PERUBAHAN IKLIM TERHADAP POLA HUJAN DIKHUSUSKAN
BAGI PERTANIAN DI PULAU SUMATERA DAN KALIMANTAN
Wanny K. Adidarma1
, Lanny Martawati2, Syofyan D. M.K3, Levina4, Oky Subrata5
1,2 Peneliti Madya Bidang Teknik Hidrologi
3 Peneliti Madya Bidang Teknik Hidrologi/Klimatologi
4 Calon Peneliti Bidang Teknik Hidrologi
5 Peneliti Pertama Bidang Teknik Hidrologi
Pusat Litbang Sumber Daya Air, Jl. Ir. H. Juanda No.193 – Bandung
E‐mail: wannyadi@gmail.com
Diterima: 8 Januari 2010; Disetujui: 22 April 2010
ABSTRAK
Identifikasi dampak perubahan iklim pada pola hujan di Pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi menarik
oleh karena keragaman dari iklim dan keberadaan non Zona Prakiraan Iklim (ZPI) dibandingkan dengan
Pulau Jawa yang hanya mempunyai satu tipe iklim dengan wilayah non ZPI yang dapat diabaikan.
Ketersediaan data hujan yang terbatas mengakibatkan pendekatan yang dilakukan mengarah pada rata
rata lamanya kejadian hujan pada ambang tertentu. Penentuan ambang curah hujan berdasarkan
klasifikasi iklim Oldeman diperuntukkan bagi tanaman padi, palawija, yaitu batas ambang 100–200 mm.
Analisis pengujian trend ratarata lamanya kejadian hujan berbagai batas ambang, mengindikasikan
adanya hubungan antara bentuk durasi dengan pola iklimnya. Pola iklim muson termasuk kategori kekar
(robust) terhadap perubahan iklim dibandingkan dengan pola equatorial, meskipun lama atau panjang
musim basahnya lebih pendek. Pada wilayah equatorial perubahan pola lamanya kejadian hujan sangat
jelas terdeteksi dan pada umumnya berkecenderungan negatif atau durasi musim kemarau makin panjang.
Kata kunci: Pola curah hujan, klasifikasi iklim, trend, robust.
ABSTRACT
Identification of climate change impact to the rainfall pattern in Sumatera and Kalimantan becomes
interesting because of its climate variability and nonclimate prediction zone if compared with Java which
has only one type of climate with nonclimate prediction zone that can be neglected. The limited availability
of rainfall data causes the approach leads to analyze average rainfall duration in certain threshold. The
determination of rainfall duration boundary is based on the Oldeman climate classification for crop and
second crop, i.e. 100200 mm. Analysis of the trend of average rainfall duration in various thresholds,
indicates correlation between length and climate pattern. If compared to the equatorial pattern, the
monsoon climate can be classified as robust toward climate change, although the wet season length is much
shorter. In equatorial areas, change of rainfall duration is clearly detected and generally showing a negative
trend or a longer dry season.
Keywords: Rainfall pattern, climate classification, trend, robust.
Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94 43
PENDAHULUAN
Sumber daya air di planet bumi ini tidak periode 1916‐2000‐an berkecenderungan
dapat dilepaskan dari siklus hidrologi global. bertambah panjang.
Hujan berasal dari penguapan di daratan dan
lautan. Kelengasan tanah digunakan oleh tanaman TINJAUAN PUSTAKA
dan kembali diuapkan ke atmosfir. Air yang tidak
teruapkan dan terpeluhkan (transpirasi) atau tidak 1 Perubahan Iklim
menyerap masuk ke dalam akuifer akan mengalir Secara statistik perubahan iklim adalah
menjadi larian di sungai‐sungai. Hujan badai mem‐ perubahan unsur‐unsurnya yang berkecende‐
bawa kelengasan tambahan, kekeringan terjadi rungan naik atau turun secara nyata disertai
akibat hujan kecil dan kemarau berkepanjangan, dengan keragaman harian, musiman maupun
semuanya mengambil bagian dalam peristiwa siklus. Fenomena iklim ini harus dipelajari dari
iklim. data dengan periode pengamatan iklim yang
Sudah sejak lama Indonesia membangun panjang. Kendala ketersediaan data iklim dalam
banyak sarana untuk penyediaan air seperti periode yang panjang inilah yang dihadapi oleh
bendung, waduk dan jaringan irigasi serta negara berkembang seperti di Indonesia.
bangunan‐bangunan lain untuk mereduksi banjir. Akibatnya identifikasi perubahan iklim sulit untuk
Bangunan tersebut sangat bermanfaat dan berdaya dilakukan.
guna untuk peningkatan kesejahteraan masya‐
rakat, terutama dalam memberikan pengamanan di 2 Pola Hujan
musim banjir dan kemarau serta melayani Indonesia terletak di wilayah kepulauan
kebutuhan air pada kondisi iklim yang biasa. tropis, terpengaruh oleh sirkulasi antara benua
Dengan bangunan tersebut, sejenak dilupakan Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan
akan rumitnya ketergantungan air pada iklim. Atlantik. Walaupun berada di wilayah tropis, tetapi
Secara ilmiah sudah dapat dibuktikan bahwa daratannya tersebar dari dataran rendah hingga
manusia sedang mengubah iklim (Gleick, 2000). pegunungan. Suhu rata‐rata tahunan berkurang
Kajian ini dilakukan untuk menyediakan dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Jadi
data dan informasi sumber daya air, mengenai suhu rata‐rata relatif tinggi di dataran rendah dan
pengaruh perubahan iklim terhadap kondisi suhu rendah di dataran tinggi. Karena letaknya di
sumber daya air sehingga dapat disusun upaya‐ daerah tropis, maka selisih suhu siang–malam
upaya adaptasi yang mengarah pada penekanan lebih besar dari pada selisih suhu musiman (musim
resiko bencana dan peningkatan kinerja sumber kemarau–musim hujan).
daya air. Umumnya musim hujan terjadi antara bulan
Isu perubahan iklim global telah menjadi Oktober hingga April dan musim kemarau terjadi
bahan pembicaraan yang mendunia. Meskipun pada bulan April hingga Oktober. Tjasyono (1999)
demikian masih terasa kurangnya data dan menyatakan Indonesia secara umum dapat dibagi
informasi mengenai dampak perubahan iklim menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola
tersebut terutama terhadap sumber daya air, curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh
sehingga dapat dilakukan antisipasi terhadap Aldrian dan Susanto (2003) yang telah mengkla‐
bencana yang mungkin akan terjadi; juga untuk sifikasikan Iklim Indonesia sebagai berikut:
meningkatkan kinerja pendayagunaan sumber 1) Di sebagian besar wilayah Indonesia pene‐
daya air. rimaan hujan musim penghujan dan musim
Pada penelitian ini, variabel yang akan dikaji kemarau berbeda nyata. Pola demikian dise‐
adalah jumlah curah hujan bulanan periode 1916‐ but pola monsunal.
2000‐an dan dibatasi oleh wilayah Zona Prakiraan 2) Sebagian wilayah sekitar equator musim
Iklim (ZPI). kering tidak nyata. Puncak musim hujan
Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi terjadi dua kali sekitar bulan Desember pada
perubahan iklim termasuk trend dan distribusi saat matahari berada paling Selatan dan pada
frekuensi variabel hidrologi yaitu hujan. Sasaran bulan Juni saat matahari paling Utara. Tipe ini
dari penelitian ini adalah memberikan gambaran disebut tipe Equatorial.
akan besarnya pengaruh perubahan iklim yang 3) Sebagian wilayah bagian Utara hujan terjadi
terjadi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan pada saat wilayah A dan B mengalami musim
terutama yang berdampak pada bidang pertanian. kemarau. Tipe ini disebut tipe lokal.
Kejadian hujan bulanan kurang dari Pembagian klasifikasi iklim tersebut dapat
100_mm berdasarkan penggolongan tipe dilihat pada Gambar 1. Pola Moonson dicirikan
agroklimat Oldeman secara berturut‐turut dari oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal
44 Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94
(satu puncak musim hujan yaitu sekitar dua tipe sebaran hujan yaitu tipe muson dan tipe
Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif equatorial, namun sebagian besar didominasi oleh
tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam tipe equatorial. Karakteristik tipe muson ini sama
bulan berikutnya rendah (biasanya disebut musim seperti yang terjadi di Pulau Jawa, yakni dalam
kemarau). Secara umum musim kemarau berlang‐ setahun terjadi satu kali musim basah dan satu kali
sung dari April sampai September dan musim musim kemarau.
hujan dari Oktober sampai Maret.
Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan 3 Penggolongan Tipe Iklim
dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan Oldeman (1975) membuat dan menggo‐
yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan longkan tipe agroklimat di Indonesia berdasarkan
Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola pada kriteria bulan‐bulan basah dan bulan‐bulan
lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal kering secara berturut‐turut.
(satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan 1) Bulan Basah (BB): Bulan dengan curah hujan
dengan pola hujan pada tipe monsunal. Wilayah satu bulan > 200 mm.
Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian 2) Bulan Lembab (BL): Bulan dengan curah
besar mempunyai pola hujan equatorial, hujan satu bulan antara 100‐200 mm.
sedangkan pola hujan moonson terdapat di pulau 3) Bulan Kering (BK): Bulan dengan curah hujan
Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. satu bulan < 100 mm.
Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola
hujan lokal adalah Ambon (Maluku). (Wordpress, METODOLOGI
2006). Berdasarkan penggolongan besaran hujan
BMKG membagi Indonesia menjadi 220 dari Oldeman dibuat klasifikasi hujan lebih besar
Zona Prakiraan Iklim yang disingkat sebagai ZPI, dari 200 mm, hujan lebih kecil dari 200 mm dan
setiap zona dengan sendirinya mempunyai hujan lebih kecil dari 100 mm. Kajian percentile
karakter yang sama terutama dalam konteks hujan hujan sangat membantu untuk mengindikasikan
bulanan sehingga hujan musimannya dapat kejadian ekstrim (Haylock and Nicholls, 2000) dan
ditentukan. Berbeda halnya dengan Pulau Jawa, dipilih hujan dengan persentil 20% lebih besar dan
sebagian besar wilayah Pulau Sumatera dan Pulau lebih kecil. Persentil hujan 20% lebih kecil, sama
Kalimantan terdiri dari non‐ZPI atau wilayah yang dengan percentile hujan 80% lebih besar.
perbedaan musim hujan dan kemaraunya tidak Keterbatasan data hujan bulanan di
jelas, seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Sumatera dan Kalimantan mengakibatkan deret
Kombinasi dari kedua sistem pembagian tersebut data tidak menerus atau terputus‐putus sehingga
menghasilkan suatu karakteristik lamanya aplikasi statistik mengalami kesulitan, oleh sebab
kejadian hujan yang unik untuk setiap lokasi. itu pendekatan yang dilakukan adalah:
Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan memiliki
Gambar 1 Tipe Sebaran Hujan di Indonesia (Sumber: E. Aldrian dan Susanto, 2003)
Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94 45
Gambar 2 Peta Pembagian Zona Prakiraan Iklim (ZPI) di Sumatera (Sumber: BMG, 2007)
Gambar 3 Peta Pembagian Zona Prakiraan Iklim (ZPI) di Kalimantan (Sumber: BMG,
2007)
1) Membagi data menjadi tiga periode yaitu mm; hujan>R 80%; hujan<R 80%) yang
1916‐1950; 1951‐1980 dan 1981‐2000an. terjadi secara berturut‐turut.
2) Menghitung rata‐rata jumlah bulan basah dan 3) Hujan rata‐rata bulanan dan musiman diuji
bulan kering dengan batas ambang tertentu trend dan perubahan distribusinya.
(hujan>200 mm; hujan<200 mm; hujan<100
46 Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94
Uji statistik untuk keberadaan trend dan kriteria karena ketersediaan data sangat terbatas,
perubahan distribusi menggunakan SPSS. Hasil kriteria pertama dan kedua dikhususkan bagi
pengujian menggambarkan adanya trend yang pengujian adanya trend atau perubahan distribusi
signifikan atau tidak ada trend yang signifikan agar dampak perubahan iklim dapat terdeteksi.
(Mann Kendall) serta adanya perubahan distribusi Kriteria 3 diterapkan agar pola lamanya kejadian
yang nyata dan tidak adanya perubahan distribusi hujan di seluruh kawasan dapat terlihat jelas.
yang nyata (Mann Whitney). Deret data hujan bulanan yang tidak
menerus, mengakibatkan deret durasi terputus‐
1 Lokasi Penelitian putus sehingga ditempuh langkah menghitung
Lokasi kegiatan penelitian adalah Pulau frekuensi dari setiap durasi dari 1‐23 bulan dan
Sumatera dan Pulau Kalimantan. merata‐ratanya dengan jalan menjumlahkan
pengalian setiap durasi dengan probabilitasnya.
2 Ketersediaan Data Curah hujan <200 mm setiap bulan
menggambarkan kejadian berturut‐turut seperti
Peta ketersediaan data menginformasikan contoh pos Lhokseumawe di bulan Oktober rata‐
kondisi data secara umum agar mampu melangkah rata mengalami 5 bulan dengan curah hujan
masuk ke dalam tahap metodologi. Metodologi kurang dari 200 mm (menggunakan rata‐rata
yang digunakan di Pulau Jawa tidak mungkin dapat probabilitas). Rata‐rata aljabar diperoleh dari rata‐
diterapkan pada kondisi data seperti Pulau rata curah hujan periode tertentu, dihitung bulan
Sumatera dan Pulau Kalimantan. Metodologi yang yang kurang dari 200 mm dan dijumlahkan bulan‐
terpilih juga mempertimbangkan asas manfaat bagi bulan dengan kejadian berturut turut. Cara yang
para pengguna air yang sebagian besar adalah terakhir menghasilkan garis lurus karena
sektor pertanian. diakumulasikan secara langsung sedangkan cara
Data yang berhasil dikumpulkan hanya yang pertama lebih mampu menggambarkan
terbatas pada hujan bulanan, sedangkan data debit durasi yang sebenarnya.
aliran sangat sedikit sehingga sulit untuk dilakukan Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
elaborasi lanjutan. Penerapan metodologi pada deret data hujan yang terpilih terisi lebih dari 50%
kumpulan data yang sudah disaring merupakan data pada setiap periode. Periode pertama (1916‐
tantangan yang harus diselesaikan melalui 1950), periode kedua (1951‐1980), dan periode
modeling yang harus dikembangkan agar proses terakhir (1981‐2000an) serta setiap periode dihi‐
analisis menjadi lebih efisien dan efektif. Model tung rata‐rata durasinya dan diperiksa apakah ada
Elaborasi Hujan Bulanan dikembangkan untuk perubahan dari periode ke periode. Terjadinya
mengakomodasi semua keperluan analisis dari perubahan trend maupun perubahan distribusi
awal sampai akhir. tersebut menengarai dampak perubahan iklim.
Data yang dikumpulkan meliputi data hujan,
data jumlah ha sawah kena puso akibat banjir dan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
kekeringan. Untuk Kalimantan pos hujan yang
dapat dikumpulkan mencapai 221 buah dan untuk Karakteristik hidrologi Pulau Sumatera dan
Sumatera mencapai 875 buah. Berdasarkan data Kalimantan didominasi oleh tipe equator dan
hujan yang telah dikumpulkan dari keseluruhan sebagian besar dari kedua pulau tersebut termasuk
pos baik di Sumatera maupun Kalimantan. Maka dalam kelompok non‐ZPI (BMG, 2007), yang tidak
dapat disimpulkan bahwa: jelas perbedaan musim basah dan keringnya.
1) Untuk periode 1981‐2006, sekitar 90% dari Berdasarkan kedua sistim tersebut (tipe sebaran
keseluruhan pos baik di Sumatera maupun hujan dan pen‐zona‐an) maka penelitian ini
Kalimantan, data hujan yang tersedia kurang mendasarkan hasilnya pada kedua tatanan
dari 25%; tersebut dengan cara memolakan hujan bulanan
2) Periode 1951‐1980 hampir 70% dari dan tahunan yang dilakukan melalui kajian
keseluruhan pos di Sumatera dan Kalimantan, lamanya kejadian hujan berdasarkan Klasifikasi
data yang tersedia kurang dari 25%; dan Iklim Oldeman.
3) Periode 1916‐1950 hanya 45% pos dari Uji statistik untuk keberadaan trend dan
keseluruhan pos di Sumatera dan Kalimantan perubahan distribusi dilakukan dengan mengguna‐
data yang tersedia kurang dari 25%. kan SPSS. Hasil pengujian menggambarkan adanya
trend yang signifikan atau tidak ada trend yang
3 Kerangka Pikir signifikan (Mann Kendall) serta adanya perubahan
Garis besar kerangka pemikiran dari distribusi yang signifikan dan tidak adanya
penelitian seperti terlihat pada diagram pada perubahan distribusi yang signifikan (Mann
Gambar 4. Tatanan kajian dibagi menjadi tiga Whitney).
Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94 47
Gambar 4 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
48 Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94
hujan >200 mm menggambarkan musim basah muson non‐ZPI masih mengikuti unimodal tetapi
untuk tipe muson sangat mudah dibaca, karena garis yang membentuk tidak sejelas yang pertama.
polanya unimodal, lain halnya dengan tipe equator Perubahan lamanya kejadian hujan tipe muson
yang bimodal, di mana puncak nilai terbesar sulit periode 1 dibandingkan periode yang lain kurang
dideteksi seperti terlihat pada Gambar 5 seperti signifikan, tetapi pada tipe equatorial perubahan
Sabang, Lhokseumawe dan Tarempa serta untuk yang signifikan lebih sering terjadi. Pemeriksaan
kelompok 2 Buluh Tumbang (kurang signifikan). berikutnya dilakukan pada kelompok 3 (hanya 1
Yang masuk kelompok non‐ZPI muson adalah periode saja, 1981‐2000an) yaitu di Branti (nomor
Buluh Tumbang dan Tarempa, sehingga perbedaan pos 242b, Provinsi Lampung, tipe muson, ZPI no.
musim tidak sesignifikan yang lain. 23) dan Ranai (nomor pos 268, Provinsi Bangka
Lamanya kejadian hujan dengan curah hujan Belitung, tipe muson, non‐ZPI). Pada pos 242b
>200 mm untuk tipe monsunal lebih kecil dari 2 (Branti) terbentuk pola unimodal yang jelas seperti
bulan serta perbedaan dari ketiga periode tidak yang telah disimpulkan pada kelompok 1 dan 2, hal
terlalu signifikan, tetapi untuk tipe equatorial ini menguatkan pernyataan simpulan sebelumnya.
perbedaan antar ketiga periode sangat signifikan Pada Wilayah Kalimantan bentuk pola di
dan biasanya di periode 3 menurun drastis wilayah tipe muson (pos Sambas) sangat jelas
(Bengkulu, Padang Panjang, Pinang Sore, Gunung perbedaannya antara musim basah dan kering
Sitoli, Tanjung Pinang, Dabo, Talang Betutu, dan meskipun ada pada daerah non‐ZPI. Ketapang juga
Buluh Tumbang). Penurunan lamanya kejadian mengandung pola yang jelas tetapi menjadi kurang
hujan >200 mm menengarai lama musim basah jelas untuk periode 3, pos ini ada pada wilayah tipe
berkurang atau musim kemarau bertambah equatorial dengan ZPI 168, serta merupakan satu‐
panjang. satunya pos dari lima pos di Kalimantan yang
Gambar 5 menunjukkan bahwa lamanya periodenya turun. Tiga pos yang lain sangat dipe‐
kejadian hujan dengan curah hujan >200 mm di ngaruhi oleh karakter equatorial yang rata‐rata
wilayah tipe monsunal dengan ZPI tertentu mengi‐ mengalami kenaikan curah hujan >200 mm di
kuti pola unimodal yang jelas, untuk wilayah tipe sepanjang tahun untuk Ngabang dan sebagian
Tabel 1 Pos Hujan Terpilih Menurut Kriteria 1 dan 2
No ZPI Tipe Sebaran Provinsi Nama Pos No. Pos
Non ZPI Equator Bengkulu BENGKULU 13
Non ZPI Equator Bengkulu TABING 43a
8 Equator Sumbar PADANG PANJANG 53
Non ZPI Equator Sumbar PINANG SORE 82
Non ZPI Equator Tapanuli GUNUNG SITOLI 93
Non ZPI Equator Tapanuli MEULABOH 102
Non ZPI Equator Aceh TANJUNG PINANG 166
Non ZPI Equator Riau DABO 171
15 Equator Jambi MUARA BUNGO 179
19 Equator Palembang TALANG BETUTU 191a
25 Equator Bangka Belitung PANGKAL PINANG 257
Non ZPI Equator Bangka Belitung TAREMPA 267a
1 Equator Aceh BLANG BINTANG 107c
1 Muson Aceh SABANG 108b
5 Equator Sumut POLONIA 127i
10 Equator Riau PEKANBARU 156b
14 Equator Jambi SULTAN TAHA 175b
14 Equator Jambi JAMBI 178c
Non ZPI Muson Bangka Belitung BULUH TUMBANG 262b
Non ZPI Equator Kalbar PONTIANAK 273
Non ZPI Equator Kalbar NGABANG 277
Non ZPI Equator Kalbar SANGGAU 278
Non ZPI Muson Kalbar SAMBAS 270
168 Equator Kalteng KETAPANG 285
Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94 49
tahun un ntuk pos yangg lain. artiaan jumlah hu ujan dengan curah hujan n bulanan
Dii Sumatera hasil
h analisiss kajian lam
manya <200 0 mm makin n besar atau jumlah hujan dengan
kejadian hujan menu unjukkan bahhwa karakterristik curaah hujan bulanan >200 mm m makin pend dek.
pola sebbaran durasi sangat iden ntik dengan pola Kalimantaan mempun nyai karakter yang
sebaran monsunal dan equatorrial dan terrlihat sedikit berbeda hanya satu dari lima pos p yang
bahwa hujan
h yang dipengaruhi monsunal lebih men ngalami pergeeseran sejalan n dengan perriode 1 ke
kekar (robust)
( dibandingkan equatorial, lebih 2 daan 3 yaitu dii Ketapang satu‐satunya pos yang
tahan terrhadap pengaaruh perubah han iklim. Empat ber ZZPI.
pos hujan dari 5 pos yang termasuk dalam d
kelompo ok monsunall mempunyaai lama kejaadian 2) Curah Hujan n Bulanan <2 200 mm
hujan >2200 mm yangg lebih kecil dari curah hujan
h Bentuk po ola sebaran ttemporal currah hujan
<200 mm
m sehinggaa dapat din nyatakan baahwa <200 0 mm kebalikan dari cu urah hujan >200
> mm.
wilayah di 4 pos tersebut lebih keering. Sedanggkan, Khusus untuk wiilayah tipe m muson (Lhoksseumawe,
pada willayah tipe equatorial non‐ZPI dari 7 7 pos Sabaang, Buluh Tumbang, Tarempa ditambah
yang adaa, enam pos d dengan curah h hujan >200 0 mm denggan Branti daan Ranai) terlihat bahwa p pola yang
memilikii lama kejaadian hujan n lebih pan njang kekaar ada pada lokasi ber‐Z ZPI dan kuraang kekar
dibandin ngkan dengaan curah hujan <200 mm, padaa non‐ZPI. Lh hokseumawee dan Sabangg lamanya
berarti leebih basah. kejadian hujan kurang
k dari 7
7 bulan lebih
h panjang
Paada wilayah equator berr‐ZPI dari 9 9 pos dibaandingkan deengan Buluh Tumbang yaang hanya
yang adaa, 6 pos mengghasilkan jum mlah hujan (ccurah 2,5 bbulan dan Taarempa kuran ng dari 3 bullan untuk
hujan bulanan
b >200 mm) yan ng lebih peendek Bran nti dan Ranai.
dibandin ngkan dengan n curah hujaan bulanan <200 Untuk Pullau Kalimanttan perbedaaan curah
mm, berrarti wilayah h pada 6 po
os tersebut lebih hujaan <200 mm m untuk Samb bas (muson non‐ZPI)
kering. termmasuk robust seperti haln nya untuk currah hujan
Daari ketiga jenis kelo ompok terssebut >200 0 mm sertaa lamanya k kejadian hujjan pada
(pertamaa: muson; kedua:
k equattor non‐ZPI dan musim basah leb bih besar darii musim kering. Sama
ketiga: eqquator ZPI) y yang paling banyak mengaalami halnnya dengan Pulau Sum matera khusu us untuk
perubahaan di periode 3 (1981 1‐2000an) ad dalah muson terutamaa ber‐ZPI ben ntuk pola duurasi juga
equator non‐ZPI, jaddi kelompok ini sangat reentan robuust atau kek kar terhadap p dampak perubahan
terhadap p perubahan n iklim dari 7 pos hujaan 5 iklim
m.
mengalami perubahan jadi maakin jelek dalam d
G
Gambar 5 Pola Lamanya Kejadian Hujaan Lebih dari 2
200 mm (Kriteeria 1)
50 Jurnal Teknikk Hidraulik, Vol.. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94
G
Gambar 5 Pola Lamanya Keejadian Hujan Lebih dari 200 mm (Kriteria 1) (Lanjutan
n)
Keelima pos hu
ujan di Pulau Kalimantan yang unakan dataa dari pos hujan yan
digu ng tidak
termasukk kriteria 1 hanya 5 pos saaja dan terlettak di memmenuhi semu
ua kriteria, yyaitu hanya periode
p 2
sebelah Barat, untu uk memerik ksa wilayah lain (195
51‐1980) denngan data yyang terisi leebih dari
Jurnal Tekknik Hidraulik, V
Vol. 1 No. 1, Jun
ni 2010: 1 – 94 51
Tabel 2 Bentuk Pola Durasi/Jumlah Hujan dengan Curah Hujan Bulanan >200 mm
ZPI Tipe Sebaran No Pos Nama Pos Menurut Grafik
beda musim basah dan kering
Non‐ZPI Equator 281 Sintang Kurang jelas
Non‐ZPI Equator 287 Putusibau Sangat tidak jelas
171 Muson 171 Murung Pudak Sangat jelas
173 Muson 308F Gunung Mas Sangat jelas
173 Muson 308G Bawahan Sangat jelas
173 Muson 308I Kampung Ulin Sangat jelas
173 Muson 308J Kampung Salam Sangat jelas
173 Muson 308K Lawa Sangat jelas
181 Muson (batas) 313C Sanga Dalam Sangat jelas
181 Equator 313D Sipinggan Sangat tidak jelas
183 Equator 323A Kembang Jenggot Kurang jelas
183 Equator 323D Muara Pahu Kurang jelas
182 Equator 325B Muara Ancalang Kurang jelas
Kendall Tau Coefficient Correlation (3 periode)
0.3
Bengkulu
0.2
Tabing
0.1 Padang Panjang
0 Gunung Sitoli
Coef. Corr.
Meulaboh
‐0.1
Muara Bungo
‐0.2
Muara Enim
‐0.3 Sabang
‐0.4 Talang Betutu
Tanjung Pinang
‐0.5
Tarempa
‐0.6
OKT
APR
JAN
FEB
SEP
MAR
AUG
NOV
JUN
MEI
DES
JUL
Gambar 6 Koefisien Korelasi Kendall untuk Pos Hujan Terpilih (1916‐
2000an) di Sumatera, Pengujian Keberadaan Trend pada
Deret Percentile
52 Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94
Kendall Tau Coefficient Correlation (2 periode)
0.3
0.2 Blang Bintang
0.1 Lhokseumawe
Coef. Corr.
0 Sultan Taha
‐0.1 Polonia
Pekan Baru
‐0.2
Pangkal Pinang
‐0.3
Pinang Sorek
‐0.4 Buluh Tumbang
OKT
FEB
APR
JAN
SEP
AUG
MAR
NOV
JUN
MEI
DES
JUL
Gambar 7 Koefisien Korelasi Kendall untuk Pos Hujan Terpilih (1950‐2000an) di
Sumatera,Pengujian Keberadaan Trend pada Deret Percentile
Kendall Tau Coefficient Correlation (3 periode)
0.4
0.3
0.2 Ketapang
0.1 Ngabang
Coef. Corr.
0 Pontianak
‐0.1 Sambas
‐0.2 Sanggau
‐0.3
‐0.4
Gambar 8 Koefisien Korelasi Kendall untuk Pos Hujan Terpilih (1916‐2000an) di
Kalimantan, Pengujian Keberadaan Trend pada Deret Percentile
berdasarkan Oldeman dan perencanaan irigasi sampel lebih kecil mencakup 2 periode, sebagian
yang menggunakan R80% sebagai dasar. besar pos hujan di sepanjang tahun memiliki
koefisien korelasi negatif, sehingga dikategorikan
2 Hasil Uji pada Deret Percentile Hujan mengandung trend cukup signifikan (Gambar 7).
Percentile hujan bernilai nol sampai dengan Berbeda halnya dengan Sumatera yang
satu berasal dari deret hujan bulanan bernilai dari sebagian besar memiliki korelasi negatif atau hujan
nol sampai ratusan kadang‐kadang mencapai menurun, Kalimantan mempunyai beberapa pos
seribu. Percentile dihitung dari nomor urut (dari yang memiliki koefisien positif (Gambar 8)
kecil ke besar), dibagi jumlah data setiap bulan. terutama di bulan Januari‐Maret, variabilitas hujan
Untuk deret waktu panjang, pos‐pos hujan pada di Kalimantan lebih tinggi dibandingkan Sumatera.
wilayah Sumatera hampir di sepanjang tahun
(Januari‐Desember) koefisien korelasinya bernilai 3 Hasil Uji Statistik pada Deret Durasi Rata
negatif yang menengarai kecenderungan hujan rata Per Periode.
mengecil, sehingga dikategorikan mengandung Hujan kurang dari 200 mm merupakan
trend yang signifikan (Gambar 6). Untuk ukuran patokan dari Oldeman untuk melihat ketidak‐
Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94 53
mampuan curah hujan tersebut memenuhi kebu‐ dengan rincian sebagai berikut:
tuhan air bagi tanaman padi. Hujan kurang dari 1) Pengurangan hujan bulanan hampir di
100 mm khususnya menggambarkan ketidakmam‐ sepanjang tahun di sebagian besar pos hujan
puan untuk memenuhi kebutuhan air untuk dan penambahan hujan terjadi di bulan
palawija. Hasil uji statistik pada deret durasi rata‐ Januari‐Maret untuk Pulau Sumatera sedang‐
rata dari hujan dalam berbagai batas ambang terli‐ kan, untuk Pulau Kalimantan pengurangan
hat bahwa durasi dari hujan lebih dan kurang dari hujan terjadi di bulan setelah Maret.
200 mm yang mengandung trend, lebih sedikit 2) Pengujian keberadaan trend setiap bulan
dibandingkan dengan lamanya kejadian hujan yang belum cukup karena belum menggambarkan
lebih dan kurang dari R80%, seperti terlihat pada deret hujan basah dan kering. Berdasarkan
Tabel 3, Gambar 9, dan Gambar 10. Lamanya keja‐ klasifikasi iklim dari Oldeman ditentukan
dian hujan >R80% makin berkurang dan akibatnya bahwa curah hujan >200 mm
lamanya kejadian hujan <R80% bertambah akibat menggambarkan bulan basah, curah hujan
berkurangnya curah hujan. 100‐200 mm mencerminkan bulan lembab
dan curah hujan <100 mm menunjukkan
KESIMPULAN bulan kering.
3) Pola rata‐rata lamanya kejadian hujan dengan
Dari penelitian yang dilakukan dapat curah hujan >200 mm sama dengan pola
disimpulkan bahwa di Pulau Sumatera dan Pulau sebaran hujan tipe monsunal dan tipe
Kalimantan telah terjadi perubahan pola hujan
Tabel 3 Jumlah Pos Hujan (%) yang Lulus Uji Trend (Kendall) dan Uji
Perubahan Distribusi (Mann‐Whitney) Untuk Berbagai
Batas Ambang Pada Periode 1 (1916‐1950), 2 (1951‐1980),
dan 3 (1981‐2000an)
KENDALL Sumatera Kalimantan
DURASI Positif Negatif Positif Negatif
Hujan > 200 mm 23.1 20
Hujan < 200 mm 38.5 20
Hujan > 80% 7.7 61.5 20
Hujan < 80% 76.9 7.7 40
Hasil Uji Perbedaan Distribusi Durasi Hujan Rata‐rata
Antar Periode Yang Signifikan
90
Prosentase Pos Hujan (%)
80
70
60 Periode 1 dan 2
50
40 Periode 1 dan 3
30
20 Periode 2 dan 3
10
0
Hujan > 200 Hujan < 200 Hujan > Hujan<
mm mm R80% R80%
Batas Ambang
Gambar 9 Jumlah Pos Hujan (%) pada Wilayah Sumatera yang Lulus
Pengujian Perubahan Distribusi Lamanya Kejadian Hujan
Rata‐rata Berbagai Batas Ambang
54 Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94
Gambar 10 Jumlah Pos Hujan (%) pada Wilayah Kalimantan yang Lulus
Pengujian Perubahan Distribusi Lamanya Kejadian Hujan Rata‐rata
Berbagai Batas Ambang
equatorial. Sebaliknya pola kebalikannya ter‐ 6) Sawah yang ditanam pada areal equator non‐
jadi terutama pada rata‐rata lamanya kejadian ZPI di Sumatera sangat rentan akan peru‐
hujan kurang dari 200 mm. Rata‐rata bahan iklim, ditengarai oleh makin pendek
lamanya kejadian hujan lebih dari 200 mm musim basah dan makin panjang musim
dijadikan acuan hubungan bentuk pola kemarau.
sebaran durasi setiap bulan dengan tipe
sebaran hujan (monsunal dan equatorial)
serta ZPI dan non‐ZPI, karena menurut hasil DAFTAR PUSTAKA
pemeriksaan durasi tersebut mempunyai
korelasi yang kuat dengan koefisien
variasinya (lihat Gambar 5.21). Tipe Abdurachman, A., A. Mulyani, N. Heryani, G. Irianto.
monsunal mempunyai perbedaan basah dan 2004. Analisis Perkembangan Sumberdaya
kering yang cukup jelas, hal ini Lahan dan Air Mendukung Ketahanan
mengakibatkan koefisien variasi tinggi. Pangan. Hotel Bidakara‐Jakarta:
4) Periode 1 mencakup tahun 1916‐1950, pe‐ Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi
riode 2 mencakup 1951‐1980, dan periode 3 (WNPG) VIII.
mencakup 1981‐2000‐an. Pola rata‐rata Abdurachman, A. 2005. Pembukaan Lahan Pertanian
durasi di wilayah muson lebih kekar (robust)
Baru Mendukung Revitalisasi Pertanian.
dibandingkan wilayah lain, dalam arti peru‐
Puslitbangtanak Bogor: Laporan Bulanan
bahan dari periode ke periode kurang berarti.
Puslitbangtanak bulan Maret 2005.
Pola rata‐rata lamanya kejadian hujan di
wilayah equator non‐ZPI (kurang terlihat ada Aldrian, Edvin and Dwi Susanto. 2003. Identification
perbedaan musim) sangat rentan terhadap of Three Dominant Rainfall Regions Within
perubahan terutama di Pulau Sumatera, Indonesia And Their Relationship To Sea
dalam arti perubahan lamanya kejadian hujan Surface Temperature. Int. J. Climatol. 23:
dari periode ke periode semakin buruk 1435–1452.
(lamanya kejadian hujan di musim basah
semakin pendek atau lamanya kejadian hujan BMG. 2007. Atlas Curah Hujan di Indonesia Rata‐rata
di musim kemarau makin panjang). 1971‐2000. Jakarta.
5) Di wilayah muson durasi musim basah lebih Gleick, P.H. 2000. Water: The potential
pendek dari musim kemarau untuk Pulau Consequences of Climate Variability and
Sumatera. Sedangkan untuk Pulau Kalimantan
Change for the Water Resources of the
meskipun equator‐non ZPI akan tetapi musim
United States. U.S. Geological Survey.
basah selalu lebih panjang dari kemarau.
Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94 55
Haylock, Malcolm and Neville Nicholls. 2000. Trends Suryana, A., A. Adimihardja, A. Mulyani, Hikmatullah,
In Extreme Rainfall Indices For An Updated dan A. Siswanto. 2005. Prospek Dan Arah
High Quality Data Set For Australia, 1910– Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek
1998. International Journal of Climatology. Kesesuaian Lahan. Balitbang Pertanian,
20: 1553‐1541. Departemen Pertanian.
Khan, Asim Rauf. 2001. Analysis of Hydro‐ Soetamto. 2009. Perubahan Pola Musim dan Curah
meteorological Time Series: Searching Hujan di Indonesia, Forum Discussion
evidence for climatic change in the Upper Group Identifikasi Dampak Perubahan Iklim
Indus Basin. Lahore, Pakistan. pada Sektor SDA. Balai Irigasi, Bekasi.
Nigel, A., L. Chunzhen and R. Compagnucci, et.al. Tjasyono, Bayong. 1999. Klimatologi Umum.
2001. Climate Change 2001: Working Bandung: FMIPA‐ITB.
Group II : Impact, Adaptation and
Tjasyono, Bayong. 2004. Klimatologi. Bandung: ITB
Vulnerability. Chapter 4 : Hydrology and
Press. Cetakan Ke‐2.
water resources. IPCC.
Pamungkas, Putra. 2006. Pola Umum Curah Hujan di
Indonesia. http://klastik.wordpress.com
(accesed March 24, 2009).
56 Jurnal Teknik Hidraulik, Vol. 1 No. 1, Juni 2010: 1 – 94