Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Klasifikasi adalah suatu proses dasar bagi semua ilmu pengetahuan
dengan pengelompokan dalam grup, kelas ataupun tipe. Hal ini juga
berlaku pada ilmu iklim. Bentuk-bentuk klasifikasi iklim antara lain adalah
sistem klasifikasi Koppen, sistem klasifikasi Thornwaite, sistem klasifikasi
Mohr, sistem klasifikasi Schmidt-Ferguson, sistem klasifikasi Oldeman dan
lain-lain.
Klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia dikembangkan dengan
menggunakan curah hujan sebagai kriteria utamanya. Hal ini karena
keragaman (variasi) curah hujan di wilayah ini sangat nyata, sedangkan
unsur-unsur iklim lain tidak berfluktuasi secara nyata sepanjang tahun.
Klasifikasi iklim di Indonesia lebih banyak digunakan untuk mendukung
pertanian. Curah hujan sangat penting karena unsur iklim ini merupakan
faktor pembatas bagi budidaya pertanian secara umum.
Klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson adalah salah satu metode klasifikasi
iklim yang menggunakan data curah hujan sebagai data penunjangnya.
Informasi yang didapatkan dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan
pertanian terutama dalam bidang perkebunan dan kehutanan.
Sistem Klasifikasi iklim Schmidt Ferguson dikembangkan pada tahun
1950. Schmidt adalah guru besar dan pejabat Direktur Lembaga
Meteorologi dan Geofisika di Jakarta, sedangkan Ferguson seorang guru
besar pengelolaan hutan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada
waktu itu. Mereka membuat klasifikasi iklim ini dengan alasan sistem
klasifikasi yang telah dikenal seperti Koppen, Thornwaite dan Thornwaite
kurang sesuai dengan keadaan di Indonesia khususnya mengenai cara
menilai curah hujan. Schmidt dan Ferguson mengakui bahwa sistemnya
adalah merupakan perbaikan dari sistem Mohr yang telah membuat
klasifikasi iklim khususnya untuk daerah tropika (Wisnusubroto, 1999).
Schmidt dan Ferguson (1951) menerima metode Mohr dalam
menentukan bulan basah dan bulan kering dan tiap-tiap tahunnya
kemudian baru diambil nilai rata-ratanya. Stasiun hujan yang datanya
kurang dari 10 tahun dihilangkan (Bayong, 2004). Klasifikasi tipe iklim
menurut

1.2

Rumusan Masalah
1.
Bagaimana cara mengklasifikasikan iklim ?
2.
Bagaimana cara mengetahui curah hujan ?
3.
Bagaimana klasifikasi iklim menurut schmidt-ferguson ?
1

1.3

Tujuan Penulisan
1.
Mengidentifikasi cara mengklasifikasikan iklim.
2.
Mengidentifikasi cara mengetahui curah hujan.
3.
Mengidentifikasi klasifikasi iklim menurut schmidt-ferguson.
BAB II
DASAR TEORI

2.1

Curah Hujan
Curah hujan (mm) merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul
dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak
mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam luasan satu
meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu
millimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Curah hujan kumulatif (mm) merupakan jumlah hujan yang terkumpul
dalam rentang waktu kumulatif tersebut. Dalam periode musim, rentang
waktunya adalah rata-rata panjang musim pada masing-masing Daerah
Prakiraan Musim (DPM).
2.2 Tipe Hujan
Hujan juga memiliki tipediantaranya adalah :
Hujan Siklonik: berasal dari naiknya udara yg dipusatkan di daerah
dgn tek rendah
Hujan Konvektif: berasal dari naiknya udara ke rempat yg lbh dingin
Hujan Orografik: berasal dari naiknya udara krn adanya rintangan
pegunungan
2.3 Iklim
Iklim

merupakan

salah

satu

faktor

pembatas

dalam

proses

pertumbuhan dan produksi tanaman. Jenis - jenis dan sifat - sifat iklim bisa
menentukkan jenis - jenis tanaman yg tumbuh pada suatu daerah serta
produksinya. Oleh karena itu kajian klimatologi dalam bidang pertanian
sangat diperlukan. Seiring dengan dengan semakin berkembangnya isu
pemanasan global dan akibatnya pada perubahan iklim, membuat sektor
pertanian begitu terpukul. Tidak teraturnya perilaku iklim dan perubahan
awal musim dan akhir musim seperti musim kemarau dan musim hujan
membuat para petani begitu susah untuk merencanakan masa tanam dan
masa panen. Untuk daerah tropis seperti indonesia, hujan merupakan
faktor pembatas penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman
pertanian.

Selain

hujan,

unsur

iklim

lain

yang

mempengaruhi
2

pertumbuhan tanaman adalah suhu, angin, kelembaban dan sinar


matahari.
Setiap tanaman pasti memerlukan air dalam siklus hidupnya,
sedangkan

hujan

merupakan

sumber

air

utama

bagi

tanaman.

Berubahnya pasokan air bagi tanaman yg disebabkan oleh berubahnya


kondisi hujan tentu saja akan mempengaruhi siklus pertumbuhan
tanaman.

Itu

merupakan

contoh

global

pengaruh

ikliim

terhadap

tanaman. Di indonesia sendiri akibat dari perubahan iklim, yaitu timbulnya


fenomena El Nino dan La Nina.
Fenomena perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya produksi
kelapa sawit. Selain itu produksi padi juga menurun akibat dari kekeringan
yang berkepanjangan atau terendam banjir. Akan tetapi pada saat
fenomea La Nina produksi padi malah meningkat untuk masa tanam
musim ke dua.
Dari hasil pengamatan ataupun pengukuran yang dilakukan dari
pukul 17. 00 WIB 12. 00 WIB memperoleh hasil untuk pengukuran curah
hujan yaitu 21,4 mm. Mengapa hasil pengukuran dari jam 17. 00 WIB
sampai jam 12. 00 WIB diperoleh hasil yang sama? Hal ini dikarenakan
curah hujan dalam pengamatan yang kita lakukan adalah pengukuran
curah hujan harian. Sehingga secara otomatis diperoleh hasil yang sama.
Pengamatan yang kita lakukan adalah pengamatan pengukuran
curah hujan harian. Yang mana komponen curah hujan adalah semua hasil
tiap menitnya adalah memiliki nilai yang sama. Namun akan beda
hasilnya bila kita mengukur curah hujan bulanan bahkan tahunan.
Dalam pengamatan curah hujan harian, apabila dalam satu hari
tidak ada hujan yang turun bisa dipastikan tidak ada air yang tertampung
didalam penampungan pada alat ombrometer. Hal ini dikarenakan alat
ombrometer hanya memiliki lubang yang sangat kecil. Pada hujan yang
lebat atau deras air yang tertampung hanya sedikit atau bisa dikatakan
tidak akan pernah bisa memenuhi penampung yang ada pada alat
ombrometer. Sedangkan bila tidak ada hujan yang turun, maka bisa
dipastikan tidak ada air yang tertampung. Jika seandainya ada hanyalah
sedikit dan amat kecil, yaitu hasil dari tetesan embun.
Curah hujan harian adalah curah hujan yang diukur selama 24 jam.
Masa 24 jam akan berakhir sesuai dengan tanggal yang tercantum pada
3

waktu.Untuk curah hujan harian dari sumber yang tidak teratur, yaitu
mereka yang laporan bulanan atau mingguan, kemudian jumlah hari
dimana curah hujan diukur. Sekali lagi periode berakhir pada hari lain.
Satuan curah hujan adalah milimeter (mm), yang merupakan ketebalan
air hujan yang terkumpul dalam tempat pada luasan 1 m 2, permukaan
yang datar, tidak menguap dan tidak mengalir.
1.

Rata-rata curah hujan bulanan : Nilai rata-rata curah hujan


masing-masing bulan dengan periode minimal 10 tahun.

2.

Normal curah hujan bulanan : Nilai rata-rata curah hujan masingmasing bulan selama periode 30 tahun.

3.

Standar normal curah hujan bulanan : Nilai rata-rata curah


hujan masing-masing bulan selama periode 30 tahun

2.4 Kriteria intensitas curah hujan :

Hujan sangat ringan : Intensitas < 5 mm dalam 24 jam

Hujan ringan : Intensitas 5 20 mm dalam 24 jam

Hujan sedang : Intensitas 20 50 mm dalam 24 jam

Hujan lebat : Intensitas 50 100 mm dalam 24 jam

Hujan sangat lebat : Intensitas > 100 mm dalam 24 jam

2.5 Kriteria distribusi curah hujan bulanan :

Rendah : 0 100 mm

Menengah : 101 300 mm

Tinggi : 301 400 mm

Sangat Tinggi : > 400 mm

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Perumusan
Q=0,278.C.I.A
Salah satu metode yang umum digunakan untuk memperkirakan
Q
: Debit (m3/detik)
0,27
Konstanta, digunakan jika satuan luas daerah menggunakan
8
: km2
C
: Koefisien aliran
I
: Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A
: Luas daerah aliran (km2)
laju aliran puncak (debit banjir atau debit rencana) yaitu:
3.1.1 Metode Rasional USSCS (1973).
Metode ini digunakan untuk daerah yang luas pengalirannya
kurang dari 300 ha (Goldman et.al., 1986, dalam Suripin, 2004).
Metode Rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa
curah hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan
merata di seluruh daerah pengaliran selama paling sedikit sama
dengan waktu konsentrasi (tc). Persamaan matematik Metode
Rasional adalah sebagai berikut :

Dimana :
Dimana
Di wilayah perkotaan, luas daerah pengaliran pada umumnya
terdiri dari beberapa daerah yang mempunyai karakteristik
permukaan tanah yang berbeda (subarea), sehingga koefisien
pengaliran untuk masing-masing subarea nilainya berbeda, dan
untuk menentukan koefisien pengaliran pada wilayah tersebut
dilakukan penggabungan dari masing-masing subarea. Variabel
luas subarea dinyatakan dengan Aj dan koefisien pengaliran dari
tiap subarea dinyatakan dengan Cj, maka untuk menentukan
debit digunakan rumus sebagai berikut :
Dimana :
Q
Cj
I
Aj

:
:
:
:

Debit (m3/detik)
Koefisien aliran subarea
Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
Luas daerah subarea (km2)

Biasanya dalam perencanaan bangunan pengairan (misalnya


drainase), debit rencana sangat diperlukan untuk mengetahui
kapasitas yang seharusnya dapat ditampung oleh sebuah
drainase, agar semua debit air dapat ditampung dan teralirkan.
Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan intensitas curah
hujan adalah sebagai berikut:
3.1.2 Metode Mononobe

_
dimana :
I
t

R24

:
:

Intensitas curah hujan (mm/jam)


Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)

Curah hujan rencana dalam suatu periode


ulang, yang nilainya didapat dari tahapan
sebelumnya (tahapan analisis frekuensi)

Keterangan :
R24 , dapat diartikan sebagai curah hujan dalam 24 jam (mm/hari)
Contoh kasusnya seperti ini, jika anda ingin mengetahui
intensitas curah hujan dari data curah hujan harian selama 5
menit, pengerjaannya adalah sebagai berikut (jika diketahui
curah hujan selama satu hari bernilai 56 mm/hari) :

_
Ket :
Ubah satuan waktu dari menit menjadi jam. Contoh durasi
selama 5 menit menjadi durasi selama 5/60 atau selama 0,833
jam.
Gampang kan bagaimana cara mendapatkan intensitas curah
hujan dari curah hujan harian.
6

3.1.3 Metode Van Breen


Berdasarkan penelitian Ir. Van Breen di Indonesia, khususnya
di Pulau Jawa, curah hujan terkonsentrasi selama 4 jam dengan
jumlah curah hujan sebesar 90% dari jumlah curah hujan selama
24 jam (Anonim dalam Melinda, 2007).
Perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan
Metode Van Breen adalah sebagai berikut :
_
dimana :
IT
: Intensitas curah hujan pada suatu periode ulang (T tahun)
RT
: Tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)
Dengan nilai yang sama dengan nilai yang digunakan dalam
Metode Mononobe, maka perhitungan intensitas curah hujan
dengan Metode Van Breen, menghasilkan nilai sebagai berikut :

_
Udah liat kan, ternyata nilai intensitas curah hujan selama 5
menit dengan nilai curah hujan harian mencapai 56 mm/hari
dengan menggunakan Metode Van Breen, nilainya lebih besar
dibandingkan dengan perhitungan intensitas curah hujan
menggunakan Metode Mononobe.
3.1.4 Metode Haspers dan Der Weduwen
Metode ini berasal dari kecenderungan curah hujan harian yang
dikelompokkan atas dasar anggapan bahwa curah hujan memiliki
distribusi yang simetris dengan durasi curah hujan lebih kecil dari 1
jam dan durasi curah hujan lebih kecil dari 1 sampai 24 jam
( Melinda, 2007 )
Perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan
Metode Haspers & der Weduwen adalah sebagai berikut :

dimana :
I
: Intensitas curah hujan (mm/jam)
R, Rt
: Curah hujan menurut Haspers dan Der Weduwen
t
: Durasi curah hujan (jam)
Xt
: Curah hujan harian maksimum yang terpilih (mm/hari)
Dengan nilai contoh yang sama, akan tetapi dengan ditambah
dengan durasi 60 menit :

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

10

DAFTAR PUSTAKA

Http: www.infoplease.com/ce6/weather/A0870158.html (diakses tanggal 2


mei 2011
pukul 19. 05 WIB)
Boer, Rizaldi. 2003. Penyimpangan Iklim Di Indonesia. Makalah Seminar
Nasional
Ilmu Tanah. KMIT Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Http : file:///C:/Users/UNSRI/Desktop/index.htm (diakses pada tanggal 3
mei 2011
pukul 07. 35 WIB)
Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Cetakan Ke-dua. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Tjasyono, Bayong. 2004. Klimatologi. Cetakan Ke-2. IPB Press. Bandung

11

Anda mungkin juga menyukai