Siklus Hidrologi
97% air di bumi
berada di lautan
78% hujan terjadi
di lautan
86% evaporasi
global dari lautan
Evapotranspirasi
-TRANSPORT-
Hujan-Sistem
Hidrologi
Daratan
Musim hujan yang dipengaruhi oleh posisi ITCZ dengan posisi geografis Indonesia menghasilkan
tiga tipe hujan dominan berdasarkan pola hujan : MOONSON-EQUATORIAL- LOKAL (Tjasyono
dan Bannu, 2003)
Monsoon dan pergerakan ITCZ berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi tahunan
di Indonesia (seasonal) , [Aldrian, 2003].
Antara dua Samodera Hindia dan Samodera Pasifik
o Fenomena ENSO
o Fenomena Dipole Mode
Fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan di
Indonesia (interannual), [Visa, 2007].
4
Hidrometeorologi
Daur Ulang
Desember
Januari
Februari
Hujan
Proporsi sumber
Maret
lokal dan non
April
Mei
lokal bervariasi
musiman
Pengaruh variasi
Juni
Juli musiman pola
Agustus
angin global,
misal Inter-tropical
September Convergence
Oktober
November Zone (ITCZ)
Pembagian Berdasarkan Musim
Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ)
Berdasarkan Threwartha dan Horn (1968), ITCZ adalah garis atau zona yang
berkaitan dengan pusat sirkulasi siklonik yang memiliki tekanan udara yang
sangat rendah dari daerah sekitarnya dan berada di antara dua cekungan
equatorial. ITCZ merupakan daerah pertemuan angin yang membentuk awan
penghasil hujan yang berada di sekitar wilayah itu sehingga hujan turun cukup
deras secara berkesinambungan.
Inter-tropical Convergence Zone
(ITCZ)
• Intertropical Front
• Monsoon through
• Doldrums
• Equatorial Convergence Zone
• Daerah pumpunan awan aktif
• Zona Potensi Pertumbuhan Awan
• Daerah Konvergensi Lintas Tropis
Normal SST
Peningkatan suhu di Samudra Pasifik yang melebihi kondisi normal ini berakibat
pada pelemahan sirkulasi Walker. Sirkulasi Walker adalah sirkulasi angin zonal
(sejajar lintang) timur-barat yang terjadi dari Samudra Pasifik Timur menuju Pasifik
Barat (dekat wilayah Indonesia). Pada keadaan normal, berembus angin dari timur
(Pasifik) ke barat (Indonesia). Angin yang berembus dari Pasifik ini membawa
banyak uap air sehingga bila telah sampai di wilayah Indonesia maka angin
tersebut akan bergerak naik (terjadi konveksi) sehingga terbentuklah awan dan
hujan.
Namun, apabila terjadi El Nino, angin timur yang dihasilkan oleh sirkulasi Walker
dari Samudra Pasifik menuju Indonesia akan melemah. Pelemahan angin timur ini
akan menghentikan terjadinya konveksi di atas Indonesia, sebaliknya konveksi
yang berlebihan terjadi di wilayah Pasifik. Tidak adanya konveksi di wilayah
Indonesia akan berefek pada kekeringan yang berlebihan pada musim kemarau
tahun ini.
Why El Niño occurs?
El Nino is thought to occur due to changes in the normal patterns of trade
wind circulation. (El Nino terjadi karena perubahan pola normal sirkulasi
pertukaran angin).
Normally, these winds move westward, carrying warm surface water to
Indonesia and Australia and allowing cooler water to upwell along the
South American coast. (Normalnya, angin ini bergerak ke barat,
membawa permukaan air yang hangat ke Indonesia dan Australia, dan
membuat air yang lebih dingin naik sepanjang pantai Amerika Selatan).
For reasons not yet fully understood, these trade winds can sometimes be
reduced, or even reversed (Belum jelas pertukaran angin ini kadang-
kadang dapat berkurang atau bahkan berbalik arah).
This moves warmer waters toward the coast of South America and raises
water temperatures (Pertukaran angin ini menggerakan air yang lebih
hangat ke pantai Amerika Selatan dan menaikan suhu air).
Warmer water causes heat and moisture to rise from the ocean off
Ecuador and Peru, resulting in more frequent storms and torrential rainfall
over these normally arid countries (Air yang lebih hangat menyebabkan
panas dan kelembaban naik dari laut Ekuador dan Peru, menghasilkan
badai dan hujan yang lebih sering di daerah yang biasanya kering).
Comparison of Normal and El Niño Conditions
Sesuai namanya, IOD dikarakteristikkan oleh anomali suhu muka laut atau SST (Sea
Surface Temperature) antara ‘dua kutub’ Samudera Hindia, yaitu Samudera Hindia barat
(50E-70E,10S-10N) dan tenggara (90E-110E,10S-0S). Perbedaan anomali SST antara
dua daerah ini disebut sebagai Dipole Mode Index (DMI), dan digunakan untuk
mengukur kekuatan dari IOD itu sendiri. Periode di mana DMI bernilai positif umumnya
disebut sebagai periode IOD positif (IOD+), dan sebaliknya, ketika DMI bernilai negatif
disebut periode IOD negatif (IOD-).
Seperti halnya ENSO, IOD juga sangat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di
Indonesia.
Indian Ocean Dipole
(2 kutub Samudra Hindia)
Land-surface air
Siklus ENSO:
El Niño lebih sering
El Niño lebih intense
La Niña lebih jarang
Pemanasan Global dan Hujan
Trenberth (2009):
Kenaikan suhu dan evaporasi: risiko kekeringan naik
pada saat tidak ada hujan
Kenaikan suhu dan kapasitas tampung air atmosfir:
dengan kenaikan evaporasi, risiko hujan dengan
intensitas tinggi naik
Peningkatan hujan lebat: pengurangan durasi dan
frekuensi hujan. Durasi kekeringan juga meningkat di
antara hujan lebat. Risiko banjir naik.
Peningkatan hujan lebat: dikompesasi dengan
pengurangan hujan kecil dan/atau sedang.
Peningkatan hujan lebat: belum tentu diiringi kenaikan
total volume hujan. Penurunan total volume hujan
kemungkinan besar akibat penurunan jumlah hari hujan.
Perubahan decadal curah hujan
Wang and Ding (2006): Hujan di daratan
monsoon menurun 1948-1980 dan mendatar
1980-2003 (sesuai dengan Chase et al. 2003)
Smith et al. (2006): Hujan global di GPCP (1979-
2004) bervariasi secara spatial di daratan dan
lautan dengan rata-rata global mendekati nol
Adler et al. (2008): Perubahan linier hujan
terutama terjadi di daerah tropis.
Perubahan curah hujan tahunan