perlindungan
kesehatan manusia dan ekosistem serta keuntungan sosial
dan lingkungan secara luas (USCCSP, 2002). Air tidak
hanya tampil dalam bentuk cair saja, tetapi juga dalam
bentuk uap air, atau dalam bentuk salju dan es. Jumlah total
air di atas bumi ini adalah tetap, tetapi air berubah secara
terus menerus dari bentuk satu ke bentuk lainnya, dan
bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda. Hubungan
dan gerakan ini secara sederhana ditunjukkan dalam
diagram siklus hidrologi yang telah disederhanakan (Gambar
3.1).
69 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.1 Diagram siklus hidrologi yang disederhanakan
(adaptasi dari Ward, 1975, dalam Shaxson - FAO, 2003).
70 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Masalah kekeringan dan banjir terjadi dalam siklus air
sebagai air hujan yang jatuh ke atas permukaan tanah
dengan jumlah yang sedikit atau besar. Hal ini dipengaruhi
oleh keadaan iklim yang menentukan jumlah air hujan
tersebut. Dalam sub pokok bahasan berikut ini akan
dijelaskan lebih lanjut tentang: (1) kekeringan dan sistem
pengelolaan kekeringan, dan (2) banjir dan sistem
pengendalian banjir.
71 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
dijelaskan dalam tipe-tipe kekeringan sebagai berikut
(ODPEM, download 2005):
1. Kekeringan secara iklim (meteorological drought)
yang secara umum didefinisikan sebagai derajat
keringnya dibandingkan dengan rata-rata jumlah
hujan yang biasa diukur dalam periode lebih dari 30
tahun.
2. Kekeringan secara hidrologis (hydrological drought)
mengacu pada tidak cukupnya air yang terukur dari
arus aliran dan muka air dalam waduk dan sungai.
Kekeringan secara hidrologis terjadi di luar fase iklim
dan kekeringan secara pertanian karena
membutuhkan waktu yang panjang untuk
menunjukkan penurunan pada danau atau sungai.
3. Kekeringan secara pertanian (agricultural drought)
menguji tingkat kelembaban dalam tanah di mana
tanaman ada, dan dipengaruhi oleh hujan atau muka
air yang rendah dari penyediaan air. Kekeringan ini
menyebabkan kerusakan pada tanaman.
4. Kekeringan secara sosial-ekonomi (socio-economic
drought) terjadi di mana kebutuhan akan barang-
barang ekonomis melampaui ketersediaannya karena
iklim yang berhubungan dengan kegagalan untuk
penyediaan air.
Penyebab adanya kekeringan antara lain karena (ODPEM,
download 2005):
1. Perubahan pola cuaca akibat panas muka bumi yang
terbentuk secara berlebihan
2. Perubahan meteorologis yang menghasilkan suatu
penurunan curah hujan
3. Pengurangan penutupan awan yang menyebabkan
makin besarnya laju penguapan
4. Tidak cukupnya perencanaan
72 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
5. Metode perumputan dan penanaman secara
berlebihan yang mengurangi daya tampung air dalam
tanah
6. Teknik konservasi tanah yang tidak memadai
sehingga memicu terjadinya penurunan kualitas tanah
7. Padatnya lahan yang berpenduduk
Gambar 3.2 Rangkaian tempat tujuan air hujan (Shaxson, 2001 dalam
Shaxson - FAO, 2003)
74 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Shaxson (2001) memberikan gambaran tempat tujuan
dari air hujan dalam 10 macam kategori:
1. Penguapan langsung dari permukaan daun-daun
yang basah oleh air hujan (transpirasi).
2. Limpasan air permukaan atau aliran air akibat badai
hujan (runoff).
3. Penguapan langsung dari permukaan tanah
(evaporasi).
4. Ketersediaan air dalam tanah untuk tanaman dalam
bentuk benih.
5. Ketersediaan air dalam tanah untuk tanaman dalam
bentuk tanaman.
6. Ketersediaan air dalam tanah untuk tanaman dalam
bentuk pohon.
7. Kelembaban tanah antara daerah perakaran tanaman
yang ada, tetapi tidak tersedia bagi tanaman (soil
moisture).
8. Kelembaban tanah yang terdapat di bawah daerah
perakaran tanaman yang ada (soil moisture).
9. Air yang tidak ditangkap oleh akar dan pori-pori tanah,
bergerak mengalir sebagai air tanah dan aliran air
(ground water).
10. Rembesan ke dalam air tanah yang dalam di antara
daerah tangkapan (deep percolation).
76 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Sistem Pengelolaan Kekeringan
Strategi sistem pengelolaan kekeringan dilakukan
dengan konsep keseimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan air, serta antisipasi atau menghindari ancaman
dari dampak kekeringan. Dari sisi ketersediaan, sumber daya
air yang ada harus terjamin keberadaannya secara
berkelanjutan (sustainable). Sedangkan dari sisi kebutuhan,
air yang dimanfaatkan harus lebih kecil atau sama dengan
ketersediaannya. Dalam pengelolaan kekeringan dikenal
istilah indeks kekeringan yang menggambarkan suatu
ukuran dari perbedaan kebutuhan dan ketersediaan sumber
air, dan merupakan bagian dari sistem pendukung keputusan
yang berhubungan dengan kekeringan.
Kodoatie dan Sjarief (2005) menuliskan strategi
pengelolaan kekeringan yang diperlukan meliputi antara lain:
1. Indentifikasi daerah rawan kekeringan
2. Pemetaan detail daerah rawan kekeringan dari
berbagai aspek
3. Identifikasi dan pemetaan sebaran penduduk dan
kebutuhan air baku
4. Pemetaan kebutuhan dan ketersediaan air
5. Sosialisasi kebutuhan dan ketersediaan air yang ada
untuk berbagai instansi sesuai tugas pokok dan
fungsinya secara kontinyu ke pihak produsen dan
konsumen air
6. Sosialisasi pemakaian air secara efisien dan efektif
7. Penyusunan rencana tindak yang komprehensif,
sektor dan multi sektor
Berbagai model dan analisis dapat diaplikasikan untuk
tiap-tiap aspek yang ditinjau meliputi aspek meteorologi,
hidrologi, pertanian dan sosial ekonomi. Untuk menghadapi
musim kemarau panjang yang akan berdampak pada
kekeringan, secara umum dapat dilakukan persiapan-
77 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
persiapan guna mengurangi dampak negatif akan
kekeringan yang meliputi antara lain:
1. Efisiensi penggunaan/penghematan air, yang berupa:
(a) pemenuhan kebutuhan air secara selektif, (b)
efisiensi/penghematan air setiap kebutuhan, dan (c)
sosialisasi gerakan penghematan air.
2. Pengelolaan sumber daya air secara efektif, meliputi:
(a) peninjauan secara komprehensif dan terpadu, (b)
potensi sumber daya air/ketersediaan, (c) kebutuhan
sumber daya air, (d) alokasi masing-masing
kebutuhan secara proporsional, dan (e) skala
prioritas.
3. Pemanfaatan simpanan air embung atau waduk
secara selektif dan efektif, meliputi kegiatan-kegiatan:
(a) review kondisi embung yang ada secara
menyeluruh, (b) analisis dan review keseimbangan
kapasitas dan pemanfaatan embung, (c) kebutuhan
peningkatan daya tampung, dan (d) konservasi lahan.
4. Penyesuaian pola dan tata tanam, meliputi kegiatan-
kegiatan: (a) identifikasi masalah dan solusi pola
tanam yang ada, (b) sosialisasi pola tanam yang
terpadu antara kabupaten/kota atau lintas, dan (c)
penentuan pola tanam untuk masing-masing sistem
DAS dan daerah irigasi.
5. Kegiatan yang mendukung kelestarian alam, berupa:
(a) tinjauan secara komprehensif dan terpadu, (b)
potensi sumber daya air/ketersediaan, (c) kebutuhan
sumber daya air, (d) alokasi masing-masing
kebutuhan secara proporsional, dan (e) skala
prioritas.
6. Analisis pengelolaan sumber daya air, meliputi: (a)
identifikasi pengelolaan sumber daya air yang ada, (b)
pemanfaatan tataguna lahan, (c) kajian rencana
78 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
umum tata ruang suatu daerah, dan (d) potensi
sumber daya air yang ada dan kebutuhan sumber
daya air.
Gambar 3.4 Banjir yang terjadi di sungai dan di jalan raya (TIFAC,
download 2005)
81 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Ada beberapa tipe banjir yang dapat terjadi antara lain
(TIFAC, download 2005):
1. Banjir sungai (river floods), yang terjadi bila aliran air
permukaan sungai meningkat dan kapasitas
penampang sungai tidak mampu menampung aliran,
maka akan meluap sebagai banjir
2. Banjir pantai (coastal floods), yang terjadi bila daerah
pantai menjadi tergenang oleh air laut karena
pengaruh pasang dan surut. Pasang air laut juga
dapat masuk ke sungai dan menimbulkan banjir di
sungai. Angin dapat membangkitkan badai tropis dan
angin ribut atau sistem tekanan udara yang rendah di
pantai yang dapat mendorong air laut menuju ke
pantai dan menyebabkan banjir. Banjir pantai juga
dapat disebabkan oleh gelombang laut yang disebut
tsunami yang terjadi karena gempa bumi atau
aktivitas gunung.
3. Banjir di daerah perkotaan (urban floods), yang terjadi
karena pembangunan perkotaan yang dapat
menyebabkan meningkatnya limpasan air permukaan
sampai 6 kali lebih besar. Pembangunan perkotaan
menghilangkan daerah yang tertutup oleh tanaman
yang dapat menyerap air hujan yang jatuh ke dalam
tanah dan mengurangi limpasan permukaan.
4. Banjir bandang yang datang sekonyong-konyong
(flash floods) terjadi bila dalam daerah tangkapan
hujan terhubung langsung dengan titik keluaran dari
cekungan, maka peningkatan debit secara tiba-tiba
dapat terjadi. Hal ini juga dapat terjadi bila bangunan
tanggul atau bendung jebol.
82 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Faktor penting yang menyebabkan terjadinya banjir
oleh TIFAC (download 2005) disebutkan antar lain: (1)
jumlah hujan atau laju curah hujan dan (2) waktu terjadinya
hujan atau durasi. Selain itu faktor-faktor lain yang juga
mempunyai peranan terhadap terjadinya banjir adalah
topografi, keadaan tanah dan keadaan penutupan tanah
(ground cover). Kodoatie dan Sugiyanto (2002) menuliskan
bahwa banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi
diakibatkan antara lain oleh sebab-sebab berikut ini:
1. Perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai
(DAS), yang dapat meningkatkan debit aliran dari 5
sampai 35 kali untuk lahan hutan menjadi perkotaan.
2. Pembuangan sampah akan mengakibatkan
tersumbatnya sistem saluran drainase atau sungai
sehingga aliran air meluap.
3. Erosi dan sedimentasi yang mengakibatkan daya
tampung sungai berkurang.
4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase dapat
merupakan penghambat aliran air maupun daya
tampung sungai/drainase.
5. Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak
tepat misalnya perencanaan bangunan tanggul yang
tidak tepat sehingga luapan air melampaui puncak
tanggul, maka akan menyebabkan terjadinya banjir
bandang karena tanggul bobol.
6. Curah hujan yang tinggi dan dalam waktu yang
panjang akan memberikan debit yang besar sehingga
menimbulkan banjir.
7. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai meliputi bentuk,
fungsi dan kemiringan DAS, kemiringan sungai,
geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar,
kedalaman, potongan memanjang, material dasar
sungai), lokasi sungai dll.
83 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
8. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai
karena adanya erosi di hulu DAS dan pengendapan
sedimen di hilir,
9. Drainase lahan dari pengembangan pertanian di
daerah bantaran sungai akan mengurangi
kemampuan bantaran dalam menampung debit air
yang tinggi.
10. Bendung dan bangunan air seperti pilar dan jembatan
dapat meningkatkan elevasi muka air banjir karena
efek aliran balik (backwater).
11. Kerusakan bangunan pengendali banjir yang kurang
terpelihara akan menyebabkan jebolnya bangunan
pengendali banjir dan berakibat terjadinya banjir
bandang.
12. Pengaruh air pasang menghambat aliran sungai
menuju ke laut. Bila pasang tinggi terjadi saat banjir,
maka tinggi genangan akan semakin besar karena
adanya aliran balik.
13. Penurunan tanah dan rob yang terjadi di daerah
dataran pantai karena pasang naik dari air laut
menyebabkan aliran balik dalam sungai dan
menggenang di dataran rendah.
85 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Sistem Pengendalian Banjir
Banjir yang terjadi sangat merusak dan menimbulkan
kerugian yang besar. Untuk mengurangi risiko yang
diakibatkan oleh banjir, secara umum dapat dilakukan
pengendalian dalam tata guna lahan dan perencanaan untuk
menghindari lokasi yang rawan terhadap bahaya banjir.
Bangunan tanggul di sepanjang sungai atau pantai juga
dapat mengatasi melimpahnya air yang menyebabkan banjir,
tetapi perlu diperhatikan dalam perencanaan muka air
maksimum yang mungkin terjadi. Bila perencanaan kurang
memadai, maka akan tetap muncul bencana banjir bandang
terjadi karena air yang melimpas di atas puncak tanggul
akan mengakibatkan jebolnya bangunan tanggul tersebut.
Bangunan waduk dapat menampung limpasan air yang
berlimpah, kemudian dilepaskan dengan pengelolaan
pengaturan air yang sesuai, sehingga mengurangi risiko
terjadinya banjir.
Kodoatie dan Sjarief (2005) mengemukakan 2 metode
pengendalian banjir yaitu metode struktur dan metode non-
struktur. Pengendalian banjir dengan metode struktur lebih
diutamakan pada masa lalu, namun sekarang disadari
bahwa metode non-struktur lebih efektif dalam pengendalian
banjir, seperti pengelolaan tata guna lahan yang tepat lebih
berpengaruh terhadap debit limpasan permukaan dari pada
pengendalian banjir dengan metode struktur seperti
normalisasi sungai. Beberapa contoh pengendalian banjir
dengan metode struktur dan non-struktur dijelaskan dalam
Tabel 3.1 berikut ini.
86 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Tabel 3.1 Metode pengendalian banjir dengan skala prioritasnya
Skala
Metode
prioritas
I Metode non-struktur
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
Pengaturan tata guna lahan
Pemberlakuan peraturan/undang-undang Pengelolaan
Pengendalian erosi di DAS banjir
Pengaturan dan pengembangan daerah banjir
II Metode struktur: Bangunan pengendali banjir
Bendungan (dam)
Kolam retensi
Pembuatan check dam (penangkap sedimen) menuju
Bangunan pengurang kemiringan sungai
Groundsill
Retarding basin
Pembuatan polder
III Metode struktur: Perbaikan dan pengaturan sistem Pengendalian
Sistem jaringan sungai banjir
Pelebaran/pengerukan sungai (normalisasi)
Perlindungan tanggul
Tanggul banjir
Sudetan
Floodway
Sumber: Kodoatie dan Sjarief, 2005
Metode struktur hanya memberikan
penurunan/pengurangan debit jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan peningkatan debit akibat perubahan
tata guna lahan atau penurunan kualitas lingkungan. Metode
struktur dapat dikatakan sebagai usaha pengendalian banjir,
sedang usaha non-struktur lebih pada pengelolaan banjir.
Maka sistem pengendalian banjir yang diterapkan akhir-akhir
ini lebih pada gerakan dari pengendalian banjir menuju
pengelolaan banjir. Kegiatan pengendalian banjir biasanya
berhubungan dengan instansi/lembaga yang menangani
kegiatan tersebut. Di Indonesia terdapat berbagai
instansi/lembaga yang berkaitan dengan rencana kegiatan-
kegiatan pengendalian banjir. Tabel 3.2 menjelaskan
peranan lembaga-lembaga yang ada dalam rencana
kegiatan-kegiatan pengendalian banjir yang dapat dilakukan,
beserta rentang waktu yang diperlukan.
87 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Tabel 3.2 Lembaga, rencana kegiatan dan jangka waktu
Lembaga Rencana kegiatan Waktu (jangka)
Balitbang Kajian Pola Pengembangan Menengah,
Sumber Daya Air (PSDA) panjang
Kajian Kelembagaan Pola PSDA Menengah,
Kajian Finansial Pola PSDA panjang
Kajian Pengendalian Banjir Menengah,
sebagai bagian SDA panjang
Pendek,
menengah
Bappeda Perencanaan menyeluruh secara Panjang
komprehensif
Rencana induk untuk setiap Panjang
pembangunan dan Menengah
pengembangan sistem Pendek
Perkiraan biaya Pendek
Perencanaan organisasi dan
lembaga
Perencanaan peningkatan sistem
yang ada
Dinas PSDA Evaluasi dan review SWS dan Menengah,
(Pengairan) DAS panjang
Pengelolaan Sumber Daya Air Menengah,
dan pengendalian banjir panjang
Evaluasi & review sistem Pendek,
pengendalian banjir tiap DAS menengah
Pemetaan daerah-daerah banjir Pendek
Pemetaan daerah-daerah rawan Pendek
longsor Pendek
Upaya-upaya perbaikan daerah Pendek,
banjir dan longsor menengah
Pelaksanaan pembangunan yang Pendek
diprioritaskan
Sistem peringatan banjir (flood
warning system)
Kehutanan Review sistem pengelolaan hutan Pendek
di hulu DAS Menengah,
Perubahan kebijakan panjang
pengelolaan hutan Menengah,
Masterplan eksploitasi sumber panjang
daya hutan
Pertambangan Review kebijakan penambangan Pendek
galian C Menengah,
Pemetaan daerah penambangan panjang
galian C Menengah,
88 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Pemetaan daerah rawan longsor panjang
Kabupaten/kota Evaluasi dam review sistem DAS Pendek
termasuk di wilayah Kab./kota
lembaga dan Koordinasi dan review sistem Pendek,
dinas terkait DAS antar wilayah Kab./kota menengah
Evaluasi RTRK atau RTRW Pendek
Kompensasi kawasan terbangun
untuk mengembalikan resapan air Pendek,
sebelum diubah menengah
Perkiraan biaya Pendek
Perencanaan organisasi dan Pendek
lembaga Pendek
Pemetaan daerah-daerah banjir Pendek
Pemetaan daerah-daerah rawan Pendek,
longsor menengah
Pelaksanaan pembangunan yang
diprioritaskan
Sumber: Kodoatie dan Sjarief, 2005.
90 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
kelebihannya dalam sistem drainase. Dari sini muncul
praktik-praktik konservasi air berupa:
1. Usaha menurunkan kehilangan air akibat limpasan air
permukaan meliputi praktik pertanian secara kontur,
sistem terasering, penyebaran air pada lahan
pertanian, penggunaan sisa tanaman untuk menutupi
lahan dan menyerap limpasan air permukaan,
peningkatan struktur tanah dan bangunan-bangunan
penampungan air (Gambar 3.7 – 3.18).
2. Usaha mengurangi kehilangan penguapan dari air
terbuka dalam waduk atau kolam penampung,
maupun kehilangan penguapan lewat tanaman
(transpirasi), penguapan air dalam tanah. Penutupan
lahan dengan tanaman atau sisa tanaman, batu-batu
dan kerikil, atau plastik, dapat mengurangi kehilangan
air akibat penguapan dan juga meningkatkan laju
infiltrasi air ke dalam tanah.
3. Usaha mengurangi kehilangan air akibat perkolasi
dapat dilakukan dengan jalan melapisi dasar waduk
atau kolam penampung dengan tanah lempung yang
kedap air atau bahan sintetis kedap air.
4. Usaha mengeringkan kelebihan air dalam tanah
dengan sistem drainase dan menampungnya ke
dalam kolam penampung pada lahan.
91 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.7 Teras datar di Bhutan (Norman - FAO, 1987)
Gambar 3.8 Teras bangku di Yemen (H. Vogel dalam Norman - FAO,
1987)
92 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.10 Tanggul secara kontur untuk menangkap tanah dan air
(Norman - FAO, 1987)
Gambar 3.12 Sawah teras di Bali (andylim.com dalam Heru dkk, 2005)
93 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.13 Kolam-kolam penampung air pada lahan teh di Malawi
(Shaxson – FAO, 2003)
Gambar 3.14 Penghambat limpasan air terdiri dari batu-batu dan ranting
di Ethiopia
(H. Hurni dalam Normal - FAO, 1987)
94 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.15 Barisan batu-batu pada kontur dekat Omahigowa, Burkina
Faso
(OXFAM dalam Norman - FAO, 1987)
95 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.17 Bangunan sederhana untuk menangkap limpasan air
permukaan
penangkap setengah lingkaran (Norman - FAO, 1987)
96 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.19 Cekungan-cekungan kecil digunakan untuk menangkap
dan menampung air pada perkebunan teh di Malawi (Norman - FAO,
1987)
97 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.20 Sistem pertanian secara limpasan permukaan di Kenya
(Charnock, 1985 dalam Norman - FAO, 1987)
98 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
secara lengkap dalam Gambar 3.21. Seluruh pengelolaan
DAS dilakukan atas instruksi lembaga dan dorongan
ekonomi. Pada cekungan sungai perlu diperhatikan
mengenai aliran air, dan keseimbangan serta transportasi
garam. Jenis-jenis keputusan meliputi: pelepasan air waduk,
pemompaan air tanah, pengambilan air di cabang-cabang
sungai/waduk, dan kebutuhan aliran di hilir. Ada tiga
kelompok penggunaan air: (1) penggunaan untuk rumah
tangga dan industri, (2) penggunaan untuk irigasi, dan (3)
penggunaan di saluran. Ketiga kelompok ini memberikan
keuntungan dan kerusakan/kerugiannya tersendiri, yang
secara keseluruhan dievaluasi sebagai keuntungan sosio-
ekonomi dan menjadi informasi (dorongan sosio – ekonomi)
untuk instruksi lembaga selanjutnya.
99 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.21 Kerangka sistem pengelolaan kuantitas dan kualitas
air pada skala DAS
(Sumber: McKinney et.al, 1999)
100 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi
Triweko
3.2.2 Penyimpanan Air Ke dalam Tanah
Dalam situasi kritis kelangkaan air, tugas penting
untuk mengatasi ketersediaan pangan yang berkelanjutan
adalah (1) mengelola penggunaan air hujan dan irigasi
secara efisien melalui pengaturan lengas air dalam tanah
dan pengendalian dalam keterbatasan lahan yang dapat
ditanami, (2) mengoptimalkan efisiensi penggunaan air
secara terpadu oleh tanaman, dan (3) meningkatkan secara
terus menerus hasil panen dari tiap meter kubik penggunaan
air.
Pengelolaan penggunaan air hujan secara efisien
dapat dilakukan dengan jalan mengendalikan limpasan air
permukaan pada lahan kosong dan menampungnya dalam
kolam tampungan kecil yang mengumpulkan air hujan dari
lahan kosong tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk lahan
pertanian. Tangkapan air hujan pada lahan dapat
dikembangkan juga pada lahan pertanian di daerah kering
dengan tanaman tadah hujan. Beberapa contoh praktik
penyimpanan air ke dalam tanah dijelaskan dalam Gambar
3.17 – 3.20.
Limpasan air hujan ditangkap oleh bangunan
sederhana setengah lingkaran atau trapesium, yang
menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah
untuk mengisi lengas air dalam tanah, terutama pada daerah
perakaran sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman
secara efisien. Cekungan-cekungan kecil berbentuk
lingkaran seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.20, berfungsi
sebagai penangkap air hujan yang terserap ke dalam tanah
di antara tanaman.
101 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
3.2.3 Bangunan-bangunan untuk Konservasi Air
Beberapa bangunan untuk konservasi air antara lain
embung, situ, telaga, ranu dan waduk. Istilah embung
sebagai bentuk kolam penampungan air yang berlebih pada
musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau,
sebenarnya telah dikenal sejak beberapa ratus tahun yang
lalu di Indonesia. Istilah umum memperkirakan kata embung
berasal dari “mbung”, kata asli Pulau Lombok di Nusa
Tenggara Barat yang memang dikenal sebagian besar
daerahnya mempunyai curah hujan kecil, dan potensi
sumber daya air relatif kecil. Sampai sekarang banyak
anggota masyarakat daerah tersebut menenggarai
penyediaan air musim kemarau dengan pembuatan kolam
yang mereka sebut embung. Teknologi modern mempunyai
istilah “rain harvesting reservoir” untuk istilah embung yang
berarti kolam atau telaga kecil untuk menyimpan air (hujan),
guna dialirkan dan dimanfaatkan pada musim kemarau, baik
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, untuk ternak
bahkan untuk tanaman di kebun. Istilah embung umumnya
digunakan untuk kolam tampungan air hujan yang dibangun
pada lahan di luar aliran sungai “off stream” bukan pada “in
stream”.
Beberapa contoh embung yang ada dapat
dikelompokkan dalam: (1) embung yang berfungsi sebagai
kolam penyimpan misalnya embung rakyat Rau Belik di
Pulau Lombok dan embung Oeltua di Kupang (Gambar 3.22
dan 3.23), (2) embung yang berfungsi sebagai kolam
resapan untuk pengisian kembali air tanah, yang lebih
dikenal dengan embung konservasi Naioni di Kupang
(Gambar 3.25), (3) embung yang berfungsi sebagai kolam
penahan limpasan air permukaan yang berlebihan sehingga
menyebabkan banjir, misalnya embung Mijen di Semarang
(Gambar 3.26).
102 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Embung rakyat adalah embung yang dibuat rakyat
pada masa lalu yang dilakukan secara swadaya oleh
perorangan dan dimiliki secara pribadi, untuk memenuhi
keperluannya sendiri, atau oleh sekelompok masyarakat
untuk keperluan bersama. Konstruksi embung rakyat amat
sederhana merupakan kolam tampungan air hujan pada
lokasi cekungan, tanpa bangunan-bangunan pelengkap.
Gambar 3.22 Embung Rakyat Rau Belik di Pulau Lombok (Heru dkk,
2005).
Berbeda halnya dengan Embung Oeltua yang
merupakan embung penyimpan dengan dimensi yang lebih
besar. Air hujan yang disimpan selama musim hujan,
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
minum dan mandi ternak, kebutuhan air untuk pertanian dan
tanaman di pekarangan rumah. Konstruksi embung ini terdiri
dari bangunan bendung urugan batu, dilengkapi dengan
bangunan pelimpah (spillway) untuk melimpaskan air pada
saat muka air dalam embung hampir melebihi elevasi puncak
bendung, bangunan pengambilan (intake), tempat minum
dan mandi ternak. Sketsa letak bangunan-bangunan yang
ada pada Embung Oeltua nampak dalam Gambar 3.24.
103 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.23 Embung Oeltua di Kabupaten Kupang (Heru dkk, 2005)
Kolam embung
Bangunan pelimpah
Tubuh bendung (spillway)
Pipa pengambilan
(intake)
Bak penampung
104 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Embung konservasi yang merupakan kolam resapan
untuk memasukkan air kembali ke dalam tanah (recharge)
agar muka air tanah meningkat. Pada umumnya konstruksi
embung konservasi sangat mirip dengan embung kecil yaitu
berupa cekungan, tubuh bendung menggunakan tipe
timbunan tanah dengan inti, bangunan pelimpah
menggunakan pasangan batu, namun permukaan kolam
embung justru harus lolos air. Pembuatan embung dilakukan
dengan pertimbangan curah hujan rata-rata maksimal,
daerah aliran cukup luas, serta elevasi embung lebih tinggi
dari elevasi pemukiman, dengan harapan bahwa sumur-
sumur dangkal milik penduduk mendapatkan rembesan dari
embung tersebut.
Proses pembangunan embung konservasi sering
menemui kendala karena sebelumnya dimengerti bahwa
pembuatan embung dimaksudkan untuk menampung air dan
langsung dapat diambil dengan pipa, namun untuk embung
konservasi, pengambilan air bukan merupakan tujuan utama
karena air embung diharapkan meresap ke dalam lapisan
tanah. Permasalahan ini memerlukan usaha sosialisasi
kepada masyarakat dan para penentu keputusan dalam
kaitannya dengan anggaran pembangunan dan koordinasi
instansi. Hasil wawancara dengan penduduk yang
mempunyai sumur dangkal di hilir lokasi embung adalah
pada waktu akhir musim kemarau (November) sumurnya
tidak pernah kering lagi, yang sebelumnya tidak pernah
terjadi.
105 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.25 Embung Konservasi Naioni di Kupang (Heru dkk, 2005)
106 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.26 Embung Mijen di Semarang (Heru dkk, 2005)
107 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.27 Situ Ciater di Jawa Barat (Heru dkk, 2005)
108 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Sumur di tengah
telaga
109 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.29 Ranu Pakis Lumajang
(lumajang.go.id dalam Heru dkk, 2005)
110 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
Gambar 3.30 Waduk Notopuro Madiun (Heru dkk, 2005)
111 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko
112 │Konservasi Tanah dan Air - Susilawati Cicilia Laurentia & R.Wahyudi Triweko