Anda di halaman 1dari 34

Accelerat ing t he world's research.

Buku Ketahanan Air UGM-


Pengelolaan Airtanah di Indonesia
(2008) (Heru Hendrayana)
Heru Hendrayana

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Konservasi Airt anah-Sebuah Pemikiran (2008) (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
Heru Hendrayana

Pengendalian Airt anah-Sebuah Pemikiran (2008) (Heru Hendrayana & Doni Prakasa EP)
Heru Hendrayana

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TANAH BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA


Nur Wahyuni
PENGELOLAAN AIRTANAH DI INDONESIA
Sebuah Ulasan dan Pemikiran
DR. Heru Hendrayana (2007)
heruha@ugm.ac.id
Fakultas Teknik – UGM

 PENDAHULUAN

Di Indonesia kebutuhan air bersih bagi masyarakat setiap tahun selalu meningkat
sesuai dengan dinamika pembangunan baik peruntukannya sebagai air minum dan
rumah tangga, industri, pertanian maupun menunjang usaha komersial lainnya. Sumber-
sumber alternatif untuk memenuhi kebutuhan air bersih adalah air hujan, air sungai, dan
airtanah. Airtanah biasanya menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
hal ini disebabkan karena airtanah mempunyai kualitas yang lebih baik, mudah
dieksploitasi, tidak perlu pengolahan dan dapat digunakan langsung di daerah yang
memerlukan. Dengan berbagai keuntungan dan anggapan airtanah sebagai common
property, airtanah dipergunakan tanpa pengelolaan dan perlindungan yang memadai,
sebagai akibatnya terjadi degradasi kualitas dan kuantitas air tanah di berbagai tempat.
Saat ini di beberapa kota besar di Indonesia telah terjadi degradasi airtanah dan
kerusakan lingkungan baik di daerah rechage maupun di daerah discharge. Terjadinya
kerusakan lingkungan di daerah recharge airtanah, antara lain karena penggundulan
hutan dan alih fungsi lahan menjadi areal pertanian bahkan menjadi pemukiman berikut
fasilitas pendukungnya. Pembentukan airtanah berkurang, sehingga jumlah cadangan
airtanah pada cekungan airtanah pun berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
mengecilnya debit mataair dan turunnya muka airtanah secara regional. Setiap musim
kemarau di beberapa daerah mengalami kekeringan dan kekurangan air. Sebaliknya di
daerah yang sama pada musim penghujan terjadi banjir.
Salah satu penyebab krisis air bersih di dunia sebagaimana terungkap pada 2nd
World Water Forum di Den Haag adalah kelemahan penyelenggaraan pengelolaan air di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada forum tersebut telah dinyatakan 7
tantangan pokok pada pengelolaan sumberdaya air, yaitu:
 Pertama, mengutamakan penggunaan sumberdaya air sebagai air minum yang
bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia;
 Kedua, menjamin tersedianya sumberdaya air bagi produksi pangan;
 Ketiga, melindungi fungsi air untuk mendukung berkelanjutan kehidupan
ekosistem;
 Keempat, mengusahakan pembagian sumberdaya air secara adil bagi sebanyak
mungkin manusia yang memerlukan;
 Kelima, mengelola resiko yang berkaitan untuk menjamin berkelanjutan
sumberdaya air bersih;
 Keenam, memberikan nilai kepada air;
 Ketujuh, membangun good governance untuk mengelola sumberdaya air secara
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi
kebutuhan generasi masa depan.

Salah satu langkah nyata dalam rangka mengatasi masalah air di Indonesia pada
bulan April 2004 di Jakarta telah dilakukan “Deklarasi Nasional” oleh 11 (sebelas)
Menteri yang bernama “Deklarasi Nasional Pengelolaan Air Yang Efektif Dalam
Penanggulangan Bencana”. Adapun isi Deklarasi Nasional tersebut adalah:
1. Meningkatkan upaya pengelolaan dan perlindungan sumberdaya air untuk
menanggulangi bencana
2. Melakukan pencegahan kerusakan lingkungan melalui konservasi, rehabilitasi
hutan dan lahan pada DAS kritis, pengelolaan kuantitas dan kualitas air, serta
pengendalian pencemaran air.
3. Meningkatkan koordinasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
meningkatkan kemampuan dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dan
masyarakat luas dalam pengelolaan air pada penanggulangan bencana.
4. Meningkatkan pertukaran data dan informasi di bidang pengelolaan sumberdaya
air dan penanggulangan bencana.

Disamping itu, Pemerintah Republik Indonesia telah mencanangkan program


Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA) pada perayaan Hari Air
Nasional (HAS) pada tahun 2005. Program yang menjadi acuan kegiatan penyelamatan
air meliputi : penataan ruang/pembangunan fisik, konservasi dan rehabilitasi hutan, lahan,
dan air, pengendalian daya rusak air, pengelolaan penggunaan air yang berkelanjutan
dan pemenuhan kebutuhan air yang adil.
Airtanah merupakan satu sumberdaya air yang mempunyai peranan penting pada
masalah penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan. Mengingat
peranan airtanah yang semakin vital dan strategis, maka pemanfaatan airtanah harus

Heru Hendrayana 2
memperhatikan keseimbangan dan pelestarian sumberdaya itu sendiri, atau dengan kata
lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan.
Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air, saat ini telah menjadi masalah
Nasional, sehingga mutlak dituntut perlunya langkah-langkah nyata untuk memperkecil
dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi airtanah yang tidak terkontrol.
Pengelolaan airtanah harus dilakukan secara bijaksana yang bertumpu pada
aspek hukum, yakni peraturan perundangan yang berlaku di bidang airtanah, serta aspek
teknis yang menyangkut pengetahuan keairtanahan (groundwater knowledge) suatu
daerah.
Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup
inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam
rangka konservasi airtanah. Pengelolaan airtanah pada hakekatnya melibatkan banyak
pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan
aspek teknis. Pengelolaan airtanah harus didasarkan pada konsep pengelolaan
cekungan airtanah (Groundwater Basin Management). Pengelolaan airtanah yang
berwawasan lingkungan mencakup kegiatan untuk pelaksanaan konservasi airtanah dan
pemantauan keseimbangan pemanfaatan airtanah.
Pada saat ini pengelolaan airtanah dan kegiatan konservasi airtanah telah banyak
dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun Swasta, tetapi pada
kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi airtanah belum dapat mencapai
sasaran dan masih relatif jauh dari titik optimal.

 KEBIJAKAN DAN PENGATURAN PENGELOLAAN


AIRTANAH DI INDONESIA

Pengelolaan airtanah di Indonesia pada dasarnya bertumpu pada aspek hukum


dan aspek teknis. Aspek hukum merupakan peraturan dan perundangan yang digunakan
untuk melandasi upaya pengelolaan airtanah, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah sebenarnya merupakan pranata hukum yang bertindak sebagai ujung
tombak upaya pelaksanaan pengelolaan dan perlindungan airtanah, dengan demikian
peraturan daerah sangat menentukan dalam pencapaian program perlindungan
sumberdaya airtanah. Karena sifatnya demikian, maka sebaiknya peraturan dan
perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah disesuaikan dan berdasarkan
pada kondisi fisik sumberdaya airtanah yang ada di daerah tersebut. Aspek teknis

Heru Hendrayana 3
pelaksanaan pengelolaan airtanah tidak mendasarkan pada batas administrasi suatu
daerah, tetapi harus tetap mengacu pada konfigurasi cekungan airtanah dengan
memperhatikan kondisi batas hidrogeologi yang ada.

2.1. Permasalahan Pengelolaan Airtanah


Tantangan yang dihadapi pada pelaksanaan pengelolaan airtanah adalah
terbatasnya sumberdaya airtanah di alam yang disertai dengan meningkatnya
pengambilan airtanah. Peningkatan pengambilan sumberdaya airtanah di kota-kota besar
di Indonesia telah melampaui batas kemampuan cadangan airtanah itu sendiri. Ditambah
dengan keterbatasan pelayanan air bersih oleh Pemerintah yang sangat terbatas dan
belum dapat menjangkau seluruh kebutuhan air domestik bagi masyarakat, telah
mendorong pengambilan airtanah secara tidak terkontrol. Akibatnya di pusat-pusat
pengambilan airtanah terjadi degradasi kuantitas, kualitas dan bahkan lingkungan
airtanah secara signifikan. Kerusakan lingkungan di daerah imbuhan airtanah karena
penggundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi areal kebun sayur atau palawija,
bahkan menjadi pemukiman berikut berikut fasilitas pendukungnya telah menyebabkan
turunnya kemampuan resapan air.
Tekanan terhadap sumberdaya air khususnya airtanah seperti telah diuraikan di
atas menunjukkan, bahwa sasaran pelaksanaan pengelolaan airtanah belum optimal
sesuai seperti yang diharapkan, yaitu pengelolaan airtanah secara bijaksana,
menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya
bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Permasalahan pengelolaan airtanah yang
masih banyak dijumpai, antara lain:
a. Kebijakan pengelolaan belum menjamin :
1. Hak setiap individu mendapatkan air bersih temasuk airtanah guna memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari
2. Hak dasar masyarakat memperoleh akses penyediaan airtanah untuk
memenuhi berbagai keperluan
3. Pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan bagi kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat
4. Perlindungan airtanah agar tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang
memadai demi kelangsungan kesejahteraan umat manusia
5. Wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan pengelolaan airtanah

Heru Hendrayana 4
6. Pelaksaanaan koordinasi pengelolaan airtanah antar industri Pemerintah dan
atau antar Pemerintah Daerah guna mengoptimalkan pelaksanaan
perlindungan terhadap airtanah
7. Keterpaduan pengelolaan antara airtanah dan air permukaan sebagai upaya
mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya air terpadu
8. Pelaksanaan penggunaan yang saling menunjang antara airtanah dan air
permukaan guna mengatasi krisis air bersih

b. Pengelolaan sumberdaya air yang terdiri dari air hujan, air permukaan dan
airtanah tidak mungkin dilaksanakan oleh satu instunsi, akan tetapi harus secara
terkoordinasi antar instansi terkait. Dengan demikian pengelolaan pemanfaatan
air saling menunjang dapat dilaksanakan dengan optimal.
c. Sistem pengambilan keputusan tidak efektif karena campur tangan pemerintah
pada pengelolaan airtanah di daerah. Di samping itu, organisasi di daerah tidak
atau kurang dilibatkan, sehingga daerah tidak mempunyai rasa memiliki atas
sumberdaya air yang ada di wilayahnya.
d. Pengelolaan airtanah oleh Pemerintah Daerah yang tidak berdasar pada
cekungan airtanah lintas batas, tetapi lebih cenderung berdasarkan pada batas
administrasi. Hal ini jelas bertentangan dengan sifat dasar airtanah yang
mengalir sesuai kondisi hidrogeologinya tanpa mengenal batas administrasi.
e. Belum adanya jaringan data dan informasi airtanah yang terintegrasi antar
lembaga pengumpul atau pengelola data airtanah, hal tersebut akibat kurang
tegasnya penerapan peraturan dan keterbatasan sumberdaya manusia di
daerah.
f. Pemanfaatan airtanah secara parsial, kurang berkeadilan, belum menjadi hak
masyarakat, khususnya masyarakat miskin untuk mendapatkan akses
penyediaan air bersih guna memenuhi kebutuhan dasarnya.
g. Tidak dihargainya nilai ekonomi dan lingkungan airtanah pada pemanfaatannya,
tetapi lebih menitik beratkan pada eksploitasi untuk mendapatkan pendapatan
bagi daerah dari pada perlindungannya.
h. Data dan informasi airtanah kurang memadai baik kuantitas maupun
kualitasnya. Data dan informasi kurang informatif dan tidak seragam dalam
format, belum tersusunnya standar sistem informasi airtanah, yang merupakan
alat bantu pada perencanaan pengelolaan dan pendukung pengambilan
keputusan.

Heru Hendrayana 5
i. Terjadinya konflik kepentingan antar pengguna sumber air baku, karena
meningkatnya degradasi kualitas, kuantitas, dan lingkungan airtanah, terutama
pada cekungan airtanah di perkotaan. Di sisi lain, terjadi peningkatan kebutuhan
sumber airbaku yang sangat pesat sejalan dengan dinamika pengembangan
wilayah.
j. Keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan,, biaya) baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah, mengakibatkan pelaksanaan pengelolaan
airtanah kurang efektif dan kurang maksimal.
k. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas setiap pelanggaran yang
terjadi terhadap peraturan perundangan pengelolaan airtanah yang ada.
l. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keberadaan dan fungsi airtanah,
baik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya, yang disebabkan terbatasnya
pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman airtanah (groundwater
knowledge).

Permasalahan pengelolaan airtanah dipicu juga dengan adanya perubahan


paradigma, yang pada akhirnya berpengaruh pada penentuan kebijakan dan proses
pelaksanaan pengelolaan airtanah, antara lain:
 Perubahan status airtanah dari komoditas sosial dan barang bebas menjadi
komoditas sosial-komersial
 Pergeseran peran Pemerintah sebagai provider menjadi enabler.
 Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
 Perubahan pola pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air dari
Government Centrist menjadi Private-Public Participation.
 Perubahan pelayanan pemerintah dari birocrative-normative menjadi responsive-
flexible.
 Perubahan sistem kebijakan Pemerintah dari top-down menjadi botton-up.

2.2. Tantangan pada Pelaksanaan Pengelolaan Airtanah

Banyaknya permasalahan dan kendala yang masih ada terhadap pelaksanaan


pengelolaan airtanah di Indonesia, baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang
berpengaruh pada sasaran pengelolaan airtanah, maka dalam rangka penyelenggaraan
pengelolaan airtanah banyak menghadapi tantangan, antara lain:

Heru Hendrayana 6
 Pengelolaan sumberdaya air secara terpadu antara airtanah dan air permukaan,
mengingat, bahwa airtanah adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem hidrologi
dengan air permukaan.
 Menerapkan konsep dasar pengelolaan air tanah secara total (Total Groundwater
Management) yang memadukan konsep pengelolaan Groundwater Basin dan River
Basin. Pendekatan pengelolaan airtanah dengan mendasarkan konsep Regional,
Intermediate dan Local/Artificial Gruondwater Flow System guna memecahkan
permasalahan kuantitas dan kualitas airtanah pada setiap recharge area ataupun
discharge area.
 Mempertimbangkan penilaian resiko (Risk Assessment) pada airtanah, baik pada
aspek kuantitas maupun kualitas pada setiap kebijakan pengelolaan airtanah. Hal
ini untuk meminimalkan dampak negatif akibat pemanfaatan airtanah terhadap
lingkungannya.
 Desentralisasi pengelolaan airtanah dengan cara memberdayakan daerah untuk
mengelola airtanah pada lingkup wilayahnya tanpa mengabaikan sifat keterdapatan
dan aliran airtanah serta prinsip cekungan airtanah lintas batas.
 Pemenuhan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan air bersih dari airtanah bagi
kebutuhan pokok sehari-hari guna mencapai kehidupan yang sehat, bersih, dan
produktif.
 Ketersediaan sistem informasi airtanah mencakup jaringan data dan informasi
airtanah terpadu didasarkan pada data keairtanahan yang andal, tepat, akurat, dan
berkesinambungan, yang mencangkup seluruh wilayah Indonesia.
 Kontinuitas ketersediaan airtanah dengan menjaga keseimbangan antara
pemanfatan nilai ekonomi air dan ketersediaan airtanah sebagai bagian ekosistem
hidrologi, mencegah degradasi kuantitas, kualitas, dan lingkungan airtanah,
mengendalikan pemanfaatan air tanah sesuai nilai ekonomi dan aspek
lingkungannya.
 Mewujudkan dan mengoptimalkan pemanfaatan air saling menunjang dengan
menciptakan keterpaduan pemanfaatan airtanah, air permukaan, dan air hujan.
 Meningkatkan dan mengoptimalkan sumberdaya (manusia, keahlian, peralatan, dan
biaya) pengelolaan, yaitu dengan memberdayakan masyarakat, swasta, para pihak
berkepentingan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
 Segera dilakukan identifikasi Bencana atau Bahaya Airtanah (Groundwater Hazard)
yang mencakup kuantitas dan kualitas, khususnya di daerah-daerah urban di
Indonesia. Kebijakan pengelolaan airtanah di masa datang harus mengacu pada

Heru Hendrayana 7
Groundwater Hazard Management yang disusun berdasarkan Groundwater Risk
Assessment.
 Mengingat penduduk daerah urban di masa datang akan mencapai 60% jumlah
penduduk, maka segera diterapkan konsep Urban Hydrogeology pada setiap
evaluasi kondisi airtanah di kota-kota besar di Indonesia.
 Mengingat isu krisis air bersih di dunia yang semakin meningkat, maka sudah
saatnya mulai dikenalkan konsep Airtanah sebagai Sumberdaya Tidak Terbarukan
(Groundwater as Non-Renewable Resource) dalam rangka untuk mencapai
Groundwater Sustainibility.

2.3. Kebijakan pada Bidang Airtanah di Indonesia


Sumberdaya air adalah karunia Tuhan yang sangat vital bagi kehidupan dan
penghidupan seluruh makhluk hidup. Oleh sebab itu, keberadaannya termasuk di bumi
Indonesia perlu dikelola secara bijaksana, demi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
rahyat. Dengan demikian, maka pengelolaan sumberdaya airtanah didasarkan atas azas,
bahwa:
 Sumberdaya airtanah adalah karunia Tuhan, yang terkandung di dalam bumi
Indonesia, dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat di segala bidang nasional, ekonomi, lingkungan, politik
maupun ketahanan nasional.
 Sumberdaya airtanah mempunyai fungsi sosial. Pola pengaturan airtanah
didasarkan atas asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian,
 Hak atas airtanah adalah semata-mata hak guna air, yakni hak untuk
memperoleh air bagi keperluan tertentu.
 Airtanah untuk keperluan air minum merupakan prioritas utama diatas keperluan
lain.
 Pertimbangan lain yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan airtanah:
o Keterpihakan kepada masyarakat atau kepentingan yang lebih luas yang
tercermin pada prioritas peruntukannya
o Tuntutan kebutuhan pendapatan daerah perlu diimbangi dengan
peningkatan upaya perlindungan airtanah dan pelayanan kebutuhan
masyarakat terhadap air bersih.

Untuk mencapai tujuan tersebut, serta untuk mencegah dan menanggulangi


terjadinya degradasi kondisi dan lingkungan airtanah, maka Pemerintah telah

Heru Hendrayana 8
merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan di bidang airtanah antara lain sebagai
berikut :
1. Menyelenggarakan pengelolaan airtanah berdasarkan pada prinsip pelestarian
Pembentukan airtanah pada akuifer memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga
upaya perbaikan atau rehabilitasi sulit dilakukan, serta membutuhkan waktu yang
relatif lama. Dengan demikian pada setiap upaya pendayagunaan perlu diimbangi
dengan upaya perlindungan agar pemanfaatannya dapt berkelanjutan. Beberapa
ketentuan yang diberlakukan adalah kewajiban melakukan upaya konservasi bagi
yang mendayagunakan airtanah, serta kegiatan lain yang berpotensi merusak kondisi
lingkungan airtanah, misalnya kegiatan penambangan, pengeringan airtanah,
pembangunan kawasan pemukiman, kawasan industri, dan lain-lain.
2). Melaksanakan pengelolaan airtanah didasarkan pada cekungan airtanah
Konsep cekungan airtanah sebagai kesatuan wilayah pengelolaan airtanah
didasarkan pada prinsip terbentuknya airtanah yang utuh dalam satu neraca air sejak
dari daerah imbuhan hingga daerah lepasan pada suatu wadah.
Tujuan kebijakan di atas agar seluruh kegiatan pengelolaan airtanah meliputi
konservasi, pendayagunaan, pengendalian dan pengawasan dapat dilakukan dalam
satu cekungan airtanah yang mencakup ekosistem hidrogeologinya.
Penetapan cekungan airtanah di Indonesia dikuatkan oleh Peraturan Presiden
sebagai dasar penyelenggaraan pengelolaan airtanah oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
3) Mendorong penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air terpadu (Intergrated water
resources management)
Pengelolaan terpadu merupakan suatu proses yang mengutamakan pembangunan
dan pengelolaan sumberdaya air, lahan, dan sumberdaya terkait lainnya secara
terkoordinasi untuk memaksimalkan pencapaian target ekonomi dan kesejahteraan
sosial tanpa mengorbankan ekosisitem. Karena pentingnya keterpaduan untuk
mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya air, Pemerintah telah memasukkan
kegiatan ini kedalam UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
Terdapat tiga program keterpaduan yang telah dicanangkan dalam UU tersebut, yaitu
(1) penyelenggaraan konservasi airtanah dan air permukaan secara terpadu, (2)
keterpaduan penggunaan airtanah dan air permukaan, serta (3) keterpaduan
pengendalian pencemaran airtanah dan air permukaan. Melalui kegiatan ini
Pemerintah mengharapkan permasalahan-permasalahan yang mendasar pada
pengelolaan sumberdaya air dapat segera diselesaikan. Dan sebagai upaya
menjamin kesinambungan ketersediaan sumberdaya air, serta menjamin

Heru Hendrayana 9
pemanfaatan yang berkelanjutan, Pemerintah secara konsisten akan terus
mengupayakan terlaksananya pengelolaan airtanah yang baik, bijaksana, dan
terpadu.
4) Memprioritaskan pemanfaatan untuk air minum di atas semua peruntukan lain
Masyarakat luas memperoleh hak atas air, yang merupakan hak guna air.
Pemanfatan air sebagai air minum merupakan prioritas utama di atas segala
keperluan lain, menyusul prioritas untuk keperluan rumah tangga, peternakan dan
pertanian sederhana, irigasi, industri, pertambangan, usaha perkotaan dan
kepentingan lainnya.
5) Pengembangan airtanah untuk mengatasi kesulitan air
Sebagai upaya membantu pengentasan kemiskinan masyarakat di desa-desa sulit
air, Pemerintah telah mencanangkan program pengembangan airtanah melalui
pengeboran akuifer dalam, pembuatan sumur pengumpul, penurapan mata air serta
pemanfaatan sungai bawah tanah. Upaya ini bertujuan agar pada masa mendatang
tidak ada lagi masyarakat pedesaan yang mengalami kesulitan memperoleh air
bersih. Demikian juga masyarakat di daerah perkotaan agar dapat memperoleh air
bersih bagi kebutuhan hidupnya, serta mendukung untuk keperluan industri.

 DINAMIKA PENGATURAN SUMBERDAYA AIRTANAH


DI INDONESIA

Dinamika sejarah pengaturan sumberdaya airtanah dapat dikelompokkan menjadi


beberapa periode, yaitu 1) Zaman Belanda, 2) Zaman kemerdekaan, 3) Zaman sebelum
Otonomi Daerah, dan 4) Zaman Otonomi Daerah. Perkembangan pengaturan
sumberdaya airtanah di Indonesia dijelaskan sebagai berikut:

3.1. Periode Sebelum Kemerdekaan 1945


Peranan airtanah yang sangat vital untuk menunjang perkembangan Negara,
maka sejak zaman kolonial, Pemerintah Hindia Belanda menyelenggaraka kebijakan
pengelolaan airtanah dalam suatu perundangan yang pada dasarnya menguasai sumber
alam tersebut.
Pada awalnya, seperti pada Staatblad 1871, No. 19, pengeboran airtanah dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah (dalam hal ini Zeni Angkatan Darat). Setelah berdirinya

Heru Hendrayana 10
Dinas Penyelidik Bumi (Diens van het Grondpielwezen) pada 1873, seluruh kegiatan
pengeboran dilaksanakan oleh dinas tersebut (Staatblad 1873, No 337). Pada lembaran
tersebut diatur, bahwa pengeboran artesis hanya boleh dilaksanakan oleh Menteri
Pertambangan.
Perusahaan pengeboran swasta dimulai terlibat pada tahun 1884 (Staatblad 1884,
No. 50) dan ijin pengeboran airtanah lebih dari 15 meter dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya pada tahun 1912, kewenangan
pemberian ijin pengeboran dikeluarkan ole Dienst van Mijnwezen (Saatblad 1912,
No.430).
Pada 1924, diberlakukan peraturan baru pada kegiatan pengeboran airtanah yang
dilaksanakan oleh perusahaan swasta (Saatbald 1924, No. 74). Berdasarkan peraturan
ini, pengeboran sumur lebih dari 15 meter, dikenakan ijin yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi, setelah dikonsultasikan dengan Biro Pertambangan. Ijin ini
mencakup kegiatan untuk untuk mengubah, menutup, memperdalam, ataupun
membersihkan sumur.
Pada 1936, telah diundangkan peraturan pusat di bidang sumberdaya air, yang
berlaku di Jawa dan Madura, Algemeen Waterreglement (Staatbaald 1936, No 489).
Pasal 28 yang menyangkut airtanah pada peraturan tersebut, mengatur:
1. Tanpa ijin dari Pemerintah Provinsi, kegiatan berikut ini dilarang;
a. Pengambilan airtanah lebih dari 15 meter
b. Pengubahan dan pembersihan sumur lebih dari 15 meter
2. Kegiatan seperti di atas akan diijinkan setelah dikonsultasikan terlebih dahulu
dengan Kepala Biro Pertambangan.

Semua peraturan tentang airtanah masa kolonial tersebut di atas masih dipakai
selama masa awal kemerdekaan, tetapi pada saat ini tidak sesuai lagi.

3.2. Periode 1945-1974


Kegiatan pengembangan airtanah tidak banyak dilaksanakan pada awal
kemerdekaan. Pengeboran sumur dalam masa itu dilaksanakan oleh Direktorat Geologi.
Setelah itu perusahaan pengeboran swasta melakukan pemboran beberapa sumur bor
dalam.
Tahun 1972 diterbitkan keputusan Presiden No. 64 tentang “Pengaturan
penguasaan dan Pengurusan Uap Geothermal, Sumber Air Bawah Tanah dan Mata Air
Panas“. Pada pasal 1 keputusan tersebut, tertulis tanggung jawab pengurusan

Heru Hendrayana 11
administrasi atas geothermal, sumber air bawah tanah dan mata air panas yang terdapat
di Indonesia ada pada Menteri Pertambangan.

3.3. Periode 1974-2000


Sebagai perwujudan dari ayat 3 pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, maka
pada tahun 1974 diundangkan Undang-Undang No 11 tentang Pengairan. Undang
Undang ini menitikberatkan fungsi sosial sumberdaya air, dengan demikian penguasaan
atas penggunaan sumberdaya tersebut dilakukan oleh Negara bagi kemakmuran rakyat.
Peraturan-peraturan hukum yang ada mengenai air dan atau sumber-sumber air,
sebelum undang-undang ini ditetapkan, dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
pada saat itu dan tidak memenuhi cita-cita yang diharapkan sesuai Pancasila dan
Undang Undang Dasar 1945.
Algemen Waterreglement (AWR) tahun 1936 yang digunakan sebagai dasar
pengaturan sebelum Undang-Undang tersebut tidak memberikan dasar yang kuat untuk
usaha-usaha pengembangan pemanfaatan air dan atau sumber-sumber air guna
meningkatkan taraf hidup rakyat. Selain itu AWR hanya berlaku di pulau Jawa dan
Madura.
Pasal 5 ayat 2 khusus tentang airtanah, undang-undang tersebut menetapkan
sebagai berikut “Pengurusan administrasi atas sumber air bawah tanah dan mata air
panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah diluar wewenang dan tanggung jawab
Menteri yang disebut dalam ayat 1 pasal ini ”(maksudnya Menteri yang diberi tugas
urusan pengairan). Pasal tersebut jelas mengamanatkan, bahwa air bawah tanah
diperlakukan pengaturan tersendiri oleh Menteri yang diserahi tugas urusan air bawah
tanah. Peraturan yang diterbitkan pada zaman sebelum otonomi daerah antara lain:
a. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982
Pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tersebut, telah ditetapkan
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982, tentang tata pengaturan air. Karena
kedudukan akuifer pada tiap daerah berbeda-beda kedalamannya, maka
pengaturan pengambilan air bawah tanah harus disesuaikan dengan kondisi
hidrogeologi setempat. Batas-batas kedalaman ini ditetapkan oleh Menteri yang
diatur dalam suatu peraturan tersendiri.
b. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Per-Tamben/1983
Mengingat peraturan ketentuan pada pasal 6 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah
No. 22 Tahun 1982, maka ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi No. 03/P/M/Per-Tamben/1983, tentang pengelolaan air bawah tanah.

Heru Hendrayana 12
Pada dasarnya Peraturan Menteri tersebut menetapkan, bahwa pengurusan
administratif air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah dalam arti
luas yang mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan, pemanfaatan,
perijinan dan pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi air
bawah tanah.
c. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 08.P/03/M.PE/1991
Mengingat, bahwa kegiatan usaha industri dan pertambangan termasuk
kegiatan usaha pertambangan, maka berkaitan dengan hubungan ekonomi
internasional dan mempunyai peranan yang luas dalam pembangunan
ekonomi sesuai pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1982, maka
ditetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.
08.8/03/MPE/1991, yang mengatur : Penggunaan air dan/atau sumber air
untuk kegiatan usaha industri dan pertambangan, termasuk kegiatan usaha
pertambangan minyak dan gas bumi diatur bersama oleh Menteri yang terkait.
d. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/101/M.PE/1994
Pada pelaksanaan kedua peraturan di atas ditemui adanya perbedaan
pemahaman tentang kewenangan pemberian ijin pengambilan airtanah untuk
kegiatan usaha industri oleh Pemerintah Daerah, sehingga pengelolaan
airtanah di beberapa daerah tidak berjalan sesuai sasaran. Oleh sebab itu,
untuk menunjang kebijakan Pemerintah di bidang deregulasi dan
debirokratisasi, terutama berkaitan dengan pengambilan dan pemanfaatan
airtanah, maka Menteri memandang perlu untuk mencabut Peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 03/P/M/Pertamben/83 dan Nomor
08.P/03/M.PE/1991, dan menetapkan Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994 tanggal 26 Desember 1994 tentang
pengurusan administrasi air bawah tanah.
e. Keputusan Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral Nomor
005.K/10/DDJG/1995
Untuk pelaksanaan Peraturan Menteri tersebut Direktur Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral nomor 005.K/10/DDJG/1995 tanggal 11 Maret 1995
tentang petunjuk pelaksanaan pengurusan administratif air bawah tanah.
Keputusan Direktur Jenderal ini mengatur wewenang dan tanggung jawab
pengurusan administrasi air bawah tanah yang dalam hal tertentu
pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur Geologi Tata Lingkungan atau Kepala
Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi.

Heru Hendrayana 13
f. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/-M.PE/1995
Penyerahan sebagian urusan pemerintah di beberapa bidang kepada
Pemerintah Daerah Tingkat II Otonomi Percontohan seperti diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1995, maka di bidang air bawah tanah,
Menteri Pertambangan dan Energi menetapkan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 1945.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember
1995 tentang Pedoman Pengelolaan Air Bawah Tanah untuk Daerah Tingkat II.
g. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/-M.PE/1995
Sebagai pedoman pelaksanaan pasal 7 Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994, maka ditetapkan Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 1946.K/102/M.PE/1995 tanggal 26 Desember
1995 tentang Perijinan Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah Untuk
Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi.

Semua peraturan yang terbit sebelum otonomi daerah di bidang air bawah tanah
jelas menunjukan, bahwa wewenang pengurusan administratif air bawah tanah adalah
pada Menteri Pertambangan dan Energi sebagai Menteri yang bertanggung jawab dalam
urusan pertambangan (Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 pasal 5 ayat 2 jo
peraturan pemerintah nomor 22 tahun 1982 pasal 6 ayat 1). Dengan demikian berarti,
bahwa pengurusan administratif merupakan wewenang Pemerintah Pusat.
Pemerintah Provinsi c/q Gubernur Kepala Daerah berwewenang pada pemberian
ijin pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah berdasarkan petunjuk teknis Menteri
dalam hal ini Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pertambangan (Peraturan
Pemerintah nomor 22 tahun 1982 pasal 6 ayat 2). Dengan demikian peran Pemerintah
Daerah adalah melakukan tugas pembangunan terhadap Pemerintah Pusat dalam
pengurusan administratif air bawah tanah; termasuk bagi Pemerintah Daerah Tingkat II
otonomi percontohan sesuai Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1995 jo keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi No 1945.K/102/M.Pe/1995. Tugas perbantuan
tersebut secara garis besar mencakup:
1. Pemberian ijin pengeboran dan ijin pengambilan air bawah tanah
2. Pengawasan
3. Pengendalian

3.4. Pengaturan Airtanah Pada Masa Otonomi Daerah


Dengan diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 25 tahun 2000, saat
itu penyelenggaraan pengelolaan airtanah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota,

Heru Hendrayana 14
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral
sesuai kewenangannya).
Sesuai amanat PP No. 25 Tahun 2000, maka DESDM telah mengeluarkan
Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1451.K/MEM/2000 tentang
Pedoman Teknis Penyelanggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Bawah
Tanah berikut 11 Lampiran Pedoman Teknis dan prosedur sebagai acuan penyusunan
Peraturan Daerah dan pedoman pelaksanaan pengelolaan air tanah di daerah pada era
otonomi daerah.
Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pengelolaan airtanah berbasis cekungan
airtanah telah dikeluarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No.
716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horisontal Cekungan Airtanah di P.Jawa dan
P.Madura yang termuat dalam peta cekungan airtanah skala 1:250.000. Selanjutnya telah
disiapkan Keputusan MESDM yang memuat 16 Pedoman Teknis, prosedur, dan kriteria
untuk melengkapi panduan pada pelaksanaan pengelolaan airtanah.
Kewenangan pengelolaan airtanah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan PP
No.25 tahun 2000 telah diserahkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya, tetapi belum seluruh daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Airtanah. Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang belum memiliki Peraturan Daerah didorong untuk menyiapkan
Perda tentang Pengelolaan Airtanah.
Pemerintah telah menetapkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
yang bersifat desentralistik guna menggantikan UU No. 11 tahun 1974 yang bersifat
sentralistik. Hal tersebut untuk menyesuaikan pengelolaan sumberdaya air di era otonomi
daerah. Undang-undang tersebut masih perlu dilengkapi dengan peraturan pemerintah
tentang airtanah. Kebutuhan peraturan pemerintah ini sudah sangat mendesak
mengingat meningkatnya permasalahan airtanah. Peraturan ini akan berfungsi sebagai
payung pada penyelenggaraan pengelolaan airtanah oleh Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota, serta sebagai acuan pada penyusunan peraturan daerah di
bidang airtanah.
Substansi pengaturan pada peraturan pemerintah ini sebagai upaya pemecahan
berbagai masalah dalam pengelolaan airtanah, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah. Upaya pemecahan masalah tersebut antara lain:
a. Penetapan kebijakan pengelolaan airtanah secara terpadu dengan sumberdaya
air yang lain, serta bagian tak terpisahkan dalam penataan ruang.
b. Penetapan kebijakan atas pengakuan hak dasar setiap orang untuk mendapatkan
air, hak mendapatkan informasi dan hak keterlibatan dalam pengelolaan.

Heru Hendrayana 15
c. Penetapan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah
pada pengelolaan airtanah sesuai dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan sifat
aliran airtanah.
d. Perencanaan pengelolaan terpadu didasarkan pada data dan informasi keairan
yang handal, tepat, akurat, dan berkesinamungan, serta menjamin
terselenggaranya konservasi, pendayagunaan, pencegahan degradasi airtanah,
dan pemberdayaan para pelaku pengelolaan.
e. Penyelenggaraan konservasi dengan menetapkan kawasan lindung dan kawasan
budidaya airtanah, serta upaya pelestarian dan pengawetan airtanah.
f. Penggunaan airtanah secara terpadu dan menyeluruh dengan menerapkan
prinsip konservasi, keadilan, pemanfaatan akuifer lintas batas, conjunctive use,
demand management, dan korporasi yang mencerminkan keseimbangan nilai-
nilai ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya dari airtanah.
g. Pengendalian dan pemantauan pemanfaatan airtanah, melalui penciptaan
instrument pengendalian, penutupan daerah bagi pengambilan airtanah,
pembatasan pengambilan, peningkatan imbuhan, mitigasi, penegakan hukum
yang taat asas, menerus dan tidak diskriminatif.
h. Pemberdayaan masyarakat, swasta, para pihak berkepentingan, pemerintah
daerah, dan pemerintah dengan melibatkan pada setiap proses pengelolaan,
pendidikan sepanjang hayat, dan pelatihan.

Beberapa pengaturan pada pengelolaan airtanah dalam peraturan pemerintah


antara lain:
a. Pengelolaan pada cekungan airtanah
Pengelolaan airtanah dilaksanakan berdasarkan cekungan airtanah, dalam
satu neraca air secara utuh mulai dari daerah imbuhan sampai daerah
lepasan. Pengelolaan air tanah meliputi inventarisasi, perencanaan,
pendayagunaan, konservasi, peruntukan pemanfaatan, perijinan, pembinaan
dan pengendalian, serta pengawasan dilaksanakan secara utuh dalam satu
cekungan airtanah.
b. Perijinan Airtanah
Penerapan perijinan airtanah merupakan bentuk legitimasi dalam
pengelolaan airtanah, dan juga dimaksudkan sebagai pengendalian dalam
pendayagunaan airtanah. Ijin pengeboran, penurapan mata air, pengambilan
airtanah dan mata air hanya diberikan untuk daerah yang kondisi airtanahnya

Heru Hendrayana 16
masih aman atau masih memungkinkan dapat diambil tanpa mengakibatkan
degradasi kondisi dan lingkungan airtanah.
c. Pengendalian pengambilan airtanah
Pemanfaatan airtanah dari tahun ketahun terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan berbagai
sektor. Kebijakan yang diambil pada pengendalian pemanfaatan airtanah
antara lain pengaturan persyaratan teknis pada pemberian ijin pengeboran,
penurapan mata air, dan pengambilan, serta pembatasan debit pengambilan.
Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga lingkungan sumberdaya airtanah,
serta mempertahankan keberadaan airtanah agar mampu menopang
kebutuhan air untuk jangka panjang dan masa datang. Pada pemanfaatan
airtanah untuk industri, secara bertahap perlu dikurangi, dan diganti dengan
air permukaan. Penentuan kawasan industri, terutama jenis industri yang
memerlukan banyak air perlu mempertimbangkan daya dukung ketersediaan
sumber air, terutama air permukaan, dan menghindari ketergantungan pada
pemanfaatan airtanah.

Dengan melalui proses yang panjang, akhirnya pada tahun 2008 pemerintah telah
mengesahkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Airtanah. Peraturan ini merupakan salah satu tindakan nyata dan serius dari pemerintah
dalam rangka menangani permasalahan airtanah, dan juga merupakan penjabaran yang
lebih rinci tentang airtanah dari Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Dalam peraturan pemerintah ini telah diatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan sumberdaya airtanah, termasuk landasan, kebijakan dan strategi pengelolaan
airtanah, tentang perijinan, pemberdayaan, pengendalian dan pengawasan, beserta
sanksi terhadap pelanggaran terhadap peraturan perundangan airtanah. Dengan
berlakunya peraturan pemerintah ini, maka diharapkan pelaksanaan dan
penyelenggaraan pengelolaan airtanah di Indonesia segera mencapai sasaran optimal
yang dapat dirasakan masyarakat secara lebih nyata.

Heru Hendrayana 17
 BATASAN KONSEPTUAL KONSERVASI DAN
PENGENDALIAN PADA PENGELOLAAN AIRTANAH

Pengelolaan airtanah adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau,


dan mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan konservasi, pendayagunaan airtanah dan
pengendalian daya rusak airtanah. Perkembangan pemanfaatan airtanah yang
berkelanjutan membutuhkan konsep pengelolaan airtanah yang efektif dan efisien serta
tepat sasaran. Pada dasarnya pengelolaan airtanah bertujuan untuk menselaraskan
kesetimbangan pemanfaatan dalam kerangka kuantitas dan kualitas dengan
pertumbuhan kebutuhan air yang meningkat dengan tajam. Penerapan pengelolaan
airtanah sebaiknya dilakukan sebelum terjadinya penurunan kuantitas dan kualitas
airtanah akibat pengambilan airtanah dan pencemaran airtanah. Oleh sebab itu,
pengelolaan airtanah tidak saja merupakan upaya mengelola sumberdaya airtanah
(managing aquifer resources), tetapi juga upaya mengelola manusia yang
memanfaatkannya (managing people).

Pengelolaan airtanah sangat diperlukan baik secara teknis maupun non teknis
untuk menghindari degradasi airtanah yang serius (baik kuantitas maupun kualitasnya),
dimana pengelolaan harus disesuaikan dengan perilaku airtanah meliputi keterdapatan,
penyebaran, ketersediaan, dan kualitas airtanah, serta lingkungan keberadaannya.
Pengelolaan airtanah perlu diarahkan untuk mewujudkan keseimbangan antara
pendayagunaan airtanah dan upaya konservasi, serta pengendaliannya. Pada
pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan di wilayah cekungan airtanah, terdapat empat
komponen teknis pengelolaan airtanah penting yang harus diperhatikan yaitu:
1. Resource Evaluation: Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah
2. Resource Allocation: Alokasi Sumberdaya Airtanah yang tepat
3. Hazard and Risk Assessment: Kajian bahaya dan resiko pemanfaatan airtanah
dan atau pencemaran airtanah
4. Side Effect and/or Pollution Control: Pengendalian dan pengontrolan dampak
negatif pemanfaatan airtanah dan atau pencemaran airtanah.

Mengkaji peraturan perundangan pemerintah baik pusat maupun daerah


(termasuk di dalamnya rancangan peraturan) tentang pengelolaan airtanah, ke-empat hal
tersebut umumnya telah dipertimbangkan, walau terkemas dalam istilah dan urutan yang

Heru Hendrayana 18
berbeda. Berdasarkan arti dari pengelolaan airtanah, konservasi airtanah merupakan
salah satu komponen pengelolaan. Arti dari konservasi airtanah adalah upaya menjaga
kelestarian, kesinambungan ketersediaan, daya dukung, fungsi airtanah serta
mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan airtanah. Disebutkan juga, bahwa
konservasi airtanah dilaksanakan melalui: (a) penentuan zona konservasi airtanah, (b)
perlindungan dan pelestarian airtanah, (c) pengawetan airtanah, (d) pengelolaan kualitas
dan pengendalian pencemaran airtanah, (e) pengendalian penurunan kuantitas airtanah
dan (f) pemulihan airtanah. Penjelasan ini berarti, bahwa secara konsep
penyelenggaraan konservasi airtanah meliputi juga tindakan pengendalian airtanah,
sehingga batas antara kedua istilah ini menjadi saling tumpang tindih. Beberapa pustaka
menggabungkan kedua istilah ini dalam satu istilah yang disebut perlindungan airtanah
(groundwater protection). Secara umum strategi perlindungan airtanah dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu (1) perlindungan alamiah (natural protection), (2) tindakan pencegahan
(preventive actions) dan (3) tindakan koreksi (corrective actions).

Berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan airtanah batasan antara konservasi


dan pengendalian airtanah perlu diperjelas agar pelaksanaannya tidak saling tumpang
tindih atau hanya merupakan perulangan. Untuk itu dengan berdasarkan ke-empat faktor
teknis dalam pengelolaan airtanah, batasan konservasi dan pengendalian harus
ditetapkan. Secara umum komponen teknis pengelolaan airtanah, dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu:
1. Komponen teknis yang berkaitan dengan sumberdaya airtanah, dan
2. Komponen teknis kajian bahaya/resiko pemanfaatan dan pencemaran airtanah.

Untuk mewujudkan pemanfataan airtanah yang berkelanjutan, komponen


sumberdaya airtanah adalah komponen yang wajib untuk dikonservasi demi
mempertahankan keberadaan airtanah baik kuantitas maupun kualitasnya (Gambar 1). Di
sisi lain, pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan juga harus ditunjang dengan
pengendalian terhadap aktivitas eksploitasi airtanah dan pencemaran airtanah (lihat
Gambar 2). Berdasarkan pemikiran sederhana ini, batasan konseptual antara tindakan
konservasi dan pengendalian airtanah dapat ditetapkan seperti diperlihatkan pada
Gambar 3. Pada gambar ini, yang dimaksudkan dengan konservasi airtanah adalah
segala tindakan melindungi airtanah dengan cara melestarikan mengawetkan
sumberdaya airtanah dan penghematan pemanfaatan sumberdaya airtanah. Tindakan
pelestarian, pengawetan dan penghematan ini harus didasarkan pada hasil evaluasi
kondisi sumberdaya airtanah dan alokasi pemanfaatan sumberdaya airtanah. Sedangkan

Heru Hendrayana 19
pengendalian airtanah adalah segala tindakan melindungi airtanah dengan cara
mengendalikan dampak negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan
pencemaran airtanah.

Evaluasi
Sumberdaya
Potensi/Tata Guna
Sumberdaya
Aitranah
Alokasi
Sumberdaya

Harus KONSERVASI

Pemanfaatan
Airtanah yang
Berkelanjutan

Gambar 1. Komponen yang harus dikonservasi dalam kerangka pemanfaatan airtanah


yang berkelanjutan.

Heru Hendrayana 20
Berhubungan
Kajian dengan aktivitas
Bahaya/Resiko pengambilan
airtanah dan
pencemaran
airtanah
Efek Samping
Eksploitasi dan
Pencemaran
Airtanah
Harus DIKENDALIKAN

Pemanfaatan
Airtanah yang
Berkelanjutan

Gambar 2. Komponen yang harus dikendalikan dalam kerangka pemanfaatan airtanah


yang berkelanjutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka konservasi airtanah merupakan tindakan


melindungi airtanah dengan strategi perlindungan alamiah (natural protection) dan
tindakan pencegahan (preventive actions) untuk mempertahankan potensi dan alokasi
sumberdaya airtanah. Sedangkan tindakan pengendalian airtanah adalah tindakan
perlindungan airtanah dengan strategi tindakan pencegahan (preventive actions) dan
tindakan koreksi (corrective actions) terhadap pengambilan dan atau pemanfaatan
airtanah, serta pencemaran airtanah yang terjadi. Perlu digarisbawahi, bahwa tindakan
pencegahan lebih masuk akal, karena umumnya lebih mudah dilakukan dengan waktu
yang relatif singkat dan dengan biaya yang lebih rendah daripada tindakan koreksi yang
umumnya membutuhkan waktu yang lama, serta biaya yang sangat tinggi.

Heru Hendrayana 21
Komponen Teknis Pengelolaan Airtanah Pada
Suatu Wilayah Cekungan Airtanah
Groundwater Resources Groundwater Abstraction
Potential and Pollution
Kajian Bahaya dan Resiko
Evaluasi Potensi Pemanfaatan dan Pencemaran
Sumberdaya Airtanah Airtanah

Pengendalian Dampak Negatif


Alokasi Sumberdaya Pemanfaatan dan Pencemaran
Airtanah Airtanah

Konservasi Pengendalian

Tindakan Pengendalian
Tindakan Pelestarian, untuk menghindari
Pengawetan dan timbulnya dampak negatif
Penghematan Sumberdaya pemanfaatan airtanah dan
Airtanah pencemaran airtanah

Gambar 3. Skema konservasi dan pengendalian airtanah untuk menunjang


pemanfaatan airtanah yang berkelanjutan.

 KONSERVASI DAN PENGENDALIAN AIRTANAH

5.1. Etika Konservasi dan Pengendalian Airtanah

Di Indonesia, kontribusi airtanah sebagai sumber air baku adalah sangat penting,
sampai saat ini sekitar 150 juta penduduk Indonesia kebutuhan air bersih terpenuhi dari
sumberdaya airtanah. Dari tahun ke tahun persediaan airtanah semakin berkurang,
bahkan menjadi kritis di masa datang apabila ekploitasi airtanah dan pencemaran
airtanah tidak dikontrol. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, mengingat kebutuhan air
akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan daerah

Heru Hendrayana 22
urban, peningkatan kebutuhan sanitasi, peningkatan kebutuhan industri dan pertanian,
serta tantangan lain yang sejalan dengan kemajuan peradaban kehidupan manusia.

Untuk menjaga keberlanjutan penggunaan airtanah, salah satu aspek penting


dalam pengelolaan airtanah adalah pelaksanaan perlindungan airtanah yang mencakup
kegiatan konservasi airtanah dan pengendalian airtanah. Konservasi airtanah adalah
upaya memelihara keberadaan dan keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi airtanah
dengan melindungi airtanah dengan cara melestarikan, mengawetkan sumberdaya
airtanah dan penghematan pemanfaatan sumberdaya airtanah. Sedangkan,
pengendalian airtanah adalah upaya untuk menjaga, mencegah, menanggulangi dan
memulihkan kerusakan airtanah dengan melindungi airtanah melalui pengendalian
dampak negatif yang timbul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran airtanah.

Etika pelaksanaan upaya konservasi dan pengendalian harus didasarkan dari


hasil suatu penilaian bahaya dan resiko terhadap airtanah (groundwater hazard and risk
assessment). Penilaian bahaya dan resiko terhadap airtanah harus dimulai sejak di
lokasi pengambilan airtanah termasuk catchment area of groundwater, distribusi air,
hingga sebelum dipergunakan oleh masyakarat untuk berbagai keperluan. Dalam
kerangka konservasi airtanah, penilaian bahaya dan resiko didasarkan pada dua hal,
yaitu (1) bahaya/resiko alamiah dan antropogen yang dapat menyebabkan perubahan
potensi airtanah baik kuantitas dan kualitas dan (2) bahaya/resiko alamiah dan
antropogen yang dapat menyebabkan perubahan pada alokasi sumberdaya airtanah.
Sedangkan dalam kerangka pengendalian airtanah, penilaian bahaya dan resiko
didasarkan pada tiga hal, yaitu (1) bahaya/resiko dampak kegiatan pengambilan airtanah
dari aktivitas manusia, (2) bahaya/resiko pencemaran airtanah secara alami dan akibat
aktivitas manusia, serta (3) kelayakan tindakan pemulihan kerusakan airtanah.

Strategi tindakan perlindungan airtanah dengan upaya konservasi dan


pengendalian sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok tindakan, yaitu (1)
perlindungan alamiah (natural protections), (2) tindakan pencegahan (preventive actions)
dan (3) tindakan pemulihan (corrective actions). Dengan sistem penilaian bahaya/resiko,
maka strategi tindakan yang tepat dan efisien pada kerangka upaya konservasi dan
pengendalian airtanah dapat direncanakan dengan tepat sasaran. Hal ini dapat terwujud
karena penilaian bahaya dan resiko mencakup semua evaluasi permasalahan alamiah
dan aktivitas manusia yang dapat merubah kuantitas serta kualitas airtanah.

Heru Hendrayana 23
Konservasi airtanah melindungi airtanah dengan cara melestarikan, mengawetkan
dan penghematan pemanfaatan sumberdaya airtanah. Upaya yang dilakukan adalah
melalui tindakan perlindungan alamiah (misalnya, mempertahankan tatanan/tataguna
lahan alamiah di daerah catchment area airtanah) dan tindakan pencegahan (misalnya,
pengaturan penggunaan lahan di daerah catchment area airtanah, pembuatan sumur
resapan). Sedangkan pengendalian airtanah melindungi airtanah melalui pengendalian
dampak negatif yang dapat muncul akibat pemanfaatan airtanah dan pencemaran
airtanah. Upaya yang dilakukan akan lebih mengarah pada tindakan pencegahan
(misalnya, pengaturan jarak sumur pemompaan dan debit maksimum pemompaan) dan
tindakan pemulihan (misalnya, pengaturan waktu pemompaan airtanah, mitigasi
pencemaran airtanah). Perlu digarisbawahi, bahwa tindakan pencegahan lebih masuk
akal karena umumnya lebih mudah dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan
dengan biaya yang lebih rendah, daripada tindakan pemulihan yang umumnya
membutuhkan waktu lama, serta biaya yang mahal.

Setelah upaya konservasi dan pengendalian yang tepat telah direncanakan dan
ditentukan berdasar sistem penilaian bahaya dan resiko, maka pelaksanaan upaya
konservasi dan pengendalian airtanah harus dilakukan dengan pengawasan dan
pemantauan (monitoring) terhadap indikator konservasi atau pengendalian. Selanjutnya
diikuti dengan evaluasi dan komunikasi program pengelolaan yang optimal untuk
menjamin terciptanya sasaran perlindungan airtanah, yaitu pemanfaatan airtanah yang
berkelanjutan (Gambar 5).

Tindakan Perlindungan Airtanah

Perlindungan Alamiah
Konservasi
Airtanah
Pencegahan

Pengendalian
Airtanah
Pemulihan

Gambar 4 : Hubungan antara tindakan perlindungan airtanah, konservasi airtanah


dan pengendalian airtanah.

Heru Hendrayana 24
Konservasi dan Pengendalian Airtanah

Sistem Penilaian Operasional dan


Bahaya dan Pengawasan Evaluasi dan
Resiko Komunikasi

Gambar 5 : Diagram alir pelaksanaan konservasi dan pengendalian airtanah

5.2. Strategi Konservasi Airtanah

Konservasi airtanah adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan


keadaan, sifat, dan fungsi airtanah agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang
maupun masa datang. Secara umum strategi konservasi airtanah dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu : (1) konservasi alamiah, (2) tindakan pemulihan dan (3) tindakan
pencegahan. Pemilihan dari ketiga strategi konservasi tersebut memerlukan
pertimbangan serius. Penentuan pilihan strategi konservasi tidak memiliki rumusan
tertentu yang memberi garansi, bahwa strategi konservasi terpilih adalah paling efektif
dan akan berhasil di suatu daerah atau wilayah cekungan airtanah.

Setiap wilayah cekungan airtanah yang berbeda dapat diterapkan strategi yang
berbeda sesuai dengan kondisinya. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari
keanekaragaman sistem airtanah, persepsi lokal tentang permasalahan pengelolaan
airtanah, tradisi sosial dan politik, serta kemampuan pengelolaan dan pembiayaan
program konservasi airtanah. Keberhasilan strategi kegiatan konservasi di suatu wilayah
cekungan airtanah, belum tentu dapat diterapkan di wilayah cekungan airtanah lain
dengan strategi yang sama. Tetapi secara umum, prinsip konservasi airtanah harus
berdasarkan pada pengelolaan yang memperhatikan aspek lingkungan. Dan tindakan
pencegahan adalah tindakan yang lebih baik, karena tindakan ini membutuhkan biaya
yang lebih murah daripada tindakan pemulihan yang umumnya mahal, membutuhkan

Heru Hendrayana 25
waktu yang lama, serta kadang memerlukan tindakan rekayasa yang tidak mungkin
dilakukan.

5.3. Kegiatan Konservasi Airtanah

Konservasi airtanah merupakan pengelolaan airtanah untuk menjamin


pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara, serta meningkatkan mutunya. Dengan demikian konservasi
merupakan tindakan yang perlu dilakukan dalam mengelola sumberdaya airtanah agar
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Untuk dapat melaksanakan konservasi airtanah perlu pemahaman tentang sifat-


sifat, karakteristik airtanah di alam, meliputi : geometri dan konfigurasi sistem akuifer,
proses pembentukan dan pergerakan airtanah mulai dari daerah imbuhan hingga daerah
pelepasan, serta sifat fisik dan kimia sumberdaya air tersebut.

Kegiatan konservasi airtanah merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya air


tepadu, telah diatur dalam UU Sumberdaya Air, yang kemudian dirinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Airtanah. Dalam pelaksanaannya, kegiatan
konservasi airtanah masih memerlukan pedoman yang lebih rinci agar kegiatan
konservasi tersebut dapat berjalan dengan optimal.

Berdasarkan batasan antara konservasi dan pengendalian airtanah, maka


konservasi airtanah antara lain mencakup kegiatan:
1. perlindungan dan pelestarian airtanah;
2. pengawetan dan penghematan airtanah;
3. penentuan zona konservasi airtanah.

Seperti disebutkan di atas, upaya konservasi dilakukan melalui serangkaian


kegiatan meliputi pelestarian, perlindungan, pengawetan yang ditentukan dalam kerangka
zona konservasi airtanah. Pelestarian airtanah merupakan upaya menjaga kelestarian
kondisi dan lingkungan airtanah agar tidak mengalami perubahan. Perlindungan airtanah
merupakan upaya menjaga keberadaan serta mencegah terjadinya kerusakan kondisi
dan lingkungan airtanah, dan termasuk di dalamnya upaya memelihara keberadaan
airtanah agar tersedia sesuai fungsinya. Pengawetan airtanah merupakan upaya
memelihara kondisi dan lingkungan airtanah agar selalu tersedia dalam kuantitas dan
kualitas yang memadai.

Heru Hendrayana 26
Upaya konservasi airtanah dilaksanakan secara menyeluruh pada wilayah
cekungan airtanah, mencakup daerah imbuhan dan daerah lepasan airtanah dan harus
menjadi salah satu pertimbangan dalam perencanaan pendayagunaan airtanah dan
perencanaan tata ruang. Pelaksanaan pendayagunaan airtanah dan kegiatan lain yang
berpotensi mengubah dan merusak kondisi dan lingkungan airtanah wajib disertai dengan
upaya konservasi airtanah. Setiap upaya konservasi airtanah menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Upaya perlindungan dan
pelestarian airtanah harus juga mengikut sertakan peran masyarakat.

5.4. Strategi Pengendalian Airtanah

Seperti halnya dengan strategi konservasi airtanah yang lebih diarahkan sebagai
upaya preventif untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan airtanah dan lingkungan
yang tergantung pada airtanah, maka strategi pengendalian airtanah juga diarahkan pada
upaya-upaya preventif seperti (1) pengendalian kerusakan kuantitas airtanah akibat
pengambilan dan atau pemanfaatan airtanah, dan (2) pengendalian kerusakan kualitas
airtanah akibat pencemaran airtanah. Upaya-upaya pemulihan dalam pengendalian
airtanah perlu juga diprioritaskan khususnya jika berhadapan dengan kriteria kerusakan
airtanah yang parah, walaupun tindakan pemulihan airtanah pada sistem airtanah yang
telah rusak akan memerlukan biaya dan teknologi yang kadang tidak dapat dipenuhi serta
waktu yang sangat lama.

Jika pada pengelolaan kuantitas airtanah, pengendalian hanya berkaitan dengan


tindakan pengambilan dan pemanfaatan airtanah, tidak sedemikian dengan pengelolaan
kualitas airtanah. Pengendalian kualitas airtanah tidak saja berhubungan dengan airtanah
tetapi meliputi tindakan pengendalian lingkungan, khususnya perubahan tata guna lahan,
serta pengawasan terhadap buangan limbah dan tata guna lahan agar tidak meresap ke
dalam tanah dan kemudian mencemari airtanah. Kajian kemungkinan masuknya zat
pencemar harus diterapkan pada pencegahan pencemaran airtanah, sehingga titik-titik
atau area potensial pencemar airtanah dapat terpetakan, yang akan memudahkan
proses pemantauan dan pengawasan dalam kerangka pengendalian kualitas dan
pencemaran airtanah.
Pada skala yang luas, strategi pengendalian kuantitas dan kualitas airtanah (dan
prasyarat pengkajian bahaya pencemaran) harus dipromosikan oleh regulator yang
berhubungan dengan lingkungan atau air (atau agensi, departemen, pemerintah lokal,
regional, atau nasional yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi ini). Sangatlah,

Heru Hendrayana 27
penting, bahwa perhatian terhadap pengendalian airtanah yang spesifik difokuskan pada
skala dan tingkat yang lebih detail.

5.5. Kegiatan Pengendalian Airtanah

Pengendalian kerusakan kuantitas airtanah akibat pengambilan dan atau


pemanfaatan airtanah dilakukan untuk menjaga mencegah, rnenanggulangi, dan
memulihkan kerusakan kuantitas airtanah. Berdasarkan prioritas kepentingan atau kriteria
kerusakan airtanah, pengendalian kerusakan kuantitas airtanah sangat penting dilakukan
terhadap akuifer yang mengalami pengurasan, daerah imbuhan yang mengalami
perubahan fisik, dan lingkungan airtanah yang rusak akibat pengambilan airtanah yang
intensif.

Untuk menjaga, mencegah, menanggulangi dan memulihkan kerusakan airtanah,


dalam kerangka pengendalian airtanah terdapat tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Pengendalian Pengambilan/Pemanfaatan Airtanah;
2. Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Airtanah;
3. Pemulihan Kerusakan Airtanah

 PENUTUP

Sesuai dengan kenyataan, bahwa hasil pelaksanaan pengelolaan airtanah di


Indonesia masih jauh dari sasaran yang diharapkan, dan dengan jelas terindikasikan
adanya permasalahan yang sangat kompleks, sehingga perlu untuk mewujudkan
tantangan tersebut menjadi peluang (opportunities) dalam rangka mencapai tujuan
pengelolaan airtanah yang optimal. Dengan demikian perlu perwujudan pranata hukum
pengelolaan airtanah berupa tindakan yang bersifat kebijakan, pengaturan, dan
penetapan dalam pengelolaan airtanah. Di samping itu, pengembangan aspek teknis
perlu terus dilakukan untuk mendukung pelaksanaan aspek hukum.

Pranata hukum yang mengacu pada aspek teknis tersebut akan menjadi dasar
pada setiap pelaksanaan pengelolaan airtanah dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah maupun di tingkat pusat. Semangat reformasi, serta visi air dunia menciptakan
paradigma baru pengelolaan sumberdaya air di Indonesia. Paradigma baru harus

Heru Hendrayana 28
menjadi dasar dalam menciptakan pranata hukum yang baru dalam pengelolaan
airtanah.

Berkaitan dengan tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat atas pemanfaatan


sumberdaya air akibat peningkatan taraf hidup, pembangunan dan kenaikan jumlah
penduduk, sementara di sisi lain tuntutan terhadap kelestarian lingkungan, meningkatnya
kelangkaan (scarcity) sumber air baku, serta tuntutan keterlibatan masyarakat, telah
mengubah secara radikal pola pikir (paradigm) tentang pengelolaan sumberdaya air.
World Water Forum, menetapkan visi air dunia “Making Water Everybody’s Business”,
serta tujuh tantangan terhadap kebutuhan air baku, yaitu : i) memenuhi kebutuhan pokok
penduduk; ii) menjamin penyediaan pangan; iii) melindungi ekosistem; iv) membagi
sumberdaya air antar wilayah berkaitan; v) menanggulangi resiko; vi) memberi nilai air;
dan vii) menguasai air secara bijaksana. Untuk menjawab tantangan tersebut disepakati:
1) inovasi di bidang kelembagaan, teknologi, dan finansial; 2) pengelolaan sumberdaya
air dan sumberdaya lahan secara terpadu, yang mencakup perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya manusia; 3) kerjasama dan kemitraan di semua tingkat; 4)
melaksanakan prinsip-prinsip yang telah disepakati berupa tindakan nyata berdasarkan
kemitraan semua pihak untuk mewujudkan keamanan terhadap air baku dengan
berbagai cara.

Di Indonesia, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999


tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan
sumberdaya air, dan dengan diilhami rekomendasi dari konferensi di atas, maka telah
terjadi reformasi pengelolaan sumberdaya air yang bertumpu pada paradigma baru
pengelolaan sumberdaya air seperti yang telah direkomendasikan pada konferensi
tersebut. Paradigma baru dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia dapat
dijelaskan sebagai berikut :

 Pengelolaan yang terpadu antar setiap jenis sumberdaya air (air hujan, air
permukaan, dan air bawah tanah), tidak lagi terfragmentasi.

 Pengelolaan bersifat desentralisasi, daerah kabupaten/kota berwenang mengelola


sumberdaya nasional (termasuk sumberdaya air) yang tersedia di wilayahnya.

 Peran pemerintah pusat dari regulator dan sekaligus operator yang sentralistik
menjadi sebagai regulator, pembuat kebijakan, perencanaan nasional,
pembinaan, konservasi dan standarisasi nasional, dan menyerahkan pelaksanaan
kebijakan dan pengambilan keputusan pengelolaaan kepada pemerintah daerah,
serta melibatkan para stake holders, akar rumput di daerah, dan sektor swasta.

Heru Hendrayana 29
 Pengelolaan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya
air, tetapi juga menjamin keberlanjutan (sustainability) ketersediaan sumberdaya
air dalam ruang dan waktu tertentu, baik jumlah maupun kualitasnya.

Pengelolaan sumberdaya airtanah harus dilakukan secara bijaksana oleh semua


pihak dengan bertumpu pada aspek teknis dan aspek hukum dan kelembagaan yang
benar. Secara teknis, penerapan konsep dasar pengelolaan airtanah secara total harus
diterapkan secara nyata, yaitu dengan memadukan konsep pengelolaan air permukaan
yang berbasis daerah aliran sungai dan konsep pengelolaan airtanah berbasis cekungan
airtanah, yang mendasarkan pada analisis sistem aliran airtanah regional, menengah dan
lokal, guna memecahkan permasalahan kuantitas dan kualitas airtanah secara lebih
nyata.
Aspek hukum dan kelembagaan memegang peran sangat penting dalam
penyelenggaraan pengelolaan airtanah. Pranata hukum dan kelembagaan yang baik
adalah yang tidak mengingkari asal-usul dan sifat alamiah airtanah.
Dukungan komitmen yang nyata dari semua pihak terkait, kelembagaan, aspek
hukum, pemerintah, swasta dan masyarakat serta dukungan teknis yang memadai
menjamin terlaksananya konsep pengelolaan airtanah secara total (total groundwater
basin management concept). Siklus pengelolaan seharusnya tetap diimplementasikan
untuk evaluasi efektivitas pengelolaan airtanah. Pengelolaan cekungan airtanah di setiap
wilayah mempunyai karakteristik dengan kata kunci, sebagai berikut :

a. Bersifat spesifik pada setiap daerah yang dikelola


b. Evaluasi bersifat spatial berdasar cekungan airtanah
c. Evaluasi Sebab-Akibat
d. Implementasi program bersifat integrasi
e. Komitmen dari pemegang kebijakan
f. Didukung oleh peraturan perundangan
g. Partisipasi Pemerintah–Masyarakat–Swasta
h. Demokrasi-HAM-Lingkungan Hidup

Penataan ruang yang berdasarkan kepada paradigma pengelolaan sumberdaya


airtanah yang berwawasan lingkungan memperhatikan satu kesatuan hubungan hidrologi
dengan sumberdaya air lainnya, seperti air hujan atau air permukaan pada umumnya.
Pemahaman cekungan airtanah artinya mengetahui secara pasti karakteristik kawasan
resapan airtanah dan kawasan pengambilan airtanah secara tiga demensi. Neraca

Heru Hendrayana 30
airtanah yang seimbang mampu memberi rekomendasi daya dukung sumberdaya air
baku untuk memenuhi berbagai kebutuhan di suatu wilayah yang akan dilakukan
penataan ruangnya, dan juga bagi pengembangan wilayah tersebut dikemudian hari.
Potensi sumberdaya air yang terdapat pada suatu cekungan airtanah perlu
dikelola secara menyeluruh, tidak hanya terhadap airtanahnya, tetapi juga cekungan
airtanah itu sendiri beserta lingkungannya. Tujuan pengelolaan cekungan airtanah antara
lain agar terjadi efektivitas pemanfaatan airtanah, yang mencakup : a) untuk rnernenuhi
kebutuhan air baku, b) untuk menghindari kekeringan, c) dapat mengendalikan
pencemaran, d) mampu memelihara lingkungan, e) mengetahui karakteristik imbuhan
(imbuhan lokal, imbuhan regional, atau kombinasi keduanya).
Setelah penataan ruang di suatu wilayah, maka pengelolaan cekungan airtanah
tersebut bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi juga bagi pengguna
airtanah, misalnya masyarakat setempat, industri, pemakai air irigasi, para pelaku
pengelola airtanah dll. Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator dan
mewujudkan “networking”, serta mengontrol mekanisme pengelolaan airtanah berikut
penataan kawasan yang telah ditetapkan sebagai zona-zona tertentu. Dengan demikian
pola distribusi pemukiman, lahan-lahan terbuka, kawasan konservasi, kawasan
preservasi mempunyai pertimbangan yang kuat dan rasional dalam rangka
mengendalikan pengembangan wilayah dari waktu ke waktu dengan bertumpu pada
keberlanjutan sumberdaya airtanah. Kondisi sistem hidrogeologi di suatu wilayah harus
menjadi salah satu parameter kendali dalam penataan ruang dan pengembangan
wilayah. Dan akhirnya, dengan berlakunya PP No. 43 tahun 2008 tentang Airtanah, maka
diharapkan penyelenggaraan pengelolaan airtanah di Indonesia segera mencapai
sasaran optimal yang dapat dirasakan masyarakat secara lebih nyata.

 PUSTAKA

Anonymous, 1993, Water Resources Management. A World Bank Policy Paper, The
World Bank, Washington D.C.
Anonymous, 2000, Tinjauan Umum dan Pokok-Pokok Pikiran Konservasi dan Pelestarian
Sumberdaya Air, Deputi Bidang Sumberdaya Air, Kantor Menteri Negara
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anonymous, 2005, Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Direktorat Tata
Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Dirjen Geologi dan
Sumberdaya Mineral, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral,
Jakarta.

Heru Hendrayana 31
BMZ-GTZ, 2000, Water Framework Planning, Prosiding Sistem Pengelolaan Terpadu
DAS, Program LH Indonesia-Jerman, Kantor Menteri Negara LH/Bapedal-
GTZ, Jakarta
Burchi S., 1999, National Regulations for Groundwater: Options, Issues and Best
Practices, dalam Grounwater, Legal and Policy Perspectives, World Bank
Technical Paper # 456, The World Bank, Washington D. C.
Fakultas Teknik UGM, 2007a, Penyusunan Rancangan Pedoman Konservasi Airtanah,
Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan
Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik
Indonesia, Jakarta.
Fakultas Teknik UGM, 2007b, Penyusunan Rancangan Pedoman Pengendalian Airtanah,
Direktorat Pembinaan Pengusahaan Panas Bumi dan Pengelolaan
Airtanah, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik
Indonesia, Jakarta.
Hehanussa P.E., 1999, Ketersediaan Air dalam Perspektif Abad-21, Kaitannya dengan
Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Seminar Sehari Air Bersih dan Hak
Asasi Manusia, Bogor, 25 Februari 1999.
Hendrayana, H., 1993, Hydrogeologie und Groudwassergewinnung Im Yogyakarta-
Becken, Indonesien, Mainz Gmbh, Aachen, Germany.
Hendrayana, H., 2000a, Hasil Zonasi Kawasan Perlindungan Sumber Airbaku di Kab.
Sleman, Makalah Desiminasi Informasi Hasil Penelitian Perlindungan
Sumber Air Baku, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2000b, Konservasi Airtanah dalam rangka Pemanfaatan Air yang
Berkelanjutan, Makalah Pembinaan kepada Pemakai Air Bawah Tanah,
Dinas Pertambangan DIY, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2000c, Interaksi Kualitas Air Bawah Tanah dan Air Sungai, serta Peran
Masyarakat pada Pengendalian Kualitas Air, Makalah Seminar Nasional
Lingkungan Hidup Pengendalian Pencemaran Sungai Dalam Menunjang
Prokasih 2005, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2001a, Pemodelan Airtanah untuk Prediksi Land Settlement Akibat
Pemompaan Airtanah, Makalah Seminar: Tinjauan Geologi Terhadap
Daerah Genangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2001b, The Development of Drinking Water – Protection Zones in
Indonesia, Drinking Water Quality Surveillance Project–GTZ, Institut
Fresenius GmbH - Fresenius Environmental Consulting; GFA - Infrastruktur
- und Umweltschutz GmbH, Neuhof – GERMANY.
Hendrayana, H., 2002a, A Concept Approach of Total Groundwater Basin Management,
International Symposium on Natural Resource and Environmental
Management, held in the framework of the 43 rd Anniversary of UPN
“Veteran” Jogyakarta, on January 21 – 22, 2002 (Published in English
Proceeding).

Hendrayana, H., 2002b, Konsep Dasar Pengelolaan Cekungan Air Bawah Tanah,
Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang
Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002,
Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2002c, Program Perencanaan Pendayagunaan Sumberdaya Air Bawah
Tanah, Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang

Heru Hendrayana 32
Berwawasan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002,
Yogyakarta.
Hendrayana, H., 2002d, Sistem Pengelolaan Air Bawah Tanah Yang Berkelanjutan,
dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di
Indonesia, P3-TPSLK BPPT and HSF, Jakarta.
Hendrayana, H., 2002e, Groundwater Conservation for Sustainable Groundwater
Resources (Discussion on Technical Aspect)”, presented in Seminar on
Mineral and Groundwater Resources Management, Yogyakarta.

Hendrayana, H., 2007, Sustainable Groundwater Development as Non Renewable


Resource based on Risk Management, Lokakarya Rekayasa
Penanggulangan Dampak Pengambilan Airtanah, Departemen Energi dan
Sumberdaya Mineral, Badan Geologi – Pusat Lingkungan Geologi,
Jakarta, 6 September 2007.

Hendrayana, H., Putra, DPE., 2008, Urbanization and Groundwater Resources :


Interaction and Management, Proceeding of National Seminar on Strategy
and Challenge in Geological Education and National Development,
Yogyakarta, 15 February 2008.
Hendrayana, H.; Putra, DPE., 2008, Assessment of Urban Groundwater Contaminant
Loading, Proceeding of Science and Technology on Groundwater Usage
and Conservation, Indonesian Geological Board, Ministry of Energy and
Mineral Resources, Republic Indonesia, Bandung.

Shibasaki, T., 1995, Environmental Management of Groundwater Basin, Tokai University


Press, Tokyo, 202p.
Soetrisno S., 1997, Pengelolaan Air Tanah di Indonesia, Buletin Lingkungan
Pertambangan Vol. 1 & 2 , Departemen Pertambangan dan Energi,
Jakarta.
Soetrisno S., 2000, Pengelolaan Terpadu Data Sumberdaya Air. Suatu tinjauan atas
peraturan/perundangan dan hubungan antar lembaga air tanah, dalam
Makalah Akademik I Koordinasi Antar Instansi Hidrologi, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta.
Soetrisno S., 2002a, Aspek Hukum dan Kelembagaan Pengelolaan Air Bawah Tanah
Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pelatihan Manajemen Air
Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan,
Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta.
Soetrisno S., 2002b Evaluasi Efektivitas Manajemen Air Tanah, Pelatihan Manajemen Air
Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Yang Berwawasan Lingkungan,
Fakultas Teknik UGM, 15 – 27 September 2002, Yogyakarta.

Heru Hendrayana 33

Anda mungkin juga menyukai