberdayakan daerah untuk
mengelola airtanah pada lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan
dan aliran airtanah serta prinsip cekungan airtanah lintas batas.
Pemenuhan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan air bersih dari airtanah bagi
kebutuhan pokok sehari-hari guna mencapai kehidupan yang sehat, bersih, dan
produktif.
Ketersediaan sistem informasi airtanah mencakup jaringan data dan informasi
airtanah terpadu didasarkan pada data keairtanahan yang andal, tepat, akurat, dan
berkesinambungan, yang mencangkup seluruh wilayah Indonesia.
Kontinuitas ketersediaan airtanah dengan menjaga keseimbangan antara
pemanfatan nilai ekonomi air dan ketersediaan airtanah sebagai bagian ekosistem
hidrologi, mencegah degradasi kuantitas, kualitas, dan lingkungan airtanah,
mengendalikan pemanfaatan air tanah sesuai nilai ekonomi dan aspek
lingkungannya.
Mewujudkan dan mengoptimalkan pemanfaatan air saling menunjang dengan
menciptakan keterpaduan pemanfaatan airtanah, air permukaan, dan air hujan.
Meningkatkan dan mengoptimalkan sumberdaya (manusia, keahlian, peralatan, dan
biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan masyarakat, swasta, para pihak
berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
Segera dilakukan identifikasi Bencana atau Bahaya Airtanah (Groundwater Hazard)
yang mencakup kuantitas dan kualitas, khususnya di daerah-daerah urban di
Indonesia. Kebijakan pengelolaan airtanah di masa datang harus mengacu pada
Heru Hendrayana 7
Groundwater Hazard Management yang disusun berdasarkan Groundwater Risk
Assessment.
Mengingat penduduk daerah urban di masa datang akan mencapai 60% jumlah
penduduk, maka segera diterapkan konsep Urban Hydrogeology pada setiap
evaluasi kondisi airtanah di kota-kota besar di Indonesia.
Mengingat isu krisis air bersih di dunia yang semakin meningkat, maka sudah
saatnya mulai dikenalkan konsep Airtanah sebagai Sumberdaya Tidak Terbarukan
(Groundwater as Non-Renewable Resource) dalam rangka untuk mencapai
Groundwater Sustainibility.
Heru Hendrayana 8
merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan di bidang airtanah antara lain sebagai
berikut :
1. Menyelenggarakan pengelolaan airtanah berdasarkan pada prinsip pelestarian
Pembentukan airtanah pada akuifer memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga
upaya perbaikan atau rehabilitasi sulit dilakukan, serta membutuhkan waktu yang
relatif lama. Dengan demikian pada setiap upaya pendayagunaan perlu diimbangi
dengan upaya perlindungan agar pemanfaatannya dapt berkelanjutan. Beberapa
ketentuan yang diberlakukan adalah kewajiban melakukan upaya konservasi bagi
yang mendayagunakan airtanah, serta kegiatan lain yang berpotensi merusak kondisi
lingkungan airtanah, misalnya kegiatan penambangan, pengeringan airtanah,
pembangunan kawasan pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain.
2). Melaksanakan pengelolaan airtanah didasarkan pada cekungan airtanah
Konsep cekungan airtanah sebagai kesatuan wilayah pengelolaan airtanah
didasarkan pada prinsip terbentuknya airtanah yang utuh dalam satu neraca air sejak
dari daerah imbuhan hingga daerah lepasan pada suatu wadah.
Tujuan kebijakan di atas agar seluruh kegiatan pengelolaan airtanah meliputi
konservasi, pendayagunaan, pengendalian dan pengawasan dapat dilakukan dalam
satu cekungan airtanah yang mencakup ekosistem hidrogeologinya.
Penetapan cekungan airtanah di Indonesia dikuatkan oleh Peraturan Presiden
sebagai dasar penyelenggaraan pengelolaan airtanah oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
3) Mendorong penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air terpadu (Intergrated water
resources management)
Pengelolaan terpadu merupakan suatu proses yang mengutamakan pembangunan
dan pengelolaan sumberdaya air, lahan, dan sumberdaya terkait lainnya secara
terkoordinasi untuk memaksimalkan pencapaian target ekonomi dan kesejahteraan
sosial tanpa mengorbankan ekosisitem. Karena pentingnya keterpaduan untuk
mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya air, Pemerintah telah memasukkan
kegiatan ini kedalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Terdapat tiga program keterpaduan yang telah dicanangkan dalam UU tersebut, yaitu
(1) penyelenggaraan konservasi airtanah dan air permukaan secara terpadu, (2)
keterpaduan penggunaan airtanah dan air permukaan, serta (3) keterpaduan
pengendalian pencemaran airtanah dan air permukaan. Melalui kegiatan ini
Pemerintah mengharapkan permasalahan-permasalahan yang mendasar pada
pengelolaan sumberdaya air dapat segera diselesaikan. Dan sebagai upaya
menjamin kesinambungan ketersediaan sumberdaya air, serta menjamin
Heru Hendrayana 9
pemanfaatan yang berkelanjutan, Pemerintah secara konsisten akan terus
mengupayakan terlaksananya pengelolaan airtanah yang baik, bijaksana, dan
terpadu.
4) Memprioritaskan pemanfaatan untuk air minum di atas semua peruntukan lain
Masyarakat luas memperoleh hak atas air, yang merupakan hak guna air.
Pemanfatan air sebagai air minum merupakan prioritas utama di atas segala
keperluan lain, menyusul prioritas untuk keperluan rumah tangga, peternakan dan
pertanian sederhana, irigasi, industri, pertambangan, usaha perkotaan dan
kepentingan lainnya.
5) Pengembangan airtanah untuk mengatasi kesulitan air
Sebagai upaya membantu pengentasan kemiskinan masyarakat di desa-desa sulit
air, Pemerintah telah mencanangkan program pengembangan airtanah melalui
pengeboran akuifer dalam, pembuatan sumur pengumpul, penurapan mata air serta
pemanfaatan sungai bawah tanah. Upaya ini bertujuan agar pada masa mendatang
tidak ada lagi masyarakat pedesaan yang mengalami kesulitan memperoleh air
bersih. Demikian juga masyarakat di daerah perkotaan agar dapat memperoleh air
bersih bagi kebutuhan hidupnya, serta mendukung untuk keperluan industri.
Heru Hendrayana 10
Dinas Penyelidik Bumi (Diens van het Grondpielwezen) pada 1873, seluruh kegiatan
pengeboran dilaksanakan oleh dinas tersebut (Staatblad 1873, No 337). Pada lembaran
tersebut diatur, bahwa pengeboran artesis hanya boleh dilaksanakan oleh Menteri
Pertambangan.
Perusahaan pengeboran swasta dimulai terlibat pada tahun 1884 (Staatblad 1884,
No. 50) dan ijin pengeboran airtanah lebih dari 15 meter dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya pada tahun 1912, kewenangan
pemberian ijin pengeboran dikeluarkan ole Dienst van Mijnwezen (Saatblad 1912,
No.430).
Pada 1924, diberlakukan peraturan baru pada kegiatan pengeboran airtanah yang
dilaksanakan oleh perusahaan swasta (Saatbald 1924, No. 74). Berdasarkan peraturan
ini, pengeboran sumur lebih dari 15 meter, dikenakan ijin yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi, setelah dikonsultasikan dengan Biro Pertambangan. Ijin ini
mencakup kegiatan untuk untuk mengubah, menutup, memperdalam, ataupun
membersihkan sumur.
Pada 1936, telah diundangkan peraturan pusat di bidang sumberdaya air, yang
berlaku di Jawa dan Madura, Algemeen Waterreglement (Staatbaald 1936, No 489).
Pasal 28 yang menyangkut airtanah pada peraturan tersebut, mengatur:
1. Tanpa ijin dari Pemerintah Provinsi, kegiatan berikut ini dilarang;
a. Pengambilan airtanah lebih dari 15 meter
b. Pengubahan dan pembersihan sumur lebih dari 15 meter
2. Kegiatan seperti di atas akan diijinkan setelah dikonsultasikan terlebih dahulu
dengan Kepala Biro Pertambangan.
Semua peraturan tentang airtanah masa kolonial tersebut di atas masih dipakai
selama masa awal kemerdekaan, tetapi pada saat ini tidak sesuai lagi.
Heru Hendrayana 11
administrasi atas geothermal, sumber air bawah tanah dan mata air panas yang terdapat
di Indonesia ada pada Menteri Pertambangan.
Heru Hendrayana 12
Pada dasarnya Peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan
administratif air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah dalam arti
luas yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan, pemanfaatan,
perijinan dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi air
bawah tanah.
c. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991
Mengingat, bahwa kegiatan usaha industri dan pertambangan termasuk
kegiatan usaha pertambangan, maka berkaitan dengan hubungan ekonomi
internasional dan mempunyai peranan yang luas dalam pembangunan
ekonomi sesuai pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982, maka
ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.
08.8/03/MPE/1991, yang mengatur : Penggunaan air dan/atau sumber air
untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk kegiatan usaha
pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri yang terkait.
d. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/101/M.PE/1994
Pada pelaksanaan kedua peraturan di atas ditemui adanya perbedaan
pemahaman tentang kewenangan pemberian ijin pengambilan airtanah untuk
kegiatan usaha industri oleh Pemerintah Daerah, sehingga pengelolaan
airtanah di beberapa daerah tidak berjalan sesuai sasaran. Oleh sebab itu,
untuk menunjang kebijakan Pemerintah di bidang deregulasi dan
debirokratisasi, terutama berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan
airtanah, maka Menteri memandang perlu untuk mencabut Peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/83 dan Nomor
08.P/03/M.PE/1991, dan menetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994 tanggal 26 Desember 1994 tentang
pengurusan administrasi air bawah tanah.
e. Keputusan Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral Nomor
005.K/10/DDJG/1995
Untuk pelaksanaan Peraturan Menteri tersebut Direktur Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral nomor 005.K/10/DDJG/1995 tanggal 11 Maret 1995
tentang petunjuk pelaksanaan pengurusan administratif air bawah tanah.
Keputusan Direktur Jenderal ini mengatur wewenang dan tanggung jawab
pengurusan administrasi air bawah tanah yang dalam hal tertentu
pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur Geologi Tata Lingkungan atau Kepala
Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi.
Heru Hendrayana 13
f. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/-M.PE/1995
Penyerahan sebagian urusan pemerintah di beberapa bidang kepada
Pemerintah Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan seperti diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1995, maka di bidang air bawah tanah,
Menteri Pertambangan dan Energi menetapkan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember
1995 tentang Pedoman Pengelolaan Air Bawah Tanah untuk Daerah Tingkat II.
g. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/-M.PE/1995
Sebagai pedoman pelaksanaan pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994, maka ditetapkan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember
1995 tentang Perijinan Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah Untuk
Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi.
Semua peraturan yang terbit sebelum otonomi daerah di bidang air bawah tanah
jelas menunjukan, bahwa wewenang pengurusan administratif air bawah tanah adalah
pada Menteri Pertambangan dan Energi sebagai Menteri yang bertanggung jawab dalam
urusan pertambangan (Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 pasal 5 ayat 2 jo
peraturan pemerintah nomor 22 tahun 1982 pasal 6 ayat 1). Dengan demikian berarti,
bahwa pengurusan administratif merupakan wewenang Pemerintah Pusat.
Pemerintah Provinsi c/q Gubernur Kepala Daerah berwewenang pada pemberian
ijin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah berdasarkan petunjuk teknis Menteri
dalam hal ini Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pertambangan (Peraturan
Pemerintah nomor 22 tahun 1982 pasal 6 ayat 2). Dengan demikian peran Pemerintah
Daerah adalah melakukan tugas pembangunan terhadap Pemerintah Pusat dalam
pengurusan administratif air bawah tanah; termasuk bagi Pemerintah Daerah Tingkat II
otonomi percontohan sesuai Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1995 jo keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi No 1945.K/102/M.Pe/1995. Tugas perbantuan
tersebut secara garis besar mencakup:
1. Pemberian ijin pengeboran dan ijin pengambilan air bawah tanah
2. Pengawasan
3. Pengendalian
Heru Hendrayana 14
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral
sesuai kewenangannya).
Sesuai amanat PP No. 25 Tahun 2000, maka DESDM telah mengeluarkan
Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1451.K/MEM/2000 tentang
Pedoman Teknis Penyelanggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Bawah
Tanah berikut 11 Lampiran Pedoman Teknis dan prosedur sebagai acuan penyusunan
Peraturan Daerah dan pedoman pelaksanaan pengelolaan air tanah di daerah pada era
otonomi daerah.
Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan airtanah berbasis cekungan
airtanah telah dikeluarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No.
716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horisontal Cekungan Airtanah di P.Jawa dan
P.Madura yang termuat dalam peta cekungan airtanah skala 1:250.000. Selanjutnya telah
disiapkan Keputusan MESDM yang memuat 16 Pedoman Teknis, prosedur, dan kriteria
untuk melengkapi panduan pada pelaksanaan pengelolaan airtanah.
Kewenangan pengelolaan airtanah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan PP
No.25 tahun 2000 telah diserahkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya, tetapi belum seluruh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Airtanah. Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang belum memiliki Peraturan Daerah didorong untuk menyiapkan
Perda tentang Pengelolaan Airtanah.
Pemerintah telah menetapkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
yang bersifat desentralistik guna menggantikan UU No. 11 tahun 1974 yang bersifat
sentralistik. Hal tersebut untuk menyesuaikan pengelolaan sumberdaya air di era otonomi
daerah. Undang-undang tersebut masih perlu dilengkapi dengan peraturan pemerintah
tentang airtanah. Kebutuhan peraturan pemerintah ini sudah sangat mendesak
mengingat meningkatnya permasalahan airtanah. Peraturan ini akan berfungsi sebagai
payung pada penyelenggaraan pengelolaan airtanah oleh Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota, serta sebagai acuan pada penyusunan peraturan daerah di
bidang airtanah.
Substansi pengaturan pada peraturan pemerintah ini sebagai upaya pemecahan
berbagai masalah dalam pengelolaan airtanah, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Upaya pemecahan masalah tersebut antara lain:
a. Penetapan kebijakan pengelolaan airtanah secara terpadu dengan sumberdaya
air yang lain, serta bagian tak terpisahkan dalam penataan ruang.
b. Penetapan kebijakan atas pengakuan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan
air, hak mendapatkan informasi dan hak keterlibatan dalam pengelolaan.
Heru Hendrayana 15
c. Penetapan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah
pada pengelolaan airtanah sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan sifat
aliran airtanah.
d. Perencanaan pengelolaan terpadu didasarkan pada data dan informasi keairan
yang handal, tepat, akurat, dan berkesinamungan, serta menjamin
terselenggaranya konservasi, pendayagunaan, pencegahan degradasi airtanah,
dan pemberdayaan para pelaku pengelolaan.
e. Penyelenggaraan konservasi dengan menetapkan kawasan lindung dan kawasan
budidaya airtanah, serta upaya pelestarian dan pengawetan airtanah.
f. Penggunaan airtanah secara terpadu dan menyeluruh dengan menerapkan
prinsip konservasi, keadilan, pemanfaatan akuifer lintas batas, conjunctive use,
demand management, dan korporasi yang mencerminkan keseimbangan nilai-
nilai ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya dari airtanah.
g. Pengendalian dan pemantauan pemanfaatan airtanah, melalui penciptaan
instrument pengendalian, penutupan daerah bagi pengambilan airtanah,
pembatasan pengambilan, peningkatan imbuhan, mitigasi, penegakan hukum
yang taat asas, menerus dan tidak diskriminatif.
h. Pemberdayaan masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah
daerah, dan pemerintah dengan melibatkan pada setiap proses pengelolaan,
pendidikan sepanjang hayat, dan pelatihan.
Heru Hendrayana 16
masih aman atau masih memungkinkan dapat diambil tanpa mengakibatkan
degradasi kondisi dan lingkungan airtanah.
c. Pengendalian pengambilan airtanah
Pemanfaatan airtanah dari tahun ketahun terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan berbagai
sektor. Kebijakan yang diambil pada pengendalian pemanfaatan airtanah
antara lain pengaturan persyaratan teknis pada pemberian ijin pengeboran,
penurapan mata air, dan pengambilan, serta pembatasan debit pengambilan.
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga lingkungan sumberdaya airtanah,
serta mempertahankan keberadaan airtanah agar mampu menopang
kebutuhan air untuk jangka panjang dan masa datang. Pada pemanfaatan
airtanah untuk industri, secara bertahap perlu dikurangi, dan diganti dengan
air permukaan. Penentuan kawasan industri, terutama jenis industri yang
memerlukan banyak air perlu mempertimbangkan daya dukung ketersediaan
sumber air, terutama air permukaan, dan menghindari ketergantungan pada
pemanfaatan airtanah.
Dengan melalui proses yang panjang, akhirnya pada tahun 2008 pemerintah telah
mengesahkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Airtanah. Peraturan ini merupakan salah satu tindakan nyata dan serius dari pemerintah
dalam rangka menangani permasalahan airtanah, dan juga merupakan penjabaran yang
lebih rinci tentang airtanah dari Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Dalam peraturan pemerintah ini telah diatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan sumberdaya airtanah, termasuk landasan, kebijakan dan strategi pengelolaan
airtanah, tentang perijinan, pemberdayaan, pengendalian dan pengawasan, beserta
sanksi terhadap pelanggaran terhadap peraturan perundangan airtanah. Dengan
berlakunya peraturan pemerintah ini, maka diharapkan pelaksanaan dan
penyelenggaraan pengelolaan airtanah di Indonesia segera mencapai sasaran optimal
yang dapat dirasakan masyarakat secara lebih nyata.
Heru Hendrayana 17
BATASAN KONSEPTUAL KONSERVASI DAN
PENGENDALIAN PADA PENGELOLAAN AIRTANAH
Pengelolaan airtanah sangat diperlukan baik secara teknis maupun non teknis
untuk menghindari degradasi airtanah yang serius (baik kuantitas maupun kualitasnya),
dimana pengelolaan harus disesuaikan dengan perilaku airtanah meliputi keterdapatan,
penyebaran, ketersediaan, dan kualitas airtanah, serta lingkungan keberadaannya.
Pengelolaan airtanah perlu diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara
pendayagunaan airtanah dan upaya konservasi, serta pengendaliannya. Pada
pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan di wilayah cekungan airtanah, terdapat empat
komponen teknis pengelolaan airtanah penting yang harus diperhatikan yaitu:
1. Resource Evaluation: Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah
2. Resource Allocation: Alokasi Sumberdaya Airtanah yang tepat
3. Hazard and Risk Assessment: Kajian bahaya dan resiko pemanfaatan airtanah
dan atau pencemaran airtanah
4. Side Effect and/or Pollution Control: Pengendalian dan pengontrolan dampak
negatif pemanfaatan airtanah dan atau pencemaran airtanah.
Heru Hendrayana 18
berbeda. Berdasarkan arti dari pengelolaan airtanah, konservasi airtanah merupakan
salah satu komponen pengelolaan. Arti dari konservasi airtanah adalah upaya menjaga
kelestarian, kesinambungan ketersediaan, daya dukung, fungsi airtanah serta
mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan airtanah. Disebutkan juga, bahwa
konservasi airtanah dilaksanakan melalui: (a) penentuan zona konservasi airtanah, (b)
perlindungan dan pelestarian airtanah, (c) pengawetan airtanah, (d) pengelolaan kualitas
dan pengendalian pencemaran airtanah, (e) pengendalian penurunan kuantitas airtanah
dan (f) pemulihan airtanah. Penjelasan ini berarti, bahwa secara konsep
penyelenggaraan konservasi airtanah meliputi juga tindakan pengendalian airtanah,
sehingga batas antara kedua istilah ini menjadi saling tumpang tindih. Beberapa pustaka
menggabungkan kedua istilah ini dalam satu istilah yang disebut perlindungan airtanah
(groundwater protection). Secara umum strategi perlindungan airtanah dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu (1) perlindungan alamiah (natural protection), (2) tindakan pencegahan
(preventive actions) dan (3) tindakan koreksi (corrective actions).
Heru Hendrayana 19
pengendalian airtanah adalah segala tindakan melindungi airtanah dengan cara
mengendalikan dampak negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan
pencemaran airtanah.
Evaluasi
Sumberdaya
Potensi/Tata Guna
Sumberdaya
Aitranah
Alokasi
Sumberdaya
Harus KONSERVASI
Pemanfaatan
Airtanah yang
Berkelanjutan
Heru Hendrayana 20
Berhubungan
Kajian dengan aktivitas
Bahaya/Resiko pengambilan
airtanah dan
pencemaran
airtanah
Efek Samping
Eksploitasi dan
Pencemaran
Airtanah
Harus DIKENDALIKAN
Pemanfaatan
Airtanah yang
Berkelanjutan
Heru Hendrayana 21
Komponen Teknis Pengelolaan Airtanah Pada
Suatu Wilayah Cekungan Airtanah
Groundwater Resources Groundwater Abstraction
Potential and Pollution
Kajian Bahaya dan Resiko
Evaluasi Potensi Pemanfaatan dan Pencemaran
Sumberdaya Airtanah Airtanah
Konservasi Pengendalian
Tindakan Pengendalian
Tindakan Pelestarian, untuk menghindari
Pengawetan dan timbulnya dampak negatif
Penghematan Sumberdaya pemanfaatan airtanah dan
Airtanah pencemaran airtanah
Di Indonesia, kontribusi airtanah sebagai sumber air baku adalah sangat penting,
sampai saat ini sekitar 150 juta penduduk Indonesia kebutuhan air bersih terpenuhi dari
sumberdaya airtanah. Dari tahun ke tahun persediaan airtanah semakin berkurang,
bahkan menjadi kritis di masa datang apabila ekploitasi airtanah dan pencemaran
airtanah tidak dikontrol. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, mengingat kebutuhan air
akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan daerah
Heru Hendrayana 22
urban, peningkatan kebutuhan sanitasi, peningkatan kebutuhan industri dan pertanian,
serta tantangan lain yang sejalan dengan kemajuan peradaban kehidupan manusia.
Heru Hendrayana 23
Konservasi airtanah melindungi airtanah dengan cara melestarikan, mengawetkan
dan penghematan pemanfaatan sumberdaya airtanah. Upaya yang dilakukan adalah
melalui tindakan perlindungan alamiah (misalnya, mempertahankan tatanan/tataguna
lahan alamiah di daerah catchment area airtanah) dan tindakan pencegahan (misalnya,
pengaturan penggunaan lahan di daerah catchment area airtanah, pembuatan sumur
resapan). Sedangkan pengendalian airtanah melindungi airtanah melalui pengendalian
dampak negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran
airtanah. Upaya yang dilakukan akan lebih mengarah pada tindakan pencegahan
(misalnya, pengaturan jarak sumur pemompaan dan debit maksimum pemompaan) dan
tindakan pemulihan (misalnya, pengaturan waktu pemompaan airtanah, mitigasi
pencemaran airtanah). Perlu digarisbawahi, bahwa tindakan pencegahan lebih masuk
akal karena umumnya lebih mudah dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan
dengan biaya yang lebih rendah, daripada tindakan pemulihan yang umumnya
membutuhkan waktu lama, serta biaya yang mahal.
Setelah upaya konservasi dan pengendalian yang tepat telah direncanakan dan
ditentukan berdasar sistem penilaian bahaya dan resiko, maka pelaksanaan upaya
konservasi dan pengendalian airtanah harus dilakukan dengan pengawasan dan
pemantauan (monitoring) terhadap indikator konservasi atau pengendalian. Selanjutnya
diikuti dengan evaluasi dan komunikasi program pengelolaan yang optimal untuk
menjamin terciptanya sasaran perlindungan airtanah, yaitu pemanfaatan airtanah yang
berkelanjutan (Gambar 5).
Perlindungan Alamiah
Konservasi
Airtanah
Pencegahan
Pengendalian
Airtanah
Pemulihan
Heru Hendrayana 24
Konservasi dan Pengendalian Airtanah
Setiap wilayah cekungan airtanah yang berbeda dapat diterapkan strategi yang
berbeda sesuai dengan kondisinya. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari
keanekaragaman sistem airtanah, persepsi lokal tentang permasalahan pengelolaan
airtanah, tradisi sosial dan politik, serta kemampuan pengelolaan dan pembiayaan
program konservasi airtanah. Keberhasilan strategi kegiatan konservasi di suatu wilayah
cekungan airtanah, belum tentu dapat diterapkan di wilayah cekungan airtanah lain
dengan strategi yang sama. Tetapi secara umum, prinsip konservasi airtanah harus
berdasarkan pada pengelolaan yang memperhatikan aspek lingkungan. Dan tindakan
pencegahan adalah tindakan yang lebih baik, karena tindakan ini membutuhkan biaya
yang lebih murah daripada tindakan pemulihan yang umumnya mahal, membutuhkan
Heru Hendrayana 25
waktu yang lama, serta kadang memerlukan tindakan rekayasa yang tidak mungkin
dilakukan.
Heru Hendrayana 26
Upaya konservasi airtanah dilaksanakan secara menyeluruh pada wilayah
cekungan airtanah, mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dan harus
menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pendayagunaan airtanah dan
perencanaan tata ruang. Pelaksanaan pendayagunaan airtanah dan kegiatan lain yang
berpotensi mengubah dan merusak kondisi dan lingkungan airtanah wajib disertai dengan
upaya konservasi airtanah. Setiap upaya konservasi airtanah menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Upaya perlindungan dan
pelestarian airtanah harus juga mengikut sertakan peran masyarakat.
Seperti halnya dengan strategi konservasi airtanah yang lebih diarahkan sebagai
upaya preventif untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan airtanah dan lingkungan
yang tergantung pada airtanah, maka strategi pengendalian airtanah juga diarahkan pada
upaya-upaya preventif seperti (1) pengendalian kerusakan kuantitas airtanah akibat
pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah, dan (2) pengendalian kerusakan kualitas
airtanah akibat pencemaran airtanah. Upaya-upaya pemulihan dalam pengendalian
airtanah perlu juga diprioritaskan khususnya jika berhadapan dengan kriteria kerusakan
airtanah yang parah, walaupun tindakan pemulihan airtanah pada sistem airtanah yang
telah rusak akan memerlukan biaya dan teknologi yang kadang tidak dapat dipenuhi serta
waktu yang sangat lama.
Heru Hendrayana 27
penting, bahwa perhatian terhadap pengendalian airtanah yang spesifik difokuskan pada
skala dan tingkat yang lebih detail.
PENUTUP
Pranata hukum yang mengacu pada aspek teknis tersebut akan menjadi dasar
pada setiap pelaksanaan pengelolaan airtanah dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah maupun di tingkat pusat. Semangat reformasi, serta visi air dunia menciptakan
paradigma baru pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Paradigma baru harus
Heru Hendrayana 28
menjadi dasar dalam menciptakan pranata hukum yang baru dalam pengelolaan
airtanah.
Pengelolaan yang terpadu antar setiap jenis sumberdaya air (air hujan, air
permukaan, dan air bawah tanah), tidak lagi terfragmentasi.
Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik
menjadi sebagai regulator, pembuat kebijakan, perencanaan nasional,
pembinaan, konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan pelaksanaan
kebijakan dan pengambilan keputusan pengelolaaan kepada pemerintah daerah,
serta melibatkan para stake holders, akar rumput di daerah, dan sektor swasta.
Heru Hendrayana 29
Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya
air, tetapi juga menjamin keberlanjutan (sustainability) ketersediaan sumberdaya
air dalam ruang dan waktu tertentu, baik jumlah maupun kualitasnya.
Heru Hendrayana 30
airtanah yang seimbang mampu memberi rekomendasi daya dukung sumberdaya air
baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan di suatu wilayah yang akan dilakukan
penataan ruangnya, dan juga bagi pengembangan wilayah tersebut dikemudian hari.
Potensi sumberdaya air yang terdapat pada suatu cekungan airtanah perlu
dikelola secara menyeluruh, tidak hanya terhadap airtanahnya, tetapi juga cekungan
airtanah itu sendiri beserta lingkungannya. Tujuan pengelolaan cekungan airtanah antara
lain agar terjadi efektivitas pemanfaatan airtanah, yang mencakup : a) untuk rnernenuhi
kebutuhan air baku, b) untuk menghindari kekeringan, c) dapat mengendalikan
pencemaran, d) mampu memelihara lingkungan, e) mengetahui karakteristik imbuhan
(imbuhan lokal, imbuhan regional, atau kombinasi keduanya).
Setelah penataan ruang di suatu wilayah, maka pengelolaan cekungan airtanah
tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga bagi pengguna
airtanah, misalnya masyarakat setempat, industri, pemakai air irigasi, para pelaku
pengelola airtanah dll. Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator dan
mewujudkan “networking”, serta mengontrol mekanisme pengelolaan airtanah berikut
penataan kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona-zona tertentu. Dengan demikian
pola distribusi pemukiman, lahan-lahan terbuka, kawasan konservasi, kawasan
preservasi mempunyai pertimbangan yang kuat dan rasional dalam rangka
mengendalikan pengembangan wilayah dari waktu ke waktu dengan bertumpu pada
keberlanjutan sumberdaya airtanah. Kondisi sistem hidrogeologi di suatu wilayah harus
menjadi salah satu parameter kendali dalam penataan ruang dan pengembangan
wilayah. Dan akhirnya, dengan berlakunya PP No. 43 tahun 2008 tentang Airtanah, maka
diharapkan penyelenggaraan pengelolaan airtanah di Indonesia segera mencapai
sasaran optimal yang dapat dirasakan masyarakat secara lebih nyata.
PUSTAKA
Anonymous, 1993, Water Resources Management. A World Bank Policy Paper, The
World Bank, Washington D.C.
Anonymous, 2000, Tinjauan Umum dan Pokok-Pokok Pikiran Konservasi dan Pelestarian
Sumberdaya Air, Deputi Bidang Sumberdaya Air, Kantor Menteri Negara
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anonymous, 2005, Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Direktorat Tata
Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Dirjen Geologi dan
Sumberdaya Mineral, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral,
Jakarta.
Heru Hendrayana 31
BMZ-GTZ, 2000, Water Framework Planning, Prosiding Sistem Pengelolaan Terpadu
DAS, Program LH Indonesia-Jerman, Kantor Menteri Negara LH/Bapedal-
GTZ, Jakarta
Burchi S., 1999, National Regulations for Groundwater: Options, Issues and Best
Practices, dalam Grounwater, Legal and Policy Perspectives, World Bank
Technical Paper # 456, The World Bank, Washington D. C.
Fakultas Teknik UGM, 2007a, Penyusunan Rancangan Pedoman Konservasi Airtanah,
Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan
Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik
Indonesia, Jakarta.
Fakultas Teknik UGM, 2007b, Penyusunan Rancangan Pedoman Pengendalian Airtanah,
Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan
Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik
Indonesia, Jakarta.
Hehanussa P.E., 1999, Ketersediaan Air dalam Perspektif Abad-21, Kaitannya dengan
Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Seminar Sehari Air Bersih dan Hak
Asasi Manusia, Bogor, 25 Februari 1999.
Hendrayana, H., 1993, Hydrogeologie und Groudwassergewinnung Im Yogyakarta-
Becken, Indonesien, Mainz Gmbh, Aachen, Germany.
Hendrayana, H., 2000a, Hasil Zonasi Kawasan Perlindungan Sumber Airbaku di Kab.
Sleman, Makalah Desiminasi Informasi Hasil Penelitian Perlindungan
Sumber Air Baku, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2000b, Konservasi Airtanah dalam rangka Pemanfaatan Air yang
Berkelanjutan, Makalah Pembinaan kepada Pemakai Air Bawah Tanah,
Dinas Pertambangan DIY, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2000c, Interaksi Kualitas Air Bawah Tanah dan Air Sungai, serta Peran
Masyarakat pada Pengendalian Kualitas Air, Makalah Seminar Nasional
Lingkungan Hidup Pengendalian Pencemaran Sungai Dalam Menunjang
Prokasih 2005, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2001a, Pemodelan Airtanah untuk Prediksi Land Settlement Akibat
Pemompaan Airtanah, Makalah Seminar: Tinjauan Geologi Terhadap
Daerah Genangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2001b, The Development of Drinking Water – Protection Zones in
Indonesia, Drinking Water Quality Surveillance Project–GTZ, Institut
Fresenius GmbH - Fresenius Environmental Consulting; GFA - Infrastruktur
- und Umweltschutz GmbH, Neuhof – GERMANY.
Hendrayana, H., 2002a, A Concept Approach of Total Groundwater Basin Management,
International Symposium on Natural Resource and Environmental
Management, held in the framework of the 43 rd Anniversary of UPN
“Veteran” Jogyakarta, on January 21 – 22, 2002 (Published in English
Proceeding).
Hendrayana, H., 2002b, Konsep Dasar Pengelolaan Cekungan Air Bawah Tanah,
Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang
Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002,
Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2002c, Program Perencanaan Pendayagunaan Sumberdaya Air Bawah
Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang
Heru Hendrayana 32
Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002,
Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2002d, Sistem Pengelolaan Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan,
dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di
Indonesia, P3-TPSLK BPPT and HSF, Jakarta.
Hendrayana, H., 2002e, Groundwater Conservation for Sustainable Groundwater
Resources (Discussion on Technical Aspect)”, presented in Seminar on
Mineral and Groundwater Resources Management, Yogyakarta.
Heru Hendrayana 33