Anda di halaman 1dari 6

CUACA DAN IKLIM DI INDONESIA

Jika membahas tentang cuaca dan iklim, ada beberapa poin penting yang akan dibahas
yaitu : Siklus cuaca harian, Curah hujan, musim hujan dan kemarau, monsoons (musim)
perubahan arah angin, El - Nino (little boy) dan La - nina (little girl).

A. Siklus Cuaca Harian di Indonesia

cuaca adalah keadaan udara yang terjadi disuatu tempat dengan keadaan waktu yang
singkat. Indonesia berada di daerah katulistiwa yang dikenal sebagai benua maritim.
Karakteristik dari unsur-unsur meteorologi khususnya curah hujan di atas wilayah Indonesia
sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim monsun yakni adanya perbedaan musim basah dan
musim kering yang jelas. Tingginya variabilitas iklim, pergeseran awal musim dan adanya
fenomena iklim ekstrim merupakan indikator terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan
global. Perubahan iklim sebagai perubahan rata-rata dan atau variabilitas faktor-faktor yang
berkaitan dengan iklim dan berlaku untuk satu periode yang panjang, umumnya puluhan
tahun atau lebih. Perubahan iklim secara statistik didefinisikan sebagai perubahan
kecenderungan baik naik atau turun dari unsur – unsur iklim yang disertai keragaman harian,
musiman maupun siklus yang tetap berlaku untuk satu periode yang panjang. Perubahan
iklim diukur berdasarkan perubahan komponen utama iklim, yaitu suhu atau temperatur,
musim (hujan dan kemarau), kelembaban dan angin. Dari variabel-variabel tersebut variabel
yang paling banyak dikemukakan adalah suhu dan curah hujan (Susilokarti, 2015).

B. Curah Hujan

Pola hujan di Indonesia di bagi menjadi tiga region yaitu region A, region B dan Region
C. Setiap region memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Region A memiliki satu puncak
hujan dan satu puncak kemarau. Region B memiliki dua kali puncak hujan yaitu pada bulan
Oktober-November dan pada bulan Maret- Mei. Kedua puncak tersebut terkait dengan
pergerakan selatan dan utara dari inter tropical convergence zone(ITCZ). Region C memiliki
satu puncak hujan yaitu pada bulan Juli sampai Juni dan satu puncak kemarau pada bulan
November sampai Februari (Rahayu; dkk, 2018).

Pengaruh faktor fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya terhadap unsur-unsur


iklim/cuaca telah menghasilkan 3 (tiga) tipe curah hujan, yakni: tipe ekuatorial, tipe monsun
dan tipe lokal. Ada beberapa faktor fisis penting yang ikut berperan terhadap proses
terjadinya hujan di wilayah Indonesia, di antaranya adalah: posisi lintang, ketinggian tempat,
pola angin (angin pasat dan monsun), sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan
dan gunung-gunung yang tinggi. Faktor-faktor tersebut, secara bersama-sama atau gabungan
antara dua faktor atau lebih akan berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan.
Berdasarkan proses terjadinya, paling tidak ada 3 tipe pola curah hujan yang terjadi di
wilayah Indonesia, yakni tipe ekuatorial, monsun dan lokal (Tukidi, 2010)

Indonesia terletak di antara dua samudra besar, yakni Samudra Pasifik di sebelah timur
laut dan Samudra Indonesia di sebelah barat daya, kedua samudra ini merupakan sumber
udara lembab yang banyak mendatangkan hujan bagi wilayah Indonesia. Pada siang hari
proses evaporasi dari permukaan kedua samudra ini secara nyata akan meningkatkan
kelembaban udara di atasnya. Keberadaan dua benua yang mengapit kepulauan Indonesia,
yakni Benua Asia dan Benua Australia akan mempengaruhi pola pergerakan angin di wilayah
Indonesia, arah angin sangat penting peranannya dalam mempengaruhi pola curah hujan. Jika
angin berhembus dari arah Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia, maka angin tersebut
akan membawa udara lembab ke wilayah Indonesia dan mengakibatkan curah hujan di
wilayah Indonesia menjadi tinggi, sedangkan jika angin berhembus dari arah daratan Benua
Asia dan Benua Australia, angin tersebut hanya mengandung sedikit uap air dan tidak banyak
menimbulkan hujan (Tukidi, 2010).Jumlah curah hujan rata-rata yang turun di pelbagai
tempat di Indonesia dalam setahun berkitar antara 500 mm sampai lebih dari 5.000 mm, maka
sebenarnya tidak seluruh wilayah Indonesia mempunyai iklim tropis basah. Curah hujan
sebesar 500 mm setahun sebenarnya sudah mendekati gurun untuk daerah panas. Ada
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya iklim “hampir gurun” di beberapa tempat di
Indonesia, di antaranya adalah: (1) letak daerah di pesisir yang arah pantainya sejajar dengan
arah angin, dan (2) letaknya di balik gunung atau pegunungan yang tinggi (Tukidi, 2010).

Pegunungan merupakan penghalang fisik bagi pergerakan angin. Hujan orografis akan
terjadi jika udara lembab terdorong naik karena pergerakannya terhalang oleh keberadaan
pegunungan. Udara yang terdorong naik akan menurun suhunya secara adiabatik dan
menyebabkan terjadinya proses kondensasi. Curah hujan untuk sisi arah datang angin lembab
(windward side) akan tinggi dan pada sisi pegunungan atau gunung di sebelahnya (leeward)
curah hujan akan sangat rendah. Daerah dengan curah hujan rendah ini disebut daerah
bayangan hujan. Sebagai contoh, Pegunungan Bukit Barisan di Pulau Sumatra pada posisi
tegak lurus terhadap arah angin yang membawa udara lembab dari Samudra Indonesia
(Tukidi, 2010).
C. musim hujan dan kemarau

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang hanya memiliki dua musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Secara umum, musim hujan di Indonesia terjadi saat muson barat
sedangkan musim kemarau terjadi saat muson timur. Meskipun musim terjadi secara
periodik, namun musim dapat mengalami pergeseran seperti semakin lamanya musim
penghujan dan semakin mundurnya musim kemarau. Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya pergeseran musim di wilayah Indonesia adalah fenomena Indian Ocean Dipole
(IOD).Fenomena IOD merupakan fenomena yang terjadi karena adanya perbedaan anomali
suhu permukaanlaut di Samudera Hindia bagian barat dengan bagian timur. Fenomena IOD
dapat menyebabkan penurunan maupun peningkatan suhu permukaan laut yang disertai
dengan penurunan maupun peningkatan curah hujan (Rahayu; dkk, 2018).

Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator, dicirikan oleh musim kemarau
yang singkat dan musim hujan yang panjang, ini terjadi karena tempat-tempat di sekitar garis
ekuator merupakan zona pertemuan dua massa udara yang berasal dari dua belahan bumi.
Posisinya relatif sempit dan berada pada lintang rendah dan dikenal dengan nama Inter-
tropical Convergence Zone (ITCZ) atau juga dikenal dengan nama ekuator panas (heat
equator) atau front equator (equatorial front). ITCZ bergerak menuju ke arah utara saat
musim panas di belahan Bumi Utara dan menuju ke selatansaat musim panas di belahan
Bumi Selatan, posisi rata-rata agak ke utara dari ekuator, di atas lautan jelajah pergerakannya
agak kecil, sedangkan di atas daratan atau benua cukup besar. Tempat-tempat yang lokasinya
bertepatan dengan garis ekuator pada umumnya memiliki curah hujan yang tinggi dan terjadi
2 (dua) kali periode hujan dalam setahun, keadaan seperti ini disebut memiliki pola curah
hujan bimodal. Musim kemarau secara berangsur-angsur menjadi lebih panjang untuk
wilayah yang lebih jauh dari garis ekuator ke arah selatan dan tenggara (Tukidi, 2010).

D. monsoon

Curah hujan juga di pengaruhi oleh adanya angin muson Curah hujan di Indonesia
dipengaruhi oleh monsun yang digerakan oleh adanya sel tekanan tinggi dan sel tekanan
rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan DesemberJanuari-
Februari (DJF) di Belahan Bumi Utara terjadi musim dingin akibatnya terjadi sel tekanan
tinggi di Benua Asia, sedangkan di Belahan Bumi Selatan pada waktu yang sama terjadi
musim panas, akibatnya terjadi sel tekanan rendah di benua Australia. Oleh karena terdapat
perbedaan tekanan budara di kedua benua tersebut, maka pada periode DJF bertiup angin dari
tekanan tinggi di Asia menuju ke tekanan rendah di Australia, angin ini disebut Monsun
Barat atau Monsun Barat Laut (Tukidi,2010) Dalam bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) terjadi
sebaliknya, terdapat tekanan rendah di Asia dan sel tekanan tinggi di Australia, maka pada
periode JJA bertiup angin dari tekanan tinggi di benua Australian menuju ke tekanan rendah
di Asia, angin ini disebut Monsun Timur atau Monsun Tenggara. Monsun Barat biasanya
lebih lembab dan banyak menimbulkan hujan daripada Monsun Timur. Perbedaan banyaknya
curah hujan yang disebabkan oleh kedua monsun tersebut karena perbedaan sifat kejenuhan
dari kedua massa udara (angin) tersebut. Pada Monsun Timur arus udara bergerak di atas laut
yang jaraknya pendek, sedangkan pada Monsun Barat arus udara bergerak di atas laut dengan
jarak yang cukup jauh, sehingga massa udara Monsun Barat lebih banyak mengandung uap
air dan menimbulkan banyak hujan dibanding Monsun Timur (Tukidi, 2010).

E. El - Nino dan La - Nina

Nama El-Nino diambil dari bahasa Spanyol yang berarti “anak laki-laki”, sedangkan La-
Niña yang berarti "gadis kecil". El-Niño sekarang merupakan istilah yang dipergunakan lebih
luas dalam kaitannya dengan penghangatan suhu muka laut yang tidak wajar yang berakibat
pada cuaca. Interaksi antara atmosfer dan samudera Pasifik menimbulkan peristiwa El-Niño
dan La-Nina. El Niño adalah episode panas dan La Nina adalah episode dingin di bagian
tengah samudera Pasifik, biasanya diantara Nino 3 (5˚LU-5˚LS, 150˚BT-90˚BB) dan Nino 4
(5˚LU-5˚LS, 160˚BT-150˚BB) dan daerah Nino 3.4 (5˚LU-5˚LS, 180˚-120˚BB) (Tjasyono,
2007).

Fenomena El-Nino dan La-Nina terjadi akibat adanya variabilitas kondisi interaksi antara
lautan dan atmosfer di sepanjang Samudera Pasifik ekuator dari keadaan normalnya.
Peristiwa El-Nino di Indonesia diidentikkan dengan terjadinya musim kering yang melebihi
kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La-Nina yang mampu
menghasilkan curah hujan melebihi batas normalnya. El-Nino akan terjadi apabila perairan
yang lebih panas di Pasifik bagian tengah dan timur meningkatkan suhu dan kelembapan
pada atmosfer yang berada diatasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan
yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut. Bagian barat Samudera
Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di
atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan
curah hujan yang jauh dari normal (Tjasyono, 2007).
Saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur menghangat, justru
perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu (menyimpang dari
biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran massa udara yang berdampak pada
berkurangnya pembentukan awan - awan hujan di Indonesia. Karena air hangat di bagian
pasifik (Australia, Papua Nugini, dan Indonesia) berkurang maka penguapan (evaporasi) juga
menurun. Hal ini mengakibatkan atmosfer di kawasan tersebut memiliki uap air yang sangat
sedikit. Karena uap air yang sangat sedikit, maka curah hujan di kawasan ini juga menurun
sehingga terjadilah kekeringan (kemarau). Semakin kuat dan masif perpindahan masa air
laut,akan semakin lama pula musim kemarau yang ditimbulkannya (Supari, 2007).

Pengaruh El-Nino dan La-Nina berbeda-beda antar wilayah bergantung pada karakteristik
iklim lokal. Wilayah beriklim monsun di Indonesia merupakan wilayah yang terkena dampak
El-Nino terbesar karena terkait dengan sirkulasi angin di belahan bumi Utara (Asia) dan
angin dari belahan bumi Selatan (Australia). Beberapa wilayah yang termasuk dalam iklim
monsun adalah Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Pulau Sumatera bagian selatan.
Dampak El-Nino terhadap iklim di Indonesia akan terasa kuat jika terjadi bersamaan dengan
musim kemarau, sedangkan dampak La-Nina akan terasa sangat kuat bila bersamaan dengan
musim hujan. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari fenomena El-Nino apabila terjadi
bersamaan dengan musim kemarau adalah kekeringan. Jumlah curah hujan bulanan yang
pada umumnya berkurang hingga mencapai bawah normal terjadi di Wilayah Jawa Barat.
Salah satu dampak dari kejadian El -Nino yaitu berkurangnya curah hujan menyebabkan air
tanah yang tersedia semakin menipis. Salah satu sumber air bersih yang banyak digunakan
oleh masyarakat adalah air tanah. Air tanah merupakan komponen penting dalam siklus
hidrologi dari sumberdaya air di daerah aliran sungai(Supari, 2007).
Referensi

Supari M, S. (2007). Sejarah Dampak El - Nino. BMG : Jakarta.

Susilokarti, Dyah., Sigit Suparno Arif. Sahid Susanto. Lilik Sutiarso. IDENTIFIKASI

BERDASARKAN PERUBAHAN CURAH HUJAN DI WILAYAH SELATAN

JATILIHUR KABUPATEN TUBANG, JAWA BARAT. AGRITECH. Vol 35 (1) : 98

– 105.

Tjasyono, B. H. K., dan Harijono, S. W. B. 2007. Meteorologi Indonesia Volume I. BMG :

Jakarta.

Tukidi. 2010. Karakter Curah Hujan Di Indonesia. Jurnal Geografi. Vol 7 (2) : 136 - 145.

Anda mungkin juga menyukai