PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam
masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya
kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah
hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan
kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan
(evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.
Di Indonesia, khususnya daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian Selatan
rentan terhadap bencana kekeringan, maka dari itu dalam makalah ini akan
diulas bencana kekeringan secara umum dan bencana kekeringan di Jawa
Tengah dan Jawa Barat.
B . Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Kekeringan adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Menurut Shelia
B. Red (1995) kekeringan didefinisikan sebagai pengurangan persediaan air
atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal
atau volume yang diharapkan untuk jangka waktu khusus. Dampak kekeringan
muncul sebagai akibat dari kekurangannya air, atau perbedaan-perbedaan
antara permintaan dan persediaan air. Apabila kekeringan sudah mengganggu
dampak tata kehidupan, dan perekonomian masyarakat maka kekeringan dapat
dikatakan Bencana.
Dengan lapisan tanah yang tipis, air hujan yang terkandung dalam tanah tidak
akan bertahan lama. Hal ini dapat terjadi karena air akan lebih cepat mengalami
penguapan oleh panas matahari. Biasanya bencana kekeringan sering terjadi di
daerah pegunungan kars,karena di daerah ini memiliki lapisan tanah atas yang
tipis.
Air hujan yang jatuh pada saat musim penghujan, akan meresap jauh ke dalam
lapisan bawah tanah mengingat selain hanya mampu menyimpan air dengan
intensitas yang terbatas, tanah juga tidak mampu menyimpan air dengan jangka
waktu yang lebih lama. Hal ini menyebabkan aliran-aliran air di bawah tanah
(sungai bawah tanah) yang dalam, sehingga tanaman tidak mampu menyerap
air pada saat musim kemarau, karena akar yang dimiliki tidak mampu
menjangkaunya. Air tanah yang dalam menyebabkan sumber-sumber mata air
mengalami kekeringan di musim kemarau,karena air yang terdapat jauh di
bawah lapisan tanah tidak mampu naik, sehingga kalaupun ada sumber mata air
yang tidak mengalami kekeringan pada musim kemarau, itu jumlahnya terbatas.
Tekstur tanah yang kasar, tidak mampu menyimpan air dengan jangka waktu
yang lama. Karena air hujan yang turun akan langsung mengalir ke dalam,
karena tanah tidak mampu menahan laju air. Di lain sisi, air yang terkandung
dalam tanah yang memiliki tekstur yang kasar akan mengalami penguapan
relatif lebih cepat, karena rongga-rongga tanah jelas lebih lebar dan sangat
mendukung terjadinya proses penguapan.
4. Iklim
Dalam hal ini iklim berkaitan langsung dengan bencana kekeringan. Keadaan
alam yang tidak menentu akan berpengaruh terhadap kondisi iklim yang
terjadi. Sehingga mengakibatkan perubahan musim.
6. Topografi
1. Fisik
g. Keadaan suhu siang hari pada saat kekeringan akibat musim kemarau
menjadikan suhu udara sangat tinggi dan sebaliknya pada malam hari suhu
udara sangat dingin. Perbedaan suhu udara yang berganti secara cepat antara
siang dan malam menyebabkan terjadinya pelapukan batuan lebih cepat.
2. Non fisik
a. Ekonomi
b. Sosial Budaya
1) Saat terjadi kekeringan, tanah menjadi kering dan pasir lembut atau debu
mudah terbawa angin. Hal ini menyebabkan debu ada dimana, sehingga
menimbulkan banyak gejala penyakit yang berhubungan dengan pernafasan.
Banyak orang yang akan sakit flu dan batuk.
c. Politik
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
Jika lebih dirincikan, tahap mitigasi bencana kekeringan adalah sebagai berikut:
1. Pra bencana
a. Memanfaatkan sumber air yang ada secara lebih efisien dan efektif.
Panen air merupakan cara pengumpulan atau penampungan air hujan atau air
aliran permukaan pada saat curah hujan tinggi untuk digunakan pada waktu
curah hujan rendah. Panen air harus diikuti dengan konservasi air, yakni
menggunakan air yang sudah dipanen secara hemat sesuai kebutuhan.
Pembuatan rorak merupakan contoh tindakan panen air aliran permukaan dan
sekaligus juga tindakan konservasi air.
Daerah yang memerlukan panen air adalah daerah yang mempunyai bulan
kering (dengan curah hujan < 100 mm per bulan) lebih dari empat bulan
berturut-turut dan pada musim hujan curah hujannya sangat tinggi (> 200 mm
per bulan). Air yang berlebihan pada musim hujan ditampung (dipanen) untuk
digunakan pada musim kemarau.
1) Rorak
Rorak cocok untuk daerah dengan tanah berkadar liat tinggi-di mana daya
serap atau infiltrasinya rendah — dan curah hujan tinggi pada waktu yang
pendek.
2) Saluran buntu
Saluran buntu adalah bentuk lain dari rorak dengan panjang beberapa meter
(sehingga disebut sebagai saluran buntu). Perlu diingat bahwa dalam
pembuatan rorak atau saluran buntu, air tidak boleh tergenang terlalu lama
(berhari-hari) karena dapat menyebabkan terganggunya pernapasan akar
tanaman dan berkembangnya berbagai penyakit pada akar.
4) Embung
Embung adalah kolam buatan sebagai penampung air hujan dan aliran
permukaan. Embung sebaiknya dibuat pada suatu cekungan di dalam daerah
aliran sungai (DAS) mikro. Selama musim hujan, embung akan terisi oleh air
aliran permukaan dan rembesan air di dalam lapisan tanah yang berasal dari
tampungan mikro di bagian atas/hulunya. Air yang tertampung dapat
digunakan untuk menyiram tanaman, keperluan rumah tangga, dan minuman
ternak selama musim kemarau.
Embung cocok dibuat pada tanah yang cukup tinggi kadar liatnya supaya
peresapan air tidak terlalu besar. Pada tanah yang peresapan airnya tinggi,
seperti tanah berpasir, air akan banyak hilang kecuali bila dinding dan dasar
embung dilapisi plastik atau aspal. Cara ini akan memerlukan biaya tinggi.
Cek dam adalah bendungan pada sungai kecil yang hanya dialiri air selama
musim hujan, sedangkan pada musim kemarau mengalami kekeringan. Aliran
air dan sedimen dari sungai kecil tersebut terkumpul di dalam cekdam,
sehingga pada musim hujan permukaan air menjadi lebih tinggi dan
memudahkan pengalirannya ke lahan pertanian di sekitarnya. Pada musim
kemarau diharapkan masih ada genangan air untuk tanaman, air minum ternak,
dan berbagai keperluan lainnya.
Air hujan dari atap rumah dapat ditampung di dalam bak atau tangki untuk
dimanfaatkan selama musim kemarau untuk mencuci, mandi, dan menyiram
tanaman. Untuk minum sebaiknya digunakan air dari mata air karena pada awal
musim hujan, air hujan mengandung debu yang cukup tinggi.
Antisipasi penanggulangan kekeringan dapat dilakukan melalui dua tahapan
strategi yaitu perencanaan jangka pendek dan perencanaan jangka panjang.
3) Pengaturan operasi dan pemanfaatan air waduk untuk wilayah sungai yang
mempunyai waduk.
7) Penertiban pengguna air tanpa ijin dan yang tidak taat aturan.
Untuk penanganan dampak, perlu dilakukan secara terpadu oleh sektor terkait
antara lain dengan upaya:
a. Dampak Sosial:
b. Dampak Ekonomi:
1) Peningkatan cadangan air melalui pembangunan waduk-waduk baru,
optimalisasi fungsi embung, situ, penghijauan daerah tangkapan air,
penghentian perusakan hutan, dll.
2) Peningkatan efisiensi penggunaan air melalui gerakan hemat air, daur ulang
pemakaian air.
c. Dampak Keamanan:
d. Dampak Lingkungan:
Upaya non fisik merupakan upaya yang bersifat pengaturan, pembinaan dan
pengawasan, diantaranya adalah:
3) Penyediaan pompa yang movable di areal dekat sungai atau danau, sehingga
pompa tersebut dapat dipergunakan secara bergantian untuk memperoleh air.
4) Operasi penyediaan air minum dengan mobil tangki untuk memasok air pada
daerah-daerah kering dan kritis.
Kondisi hidrologi daerah ini adalah tidak dijumpainya air permukaan karena
sebagian besar air yang jatuh ke permukaan langsung masuk kedalam tanah
karena batuannya porus, sehingga hampir sebagian besar tersimpan dalam
sungai bawah tanah. Penduduk didaerah ini menggunakan air dari hasil
pemompaan sungai Bribin yang disalurkan melalui pipa-pipa dengan
memanfaatkan tenaga gravitasi dan juga menggunakan PAH atau penampung
air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jenis flora yang
terdapat daerah ini adalah ketela, jati, kelapa, jagung, kacang tanah dan padi
gogo. Jenis tanaman ini ditanam pada bagian yang tanahnya sudah berkembang
atau pada cekungan-cekungan yang biasanya terisi oleh tanah
terrarosa/mediteran.
Pada gambar tampak bahwa penggunaan lahan didaerah ini didominasi oleh
pertanian lahan kering yaitu sebagai tegalan dan sawah tadah hujan dengan
ditanami ketela, jagung dan padi. Penggunaan lahan seperti ini biasanya
terbatas pada cekungan-cekungan seperti polye dimana pada cekungan tersebut
terdapat material hasil pelapukan batu gamping yang berkembang menjadi
tanah terrarosa sehingga lahan dapat diusahakan. Penduduk setempat sudah
berusaha menyesuaikan dengan kondisi alam yang kurang mendukung dengan
berbagai percobaan tanaman yaitu mencari tanaman yang cocok untuk bentuk
lahan seperti ini.
F. Penyebab, Dampak dan Mitigasi Kekeringan di Jawa Tengah dan Jawa Barat
Kondisi iklim tropis Provinsi Jawa Tengah yang terletak antara 5 o 40'-8 o 30' LS
dan antara 108 o 30'-111 o 30' BT menjadikan potensi dan ancaman bencana.
Dampak dari bahaya iklim tersebut adalah banjir, kekeringan, kebakaran lahan
dan badai angin. Kejadian bencana alam karena iklim dalam sepuluh tahun
terakhir diantaranya adalah banjir di Demak, Semarang, Brebes, Cilacap,
Kebumen dan Purworejo; kekeringan di Demak, Grobogan dan Wonogiri;
kebakaran lahan di lereng Lawu, Merbabu, Merapi, Sumbing dan Slamet; terjadi
pula badai angin terjadi di Kabupaten Karanganyar, Boyolali, Klaten dan bagian
selatan Provinsi Jawa Tengah.
Kondisi fisiografi Jawa Tengah ditinjau dari tingkat kemiringan lahannya terdiri
dari: 38% lahan dengan kemiringan 0- 2%, 31% lahan dengan kemiringan 2-
15%, 19% lahan dengan kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan dengan
kemiringan lebih dari 40%. Kawasan pantai utara memiliki dataran rendah yang
sempit. Daerah Brebes mempunyai dataran rendah dengan lebar 40 km dari
pantai dan terus menyempit hingga Semarang mempunyai lebar 4 km yang
bersambung dengan depresi Semarang-Rembang di bagian timur. Kawasan
pantai selatan merupakan dataran rendah yang sempit dengan lebar 10-25 km,
kecuali sebagian kecil di daerah Kebumen yang merupakan perbukitan.
Rangkaian utama pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu Utara
dan Serayu Selatan yang dipisahkan oleh Depresi Serayu yang membentang dari
Majenang (Kabupaten Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo. Terdapat 6
(enam) gunung berapi aktif di Jawa Tengah, yaitu: Gunung Merapi (di
Magelang), Gunung Slamet (di Pemalang), Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing
(di Temanggung-Wonosobo), Gunung Lawu (di Karanganyar) serta pegunungan
Dieng (di Banjarnegara). Menurut Lembaga Penelitian Tanah-Bogor, jenis tanah
di Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan grumosol sehingga
hamparan tanah di daerah ini termasuk tanah yang relatif subur. Kondisi
hidrologis Jawa Tengah dibentuk oleh beberapa aliran sungai. Bengawan Solo
merupakan salah satu sungai terpanjang dan merupakan sumber daya air
terpenting. Selain itu terdapat sungai yang bermuara di Laut Jawa diantaranya
adalah Kali Pemali, Kali Comal, dan Kali Bodri serta sungai yang bermuara di
Samudera Hindia diantaranya adalah Luk Ulo dan Cintanduy.
Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan suhu rata-rata adalah 24,8 o C – 31,8 o C
dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 mm. Daerah dengan curah hujan tinggi
terutama terdapat di daerah Kabupaten Kebumen sebesar 3.948 mm/tahun.
Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim
kemarau berada di daerah Blora, Rembang, Sebagian Grobogan dan sekitarnya
serta di bagian selatan Kabupaten Wonogiri.
Daerah dengan iklim hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi,
tetapi tanah akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah akan merusak tanaman
bahkan menghancurkan suplai makanan. Perubahan iklim global berpengaruh
terhadap kondisi iklim di Jawa Tengah. Musim kemarau menjadi lebih panjang
daripada musim hujan sehingga menyebabkan kekeringan di daerah dengan
cadangan air tanah yang minimum. Daerah yang sering kali mengalami
kekeringan terdapat adalah Kabupaten Blora, Grobogan, Pati, Rembang, Demak,
Wonogiri. Sedangkan Kabupaten lain seperti Sragen, Pemalang, Pekalongan,
Tegal, Kendal, dan Brebes pada kondisi ekstrem akan mengalami kekeringan
cukup parah. Distribusi daerah yang sering mengalami kekeringan untuk
wilayah Jawa Tengah dapat dilihat pada gambar berikut:
Luas Luas
Waktu Daerah Terparah
No. Daerah Daerah Dampak
Kejadian (Kabupaten)
Dampak Kering
Sragen,
Terdapat puso di Wonogiri
Wonogiri,
4.647 ha, Sragen 3.929 ha,
Demak,
Januari- 80.679 Rembang 1.335 ha, Demak
Rembang,
2 Juli 24 Kab. ha 1.185 ha, Cilacap 858 ha,
Cilacap,
2003 sawah Grobogan 710 ha, Boyolali
Grobogan,
613 ha dan Karanganyar
Boyolali,
551 ha
Karanganyar
Jepara, Sragen,
Wonogiri,
Rembang, 12.000 ha sawah puso,
Boyolali, 16.617 terserang hama
Juli- Karanganyar, 12.996 penggerek batang, 6.979 ha
3 Agustus 11 Kab. Klaten, Blora, ha terserang tikus, 5.513 ha
2004 Sukoharjo, sawah terserang wereng coklat,
Purworejo, 946 ha terserang tungo
Brebes, (daun kuning)
Pemalang,
Batang
Rembang,
Januari- Boyolali, Klaten, 81.660 Kondisi gagal panen 20,82
4 Juli 11 Kab. Sukoharjo, ha persen atau seluas 16.998
2005 Purworejo, sawah ha
Brebes, Pati,
Cilacap,
Kebumen,
Semarang,
Wonogiri
Rembang,
Boyolali, Klaten,
Sukoharjo,
Purworejo, 19.297
Puso melanda seluas 6.168
5 Jul-06 17 Kab. Brebes, Pati, ha
ha sawah
Cilacap, sawah
Kebumen,
Semarang,
Wonogiri
Sragen,
Wonogiri,
Boyolali, Blora,
Purworejo, Pati,
>
Grobogan,
100.000 Seluas 10% dari lahan
6 Jul-07 14 Kab. Demak,
ha kering mengalami puso
Semarang,
sawah
Kebumen,
Banjarnegara,
Temanggung,
Banyumas, Tegal
a. Penyebab
1) Topografi
Berdasarkan data dari Analisa USLE Wilayah BPDAS Pemali Jratun tahun
2009 menyebutkan bahwa, Rembang mengalami erosi tanah dari kuantitas
sangat ringan hingga berat. Penyebab erosi tanah ini ada yang alami karena
proses pelapukan dan sebagian oleh ulah manusia yang tidak memperhatikan
cara konservasi lahan. Alih fungsi lahan
2) Jenis Tanah
Jenis tanah secara umum di jawa tengah adalah jenis tanah aluvial, litosol,
dan grumusol. Aluvial adalah jenis tanah yang berasal dari pengendapan
lumpur sungai yang terdapat di dataran rendah. Tanah ini sangat subur dan
sangat baik untuk pertanian padi. Litosol adalah jenis tanah yang baru
mengalami pelapukan dan sama sekali belum mengalami perkembangan tanah.
Berasal dari betuan-batuan konglomerat dan granit, kesuburannya cukup, dan
cocok untuk jenis tanaman hutan. Grumusol adalah jenis tanah ini berwarna
abu-abu kehitaman, cocok untuk tanaman kapas, jagung, keledai, dan tebu.
Sama dengan jenis tanah di Jawa Tengah secara umum, di Rembang pun
terdapat ketiga jenis tanah tersebut. Jenis tanah grumusol merupakan jenis
tanah yang akan pecah-pecah saat terjadi musim kemarau, karena tanah ini
tidak dapat menyimpan air.
3) Klimatologi
4) Hidrologi
Kabupaten Rembang memiliki curah hujan yang rendah dan memiliki sumber
air berupa air permukaan dan air tanah. Sumber air permukaan berupa sungai,
bendungan dan air laut. Sungai yang melewati wilayah Kabupaten embang
antara lain Sungai Randugunting, Babagan, Karanggeneng, Kening, Telas,
Kalipang, Sudo dan Sungai Patiyan. Di Kabupaten Rembang terdapat 21
bendungan dan 25 daerah irigasi, tetapi tidak sepanjang tahun dialiri air.
Wilayah pantai meliputi sepanjang 7 km.
c. Dampak kekeringan
1) Dampak Perekonomian
Dengan adanya gagal panen akibat kekeringan juga akan menimbulkan krisis
pangan. Kekeringan akan mengurangi hasil produktifitas Indonesia secara
umum dan juga akan menyebabkan Rembang kekurangan pangan, seperti padi.
2) Dampak Sosial
Dampak sosial dari kekeringan dapat terjadi konflik antar pengguna air yang
saling berebut air, khususnya air bersih. Secara tidak langsung kekeringan juga
akan meningkatkan kriminalitas di daerah bencana. Dampak lain adalah
meningkatkan kemungkinan kebakara dan kesehatan memburuk, seperti
menyebarnya penyakit malaria dan demam berdarah.
d. Penanggulangan
Pra bencana