Anda di halaman 1dari 4

Bencana Alam Kekeringan

9.2.1 Definisi Kekeringan

Kekeringan pada suatu kawasan merupakan suatu kondisi yang umumnya mengganggu
keseimbangan seluruh makhluk hidup. Adanya kckurangan pasokan air dari atmosfer berdampak
pada berkurangnya kuantitas dan kualitas air pada suatu kawasan, khususnya di wilayah Benua
Maritim Indonesia. Pada dasamya, kondisi kekeringan di Benua Maritim Indonesia telah berlangsung
sejak dahulu kala. Dari kajian para peneliti kemudian lahirlah becberapa definisi tentang kekeringan
yang umumnya ditinjau dari berbagai segi, yaitu:

a. Kekeringan Meteorologis (Meteorological Drought).

b. Kekeringan Pertanian (Agricultural Drought)

c. Kekeringan Hidrologis (Hydrological Drought)

d. Kekeringan Sosial - ekonomi (Socio - economic Drought)

Kekeringan meteorologis diartikan sebagai kondisi akibat cuaca kering yang berlangsung dalam
kurun waktu tertentu bergantung di mana dan kapan terjadi, misalnya dalam kurun waktu 10 hari
hingga 30 hari tidak terjadi hujan atau kondisi cuaca umumnya kering. Dari definisi para praktisi
meteorologi Amerika dikembangkan suatu angka atau indeks yang disebut indeks Palmer (1965),
yang menghubungkan kondisi tingkat kekeringan curah hujan dengan kondisi evapotranspirasi.
Kekeringan pertanian diartikan sebagai kondisi kering akibat rendahnya kelembapan tanah yang
menyebabkan layunya tananman dan berlanjut pada turunnya produktivitas panenan. Sementara
itu, kekeringan hidrologis diartikan sebagai kurun waktu atau periode dimana ketersediaan air dan
air tanah tidak cukup untuk kehidupan. Kekeringan sosial - ekonomis diartikan sebagai kondisi
masyarakat saat mengalami kegagalan panen atau kegiatan usaha pertanian dan perkebunan yang
menyebabkan kerawanan pangan dan sosial.

Bila keempat pengertian terscbut dikaji lebih rinci dan mendalam, maka definisi kekeringan
meteorologis agaknya lebih tepat digunakan sebagai tolok ukur dalam pengembangan dan
penelitian lebih lanjut. Sebagaimana ketersediaan air di permukaan dan air tanah yang dibutuhkan
pertanian, hidrologi, dan manusia sangat bergantung pada pasokan air alami dari atmosfer, maka
kekeringan meteorologis merupakan bagian utama dalam pembahasan ini. Ada tidaknya pasokan air
dari atmosfer sangat bergantung pada sistem cuaca, iklim global, regional, atau lokal. Sistem cuaca
dan iklim ini mengandung arti yang luas, mulai dari pembagian energi matahari di muka bumi
(insolasi), gerakan massa udara, yang disebut sirkulasi udara, yang menimbulkan proses gerak
(momentum) dan panas (energi), serta transformasi uap air yang menyebabkan pertumbuhan awan
dan hujan, atau sebaliknya tak berawan dan kering.

Digunakannya istilah kekeringan meteorologis dalam pembahasan ini didasarkan pada kemudahan
dalam memperoleh data dan informasi dibandingkan dengan ketiga kondisi kekeringan lainnya, yaitu
pertanian, hidrologis, dan sosial-ekonomis. Data kondisi kekeringan meteorologis di Indonesia
dikelola oleh Badan Meteorologi dan Geofisika yang mempunyai jaringan pemantauan mcteorologi
cukup luas sedangkan data untuk kondisi kekeringan yang lain sulit diperoleh karena belum dikelola
dengan baik di Indonesia.

9.2.2 Tanah Kering Dunia

Perlu dibedakan antara kekeringan (drought) dan kondisi kering (aridity). Kekeringan adalah
kesenjangan antara air yang tersedia dengan air yang diperlukan, sedangkan ariditas (kondisi kering)
diartikan sebagai keadaan dengan jumlah curah hujan sedikit. Kekeringan dapat terjadi oleh
beberapa faktor di daerah dengan jumlah curah hujan banyak. Sementara itu, ariditas merupakan
jabaran iklim didaerah tertentu yang dapat dikatakan tetap.

Kondisi kering disebabkan oleh kombinasi antara kurangnya jumlah curah hujan (sebagai masukan)
dan cvapotranspirasi (sebagai keluaran). Tanah merupakan salahsatu faktor yang menentukan
kemungkinan terjadinya kekeringan. Dalam keadaan tidak ada vegetasi dan jika tanah menerima
pengaruh radiasi surya dan angin, maka evaporasi akan terjadi secara langsung lewat permukaan.
Apabila keadaan ini tidak terkendali, maka dapat menyebabkan kehilangan air yang cukup besar di
daerah pertanian, baik yang memiliki irigasi maupun yang tidak.

Luas tanah kering di Benua Asia (16 juta km²) menduduki nomor 2 di dunia setelah Benua Afrika (18
juta km'). Tetapi dari prosentase total tanah kering, Benua Asia (39%) menduduki nomor 3 di dunia
setelah Benua Australia (81%) dan Benua Afrika (64%). Benua Eropa mempunyai sangat sedikit tanah
kering, yaitu hanya satu juta kilometer persegi atau hanya satu persen dari prosentase total. Tabel
9.3 memperlihatkan tanah-tanah kering pada 5 benua di dunia.

9.2.3 Penyebab Kekeringan

Penyebab kekeringan adalah gerak turun udara (subsidensi) yang berkuasa akibat tekanan tinggi
menghalangi pembentukan awan sehingga kelembapan rendah dan terjadi defisiensi (kekurangan)
curah hujan. Daerah yang dipengaruhi oleh tekanan tinggi semipermanen sepanjang tahun biasanya
daerah gurun, misalnya Gurun Gobi dii Asia, Gurun Sahara dan Kalahari di Afrika.

Belahan bumi selatan benua maritim Indonesia, sebagian kondisi iklimnya dipengaruhi oleh variasi
sel tekanan tinggi yang bergantung pada musim atau gerakan matahari. Kemarau panjang terjadi jika
ada anomali pola sirkulasi atmosfer skala luas yang berlangsung satu bulan, satu musim, atau lebih
lama dari itu.

Untuk sistem monsun Asia, sel tekanan tinggi terjadi pada atau dekat Benua Australia saat musim
dingin di belahan bumi selatan (Juni - Juli - Agustus). Sebagai kontinen maritim tropis, wilayah
Indonesia dipengaruhi oleh pola-pola variabilitas iklim regional bahkan global, yang cenderung
berulang secara periodik dengan periode sekitar 5 tahunan, misalnya ENSO (EI Niño- Southern
Oscillation). Intensitas El Niño ditentukan oleh Osilasi Selatan, yaitu beda tekanan udara antara
Tahiti dan Darwin (keduanya terletak di belahan bumi selatan). Secara spesifik diketahui bahwa
sebagian besar variabilitas atmosfer yang terjadi pada skala waktu bulanan sampai tahunan
dikaitkan dengan variasi temperatur permukaan laut (TPL) di daerah tropis, yang pada gilirannya
menyebabkan variasi tekanan udara permukaan.

Diagram skematik mekanisme terjadinya kekeringan meteorologis di Benua Maritim Indonesia


dapat dilihat pada gambar 9.6. Unsur iklim utama yang berperan dalam mekanisme bencana alam
kekeringan adalah sel tekanan tinggi atau subsidensi.

9.2.4 Hubungan Kekeringan dengan ENSO

Berdasarkan penelusuran hasil kajian sebelumnya dan diskusi dengan seorang praktisi dan
pemprakira cuaca dan iklim di Badan Metcorologi dan Geofisika, diperoleh indikasi bahwa gejala
alam global ENSO, khususnya gejala alam El Niño, sangat erat hubungannya dengan dampak
kekeringan meteorologis di Benua Maritim Indonesia. Lebih lanjut hasil diskusi menyatakan bahwa
ciri akan munculnya kekeringan meteorologis dapat dilihat dari hasil pemantauan kondisi musim
kemarau (April - Oktober) untuk setiap tahunnya. Adapun ciri akan munculnya kondisi kekeringan
meteorologis adalah:
a. Prosentase daerah prakiraan musim Icbih dari 50%, dengan jumlah kumulatif curah hujan pada
musim kemarau yang bersangkutan lebih rendah dari jumlah rata-rata (normal) nya,

b. Kondisi tersebut pada umumnya diikuti dengan awal musim kemarau yang maju dan akhir musim
kemarau yang mundur dari rata-rata (normal) nya.

Dari kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa munculnya kondisi musim kemarau yang cenderung
menjadi kondisi kekeringan meteorologis, secara normal, akan diawali dengan kondisi awal musim
kemarau yang maju dari rata-rata (normal), yang berlanjut dengan penurunan curah hujan dan
diakhiri dengan mundurnya akhir musim kemarau yang bersangkutan atau awal musim hujan
berikutnya mundur. Untuk mengetahui perkembangan kondisi musim kemarau dibuat tabulasi
daerah prakiraan musim di Indonesia. Di mana daerah prakiraan musim tersebut tersebar di seluruh
wilayah Indonesia yang berjumlah 102 daerah. Tabel 9.4 merupakan prosentase daerah prakiraan
musim yang terbagi dalam 3 kategori, yaitu:

a. di atas normal, bila jumlah curah hujan dalam semusim lebih besar dari normalnya,

b. normal, bila jumlah curah hujan kurang lebih mendekati harga normalnya,

c. di bawah normal, bila jumlah curah hujan lebih rendah dari normalnya:

9.2.5 Hubungan Kekeringan dengan Monsun

Faktor utama yang mempengaruhi curah hujan adalah monsun (angin nmusim), selain faktor-faktor
lokal. Monsun Asia dan monsun Australia menunjukkan karakteristik yang berbeda. Monsun Asia
lebih lembap daripada monsun Australia. Perbedaan jumlah curah hujan dari kedua monsun
tersebut disebabkan dua faktor, yaitu:

i) Udara turun di atas Benua Australia pada waktu terjadi monsun timur/tenggara, sebaliknya udara
naik di atas Australia pada waktu monsun barat/barat laut.

ii) Dalam monsun timur, arus udara bergerak di atas laut yang tidak terlalu luas, sedangkan dalam
monsun barat arus udara bergerak di atas lautan luas, sehingga udara dalam monsun barat banyak
mrngandung uap air.

Tabel 9.5 menunjukkan rasio jumlah curah hujan saat monsun barat (Desember, Januari, Februari)
dan monsun timur (Juni, Juli, Agustus) di beberapa stasiun hujan di pesisir utara dan selatan Pulau
Jawa. Terlihat bahwa rasio antara jumlah curah hujan monsun barat dan monsun timur selalu
menunjukkan lebih besar satu. Untuk Stasiun Jepara dan Bangsri, rasio jumlah curah hujan dalam
monsun barat dan monsun timur cukup besar (17,9 dan 16,8). Hal ini disebabkan kedua stasiun
tersebut terletak di depan Gunung Muria sehingga efek orografi berperan dalam peningkatan curah
hujan dalam monsun barat, khususnya pada lereng di atas angin (windward side). Sementara itu,
besarnya rasio jumlah curah hujan dalam monsun barat dan monsun timur di Stasiun Gresik (18,6)
dan Pasuruan (13,9) disebabkan oleh efek lereng di bawah angin (leeward side).

9.2.6 Tingkat Kekeringan

Untuk mengetahui mengetahui tingkat kekeringan di Benua Maritim Indonesia dipakai indeks
kekeringan yang diturunkan dari faktor hujan seperti pada persamaan berikut:

I = R/T
dimana R adalah jumlah curah hujan tahunan (mm) dan T adalah temperatur tahunan rata-rala (K).
Batas kering dipilih 5,0 dengan mempertimbangkan unsur iklim curah hujan dan temperatur di
Benua Maritim Indonesia.

Karena variasi tahunan temperatur sangat kecil, sedangkan curah hujan cukup besar, maka indeks
kekeringan di Benua Maritim praktis lebih dipengaruhi oleh unsur curah hujan daripada temperatur
udara. Tabel 9.6 dan gambar 9.7 menunjukkan distribusi indeks kekeringan pada lintang 7,5°U - 10°S
dan bujur 95°T 140°T dalam tahun pra ENSO 1996, tahun ENSO 1997, dan tahun pasca ENSO 1998.
Dari tabel terlihat bahwa indeks kekeringan rata-rata dalam tahun ENSO mempunyai nilai terkecil
dibandingkan nilai dalam pra dan pasca ENSO. Kecilnya nilai indeks kekeringan dalam tahun ENSO
lebih disebabkan oleh kecilnya jumlah curah hujan ketimbang oleh unsur iklim temperatur udara.

Anda mungkin juga menyukai