Anda di halaman 1dari 44

BAB III

BEBERAPA POKOK BAHASAN


DALAM KONSERVASI AIR

3.1 Masalah Kekeringan dan Banjir


iklus air global menentukan jumlah air yang tersedia

S bagi kebutuhan manusia seperti


kebutuhan perkantoran dan industri, irigasi dan
pertanian, tenaga air, sanitasi,
penyediaan

perlindungan
kesehatan manusia dan ekosistem serta keuntungan sosial
dan lingkungan secara luas (USCCSP, 2002). Air tidak
hanya tampil dalam bentuk cair saja, tetapi juga dalam
bentuk uap air, atau dalam bentuk salju dan es. Jumlah total
air di atas bumi ini adalah tetap, tetapi air berubah secara
terus menerus dari bentuk satu ke bentuk lainnya, dan
bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda. Hubungan
dan gerakan ini secara sederhana ditunjukkan dalam
diagram siklus hidrologi yang telah disederhanakan (Gambar
3.1).

69 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.1 Diagram siklus hidrologi yang disederhanakan
(adaptasi dari Ward, 1975, dalam Shaxson - FAO, 2003).

Air di laut, di permukaan tanah, dalam tanah dan


tanaman, menguap sebagai evaporasi dan evapotranspirasi,
berubah bentuk sebagai uap air (water vapour), bergerak
dalam bentuk awan dan mengalami kondensasi
(condensation), berubah dalam bentuk titik-titik air berupa air
hujan atau salju (precipitation) yang jatuh ke atas permukaan
tanah. Air ini sebagian mengalir di atas permukaan tanah
(overland flow/runoff) menuju cekungan dan mengalir
sebagai aliran sungai (stream flow), sebagian meresap ke
dalam tanah (interception) sehingga tanah mengandung air
(soil moisture) mengalir dalam tanah (inter flow) sebagai
aliran air tanah (groundwater flow). Air tanah ini merembes
(groundwater seepage) mengalir ke luar (runout) menuju ke
laut atau danau sebagai sumber air.

70 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Masalah kekeringan dan banjir terjadi dalam siklus air
sebagai air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah
dengan jumlah yang sedikit atau besar. Hal ini dipengaruhi
oleh keadaan iklim yang menentukan jumlah air hujan
tersebut. Dalam sub pokok bahasan berikut ini akan
dijelaskan lebih lanjut tentang: (1) kekeringan dan sistem
pengelolaan kekeringan, dan (2) banjir dan sistem
pengendalian banjir.

3.1.1 Kekeringan (Drought) dan Sistem Pengelolaan


Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana yang disebabkan
oleh sedikitnya air dalam periode waktu yang panjang,
sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan
normal antara air hujan dan proses penguapan. Kekeringan
juga dapat didefinisikan sebagai kurang lembabnya tanah
yang serius, yang berdampak pada kebiasaan komunitas
karena menurun/gagalnya produksi pangan atau penyediaan
air permukaan. Kekeringan ini akan merusak sekali, dan
sekarang diketahui bahwa perubahan iklim akan menaikkan
intensitas dan frekuensi kekeringan di atas bumi. Kadang-
kadang kekeringan disebut juga sebagai fenomena yang
merayap (creeping phenomenon), bergerak secara lambat
tapi tetap ke suatu daerah dan terjadi dalam periode waktu
yang panjang (ODPEM – Office of Disaster of Preparedness
and Emergency Management, download 2005).
Konsep kekeringan berangkat dari dua definisi yaitu
suatu periode tanpa air hujan yang cukup dan suatu periode
kelangkaan air. Definisi pertama dikatakan sebagai
kekeringan secara meteorologis atau klimatologis. Definisi
kedua dapat disebut kekeringan dari berbagai aspek, antara
lain kekeringan secara hidrologi, kekeringan secara
pertanian dan kekeringan secara sosial-ekonomi. Hal ini

71 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
dijelaskan dalam tipe-tipe kekeringan sebagai berikut
(ODPEM, download 2005):
1. Kekeringan secara iklim (meteorological drought)
yang secara umum didefinisikan sebagai derajat
keringnya dibandingkan dengan rata-rata jumlah
hujan yang biasa diukur dalam periode lebih dari 30
tahun.
2. Kekeringan secara hidrologis (hydrological drought)
mengacu pada tidak cukupnya air yang terukur dari
arus aliran dan muka air dalam waduk dan sungai.
Kekeringan secara hidrologis terjadi di luar fase iklim
dan kekeringan secara pertanian karena
membutuhkan waktu yang panjang untuk
menunjukkan penurunan pada danau atau sungai.
3. Kekeringan secara pertanian (agricultural drought)
menguji tingkat kelembaban dalam tanah di mana
tanaman ada, dan dipengaruhi oleh hujan atau muka
air yang rendah dari penyediaan air. Kekeringan ini
menyebabkan kerusakan pada tanaman.
4. Kekeringan secara sosial-ekonomi (socio-economic
drought) terjadi di mana kebutuhan akan barang-
barang ekonomis melampaui ketersediaannya karena
iklim yang berhubungan dengan kegagalan untuk
penyediaan air.
Penyebab adanya kekeringan antara lain karena (ODPEM,
download 2005):
1. Perubahan pola cuaca akibat panas muka bumi yang
terbentuk secara berlebihan
2. Perubahan meteorologis yang menghasilkan suatu
penurunan curah hujan
3. Pengurangan penutupan awan yang menyebabkan
makin besarnya laju penguapan
4. Tidak cukupnya perencanaan
72 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
5. Metode perumputan dan penanaman secara
berlebihan yang mengurangi daya tampung air dalam
tanah
6. Teknik konservasi tanah yang tidak memadai
sehingga memicu terjadinya penurunan kualitas tanah
7. Padatnya lahan yang berpenduduk

Dampak kekeringan dapat terjadi secara ekonomis,


lingkungan atau sosial seperti yang ditunjukkan antara lain
sebagai (ODPEM, download 2005):
1. Penurunan muka air tanah
2. Erosi
3. Kehabisan air dalam tanah secara cepat
4. Kehilangan unsur-unsur organik dalam sistem ekologi
5. Terhentinya kegiatan sosial yang normal dalam arti
kualitas hidup
6. Penderitaan kelaparan di beberapa negara khususnya
Afrika
7. Terjadinya tanah kering/kersang karena perumputan
yang berlebihan dan penggundulan hutan
8. Kecenderungan pada pengelolaan krisis dari pada
pengelolaan risiko karena tanggapan atas kekeringan
yang cenderung terlambat dan tak terkoordinasi

Untuk menjelaskan kekeringan secara efektif, maka


perlu ditetapkan kapan kekeringan dimulai, bagaimana
menimpa dan kapan akan berakhir. Akibat perubahan pola
cuaca disebabkan oleh panas muka bumi yang terbentuk
secara berlebihan sebagai dampak antara lain dari semakin
meluasnya lubang ozon yang menyelimuti bumi dari panas
matahari, maka terjadi penurunan curah hujan di suatu
daerah dan atau peningkatan curah hujan di lain daerah
dalam waktu tertentu. Penurunan curah hujan merupakan
73 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
titik awal terjadinya kekeringan. Keadaan jumlah hujan yang
sedikit biasanya disertai dengan peningkatan laju penguapan
sehingga air hujan yang sedikit dan jatuh di atas permukaan
tanah sebagai limpasan permukaan maupun meresap ke
dalam tanah, tidak mampu menjaga kestabilan kandungan
air dalam tanah. Air hujan yang turun di atas permukaan
bumi ini mempunyai tempat tujuan yang beragam.
Rangkaian tempat tujuan dari air hujan ini dijelaskan seperti
dalam Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Rangkaian tempat tujuan air hujan (Shaxson, 2001 dalam
Shaxson - FAO, 2003)

74 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Shaxson (2001) memberikan gambaran tempat tujuan
dari air hujan dalam 10 macam kategori:
1. Penguapan langsung dari permukaan daun-daun
yang basah oleh air hujan (transpirasi).
2. Limpasan air permukaan atau aliran air akibat badai
hujan (runoff).
3. Penguapan langsung dari permukaan tanah
(evaporasi).
4. Ketersediaan air dalam tanah untuk tanaman dalam
bentuk benih.
5. Ketersediaan air dalam tanah untuk tanaman dalam
bentuk tanaman.
6. Ketersediaan air dalam tanah untuk tanaman dalam
bentuk pohon.
7. Kelembaban tanah antara daerah perakaran tanaman
yang ada, tetapi tidak tersedia bagi tanaman (soil
moisture).
8. Kelembaban tanah yang terdapat di bawah daerah
perakaran tanaman yang ada (soil moisture).
9. Air yang tidak ditangkap oleh akar dan pori-pori tanah,
bergerak mengalir sebagai air tanah dan aliran air
(ground water).
10. Rembesan ke dalam air tanah yang dalam di antara
daerah tangkapan (deep percolation).

Pada dasarnya air hujan yang jatuh di permukaan


bumi menempuh 2 rute jalan: (1) limpasan permukaan
(surface runoff), dan (2) infiltrasi dan perkolasi. Perjalanan ini
dijelaskan dalam Gambar 3.3. Limpasan permukaan
merupakan jalan yang cepat, dalam menit dan segera
setelah hujan turun. Infiltrasi dan perkolasi merupakan jalan
yang lebih lambat, dalam waktu jam – hari – minggu, setelah
hujan turun.
75 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.3 Limpasan permukaan dan perkolasi – 2 perjalanan air hujan
(Shaxson - FAO, 2003)

Air hujan cukup mampu memenuhi kebutuhan air bagi


tanaman dalam musim hujan, bila air hujan yang jatuh
mampu meresap ke dalam tanah dan memenuhi
kelembaban tanah yang dibutuhkan oleh tanaman, dan tidak
banyak terbuang sebagai limpasan permukaan. Dalam
musim kemarau, keadaan tanah menjadi kering sehingga
tidak mampu menyediakan air yang dibutuhkan bagi
tanaman, dan hasil tanaman akan turun atau bahkan gagal.
Kurang tersedianya hasil tanaman yang merupakan bahan
makanan bagi manusia dan binatang menimbulkan bencana
kelaparan. Kekeringan akan mulai berakhir apabila hujan
mulai turun, dan jumlah curah hujan yang turun ini mampu
mengembalikan keadaan lengas air dalam tanah untuk
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.

76 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Sistem Pengelolaan Kekeringan
Strategi sistem pengelolaan kekeringan dilakukan
dengan konsep keseimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan air, serta antisipasi atau menghindari ancaman
dari dampak kekeringan. Dari sisi ketersediaan, sumber daya
air yang ada harus terjamin keberadaannya secara
berkelanjutan (sustainable). Sedangkan dari sisi kebutuhan,
air yang dimanfaatkan harus lebih kecil atau sama dengan
ketersediaannya. Dalam pengelolaan kekeringan dikenal
istilah indeks kekeringan yang menggambarkan suatu
ukuran dari perbedaan kebutuhan dan ketersediaan sumber
air, dan merupakan bagian dari sistem pendukung keputusan
yang berhubungan dengan kekeringan.
Kodoatie dan Sjarief (2005) menuliskan strategi
pengelolaan kekeringan yang diperlukan meliputi antara lain:
1. Indentifikasi daerah rawan kekeringan
2. Pemetaan detail daerah rawan kekeringan dari
berbagai aspek
3. Identifikasi dan pemetaan sebaran penduduk dan
kebutuhan air baku
4. Pemetaan kebutuhan dan ketersediaan air
5. Sosialisasi kebutuhan dan ketersediaan air yang ada
untuk berbagai instansi sesuai tugas pokok dan
fungsinya secara kontinyu ke pihak produsen dan
konsumen air
6. Sosialisasi pemakaian air secara efisien dan efektif
7. Penyusunan rencana tindak yang komprehensif,
sektor dan multi sektor
Berbagai model dan analisis dapat diaplikasikan untuk
tiap-tiap aspek yang ditinjau meliputi aspek meteorologi,
hidrologi, pertanian dan sosial ekonomi. Untuk menghadapi
musim kemarau panjang yang akan berdampak pada
kekeringan, secara umum dapat dilakukan persiapan-
77 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
persiapan guna mengurangi dampak negatif akan
kekeringan yang meliputi antara lain:
1. Efisiensi penggunaan/penghematan air, yang berupa:
(a) pemenuhan kebutuhan air secara selektif, (b)
efisiensi/penghematan air setiap kebutuhan, dan (c)
sosialisasi gerakan penghematan air.
2. Pengelolaan sumber daya air secara efektif, meliputi:
(a) peninjauan secara komprehensif dan terpadu, (b)
potensi sumber daya air/ketersediaan, (c) kebutuhan
sumber daya air, (d) alokasi masing-masing
kebutuhan secara proporsional, dan (e) skala
prioritas.
3. Pemanfaatan simpanan air embung atau waduk
secara selektif dan efektif, meliputi kegiatan-kegiatan:
(a) review kondisi embung yang ada secara
menyeluruh, (b) analisis dan review keseimbangan
kapasitas dan pemanfaatan embung, (c) kebutuhan
peningkatan daya tampung, dan (d) konservasi lahan.
4. Penyesuaian pola dan tata tanam, meliputi kegiatan-
kegiatan: (a) identifikasi masalah dan solusi pola
tanam yang ada, (b) sosialisasi pola tanam yang
terpadu antara kabupaten/kota atau lintas, dan (c)
penentuan pola tanam untuk masing-masing sistem
DAS dan daerah irigasi.
5. Kegiatan yang mendukung kelestarian alam, berupa:
(a) tinjauan secara komprehensif dan terpadu, (b)
potensi sumber daya air/ketersediaan, (c) kebutuhan
sumber daya air, (d) alokasi masing-masing
kebutuhan secara proporsional, dan (e) skala
prioritas.
6. Analisis pengelolaan sumber daya air, meliputi: (a)
identifikasi pengelolaan sumber daya air yang ada, (b)
pemanfaatan tataguna lahan, (c) kajian rencana
78 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
umum tata ruang suatu daerah, dan (d) potensi
sumber daya air yang ada dan kebutuhan sumber
daya air.

Teknik-teknik baru dalam pengelolaan kekeringan


oleh ODPEM (download 2005) dijelaskan sebagai sistem
peringatan dini yang dapat mengurangi dampak kekeringan
dengan cara setiap waktu tertentu menyediakan informasi
tentang kekeringan. Pemantauan secara terpadu dari stasiun
meteorologi dan hidrologi yang menyediakan data runtut
waktu tentang iklim dan sistem hidrologi antara lain arus
aliran air atau kelembaban tanah, dapat membantu dalam
menetapkan nilai indeks kekeringan untuk pengambilan
keputusan. Data kelembaban tanah dapat diprediksi melalui
sistem remote sensing lewat satelit. Macam-macam program
WMO (World Meteorological Organisation) memantau
kejadian iklim yang ekstrim yang berhubungan dengan
kekeringan seperti El Nino, sementara 4 pusat pemantauan
yaitu, 2 di Afrika, 1 di Cina dan pada informasi global dan
sistem peringatan dini (the Global Information and Early
Warning System), menyediakan keterangan rangkuman
cuaca dan iklim dalam tiap tiga bulanan.

3.1.2 Banjir (Flood) dan Sistem Pengendalian Banjir


Peningkatan jumlah curah hujan yang turun secara
berlebihan dalam periode waktu yang pendek, akan dapat
menimbulkan bencana banjir. Hal ini disebabkan juga antara
lain karena penggundulan hutan di daerah hulu sehingga
meningkatkan limpasan air permukaan karena air hujan yang
turun kurang dapat terserap oleh tanah yang tidak ditutupi
oleh tanaman. Limpasan air permukaan yang besar ini
mengalir ke bagian hilir dalam arus aliran drainase alam atau
sungai. Karena besarnya limpasan air permukaan dan
79 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
terbatasnya kapasitas penampang sungai atau drainase
alam, maka air meluap ke bagian hilir yang lebih rendah atau
daerah yang mempunyai sistem drainase tidak memadai dan
muncul sebagai bencana banjir.
Technology Information Forecasting & Assessment
Council (TIFAC) dalam situsnya menuliskan definisi dari
banjir antara lain terjadi ketika sungai-sungai meluap dan
merusakkan milik maupun tanaman. Banjir biasanya terjadi
di tempat tertentu, dalam waktu pendek yang kadang-kadang
terjadi secara tiba-tiba dengan sedikit atau tanpa peringatan.
Biasanya disebabkan oleh hujan badai yang menghasilkan
limpasan air permukaan yang lebih besar dari pada arus
sungai atau drainase dapat menampungnya. Banjir di sungai
juga dapat terjadi ketika suatu bendung jebol, tanah longsor
yang menutup aliran, atau salju yang mencair secara cepat
(Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Banjir yang terjadi di sungai dan di jalan raya (TIFAC,
download 2005)

Banjir dapat terjadi setiap saat, tetapi pola cuaca


mempunyai pengaruh kuat yang menentukan waktu kapan
dan di mana banjir akan terjadi. Siklon atau badai yang
80 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
membawa uap air dari lautan, dapat menyebabkan banjir.
Banjir yang sangat besar jarang terjadi. Besarnya banjir
diterangkan dalam istilah periode ulang. Dengan
mempelajari waktu periode yang panjang arus aliran yang
tercatat, maka dimungkinkan untuk mengestimasi besarnya
banjir yang akan terjadi, seperti misalnya banjir periode
ulang 5 tahunan, atau banjir 100 tahunan.
Daerah bantaran sungai (flood plain) secara normal
adalah kering, tetapi akan tergenang air selama terjadi banjir.
Membangun pemukiman atau bangunan lain pada daerah
bantaran sungai ini dapat rusak ketika terjadi banjir.
Bangunan ini juga akan mengubah pola aliran air dan
meningkatkan banjir dengan kerusakan yang ditimbulkannya
karena menutup aliran air dan meningkatkan luas,
kedalaman maupun kecepatan air banjir. Gambar 3.5
menggambarkan situasi banjir pada daerah bantaran sungai
yang telah padat dengan pemukiman.

Gambar 3.5 Banjir di daerah bantaran sungai yang padat pemukiman


(TIFAC, download 2005)

81 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Ada beberapa tipe banjir yang dapat terjadi antara lain
(TIFAC, download 2005):
1. Banjir sungai (river floods), yang terjadi bila aliran air
permukaan sungai meningkat dan kapasitas
penampang sungai tidak mampu menampung aliran,
maka akan meluap sebagai banjir
2. Banjir pantai (coastal floods), yang terjadi bila daerah
pantai menjadi tergenang oleh air laut karena
pengaruh pasang dan surut. Pasang air laut juga
dapat masuk ke sungai dan menimbulkan banjir di
sungai. Angin dapat membangkitkan badai tropis dan
angin ribut atau sistem tekanan udara yang rendah di
pantai yang dapat mendorong air laut menuju ke
pantai dan menyebabkan banjir. Banjir pantai juga
dapat disebabkan oleh gelombang laut yang disebut
tsunami yang terjadi karena gempa bumi atau
aktivitas gunung.
3. Banjir di daerah perkotaan (urban floods), yang terjadi
karena pembangunan perkotaan yang dapat
menyebabkan meningkatnya limpasan air permukaan
sampai 6 kali lebih besar. Pembangunan perkotaan
menghilangkan daerah yang tertutup oleh tanaman
yang dapat menyerap air hujan yang jatuh ke dalam
tanah dan mengurangi limpasan permukaan.
4. Banjir bandang yang datang sekonyong-konyong
(flash floods) terjadi bila dalam daerah tangkapan
hujan terhubung langsung dengan titik keluaran dari
cekungan, maka peningkatan debit secara tiba-tiba
dapat terjadi. Hal ini juga dapat terjadi bila bangunan
tanggul atau bendung jebol.

82 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Faktor penting yang menyebabkan terjadinya banjir
oleh TIFAC (download 2005) disebutkan antar lain: (1)
jumlah hujan atau laju curah hujan dan (2) waktu terjadinya
hujan atau durasi. Selain itu faktor-faktor lain yang juga
mempunyai peranan terhadap terjadinya banjir adalah
topografi, keadaan tanah dan keadaan penutupan tanah
(ground cover). Kodoatie dan Sugiyanto (2002) menuliskan
bahwa banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi
diakibatkan antara lain oleh sebab-sebab berikut ini:
1. Perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai
(DAS), yang dapat meningkatkan debit aliran dari 5
sampai 35 kali untuk lahan hutan menjadi perkotaan.
2. Pembuangan sampah akan mengakibatkan
tersumbatnya sistem saluran drainase atau sungai
sehingga aliran air meluap.
3. Erosi dan sedimentasi yang mengakibatkan daya
tampung sungai berkurang.
4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase dapat
merupakan penghambat aliran air maupun daya
tampung sungai/drainase.
5. Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak
tepat misalnya perencanaan bangunan tanggul yang
tidak tepat sehingga luapan air melampaui puncak
tanggul, maka akan menyebabkan terjadinya banjir
bandang karena tanggul bobol.
6. Curah hujan yang tinggi dan dalam waktu yang
panjang akan memberikan debit yang besar sehingga
menimbulkan banjir.
7. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai meliputi bentuk,
fungsi dan kemiringan DAS, kemiringan sungai,
geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar,
kedalaman, potongan memanjang, material dasar
sungai), lokasi sungai dll.
83 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
8. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
karena adanya erosi di hulu DAS dan pengendapan
sedimen di hilir,
9. Drainase lahan dari pengembangan pertanian di
daerah bantaran sungai akan mengurangi
kemampuan bantaran dalam menampung debit air
yang tinggi.
10. Bendung dan bangunan air seperti pilar dan jembatan
dapat meningkatkan elevasi muka air banjir karena
efek aliran balik (backwater).
11. Kerusakan bangunan pengendali banjir yang kurang
terpelihara akan menyebabkan jebolnya bangunan
pengendali banjir dan berakibat terjadinya banjir
bandang.
12. Pengaruh air pasang menghambat aliran sungai
menuju ke laut. Bila pasang tinggi terjadi saat banjir,
maka tinggi genangan akan semakin besar karena
adanya aliran balik.
13. Penurunan tanah dan rob yang terjadi di daerah
dataran pantai karena pasang naik dari air laut
menyebabkan aliran balik dalam sungai dan
menggenang di dataran rendah.

Kodoatie dan Sjarief (2005) mengklasifikasikan


penyebab banjir di atas ke dalam 2 kategori: (1) karena
tindakan manusia dan (2) yang disebabkan oleh alam. Yang
termasuk sebab-sebab banjir karena tindakan manusia:
perubahan tata guna lahan, pembuangan sampah, kawasan
kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem
pengendalian banjir yang tidak tepat, penurunan tanah dan
rob, tidak berfungsinya sistem drainase lahan, bendung dan
bangunan air, serta kerusakan bangunan pengendali banjir.
Yang termasuk sebab-sebab alami di antaranya adalah:
84 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
erosi dan sedimentasi, curah hujan, pengaruh
fisiografi/geofisik sungai, kapasitas sungai dan drainase yang
tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah dan
rob, serta drainase lahan.
Dampak dari banjir oleh TIFAC lebih lanjut
dikategorikan dalam kategori dampak domestik dan dampak
nasional. Dampak domestik meliputi antara lain terhadap
sejumlah rakyat yang terkena gelombang banjir, tidak dapat
dilakukannya kegiatan pada daerah yang tekena banjir,
sistem drainase kota yang tidak dapat berfungsi,
pencemaran yang terjadi pada lokasi yang terkena banjir.
Dampak nasional akibat banjir besar terutama adalah erosi
tanah (Gambar 3.6), tidak cukupnya persediaan makan dan
obat-obatan, rusaknya lahan pertanian, perikanan dan
kerugian besar di sektor sosial maupun ekonomi.

Gambar 3.6 Erosi tanah akibat banjir (TIFAC, download 2005)

85 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Sistem Pengendalian Banjir
Banjir yang terjadi sangat merusak dan menimbulkan
kerugian yang besar. Untuk mengurangi risiko yang
diakibatkan oleh banjir, secara umum dapat dilakukan
pengendalian dalam tata guna lahan dan perencanaan untuk
menghindari lokasi yang rawan terhadap bahaya banjir.
Bangunan tanggul di sepanjang sungai atau pantai juga
dapat mengatasi melimpahnya air yang menyebabkan banjir,
tetapi perlu diperhatikan dalam perencanaan muka air
maksimum yang mungkin terjadi. Bila perencanaan kurang
memadai, maka akan tetap muncul bencana banjir bandang
terjadi karena air yang melimpas di atas puncak tanggul
akan mengakibatkan jebolnya bangunan tanggul tersebut.
Bangunan waduk dapat menampung limpasan air yang
berlimpah, kemudian dilepaskan dengan pengelolaan
pengaturan air yang sesuai, sehingga mengurangi risiko
terjadinya banjir.
Kodoatie dan Sjarief (2005) mengemukakan 2 metode
pengendalian banjir yaitu metode struktur dan metode non-
struktur. Pengendalian banjir dengan metode struktur lebih
diutamakan pada masa lalu, namun sekarang disadari
bahwa metode non-struktur lebih efektif dalam pengendalian
banjir, seperti pengelolaan tata guna lahan yang tepat lebih
berpengaruh terhadap debit limpasan permukaan dari pada
pengendalian banjir dengan metode struktur seperti
normalisasi sungai. Beberapa contoh pengendalian banjir
dengan metode struktur dan non-struktur dijelaskan dalam
Tabel 3.1 berikut ini.

86 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Tabel 3.1 Metode pengendalian banjir dengan skala prioritasnya
Skala
Metode
prioritas
I Metode non-struktur
 Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
 Pengaturan tata guna lahan
 Pemberlakuan peraturan/undang-undang Pengelolaan
 Pengendalian erosi di DAS banjir
 Pengaturan dan pengembangan daerah banjir
II Metode struktur: Bangunan pengendali banjir
 Bendungan (dam)
 Kolam retensi
 Pembuatan check dam (penangkap sedimen) menuju
 Bangunan pengurang kemiringan sungai
 Groundsill
 Retarding basin
 Pembuatan polder
III Metode struktur: Perbaikan dan pengaturan sistem Pengendalian
 Sistem jaringan sungai banjir
 Pelebaran/pengerukan sungai (normalisasi)
 Perlindungan tanggul
 Tanggul banjir
 Sudetan
 Floodway
Sumber: Kodoatie dan Sjarief, 2005
Metode struktur hanya memberikan
penurunan/pengurangan debit jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan peningkatan debit akibat perubahan
tata guna lahan atau penurunan kualitas lingkungan. Metode
struktur dapat dikatakan sebagai usaha pengendalian banjir,
sedang usaha non-struktur lebih pada pengelolaan banjir.
Maka sistem pengendalian banjir yang diterapkan akhir-akhir
ini lebih pada gerakan dari pengendalian banjir menuju
pengelolaan banjir. Kegiatan pengendalian banjir biasanya
berhubungan dengan instansi/lembaga yang menangani
kegiatan tersebut. Di Indonesia terdapat berbagai
instansi/lembaga yang berkaitan dengan rencana kegiatan-
kegiatan pengendalian banjir. Tabel 3.2 menjelaskan
peranan lembaga-lembaga yang ada dalam rencana
kegiatan-kegiatan pengendalian banjir yang dapat dilakukan,
beserta rentang waktu yang diperlukan.
87 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Tabel 3.2 Lembaga, rencana kegiatan dan jangka waktu
Lembaga Rencana kegiatan Waktu (jangka)
Balitbang  Kajian Pola Pengembangan Menengah,
Sumber Daya Air (PSDA) panjang
 Kajian Kelembagaan Pola PSDA Menengah,
 Kajian Finansial Pola PSDA panjang
 Kajian Pengendalian Banjir Menengah,
sebagai bagian SDA panjang
Pendek,
menengah
Bappeda  Perencanaan menyeluruh secara Panjang
komprehensif
 Rencana induk untuk setiap Panjang
pembangunan dan Menengah
pengembangan sistem Pendek
 Perkiraan biaya Pendek
 Perencanaan organisasi dan
lembaga
 Perencanaan peningkatan sistem
yang ada
Dinas PSDA  Evaluasi dan review SWS dan Menengah,
(Pengairan) DAS panjang
 Pengelolaan Sumber Daya Air Menengah,
dan pengendalian banjir panjang
 Evaluasi & review sistem Pendek,
pengendalian banjir tiap DAS menengah
 Pemetaan daerah-daerah banjir Pendek
 Pemetaan daerah-daerah rawan Pendek
longsor Pendek
 Upaya-upaya perbaikan daerah Pendek,
banjir dan longsor menengah
 Pelaksanaan pembangunan yang Pendek
diprioritaskan
 Sistem peringatan banjir (flood
warning system)
Kehutanan  Review sistem pengelolaan hutan Pendek
di hulu DAS Menengah,
 Perubahan kebijakan panjang
pengelolaan hutan Menengah,
 Masterplan eksploitasi sumber panjang
daya hutan
Pertambangan  Review kebijakan penambangan Pendek
galian C Menengah,
 Pemetaan daerah penambangan panjang
galian C Menengah,
88 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
 Pemetaan daerah rawan longsor panjang
Kabupaten/kota  Evaluasi dam review sistem DAS Pendek
termasuk di wilayah Kab./kota
lembaga dan  Koordinasi dan review sistem Pendek,
dinas terkait DAS antar wilayah Kab./kota menengah
 Evaluasi RTRK atau RTRW Pendek
 Kompensasi kawasan terbangun
untuk mengembalikan resapan air Pendek,
sebelum diubah menengah
 Perkiraan biaya Pendek
 Perencanaan organisasi dan Pendek
lembaga Pendek
 Pemetaan daerah-daerah banjir Pendek
 Pemetaan daerah-daerah rawan Pendek,
longsor menengah
 Pelaksanaan pembangunan yang
diprioritaskan
Sumber: Kodoatie dan Sjarief, 2005.

3.2 Praktik-praktik Konservasi Air


Konservasi air dan tanah sangat erat hubungannya
satu sama lain. Usaha konservasi air pada dasarnya juga
merupakan usaha konservasi tanah. Dalam buku Seri
Sumber Daya Air No. 81: Konservasi air – Sebuah Panduan
Peningkatan Kesadaran Masyarakat (Puslitbang SDA, 2001)
dituliskan bahwa konservasi air mengacu pada tindakan
yang diambil supaya air dimanfaatkan secara bijaksana dan
efisien, yaitu dengan cara mengurangi pemakaian
berlebihan, kehilangan air, dan pemborosan. Konservasi air
terdiri atas dua bagian: (1) konservasi sumber daya air –
pengelolaan yang efisien, penyimpanan, alokasi dan
penyaluran air baku di sumberdaya, dan (2) konservasi
suplai air – distribusi dengan kehilangan air minimum dan
penghematan air.
Narayana dan Ram Babu (1985) dalam Norman –
FAO (1987) menyatakan ada tiga pendekatan konservasi air
yang mempertimbangkan perbandingan antara jumlah curah
hujan dan kebutuhan air untuk tanaman:
89 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
1. Jumlah curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan
air untuk tanaman. Strategi konservasi air termasuk
pengolahan tanah untuk meningkatkan limpasan air
permukaan ke areal tanah yang ditanami,
membiarkan tanah tidak ditanami (bero) untuk
konservasi air, dan menanam tanaman yang
mempunyai toleransi terhadap kekeringan.
2. Jumlah curah hujan sama dengan kebutuhan air untuk
tanaman. Strategi konservasi air berupa konservasi
lokal curah hujan, memaksimalkan penampungan air
pada profil tanah, dan menampung kelebihan
limpasan air permukaan untuk dimanfaatkan
kemudian.
3. Jumlah curah hujan lebih besar dari pada kebutuhan
air untuk tanaman. Strategi konservasi meliputi usaha
mengurangi erosi tanah akibat air hujan,
mengeringkan kelebihan limpasan air dan
menampungnya untuk dimanfaatkan kemudian.

Pendekatan di atas mempunyai kelemahan, karena


faktor utama yaitu curah hujan sangat bervariasi dan susah
diprediksi. Variasi kelangkaan ataupun kelebihan lengas air
sangatlah luas. Saat musim kering yang panjang mungkin
terjadi di antaranya hujan badai dan banjir sehingga terjadi
waterlogging yang menurunkan produksi tanaman, sedang di
musim hujan terjadi periode kekeringan yang dapat
menyebabkan gagal panen.
Usaha konservasi air meliputi penanganan masalah-
masalah pokok yang berkaitan dengan apa yang terjadi pada
air hujan yang turun dan menjadi limpasan air permukaan
(Run off), hilang sebagai penguapan (Evaporation –
Evapotranspiration), perkolasi, dan usaha mengeringkan

90 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
kelebihannya dalam sistem drainase. Dari sini muncul
praktik-praktik konservasi air berupa:
1. Usaha menurunkan kehilangan air akibat limpasan air
permukaan meliputi praktik pertanian secara kontur,
sistem terasering, penyebaran air pada lahan
pertanian, penggunaan sisa tanaman untuk menutupi
lahan dan menyerap limpasan air permukaan,
peningkatan struktur tanah dan bangunan-bangunan
penampungan air (Gambar 3.7 – 3.18).
2. Usaha mengurangi kehilangan penguapan dari air
terbuka dalam waduk atau kolam penampung,
maupun kehilangan penguapan lewat tanaman
(transpirasi), penguapan air dalam tanah. Penutupan
lahan dengan tanaman atau sisa tanaman, batu-batu
dan kerikil, atau plastik, dapat mengurangi kehilangan
air akibat penguapan dan juga meningkatkan laju
infiltrasi air ke dalam tanah.
3. Usaha mengurangi kehilangan air akibat perkolasi
dapat dilakukan dengan jalan melapisi dasar waduk
atau kolam penampung dengan tanah lempung yang
kedap air atau bahan sintetis kedap air.
4. Usaha mengeringkan kelebihan air dalam tanah
dengan sistem drainase dan menampungnya ke
dalam kolam penampung pada lahan.

91 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.7 Teras datar di Bhutan (Norman - FAO, 1987)

Gambar 3.8 Teras bangku di Yemen (H. Vogel dalam Norman - FAO,
1987)

Gambar 3.9 Teras curam (Norman - FAO, 1987)

92 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.10 Tanggul secara kontur untuk menangkap tanah dan air
(Norman - FAO, 1987)

Gambar 3.11 Terasering pada lembah (Norman - FAO, 1987)

Gambar 3.12 Sawah teras di Bali (andylim.com dalam Heru dkk, 2005)

93 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.13 Kolam-kolam penampung air pada lahan teh di Malawi
(Shaxson – FAO, 2003)

Gambar 3.14 Penghambat limpasan air terdiri dari batu-batu dan ranting
di Ethiopia
(H. Hurni dalam Normal - FAO, 1987)

94 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.15 Barisan batu-batu pada kontur dekat Omahigowa, Burkina
Faso
(OXFAM dalam Norman - FAO, 1987)

Gambar 3.16 Tanggul kontur di Ethiopia dengan cekungan dan


perkuatan batu
(H. Hurni dalam Norman - FAO, 1987)

95 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.17 Bangunan sederhana untuk menangkap limpasan air
permukaan
penangkap setengah lingkaran (Norman - FAO, 1987)

Gambar 3.18 Bangunan sederhana untuk menangkap limpasan air


permukaan
lubang-lubang penangkap trapesium (Norman - FAO, 1987)

96 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.19 Cekungan-cekungan kecil digunakan untuk menangkap
dan menampung air pada perkebunan teh di Malawi (Norman - FAO,
1987)

97 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.20 Sistem pertanian secara limpasan permukaan di Kenya
(Charnock, 1985 dalam Norman - FAO, 1987)

3.2.1 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)


Usaha konservasi air melalui pengelolaan DAS dapat
dikatakan sebagai usaha pengelolaan terpadu dari
kuantitas/jumlah dan kualitas air. Hal ini diaplikasikan dalam
(1) pengoperasian waduk, (2) penggunaan air tanah, (3)
penggunaan gabungan air permukaan dan air tanah, (4)
pengelolaan irigasi dan drainase, dan (5) sistem operasional
di tingkat DAS. Tujuan dari pengelolaan kualitas air meliputi
pemantauan kualitas air di hilir, memelihara kualitas air tanah
dan pemantauan salinitas di lahan pertanian serta aliran-
aliran balik (return flows). Kerangka sistem pengelolaan
kuantitas dan kualitas air pada skala DAS digambarkan

98 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
secara lengkap dalam Gambar 3.21. Seluruh pengelolaan
DAS dilakukan atas instruksi lembaga dan dorongan
ekonomi. Pada cekungan sungai perlu diperhatikan
mengenai aliran air, dan keseimbangan serta transportasi
garam. Jenis-jenis keputusan meliputi: pelepasan air waduk,
pemompaan air tanah, pengambilan air di cabang-cabang
sungai/waduk, dan kebutuhan aliran di hilir. Ada tiga
kelompok penggunaan air: (1) penggunaan untuk rumah
tangga dan industri, (2) penggunaan untuk irigasi, dan (3)
penggunaan di saluran. Ketiga kelompok ini memberikan
keuntungan dan kerusakan/kerugiannya tersendiri, yang
secara keseluruhan dievaluasi sebagai keuntungan sosio-
ekonomi dan menjadi informasi (dorongan sosio – ekonomi)
untuk instruksi lembaga selanjutnya.

99 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.21 Kerangka sistem pengelolaan kuantitas dan kualitas
air pada skala DAS
(Sumber: McKinney et.al, 1999)

100 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi
Triweko
3.2.2 Penyimpanan Air Ke dalam Tanah
Dalam situasi kritis kelangkaan air, tugas penting
untuk mengatasi ketersediaan pangan yang berkelanjutan
adalah (1) mengelola penggunaan air hujan dan irigasi
secara efisien melalui pengaturan lengas air dalam tanah
dan pengendalian dalam keterbatasan lahan yang dapat
ditanami, (2) mengoptimalkan efisiensi penggunaan air
secara terpadu oleh tanaman, dan (3) meningkatkan secara
terus menerus hasil panen dari tiap meter kubik penggunaan
air.
Pengelolaan penggunaan air hujan secara efisien
dapat dilakukan dengan jalan mengendalikan limpasan air
permukaan pada lahan kosong dan menampungnya dalam
kolam tampungan kecil yang mengumpulkan air hujan dari
lahan kosong tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk lahan
pertanian. Tangkapan air hujan pada lahan dapat
dikembangkan juga pada lahan pertanian di daerah kering
dengan tanaman tadah hujan. Beberapa contoh praktik
penyimpanan air ke dalam tanah dijelaskan dalam Gambar
3.17 – 3.20.
Limpasan air hujan ditangkap oleh bangunan
sederhana setengah lingkaran atau trapesium, yang
menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah
untuk mengisi lengas air dalam tanah, terutama pada daerah
perakaran sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman
secara efisien. Cekungan-cekungan kecil berbentuk
lingkaran seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.20, berfungsi
sebagai penangkap air hujan yang terserap ke dalam tanah
di antara tanaman.

101 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
3.2.3 Bangunan-bangunan untuk Konservasi Air
Beberapa bangunan untuk konservasi air antara lain
embung, situ, telaga, ranu dan waduk. Istilah embung
sebagai bentuk kolam penampungan air yang berlebih pada
musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau,
sebenarnya telah dikenal sejak beberapa ratus tahun yang
lalu di Indonesia. Istilah umum memperkirakan kata embung
berasal dari “mbung”, kata asli Pulau Lombok di Nusa
Tenggara Barat yang memang dikenal sebagian besar
daerahnya mempunyai curah hujan kecil, dan potensi
sumber daya air relatif kecil. Sampai sekarang banyak
anggota masyarakat daerah tersebut menenggarai
penyediaan air musim kemarau dengan pembuatan kolam
yang mereka sebut embung. Teknologi modern mempunyai
istilah “rain harvesting reservoir” untuk istilah embung yang
berarti kolam atau telaga kecil untuk menyimpan air (hujan),
guna dialirkan dan dimanfaatkan pada musim kemarau, baik
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, untuk ternak
bahkan untuk tanaman di kebun. Istilah embung umumnya
digunakan untuk kolam tampungan air hujan yang dibangun
pada lahan di luar aliran sungai “off stream” bukan pada “in
stream”.
Beberapa contoh embung yang ada dapat
dikelompokkan dalam: (1) embung yang berfungsi sebagai
kolam penyimpan misalnya embung rakyat Rau Belik di
Pulau Lombok dan embung Oeltua di Kupang (Gambar 3.22
dan 3.23), (2) embung yang berfungsi sebagai kolam
resapan untuk pengisian kembali air tanah, yang lebih
dikenal dengan embung konservasi Naioni di Kupang
(Gambar 3.25), (3) embung yang berfungsi sebagai kolam
penahan limpasan air permukaan yang berlebihan sehingga
menyebabkan banjir, misalnya embung Mijen di Semarang
(Gambar 3.26).

102 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Embung rakyat adalah embung yang dibuat rakyat
pada masa lalu yang dilakukan secara swadaya oleh
perorangan dan dimiliki secara pribadi, untuk memenuhi
keperluannya sendiri, atau oleh sekelompok masyarakat
untuk keperluan bersama. Konstruksi embung rakyat amat
sederhana merupakan kolam tampungan air hujan pada
lokasi cekungan, tanpa bangunan-bangunan pelengkap.

Gambar 3.22 Embung Rakyat Rau Belik di Pulau Lombok (Heru dkk,
2005).
Berbeda halnya dengan Embung Oeltua yang
merupakan embung penyimpan dengan dimensi yang lebih
besar. Air hujan yang disimpan selama musim hujan,
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
minum dan mandi ternak, kebutuhan air untuk pertanian dan
tanaman di pekarangan rumah. Konstruksi embung ini terdiri
dari bangunan bendung urugan batu, dilengkapi dengan
bangunan pelimpah (spillway) untuk melimpaskan air pada
saat muka air dalam embung hampir melebihi elevasi puncak
bendung, bangunan pengambilan (intake), tempat minum
dan mandi ternak. Sketsa letak bangunan-bangunan yang
ada pada Embung Oeltua nampak dalam Gambar 3.24.

103 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.23 Embung Oeltua di Kabupaten Kupang (Heru dkk, 2005)

Kolam embung

Bangunan pelimpah
Tubuh bendung (spillway)

Pipa pengambilan
(intake)

Bak penampung

Tempat minum dan


mandi ternak

Gambar 3.24 Sketsa letak bangunan-bangunan pada Embung Oeltua

104 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Embung konservasi yang merupakan kolam resapan
untuk memasukkan air kembali ke dalam tanah (recharge)
agar muka air tanah meningkat. Pada umumnya konstruksi
embung konservasi sangat mirip dengan embung kecil yaitu
berupa cekungan, tubuh bendung menggunakan tipe
timbunan tanah dengan inti, bangunan pelimpah
menggunakan pasangan batu, namun permukaan kolam
embung justru harus lolos air. Pembuatan embung dilakukan
dengan pertimbangan curah hujan rata-rata maksimal,
daerah aliran cukup luas, serta elevasi embung lebih tinggi
dari elevasi pemukiman, dengan harapan bahwa sumur-
sumur dangkal milik penduduk mendapatkan rembesan dari
embung tersebut.
Proses pembangunan embung konservasi sering
menemui kendala karena sebelumnya dimengerti bahwa
pembuatan embung dimaksudkan untuk menampung air dan
langsung dapat diambil dengan pipa, namun untuk embung
konservasi, pengambilan air bukan merupakan tujuan utama
karena air embung diharapkan meresap ke dalam lapisan
tanah. Permasalahan ini memerlukan usaha sosialisasi
kepada masyarakat dan para penentu keputusan dalam
kaitannya dengan anggaran pembangunan dan koordinasi
instansi. Hasil wawancara dengan penduduk yang
mempunyai sumur dangkal di hilir lokasi embung adalah
pada waktu akhir musim kemarau (November) sumurnya
tidak pernah kering lagi, yang sebelumnya tidak pernah
terjadi.

105 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.25 Embung Konservasi Naioni di Kupang (Heru dkk, 2005)

Embung Mijen yang berlokasi dikomplek


Pengembangan Bukit Semarang Baru (BSB) di Kecamatan
Mijen Kabupaten Semarang, merupakan embung yang
mempunyai fungsi utama untuk pengendalian banjir Kali
Beringin, oncoran untuk tanaman padi milik masyarakat
petani di sekitarnya, mempertahankan tinggi muka air tanah
dan dimasa depan akan dikembangkan untuk rekreasi.
Dalam pemanfaatan embung, telah terjalin hubungan baik
dengan masyarakat petani sehingga intensitas tanam
mencapai angka 300 % dan tanpa ditarik iuran pemakaian
air. Petani hanya bertanggung jawab dalam pemeliharaan
saluran tersier, sedangkan pengelola embung bertanggung
jawab terhadap biaya operasi dan pemeliharaan.

106 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.26 Embung Mijen di Semarang (Heru dkk, 2005)

Pada dataran tinggi banyak didapatkan tampungan air


berupa situ di Jawa Barat (Gambar 3.27), telaga di Jawa
Tengah (Gambar 3.28) dan ranu di Jawa Timur (Gambar
3.29). Tampungan air tersebut digunakan sebagai tempat
menahan air, sehingga debit banjir di sungai dapat tereduksi
dan juga dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk
setempat pada musim kemarau. Sedangkan pada dataran
rendah dibuat tampungan air berupa embung untuk
mengatasi kekeringan.

107 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.27 Situ Ciater di Jawa Barat (Heru dkk, 2005)

Telaga Gandok yang terletak di Kecamatan Rongkop,


Kabupaten Gunung Kidul, mempunyai suatu keunikan yaitu
terdapat sebuah sumur di tengah telaga. Sebelum telaga ini
direhabilitasi, pada musim hujan sumur ini terendam akibat
telaga penuh dengan air. Pada saat pemerintah akan
merehabilitasi telaga ini, sumur di tengah telaga akan
ditutup. Kemudian masyarakat sekitar mengusulkan agar
sumur tersebut dibuatkan dinding dengan ketinggian muka
air pada saat elevasi telaga penuh air. Usulan tersebut dapat
diterima, kemudian dibuatkan dinding sumur seperti dapat
dilihat pada Gambar 3.28. Kualitas air pada sumur lebih baik
dibandingkan dengan kualitas air telaga yang berada di
sekeliling sumur. Di sini sumur berfungsi sebagai sistem
penjernih air. Gagasan ini dapat dikembangkan di beberapa
telaga untuk meningkatkan kualitas air bagi pemenuhan
kebutuhan air minum penduduk.

108 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Sumur di tengah
telaga

Gambar 3.28 Telaga Gandok di Gunung Kidul (Heru dkk, 2005)

Ranu Pakis terletak di Desa Pakis dengan jarak ±


20,5 km di sebelah utara Kota Lumajang, mempunyai
ketinggian ± 600 m di atas permukaan laut dengan luas
danau 50 ha dan kedalaman air 26 m. Ranu ini masih dilatar
belakangi Gunung Lamongan dan nampak lebih dekat, serta
kondisi alam yang masih perawan akan menjadi daya tarik
bagi pecinta lingkungan atau wisatawan yang membutuhkan
udara segar. Selain rekreasi dapat pula menikmati ikan
segar yang dijual di warung-warung sederhana. Ikan
setempat hasil budi daya masyarakat pada Ranu Pakis
menggunakan sistem karamba jaring apung, dengan jenis
ikan antara lain mujair dan nila.

109 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.29 Ranu Pakis Lumajang
(lumajang.go.id dalam Heru dkk, 2005)

Waduk Notopuro (Gambar 3.30) terletak di Desa


Durenan, Kecamatan Pilang Kenceng, Kabupaten Madiun.
Waduk ini dibangun pada alur Kali Notopuro dengan tinggi
tanggul 9,00 m serta volume tampungan ± 2.490.000 m3.
Waduk ini direncanakan untuk irigasi tanaman palawija di
daerah Kecamatan Pilang Kenceng. Pengelola waduk ini
dilakukan oleh Dinas PU Pengairan. DAS Waduk Notopuro
saat ini mengalami kerusakan karena penebangan liar
pohon-pohon dan perubahan tata guna lahan,
mengakibatkan terjadinya erosi dan sedimentasi yang
menyebabkan volume tampungan waduk berkurang.

110 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.30 Waduk Notopuro Madiun (Heru dkk, 2005)

Bangunan untuk konservasi air yang lain dapat


berupa tangki-tangki penampung air pada lahan dengan
konstruksi seperti pada Gambar 3.31.

Gambar 3.31 Contoh konstruksi tangki penampung air pada lahan


(Intermediate Technology Development Group, dalam Norman - FAO,
1987)

111 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
112 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko

Anda mungkin juga menyukai