Anda di halaman 1dari 14

ANALISA KEKERINGAN

Ricka Aprillia 4 Juli 2014


https://www.scribd.com/doc/232556628/Analisis-kekeringan

1. PENDAHULUAN

1.1. Pengertian dan Definisi Kekeringan

Kekeringan biasa terjadi, merupakan kejadian biasa dan menggambarkan iklim yang
senantiasa berulang, meskipun sering disalahartikan sebagai kejadian acak dan sangat jarang.
Dalam kenyataannya terjadi pada semua jenis iklim meskipun karakteristiknya sangat berbeda
dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kekeringan merupakan penyimpangan temporer dan
sangat berbeda dengan kegersangan (aridity) yang lebih bersifat permanen dimana curah
hujan yang turun senantiasa kecil.
Kekeringan merupakan bencana alam yang penuh tipu muslihat. Meskipun mempunyai
banyak definisi, tetapi sebenarnya dia berasal dari kekurangannya hujan pada suatu kondisi
tertentu, biasanya terjadi satu musim atau lebih. Kondisi itu menimbulkan kekeringan air untuk
beberapa sektor pertanian, PDAM, PLTA. Kekeringan harus selalu diperhitungkan secara relatif
terhadap kondisi rata – rata jangka panjang di suatu wilayah, kondisi seperti ini disebut “
normal “.
Kekeringan tidak dapat dilihat dari sisi fenomena fisik saja, tetapi perlu pula ditinjau
dampak pada kehidupan masyarakat akibat interaksi antara kejadian alam (hujan yang lebih
kecil dari biasanya) dan kebutuhan manusia akan suplai air.
Kekeringan pada masa ini mengakibatkan dampak ekonomi, sosial dan pertanian,
menunjukan adanya kerentanan masyarakat akan bencana tersebut.
Ada dua definisi kekeringan yang akan dibahas yaitu jenis konseptual dan operasional.

1.1.1. Definisi Konseptual dari Kekeringan


Definisi konseptual, diformulasikan secara umum, bertujuan membantu orang untuk
mengerti konsep dari kekeringan.
Contoh :
Kekeringan adalah periode kurang hujan yang berkepanjangan mengakibatkan kerugian
yang cukup berarti pada pertanian sehingga menimbulkan gagal panen. Definisi konseptual ini
sangat penting secara filosofi untuk menegakkan kebijakan penanggulangan kekeringan.
1
Contoh kebijakan Pemerintah Australia menghubungkan pengertian variabilitas iklim normal
pada definisi kekeringan.
Negara ini memberikan bantuan dana pada petani yang sedang mengalami “
kekeringan yang tidak biasa, ada pengecualian “. Kriteria tersebut didapat melalui suatu hasil
yang cukup panjang. Sebelum diberlakukan, beberapa petani didaerah semi arid mendapatkan
kucuran dana hampir setiap beberapa tahun. Hal ini menunjukan bahwa kriteria tersebut perlu
disesuaikan.

1.1.2. Definisi Operasional dari Kekeringan


Definisi operasional membantu orang untuk dapat mengidentifikasikan awal, akhir dan
tingkat keparahan kekeringan .
Untuk menentukan awal kekeringan, definisi operasional menghitung tingkat
penyimpangan dari hujan rata-rata atau perubahan iklim yang lain pada suatu periode waktu
tertentu. Ini biasanya dilakukan dengan memperbandingkan situasi masa kini dengan rata –
rata historis, umumnya berdasarkan minimal 30 tahun pengamatan. Awal kekeringan biasanya
ditentukan sembarang seperti misalnya jika mencapai kurang dari 75 % rata–ratanya. Atau
berdasarkan kriteria lain yang disesuaikan dengan dampak tertentu.
Definisi operasional dapat juga digunakan untuk menganalisa frekuensi kekeringan,
keparahannya dan durasinya untuk suatu periode. Definisi tersebut membutuhkan data cuaca
jam jaman, harian, bulanan, atau periode lain dan mungkin data dampak kekeringan (seperti
hasil panen ) tergantung dari makna definisi kekeringan yang digunakan. Analisa kekeringan
untuk suatu wilayah akan sangat membantu pengertian akan karakteristiknya dan
kemungkinan terjadi pengulangan tingkat keparahan tertentu. Informasi seperti ini sangat
bermanfaat bagi pengembangan strategi mitigasi dan respons selain untuk kepentingan
perencanaan bangunan air.

1.2. Kekeringan dalam Perspektif Disiplin Ilmu Meteorologi, Hidrologi dan


Pertanian.

1.2.1. Kekeringan Meteorologi


Kekeringan meteorologi diartikan biasanya berdasarkan tingkat kekeringan (dibandingkan
dengan “ normal “ atau rata-rata ) dan durasi periode kering.
Definisi kekeringan meteorologi harus menggambarkan kondisi wilayah yang spesifik
karena kondisi atmosfer yang terjadi akibat hujan berkurang sangat bervariasi dari satu wilayah
ke wilayah. Contoh, beberapa definisi kekeringan meteorologi mengidentifikasikan periode

2
kekeringan berdasarkan jumlah hari hujan dengan curah hujan, kurang dari ambang yang telah
dispesifikasikan.
Ukuran ini hanya dapat diterapkan untuk wilayah dengan karakteristik sepanjang tahun
hujan seperti Indonesia tapi tidak sesuai untuk Negara Brazil, Darwin (Australia), Nebraska
(USA).
Definisi lain menghubungkan penyimpangan terhadap rata-rata berdasarkan skala
waktu bulan, musim atau hujan.

1.2.2. Kekeringan Hidrologi


Kekeringan hidrologi berhubungan dengan akibat dari periode kurang hujan terhadap
ketersediaan air dipermukaan dan bawah permukaan ( seperti aliran sungai, muka air waduk
dan danau, air tanah ). Frekuensi dan keparahan kekeringan hidrologi sering digambarkan
dalam skala DPS. Meskipun semua kekeringan berasal dari kurang hujan tetapi para ahli
hidologi lebih tertarik pada bagaimana kekurangan ini berperan dalam sistim hidrologi.
Kekeringan hidrologi biasanya mempunyai fase yang berbeda dalam arti ada tenggang waktu
(lag) terhadap kekeringan meteorologi dan pertanian. Ada beberapa saat setelah hujan kurang,
tanah mengalami kurang kandungan air dalam pori-porinya, beberapa saat kemudian debit
aliran air berkurang dan seterusnya kandungan air tanah dan muka air waduk berkurang.
Akibatnya dampaknya mempengaruhi beberapa sektor yang menggunakan ketersediaan air di
dalam tanah (pertanian), disungai (Pertanian, air baku), diwaduk(Pertanian, air baku, PLTA)
dan air tanah (air baku, pertanian). Sehingga, dimusim kering sering timbul konflik pengguna
air dari berbagai sektor

1.2.3. Kekeringan Pertanian


Kekeringan pertanian menghubungkan berbagai karakteristik meteorologi (atau
hidrologi) dengan dampak pertanian. Kondisi kurang hujan dikaitkan dengan :
1. Evapotranspirasi aktual dan potensi
2. Air tanah yang menyusut
3. Karakteristik dari tanaman tertentu seperti tingkat pertumbuhan
4. Penyusutan aliran air sungai, waduk, air tanah
Kekeringan pertanian harus mampu memperhitungkan kondisi kelengasan tanah di top
soil pada saat awal penanaman. Oleh karena jika tidak mencukupi kelengasan tanah di top soil
tersebut akan menimbulkan penurunan hasil panen atau bahkan puso untuk tanaman padi.

1.3 Peranan Analisis Kekeringan dalam Perencanaan Bangunan Air

3
Perencanaan bangunan air dalam rangka pengembangan Sumber Daya Air berbentuk
waduk, bendung,. Kapasitas waduk ditentukan oleh inflow yang alami dan outflow yang
bergantung pada perencanaan mencakup single dan multi purpose reservoirs, jumlah areal
sawah yang dilayani bendung tergantung dari suplai air yang tersedia di sungai maupun
waduk.
Besarnya inflow yang berfluktuasi dalam suatu periode waktu mengakibatkan besaran
ketersediaan air atau debit handal pada suatu periode berbeda dengan periode lain. Pada
tahun-tahun basah ketersediaan air berlimpah, jika data tersebut digunakan maka kapasitas
waduk yang dihasilkan menjadi kecil atau areal persawahan yang dilayani menjadi lebih sempit.

1.4. Analisa Kekeringan


1.4.1. Uraian Umum
Seperti yang dijelaskan sebelumnya ada beberapa pengertian kekeringan. Oleh karena
analisa kekeringan meteorologi selalu digunakan dalam analisa lain seperti kekeringan hidrologi
dan pertanian, maka kajian kekeringan difokuskan pada kekeringan meteorologi.
Ada beberapa indeks kekeringan yang mengukur berapa besar hujan yang jatuh pada
suatu periode tertentu dan menyimpang dari kondisi normal yang dihitung dari data
historisnya.
Meskipun tidak ada satu indekspun yang mampu menampung semua ukuran
kekeringan dan memuaskan semua pihak, indeks yang satu selalu mempunyai kelebihan dan
kekurangan dari yang lain.
Dalam bahasan ini akan ditampilkan tiga jenis analisa indeks kekeringan yaitu :
1. Prosentasi terhadap normal
2. Desil
3. Standardized Precipitation Index (SPI) dan
4. Theory of Run

1.4.2 Cara Prosentasi Terhadap Normal


Cara ini merupakan salah satu cara termudah untuk mengukur kekeringan, yang intinya
membandingkan hujan yang bersangkutan dengan hujan normal. Hujan normal dihitung dari
rata-rata selama minimum 30 tahun. Skala waktu yang digunakan dapat mingguan, bulanan,
atau tahunan. Jadi cara ini berguna untuk lokasi dan musim tertentu.
Prosentasi terhadap normal mudah dimengerti dan memberi indikasi kekeringan yang
berbeda tergantung dari lokasi dan musim. Perhitungan dilakukan dengan cara membagi hujan

4
dengan hujan normalnya, dikalikan 100 %. Prosedur ini dapat dilakukan untuk berbagai skala
waktu, dengan menganggap nilai normalnya sebagai 100 %.
Salah satu kerugian menggunakan cara ini adalah hujan normal berupa rata-rata hujan
biasanya nilainya tidak sama dengan median. Peluang dari median secara kumulatif terjadi
selain 50 % dari jumlah data yang cukup panjang. Nilai rata tidak sama dengan median karena
distribusi data hujan tidak mengikuti normal.
Hal ini yang menyebabkan cara ini sukar menghubungkan penyimpangan berupa
prosentasi dengan penyimpangan yang terjadi sebenarnya.

1.4.3. Desil
Metode ini dikembangkan oleh Gibbs dan Maher (1967) untuk menghindari beberapa
kelemahan dari metode Prosentasi terhadap normal.
Kata desil berasal dari satu per sepuluh, dimana rentetan data diurut menjadi 10
kelompok. Kelompok pertama adalah hujan dengan kemungkinan lebih kecil, 10 % dari seluruh
kejadian. Kelompok kedua adalah curah hujan dengan kemungkinan lebih kecil, 20 % dari
seluruh kejadian.
Berdasarkan definisi desil kelima sama dengan median, sehingga cara ini dikelompokan
menjadi 5 kelompok yaitu :
Desil 1 - 2 : terrendah, 20 % jauh dibawah normal
Desil 3 - 4 : diatas terrendah, 20 % di bawah normal
Desil 5 - 6 : di tengah, 20 % mendekati normal
Desil 7 - 8 : di atas tengah-tengah, 20 % diatas normal
Desil 9 - 10 : tertinggi, jauh diatas normal
Metode Desil dipilih sebagai ukuran kekeringan oleh “ Australian Drought Watch System
“ karena relatif sederhana untuk dihitung.
Dengan metode ini, petani di Auatralia hanya dapat meminta bantuan kepada
pemerintah jika curah hujan yang terjadi ada pada tingkat desil 1 - 2 dan berakhir lebih dari 12
bulan
Satu kerugian dari cara ini adalah membutuhkan data hujan yang cukup panjang, agar
hasilnya lebih handal.

1.4.4 Standarized Precipitation Index (SPI)


Pengertian bahwa bila hujan yang turun mengecil akan mengakibatkan kandungan air
dalam tanah dan debit aliran berkurang, menimbulkan berkembangnya Standardized
Precipitation Index (SPI). SPI dihitung untuk mengkwantifikasikan defisit hujan dengan

5
berbagai skala waktu. Skala waktu tersebut mencerminkan dampak kekeringan pada
ketersediaan air diberbagai sumber. Kondisi kelengasan tanah merespon anomali hujan pada
jangka waktu pendek, sedangklan air tanah, debit di sungai dan tampungan waduk
menanggapi anomali hujan lebih lama. Oleh karena itu SPI dihitung untuk 3-, 6-, 12-,24 dan 48
bulan.
SPI untuk suatu lokasi dihitung berdasarkan data hujan yang cukup panjang untuk
periode yang diingini. Data hujan yang cukup panjang disesuaikan dengan suatu jenis distribusi
(Gamma), kemudian ditransformasikan ke distribusi normal sehingga rata-rata SPI di suatu
lokasi sama dengan nol.
SPI positif mengidentifikasikan hujan yang lebih besar dari median dan SPI negatif
menunjukan hujan yang lebih kecil dari median.
Mc Kee et al (1993) menggunakan klasifikasi dibawah ini untuk mengidentifikasikan
intensitas kekeringan, dan juga kriteria kejadian kekeringan untuk skala waktu tertentu.
Kekeringan terjadi pada waktu SPI secara berkesinambungan negatif dan mencapai
intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau kurang.

Tabel 1.1 Klasifikasi SPI mengikuti skala

Nilai SPI Klasifikasi


2.00 Amat sangat basah
1.50 -1.99 Sangat basah
1.00 - 1,49 Cukup basah
-0.99 - 0.99 Mendekati normal
-1,00 - 1,49 Cukup kering
-1,50 - 1,99 Sangat Kering
-2.00 atau <-2.00 Amat sangat kering

6
2. INDEKS KEKERINGAN UNTUK PERENCANAAN

BANGUNAN AIR

2.1. Uraian Umum

Perencanaan bangunan air seperti waduk dan bendung membutuhkan seri data debit
bulanan atau tengah bulanan yang cukup panjang. Dalam seri waktu tersebut fluktuasi data
memberikan gambaran akan kondisi ekstrim yang pernah terjadi yaitu surplus mengakibatkan
banjir dan defisit menimbulkan kekeringan yang pernah terjadi. Panjang data debit jauh lebih
pendek dibandingkan dengan data hujan. Di samping itu watak seri data debit sangat
tergantung dari alih fungsi lahan sehingga tidak dapat diperhitungkan sebagai suatu sampel
data. Oleh karena itu data hujan lebih tepat untuk digunakan untuk perhitungan kekeringan
yang butuh data hidrologi menerus (berkesinambung, continued).

Seberapa kuatnya kekeringan yang terkandung secara historis dalam data,


mempengaruhi dimensi bangunan air. Misalnya, panjang data debit 20 tahun, mengandung
tingkat keparahan kekeringan periode ulang 50 tahun akan menghasilkan kapasitas waduk
yang besar. Sebaliknya, dengan panjang data yang sama, 20 tahun, dengan tingkat keparahan
periode ulang 10 tahun misalnya, akan menghasilkan kapasitas waduk yang kecil. Oleh karena
itu, peranan indeks kekeringan dengan tingkat keparahan tertentu sangat memegang peranan
penting. Surplus tidak dapat mencerminkan kondisi banjir yang sebenarnya dibandingkan
dengan defisit yang lebih mampu menggambarkan kondisi kekeringan.

2.2 Teori Run

Dari hasil penerapan teori run, diperoleh dua parameter baru, yaitu panjang defisit (L n)
dan jumlah defisit (Dn). Disamping kedua parameter tersebut,dikembangkan pula parameter
intensitas kekeringan yang pada dasarnya sama dengan jumlah (D n) dibagi durasi (Ln).
Sebenarnya, dalam pengertian intensitas ada dua pendekatan, yang pertama apabila dihitung
berdasarkan intensitas maksimum tanpa memperhatikan durasi. Yang kedua, bilamana
intensitas yang diperhitungkan adalah pada waktu kritis saja dimana durasi yang
melatarbelakanginya maksimum.
Parameter tersebut diperoleh dengan tahapan sebagai berikut :
1. Dari data curah hujan yang telah disaring ,X t, dihitung nilai rata-ratanya pada masing-
masing bulan selama T tahun.

7
2. Defisit perbulan dihitung dengan mengurangkan nilai X t dengan rata-rata bulan yang
bersangkutan. Dimana bila hasil pengurangannya itu bernilai negatif, maka bulan
tersebut mengalami defisit (Dn).
3. Jumlah defisit merupakan kumulatif dari defisit perbulan yang terjadi secara berturut-
turut.
4. Setelah bulan-bulan yang mengalami defisit diketahui, maka dapat dilihat berapa
lamanya defisit (durasi) yang terjadi, Ln.

Kemudian dihitung nilai Lnt dan Dnt dengan periode ulang yang telah ditentukan.
Perhitungan periode ulang dari indeks kekeringan durasi, jumlah dan intensitas dibuat
berdasarkan SNI, 2003.

Langkah penghitungan Teori Run:


Langkah pengerjaan dilakukan sebagai berikut.

a) Kumpulkan data hujan bulanan yang menerus tanpa ada data kosong. Dengan
pertimbangan yang cukup matang, data hujan diizinkan untuk tidak menerus dalam
hitungan tahun.

b) Hitung jumlah datanya (N), rata-rata, simpangan baku (standar deviasi), koefisien
kepencongan (skewness) dan koefisien keruncingan (kurtosis) untuk setiap bulannya.

c) Kurangkan data asli tiap-tiap bulan setiap tahunnya dengan rata-rata dari seluruh data
pada bulan tersebut, atau kemungkinan 20 % tidak melampaui pada setiap bulannya.

d) Lakukan penghitungan durasi kekeringan, menggunakan persamaan (1) dan (3). Bila
penghitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan negatif akan diberi
nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan, maka jumlahkan nilai satu
tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol, untuk kemudian menghitung dari
awal lagi. Langkah ini dilakukan dari data tahun pertama berurutan terus sampai data
tahun terakhir.

e) Hitung durasi kekeringan terpanjang, tuliskan nilai yang maksimum saja.

f) Tentukan nilai maksimum durasi kekeringan selama T tahun. Nilai maksimum durasi
kekeringan selama kurun waktu T (sama dengan 10 tahun) tersebut dirata-ratakan
sehingga menghasilkan nilai untuk periode ulang 10 tahunnya. Untuk periode ulang
selanjutnya lakukan penghitungan yang sama.

g) Hitung jumlah defisit. Jika durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu maka pada
bulan selanjutnya merupakan nilai kumulatifnya, demikian pula halnya dengan jumlah
defisit;

8
h) Buat pada tabel baru penghitungan jumlah kekeringan maksimum (selama T tahun),
tuliskan hanya jumlah kekeringan maksimum saja yang diabsolutkan.

i) Buat tabel baru kembali, tentukan nilai maksimum jumlah kekeringan selama T tahun.
Nilai maksimum selama selang waktu T=10 tahun tersebut dihitung rata-ratanya dan
merupakan nilai periode ulang untuk 10 tahun, dan seterusnya.
Pedoman perhitungan Theory of Run dapat dilihat pada Lampiran I.

9
3. INDEKS KEKERINGAN UNTUK MONITORING DAN
PERINGATAN DINI

3.1. Uraian Umum

Untuk menangani kekeringan di Indonesia telah dilaksanakan beberapa pertemuan yang


menghasilkan beberapa wacana sebagai berikut :

A. Menurut Balai Penelitian Tanaman Padi, Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang


Pertanian (2002), secara konseptual upaya antisipasi kekeringan dapat dijabarkan
dalam tiga pendekatan yaitu :
1. Pendekatan strategis, yaitu mengidentifikasikan wilayah rawan kekeringan dan
banjir, endemik hama dan penyakit tanaman padi berdasarkan karakteristik
biofisik suatu ekosistim.
2. Pendekatan tastis yaitu mengembangkan teknik prediksi dan prakiraan cuaca serta
iklim untuk menduga kemungkinan terjadinya anomaly iklim.
3. Pendekatan operasional yaitu upaya untuk menghindari, mengurangi dan
menanggulangi risiko bencana dan dampak anomaly iklim terhadap produksi padi.

B. Dalam Diskusi Panel La-Nina dan El-Nino (Pawitan et al,1998b) dirumuskan antara lain :
1. Kekeringan dan kebanjiran dapat terjadi tanpa adanya gejala alam El Nino dan La-
Nina;
2. Masih rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap aspek cuaca dan iklim
serta penyimpangannya;
3. Tingkat keandalan prakiraan cuaca dan iklim perlu ditingkatkan sampai ke tingkat
daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
4. Pentingnya pelayanan informasi cuaca dan iklim untuk masyarakat luas dan
khusus seperti petani dan pelayan;
5. Masih lemahnya kemampuan teknologi prakiraan iklim nasional.

C. Tiga program dari pemerintah untuk mengatasi kekeringan meliputi :


1. Pendistribusian air minum ke daerah-daerah yang kekurangan air;
2. Pemberian beras gratis;
3. Padat karya untuk petani yang kehilangan pekerjaan, (Kompas,20/8/03).

Buku Pedoman Antisipasi Kekeringan Jawa Tengah diterbitkan pada bulan September
2003 oleh Seksi Penanggulangan Banjir dan Kekeringan Sub Dinas Eksploitasi dan
10
Pemeliharaan, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa Tengah yang berkedudukan
di Semarang (Pedoman, 2003). Maksud dan tujuan pedoman tersebut adalah menyatukan
persepsi dan langkah untuk mengantisipasi danmenanggulangi kekeringan di Jawa Tengah
dilakukan oleh Dinas Sumber Daya Air termasuk Balai Pengelolaan Sumber Daya Air serta
jajaran Pengairan yang lainnya dengan sasaran utama meminimalkan dampak yang timbul
pada daerah-daerah kekeringan.
Dalam pedoman tersebut dibahas mengenai data yang dibutuhkan dan prakiraan
daerah rawan kekeringan. Prakiraan didasarkan pada dua pendekatan yaitu prakiraan cuaca
yang dilakukan oleh BMG dan tingkat ketersediaan air melalui factor K (perbandingan
ketersediaan dan kebutuhan air dalam persen) serta factor R (selisih ketersediaan air dan
kebutuhan terhadap kebutuhan total). Selanjutnya factor R dikaitkan dengan pola penggiliran
antar blok golongan atau antar blok sekunder atau blok tersier untuk yang terparah.

Pelaksanaan antisipasi kekeringan melalui berbagai jenis tindakan dalam kerangka kerja
jangka panjang dan pendek juga dijabarkan dalam pedoman tersebut.

Berdasarkan data yang sudah dirinci pada Pedoman, 2003b, dibuat laporan mengenai
kekeringan tahun 2003 (Laporan, 2003). Hanya ada empat jenis tindakan yang dilakukan untuk
menangani kekeringan yaitu pengadaan pompa dan pembuatan sumur dangkal, pemeliharaan
jaringan irigasi, padat karya dan hujan buatan. Hal ini berkaitan dengan kondisi kekeringan
yang kurang parah di wilayah Jawa Tengah berdasarkan factor K. Kabupaten Blora, Rembang,
Grobogan, Sragen, Wonogiri dan Klaten mempunyai factor K lebih kecil dari 70 selebihnya di
atas 70.

Selanjutnya Arifin, 2003, menghimbau pemerintah untuk segera merealisasikan sekian


macam rencana tentang system peringatan dini (early warning system) dan langkah antisipasi
lain yang pernah dicanangkan. Kelalaian melakukan hal penting itu akan berarti bencana besar
bagi para petani dan segenap anggota masyarakat lain, yang juga dapat menjadi ancaman
serius bagi upaya rekonstruksi kebijakan pangan dan pertanian.

Pendekatan butir 1 dan 2 (kelompok A) di atas termasuk dalam tugas dan kewajiban
Monitoring atau Early Warning sedangkan butir 3 termasuk tindakan mitigasi. Belum ada suatu
keterkaitan erat antar butir yang satu dengan yang lain, pada kondisi strategis perlu ditentukan
peranan pendekatan taktis dan operasional atau sebaliknya, melalui suatu sistim kerja. Dari
rumusan kelompok B di atas tersirat bahwa butir 1 sampai dengan 5 termasuk dalam kegiatan
Monitoring dan Early Warning. Selanjutnya, ulasan dari Arifin, 2003, juga menyiratkan
pentingnya dilakukan monitoring atau peringatan dini. Sedangkan, tindakan pemerintah yang

11
dilakukan pada waktu bencana sudah terjadi menggambarkan suatu upaya responsif, yang
dilakukan secara spontan tanpa adanya suatu antisipasi apalagi perencanaan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan perlunya suatu kegiatan Monitoring untuk
mengantisipasi upaya mitigasi. Tugas utama dari monitoring adalah mengidentifikasi besaran
dan waktu kekeringan dalam bentuk indeks kekeringan yang siap pakai dijadikan dasar
pemilihan jenis tindakan mitigasi dalam satu tatanan Perencanaan Kekeringan.
Perencanaan Kekeringan didefinisikan sebagai tindakan yang diambil masyarakat,
pemerintah dan lain-lain sebelum kekeringan terjadi dengan tujuan meringankan (mitigasi)
beberapa dampak dan konflik yang berhubungan dengan kejadian tersebut, (Wilhite, 1993).
Salah satu komponen perencanaan kekeringan adalah prediksi dan peringatan dini yang
dilaksanakan oleh organisasi Monitoring. Monitoring adalah organisasi yang mempunyai tugas
memantau, menganalisa dan menyebarluaskan data iklim dan suplai air (sungai, waduk, danau,
air tanah dan kelengasan tanah) dan mengidentifikasikan besar dan waktu (awal, akhir dan
durasi) kekeringan melalui indeks kekeringan, NDMC(2003b).

3.1 Metodologi

3.2.1 Standardized Precipitation Index (SPI)


Salah satu metode perhitungan indeks kekeringan yang sering digunakan adalah SPI
(Standardized Precipitation Index). SPI didesain untuk mengetahui secara kuantitatif defisit
hujan dengan berbagai skala waktu. Mc. Kee et al. (1993), mendefinisikan intensitas
kekeringan dari SPI secara kualitatif sebagai berikut : SPI antara 0 sampai dengan -0,99
sebagai ringan, SPI antara -1,00 sampai dengan -1,49 sebagai sedang, SPI antara -1,50
sampai dengan -1,99 sebagai parah serta lebih kecil dari -2,00 sebagai ekstrim. SPI tersebut
dihitung berdasarkan berbagai skala waktu seperti 3 atau 6 atau 9 atau 12 atau 24 atau 48
bulan.
Dari penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa SPI-6 dapat dijadikan patokan
dalam memonitor kekeringan, sehingga dalam kajian ini digunakan SPI skala waktu 6 bulan.
SPI dihitung berdasarkan selisih antara hujan yang sebenarnya terjadi dengan hujan rata-rata
menggunakan skala waktu tertentu, dibagi dengan simpangan bakunya. Untuk menghilangkan
faktor musim pada deret data hujan bulanan disamping membentuk satu deret data dengan
distribusi probabilitas yang sama, dilakukan transformasi data. Pertama kali dengan merubah
data menjadi bentuk peluang kumulatif (cdf atau cumulative distribution function) dengan jenis
distribusi Gamma.

12
Selanjutnya dirubah menjadi bentuk distribusi Normal Baku ( standard), dan nilai yang
dihasilkan merupakan indeks kekeringan SPI. Proses perhitungan SPI sebenarnya merupakan
upaya untuk menjadikan seri data asli menjadi seragam sehingga regionalisasi dapat dilakukan.
Bila seri data periodik berupa hujan bulanan disebut X, dimana  menunjukkan tahun
dan  adalah bulan (dari Januari sampai dengan Desember), maka persamaan distribusi
probabilitas cdf Gamma seperti terlihat pada persamaan 1 sampai dengan 3.
G(x) (Xk,i; i; i) = 1/{ii (i} Xk,i (i-1) e –( X / )
k,i i (1)
Di mana
i = i2 / i2 (2)
i = i2 / Xi (3)
i = rata-rata Xk,i pada bulan ke i
i = simpangan baku pada bulan ke i
Seri probabilitas diubah menjadi nilai Z yang mempunyai cdf ( cumulative distribution
function) dari Distribusi Normal Standard seperti terlihat pada persamaan 4.
Fx(X) = Pr(X,x) = Pr(Z( X, - )/) = Pr(Zz)
z 1 z2
Fx ( X )  
~
2
exp(
2
) dt. (4)

Z tersebut di atas disebut Standardized Precipitation Index atau disingkat SPI.


Permasalahan timbul pada waktu curah hujan nol, karena persamaan cdf Gamma,
persamaan (1), tidak terdefinisi. Untuk menghindari kesulitan tersebut persamaan cdf Gamma
dirubah menjadi persamaan (5).
H ( x)  q  (1  q )G ( x ) (5)
Di mana q adalah probabilitas terjadinya hujan nol di bulan bersangkutan. Probabilitas
kumulatif H(x) ditransformasikan menjadi variabel acak normal baku, Z, dengan rata-rata nol
dan varians nya satu. Z merupakan nilai SPI, dihitung secara empiris oleh persamaan di bawah.

c0  c1t c 2 t 2
Z  SPI  (t  untuk 0  H ( x)  0.5 (6)
1  d1t  d 2 t 2  d 3 t 3

c 0  c1t  c 2 t 2
Z  SPI   (t  untuk 0.5  H ( x)  1.0 (7)
1  d1t  d 2 t 2  d 3t 3
Di mana :
1
t ln( untuk 0  H ( x )  0.5 (8)
( H ( x )) 2

1
t ln( untuk 0.5  H ( x )  1.0 (9)
(1.0  H ( x)) 2

13
c0= 2.515517 d1= 1.432788
c1= 0.802853 d2= 0.189269
c2= 0.010328 d3= 0.001308
Kejadian kekeringan didefinisikan sebagai waktu di mana SPI bertanda negatif terus
menerus sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut dikatakan Durasi Kekeringan.
Jika nilai SPI dijumlahkan selama tenggang waktu durasi tersebut akan menggambarkan
jumlah kekeringan, selanjut intensitas kekeringan dihitung berdasarkan jumlah dibagi durasi
kekeringan (Hayes,1999; Edward,1997; McKee,1993).
Jadi, seri data hujan bulanan melalui SPI dapat menghasilkan seri data SPI baru. Jika
durasi kekeringan sudah dihitung maka intensitas kekeringan SPI dapat ditentukan pula.
Selanjutnya, hujan bulanan dapat dialihkan menjadi hujan 6-bulanan, sehingga dihasilkan SPI
6-bulanan.
Deret SPI, akhirnya merupakan deret waktu dengan distribusi frekuensi mendekati
Normal , melalui proses transformasi (Gammanisasi) dan standarnisasi menjadi Normal, lihat
contoh pada Gambar 3.1.

14

Anda mungkin juga menyukai