Anda di halaman 1dari 16

KARAKTERISTIK, POTENSI, DAN TEKNOLOGI

PENGELOLAAN TANAH KERING ULTISOL UNTUK


PENGEMBANGAN PERTANIAN DAN MENDUKUNG
PENGADAAN PANGAN NASIONAL

ABSTRAK

Peningkatan produksi bahan pangan nasional berjalan relatif lambat dibandingkan


dengan permintaannya karena adanya berbagai kendala yang sulit diatasi, seperti
konversi lahan sawah, persaingan dalam penggunaan air, banjir, dan longsor.
Salah satu peluang yang cukup besar tetapi sering terabaikan adalah pemanfaatan
lahan kering yang tersedia cukup luas dan secara teknis sesuai untuk pertanian.
Lahan potensial tersebut akan mampu menghasilkan bahan pangan yang cukup
bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi
pengembangan yang tepat. Teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia,
meliputi konservasi, peningkatan kesuburan kimiawi, fisik dan biologi,
pengelolaan bahan organik, dan irigasi suplemen. Strategi untuk mendayagunakan
lahan kering yang berpotensi adalah: a) identifikasi dan delineasi lahan yang
sesuai untuk pertanian tanaman pangan, b) seleksi teknologi pertanian tepat guna,
c) diseminasi teknologi secara intensif, dan d) peningkatan penelitian pertanian
lahan kering. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A
yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro
seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat
masam, serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol
yang sering menghambat pertumbuhan tanaman. Selain itu terdapat horizon
argilik yang mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti berkurangnya pori mikro dan
makro serta bertambahnya aliran permukaan yang pada akhirnya dapat
mendorong terjadinya erosi tanah. Penelitian menunjukkan bahwa pengapuran,
sistem pertanaman lorong, serta pemupukan dengan pupuk organik maupun
anorganik dapat mengatasi kendala pemanfaatan tanah Ultisol. Pemanfaatan tanah
Ultisol untuk pengembangan tanaman perkebunan relatif tidak menghadapi
kendala, tetapi untuk tanaman pangan umumnya terkendala oleh sifat-sifat kimia
tersebut yang dirasakan berat bagi petani untuk mengatasinya, karena kondisi
ekonomi dan pengetahuan yang umumnya lemah.

Kata kunci: Ultisol, karakteristik fisika dan kimia tanah, pengelolaan tanah,
pengembangan pertanian Lahan kering, pengelolaan lahan, produksi pangan

ABSTRACT

The increase of national food production is relatively slower than its requirements
due to several constraints, such as rice field conversion, water use competition,
floods, and land slides. One of the promising opportunities but often to be
neglected is the use of arable dry land suitable for food crops production. The
potential land is prospective for food production when managed properly by using
effective technologies and proper agricultural development strategies.
Technologies for dry land agriculture management are available, such as soil
conservation, soil fertility and soil organic management, and irrigation
management. Strategies to develop dryland agriculture of Indonesia include: a)
identification and delineation of suitable land for food crops, b) selection of
effective agricultural technologies, c) intensive technology dissemination, and d)
improvement of the dryland agriculture research. . The natural chemical fertility
of Ultisols is mostly restricted on the A horizon with low organic matter content.
Major plant nutrients such as phosphorous and potassium are often deficient in
Ultisols, while acid to very acid soil reaction and high aluminum saturation were
also specific properties of Ultisols that restrict plant growth. The presence of
argillic horizon in the soil influences soil physical properties such as reduction of
both macro and micropores, enlargement of surface runoff and finally supporting
the soil erosion. Most of studies indicated that liming, alley cropping, and
fertilizing by organic and unorganic fertilizers could overcome some constraints in
Ultisols. Utilization of Ultisols would be no problem for estate crops, but for food
crops the chemical properties were generally a constraint that not so easy to
overcome by farmer, due to the low economical condition and minimum
knowledge.

Keywords: Ultisols, soil chemicophysical properties, soil management,


agricultural development Drylands, land management, food production
Laju peningkatan produksi bahan pangan nasional terutama beras berjalan
relatif lambat dibandingkan dengan kebutuhan pangan rakyat yang terus
meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Hal ini terbukti dengan masih
diperlukannya impor beras walaupun hanya sekitar 262 ribu ton pada tahun 2006
(Departemen Pertanian 2008), serta sesekali terjadi kekurangan bahan pangan di
wilayah-wilayah kantong kemiskinan, seperti di pelosok NTT, NTB, dan Papua.
Kelambatan peningkatan produksi pangan tersebut disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain konversi lahan sawah dan persaingan penggunaan air, selain
bencana banjir dan longsor.
Bahan pangan terutama beras sebagian besar diproduksi di lahan sawah
beririgasi teknis dengan tingkat kesuburan tanah cukup tinggi. Karakteristik budi
daya padi sawah seperti itu membatasi peluang peningkatan produksi beras
melalui perluasan areal sawah, karena sempitnya lahan cadangan yang sesuai
untuk dijadikan sawah dan makin ketatnya persaingan penggunaan air dengan
industri, pertambangan, rumah tangga, dan lainnya. Di sisi lain, konversi lahan
sawah ke nonpertanian makin sulit dikendalikan. Selama periode 1979-1999,
konversi lahan sawah mencapai 1,63 juta ha, dan satu juta ha di antaranya terjadi
di Pulau Jawa (Isa 2006). Oleh karena itu, perlu upaya lain untuk meningkatkan
produksi bahan pangan nasional, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan
pemanfaatan lahan kering, baik yang telah menjadi lahan pertanian maupun yang
belum digunakan.
Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para
pengambil kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi beras pada
lahan sawah. Hal ini mungkin karena ada anggapan bahwa meningkatkan
produksi padi sawah lebih mudah dan lebih menjanjikan dibanding padi gogo
yang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi. Padahal lahan kering tersedia cukup
luas dan berpotensi untuk menghasilkan padi gogo > 5 t/ha.
Tanah Ultisol termasuk bagian terluas dari lahan kering yang ada di
Indonesia yaitu 45.794.000 ha atau sekitar 25 % dari total luas daratan Indonesia.
Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera
(9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa
(1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada
berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung.
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat
masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan
sedimen masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya disajikan pada
Tabel 1. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini
karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa
yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan
sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan
erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan
sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena
kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan
organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin
bahan organik dan hara.
Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut,
dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan
kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada
umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan
bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-
kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar
kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993).
Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala
besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan
hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan
salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

POTENSI DAN MASALAH PERTANIAN LAHAN KERING


Potensi Lahan Kering
Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi
besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah
buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata
Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengem
bangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20
juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah
(22%).
Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya
faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal
dan berbatu, atau termasuk kawasan hu tan. Dari total luas 148 juta ha, lahan
kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%),
sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di
dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng <
15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha.
Lahan dengan lereng 15-30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha).
Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta
ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Tabel 1).

Masalah Pemanfaatan Lahan Kering untuk Tanaman Pangan


Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap
wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan
teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.

Kesuburan tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah,
ter utama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi
tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan
terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim.
Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat
menurun, mencapai 30-60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam
Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam
memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meski pun kontribusi unsur hara
dari bahan or ganik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain
unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C,
Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan ada lah adanya tanah masam, yang
dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan
basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati
batas me racuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan
Sudjadi1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148
juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004).
Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian
besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Lahan kering masam di wilayah ber bukit dan bergunung cukup luas, men
capai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam
tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena
tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal.

Komposisi Mineral
Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk
yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol
yang terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic
Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang
dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak
mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan
intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults), opak merupakan mineral yang dominan
pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir
didominasi oleh mineral kuarsa.
Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti orthoklas,
biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah
Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan
Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005). Dengan demikian
Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol
menentukan komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan
masam, mineral primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan
volkan didominasi oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen
masam dari bahan volkan sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh
campuran opak dan kuarsa.
Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan
Prasetyo 1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos
2003; Prasetyo et al. 2005). Gambar 1 memperlihatkan komposisi mineral liat dari
Ultisol berbahan induk batuan granit. Pada gambar tersebut kaolinit ditunjukkan
oleh puncak difraksi 7, 18A, dan 3,56A. Mineral liat lainnya adalah vermikulit
dengan puncak difraksi 14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak
difraksi 11A pada perlakuan pemanasan K+ hingga 550°C menunjukkan adanya
interlayer hidroksi Al.
Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa
yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik.
Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun,
dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat
kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20-
12,50 cmollkg liat (Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral liat
lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986).
Adanya mineral smektit pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo
et al. (1986) pada Ultisol dari batuan gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan
oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol dari bahan tufa berkapur di daerah
Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang
kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan sifat fisik dan kimia tanah.
Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan pH netral dan terjadi
akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol tersebut, smektit
berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk melalui proses geologi
(geogenic), bukan melalui proses pembentukan tanah (pedogenic). Smektit pada
Ultisol umumnya sedang dalam proses pelapukan, yang dicirikan oleh tingginya
Al dapat ditukar dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.
Ciri Morfologi
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada
klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai
Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat
bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 36 dan kroma 48 (Subagyo
et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo
1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Warna tanah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan
warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa
dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti
goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin
coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah
warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys 1970; Allen dan
Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya.
Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai
tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan
tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai
tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987;
Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Ultisol umumnya mempunyai struktur
sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al.
2004; Prasetyo et al. 2005).
Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol.
Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan
granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang
hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).

Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (>
30%) dan berbukit (15-30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90
juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka
terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan
curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan,
namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan
perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-ber gelombang dengan lereng <
15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk per kebunan mencakup 19,60
juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit,
kelapa, dan karet.

Tabel l. Luas lahan kering yang sesuai untuk pertanian.

Dataran rendah (ha) Dataran tinggi (ha)

Provinsi Tanama Tanama Tanama Tanama Total Total


n n Total n n
semusim tahunan semusim tahunan
Sumatera 4.899. 15.848.203 20.747.679 1.103.176 992.055 2 .095.231 22.842.910
Jawa 476
925.412 3.982.008 4.907.420 200.687 484.960 685.647 5.593.067
Bali dan 1.091. 1.335.469 2.427.347 58.826 201.761 260.587 2.687.9
Nusa 878
Kalimantan 10.180.151 14.340.956 24.521.107 592.129 389.521 981.650 34
25.502.757
Sulawesi 1.801. 3.664.040 5.465.917 70.780 1.1 1.205.100 6.671.017
Maluku dan 4877
.360. 8.282.809 12.643.127 43.094 34.320
233.981 277.075 12.920.202
Papua 318
Indonesia 23.259.112 47.453.485 70.712.597 2.068.692 3.436.598 5.505.290 76.217.887
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001).

Ketersediaan air pertanian


Keterbatasan air pada lahan kering meng akibatkan usaha tani tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks perta naman (IP) kurang dari 1,50.
Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik
secara spasial maupun temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan
wilayah timur, dan secara temporal terdapat perbedaan distri busi hujan pada
musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan
menjadi 2-2,50 (Las et al. 2000; Amien et al. 2001).

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN KERING


Dari segi luas, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi, namun
terdapat permasalahan biofisik dan sosial ekonomi yang harus diatasi untuk
meningkatkan produktivitasnya secara ber
kelanjutan. Beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas
biofisik lahan meliputi pengelolaan kesuburan tanah, konservasi dan rehabilitasi
tanah, serta pengelolaan sumber daya air secara efisien.

Pengelolaan Kesuburan Tanah


Pengelolaan kesuburan tanah tidak ter batas pada peningkatan kesuburan
kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa
pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan
pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah
sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan
organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah.
Salah satu teknologi pengelolaan ke suburan tanah yang penting adalah pe
mupukan berimbang, yang mampu me mantapkan produktivitas tanah pada level
yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan pentingnya
pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala.
Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang,
serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan
kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan
2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi
bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mine ral
masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam
jangka panjang dapat menimbulkan ke tidakseimbangan kandungan hara tanah
sehingga menurunkan produktivitas tanaman.
Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pe
ngelolaan kesuburan tanah. Pupuk orga nik dapat bersumber dari sisa panen,
pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyum bang
hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk
organik juga penting untuk mem perbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan
kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila
struktur tanahnya baik sehingga men dukung peningkatan efisiensi pemupukan.
Jenis pupuk lain yang mulai ber kembang pesat adalah pupuk hayati
(biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu
tumbuh dan pengendali hama, dan mikro flora tanah multiguna. Pupuk hayati
selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1)
melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) men stimulasi sistem perakaran
agar ber kembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu mitosis
jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar
racun beberapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator
perombak bahan organik.
Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan
produk tivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium
(Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan
me nentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam
tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005).

Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan


Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan
kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti
tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al. 2005). Hasil
penelitian me nunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai
konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46-351 t/ha/tahun (Sukmana
1994; 1995).
Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan
organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertani
an. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konser
vasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan ke ring.
Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi,
dengan kisaran antara 1,1013,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan
substratanya (Thompson dalam Arsyad 2000). Untuk menekan erosi sam pai di
bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat
diterapkan dengan memperhatikan per syaratan teknis (Agus et al. 1999).
Teras bangku merupakan teknik kon servasi yang banyak diterapkan di Jawa
dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara luas sejak tahun 1975 melalui
inpres penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup disukai
petani, dan juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan (Abdurachman dan
Sutono 2005). Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti
teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi
vegetatif seperti alley eropping dan strip rumput. Selain murah, teknik konservasi
vegetatif memiliki keunggulan lain, yaitu dapat ber fungsi sebagai sumber pakan
dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman yang
digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering
dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan
erosi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani.
Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu
tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan pen
ting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan
pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi
proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang
searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi.
Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produk
tivitas lahan kering. Hasil penelitian me nunjukkan bahwa pengolahan tanah yang
berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et
al. 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al.
2004). Olah tanah konservasi (OTK) merupakan alternatif penyiapan lahan yang
dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991;
Wagger dan Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau
pembalikan tanah, mengintensifkan peng gunaan sisa tanaman atau bahan lainnya
sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan
herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya.
STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING
Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi
daya padi sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Selain itu,
teknologi pengelolaan lahan kering cukup banyak tersedia. Namun, pemanfaatan
kedua komponen tersebut dan pelaksanaannya di lapangan memerlukan
perencanaan dan strategi yang tepat.

Identifikasi Lahan yang Sesuai


Cara yang dapat digunakan untuk meng identifikasi lahan yang sesuai untuk
pertanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan
menggunakan peta penggunaan lahan skala 1:250.000 yang ditumpangtepatkan
dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang
lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai
untuk tanaman pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk tanaman tahunan.
Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau
peta kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar,
misalnya 1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik
lahan perlu ditunjang dengan informasi sosial-ekonomi, terutama status
kepemilikan lahan, sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada
permasalahan non teknis, yang dapat menggagalkan pendayagunaan lahan kering
yang telah direncanakan.

Seleksi Teknologi Tepat Guna


Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah
tersedia, baik teknologi konservasi tanah, pening katan kesuburan tanah,
pengelolaan bahan organik tanah, dan pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi
tersebut, perlu diseleksi teknologi yang tepat guna, sesuai dengan kondisi lahan
(tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu
karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul
efektif dan dapat di adopsi petani.
Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan skala detail (1:50.000
atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan
menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi
dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui
dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya dengan menggunakan metode
Partieipatory Rural Appraisal (PRA).

Diseminasi Teknologi
Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk
teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan
melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik. Namun
akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara dan
media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode
diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber
teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi.
Salah satu terobosan dalam disemina si teknologi pertanian adalah melalui
Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan
untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang
dihasil kan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering,
termasuk pengembangan budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya
dengan introduksi benih unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat
berkembang lebih cepat dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan
nasional secara signifikan.

Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering


Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah
menghasilkan berbagai varietas unggul dan teknologi budi daya seperti
pengendalian hamal penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan
pengembangan padi gogo jauh tertinggal. Sejalan dengan itu, minat dan upaya
petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas
pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah.
Ke depan, penelitian dan pengembangan pertanian lahan kering perlu
mendapat perhatian yang lebih besar, ter masuk pembiayaannya. Akan lebih baik
bila penelitian diarahkan pada teknologi pengelolaan padi gogo dan palawija
sebagai bagian dari sistem usaha tani (farming system) yang disesuaikan dengan
kondisi spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara kompre hensif,
dalam arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari
berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan
menguntungkan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Jalan keluar untuk menembus kebuntuan peningkatan produksi bahan
pangan nasional adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering
melalui: a) peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan
b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan kering
terlantar.
Di wilayah dataran rendah, lahan yang sesuai untuk pertanian tanaman
pangan berupa lahan datar-bergelombang (lereng < 15%), yang luasnya sekitar
23,30 juta ha. Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan
men cakup 2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan
untuk berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian. Lahan kering
yang dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan semusim
tersedia sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-
belukar.
Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan
pangan menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan
berlereng terjal, kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air
irigasi, dan status kepemilikan lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu
diatasi dengan menerapkan teknologi, kelembaga an, dan kebijakan pemerintah
yang tepat.
Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, mencakup
pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi (konservasi tanah), rehabilitasi
lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang menjadi masalah
adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan lambat nya
adopsi teknologi tersebut.
Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan
memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan
kering yang sesuai untuk pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering
yang tepat guna, c) diseminasi teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif,
dan d) peningkatan penelitian pertanian lahan kering, terutama budi daya padi
gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya dalam sistem usaha tani terpadu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, dkk. 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional Jurnal Litbang Pertanian 27(2) :
Bogor.

Suriadikarta, Prasetyo. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan


Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(2) : Bogor.

Anda mungkin juga menyukai