ABSTRAK
Kata kunci: Ultisol, karakteristik fisika dan kimia tanah, pengelolaan tanah,
pengembangan pertanian Lahan kering, pengelolaan lahan, produksi pangan
ABSTRACT
The increase of national food production is relatively slower than its requirements
due to several constraints, such as rice field conversion, water use competition,
floods, and land slides. One of the promising opportunities but often to be
neglected is the use of arable dry land suitable for food crops production. The
potential land is prospective for food production when managed properly by using
effective technologies and proper agricultural development strategies.
Technologies for dry land agriculture management are available, such as soil
conservation, soil fertility and soil organic management, and irrigation
management. Strategies to develop dryland agriculture of Indonesia include: a)
identification and delineation of suitable land for food crops, b) selection of
effective agricultural technologies, c) intensive technology dissemination, and d)
improvement of the dryland agriculture research. . The natural chemical fertility
of Ultisols is mostly restricted on the A horizon with low organic matter content.
Major plant nutrients such as phosphorous and potassium are often deficient in
Ultisols, while acid to very acid soil reaction and high aluminum saturation were
also specific properties of Ultisols that restrict plant growth. The presence of
argillic horizon in the soil influences soil physical properties such as reduction of
both macro and micropores, enlargement of surface runoff and finally supporting
the soil erosion. Most of studies indicated that liming, alley cropping, and
fertilizing by organic and unorganic fertilizers could overcome some constraints in
Ultisols. Utilization of Ultisols would be no problem for estate crops, but for food
crops the chemical properties were generally a constraint that not so easy to
overcome by farmer, due to the low economical condition and minimum
knowledge.
Kesuburan tanah
Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah,
ter utama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi
tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan
terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim.
Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat
menurun, mencapai 30-60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam
Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam
memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meski pun kontribusi unsur hara
dari bahan or ganik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain
unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C,
Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).
Hal lain yang perlu diperhatikan ada lah adanya tanah masam, yang
dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan
basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati
batas me racuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan
Sudjadi1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148
juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004).
Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian
besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Lahan kering masam di wilayah ber bukit dan bergunung cukup luas, men
capai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam
tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena
tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal.
Komposisi Mineral
Susunan mineral primer yang dominan pada Ultisol dengan bahan induk
yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Kuarsa yang dominan terdapat pada Ultisol
yang terbentuk dari tufa berkapur dan dari batuan granit (Pedon 3, Typic
Haplohumults dan Pedon 1, Typic Kandiudults). Pada Ultisol yang berkembang
dari batuan tufa masam ( Pedon 2, Typic Paleudults), kuarsa dan opak
mendominasi susunan mineral pasir, sedangkan pada Ultisol dari bahan volkan
intermedier (Pedon 4, Typic Paleudults), opak merupakan mineral yang dominan
pada fraksi pasir. Yatno et al. (2000) menyatakan Ultisol dari batuan liat dan pasir
didominasi oleh mineral kuarsa.
Kandungan mineral mudah lapuk (weatherable mineral) seperti orthoklas,
biotit, epidot, gelas volkan olivin, sanidin amfibol, augit, dan hiperstin pada tanah
Ultisol umumnya rendah bahkan sering tidak ada (Subardja 1986; Suharta dan
Prasetyo 1986; Prasetyo et al. 1998; Prasetyo et al. 2005). Dengan demikian
Ultisol tergolong tanah yang miskin akan unsur hara.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan induk tanah Ultisol
menentukan komposisi mineralnya. Pada tanah yang berbahan induk batuan
masam, mineral primer didominasi oleh kuarsa, sedangkan pada tanah dari bahan
volkan didominasi oleh opak. Tufa masam merupakan jenis batuan sedimen
masam dari bahan volkan sehingga komposisi mineral primernya didominasi oleh
campuran opak dan kuarsa.
Komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit (Suharta dan
Prasetyo 1986; Setyawan 1997; Prasetyo et al. 2001; Alkusuma dan Badayos
2003; Prasetyo et al. 2005). Gambar 1 memperlihatkan komposisi mineral liat dari
Ultisol berbahan induk batuan granit. Pada gambar tersebut kaolinit ditunjukkan
oleh puncak difraksi 7, 18A, dan 3,56A. Mineral liat lainnya adalah vermikulit
dengan puncak difraksi 14,2A dan gibsit dengan puncak difraksi 4,83A. Puncak
difraksi 11A pada perlakuan pemanasan K+ hingga 550°C menunjukkan adanya
interlayer hidroksi Al.
Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa
yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik.
Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun,
dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat
kimia tanah, karena kapasitas tukar kation kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20-
12,50 cmollkg liat (Briendly et al. 1986; Prasetyo dan Gilkes 1997). Mineral liat
lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo et al. 1986).
Adanya mineral smektit pada tanah Ultisol pernah dilaporkan oleh Subagyo
et al. (1986) pada Ultisol dari batuan gamping di daerah Tuban, Jawa Timur dan
oleh Prasetyo et al. (2000) pada Ultisol dari bahan tufa berkapur di daerah
Pametikarata, Sumba Timur. Smektit merupakan jenis mineral 2:1 yang
kehadirannya dalam tanah akan sangat menentukan sifat fisik dan kimia tanah.
Pembentukan mineral ini memerlukan lingkungan dengan pH netral dan terjadi
akumulasi basa-basa dan silika. Pada kedua jenis tanah Ultisol tersebut, smektit
berasal dari bahan induk tanah (inherited) yang terbentuk melalui proses geologi
(geogenic), bukan melalui proses pembentukan tanah (pedogenic). Smektit pada
Ultisol umumnya sedang dalam proses pelapukan, yang dicirikan oleh tingginya
Al dapat ditukar dan nilai kapasitas tukar kation yang rendah.
Ciri Morfologi
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada
klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai
Podsolik Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat
bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 36 dan kroma 48 (Subagyo
et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997; Suhardjo dan Prasetyo
1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Warna tanah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan
warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa
dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti
goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin
coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah
warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys 1970; Allen dan
Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).
Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya.
Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai
tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan
tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai
tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987;
Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Ultisol umumnya mempunyai struktur
sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al.
2004; Prasetyo et al. 2005).
Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol.
Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan
granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang
hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).
Topografi
Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (>
30%) dan berbukit (15-30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90
juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka
terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan
curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan,
namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan
perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-ber gelombang dengan lereng <
15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk per kebunan mencakup 19,60
juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit,
kelapa, dan karet.
Diseminasi Teknologi
Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk
teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan
melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik. Namun
akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara dan
media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode
diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber
teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi.
Salah satu terobosan dalam disemina si teknologi pertanian adalah melalui
Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan
untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang
dihasil kan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering,
termasuk pengembangan budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya
dengan introduksi benih unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat
berkembang lebih cepat dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan
nasional secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, dkk. 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional Jurnal Litbang Pertanian 27(2) :
Bogor.