Anda di halaman 1dari 13

PERAN GENERASAI MILENEAL DALAM DEMOKRASI

MELALUI PEMILU 2019

A. PENDAHULUAN
Pemilu serentak 2019 mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar dibanding
sebelumnya. Ada dua “magnet” yang menambah daya tarik. Pertama,
dibersamakannya waktu pelaksanaan pilpres dengan pileg, yakni Rabu, 17 April
2019. Ini kali pertama dalam sejarah pemilu di tanah air. Kedua, munculnya generasi
milenial dalam jumlah yang signifikan sebagai partisipan. Menarik, karena generasi
milenial memiliki karakter yang berbeda dari generasi pendahulunya.
Dua hal itupemilu serentak dan generasi milenialtentu mempengaruhi
konstelasi politik Pemilu 2019. Pemilu serentak sudah tentu menambah kompleksitas
pelaksanaannya. Yang berimplikasi makin kompleksnya problematika yang dihadapi
para stakeholder pemilu. KPU, Bawaslu, Parpol, aparat keamanan beserta jajarannya
dituntut bekerja extra keras demi suksesnya Pemilu 2019. Di tengah potensi konflik
antar kontestan dan pendukungnya yang diprediksi juga akan meningkat.
Menurut data BPS 2018, prediksi pemilih milenial pada pilkada 2018 cukup
banyak, yakni sekitar 35-40%. Pengaruh pemilih milenial yang penting dan signifikan
pada Pemilu sudah disadari oleh Partai Politik peserta Pemilu dan para calon
kandidatnya. Bahkan perburuan suara pemilih muda sudah dimulai sejak Pemilu yang
sudah diselenggarakan selama dua tahun terakhir yaitu banyak yang sudah mulai
memperhitungkan suara dari pemilih muda dalam proses kampanye sehingga tidak
jarang berbagai cara dilakukan untuk bisa menghimpun suara para pemilih muda ini.
Salah satu yang harus menjadi perhatian khusus adalah pendidikan politik yang masih
rendah di kalangan pemilih muda atau bisa disebut juga sebagai pemilih pemula
tersebut.
Namun generasi milenial cenderung bersikap Apathetic Voters, atau yang
sering disebut dengan pemilih cuek, yaitu pemilih yang apatis terhadap seluruh proses
politik. Mereka cenderung cuek dan tidak peduli terhadap partai politik. Mereka
cenderung cuek dan tidak peduli terhadap partai politik. Sikap milenial ini harus bisa
diubah, yang merupakan tantangan bagi setiap calon pemilu maupun partai politik,
karena mengingat jumlah pemilih dari generasi milenial sangat signifikan.

B. RUMUSAN MASALAH
Ada beberapa hal yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu masih kurang
pedulinya pemilih pemula akan proses pelaksanaan pemilu sehingga tidak
memberikan hak suaranya pada pemilihan umum, dan karakteristik yang pada
umumnya terdapat pada generasi milenial memberikan pengaruh pada sikap
menentukan langkah berpolitik. Selain itu juga akan membahas mengenai tantangan
pada para peserta politik untuk dapat memberikan motivasi pada generasi milenial
untuk dapat menjadi berpartisipasi pada bidang politik khususnya dalam pemilihan
umum.

C. PEMBAHASAN
1. Potensi Jumlah Partisipasi Politik Generasi Milenial
Partisipasi politik (Sitepu, 2012) adalah suatu kegiatan dari warga
negara baik secara langsung maupun tidak langsung (tidak sengaja) terkait
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat dilakukan oleh indvidu-
individu maupun kelompok secara spontan maupun dimobilisasi. 1 Disisi lain
juga merumuskan bahwa partisipasi politikadalahmerupakan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok untuk ikutserta
secara aktif dalam kehidupan politik yakni dengan memilih pimpinan negara
baik secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru
pertama kali menggunakan hak pilihnya. Orientasi politik pemilih pemula ini
1
Sitepu, P.A. (2012). Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Namun terlepas dari semua itu, keberadaan
pemilih pemula tentu menjanjikan dalam setiap ajang pemilihan umum,
sebagai jalan untuk mengamankan posisi strategis yang ingin dicapai oleh
setiap kandidat yang maju dalam pemilihan. Siapapun itu yang bisa merebut
perhatian kalangan ini akan dapat merasakan keuntungannya, sebaliknya
ketiadaan dukungan dari kalangan ini akan terasa cukup merugikan bagi
target-target suara pemilihan yang ingin dicapai.
Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar, mahasiswa atau pemilih
dengan rentang usia 17-21 tahun menjadi segmen yang memang unik,
seringkali memunculkan kejutan dan tentu menjanjikan secara kuantitas.
PAda rentang usia tersebat pada era ini disebut sebagao generasi milenial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, kata “milenial” berarti
berkaitan dengan milenium atau berkaitan dengan generasi yang lahir di
antara tahun 1980-an dan 2000-an.
Menurut Gaffar dalam Efrizal (2012) pemilu adalah sarana utama
mewujudkan demokrasi dalam suatu negara. Substansi pemilu adalah
penyampaian suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan
pemerintahan sebagai penyelenggara negara. Suara rakyat diwujudkan dalam
bentuk hak pilih, yaitu hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada.
Sedangkan menurut Efriza (2012) pemilu merupakan cara yang terkuat bagi
rakyat untuk berpartisipasi didalam sistem demokrasi perwakilan modern.2
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum
adalah sarana demokrasi untuk membentuk suatu sisitem kekuasaan negara
yang lahir dari rakyat da nmenurut kehendak
rakyatyangdipraktekkandalambentuk perwakilan yang didalamnya terdapat
kompetisi politik yang dilaksanakan secara adail dan terbuka dalam
pelaksanaanya.
2
Efriza. (2012). Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung: Alfabate.
Pada pemilu tahun 2019, selain menggunakan sistem yang baru yaitu
pemilihan serentak, pada pemilu 2019 juga muncul adanya pemilih-pemilih
baru terutama didominasi oleh generasi milenial. Kedua kubu yang akan
bertarung dalam Pilpres 2019 baik Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin ataupun
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sama-sama ingin menggaet suara dari
kelompok milenial atau pemilih pemula yang berusia 17 s.d 21 tahun dengan
jumlah pemilih muda millenial terbanyak dalam sejarah yaitu 34,2% (data
berdasarkan Daftar Pemilih Tetap KPU).3
Target politik ini wajar saja sebab jumlah pemilih muda mencapai 70
sampai 80 juta pemilih dari sekitar 193 juta pemilih atau mencapai 35 s/d 40
persen. Namun, tidak mudah untuk menggaet suara dari kelompok ini yang
memiliki “political taste” yang berbeda dari generasi sebelumnya, sehingga
sangat menarik untuk diterka kemana suara pemilih milenial akan disalurkan
dalam Pilpres 2019.
Sementara itu, Poltracking Indonesia mencatat, pada Pemilu 2019
setidaknya terdapat 40% pemilih berusia 17-35 tahun. Secara konseptual,
rentang usia ini sebenarnya mencangkup Generasi Y (milenial) yang lahir
pada periode (1980-1994) dan Generasi Z yang lahir setelah 1994. Namun,
belakangan istilah milenial di Indonesia digunakan untuk menyebut “generasi
muda”.4 Potensi partisipasi pemilih milenial ini diperkirakan sekitar 76%-
77%, cukup besar bila dibandingkan dengan rentang usia yang lain.Pemilih
milenial juga menjadi incaran karena mereka saat ini tidak hanya menjadi
konsumen informasi. Pemilih milenial adalah mereka yang cukup aktif
berinternet, tempat diskursus politik menyebar nyaris tanpa kontrol. Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 mencatat, rentang
usia 19-35 tahun menyentuh 49,52% pengguna Internet di Indonesia. Artinya,

3
https://unej.ac.id/pemilih-milenial-dominasi-pesta-demokrasi-2019-harus-mampu-tentukan-pilihan-
dengan-cerdas-dan-bijak/
4
Kaelola, Akbar. (2009). Kamus Istilah Politik Kontemporer. Yogyakarta: Cakrawala.
para pemilih milenial ini akan berkontribusi besar dalam persebaran wacana
seputar dunia politk.
Namun, gejala kelompok milenial “bosan” dengan perkembangan
politik juga pernah diberitakan sebuah media online nasional. Dikutip dari
media tersebut yaitu “Daripada ngomongin politik, lebih baik main ML
(Mobile Legend, game yang sedang digandrungi), politik itu menyebalkan,
urusan orang-orang tua, apalagi sekarang, berantem dan pecah belah, sebar
ujaran kebencian, memuakkan.”
Sejumlah lembaga survei pernah meneliti arah pilihan generasi
milenial, setidaknya pernah dilakukan CSIS, LSI Denny JA dan Harian Jawa
Pos. Menilik temuan survei Centre for Strategic and Internasional Studies
(CSIS) yang dirilis 2017 lalu, Jokowi masih lemah pada segmen pemilih
milenial yang hanya 31,7%. Bahkan Jokowi kalah dari Prabowo Subianto
yang mengantongi 35,7%. Karenanya, kelemahan tersebut bisa menjadi
peluang bagi penantang lain untuk dimaksimalkan sebaik mungkin.
Sedangkan, survei LSI Denny JA dilakukan pada 12-19 Agustus 2018.
Metode yang digunakan multistage random sampling di 34 provinsi. Survei
dilakukan dengan wawancara tatap muka menggunakan kuesioner kepada
responden sebanyak 1.200 orang. Adapun margin of error survei LSI Denny
JA tersebut 2,9 persen. Jokowi-Ma’ruf unggul pada pemilih Muslim, pemilih
non-Muslim, masyarakat ekonomi rendah, perempuan, dan milenial.
Sementara itu, Prabowo-Sandiaga Uno hanya unggul di kantong pemilih
kaum terpelajar. Meski hanya unggul di satu kantong pemilih, Prabowo-
Sandiaga dinilai masih punya peluang untuk menaikkan elektabilitas. Sebab,
Prabowo-Sandiaga unggul pada kantong kaum terpelajar yang dinilai penting
karena bisa menjadi pengiring opini.
Adapun JawaPos.com pernah menggelar jajak pendapat dengan
mewawancarai delapan orang yang tergolong dalam generasi milenial.
Hasilnya mereka yang memilih Jokowi beralasan antara lain : Pertama, selama
pemerintahan Jokowi, sangat bisa dirasakan pembangunan masyarakat dan
birokrasi di pemerintahan menjadi lebih baik. Kedua, pemerintahan Jokowi
sangat transparan. Pembangunan di kawasan pinggiran selalu menjadi
prioritas. Ketiga, Jokowi selalu terjun ke lapangan untuk menyerap aspirasi
penduduknya.5
Sedangkan mereka yang memilih Prabowo Subianto beralasan
pertama, tidak ingin Indonesia ditindas oleh negara lain yang juga mencuri
kekayaan yang dimiliki Indonesia. Kedua, Prabowo mempunyai kesan
berwibawa dan ditakuti asing. Ketiga, ada yang memilih mantan Danjen
Kopassus itu lantaran kasihan yang bersangkutan sangat ingin menjadi
pemimpin bangsa.
Memenangkan hati pemilih milenial berarti memenangkan “perang”
wacana di media massa karena pusaran informasi akan berada di tangan
mereka. Untuk memenangkan hati mereka, maka pencitraan yang taktis mesti
dipilih. Sebab jika tidak, warning Franz Magnis Soeseno bisa menjadi
kenyataan. Demokrasi bukan mengenai memilih yang terbaik, melainkan
mengenai mencegah yang paling buruk berkuasa (Franz Magnis Soeseno
dalam buku Iman dan Hati Nurani, 2004).

2. Karakter Politik Generasi Milenial


Hal yang juga tak kalah penting adalah bagaimana strategi
menyampaikan visi dan misi politik kepada generasi milenial. Tentu strategi-
strategi tersebut harus sesuai dengan karakteristik generasi milenial. Dalam
White Paper yang diterbitkan oleh Alvara Research Center, "Indonesia 2020:
The Urban Middle -- Class Millenials" terdapat tiga karakter generasi
milenial.6

5
https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/05/04/2018/jokowi-atau-prabowo-generasi-milenial-
pilih-siapa/
6
Alvara Research Center, "Indonesia 2020: The Urban Middle -- Class Millenials
Karakter pertama adalah creative. Generasi milenial merupakan
generasi yang penuh dengan ide-ide kreatif. Mereka cenderung berpikir out of
the box dalam menghadapi setiap persoalan. Mereka lebih menyukai hal-hal
atau gagasan-gagasan baru sebagai sebuah solusi.
Karakter kedua adalah confidence, atau percaya diri. Generasi milenial
memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka tidak ragu berdebat tentang
apapun, dimanapun dan dengan siapapun. Mereka dengan berani akan
menyampaikan pendapat pribadi mereka, bahkan di ruang-ruang publik
sekalipun.
Karakter ketiga adalah connected. Generasi milenial merupakan
generasi yang gemar dan mudah bersosialisasi. Mereka terhubung dalam
komunitas-komunitas tertentu. Mereka aktif dalam menggunakan internet dan
rajin bergerak di media sosial. Oleh karena itu, penggunaan panggung-
panggung musik harus mulai bergeser pada pemanfaatan media sosial sebagai
media kampanye.
Ketiga karakter generasi milenial tersebut harus dipertimbangkan oleh
partai politik untuk merebut suara mereka. Partai-partai politik harus memiliki
strategi-strategi yang kreatif dalam menyampaikan sebuah visi dan misi.
Karakteristik yang kuat dari generasi millenial ialah tingginya angka
literasi dan keterlibatan mereka di Internet. Boston Consulting Group (BCG)
dan University of Berkeley dalam penelitian "Milenials Amerika 2011:
Menguraikan Generasi Enigma" mengidentifikasi wajah kuat milenial
Amerika sebagai penduduk asli digital.
Sekitar 57 persen milenial Amerika termasuk di antara kelompok
pertama yang mencoba teknologi baru. Aktivitas online mereka dalam
mengunggah dan membuat konten mulai dari foto, blog, blog mikro, dan
lainnya sangatlah tinggi: 60 persen, apabila dibandingkan dengan aktivitas
kelompok non-milenial sebanyak 29 persen.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 oleh Pusat Penelitian
Alvara Indonesia menunjukkan bahwa generasi milenial Indonesia memiliki
karakteristik yang hampir sama dengan milenial Amerika. Milenial Indonesia
memanfaatkan sumber digital untuk mengetahui dan memahami politik
dengan mengandalkan kanal Twitter, Facebook, YouTube, Instagram, dan
LINE (alih-alih WhatsApp) untuk membentuk persepsi mereka tentang
politik. Kandidat presiden yang bersaing yang mempraktekkan politik secara
teoretis sekarang perlu mengatasi fenomena politik baru ini untuk mencapai
kesuksesan.
Perspektif para milenial Indonesia adalah, apakah merangkul politik
bermanfaat untuk kebutuhan mendesak serta kreativitas dan imajinasi inovatif
mereka. Idealisme dalam politik, yang berarti komitmen penuh terhadap
ideologi politik mulai dari haluan kiri, Islami, atau liberal, bukanlah perspektif
umum di kalangan politik milenial. Kelompok milenial mempertimbangkan
politik berdasarkan dampak nyata dan langsung bagi mereka.

3. Strategi Menarik Minat Generasi Milenial Dalam Berpolitik


Usaha merebut suara generasi milenial bukanlah sesuatu yang mudah.
Hasil riset yang dilakukan oleh Alvara Research Center tahun 2014,
menunjukkan bahwa generasi milenial merupakan Apathetic Voters.
Apathetic Voters, atau yang sering disebut dengan pemilih cuek, adalah
pemilih yang apatis terhadap seluruh proses politik. Mereka cenderung cuek
dan tidak peduli terhadap partai politik. Mereka lebih melihat pada sosok
kandidat yang dicalonkan, sebagai pertimbangan mereka dalam menjatuhkan
suara.
Keunikan generasi milenial ini tentu membutuhkan strategi khusus
untuk merebut suara mereka. Salah satu strategi tersebut antara lain
mengusung generasi milenial sebagai calon pemimpin suatu daerah. Sebagai
contoh, pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Kelompok generasi milenial Indonesia akan menentukan arah
pemilihan presiden (pilpres) 2019 karena ukuran populasi mereka yang
signifikan, 34-50 persen. Mereka juga tidak memiliki sikap apolitis. Kandidat
yang mampu memikirkan, menyerap, dan mengakomodasi aspirasi mereka
akan memiliki cukup keuntungan untuk menang.
Indonesia telah mengambil langkah pertama menuju pemilihan
presiden 2019 dengan mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden pada tanggal 10 Agustus 2018. Pilpres 2019 menjadi kesempatan
kedua bertemunya Joko "Jokowi" Widodo dan Prabowo Subianto. Pemilih
dari kelompok usia generasi milenial menjadi target potensial karena jumlah
populasi mereka yang signifikan dan merebaknya penggunaan media sosial
mereka.
Terdapat asumsi bahwa kelompok milenial tidak akan menggunakan
hak mereka untuk memilih dalam pemilihan presiden 2019 karena sikap
apolitis mereka. Asumsi ini tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk
mengabaikan signifikansi mereka. Hal ini akan menjadi kerugian besar bagi
Indonesia jika kedua kandidat presiden Jokowi dan Prabowo mengabaikan
pengaruh milenial dalam pemilihan presiden 2019
Penyampaian berbagai informasi yang kini semakin dipermudah oleh
fasilitas internet, membuat ruang baru yang disebut ruang virtual. Ruang baru
tersebut menimbulkan sebuah budaya media baru, dimana citra, suara, dan
lensa membantu menghasilkan rajutan kehidupan sehari-hari, mendominasi
waktu luang, membentuk pandangan-pandangan politik dan sikap sosial, dan
memberikan bahan yang digunakan orang untuk membangun identitas
pribadi. 
Generasi milenial atau yang sering disebut generasi Y, memiliki
tanggung jawab yang besar dalam membangun masa depan bangsa. Indonesia
adalah negara demokrasi, partisipasi penuh generasi milenial dalam Pemilu
menjadi kontribusi yang amat besar bagi negara. Karena itu, pemilihan calon
legislatif, calon presiden, dan wakil presiden pada tahun 2019 diharapkan
menjadi pemilu yang merlibatkan seluruh generasi milenial di dalamnya.
Pentingnya partisipasi generasi milenial dalam pemilu menimbulkan
berbagai strategi dan upaya persuasi mengenai hal itu. Pemanfaatan teknologi
informasi adalah hal yang paling sering dilakukan. Persebaran informasi yang
semakin cepat dengan menghadirkan berbagai konten -- konten didalamnya
yang didesain sedeikian rupa agar dapat mempengaruhi persepsi orang yang
melihatnya
Berbagai usaha tak luput dilakukan pemerintah dalam mengajak para
pemilih untuk menggunakan hak suaranya, seperti menyelenggarakan
berbagai program untuk menyukseskan pemilu seperti, KPU Goes to Campus,
Festival Rumah Pemilu, dialog publik bertema "Peran Generasi Millenial
dalam Menyongsong Pemilu 2019" yang digagas Komunitas Peduli Pemilu,
dan masih banyak sosialisasi yang dilakukan melalui media sosial, seperti
poster atau video iklan.
Pemanfaatan media sosial ini tentu harus dilakukan secara kreatif dan
massif. Pertama, partai politik dapat membuat infografis yang berisi visi dan
misi pasangan calon. Infografis ini kemudian dibagikan/diviralkan secara
massif melalui berbagai media sosial.
Infografis dengan tampilan yang unik dan menarik tentu akan lebih
efektif daripada menyebar ataupun menempel berlembar-lembar pamflet,
brosur, dan yang semacamnya. Infografis yang keren akan lebih efisien
dibandingkan dengan memasang ribuan spanduk di jalan-jalan ataupun
memaku poster di batang-batang pohon.
Kedua, para pasangan calon dapat menggunakan media sosial untuk
menyampaikan pesan politik mereka kepada generasi milenial. Mereka juga
dapat memanfaatkan media sosial untuk meluruskan pernyataan-pernyataan
lawan politik yang merugikan mereka.
Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu membuktikan bahwa media sosial
sangat efektif dalam mengkampanyekan keunggulan suatu pasangan calon,
sekaligus membongkar kekurangan pasangan calon yang lain. Tentu
pemanfaatan media sosial ini juga harus tetap memperhatikan aturan, norma,
dan budaya politik yang penuh santun di Indonesia. Penyampaian pesan-pesan
politik melalui media sosial harus rasional dan berorientasi pada adu program,
bukan black campaign yang lebih menyerang karakter individu pasangan
calon.
Ketiga, ketika generasi milenial mulai tertarik, partai-partai politik
harus memanfaatkan momen tersebut dengan segera membentuk simpul-
simpul relawan. Partai-partai politik harus membentuk komunitas-komunitas
diantara generasi milenial. Simpul-simpul relawan dan komunitas ini
kemudian digerakkan secara massif untuk mengajak generasi/masyarakat lain
memilih sosok kandidat yang sama dengan pilihan mereka.
Gerakan ini dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial, atau
langsung terjun ke masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial. Hal yang
tidak bisa dipungkiri dalam kemenangan Jokowi - JK pada Pilpres 2014 lalu
adalah keberhasilan gerakan para relawan.
Gerakan yang didominasi anak-anak muda (generasi milenial) ini
begitu massif mengajak masyarakat lain, generasi yang lebih tua, untuk
menjatuhkan suara pada Jokowi - JK. Pola-pola gerakan ini, ditambah dengan
kekuatan media sosial, masih sangat relevan untuk digunakan kembali dalam
Pilpres 2019.
Terlepas dari apapun strategi partai-partai politik dalam memenangkan
pertempuran, kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan. Pada
hakekatnya politik hanyalah alat untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan itulah
yang akan digunakan untuk mencapai tujuan nasional, yaitu masyarakat adil
dan makmur.
Justru perhelatan politik pada tahun 2018 dan 2019 adalah momentum
tepat untuk mendidik generasi milenial bagaimana berpolitik yang cerdas,
santun, dan beradab. Itulah saat yang tepat untuk mengajarkan anak-anak
muda bagaimana mencapai tujuan dengan cara-cara yang elegan, meraih suara
tanpa menghina, menggapai kemenangan tanpa cacian.
Hasil pemilu menjadi penentu pemimpin negara Indonesia dalam lima
tahun ke depan. Pemimpin tersebutlah yang kebijakannya berpengaruh besar
pada Indonesia di masa depan. Jadi, pilihan kita dalam pemilu ini menentukan
arah dan masih Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Dalam Pemilihan Umum 2019, terdapat delapan puluh juta pemilih
milenial yang berusia 17-35 tahun dari jumlah pemilih secara keseluruhan,
baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang berjumlah 192.828.520
pemilih. Suara milenial yang jumlahnya signifikan tadi, sangat disayangkan
apabila tidak digunakan dalam pemilu mendatang. Hal ini dikarenakan
milenial, yang usianya tergolong muda, akan menjadi penerus bangsa di masa
mendatang. Para milenial lah yang akan meneruskan perjuangan para pendiri
negara sejak masa lalu dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Namun, nasib Indonesia tidak dapat ditentukan dalam sekejap saat para
milenial nanti menjadi pemimpin bangsa, tetapi harus ditentukan sejak saat
ini, yaitu melalui pemilu mendatang.

D. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pada pemilu tahun
2019, selain menggunakan system yang baru yaitu pemilihan serentak, pada pemilu
2019 juga muncul adanya pemilih-pemilih baru terutama didominasi oleh generasi
milenial. kelompok milenial atau pemilih pemula yang berusia 17 s.d 21 tahun
dengan jumlah pemilih muda millenial terbanyak dalam sejarah yaitu 34,2%. Dengan
jumlah tersebut maka sangat berpotensi untuk mempengaruhi hasil kemenangan
setiap paslon presiden. Terdapat tiga karakter generasi milenial, karakter pertama
adalah creative. Generasi milenial merupakan generasi yang penuh dengan ide-ide
kreatif. Karakter kedua adalah confidence, atau percaya diri. Generasi milenial
memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Karakter ketiga adalah connected. Generasi
milenial merupakan generasi yang gemar dan mudah bersosialisasi menggunakan
internet.
Strategi menarik minat generasi milenial dalam berpolitik yaitu dengan
pemanfaatan media sosial ini tentu harus dilakukan secara kreatif dan massif.
Pertama, partai politik dapat membuat infografis yang berisi visi dan misi pasangan
calon. Kedua, para pasangan calon dapat menggunakan media sosial untuk
menyampaikan pesan politik mereka kepada generasi milenial. Ketiga, memanfaatkan
momen tersebut dengan segera membentuk simpul-simpul relawan.

E. REFERENSI
Alvara Research Center, "Indonesia 2020: The Urban Middle -- Class Millenials

Efriza. (2012). Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung: Alfabate.

Kaelola, Akbar. (2009). Kamus Istilah Politik Kontemporer. Yogyakarta:


Cakrawala.

Khalehar, M.F.A,, Ade A.J.S, Ivan S.Z., Prayetno, (2017), Perilaku Memilih
Pemilih Pemula pada Proses Pemilihan Kepala Desa Laut Dendang Tahun
2016, Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9 (1): 99-101.

Marbun, B.N. (2013). Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sitepu, P.A. (2012). Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

https://unej.ac.id/pemilih-milenial-dominasi-pesta-demokrasi-2019-harus-mampu-
tentukan-pilihan-dengan-cerdas-dan-bijak/ diakses pada 21 Juli 2019

https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/05/04/2018/jokowi-atau-prabowo-
generasi-milenial-pilih-siapa/ diakses pada 21 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai