Anda di halaman 1dari 16

KLASIFIKASI KEKERINGAN DAN INDEX

KEKERINGAN
Kekeringan adalah salah satu bencana yang terjadi secara alamiah maupun karena manusia.
Kekeringan yang terjadi secara alamiah dibedakan menjadi empat, yaitu kekeringan meteorologis,
kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis, dan kekeringan sosial ekonomi. Bencana sendiri
merupakan pengertian yang antroposentris. Artinya suatu peristiwa tidak akan dikatakan menjadi
sebuah bencana apabila tidak merugikan manusia. Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 adalah sebuah peristiwa atau rangkaian peristwa yang mengancam dan menggangu
kehidupan masyarakat, bisa disebabkan oleh faktor alam ataupun non alam, sehingga menimbulkan
korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta, dan dampak psikologis. Pengertian kekeringan
merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada musim kemarau, apalagi ketika musim kemarau
panjang melanda. Definisi kekeringan secara umum adalah kondisi di mana suatu wilayah, lahan,
maupun masyarakat mengalami kekurangan air sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Menurut Parwata et al. (2014) kekeringan merupakan hubungan antara ketersediaan air di bawah
rata-rata minimal kebutuhan air untuk hidup, lingkungan, maupun ekonomi.
Kekeringan dapat disebabkan karena suatu wilayah tidak mengalami hujan atau kemarau
dalam kurun waktu yang cukup lama atau curah hujan di bawah normal, sehingga kandungan air di
dalam tanah berkurang atau bahkan tidak ada. Konsumsi air yang berlebihan pun dapat menjadi
penyebab kekeringan, hal tersebut disebabkan konsumsi air berlebih tidak diimbangi dengan sumber
air yang berlebih pula. Konsumsi air berbanding terbalik dengan sumber air, artinya bencana ini dapat
terjadi saat konsumsi air sudah melampaui batasnya namun sumber air hanya mengeluarkan air
dengan jumlah yang sama (terbatas). Vegetasi pun dapat menjadi penyebab dari bencana ini, wilayah
yang masih memiliki vegetasi yang lebat pasti memiliki cadangan air yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan wilayah yang tidak memiliki vegetasi atau lahan gundul. Vegetasi yang gundul
artinya air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) pun pasti akan berkurang, karena fungsi akar
sendiri menyerap dan menyimpan air dari hujan. Air yang tersimpan di dalam akar tersebut dapat
digunakan sebagai cadangan ketika musim kemarau telah tiba. Hal ini berarti, ketika musim kemarau
datang daerah yang memiliki sedikit pohon akan memiliki cadangan air yang sedikit pula karena
pohon-pohon tersebut sudah tergantikan oleh bangunan-bangunan khususnya di daerah perkotaan.
Kekeringan juga dapat terjadi karena masyarakat suatu daerah belum bisa mengelola sumber
daya air yang ada secara baik, ataupun prasarana sumber daya air yang kurang. Kekurangan sumber
air pun dapat menjadi penyebab bencana ini. Ketika sumber air (mata air, sungai, dan lainnya)
mengering maka tidak dapat memenuhi kebutuhan air manusia. Begitu pula ketika sumber air
tersebut dimanfaatkan terlalu berlebihan hingga airnya habis maka pemanfaatan sumber daya air
tidak dapat berkelanjutan. Keadaan akan semakin parah ketika sumber air yang ada di suatu wilayah
jumlahnya sedikit dan jaraknya yang jauh. Sumber air yang jaraknya jauh tersebut akan semakin
menyulitkan masyarakat ketika kekeringan melanda, apalagi ketika sumber air tersebut merupakan
sumber air yang dapat terjangkau oleh masyarakat. Mau tidak mau masyarakat harus mengambil air
di tempat tersebut. Kekeringan secara umum bisa didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air
atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume yang
diharapkan untuk jangka waktu tertentu. Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah
kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.

1. Kekeringan Meteorologi
Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu
musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan.
Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
Kekeringan meteorologis biasanya didefinisikan sebagai kurangnya curah hujan selama periode
waktu yang telah ditentukan. Ambang batas yang dipilih, seperti 50% dari curah hujan normal
selama jangka waktu enam bulan akan bervariasi menurut lokasi sesuai dengan kebutuhan pengguna
atau aplikasi (SAARC, 2010). Kumpulan data yang diperlukan untuk menilai kekeringan meteorologi
adalah informasi curah hujan harian, suhu, kelembaban, kecepatan dan tekanan angin serta
penguapan.
Dalam pandangan meteorologi, kekeringan terjadi ketika curah hujan kurang dari normal dan
ditandai dengan perubahan pola cuaca. Oleh karena itu, kekeringan pada hakikatnya adalah

1
kekeringan yang diakibatkan oleh defisit curah hujan. Secara klimatologis, apabila curah hujan di
suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu lebih kecil dari rata-rata curah hujan di wilayah tersebut
pada periode yang sama, maka kekeringan terjadi di wilayah tersebut karena makhluk (tumbuhan,
hewan, manusia) telah sesuai dengan curah hujan rata-rata yang diterima di wilayah itu dan jika
terjadi kekurangan curah hujan, kehidupan mereka akan terancam.
Definisi lain untuk kekeringan Meteorologi melibatkan kekurangan curah hujan atau
perubahan intensitas dan kecepatan hujan yang mengakibatkan penurunan kekeruhan dan
kelembaban relatif serta peningkatan suhu, evapotranspirasi, radiasi dan angin topan. Definisi
kekeringan meteorologi bervariasi di berbagai negara dan dalam periode waktu yang berbeda dan
dengan demikian menerapkan definisi yang umum di suatu wilayah bisa jadi tidak tepat di bagian lain
dunia. Pentingnya pandangan meteorologi dihasilkan dari fakta bahwa parameter meteorologi dapat
menjadi indikator pertama terjadinya kekeringan. Kekeringan meteorologis didefinisikan berdasarkan
tingkat kekeringan, dibandingkan dengan jumlah normal atau rata-rata, dan durasi periode kering.
Definisi kekeringan meteorologi harus spesifik wilayah, karena kondisi atmosfer yang mengakibatkan
kekurangan curah hujan sangat spesifik wilayah. Keragaman definisi meteorologi di berbagai negara
menggambarkan mengapa tidak mungkin menerapkan definisi kekeringan yang dikembangkan di
satu bagian dunia ke bagian dunia lain. Misalnya, definisi kekeringan berikut telah dilaporkan:
• Amerika Serikat (1942): Curah hujan kurang dari 2,5 mm dalam 48 jam.
• Britania Raya (1936): Lima belas hari berturut-turut dengan curah hujan harian kurang dari 0,25
mm.
• Libya (1964): Saat curah hujan tahunan kurang dari 180 mm.
• Bali (1964): Periode enam hari tanpa hujan.

2. Kekeringan Hidrologis
Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau, dan elevasi muka air
tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai,
waduk, danau, dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal
adanya kekeringan. Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan
air tanah. Kekeringan hidrologis biasanya didefinisikan oleh kekurangan air pada permukaan dan
persediaan air bawah permukaan relatif terhadap kondisi rata-rata pada berbagai titik dalam
waktu semusim. Seperti kekeringan pertanian, tidak ada hubungan langsung antara Jumlah curah
hujan dengan status air permukaan dan persediaan air bawah permukaan di danau, waduk, akuifer,
dan sungai karena komponen sistem hidrologi digunakan untuk beberapa tujuan, seperti irigasi,
rekreasi, pariwisata, pengendalian banjir, transportasi, produksi listrik tenaga air, air pasokan dalam
negeri, perlindungan spesies terancam punah, dan manajemen lingkungan, ekosistem, dan
pelestarian. Ada juga waktu kesenjangan yang cukup besar antara penyimpangan dari curah hujan
dan titik di mana kekurangan-kekurangan ini menjadi jelas dalam komponen permukaan dan bawah
permukaan dari sistem hidrologi (SAARC,2010).
Dalam pandangan hidrologi kekeringan terjadi ketika tingkat air permukaan dan muka air
tanah lebih kecil dari rata-rata jangka panjang. Dalam pandangan ini, indikator kekeringan
termasuk tingkat sungai, danau dan air tanah. Fluktuasi iklim menjadi faktor utama untuk menentukan
tingkat keparahan kekeringan ini yang memiliki dasar fisik dan alami. Selain itu, aktivitas manusia
seperti perubahan penggunaan lahan, degradasi lahan dan pembangunan bendungan berdampak
pada karakteristik DAS serta terjadinya dan keparahan kekeringan hidrologis. Saat ini, karena
urbanisasi yang luas, industrialisasi dan kekurangan air, jenis kekeringan ini menjadi masalah yang
kompleks. Farmer & Wigley menyatakan bahwa 'kekeringan hidrologis terjadi ketika sumber daya
air yang digunakan untuk industri, untuk konsumsi manusia atau hewan, atau untuk
mendukung pertanian mencapai tingkat rendah'. Selain itu, terdapat jeda waktu antara
kekurangan curah hujan dan pengurangan sumber daya air sehingga indikator kekeringan hidrologis
tidak dapat dianggap sebagai permulaan kekeringan meteorologis. Kekeringan hidrologis mengacu
pada debit dan / atau volume air yang terus-menerus rendah di sungai dan waduk, yang berlangsung
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kekeringan hidrologis adalah fenomena alam, tetapi dapat
diperburuk oleh aktivitas manusia. Kekeringan hidrologi biasanya terkait dengan kekeringan
meteorologi, dan interval pengulangannya bervariasi. Perubahan penggunaan lahan dan degradasi
lahan dapat memengaruhi besaran dan frekuensi kekeringan hidrologi. Kumpulan data yang
diperlukan untuk menilai kekeringan hidrologi adalah luas dan volume air permukaan, aliran
permukaan, pengukuran aliran sungai, infiltrasi, fluktuasi muka air, dan parameter akuifer.

2
3. Kekeringan Pertanian
Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam
tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu
dalam wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologis.
Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air tanah di dalam tanah
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu yang
memengaruhi penurunan produksi pertanian. Kekeringan pertanian didefinisikan sebagai kurangnya
ketersediaan air tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan makanan ternak dari
curah hujan normal selama beberapa periode waktu tertentu. Hubungan antara curah hujan dan
infiltrasi air hujan ke dalam tanah seringkali tidak berlangsung. Tingkat infiltrasi bervariasi tergantung
pada kondisi kelembaban, kemiringan, jenis tanah, dan intensitas dari peristiwa presipitasi.
Karakteristik tanah juga berbeda. Sebagai contoh, beberapa tanah memiliki kapasitas menyimpan air
lebih tinggi, yang membuat mereka kurang rentan terhadap kekeringan.
Kekeringan pertanian terjadi ketika kelembaban tanah kurang dari kebutuhan tanaman akan
air. Akibatnya, tanaman mengalami ketegangan dan hasil menurun. Karena tanaman yang berbeda
memiliki kebutuhan air yang berbeda, maka konsep ini berbeda di setiap tanaman. Kekeringan
pertanian dihasilkan dari kekurangan curah hujan, peningkatan suhu dan angin di mana volume
dan penyebaran temporal curah hujan menjadi faktor yang paling signifikan. Biasanya, jenis
kekeringan ini terjadi setelah kekeringan meteorologis dan sebelum kekeringan hidrologis.
Kekeringan pertanian menghubungkan berbagai karakteristik kekeringan meteorologis dengan
dampak pertanian, dengan fokus pada kekurangan curah hujan, perbedaan antara evapotranspirasi
aktual dan potensial, defisit air tanah, berkurangnya tingkat air tanah atau reservoir, dan sebagainya.
Kebutuhan air tanaman tergantung pada kondisi cuaca, karakteristik biologis tanaman tertentu, tahap
pertumbuhannya, dan sifat fisik dan biologis tanah. Definisi kekeringan pertanian yang baik harus
memperhitungkan kerentanan tanaman pada berbagai tahap perkembangan tanaman. Kelembaban
tanah lapisan atas yang kurang pada saat penanaman dapat menghambat perkecambahan, yang
menyebabkan rendahnya populasi tanaman per hektar dan penurunan hasil. Kumpulan data yang
diperlukan untuk menilai kekeringan pertanian adalah tekstur tanah, kesuburan dan kelembaban
tanah, jenis dan luas tanaman, kebutuhan air tanaman, hama dan iklim.

4. Kekeringan Sosial Ekonomi


Kekeringan sosial ekonomi berkaitan dengan kekeringan yang memberi dampak terhadap
kehidupan sosial ekonomi seperti: rusaknya tanaman, peternakan, perikanan, berkurangnya tenaga
listrik dari tenaga air, terganggunya kelancaran transportasi air, menurunnya pasokan air baku untuk
industri domestik dan perkotaan. Kekeringan sosial ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana
pasokan komoditas ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteologi,
hidrologi dan pertanian. Kekeringan sosial ekonomi berbeda nyata dari kekeringan yang lain karena
mencerminkan hubungan antara penawaran dan permintaan untuk beberapa komoditas atau
ekonomi yang baik (seperti air, pakan ternak atau pembangkit listrik tenaga air) yang tergantung pada
curah hujan. Pasokan bervariasi setiap tahun sebagai fungsi dari ketersediaan air. Permintaan juga
naik turun dan sering dikaitkan dengan suatu kecenderungan yang positif akibat peningkatan
populasi, pengembangan dan faktor lainnya. Dampak kekeringan bisa ekonomi, lingkungan atau
sosial.
Kekeringan menghasilkan dampak yang kompleks mencakup banyak sektor ekonomi baik
luar daerah yang mengalami kekeringan. Kompleksitas ini ada karena air merupakan bagian integral
dari kemampuan masyarakat untuk menghasilkan barang dan menyediakan layanan. Dampak
kekeringan sering disebut bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung termasuk
tanaman berkurang, lahan tidur, dan produktivitas hutan, meningkatkan bahaya kebakaran,
ketinggian air berkurang, tingkat kematian satwa liar, dan kerusakan satwa liar dan habitat ikan.
Penginderaan jauh dan teknologi GIS memberikan kontribusi signifikan untuk manajemen kekeringan.
Kekeringan sosial ekonomi terjadi ketika sumber daya air yang dibutuhkan untuk konsumsi
industri, pertanian dan rumah tangga kurang dari yang dibutuhkan sehingga situasi ini mengakibatkan
anomali sosial ekonomi. Kekeringan ini merupakan konsekuensi dari proses lingkungan yang
kompleks yang memengaruhi komunitas manusia. Dengan terjadinya krisis air dan defisit tanaman,
maka tidak aneh jika kehidupan masyarakat terkena dampak negatif kekeringan dan akibatnya
dampak negatif kekeringan muncul di masyarakat. Kemiskinan, pengangguran, wabah penyakit dan
ketidakamanan adalah konsekuensi dari jenis kekeringan ini yang memengaruhi kegiatan ekonomi

3
masyarakat dalam suatu komunitas seperti dampak pada pendapatan dari penjualan, dan terjadi
ketika pasokan barang ekonomi (air, makanan, pakan ternak, dll) kurang dari permintaan (kuantitas
yang dibutuhkan). Kekeringan sosial ekonomi tergantung pada proses spasial – temporal dalam
penawaran dan permintaan dan terjadi ketika permintaan barang ekonomi melebihi pasokan sebagai
akibat dari defisit pasokan air terkait cuaca. Pasokan beberapa barang seperti air, biji-bijian, ikan dan
energi hidro-listrik tergantung pada kondisi cuaca.
Definisi sosioekonomi kekeringan mengasosiasikan penawaran dan permintaan beberapa
barang ekonomi dengan unsur-unsur kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Beberapa
peneliti menambahkan kategori lain untuk klasifikasi ini yang disebut kekeringan edafis. Jenis
kekeringan ini didefinisikan oleh penetrasi tanah terbatas yang berfokus pada kualitas. Kekeringan
edafik akan membuat tanah lebih rentan terhadap erosi aeolian; akibatnya, vegetasi akan
mengalami defisit kelembaban, nutrisi di permukaan tanah akan berkurang dan tanaman akan
mengering. Kekeringan pada awalnya dimulai sebagai akibat dari kekurangan curah hujan
dibandingkan dengan kondisi normal seperti kekeringan meteorologis, akibatnya kadar air dalam
tanah akan berkurang dan kekeringan pertanian terjadi. Akibat kekurangan curah hujan, sumber daya
air terdegradasi sehingga terjadi kekeringan hidrologis.
Terakhir, kekeringan sosial ekonomi terjadi karena anomali akibat kekurangan air. Definisi
sosioekonomi kekeringan mengasosiasikan penawaran dan permintaan beberapa barang ekonomi
dengan unsur-unsur kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian. Ini berbeda dari jenis
kekeringan lainnya karena kejadiannya tergantung pada proses penawaran dan permintaan. Pasokan
banyak barang ekonomi, seperti air, pakan ternak, biji-bijian, ikan, dan pembangkit listrik tenaga air,
tergantung pada cuaca. Karena variabilitas alami iklim, pasokan air cukup dalam beberapa tahun,
tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan di tahun-tahun lainnya.
Kekeringan sosial ekonomi terjadi ketika permintaan barang ekonomi melebihi pasokan sebagai
akibat dari kekurangan pasokan air terkait cuaca. Kekeringan dapat mengakibatkan produksi
pembangkit listrik tenaga air berkurang karena pembangkit listrik bergantung pada aliran sungai.
Mengurangi produksi pembangkit listrik tenaga air mungkin mengharuskan pemerintah beralih ke
alternatif minyak bumi yang lebih mahal, dan berkomitmen pada langkah-langkah konservasi energi
yang ketat untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Permintaan barang-barang ekonomi meningkat
sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi. Pasokan juga dapat
meningkat karena peningkatan efisiensi produksi, teknologi, atau pembangunan waduk. Ketika
penawaran dan permintaan meningkat, faktor kritisnya adalah tingkat perubahan relatifnya.
Kekeringan sosial ekonomi dipromosikan ketika permintaan air untuk kegiatan ekonomi jauh melebihi
pasokan. Kumpulan data yang diperlukan untuk menilai kekeringan sosial ekonomi adalah
populasi dan tingkat pertumbuhan manusia dan hewan, kebutuhan air dan pakan ternak,
tingkat kegagalan panen, dan jenis industri dan kebutuhan air.
Tidak ada definisi tunggal untuk kekeringan. Kapan kekeringan dimulai dan berakhir sulit untuk
ditentukan. Data curah hujan saja tidak akan memberi tahu Anda jika Anda mengalami kekeringan,
seberapa parah kekeringan, atau berapa lama Anda mengalami kekeringan. Namun, kami dapat
mengidentifikasi berbagai indikator kekeringan, seperti curah hujan, tumpukan salju, aliran sungai,
dan lainnya, dan melacak indikator ini untuk memantau kekeringan. Para peneliti telah
mengembangkan sejumlah alat untuk membantu menentukan awal, tingkat keparahan, dan akhir dari
kekeringan. Indeks kekeringan mengambil ribuan bit data tentang curah hujan, tumpukan salju,
aliran sungai, dll., menganalisis data dalam berbagai kerangka waktu, dan mengubah data menjadi
gambaran besar yang dapat dipahami. Nilai indeks kekeringan biasanya berupa angka tunggal, yang
diinterpretasikan pada skala basah tidak normal, rata-rata, dan kering tidak normal.

Apa yang dimaksud dengan eolian? Bentang alam eolian merupakan bentang alam yang dibentuk karena adanya aktivitas
angin. Bentang alam ini umumnya berkembang pada daerah gurun pasir (desert) dan pesisir (coastal). Apa itu bentuk lahan
aeolin? Lahan aeolian merupakan lahan yang terjadi karena bentukan asal proses angin dan gabungan pelapukan dengan
aliran air (Herlambang, 2009). Manakah yang merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya bentang alam eolian?
Bentang alam aeolin merupakan salah satu bentukan bumi berupa danau hasil proses sedimentasi oleh tenaga
angin. Salah satu faktor penyebab terbentuknya bentang alam eolian antara lain kecepatan angin, luas wilayah, butiran
sedimen.

5. Kekeringan hidrotopografi
Kekeringan hidrotopografi berkaitan dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim
hujan, musim kering, dan topografi lahan. Berkurangnya curah hujan biasanya ditandai dengan
4
berkurangnya air dalam tanah sehingga pertanian merupakan sektor pertama yang akan terpengaruh.
Tidak mudah untuk mengetahui kapan kekeringan dimulai atau berakhir, dan kriteria apa yang
digunakan untuk menentukannya. Kekeringan itu berakhir bisa saja ditandai dengan faktor-faktor
meteorologi dan klimatologi atau ditandai dengan berkurangnya dampak negatif yang dialami oleh
manusia dan lingkungannya. Dampak atau risiko kekeringan yang ditimbulkan dapat dikelola dan
dikurangi dengan manajemen risiko kekeringan. Tujuan dari manajemen risiko kekeringan adalah
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bangkit kembali, mendorong ke arah ketahanan
yang lebih besar, dan mengurangi kebutuhan akan campur tangan pemerintah. Monitoring dan
peringatan dini adalah komponen dari manajemen risiko. Untuk itu, penilaian risiko merupakan hal
yang sangat penting.

Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air, baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan
ekonomi, dan lingkungan. Kekeringan menyebabkan pepohonan akan mati dan tanah menjadi gundul yang pada musim
hujan menjadi mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan
pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati,
sehingga berdampak terjadinya urbanisasi.

Klasifikasi Kekeringan
Kekeringan alamiah:
1. Kekeringan meteorologis, dikarenakan curah hujan yang kurang. Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat
curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
2. Kekeringan hidrologis, kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan
kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
3. Kekeringan pertanian, kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan
kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
periode waktu tertentu pada wilayah yang luas.
4. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan
normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.

Kekeringan Antropogenik:
Kekeringan yang disebabkan karena ketidak-patuhan pada aturan terjadi karena:
- Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidak-patuhan pengguna terhadap pola tanam/pola
penggunaan air.
- Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia.
Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscilation).
Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan
memiliki beberapa pola: akhir musim kemarau mundur dari normal, awal masuk musim hujan mundur dari normal, curah
hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia
bagian Timur. Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan.

Dampak Kekeringan: Banjir bandang, pepohonan mati, tanah menjadi gundul, yang pada musim hujan akan menjadi
mudah tererosi dan banjir. Urbanisasi, akibat hilangnya bahan pangan karena tanaman pangan dan ternak mati, petani
kehilangan mata pencaharian. Kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan menjadi rentan penyakit.

Gejala Terjadinya Kekeringan: Menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran
kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana kekeringan. Kemudian terjadi kekurangan pasokan
air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah.
Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air di dalam tanah). Kekeringan
Hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan
kekurangan lengas tanah (kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu
pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.

Mitigasi dan Upaya Pengurangan Risiko Bencana:


- Penyusunan peraturan Pemerintah tentang pengaturan system pengiriman data iklim dari daerah ke pusat pengolahan
data.
- Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air dengan memperhatikan historical right dan
azas keadilan.

5
- Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
- Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan / perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan
kekeringan.
- Pengembangan/perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.
- Memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi
sumber daya air dan hutan/lahan.

El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik
bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi
curah hujan di wilayah Indonesia. El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh
memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi selama periode rentang 2-7 tahun dan bertahan
hingga 12-15 bulan. Dampak El Nino terhadap anomali iklim di Indonesia berupa kemarau panjang dapat berpotensi
mengganggu produksi padi pada musim tanam kedua, dan mengubah pola tanam untuk musim tanam berikutnya.
Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang yang menyebabkan hari
hujan berkurang di musim hujan sedangkan La Nina menyebabkan curah hujan bertambah yang menyebabkan hari hujan
semakin panjang di musim kemarau.

Meskipun sama-sama perubahan suhu di permukaan laut, El Nino La Nina memiliki perbedaan. La Nina hanya terjadi
selama 6-7 tahun sekali. Sedangkan El Nino rata-rata terjadi sekali dalam 4 tahun. El Nino berlangsung menjelang akhir
tahun, tepatnya menjelang bulan Desember. Dampak dari fenomena alam ini dapat dicegah yaitu dengan cara sebagai
berikut. Pemerintah hendaknya melakukan peringatan dini kepada masyarakat agar masyarakat bisa melakukan persiapan
di segala sektor. Mempersiapkan cadangan makanan pokok. Langkah percepatan masa tanam di berbagai daerah.

Ciri-Ciri Fenomena El-Nino. Yang pertama, saat suhu di daerah ekuator perairan Pasifik naik 5 derajat Celcius dari rata-rata
selama tiga bulan berturut-turut. Yang kedua, saat kondisi atmosfer dan pola hujan berubah. Kalau keduanya terjadi,
ilmuwan akan menetapkan kalau sedang terjadi El Nino. El Nino pada dasarnya dipicu oleh pemanasan di wilayah Pasifik.
Panas cenderung terkumpul di bagian barat karena faktor arah gerak Bumi. Kecenderungan panas terkumpul di satu titik
memicu perbedaan panas antara bagian barat dan timur Pasifik, dalam hal ini wilayah Peru di Amerika Selatan dan utara
Papua. Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya
dari intensitas El Nino. El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan
bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya.

Apa perbedaan Elnino dan La Nina? Fenomena ini biasanya terjadi di ekuator antara Amerika Selatan dan garis
penanggalan waktu internasional. Tekanan udara antara El Nino dan La Nina juga berbeda. El Nino memiliki tekanan
permukaan udara yang tinggi di Pasifik Barat, sedangkan La Nina mengandung tekanan permukaan udara yang rendah di
Pasifik Timur. Apa beda El Nino dan Lanina? Jadi, El Nino bikin kekeringan di Papua dan banjir di wilayah Peru. La Nina
kebalikan dari El Nino. La Nina menyebabkan curah hujan di wilayah Papua meningkat, sehingga musim penghujan lebih
lama di sana. Sebaliknya, La Nina bikin wilayah Peru mengalami kekeringan, karena curah hujan di sana rendah. La Nina
ini umumnya akan berdampak pada curah hujan tinggi dan berisiko meningkatkan peluang terjadinya ancaman bencana
hidrometeorologi, terutama di wilayah rawan. Oleh karena itu, BMKG mengingatkan agar masyarakat dan pihak-pihak
berwenang dapat meningkatkan mitigasi terhadap risiko bencana hidrometeorologi.

Bagaimana pengaruh iklim terhadap tanaman pertanian? Pengaruh iklim sangat nyata dan beresiko pada bidang pertanian
melalui dampak kekeringan, kebasahan atau banjir, suhu tinggi, suhu rendah atau “ frost”, angin, kelembaban tinggi dan
lain-lain yang dapat mengakibatkan rendahnya hasil baik secara kuantitas maupun kualitas, juga tidak ketidakstabilan
produksi. Terjadinya El Nino disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan di Pasifik timur dan tengah yang mengakibatkan
meningkatnya suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada diatasnya. Dimana peristiwa ini menyebabkan
pembentukan awan yang juga meningkatkan curah hujan pada kawasan tersebut.Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa La Nina adalah fenomena perubahan iklim akibat adanya anomali suhu muka laut
di Samudera Pasifik yang meningkatkan curah hujan di Indonesia.

INDEX KEKERINGAN
Dampak kekeringan sering disebut bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung
termasuk tanaman berkurang, lahan tidur, dan produktivitas hutan, meningkatkan bahaya kebakaran,
ketinggian air berkurang, tingkat kematian satwa liar, dan kerusakan satwa liar dan habitat ikan.
Penginderaan jauh dan teknologi GIS memberikan kontribusi signifikan untuk manajemen kekeringan.

6
Pengertian Indeks. Indeks menurut pengertian yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
KBBI, Balai Pustaka 2003 adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi
ukuran suatu ciri tertentu atau petunjuk. Sedangkan berdasarkan teori yang dikembangkan Spiegel
1961, indeks adalah sebuah disain pengukuran statistik untuk melihat perubahan sebuah variabel
atau hubungan antara kelompok variabel dengan fungsi waktu, lokasi geografi atau karakteristik lain.
Menurut indikator kekeringan yang diberikan, tingkat keparahan dan durasi kekeringan diwakili oleh
indeks. Sebuah indeks mengasimilasi parameter meteorologi dan hidrologi yang berbeda termasuk
curah hujan, suhu, evapotranspirasi, limpasan dan indikator pasokan air lainnya ke dalam satu nilai
numerik atau formula dan memberikan gambaran yang komprehensif tentang pengambilan
keputusan. Indeks semacam itu lebih mudah digunakan dan dipahami daripada data mentah dan
biasanya disajikan sebagai nilai numerik untuk menciptakan kekuatan pengambilan keputusan bagi
para perencana dan pembuat kebijakan. Pihak berwenang atau komite publik dan swasta mengambil
tindakan untuk mengevaluasi kekeringan dan bereaksi terhadapnya menggunakan indeks ini.
Organisasi meteorologi dunia pada tahun 1992 mendefinisikan indeks kekeringan sebagai
'indeks yang terkait dengan beberapa efek kumulatif dari kekurangan kelembaban yang
berkepanjangan dan abnormal'. Friedman mengidentifikasi empat kriteria dasar yang harus dipenuhi
oleh setiap indeks kekeringan:
1. Skala waktu (periode) harus sesuai dengan masalah yang dihadapi (kekeringan).
2. Indeks harus merupakan ukuran kuantitatif dari kondisi kekeringan skala besar yang berlangsung
lama.
3. Indeks harus dapat diterapkan pada masalah yang sedang dipelajari.
4. Catatan indeks masa lalu yang akurat dan panjang harus tersedia atau dapat dihitung.
Banyak indeks telah dikembangkan untuk representasi kekeringan, sementara tidak ada yang
memiliki prioritas yang melekat di atas yang lain, beberapa di antaranya memiliki kinerja yang lebih
baik dalam kondisi tertentu. Misalnya, indeks kekeringan Palmer banyak digunakan di Amerika
Serikat dan Australia. Indeks ini memberi hasil yang lebih baik di dataran yang luas dengan
kekasaran yang seragam daripada daerah pegunungan, sedangkan untuk daerah pegunungan,
indeks suplai air permukaan (SWSI) lebih mewakili kekeringan. Di antara indeks kekeringan yang
berbeda, indeks keparahan kekeringan Palmer (PDSI), indeks kekeringan spesifik tanaman
(CSDI), indeks pasokan air permukaan (SWSI) dan indeks curah hujan standar (SPI) banyak
digunakan untuk pengelolaan sumber daya air, pemantauan dan prediksi pertanian. kekeringan.
Banyak perancang proyek air menyarankan bahwa status kekeringan harus diselidiki melalui
beberapa indeks dan keputusan tidak dibuat berdasarkan indeks tunggal saja.

Indeks Curah Hujan Standar (The Standard Precipitation Index, SPI)


Standard Precipitation Index (SPI) menunjukkan curah hujan aktual dibandingkan dengan
probabilitas curah hujan untuk berbagai kerangka waktu. SPI adalah indeks berdasarkan curah hujan
saja. Ini dapat digunakan pada berbagai skala waktu, yang memungkinkannya berguna untuk aplikasi
pertanian jangka pendek dan hidrologi jangka panjang. Peristiwa kekeringan terjadi setiap saat SPI
terus menerus negatif dan mencapai intensitas -1,0 atau kurang. Acara berakhir ketika SPI menjadi
positif. Oleh karena itu, setiap peristiwa kekeringan memiliki durasi yang ditentukan oleh awal dan
akhir, dan intensitas untuk setiap bulan saat peristiwa tersebut berlanjut. Jumlah positif SPI untuk
semua bulan dalam peristiwa kekeringan dapat disebut "besarnya" kekeringan. McKee dkk
mengembangkan SPI pada tahun 1993. Indeks ini diperoleh dengan selisih curah hujan dari rata-rata
untuk skala waktu tertentu dan kemudian membaginya dengan standar deviasi. Itu hanya bergantung
pada data curah hujan dan dihitung untuk periode 3, 6, 12, 24 dan 48 bulan. SPI adalah alat analisis
untuk data curah hujan. Ini bertujuan untuk menetapkan nilai numerik untuk curah hujan sehingga
perbandingan berbagai daerah dengan iklim yang sangat berbeda menjadi mungkin.
SPI membandingkan curah hujan kumulatif dari stasiun atau wilayah tertentu dalam interval
tertentu (misalnya 3 bulan terakhir atau 6 bulan terakhir) dengan rata-rata curah hujan dalam interval
yang sama selama semua periode statistik. Secara konseptual, SPI menunjukkan standar deviasi di
atas atau di bawah rekor rata-rata. SPI digunakan untuk skala waktu yang berbeda berdasarkan
probabilitas presipitasi. Selain itu, memprediksi kekeringan sebelum terjadi dan membantu
memperkirakan tingkat keparahan kekeringan, indeks ini secara komputasi kurang canggih dari
indeks Palmer juga.
Saat ini, para perencana dan pengambil keputusan yang menangani kekeringan mengetahui
bahwa SPI adalah indeks multiguna dan memahami pentingnya indeks tersebut. Selain itu, mereka
menyadari bahwa nilai input data di SPI dapat diubah dan menggambarkan ini sebagai batasan
7
indeks ini. Perhitungan SPI untuk masing-masing wilayah dilakukan berdasarkan data curah hujan
yang tercatat dalam jangka panjang untuk periode tertentu. Laporan curah hujan jangka panjang telah
dilengkapi dengan distribusi probabilitas; oleh karena itu, rata-rata standar presipitasi untuk setiap
wilayah dalam periode tertentu ditetapkan ke nol dan standar deviasi adalah 1. Selanjutnya, McKee et
al pada tahun 1993 menetapkan kriteria untuk terjadinya kekeringan dalam skala waktu yang berbeda
berdasarkan skor SPI. Seperti yang mereka katakan, jika skor negatif SPI diamati secara konsisten,
kekeringan dikatakan telah terjadi, dan jika mencapai nilai -1 atau kurang, kekeringan dianggap
parah; dengan demikian, tanda positif dari skor SPI berarti akhir dari kejadian kekeringan. Oleh
karena itu, setiap peristiwa kekeringan memiliki periode yang ditandai dengan awal, akhir, dan tingkat
keparahannya pada bulan tertentu.
Metode Indeks kekeringan SPI adalah indeks yang digunakan untuk menentukan
penyimpangan curah hujan terhadap normalnya dalam satu periode yang panjang (bulanan, dua
bulanan, tiga bulanan dan seterusnya). Metode SPI dikembangkan oleh McKee et al tahun 1993.
Metode ini merupakan model untuk mengukur defisit curah hujan pada berbagai periode berdasarkan
kondisi normalnya. McKee et al (1993) menggunakan klasifikasi dibawah ini untuk
mengidentifikasikan intensitas kekeringan, dan juga kriteria kejadian kekeringan untuk skala waktu
tertentu. Kekeringan terjadi pada waktu SPI secara berkesinambungan negatif dan mencapai
intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau kurang, sedangkan kekeringan akan berakhir
apabila nilai SPI menjadi positif.

Tabel. Klasifikasi nilai SPI


Nilai SPI Klasifikasi
≥2.00 Amat sangat basah
1.50 s.d 1.99 Sangat basah
1.00 s.d 1,49 Cukup basah
-0.99 s.d 0.99 Mendekati normal
-1,00 s.d -1,49 Cukup kering
-1,50 s.d -1,99 Sangat Kering
≤-2.00 Amat sangat kering

Kekeringan terjadi pada waktu nilai SPI secara berkesinambungan negatif dan mencapai
intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau lebih kecil. Metode Indeks kekeringan SPI adalah
indeks yang digunakan untuk menentukan penyimpangan curah hujan terhadap normalnya dalam
satu periode yang panjang (bulanan, dua bulanan, tiga bulanan dan seterusnya). Metode ini
merupakan model untuk mengukur defisit curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi
normalnya. Kekeringan (drought) merupakan suatu kejadian alam yang ditunjukkan dengan
terbatasnya ketersediaan cadangan air di atas, di permukaan dan di dalam tanah, baik untuk kegiatan
pertanian maupun untuk kebutuhan manusia. Kekeringan merupakan faktor penghambat
pertumbuhan produksi pertanian. SPI adalah salah satu metode untuk analisis indeks kekeringan.
Model SPI dipilih karena memiliki keunggulan yaitu handal, memiliki indeks yang fleksibel dan
sederhana dalam perhitungan. Model SPI dalam analisisnya hanya memerlukan data hujan serta
memiliki keunggulan lain yaitu dapat sekaligus menganalisis periode bulan basah. Luaran yang
diharapkan dari analisis ini adalah mengetahui indeks dan sebaran kekeringan dalam sebuah peta
spasial serta mengetahui panjang periode kekeringan yang terjadi di masa lampau, sehingga dapat
menjadi input bagi penyusunan model rencana antisipasi perubahan iklim.

The Palmer Drought Severity Index (PDSI)


Palmer Drought Severity Index (PDSI) telah digunakan paling lama untuk memantau
kekeringan. PDSI memungkinkan untuk mengkategorikan berbagai tingkat kebasahan dan
kekeringan yang menonjol di suatu area. PDSI dihitung berdasarkan data curah hujan dan suhu,
serta Kadar Air Tersedia (AWC) lokal dari tanah. Nilai palmer mungkin tertinggal dari kekeringan
yang muncul selama beberapa bulan; kurang cocok untuk daerah pegunungan atau daerah dengan
iklim ekstrim yang sering terjadi; dan kompleks-memiliki skala waktu bawaan yang tidak ditentukan
yang dapat menyesatkan.

8
PDSI Classification
4.0 or more extremely wet
3.0 to 3.99 very wet
2.0 to 2.99 moderately wet
1.0 to 1.99 slightly wet
0.5 to 0.99 incipient wet spell
0.49 to -0.49 near normal
-0.5 to -0.99 incipient dry spell
-1.0 to -1.99 mild drought
-2.0 to -2.99 moderate drought
-3.0 to -3.99 severe drought
-4.0 or less extreme drought

PDSI dikembangkan oleh Palmer pada tahun 1965. PDSI mendasarkan konsep kekeringan
pada suhu, curah hujan dan kelembaban tanah. Indeks ini digunakan dalam skala waktu bulanan
dan untuk menghitung PDSI, empat faktor utama diperlukan melalui formulasi yang kompleks: curah
hujan, suhu, kelembaban tanah dan evapotranspirasi. PDSI adalah algoritma kelembaban untuk
tanah yang dihitung untuk daerah yang relatif homogen. Ini adalah salah satu sistem peringatan
kekeringan yang paling canggih dan akurat. PDSI merupakan indeks kekeringan komprehensif
pertama dan metode yang efektif untuk menentukan kekeringan jangka panjang (skala bulanan),
namun tidak cocok untuk karakterisasi kekeringan jangka pendek (skala mingguan). Pada tahun 1984
Alley membahas dua keuntungan dari indeks Palmer yang menyebabkan populer:
1. PDSI meningkatkan kekuatan pengambilan keputusan perencana sehubungan dengan evaluasi
dan pengukuran anomali iklim di suatu wilayah.
2. PDSI memberikan gambaran spasial dan temporal sejarah kekeringan.
Namun, indeks ini memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini diungkapkan oleh Alley pada tahun
1984 dan Karl & Knight pada tahun 1985 meliputi:
1. Seleksi sewenang-wenang nilai kuantitatif untuk intensitas kekeringan dan awal dan akhir
kekeringan atau basah berdasarkan studi Palmer di Iowa tengah dan Kansas barat yang tidak
diterima secara ilmiah.
2. PDSI sensitif terhadap kondisi kelembaban dan jenis tanah dan dengan demikian menerapkan
indeks ini untuk perencana iklim mungkin sangat sederhana dan biasa.
3. Indeks ini tidak termasuk hujan salju, tumpukan salju dan tanah beku dan semua curah hujan
dimasukkan sebagai curah hujan. Oleh karena itu, tidak berlaku untuk wilayah dengan periode
hujan salju dalam setahun.
4. Jeda alami antara curah hujan dan limpasan diabaikan. Selain itu, tidak ada aliran permukaan
yang dianggap diganti dalam model untuk menentukan kapasitas air tanah permukaan dan
lapisan bawah permukaan.
5. PDSI menggunakan metode Thornthwaite untuk memperkirakan potensi evapotranspirasi.
Meskipun indeks ini telah diterima secara luas, namun masih dianggap sebagai perkiraan.
Indeks kekeringan palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau terlalu kering dari
keadaan normal suatu daerah. Metode Indeks Kekeringan Palmer berguna untuk mengetahui
kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah semiarid dan beriklim sub-humid kering. Kapasitas
air tersedia diperlukan dalam pengolahan data Palmer. Selain dari itu koordinat lintang juga
diperlukan dalam perhitungannya agar dapat mengetahui panjang hari dilokasi tersebut. Menurut
National Drought Mitigation Center (2006), Indeks Palmer lebih baik digunakan pada area yang luas
dan topografi yang seragam. Metode ini mempertimbangkan faktor iklim, tanah dan tanaman serta
didasarkan pada prinsip neraca air. Curah hujan, suhu dan faktor lengas tanah sebagai parameter
utama dalam menurunkan nilai Indeks Palmer. Indeks kekeringan Palmer, kadang-kadang disebut
indeks keparahan kekeringan Palmer dan sering disingkat PDSI, adalah indeks kekeringan regional
yang biasa digunakan untuk memantau kejadian kekeringan dan mempelajari luas area dan tingkat
keparahan episode kekeringan. Indeks menggunakan data curah hujan dan suhu untuk mempelajari
pasokan dan permintaan kelembaban menggunakan model neraca air sederhana. Ini dikembangkan
oleh ahli meteorologi Wayne Palmer, yang pertama kali menerbitkan metodenya dalam makalah
tahun 1965 Meteorological Drought for the Office of Climatology of the U.S. Weather Bureau. Indeks
Kekeringan Palmer didasarkan pada model penawaran dan permintaan kelembaban tanah. Pasokan

9
relatif mudah dihitung, tetapi permintaan lebih rumit karena bergantung pada banyak faktor, tidak
hanya suhu dan jumlah kelembaban dalam tanah tetapi juga faktor yang sulit dikalibrasi termasuk
evapotranspirasi dan laju pengisian ulang. Palmer mencoba mengatasi kesulitan ini dengan
mengembangkan algoritme yang mendekatinya berdasarkan data, curah hujan, dan suhu yang paling
tersedia.
Indeks tersebut terbukti paling efektif dalam menentukan kekeringan jangka panjang,
hitungan beberapa bulan, tetapi tidak sebaik dengan kondisi selama hitungan minggu. Ini
menggunakan 0 seperti biasa, dan kekeringan ditunjukkan dalam angka negatif; misalnya, negatif 2
adalah kekeringan sedang, negatif 3 adalah kekeringan parah, dan negatif 4 adalah kekeringan
ekstrim. Algoritma Palmer juga digunakan untuk menggambarkan mantra basah, menggunakan
angka positif yang sesuai. Palmer juga mengembangkan formula untuk standarisasi perhitungan
kekeringan untuk setiap lokasi individu berdasarkan variabilitas curah hujan dan suhu di lokasi
tersebut. Oleh karena itu, indeks Palmer dapat diterapkan ke situs mana pun yang data curah hujan
dan suhunya tersedia. Kritikus berpendapat bahwa kegunaan indeks Palmer dilemahkan oleh sifat
sewenang-wenang dari algoritma Palmer, termasuk teknik yang digunakan untuk standardisasi.
Ketidakmampuan indeks Palmer untuk memperhitungkan salju dan tanah beku juga disebut sebagai
kelemahan. Indeks Palmer banyak digunakan secara operasional, dengan peta Palmer diterbitkan
setiap minggu oleh Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Pemerintah Amerika Serikat. Ini
juga telah digunakan oleh ahli iklim untuk membakukan analisis kekeringan jangka panjang global.
Kumpulan data Global Palmer telah dikembangkan berdasarkan catatan instrumental yang dimulai
pada abad ke-19. Selain itu, dendrochronology telah digunakan untuk menghasilkan perkiraan nilai
indeks Palmer untuk Amerika Utara selama 2000 tahun terakhir, memungkinkan analisis tren
kekeringan jangka panjang.

Indeks Kelembaban Tanaman (Crop Moisture Index,


CMI)
Turunan dari PDSI adalah Crop Moisture Index (CMI) yang melihat pasokan air dalam
jangka pendek untuk daerah penghasil tanaman. CMI memantau kondisi tanaman dari minggu ke
minggu. Sementara PDSI memantau musim basah dan kering meteorologi jangka panjang, CMI
dirancang untuk mengevaluasi kondisi kelembaban jangka pendek di seluruh wilayah penghasil
tanaman utama. Karena dirancang untuk memantau kondisi kelembaban jangka pendek yang
memengaruhi tanaman yang sedang berkembang, CMI bukanlah alat pemantauan kekeringan jangka
panjang yang baik. Respon cepat CMI terhadap perubahan kondisi jangka pendek dapat memberikan
informasi yang menyesatkan tentang kondisi jangka panjang. Misalnya, curah hujan yang
menguntungkan selama kekeringan memungkinkan nilai CMI menunjukkan kondisi kelembaban yang
memadai, sementara kekeringan jangka panjang di lokasi itu tetap ada.
Indeks kekeringan masih dikembangkan oleh berbagai ahli antara lain: Indeks Kekeringan
Meteorologi Bert H. Borger, Indeks Suplai Air Permukaan (SWSI), Indeks Keparahan Kekeringan
Palmer (PDSI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum
yang melatarbelakangi daerah tertentu, pengguna, proses, input dan hasil masing-masing klasifikasi.
Namun belum ada indeks yang dapat digunakan untuk menilai kekeringan hidrologis dan pertanian.
Untuk itu diperlukan kajian dalam menentukan indeks kekeringan hidrologi dan pertanian.
Indeks Kelembaban Tanaman (Crop Moisture Index CMI). Ini dikembangkan oleh Palmer
pada tahun 1968. Indeks ini didasarkan pada suhu rata-rata mingguan dan curah hujan di suatu
wilayah relatif terhadap CMI yang diperoleh untuk minggu sebelumnya dan memiliki koefisien
tertimbang dalam ruang dan waktu. Indeks ini didorong dari pendekatan meteorologi untuk
menunjukkan kondisi umum untuk penanaman tanaman di setiap minggu. Metode ini dikembangkan
oleh Palmer dengan cara yang sama seperti PDSI. Sementara PDSI digunakan untuk menunjukkan
kekeringan dan kebasahan, CMI dirancang untuk mengevaluasi kondisi kelembaban jangka pendek
di wilayah utama penghasil tanaman pertanian. Indeks ini langsung bereaksi terhadap perubahan
iklim. Hal ini dievaluasi sehubungan dengan waktu dan ruang. Oleh karena itu, peta yang
menggambarkan CMI mingguan di AS dapat digunakan untuk membandingkan kondisi kelembaban
di berbagai wilayah. Karena CMI dirancang untuk menunjukkan kondisi kelembaban yang efektif pada
pertumbuhan tanaman dalam jangka pendek, maka CMI bukanlah instrumen yang baik untuk
menunjukkan kekeringan jangka panjang. Di satu sisi, karena sensitivitas indeks ini terhadap
perubahan curah hujan dan suhu jangka pendek, dapat mengakibatkan informasi yang menyesatkan

10
tentang kondisi jangka panjang. Misalnya, curah hujan efektif selama kekeringan dapat
memperhitungkan nilai CMI untuk menunjukkan kondisi kelembaban saat kekeringan berlanjut di
wilayah itu. Keterbatasan ini mencegah penggunaan CMI untuk menunjukkan kondisi kelembaban di
luar pertumbuhan musiman, terutama pada kekeringan yang berlangsung selama beberapa tahun. Di
sisi lain, indeks ini memprediksi potensi kekeringan.

Indeks Penyediaan Air Permukaan (Surface Water Supply


Index, SWSI)
Dikembangkan pada tahun 1982 oleh Shafer & Dezman, SWSI mirip dengan indeks Palmer
namun memasukkan hidrologi salju dalam indeks. Ini digunakan dalam skala waktu bulanan dan
elemen utama termasuk curah hujan dan salju. SWSI dikembangkan untuk Colorado untuk
melengkapi PDSI karena wilayah ini dicirikan oleh tumpukan salju yang tebal dan dianggap sebagai
elemen utama dalam penyediaan air permukaan. Oleh karena itu, SWSI diperkirakan untuk cekungan
yang dianggap menangani hujan salju, aliran sungai, curah hujan dan penyimpanan reservoir. Pada
dasarnya, indeks Palmer adalah algoritma yang dimodifikasi untuk kelembaban tanah di daerah yang
relatif homogen dan tidak dirancang untuk permukaan dengan keragaman topografi yang tinggi.
Selain itu, PDSI belum memperhitungkan limpasan akibat hujan salju. Oleh karena itu, Shafer dan
Dezman mengembangkan SWSI sebagai representasi status air permukaan dan menjelaskannya
sebagai indeks terkait gunung di daerah pegunungan yang ditandai dengan hujan salju sebagai
sumber utama penyimpanan air. Tujuannya adalah untuk menambahkan fitur iklim dan hidrologi
dalam indeks dan mengubahnya menjadi indeks dengan nilai yang mirip dengan indeks Palmer untuk
sungai-sungai penting di lembah Colorado. Nilai-nilai distandarisasi membandingkan cekungan.
Empat input utama untuk indeks ini meliputi: snowpack, aliran sungai, curah hujan dan sumber daya
lainnya untuk penyimpanan air. Selama bulan-bulan musim panas, paket salju digantikan oleh aliran
sungai yang merupakan batasan biasa dari indeks ini.
Indeks Suplai air Permukaan telah diterbitkan oleh Shafer dan Dezman (1982) untuk
melengkapkan kelemahan yang terdapat dalam PDSI. PDSI didasarkan pada algoritma kelembaban
tanah yang dikalibrasi untuk suatu kawasan yang homogen tetapi tidak sesuai untuk kawasan yang
bertopografi luas serta tidak mengambil rata-rata curah hujan. Penilaian SWSI adalah untuk
menggabungkan cirri-ciri hidrologi dan meteorologi dalam satu indeks yang menyerupai PDSI bagi
setiap sungai utama (Sharef dan Dezman, 1982). Nilai ini adalah piawai dan boleh dibandingkan
antara tadahan yang berbeda. Seperti PDSI, nilai SWSI berada di range – 4.2 hingga +4.2. Nilai
SWSI adalah unit untuk tadahan tertentu,sehingga sulit untuk membandingkan nilai SWSI antara
kawasan tadahan yang berlainan.

Persentase indeks curah hujan normal (percent of normal


precipitation index PNPI).
Indeks ini dikembangkan pada tahun 1994 oleh Wileke dan rekan-rekannya dan mendasarkan
konsepnya pada pembagian curah hujan aktual dengan normal. Satu-satunya faktor yang diperlukan
untuk perhitungan PNPI adalah curah hujan dan digunakan dalam skala waktu bulanan. PNPI
menguntungkan untuk mengkomunikasikan tingkat kekeringan kepada publik dan karena
kesederhanaannya dalam mengukur curah hujan di suatu wilayah adalah indeks terbaik dan paling
efektif yang digunakan di Iran untuk karakterisasi kekeringan. Indeks ini memberikan hasil terbaik bila
digunakan untuk satu wilayah atau satu musim. Namun, perlu dicatat bahwa PNPI dapat
menyesatkan dan menghadirkan kondisi yang berbeda tergantung pada wilayah dan musim. Indeks
ini dihitung dengan membagi curah hujan aktual dengan curah hujan normal dikalikan 100 dan sering
digunakan dalam skala waktu bulanan, misalnya dari satu hingga beberapa bulan yang mewakili
musim tertentu. Diberikan sebagai: PNI I Dimana, PNI: indeks normal curah hujan Pi: curah hujan
aktual P: curah hujan normal. Indeks ini berlaku ketika rata-rata curah hujan tumpang tindih dengan
rata-rata atau ketika distribusi curah hujan normal. Karena curah hujan musiman dan bulanan tidak
memiliki fitur ini, ini dianggap sebagai batasan untuk indeks ini.

Indeks Kekeringan Tanaman Spesifik (Crop Specific Drought Index


CSDI).
11
Ini dikembangkan oleh Meyer dan rekan-rekannya pada tahun 1993 dan dimodifikasi pada tahun
1995 oleh Meyer dan Hubbard. Indeks ini dikembangkan setelah CMI. Ini mendasarkan konsepnya
pada jumlah evapotranspirasi yang dihitung dan membaginya dengan evapotranspirasi mungkin
terjadi selama periode pertumbuhan tanaman tertentu. Faktor iklim terpenting yang digunakan dalam
indeks ini adalah evapotranspirasi. Indeks ini digunakan dalam skala waktu musiman.

Indeks Kekeringan Kelembaban Tanah (Soil Moisture Drought


Index SMDI).
SMDI dipresentasikan oleh Hollinyer dan rekan pada tahun 1993 dan tergantung pada jumlah
harian kelembaban tanah selama satu tahun. Satu-satunya faktor iklim yang digunakan dalam indeks
ini adalah kelembaban tanah. Ini digunakan dalam skala waktu tahunan.

Indeks Curah Hujan Nasional (National Rainfall Index NRI).


Ini diperkenalkan oleh Gommes dan Petrassi pada tahun 1994. Konsepnya didasarkan pada pola
dan kelainan curah hujan pada skala benua dan satu-satunya faktor yang digunakan di dalamnya
adalah curah hujan. Indeks ini digunakan dalam dua kali skala tahun dan abad.

Indeks Anomali Curah Hujan (Rainfall Anomaly Index, RAI)


Ini diperkenalkan oleh Van-Rooy pada tahun 1965 dan didasarkan pada curah hujan yang
dihitung terhadap nilai acak dari -3 hingga +3; sebagai ketidakteraturan curah hujan ditetapkan 10
batas. Satu-satunya faktor yang efektif dalam indeks ini adalah curah hujan. Ini diterapkan dalam
skala waktu bulanan dan tahunan juga. Langkah-langkah untuk menghitung indeks anomali curah
hujan (RAI) adalah sebagai berikut: 1. Hitung rata-rata jangka panjang curah hujan bulanan (P) di
stasiun tertentu. 2. Ekstrak rata-rata 10 nilai curah hujan maksimum yang terjadi pada periode statistik
(m). 3. Ekstrak rata-rata 10 nilai curah hujan minimum yang terjadi pada periode statistik (X) 4.
Bandingkan data curah hujan bulanan (P) dengan rata-rata jangka panjang. 5. Tetapkan ambang +3
dan -3 masing-masing untuk rata-rata 10 kelainan positif maksimum dan 10 kelainan negatif
minimum. Klasifikasi tingkat keparahan kekeringan menurut RAI Kategori Assigned threshold to RAI
Normal 0/3 to 3 Kekeringan lemah -1/2 hingga 0/3 Kekeringan sedang -1/5 hingga -1/2 Kekeringan
parah -3 hingga -1/5 Kekeringan ekstrem Kurang dari -3

Indeks Kekeringan Reklamasi (Reclamation Drought Index


RDI).
Hal ini mirip dengan SWSI dan dihitung berdasarkan faktor iklim dan meteorologi, tingkat air
sungai, hujan salju, aliran sungai, tingkat reservoir dan suhu; digunakan dalam skala waktu bulanan.
RDI baru-baru ini dikembangkan sebagai instrumen untuk menentukan tingkat keparahan dan durasi
kekeringan dan untuk memprediksi awal dan akhir periode kekeringan. Motif untuk mengembangkan
indeks ini di Amerika Serikat adalah dana bantuan darurat yang diberikan kepada negara-negara
bagian yang terkena dampak kekeringan. Indeks tersebut memungkinkan negara-negara bagian yang
terkena dampak untuk mencari bantuan dalam bentuk bantuan keuangan dari pemerintah federal
untuk tujuan mengurangi dampak kekeringan.

Indeks Curah Hujan Efektif (Effective Precipitation Index EPI).


Indeks ini dikembangkan oleh Byun dan Wilhite pada tahun 1999 berdasarkan analisis kuantitatif
curah hujan efektif harian. Oleh karena itu, faktor yang paling efektif adalah curah hujan dan
digunakan dalam skala waktu harian. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode ini,
dimungkinkan untuk menyelidiki status kekeringan untuk setiap periode dengan mempertimbangkan
definisi kekeringan di daerah itu dan membuktikan terjadinya kekeringan pada sumber daya tanah
dan air.

Indeks Kekeringan Bhalme Dan Mooley (Bhalme And Mooley Drought Index
BMDI).

12
Ini ditemukan oleh Bhalem dan Mooley pada tahun 1980. Ini mempertimbangkan
persentase keberangkatan curah hujan bulanan atau tahunan dari rata-rata
normalnya. Indeks ini mirip dengan indeks Palmer dan merupakan indeks berulang,
yaitu memperhitungkan pengaruh curah hujan dari bulan sebelumnya.

DESIL.
Ini dikembangkan oleh Gibbs dan Maher pada tahun 1967. Indeks ini diperoleh dengan membagi
distribusi rekor curah hujan jangka panjang menjadi 10% bagian dan setiap bagian disebut desil.
Desil pertama mewakili nilai curah hujan yang tidak dilampaui oleh 10% terendah dari semua curah
hujan dan desil kedua mewakili nilai curah hujan yang tidak dilampaui oleh 20% curah hujan
terendah. Satu-satunya faktor yang efektif dalam menghitung indeks ini adalah curah hujan dan skala
waktu yang digunakan adalah bulanan. Metode ini diperkenalkan sebagai tanggapan terhadap defisit
dalam persen indeks normal. Indeks Desil telah dipilih sebagai indeks meteorologi untuk memantau
kekeringan oleh Sistem Pengawasan Kekeringan Australia karena perhitungannya yang sederhana
dan membutuhkan lebih sedikit data daripada indeks Palmer. Untuk menghitung desil, diperlukan
data iklim yang panjang dan merupakan kelemahan dari metode ini.

Indeks Aliran Rendah (Low Flow Indices)


Pendekatan lain yang banyak digunakan untuk karakterisasi kekeringan hidrologi adalah Qx yang
diperoleh dengan metode tingkat ambang batas. Ini dikembangkan oleh Yevejevich pada tahun 1983.
Untuk indeks kekeringan, Q70 dan Q90 biasanya digunakan. Faktanya, QX adalah debit dalam kurva
durasi aliran yang dalam x persen dari waktu, debit lain lebih besar dari itu. Di antara indeks aliran
rendah lainnya, dapat dirujuk ke Q7,10 yaitu aliran dengan rata-rata pergerakan 7 hari dan periode
berulang 10 tahun. Untuk mendapatkan indeks ini, rata-rata pergerakan 7 hari dari pelepasan harian
dihitung dan kemudian ditentukan nilai minimumnya. Setelah nilai ini ditentukan untuk setiap tahun,
Q7,10 dianggap sebagai periode berulang 10 tahun dari nilai-nilai ini. Q7,20 dan Q30,10 ditafsirkan
dengan cara ini juga.

Atmospheric – Oceanic Oscillations Index


Osilasi atmosfer – samudera melibatkan interaksi antara atmosfer dan laut. Dalam beberapa
tahun terakhir, komunitas ilmiah telah menemukan bahwa osilasi laut memengaruhi curah hujan di
berbagai belahan dunia. Dengan demikian, setiap perubahan kecil dalam suhu laut dan air laut
menghasilkan perubahan signifikan dalam sirkulasi atmosfer dan akibatnya kondisi iklim planet bumi.
Oleh karena itu, fluktuasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk memprediksi curah hujan dan
kekeringan. Di sini, beberapa indeks terpenting dalam kategori ini diperkenalkan.

Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillations Index, SOI).


SOI mewakili gradien tekanan antara Pasifik barat dan timur. Indeks ini mencerminkan
karakteristik atmosfer dari fenomena Enso dan umumnya diperoleh secara musiman dan bulanan
dengan perbedaan tekanan udara permukaan antara Tahiti dan Darwin. Tahiti (12°S, 151°W) terletak
di wilayah tengah Samudra Pasifik dan Darwin (12°S, 131°BT) terletak di utara Australia.

Indeks Kekeringan Meteorologis Bert H. Borger.


Tingkat kekeringan meteorologi dibatasi sebagai suatu periode dengan tiga bulan kering
berturut-turut atau lebih yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm per bulannya dan kurang
dari 200 mm per tiga bulannya (Borger, 2001). Perhitungan tingkat kekeringan meteorologi untuk
setiap wilayah stasiun hujan diperoleh dengan cara menambahkan skor panjang periode kering
(drought length) dan skor jumlah curah hujan per tiga bulan (rainfall for the three month 7 period),
yakni dengan mengambil jumlah curah hujan per tiga bulan yang terkecil jika panjang periode kering
lebih dari tiga bulan secara berurutan.
Tingkat kekeringan meteorologi dibatasi sebagai suatu periode dengan tiga atau bulan kering
berturut-turut atau lebih yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm per bulannya dan kurang
dari 200 mm per tiga bulannya (Borger, 2001). Perhitungan tingkat kekeringan meteorologi untuk
setiap wilayah stasiun hujan diperoleh dengan cara menambahkan skor panjang periode kering

13
(drought length) dan skor jumlah curah hujan per tiga bulan (rainfall for the three month period), yakni
dengan mengambil jumlah curah hujan per tiga bulan yang terkecil jika panjang periode kering lebih
dari tiga bulan secara berurutan. Kelas indeks kekeringan Bert H. Borger disajikan (Tabel 1) sebagai
berikut :

Tabel 1. Kelas Indeks Kekeringan Bert H. Borger


Nilai Kekeringan Kemungkinan Kelas Kering
 0 (0+0) Basah 1 (1+0)
 Normal 2 (1+1) Normal 3 (1+2)
 Sedikit Kering (3+0) 4 (1+3) Sedikit Kering (3+1) 5 (1+4)
 Kering (3+2) (5+0) 6 (1+5) Kering (3+3) (5+1) 7 (3+4)
 Sangat Kering (5+2) 8 (3+5) Sangat Kering (5+3) 9 (5+4)
 Ekstrim Kering 10 (5+5) Ekstrim Kering
Sumber : Effendy, 2011

Risiko Bencana
Risiko bencana (risk disaster) adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga
menyebabkan tingkat kerugian yang khusus. Risiko perlu dikaji sehingga dapat menetapkan besarnya
kerugian yang sudah diestimasi dan itu dapat diantisipasi di suatu wilayah. Banyak ahli telah
mengembangkan formulasi dalam menilai risiko bencana. Secara umum risiko bencana merupakan
kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Namun selain faktor tersebut,
eksposur (exposure) dan kemampuan (capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu
dalam penilaian risiko. Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh
ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain:
 Bahaya (hazard). Bahaya alam adalah suatu peristiwa fisik yang berdampak pada masyarakat
dan lingkungannya. Kekeringan merupakan bahaya berdasarkan parameter iklim regional.
Dampak kekeringan bisa sama kerugiannya dengan bencana lainnya, namun kejadiannya
lambat. Kekeringan sering menyebabkan bahaya sekunder seperti badai kelaparan, kebakaran
hutan dan konflik sosial. Pengaruh kekeringan seringkali dirasakan oleh mereka yang memiliki
kerentanan yang tinggi. Kekeringan lebih mungkin terjadi ditempat yang semi kering. Pengelolaan
kondisi kekeringan mencerminkan kebutuhan pengetahuan yang lebih besar ketika kekeringan
mendekati. Kekeringan disebabkan oleh kondisi iklim yang menghasilkan "kekeringan abnormal
pada suatu wilayah saat musim hujan biasa tidak turun" (Abbott, 1979.) Ada sistem iklim global
yang memengaruhi kapan dan di mana kekeringan terjadi. El Nino Southern Oscillation
(ENSO) adalah yang paling menonjol. ENSO adalah sistem yang berkala.
 Kerentanan (vulnerability). Kerentanan adalah tingkat dimana sebuah masyarakat, struktur,
layanan atau daerah geografis yang berpotensi terganggu oleh dampak bahaya tertentu. Tingkat
kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial dan ekonomi. Kerentanan
fisik berhubungan erat dengan lingkungan infrastruktur buatan manusia serta lingkungan
pertanian. Kerentanan sosial berkaitan dengan unsur-unsur atau faktor kerentanan secara
demografis seperti kepadatan penduduk dan tingkat kewaspadaan. Sedangkan kerentanan
ekonomi berkaitan erat dengan cara orang mencari nafkah dan mata pencaharian mereka atau
keluarga miskin. Kegiatan sumber dayaalam dan manusia tergantung pada curah hujan dan
kelembaban tanah, seperti lahan kering pertanian, peternakan, dan beberapa penggunaan air
lingkungan adalah yang paling berisiko dari kekeringan. Kegiatan ini dapat mengalami dampak
kekeringan yang berlangsung singkat.
 Eksposur (eksposure). Eksposur dapat didefinisikan sebagai total nilai elemen berisiko. Elemen
resiko didefinisikan adalah populasi, perumahan, transportasi, kesehatan dan infrastruktur
pendidikan, tenaga air dan pertanian yang terkena bahaya di daerah tertentu. Hal ini dinyatakan
sebagai jumlah nyawa manusia dan nilai properti atau aset yang berpotensi dapat dipengaruhi
oleh bahaya. Eksposur adalah fungsi dari lokasi geografis dari unsur-unsur beresiko. Penilaian
ekposur adalah tahap peralihan dari penilaian risiko, yang menghubungkan penilaian bahaya
dengan aset yang dipertimbangkan untuk penilaian risiko (ADPC, 2010).
 Kapasitas (capacity). Menurut Bollin et al. (2003) kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya
yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau
dampak dari bencana. Adaptasi pada dasarnya berkaitan dengan tingkat sistem ketahanan yang

14
didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan mereorganisasi saat
menjalani perubahan sehingga tetap mempertahankan fungsi dasar yang sama, struktur,
identitas, dan masukan. Dalam proses ini, terdiri dari desain dan implementasi manajemen risiko
lembaga dan organisasi seperti rencana kesiapan bencana, sistem peringatan bencana dan
bantuan darurat yang berpotensi dapat mengurangi dampak yang paling cepat dan mengerikan
dampak terkait iklim. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan,
persiapan, respon dalam tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam
menghadapi bencana. Selain kapasitas pemerintah, populasi, sektor swasta, media organisasi
masyarakat dan perguruan tinggi juga sangat penting dalam penilaian risiko. Pengurangan risiko
bencana adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, menilai dan mengurangi risiko
bencana. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana serta
berurusan dengan bahaya lingkungan dan lainnya yang memicu. Pemetaan risiko adalah proses
pembentukan batas spasial dan temporal risiko (menggabungkan informasi tentang probabilitas
dan konsekuensi). Pemetaan risiko menggabungkan peta bahaya, eksposur, dan fungsi
kerentanan. Hasil pemetaan risiko biasanya disajikan dalam bentuk peta yang menunjukkan
besar dan sifat risiko.
 Mitigasi Bencana. Mitigasi berarti mengambil tindakan untuk mengurangi pengaruh dari suatu
bahaya dan kerentanan yang mengancam sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku
untuk cakupan yang luas dari aktivitas dan tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari
yang fisik, sampai dengan prosedural. Di negara besar seperti USA dan India salah satu dari
daerah tersebut mengalami kekeringan hampir setiap tahun. Namun, dampaknya dapat
diminimalkan melalui pengembangan teknik manajemen yang lebih baik. Oleh karena itu,
pengembangan strategi manajemen kekeringan yang tepat sangat penting dan saat ini ditangani
oleh sektor pemerintah, lembaga swadaya dan lembaga penelitian pengembangan.

 El Nio dan La Niña mewakili ekstrem yang berlawanan dalam El Nio/Southern Oscillation (ENSO). Siklus
ENSO mengacu pada variasi yang koheren dan terkadang sangat kuat dari tahun ke tahun dalam suhu
permukaan laut, curah hujan, tekanan udara permukaan, dan sirkulasi atmosfer yang terjadi di seluruh
Samudra Pasifik khatulistiwa/ equatorial Pacific Ocean.
 ENSO adalah salah satu fenomena iklim terpenting di Bumi karena kemampuannya untuk mengubah
sirkulasi atmosfer global, yang pada gilirannya mempengaruhi suhu dan curah hujan di seluruh dunia.
 Apa saja 3 tahapan ENSO? Kita dapat menggunakan suhu air permukaan di Pasifik khatulistiwa timur
untuk menunjukkan kondisi sebagai salah satu dari tiga fase sistem El Nino-Southern Oscillation (ENSO)
— netral (atau “normal”), hangat (El Nino), dan dingin (La Nina).
 Apa yang menyebabkan siklus ENSO? Peristiwa ENSO tidak disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi
disebabkan oleh interaksi antara lapisan permukaan laut dan atmosfer di atasnya di Pasifik tropis.
 Bagaimana ENSO dipengaruhi oleh perubahan iklim? Perubahan iklim meningkatkan frekuensi kejadian
El Niño yang ekstrem, yang menyebabkan kekeringan yang semakin parah, banjir yang semakin parah,
dan pola badai yang berubah, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Proceedings of the
National Academy of Sciences.
 Apa yang terjadi selama acara ENSO? Kondisi El Niño terjadi ketika air permukaan di Pasifik khatulistiwa
menjadi lebih hangat dari rata-rata dan angin timur bertiup lebih lemah dari biasanya. Kondisi sebaliknya
disebut La Niña. Selama fase ENSO ini, air lebih dingin dari biasanya dan angin timur lebih kencang. El
Nino biasanya terjadi setiap 3 sampai 5 tahun.

Pertanyaan:
1. Jelaskan kaitan Vegetasi dengan kekeringan?.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kekeringan Meteorologi dan data apa yang diperlukan
dalam mengukur kekeringan meteorologi?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kekeringan hidrologis dan data apa yang diperlukan dalam
mengukur kekeringan hidrologis?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kekeringan pertanian pertanian dan data apa yang
diperlukan dalam mengukur kekeringan pertanian?
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kekeringan sosial ekonomi dan data apa yang diperlukan
dalam mengukur kekeringan sosial ekonomi?
6. Apa perbedaan Kekeringan Alamiah dan Kekeringan Antropogenik. Berikan contohnya.
7. Jelaskan apa itu El Nino dan apa itu La Nina, dan beri penjelasan apa dampaknya terhadap
pertanian jika terjadi.
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan indeks kekeringan.

15
9. Jelaskan secara singkat apa itu Standar Indeks Curah Hujan (The Standard Precipitation Index,
SPI).
10. Jelaskan secara singkat apa itu The Palmer Drought Severity Index (PDSI)I).
11. Jelaskan apa itu: El Nino Southern Oscillation (ENSO)

16

Anda mungkin juga menyukai