Anda di halaman 1dari 16

Nama : Agustina Natalia Rindi Bima

Nim : 2106050006

Kelas / Semester : A/ V

Program Studi : Biologi

Tugas MK : Ekologi Lahan Kering

Dosen Pengampu : Prof. M. L. GaoL, M.Si, Ph.D

Pertemuan 4.

PERTANYAAN

1. Buat defenisi menurut anda, apa itu lahan kering?


2. Beri penjelasan, apa perbedaan utama antara pertanian lahan basah dan pertanian
lahan kering? Jelaskan secara singkat apa kendala pengelolaan lahan kering dibanding
dengan lahan basah.
3. Jelaskan apa-apa saja kendala dalam pengelolaan lahan kering di Indonesia
4. Jelaskan apa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan kering.
5. Indeks kekeringan yang umum digunakan antara lain: Standardized Precipitation Index
(SPI), Palmer Drought Severity Index (PSDI), Crop Moisture Index (CMI), dan Surface
Water Supply Index (SWSI). Beri penjelasan mengenai indeks-indeks tersebut.
6. Cari dari literature mengenai gambaran umum luas lahan kering di NTT, beri penjelasan.
7. Beri penjelasan, apa hambatan umum dalam pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan
budidaya pertanian?
8. Jelaskan apa yang dimaksud alley cropping,
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Agroekosistem
10. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis lahan kering berdasarkan Jenis tanahnya.

JAWABAN

1. Definisi Lahan Kering menurut pendapat sendiri:


Menurut saya, Lahan kering merupakan suatu kawasan lahan yang tidak tergenang air
yang memiliki kandungan air yang rendah dan sangat berkaitan dengan daya dukungnya
terhadap kehidupan dan kesejahteraan hidup manusia. Lahan kering sangat
berpengaruh terhadap beberapa faktor seperti penataan ruang yang tidak terkendali,
degradasi lahan, perubahan iklim, dan alih fungsi lahan.
2. Perbedaan utama antara pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering dan kendala
pengelolaan lahan kering dibanding dengan lahan basah.
 Pertanian lahan basah adalah kegiatan pertanian menggunakan lahan basah
(wetlands). Lahan basah yang dimaksud dalam jenis pertanian lahan basah ini
mengacu pada tanah yang kontur lahannya merupakan jenis tanah yang jenuh
dengan air. Menurut Maltby (1986) lahan basah adalah salah satu istilah ekosistem
yang dibentuk oleh dominasi air, dan karakteristik serta prosesnya dikendalikan oleh
air. Ini berarti bahwa tanah di lahan basah memiliki kadar air yang tinggi, bahkan
tergenang air sepanjang waktu. Contoh pertanian lahan basah antara lain
persawahan (padi), lahan gambut, rawa, dan hutan bakau. Sedangkan Pertanian
lahan kering adalah jenis pertanian yang dilakukan di lahan yang kekurangan air.
Lahan kering (drylands) adalah tanah yang cenderung kering dan tidak memiliki
sumber air yang pasti, seperti sungai, danau, atau saluran irigasi. Menurut Hidayat
dkk (2002) lahan kering didefinisikan sebagai lahan yang belum pernah tergenang
atau digenangi air sepanjang tahun atau sepanjang waktu. Contoh pertanian lahan
kering antara lain tanaman kacang-kacangan, tanaman ubi-ubian, tanaman
holtikultira, perkebunan pohon buah, perkebunan pohon hias, dan juga pohon
peneduh.
 Pertanian lahan kering merupakan salah satu jenis pertanian yang dilakukan di
wilayah yang memiliki curah hujan rendah atau tidak teratur. Karakteristik lahan
kering berbeda dengan lahan pertanian pada umumnya karena memiliki potensi
yang kurang optimal untuk mendukung pertumbuhan tanaman, terutama pada
kondisi yang sangat kering dan minim air. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri
dalam memanfaatkan lahan kering untuk kegiatan pertanian yang berkelanjutan di
masa depan. Pertanian lahan kering adalah sistem pertanian yang dilakukan di
daerah yang memiliki curah hujan rendah dan ketersediaan air terbatas. Lahan
kering biasanya terletak di daerah gurun atau semi desert, padang rumput, savana,
atau dataran tinggi yang tidak memiliki air yang cukup untuk mendukung pertanian
irigasi. Kondisi tersebut membuat tanah di lahan kering rentan mengalami erosi dan
degradasi, serta memerlukan teknik budidaya yang khusus agar tanah tetap subur
dan produktif. Dalam pertanian lahan kering, petani harus memanfaatkan air hujan
secara efektif dengan menggunakan teknik penanaman yang tepat dan pengelolaan
tanah yang baik untuk menjaga kesuburan tanah. Teknik budidaya yang umum
digunakan di lahan kering antara lain pengolahan tanah secara konservasi,
penanaman tanaman dengan jarak yang cukup, rotasi tanaman, dan penggunaan
pupuk organik dan pupuk hijau untuk menjaga kesuburan tanah. Budidaya pertanian
di daerah lahan kering menghadapi beberapa kendala akibat kondisi ekstrim dan
tidak bersahabat di wilayah tersebut. Beberapa kendala tersebut antara lain:

1. Keterbatasan air sebagai faktor pembatas dalam memproduksi tanaman


pertanian.
2. Musim tanam yang sangat pendek dan hanya beberapa tanaman yang dapat
dibudidayakan.
3. Tingginya kandungan Sodium Klorida (NaCl) dalam tanah yang menjadi penyebab
utama terjadinya tanah mengandung kadar garam tinggi.
4. Daya kapilaritas tanaman yang sangat tinggi akibat tingginya evaporasi, yang
menyebabkan tanah mengandung kadar garam yang tinggi.
Solusi dalam mengatasi kendala pertanian lahan kering. Beberapa solusi yang
dapat diterapkan untuk mengatasi kendala-kendala dalam pertanian lahan
kering adalah sebagai berikut:
1. Mencari sumber air alternatif untuk pengairan tanaman.
2. Menginformasikan kondisi lahan kering dan cara penanggulangannya kepada
pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat.
3. Menggunakan varietas tanaman yang tahan kekeringan dan sistem irigasi yang
efektif dan efisien.
4. Menerapkan manajemen sumber daya air secara terpadu.
5. Meningkatkan sistem pemanenan air hujan untuk memaksimalkan penggunaan
air yang tersedia.

Dengan menerapkan solusi-solusi tersebut, diharapkan dapat membantu petani dalam


meningkatkan produktivitas pertanian di lahan kering dan mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh kondisi ekstrim dan tidak bersahabat di wilayah tersebut.

Lahan kering ini terjadi sebagai akibat dari curah hujan yang sangat rendah, sehingga
keberadaan air sangat terbatas, suhu udara tinggi dan kelembabannya rendah. Lahan
kering sering dijumpai pada daerah dengan kondisi antisiklon yang permanen, seperti
daerah yang terdapat pada antisiklon tropisme. Daerah tersebut biasanya ditandai
dengan adanya perputaran angin yang berlawanan arah jarum jam di utara garis
khatulistiwa dan perputaran angin yang searah jarum jam di daerah selatan garis
khatulistiwa.

Kondisi lahan kering tersebut mengakibatkan sulitnya membudidayakan berbagai


produk pertanian. Faktor primer yang diperlukan tanaman untuk tumbuh adalah
media tanam, air, cahaya, angin dan nutrisi tanaman. Semua faktor yang diperlukan
tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik tersebut terhambat oleh kondisi daerah
lahan kering yang memiliki iklim dan cuaca ekstrim.

3. Kendala dalam pengelolaan lahan kering di Indonesia:


Lahan kering di Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau
88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4% dari
luas lahan, sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan
yang berada pada ketinggian 0-700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak
pada ketinggian >700 m dpl.(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia. Data
terbaru, menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan
lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan.
Dari total luas lahan kering 148 juta ha, yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya
sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha
atau (93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar sampai
bergelombang (lereng <15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup
23,26 juta ha sedang pada lahan dengan lereng 15−30%, lebih sesuai untuk tanaman
tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan
hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha.
Potensi lahan kering di Indonesia sangat luas. Menurut Biro Statistik tahun 1999 potensi
lahan kering sebagai lahan atasan (upland) dengan luasan seluruhnya 111,4 juta hektar
atau 58,5% dari luas seluruh daratan Indonesia.
Lahan kering di Indonesia kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan
dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut menentukan
mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Relief tanah sangat ditentukan oleh
kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik
lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah
(sawah). Hingga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering
secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah
dataran rendah. Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk
pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan
penduduk yang bermukim di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di
pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah
konservasi akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat.
Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya
bermuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi akan
mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat.
4. Tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan kering:
Beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan meliputi
pengelolaan kesuburan tanah, konservasi dan rehabilitasi tanah, serta pengelolaan
sumber daya air secara efisien. Pengelolaan kesuburan tanah terdiri dari peningkatan
kesuburan kimiawi, fisik dan biologi tanah. Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan
tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan
produktivitas tanah pada level yang tinggi. Pemupukan berimbang dan pemantauan
status hara tanah secara berkala penting untuk dilakukan agar tingkat kesuburan tanah
dapat diketahui. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak
seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat
mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso
dan Sofyan, 2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi
bahan pencemar. Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam
pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk
kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang
tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga
penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu
menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik
sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. Kelangkaan air sering kali
menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering. Oleh karena itu, inovasi
teknologi pengelolaan air dan iklim sangat diperlukan, meliputi teknik panen hujan
(water harvesting), irigasi suplemen, prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan
pola tanam. Pemanenan air dapat dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran
permukaan pada tempat penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan
mengairi tanaman. Oleh karena itu, pemanenan air selain berfungsi menyediakan air
irigasi pada musim kemarau, juga dapat mengurangi resiko banjir pada musim hujan.
Teknologi ini bermanfaat untuk lahan yang tidak mempunyai jaringan irigasi atau
sumber air bawah permukaan (groundwater).
5. Definisi jenis-jenis indeks kekeringan:
1. Standardized Precipitation Index (SPI)
Standard Precipitation Index (SPI) menunjukkan curah hujan aktual dibandingkan
dengan probabilitas curah hujan untuk berbagai kerangka waktu. SPI adalah indeks
berdasarkan curah hujan saja. Ini dapat digunakan pada berbagai skala waktu, yang
memungkinkannya berguna untuk aplikasi pertanian jangka pendek dan hidrologi
jangka panjang. Peristiwa kekeringan terjadi setiap saat SPI terus menerus negatif
dan mencapai intensitas -1,0 atau kurang. Acara berakhir ketika SPI menjadi positif.
Oleh karena itu, setiap peristiwa kekeringan memiliki durasi yang ditentukan oleh
awal dan akhir, dan intensitas untuk setiap bulan saat peristiwa tersebut berlanjut.
Jumlah positif SPI untuk semua bulan dalam peristiwa kekeringan dapat disebut
"besarnya" kekeringan. McKee dkk mengembangkan SPI pada tahun 1993. Indeks ini
diperoleh dengan selisih curah hujan dari rata-rata untuk skala waktu tertentu dan
kemudian membaginya dengan standar deviasi. Itu hanya bergantung pada data
curah hujan dan dihitung untuk periode 3, 6, 12, 24 dan 48 bulan. SPI adalah alat
analisis untuk data curah hujan. Ini bertujuan untuk menetapkan nilai numerik untuk
curah hujan sehingga perbandingan berbagai daerah dengan iklim yang sangat
berbeda menjadi mungkin.
Metode Indeks kekeringan SPI adalah indeks yang digunakan untuk menentukan
penyimpangan curah hujan terhadap normalnya dalam satu periode yang panjang
(bulanan, dua bulanan, tiga bulanan dan seterusnya). Metode SPI dikembangkan
oleh McKee et al tahun 1993. Metode ini merupakan model untuk mengukur defisit
curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. McKee et al
(1993) menggunakan klasifikasi dibawah ini untuk mengidentifikasikan intensitas
kekeringan, dan juga kriteria kejadian kekeringan untuk skala waktu tertentu.
Kekeringan terjadi pada waktu SPI secara berkesinambungan negatif dan mencapai
intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau kurang, sedangkan kekeringan akan
berakhir apabila nilai SPI menjadi positif.
2. Palmer Drought Severity Index (PSDI)
Palmer Drought Severity Index (PDSI) telah digunakan paling lama untuk memantau
kekeringan. PDSI memungkinkan untuk mengkategorikan berbagai tingkat
kebasahan dan kekeringan yang menonjol di suatu area. PDSI dihitung berdasarkan
data curah hujan dan suhu, serta Kadar Air Tersedia (AWC) lokal dari tanah. Nilai
palmer mungkin tertinggal dari kekeringan yang muncul selama beberapa bulan;
kurang cocok untuk daerah pegunungan atau daerah dengan iklim ekstrim yang
sering terjadi; dan kompleks-memiliki skala waktu bawaan yang tidak ditentukan
yang dapat menyesatkan.
PDSI dikembangkan oleh Palmer pada tahun 1965. PDSI mendasarkan konsep
kekeringan pada suhu, curah hujan dan kelembaban tanah. Indeks ini digunakan
dalam skala waktu bulanan dan untuk menghitung PDSI, empat faktor utama
diperlukan melalui formulasi yang kompleks: curah hujan, suhu, kelembaban tanah
dan evapotranspirasi. PDSI adalah algoritma kelembaban untuk tanah yang dihitung
untuk daerah yang relatif homogen. Ini adalah salah satu sistem peringatan
kekeringan yang paling canggih dan akurat. PDSI merupakan indeks kekeringan
komprehensif pertama dan metode yang efektif untuk menentukan kekeringan
jangka panjang (skala bulanan), namun tidak cocok untuk karakterisasi kekeringan
jangka pendek (skala mingguan). Pada tahun 1984 Alley membahas dua keuntungan
dari indeks Palmer yang menyebabkan populer:
1. PDSI meningkatkan kekuatan pengambilan keputusan perencana sehubungan
dengan evaluasi dan pengukuran anomali iklim di suatu wilayah.
2. PDSI memberikan gambaran spasial dan temporal sejarah kekeringan.

Namun, indeks ini memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini diungkapkan oleh


Alley pada tahun 1984 dan Karl & Knight pada tahun 1985 meliputi:

1. Seleksi sewenang-wenang nilai kuantitatif untuk intensitas kekeringan dan awal


dan akhir kekeringan atau basah berdasarkan studi Palmer di Iowa tengah dan
Kansas barat yang tidak diterima secara ilmiah.
2. PDSI sensitif terhadap kondisi kelembaban dan jenis tanah dan dengan demikian
menerapkan indeks ini untuk perencana iklim mungkin sangat sederhana dan
biasa.
3. Indeks ini tidak termasuk hujan salju, tumpukan salju dan tanah beku dan semua
curah hujan dimasukkan sebagai curah hujan. Oleh karena itu, tidak berlaku
untuk wilayah dengan periode hujan salju dalam setahun.
4. Jeda alami antara curah hujan dan limpasan diabaikan. Selain itu, tidak ada aliran
permukaan yang dianggap diganti dalam model untuk menentukan kapasitas air
tanah permukaan dan lapisan bawah permukaan.
5. PDSI menggunakan metode Thornthwaite untuk memperkirakan potensi
evapotranspirasi.
3. Crop Moisture Index (CMI)
Indeks Kelembaban Tanaman (Crop Moisture Index CMI). Ini dikembangkan oleh
Palmer pada tahun 1968. Indeks ini didasarkan pada suhu rata-rata mingguan dan
curah hujan di suatu wilayah relatif terhadap CMI yang diperoleh untuk minggu
sebelumnya dan memiliki koefisien tertimbang dalam ruang dan waktu. Indeks ini
didorong dari pendekatan meteorologi untuk menunjukkan kondisi umum untuk
penanaman tanaman di setiap minggu. Metode ini dikembangkan oleh Palmer
dengan cara yang sama seperti PDSI. Sementara PDSI digunakan untuk menunjukkan
kekeringan dan kebasahan, CMI dirancang untuk mengevaluasi kondisi kelembaban
jangka pendek di wilayah utama penghasil tanaman pertanian. Indeks ini langsung
bereaksi terhadap perubahan iklim. Hal ini dievaluasi sehubungan dengan waktu dan
ruang. Oleh karena itu, peta yang menggambarkan CMI mingguan di AS dapat
digunakan untuk membandingkan kondisi kelembaban di berbagai wilayah. Karena
CMI dirancang untuk menunjukkan kondisi kelembaban yang efektif pada
pertumbuhan tanaman dalam jangka pendek, maka CMI bukanlah instrumen yang
baik untuk menunjukkan kekeringan jangka panjang. Di satu sisi, karena sensitivitas
indeks ini terhadap perubahan curah hujan dan suhu jangka pendek, dapat
mengakibatkan informasi yang menyesatkan tentang kondisi jangka panjang.
Misalnya, curah hujan efektif selama kekeringan dapat memperhitungkan nilai CMI
untuk menunjukkan kondisi kelembaban saat kekeringan berlanjut di wilayah itu.
Keterbatasan ini mencegah penggunaan CMI untuk menunjukkan kondisi
kelembaban di luar pertumbuhan musiman, terutama pada kekeringan yang
berlangsung selama beberapa tahun. Di sisi lain, indeks ini memprediksi potensi
kekeringan.
4. Surface Water Supply Index (SWSI).
Dikembangkan pada tahun 1982 oleh Shafer & Dezman, SWSI mirip dengan indeks
Palmer namun memasukkan hidrologi salju dalam indeks. Ini digunakan dalam skala
waktu bulanan dan elemen utama termasuk curah hujan dan salju. SWSI
dikembangkan untuk Colorado untuk melengkapi PDSI karena wilayah ini dicirikan
oleh tumpukan salju yang tebal dan dianggap sebagai elemen utama dalam
penyediaan air permukaan. Oleh karena itu, SWSI diperkirakan untuk cekungan yang
dianggap menangani hujan salju, aliran sungai, curah hujan dan penyimpanan
reservoir. Pada dasarnya, indeks Palmer adalah algoritma yang dimodifikasi untuk
kelembaban tanah di daerah yang relatif homogen dan tidak dirancang untuk
permukaan dengan keragaman topografi yang tinggi. Selain itu, PDSI belum
memperhitungkan limpasan akibat hujan salju. Oleh karena itu, Shafer dan Dezman
mengembangkan SWSI sebagai representasi status air permukaan dan
menjelaskannya sebagai indeks terkait gunung di daerah pegunungan yang ditandai
dengan hujan salju sebagai sumber utama penyimpanan air. Tujuannya adalah untuk
menambahkan fitur iklim dan hidrologi dalam indeks dan mengubahnya menjadi
indeks dengan nilai yang mirip dengan indeks Palmer untuk sungai-sungai penting di
lembah Colorado. Nilai-nilai distandarisasi membandingkan cekungan. Empat input
utama untuk indeks ini meliputi: snowpack, aliran sungai, curah hujan dan sumber
daya lainnya untuk penyimpanan air. Selama bulan-bulan musim panas, paket salju
digantikan oleh aliran sungai yang merupakan batasan biasa dari indeks ini.
Indeks Suplai air Permukaan telah diterbitkan oleh Shafer dan Dezman (1982) untuk
melengkapkan kelemahan yang terdapat dalam PDSI. PDSI didasarkan pada
algoritma kelembaban tanah yang dikalibrasi untuk suatu kawasan yang homogen
tetapi tidak sesuai untuk kawasan yang bertopografi luas serta tidak mengambil
rata-rata curah hujan. Penilaian SWSI adalah untuk menggabungkan cirri-ciri
hidrologi dan meteorologi dalam satu indeks yang menyerupai PDSI bagi setiap
sungai utama (Sharef dan Dezman, 1982). Nilai ini adalah piawai dan boleh
dibandingkan antara tadahan yang berbeda. Seperti PDSI, nilai SWSI berada di range
– 4.2 hingga +4.2. Nilai SWSI adalah unit untuk tadahan tertentu,sehingga sulit untuk
membandingkan nilai SWSI antara kawasan tadahan yang berlainan.
6. Literature mengenai gambaran umum luas lahan kering di NTT:
Wilayah Nusa Tenggara memiliki iklim kering dengan curah hujan kurang dari 2.000
mm/tahun. Sekitar 72% wilayahnya berbukit dan bergunung dengan solum tanah
dangkal dan berbatu. Kondisi ini menjadi tantangan dalam pengembangan pertanian.
Oleh karena itu, Balitbangtan melaksanakan kegiatan perce- patan pengembangan
pertanian di lahan kering beriklim kering sejak tahun 2010 sampai sekarang. Hasil
identifikasi sumber daya alam dan sosial ekonomi menunjukkan permasalahan utama
yang dihadapi dalam pengembangan pertanian ialah curah hujan rendah, ketersediaan
air terbatas, serta produktivitas dan indeks pertanaman rendah (IP < 100). Di beberapa
lokasi terdapat sumber air permukaan (sungai, embung, dam parit, mata air) dan air
tanah yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, Balit- bangtan melakukan eksplorasi
sumber air dan desain distribusinya dengan sistem gravitasi untuk dimanfaatkan pada
musim kemarau untuk area 5-15 ha. Selanjutnya, masyarakat diper- kenalkan dengan
inovasi teknologi varietas unggul, pengelolaan hara (pupuk organik, pupuk hayati,
pembenah tanah), pembu- atan kandang komunal, dan pengelolaan limbah menjadi
kompos. Pembelajaran yang dapat diambil dari kegiatan ini ialah sulitnya mengubah
etos kerja dan kebiasaan petani untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam secara
optimal. Ke depan, selain teknik budi daya, diperlukan pendampingan dan
pembinaankelembagaan secara intensif, termasuk memotivasi petani dalam
pengembangan pertanian di wilayahnya.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dengan laju pertumbuhan 1,49%/tahun
dan pemenuhan kebutuhan pangan nasional untuk 252 juta jiwa (BPS 2014), diperlukan
upaya optimalisasi lahan dan perluasan area pertanian. Di sisi lain, lahan pertanian
subur sudah sangat terbatas dan lahan yang tersisa sebagai cadangan masa depan
sebagian besar adalah lahan suboptimal dengan segala keterbatasannya. Lahan
suboptimal yang paling luas ialah lahan kering yaitu 122,1 juta ha yang terdiri atas lahan
kering masam 108,8 juta ha dan lahan kering iklim kering 13,3 juta ha (Mulyani dan
Sarwani 2013). Lahan kering masam umumnya identik dengan wilayah beriklim basah
yang sebagian besar berada di wilayah barat Indonesia. Kebanyakan lahan tersebut
telah dimanfaatkan untuk perkebunan terutama kelapa sawit dan karet seperti yang
terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, lahan suboptimal yang berada
di wilayah timur pada umumnya adalah lahan kering beriklim kering (LKIK) yang belum
dimanfaatkan secara intensif akibat keterbatasan sumber daya air, walaupun lahan
tersebut cukup luas dan potensial dikembangkan untuk berbagai komoditas pertanian.
Dari 13,3 juta ha lahan kering iklim kering yang ada di Indonesia, sekitar 3 juta ha berada
di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Untuk Provinsi NTT, bahan induk tanah yang mempunyai sebaran terluas ialah sedimen
dan volkan yang menurunkan tanah dominan Inceptisols (Haplustepts) yang berasosiasi
dengan Alfisols (Haplustalfs) dan Entisols (Ustortherts) sekitar 2,1 juta ha.
(Sumber: Mulyani, dkk. 2014. Percepatan Pengembangan Pertanian Lahan Kering Iklim
Kering Di NTT)
Lahan kering di Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai potensi yang lebih
besardibandingkan lahan sawah karena peluang pengembangan lahan kering sangat
terbuka untuk mengembangkan berbagai komoditas unggulan lahan kering. Gambaran
ini memberikan arti bahwa lahan kering di NTT merupakan sumber mata pencaharian
penting bagi sebagian besar penduduk di wilayah ini. Potensi pengembangan pertanian
lahan kering cukup besar dibandingkan dengan lahan sawah karena: (1) sangat
dimungkinkan untuk pengembangan berbagai macam komoditas pertanian untuk
keperluan eksport, (2) dimungkinkan untuk pengembangan pertanian terpadu antara
ternak dan tanaman, perkebunan/kehutanan serta tanaman pangan, (3) dimungkinkan
dapat membuka peluang kerja yang lebih besar dengan investasi yang relatif lebih kecil
dibandingkan membangun fasilitas irigasi untuk lahan sawah, dan (4) dimungkinkan
untuk pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan sebagian besar penduduk yang
saat ini menggantungkan hidupnya di lahan kering (Utomo, 2002). Hanya saja selama ini
potensi tersebut masih belum dikelola secara serius. Kemungkinan hal ini disebabkan
oleh masih kurangnya pemahaman tentang potensi lahan kering dan masih terbatasnya
penelitian yang komprehensif dan terpadu untuk mengembangkan pertanian lahan
kering.
Biro Pusat Statistik NTT (2013) melaporkan bahwa Saat ini NTT memiliki lahan seluas
3.691.421 ha, yang terdiri dari lahan kering 3.491.130 ha dan lahan sawah seluas
200.291 ha, yang tersebar pada berbagai pulau.
Lahan kering NTT memilki iklim kering yaitu: tipe iklim D3 (3-4 bulan basah dan 4-6
bulan kering), tipe iklim D4 (3-4 bulan basah dan >6 bulan kering), tipe iklim E3 (<3 bulan
basah, 4-6 bulan kering) dan tipe iklim E4 (<3 bula basah dan > 6 bulan kering)
(Oldeman, 1981). Distribusi dan intensitas curah hujan di wilayah lahan kering NTT tidak
merata dan tidak menentu (erratic)serta sulit ditaksir (unpredictabel), sehingga kerap
kali kegagalan panen terjadi sebagai akibat keterbatasan ketersediaan air.Surplus air
hanya terjadi pada bulan-bulan basah (Desember, Januari/Februari) dan selebihnya
merupakan bulan-bulan defisit air.
Biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Timur memiliki karakteristik khas yakni fisiografi
lahan yang sangat beragam dari berombak, bergelombang hingga berbukit atau
berlereng dengan jenis tanah yang didominasi oleh tiga ordo yakni Entisols, Inceptisols
dan Vertisols. Secara inherent kesuburan tanah lahan kering di NTT sangat rendah
dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah, agregat tanah yang kurang
mantap. Terutama pada lahan-lahan miring/berbukit, peka terhadap fenomena
kerusakan lahan terutama akibat erosi, kandungan hara utama (N, P, dan K) yang relatif
rendah (Mateus, 2014). Integrasi dari sifat inherent tanah tersebut dan adanya
keterbatasan ketersedisaan sumberdaya air sebagai salah satu faktor utama
pertumbuhan tanaman membawa konsekwensi rendahnya produktivitas lahan.
(Sumber: Matheus,dkk. 2022. Strategi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering Dalam
Meningkatkan Ketahanan Pangan Di Nusa Tenggara Timur)
7. Hambatan umum dalam pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan budidaya pertanian:
Kondisi lahan kering tersebut mengakibatkan sulitnya membudidayakan berbagai
produk pertanian. Faktor primer yang diperlukan tanaman untuk tumbuh adalah media
tanam, air, cahaya, angin dan nutrisi tanaman. Semua faktor yang diperlukan tanaman
untuk dapat tumbuh dengan baik tersebut terhambat oleh kondisi daerah lahan kering
yang memiliki iklim dan cuaca ekstrim. Adapun pengelompokan faktor yang diperlukan
tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik dan kendala yang terdapat di daerah lahan
kering serta cara mengatasinya ditampilkan dalam tabel berikut ini:

No Faktor Kendala Solusi


pertumbuhan

1 Media tanam Tanah Pasir : Infiltrasi tinggi. Soil Amendment, Pupuk


Tanah Lempung : tanpa cukup Organik, Kapur, Gipsum.
air, rekahan besar, infiltrasi
tinggi.

2 Air Terbatas, karena curah hujan Soil Amendment, Mulsa,


rendah. Sistem Irigasi Tepat
Guna.

3 Cahaya Radiasi tinggi, suhu cenderung Penghijauan atau


tinggi. Kegiatan Pertanian.

4 Angin Minimnya vegetasi Penanaman tanaman


mengakibatkan kecepatan pagar pemecah angin.
angin tinggi.

5 Nutrisi Kombinasi tingginya evaporasi Pemupukan Organik


dan infiltrasi mengakibatkan Terpadu.
tanah salin (kadar garam
tinggi), sehingga nutrisi
rendah.
8. Definisi alley cropping:
Alley cropping yang sering disebut juga sebagai sistem pertanaman lorong merupakan
sistem budidaya tanaman yang menggabungkan tanaman pohon atau semak sebagai
hedge crops (tanaman pagar).
9. Definisi Agroekosistem:
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara
langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan
dan atau sandang. Karakteristik esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari empat
sifat utama yaitu produktivitas (productivity), kestabilan (stability), keberlanjutan
(sustainability) dan kemerataan (equitability). Untuk mencapai tujuannya, kriteria yang
digunakan untuk menentukan karakteristik agroekosistem meliputi ekosistem, ekonomi,
sosial, dan teknologi yang digunakan dalam budidaya.
10. Jenis-jenis lahan kering berdasarkan Jenis tanahnya:
1. Oxisol, merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat
lanjut, penampang tanahnya dalam, bertektur liat sampai liat berat, porositasnya
tergolong tinggi, daya menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida
besi dan alumunium. Tanah ini relatif resisten terhadap erosi.
2. Inceptisol, tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi, tergantung
bahan induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai
netral). Termasuk kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan kering.
3. Ultisol, tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35% pada kedalaman 125 cm.
Tanah ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan
induk yang umumnya terdiri atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.
4. Andisol. Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu
volkan yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk. Sifat-sifatnya antara lain
berat isi ringan, kaya bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral
amorf (alofan), mempunyai sifat tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan
airnya tinggi sekali dan resisten terhadap erosi. Tekstur tanah bervariasi dari berliat
sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya agak masam.

Anda mungkin juga menyukai