Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH EKOLOGI LAHAN KERING

Nama-nama kelompok 3

1. Suningki Kopa Rihi (1906050054)


2. Metriana Silvi Sasi (1906050055)
3. Vinsensius Wempi Wula (1906050056)
4. Kristina Fredolin Anin (1906050057)
5. Melsi Tosi (1906050058)
6. Jalia Pesharani R.W. Lodang (1906050059)
7. Otlin Arkilaus Pandie (1906050060)
8. Maria w. Gu Wea (1906050063)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa karena atas berkat
dan perlindunganNya, kami dapat menyelesaikan makalah EKOLOGI LAHAN KERING
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari dosen. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini belum sempurna adanya.Oleh karena itu kritik dan saran dari dosen
maupun pembaca Akan sangat membantu penulis dalam menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………...
Daftar isi………………………………………………………………………
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar belakang…………………………………………………………...
1.2 Rumusan masalah………………………………………………………...
1.3 Tujuan pembelajaran………………………………………………………
Bab II Pembahasan
2.1 karakteristik Lahan Kering dan Penyebabnya…………………………………………………
2.2 Keanekaragaman Hayati di Lahan Kering………………………………………
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Indonesia merupakan negara agraris dengan penduduk yang


bekerja di sektor pertanian sekitar 44,04 persen, memiliki luas lahan
pertanian beririgasi teknis hanya sekitar 6,5 juta ha, dengan tingkat
alih fungsi lahan pertanian sekitar 35.000 ha/tahun (Pasaribu,
2009). Oleh karena itu, pembangunan pertanian, tidak mungkin hanya
bertumpu pada lahan sawah. Lahan kering merupakan ekosistem yang
sangat potensial sebagai salah satu tumpuan sumber daya lahan bagi
pembangunan pertanian. dengan faktor pembatas yang relatif lebih
ringan dibandingkan dengan lahan rawa seperti gambut dan pasang
surut. Jenis komoditas yang dapat dikembangkan pada ekosistem lahan
kering juga lebih beragam, baik tanaman pangan maupun tanaman
perkebunan dan hortikultura.

Lahan kering merupakan suatu bentuk ekosistem yang tidak pernah


tergenang atau digenangi air hampir sepanjang tahun dengan Luas total
lahan kering 148 juta ha atau sekitar 78 persen dari luas daratan
Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2004; Puslitbangtanak, 2001).
Optimalisasi lahan kering sebagai penghasil produk pertanian,
dihadapkan pada beberapa kendala, baik biofisik maupun sosial dan
ekonomi. Kendala biofisik yang menonjol adalah sifat kimia, fisika,
dan biologi tanah, produktivitas dan keberlanjutan (sustainabilitas)
usahataninya. Secara sosial ekonomi, keterbatasan pengetahuan dan
modal serta pemilikan lahan yang sempit juga seringkali menjadi
penghambat adopsi teknologi usahatani lahan kering, baik terkait
produktivitas, keuntungan usahatani dan pelestarian sumber daya yang
relatif lebih sulit diwujudkan.
Pentingnya usaha pelestarian atau konservasi serta rehabilitasi
lahan kering sangat penting, karena lahan kering lebih rentan terhadap
berbagai deraan dan kekurangtepatan pengelolaan. Luas lahan kering
yang mengalami degradasi semakin meningkat dari waktu ke waktu
dan kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi
di berbagai negara terutama di negara berkembang. Pada peringatan
Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia
tanggal 17 Juni 2009 dinyatakan bahwa dalam 40 tahun terakhir hampir
sepertiga dari lahan kering pertanian (cropland) di dunia telah menjadi
tidak produktif. Utomo dan Wisnusubroto (2007) menyatakan bahwa
penyebab degradasi lahan sangat kompleks, bukan hanya menyangkut
teknis, seperti penggunaan dan pengelolaan lahan, tetapi juga masalah-
masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang menentukan pengambilan
keputusan oleh petani.

Makalah ini menguraikan status pertanian pada ekosistem lahan


kering di Indonesia, potensi lahan kering untuk mendukung
pembangunan pertanian baik pada sektor pangan maupun non pangan
seperti perkebunan, dampak dari pembangunan pertanian terhadap
kelestarian fungsi ekosistem lahan kering dan berbagai usaha yang
telah dan sedang dilakukan untuk mendukung keberlanjutan usahatani
dan kelestarian fungsi lahan kering.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Karakteristik Lahan Kering dan Penyebabnya


Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenancgi atau tergenang air pada sebagian
besar waktu dalam setahun. Istilah lahan kering seringkali digunakan untuk padanan upland, dryfand
atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir mengisyaratkan penggunaan lahan untuk pertanian tadah
hujan. Upland menunjukan lahan yang berada di suatu wilayah berkedududkan lebih tingcgi yang diusahakan
tanpa penggenangan air seperti lahan padi sawah (Notohadinegoro, 2000). Lahan kering adalah hamparan
lahan yang tidak pernah digenancgi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Adimihardja
era/., 2000). Yang dimaksudkan dengan lahan kering dalam tulisan ini adalah lahan yang digunakan untuk
budidaya tanaman dan tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun.
Secara umum berdasarkan penggunaannya untuk pertanian (BPS, 2010), lahan kering
dikelompokkan menjadi pekarangan, tegalan/kebun/Iadang/huma, padang rumput, lahan sementara
tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, perkebunan, dengan total luas 63,4 juta ha atau sekitar
33,7% dari total luas Indonesia (BPS, 2010). Dari total luas lahan kering pemanfaatannya yang
terbesar untuk perkebunan (Perkebunan besar swasta, nasional dan perkebunan rakyat) yang luasnya
mencapai 19,5 juta ha, sedangkan yang berupa tegalan/ huma luasnya sekitar 13,4 juta ha
(BPS, 2010).
 Iklim
Kondisi iklim dibedakan ke dalam: (a) iklim basah, yaitu daerah yang mempunyai
curah hujan tinggi tanpa kemarau yang jelas, dan (b) iklim kering, mempunyai jumlah
curah hujan tahunan rendah dengan nlusim kemarau panjang dan sering terjadi deflsit air.
Menurut rejim kelembaban tanahnya, iklin basah tergolong “urJik” atau “perudik”,
sedargkan iklim kering termasuk “ustik” atau peralihan “ustik” ke “aridik”.
Lahan kering datarran rendah penyebardnnya berada päda kondisi iklim basah dan iklim
kering pada keiinggian <700 m dpl. Iklim basah mempunyai curah hujan tinggi (>1500 mm/
tahun), dengan masa hujan relatif p3njang, sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif
rendah (<1500 mm/tahun) dengan masa curah hujan yang pendek, sekitar 3-5 bulan (]ri‹znto et
a/., 1998).
Menurut tipe hujannya (Schmidt and Ferguson, 1951), lahan kering berada pada berbagai
tipe hujan, yaitu A, B, C, D, E dan F. Tim Puslitanah dan Agroklimat (1996) menggolongkan tipe
hujan A, B dan C sebagai wilayah beriklim basah, sedangkan tipe hujan D, E, dan F digolongkan
sebagai wilayah beriklim kering. Berdasarkan rejim kelembaban tanahnya, wilayah beriklim basah
termasuk udik atau perudik, sedangkan wilayah beriklim kering termasuk ustik atau peralihan
ustik-aridik (Soil Survey Staff, 1998). Wilayah beriklim basah sebagian besar tersebar di Sumatra,
Kalimantan, Jawa, Maluku dan Papua. Sedangkan wilayah beriklim kering tersebar di sebagian
wilayah Aceh bagian utara, sebagian wilayah Jawa Timur, sekitar lembah Palu, Bali, Nusa
Tenggara, sebagian Maluku dan sebagian wilayah Merauke.
Lahan kering beriklim basah mempunyai curah hujan yang tinggi (>2000
mm/tahun) dan cukup lama, sehingga air cukup tersedia dan peluang masa tanam cukup lama
(8-12 bulan). Akan tetapi tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya pencucian sebagian
besar kation/ hara yang cukup intensif, unsur hara juga banyak hilang karena erosi dan aliran
perlukaan yang tinggi, sehingga kesuburan fisik-kimia tanah menjadi rendah.
Kendala lahan kering beriklim basah yang paling menonjol adalah tingkat
produktivitasnya yang rendah. Tanah di wilayah ini unaumnya didominasi oleh Ultisols dan
Oxisol yang merupakan tanah-tanah bereaksi masam (pH rendah) dan miskin unsur hara,
kadar bahan organik rendah, kandungan besi dan mangan tinggi, sering naengandung
aluminium yang melampaui batas toleransi tanaman. Tanah ini juga peka erosi. Pola tanam
yang kurang sesuai dengan potensi dan kondisi lahan yang mendorong kepekaan terhadap
erosi, sehingga perlu tindakan konservasi secara dini. Selain itu efisiensi pemupukan rendah
karena N dan K dari pupuk mudah tercuci, P terfii‹sasi oleh Fe dan AI.
Lahan kering beriklim umumnya mempunyai sifat fisik—kimia tanah (tingkat
kesuburan) yang lebih baik dibandingkan dengan lahan kering beriklim basah.
Kandungan hara dan basa-basa tinggi dengan pH netral sampai alkalis. Curah hujan rendah
menyebabkan pencucian hara relatif rendah. Pada lahan kering beriklim kering, kendala yang
menonjol adalah ketersediaan air yang terbatas, karena curah hujan yang rendah dan musim
kemarau yang panjang, yang mengakibatkan terjadinya penguapan yang lebih besar dari pada
curah hujan. Sehingga dapat menimbulkan alkalinitas dan salinitas serta keseimbangan hara
terganggu. Kepekaan tanah terhadap erosi cukup besar di musim hujan, yang meskipun tidak
lama tetapi intensitasnya tinggi, sehingga dapat mendispersi partikel-partikel tanah. Keadaan
iklim yang kering dengan bulan basah pendek (3-4 bulan) dan bulan kering panjang (6-9
bulan) serta fluktuasi curah hujan yang tinggi dan tidak menentu merupakan kendala yang
dapat menggagalkan panen karena waktu tanam pendek. Apabila air mencukupi, serta
pengelolaan tanah cukup baik, maka produktivitas lahan Fada tipoiogi lahan ini tcrmasui‹
tinggi.
2. Potensi dan Kendalah Lahan Kering Untuk Pertanian

 Lahan kering dataran rendah beriklim basa

Wilayah lahan Kering beriKlim basah yang berpotensi untuk tanaman semusim menYebar di daerah Kaiimantan, Sumatra,
Papua, 3awa dan Su!awesi seluas 19,68 juta ha (Tabel 3). Terdapat pada topografi datar, berombak sampai agak
bergelombang. Pada landform tektonik, dataran volkan, dan dataran karst/kapur. Tanahnya berdrainase baik, terbentuk dari
bahan sedimen dan voiI‹an yang kesuburan alaminya bervarias.
Di Kalimantan wilayah tersebut seluas 10,18 juta ha terutama terdapat di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah. Lahannya bertopografi datar, berombak sampai bergelombang. Sedangkan di Sumatra seluas ^.,67 juta ha terutama
terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi. Lahannya berupa dataran volkan dan dataran tektonik dengan topografi
datar, berombak szimpai bergelombang.
Wilayah lahan kering tanamdn semusim di Papua seIua.s 4,11 juta ha, terutama terdapat di Kabupaten Merauke dan fakfak.
Lahannya berupa teras Marine/ pantai, topografi dataran sampai berombak, tanahnya terbentuk dari bahan sedimen. Permasalah
yang dihadapi adalah aksesibi!itas dan keterseciiaan tenaga kerja yang rendah.
Di Jawa lahan kering dataran rendah beriklim basah seluas 0,37 juta ha, terdapat di Provinsi Jawa Bardt (kabupaten Subanp,
Bogor, Plajalengka, Tasik malaya), Provinsi Banten (kabupaten Serang, Pandeglang), "erovinsi 3awa Timur (Kabupaten Trenggalek,
Tuban, Ngawi), propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Semarang, Sragen, Karanganyar). Lahannya berupa dataran volkan, topografi datar
sampai berombak. Sedangkan di Sulawesi seluas 0,18 juta ha, terutama terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan (antara lain Kabupaten
Barru, Maros dan Bone). Lahannya berupa dataran volkan dan dataran tektonik dengan topografi datar sampai berombak.
 Lahan kering beriklim kerin
Wilayah dataran rendah beriklim kering yang berpotensi untuk tanaman semusim lahan kering
nienyebar terutama di Nusa tenggara, Sulawesi, Jawa dan Sumatera seluas 2,61 juta ha. Topografi datar sampai
bergelonibang pada dataran tektonik, volkan dan karst. Tanah terbentuk dari bahan induk sedimen,
volkan, batu gamping, drainase dan kesuburannya relatif baik, umumnya tidak masam.

 Peran, Potensi dan Kendala Pengembangan Lahan Kering

Peranan lahan kering yang sangat besar, bukan hanya pada skala nasional, namun juga
pada skala global. Pada Tahun Internasional Biodiversitas, masyarakat dunia diingatkan bahwa
lahan kering merupakan areal dengan keragaman hayati sangat besar. Tiga puluh persen tanaman
yang dikonsumsi di berbagai sudut dunia berasal dari lahan kering. Lahan kering juga
merupakan kolam (pool) C-organik yang terbesar (UN, 2010).

Indonesiatersediacukupluas, danmemilikipotensiuntukmenghasilkan padi gogo lebih dari


5 ton/ha (Adimihardja et al., 2009). Selain itu, bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan
nasional selain beras, seperti jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan lain
sebagainya, sekitar 70 persen diantaranya dihasilkan dari lahan kering. Jika menggunakan
teknologi yang sesuai dan strategi pengembangan yang tepat, lahan kering dapat memberikan
kontribusi yang jauh lebih besar. Selain tanaman pangan, berbagai jenis tanaman yakni tanaman
hortikultura, perkebunan, dan tanaman industri justru dominan dikembangkan pada
agroekosistem lahan kering.

B. Keanekaragaman Hayati di Lahan Kering

Keanekaragaman hayati wilayah lahan kering mutlak diperlakukan dalam bidang pertanian,
baik untuk meningkatkan produksi pertanian lahan kering, baik untuk meningkatkan produksi
pertanian, khususnya untuk ketahanan pangan. Karena itu, dari segi pemanfaatan,
keanekaragaman hayati pertanian lahan kering memempati garis terdepan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia karena luas lahan sawah dalam dasawarsa ini menurun sangat drastis
akibat konversi lahan. Pengelolaan sebagian dari keanekaragaman ini dilakukan melalui sebuah
sistem yang dikenal sebagai agroekosistem.

Pengertian Agro-ekosistem dalam paper ini adalah sebuah sistem ekologi dan sosio
ekonomi, yang mencakup hewan peliharaan dan tanaman serta manusia yang mengelolanya,
untuk menghasilkan pangan, serat, dan hasil-hasil pertanian lainnya (Wood dan Lenne 1999).
Jadi, yang dikelola dalam agroekosistem ini adalah hanya sebagian dari keanekaragaman hayati
pertanian, karena konsep keanekaragaman hayati pertanian jauh lebih luas dari cakupan tanaman
dan hewan peliharaan saja.Menurut Qualset dkk. (1995) keanekaragaman hayati pertanian
mencakup semua tanaman, hewan peliharaan, kerabat liarnya, dan berbagai spesies yang terlibat
dalam kehidupannya, seperti penyerbuk, spesies yang bersimbiosis, hama, penyakit, dan pesaing-
pesaingnya. Oleh karena itu, spesies penghasil pangan yang dipanen langsung dari habitat
alaminya tidak termasuk dalam komponen agro-ekosistem.

Di Indonesia telah berkembang berbagai macam agro-ekosistem, dari yang tradisional,


seperti perladangan berpindah, sampai ke yang bersistem seragam, seperti pada penanaman padi
varietas unggul. Pada umumnya, dalam sebuah agro-ekosistem tradisional ditanam banyak jenis,
baik secara serentak, maupun secara bergiliran.

Di antara spesies tumbuhan ekonomi yang sudah mendunia, dengan pusat persebaran di
kawasan Indochina-Indonesia, adalah spesies dari pisang (Musa bablisiana dan M. Acuminata),
Kelapa (Cocos nucifera) dan Tebu (Sacharum officinarum). Kawasan ini juga dianggap penting
dalam hal golongan bambu, buah-bauahan tropis, seperti rambutan, durian, mangga, talas-
talasan, dan jahe-jahean. Disamping tanaman pangan, kawasan ini juga menjadi pusat persebaran
rotan dan spesies kayu komersial, seperti kayu besi, meranti, kapur dan sebagainya.
Pembudidayaaan spesies asli di kawasan ini sendiri masih terbatas, baru untuk cengkeh, pala dan
kayu manis, dibandingkan dengan spesies pendatang seperti karet, kopi, dan cokelat.Salah satu
aspek penting dalam bidang pertanian adalah tanaman obat, baik yang sudah dibudidayakan
maupun yang masih liar.

Belum banyak informasi tentang keanekaragaman genetis (plasma nutfah) hewan di


Indonesia, karena penelitian dan inventarisasi masih berlangsung. Namun plasma nutfah
beberapa hewan ternak dapat dilihat dari keanekaragamannya. Misalnya, Indonesia memiliki
beberapa ras sapi seperti sapi madura, sapi bali, dan sapi pesisir di Sumatra Barat. Demikian pula
dengan kerbau, ada kerbau lumpur, kerbau belang, selain variasi jenis dimba, ayam, ikan dan itik
lokal dari berbagai daerah di Indonesia (Zuhud dan Putro, 2000).Plasma nutfah tanaman dan
hewan budidaya merupakan aset bagi pengembangan varietas tanaman pertanian serta ras ternak
dalam rangka ketahanan pangan nasional. Selain itu, plasma nutfah merupakan modal jangka
panjang yang dapat digunakan dalam industri pangan, obatobatan, pewarna, kosmetika, dan
bahan baku industri.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenancgi atau tergenang air pada
sebagian besar waktu dalam setahun. Istilah lahan kering seringkali digunakan untuk padanan upland,
dryfand atau unirrigated land.
berdasarkan penggunaannya untuk pertanian (BPS, 2010), lahan kering dikelompokkan menjadi pekarangan,
tegalan/kebun/Iadang/huma, padang rumput, lahan sementara tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan,
perkebunan, dengan total luas 63,4 juta ha atau sekitar 33,7% dari total luas Indonesia

Keanekaragaman hayati wilayah lahan kering mutlak diperlakukan dalam bidang pertanian,
baik untuk meningkatkan produksi pertanian lahan kering, baik untuk meningkatkan produksi
pertanian, khususnya untuk ketahanan pangan. Karena itu, dari segi pemanfaatan,
keanekaragaman hayati pertanian lahan kering memempati garis terdepan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia karena luas lahan sawah dalam dasawarsa ini menurun sangat drastis
akibat konversi lahan. Pengelolaan sebagian dari keanekaragaman ini dilakukan melalui sebuah
sistem yang dikenal sebagai agroekosistem.
Daftar Pustaka

Abdurachman A., A.Dariah dan A.MuIyani. 2008. Strategi dan teknologi Pengelolaan Lahan
kering Mendukung Pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang pertanian , 27 (2), 2008
halaman: 43-49.
Abas Ijudin dan S.Marwanto. 2008. Reformasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Mendukung
Swa Sembada Pangan. dalam Jurnal Sumberdaya Lahan vol.2 No.2 Desember 2008.
Halaman. 115-125. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Adimihardja A., dan F.Agus. 2000. Pengembangan Teknologi Konservasi Tanah Pasca
—NWMCP, halaman 25-38 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian
Pengelolaan daerah Aliran Sungai. Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Bogor, 2-3
September 1999.
Adimihardja, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng.
Hlm. 103-145 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian
Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Adimihardja, A. 2007. Siapkah kita menghadapi eskalasi tantangan konservasi lahan
pertanian di Indonesia. Hlm. 76-84 dalam Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air.
Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta.
Ahmad I-iida at, Hikmatulloh dan Djoko Santcso. 20ü0. Pntensi dan Pengelolaan Lahan Kering
Dataran Rendah. Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia man hengeiolaannya halamon 197- 225.
Pusat Penelitïan Tandh dan Agroklimat. bogor

Anda mungkin juga menyukai