Anda di halaman 1dari 7

Ekspresi Politik Generasi Milenial di Era Digital

“Milenial sadar digital, harus jadi pemilih rasional!”


Oleh Ahmad Halim Amrullah

Di era yang serba digital ini, internet sudah menjadi ranah yang patut untuk
diperhatikan, mengingat aktivitas daring yang dewasa ini bahkan sudah mengalahkan
aktivitas luring pada generasi milenial. Banyak dari mereka sekarang lebih memilih berdiam
diri di rumah dan melihat dunia luar melalui gawai mereka masing-masing. Dunia maya
sudah dianggap sebegitu pentingnya.
Menyangkut jelang pesta politik akbar lima tahunan ini, bagaimana ekspresi politik
generasi milenial dalam menghadapi hiruk-pikuk pesta demokrasi negara kita? Pada pemilu
tahun ini, jelas bahwa tingkat kemenangan para paslon akan ditentukan oleh besarnya jumlah
pemilih diusia remaja. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih
milenial mencapai 70-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih.1 Ini menandakan suara generasi
milenial sangat penting untuk dapat digaet.
Terkait dengan itu, generasi milenial yang sangat akrab dengan dunia digital, agaknya
juga menjadi perhatian para politisi untuk bergerak cepat mempromosikan paslon mereka
masing-masing di dunia digital, khususnya media sosial. Karena kecenderungan generasi
milenial lebih peka terhadap isu yang ada di media sosial, jelas itu menjadi faktor penting
yang bisa menentukan pilihan politik mereka pada pemilu 2019 nanti.
Sejak hadirnya media sosial, memang dampaknya tidak dapat dianggap sepele. Akses
yang mudah dan murah menjadikan dunia ini sangat dicintai oleh masyarakat, apalagi kaum
milenial yang sejak kecil sudah kenal dengan berbagai gawai dan bermacam-macam akses
internet yang membiasakan mereka dengan dunia digital lebih cepat dan masif.
Namun hadirnya sosial media dengan pengguna masif tidak lantas menjadikannya
media yang tanpa celah. Dampak baik dan buruk bermacam-macam di dunia yang katanya
‘The Real Democracy’ ini. Positif atau negatifnya dampak yang ditimbulkan oleh media
sosial semuanya berada dalam kendali sang pengguna itu sendiri.
Sejak Pemilu 2014 media sosial dipandang menjadi alat yang efektif berkampanye,
beradu gagasan, termasuk menjatuhkan lawan yang berseberangan. Tensi penggunaan media
sosial untuk tujuan itu kian meningkat.2 Disinilah dibutuhkan kerasionalan para pemilih
generasi milenial untuk mampu menyikapi hal-hal yang berbau politik di media sosial yang
bebas ini.

1
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/17/19090001/beda-cara-generasi-milenial-dalam-politik
2
http://id.beritasatu.com/home/media-sosial-di-tahun-politik/171239
Plano (dalam Mulyana, 2007 : 29) melihat bahwa ”komunikasi politik merupakan
proses penyebaran, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”.
Jadi keberhasilan calon presiden dan calon wakil presiden dalam menyebarkan makna atau
pesan yang dibentuknya dan selanjutnya keberhasilan membentuk persepsi positif calon
pemilih akan menentukan jumlah dukungan suara yang akan diraihnya dalam pemilu.3
Dewasa ini, nampak bahwa generasi muda sudah mulai peduli dengan politik dengan
menggunakan media sosial untuk mencari tahu informasi seputar paslon yang akan bertarung
di pilpres 2019 contohnya. Media sosial digunakan sebagai tolak ukur dan pembanding antara
paslon satu dan yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa media sosial bagi generasi milenial
sangat besar pengaruhnya dalam berbagai hal, termasuk ajang kampanye parpol dalam
mempromosikan paslonnya.
Dengan banyaknya jumlah pastisipan politik pada tahun 2019 nanti, menjadi hal baru
bagi parpol untuk berstrategi mempromosikan paslonnya dengan gaya yang ’modern’ dan
non-konvensional. Maka, hadirnya sosial media bagi pilpres tahun ini menjadi penting
perannya bagi pemilih pemula untuk mendapat informasi, pun juga dengan parpol untuk
mengait suara para pemilih pemula.
Menurut Michael Rush dan Philip Althoff (Maran, 2001: 148) mengidentifikasi
bentuk-bentuk partisipasi politik yaitu: (a) menduduki jabatan politik atau administrasi; (b)
mencari jabatan politik atau administrasi; (c) menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi
politik; (d) menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik; (e) menjadi anggota pasif
dalam suatu organisasi semi politik; (f) menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi
politik; (g) partisipasi dalam rapat umum, demontrasi, dsb; (h) partisipasi dalam diskusi
politik internal; dan (i) partisipasi dalam pemungutan suara.4
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemilih adalah warga Negara Indonesia yang
telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin (Pasal 1 ayat (22) UU No
10 tahun 2008 tentang Pemilu). Kemudian pemilih yang mempunyai hak memilih adalah
warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih dan
pada hari pemungutanm suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin. (Pasal 19 ayat 1 dan 2 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu).5
Pentingnya media sosial bagi parpol sudah terbukti dengan pilpres yang terjadi di
Amerika beberapa tahun silam, dimana Obama berhasil memenangkan pesta akbar demokrasi
tersebut.
Keberhasilannya menggunakan media sosial dipandang sebagai salah satu faktor
kesuksesan Barack Obama memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat. Sekitar 30
persen pesan-pesan kampanye Obama disampaikan melalui media baru (Riaz, 2010).

3
Jurnal PEMILIHAN PRESIDEN, MEDIA SOSIAL DAN PENDIDIKAN POLITIK BAGI PEMILIH PEMULA oleh Markus
Utomo Sukendar, S.Sos, M.I.Kom
4
Jurnal PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIH PEMULA DIKALANGAN PELAJAR DI
KABUPATEN BOGOR oleh Ike Atikah Ratnamulyani dan Beddy Iriawan Maksudi
5
Jurnal PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIH PEMULA DIKALANGAN PELAJAR DI
KABUPATEN BOGOR oleh Ike Atikah Ratnamulyani dan Beddy Iriawan Maksudi
Beberapa tahun sebelum Obama, terdapat nama Howard Dean yang mampu
memanfaatkan internet untuk meraih atensi publik AS. Namun saat itu Dean kandas di
konvensi nasional Partai Demokrat (Chavez, 2012). Di Inggris, makin banyak anggota
parlemen menggunakan blog dan Yahoo Groups untuk mengkomunikasikan ide mereka dan
mendengarkan ide orang lain. (Gurevitch, et.al. 2009).6
Strategi pendekatan yang tepat kepada pemilih pemula (kaum muda) dengan
kampanye melalui lagu-lagu parodi dengan latar belakang musik populer (rock, pop,
dangdut) dan disebarluaskan melalui media sosial, adalah salah satu faktor penentu
kemenangan Jokowi-Ahok saat itu. Seperti contoh video parodi What Makes You Beautiful
menjadi salah satu faktor kemenangan pasangan Jokowi - Ahok (Basuki). Video yang
dipublis tanggal 25 Agustus 2012 hingga Kamis, 30 Agustus pukul 6.00 WIB, video tersebut
sudah ditonton oleh 600.000-an orang. Bahkan sebelum pemilihan suara pada putaran kedua,
video tersebut telah dikunjungi oleh lebih dari 1,5 juta penonton.
Dengan karakter media sosial yang membuat orang mudah lupa, merawat isu dengan
konsisten adalah cara untuk tetap diingat publik. Jejak digital akan diingat—atau diungkit—
publik dan bisa digunakan sebagai senjata di masa pemilihan umum. Melihat fakta bahwa
partai politik di Indonesia kerap hanya dirasakan kehadirannya ketika musim pemilu,
“kehadiran” di media sosial setidaknya menjaga agar isu yang dibawa terus itu dekat dengan
publik.7
Di sisi lain perlu ada regulasi yang jelas dan komprehensif. Kecurangan dan
pelanggaran amat mungkin terjadi saat regulasi yang ada memiliki banyak celah. Amat
mungkin terjadi kampanye di media sosial saat masa tenang dan pungut-hitung.
Permenkominfo No 14/2014 tentang Kampanye Pemilu melalui Penggunaan Jasa
Telekomunikasi perlu disosialisasikan dan diperkuat dengan peraturan KPU dan peraturan
Bawaslu. Potensi pelanggaran lainnya terkait kejelasan aktor dan materi kampanye. Perlu ada
aturan yang jelas untuk mencegah kampanye yang bersifat fitnah, terutama oleh akun-akun
anonim.8
Video berdurasi 3 menit 22 detik ini diunggah oleh CameoProject, lirik lagu Boyband
One Direction diubah dalam bahasa Indonesia, lagu itu menceritakan sejumlah warga DKI
Jakarta yang hendak membuat KTP. Munculnya video parodi sindiran yang memuat
susahnya pembuatan KTP di Youtube, oleh tim relawan cagub DKI Jakarta Jokowi-Ahok,
merupakan kreativitas yang sangat bagus, menggambarkan pemimpin lama yang tidak bagus,
dan Jakarta membutuhkan pemimpin baru. Karya tersebut cukup menarik karena isinya
berbentuk parodi yang lucu namun mengena dan tepat sasaran.
Jelas sekali bahwa suara pemilih pemula dari kalangan kaum muda merupakan salah
satu faktor penentu kemenangan Jokowi-Ahok pada Pemilukada DKI Jakarta 2012.
Penggalangan suara kaum muda dilakukan oleh tim sukses Jokowi-Ahok dengan
memanfaatkan kreativitas mencipta, mendaur ulang lagu atau musik populer di Indonesia.
Baik jenis musik rock, pop, dangdut dan lainnya.

6
Jurnal Komunikasi Politik di Era Media Sosial oleh Faridhian Anshari
7
https://tirto.id/partai-politik-dalam-belantara-media-sosial-cEZG
8
https://nasional.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/Media.Sosial.dalam.Kampanye.Politik
Karena sekarang para remaja cenderung lebih suka melihat dunia luar melalui
gawainya, dan makin mulai meninggalkan media konvensional, seperti televisi dan koran
atau majalah, maka sudah barang tentu bahwa pemilih pemula akan lebih tertarik dengan
paslon yang gencar mempromosikan diri melalui media sosial yang lebih sering kaum
milenial gunakan.
Karena semakin maraknya parpol yang berkampanye di media sosial, membuat
obrolan para kaum muda menjadi tidak lagi itu-itu saja. Bahasan politik agaknya sudah bukan
lagi hal tabu dan berat untuk diperbincangkan antar teman sebayanya. Justru politik menjadi
bahasan yang menarik karena begitu kompleks dan banyak persepsi yang ditimbulkan dari
hanya satu bahasan politik saja.
Seperti yang bisa kita lihat akhir-akhir ini di berbagai media sosial, sudah banyak
konten creator muda yang tidak sungkan lagi untuk membuat konten berisi bahasan politik,
atau perbincangan ringan seputar politik yang sebetulnya berat, namun mereka bungkus
dengan cara menarik dan terkesan ringan. Contoh saja, seperti kanal Youtube CameoProject,
dan GeoLive.Id, mereka membungkus bahasan politik dengan menarik yang membuat kaum
muda tertarik untuk mengikuti perkembangan politik di Indonesia.
Untuk menghindari masuknya informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan,
serta menghindari HOAX yang dewasa ini marak diberitakan mengingat kini sudah masuk
masa kampanye, langkah apa saja yang harus dihindari calon pemilih dalam menyikapi suatu
berita? Saya sudah mencoba merangkum beberapa poin yang saya rasa penting untuk
dihindari oleh para calon pemilih dalam menyikapi masa kampanye di media sosial.
1. Membaca berita dari sumber yang tidak jelas
Adalah kesalahan besar bagi calon pemilih untuk mudah tertipu atau percaya pada
semua berita yang diwartakan di media sosial. Perlu diingat, siapapun bias memberitakan
apapun di jejaring sosial. Sudah sepatutnya kita sebagai calon pemilih mampu memfilter
sumber berita yang akan kita konsumsi.
2. Membaca berita sepotong-sepotong, tidak menyeluruh
Membaca berita hanya karena tertarik dengan headline atau judul, lalu kemudian
mengambil kesimpulan sendiri tanpa tahu apa yang sebenarnya hendak diberitakan media
tersebut.
3. Melihat isu dari salah satu paslon saja
Penting untuk memperhatikan kedua calon, bukan hanya satu calon saja. Karena pada
masa kampanye politik, semua hal bisa dimainkan, jika kita tidak cermat dan berusaha kritis,
bisa jadi semua berita yang masuk belum jelas kebenarannya.
4. Ikut menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya
Ini adalah kesalahan fatal. Semua berita bisa saja benar dan bisa juga salah. Kita
sebagai pemilih wajib untuk bijak dalam membaca, apalagi menyebarkan berita. Kembali
saya ingatkan, dalam politik semua bisa dimainkan. Jika kita salah langkah, apalagi ikut
menyebarkan berita bohong, kita termasuk orang yang merugi dan berpotensi merugikan diri
orang lain karena menyebarkan berita bohong.
5. Mempercayai isu mentah-mentah tanpa melakukan observasi lebih mendalam
Sebelum kita menyakini suatu berita dan isu, kita juga perlu paham dan mengerti
informasi yang kita dapatkan. Perlu observasi menyeluruh terhadap informasi yang tersebar
dimedia sosial. Jangan serta merta langsung mempercayai dan meyakini isu tanpa mengkaji
ulang berita tersebut.
Lalu apa yang harus dilakukan para calon pemilih pemula menyikapi isu-isu politik di
media sosial? Langkah bijak apa yang harus diambil dalam menyikapi kampanye politik para
paslon di jejaring sosial? Berikut saya sudah menyiapkan poin-poin yang saya rasa penting
untuk dilakukan para pemilih pemula menyikapi isu-isu terkait politik.
1. Saring dulu media-media mana yang akan anda baca untuk mendapat informasi
terkait paslon yang akan anda pilih
Biasanya, dimasa kampanye seperti ini, banyak sekali media-media yang secara
serentak mewartakan isu-isu politik guna meramaikan gelaran pesta demokrasi ini. Namun,
perlu diingat, tidak semua media itu valid dan berita atau informasinya dapat dipertanggung
jawabkan.
2. Pahami berita dan baca secara menyeluruh informasi yang di wartakan di media
sosial
Kebanyakan dari kita generasi milenial malas membaca suatu informasi secara
menyeluruh, hanya tertarik pada headline atau paragraf pertama saja. Itu berakibat pada
penerimaan informasi yang setengah-setengah. Belum tentu apa yang menjadi judul atau
headline relate dengan informasi secara keseluruhan.
3. Baca informasi dan isu tidak dengan satu pihak saja.
Sebagai contoh, pada pilpres 2019 yang akan datang aka nada 2 pasangan calon yang
akan bertanding di pilpres. Seyogyanya kita juga harus melihat dari dua sisi tersebut, terlepas
dari pilihan kita yang condong ke pasangan A atau ke pasangan B. Untuk apa? Agar
informasi yang kita terima seimbang dan tidak berat sebelah. Ini juga bagus untuk
menghindarkan kita dari berita bohong atau HOAX.
4. Pilihlah paslon dengan melihat programnya, bukan semata karena isu yang
digembar gemborkan timses.
Pemilu kali ini, terkesan tidak menarik untuk diikuti. Dari kedua belah pihak
cenderung tidak mengkampanyekan program, tapi justru memperkeruh suasana dengan selalu
mengangkat kesalahan dan kelalaian dari paslon lawan. Debat-debat di televisi juga sering
terlihat panas dengan isu-isu yang bahkan tidak terkait dengan program yang akan
dicanangkan paslon ketika ia menjabat.
Ketika kampanye politik mulai diizinkan di televisi oleh pemerintah Orde Baru pada
dekade 1990-an, masing-masing partai hanya mendapatkan jatah terbatas. Artinya, semakin
sedikit waktu yang bisa mereka gunakan untuk menjangkau publik melalui media. Bahkan di
era pasca reformasi, akses terhadap media akan ditentukan oleh sumber daya milik partai.
Partai yang ketuanya adalah pemilik media seperti Perindo (Hary Tanoesoedibjo) dan
NasDem (Surya Paloh) tentu mendapat keuntungan sendiri.9

9
https://tirto.id/partai-politik-dalam-belantara-media-sosial-cEZG
Lalu kenapa ini penting? Tujuan dari kampanye seyogyanya adalah untuk menyiarkan
kepada calon pemilih tentang apa saja program yang akan di usung oleh paslon, apa saja yang
akan dilakukan ketika ia nanti berhasil memimpin, bukan semata untuk menjatuhkan pihak
lawan.
Kita sebagai calon pemilih, wajib untuk mengetahui program dari kedua belah paslon,
tidak sekedar tertarik pada isu dan kontroversinya saja. Karena nanti jika mereka terpilih,
sudah barang tentu mereka akan memimpin kita menyuarakan keresahan dan aspirasi kita dan
diwujudkan dengan kerja nyata, bukan kontroversi semata.
Mereka yang bermain di media sosial tidak perlu mematuhi kode etik jurnalistik
bahkan tidak dituntut mempunyai akun yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Meski
begitu di saat yang sama kita juga mempunyai Undang-Undang No 19/2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga pengguna media sosial harus lebih bijak dan
berhati-hati.10
Apalagi di negara kita ada undang-undang yang mengatur tentang berita bohong,
meliputi pembuatan dan penyebaran. Jadi sudah sepatutnya kita bijak dalam menyikapi isu
yang diwartakan di media sosial, agar kita tidak terjebak dalam kesalahan yang berakibat
pidana.
Salah satu kelemahan media sosial ialah kode etik tidak pernah ditegakkan. Beda
halnya dengan media konvensional seperti koran, majalah, televisi, radio ketika para
pewartanya terikat dengan kode etik secara ketat dan dapat dijatuhi sanksi. Yang terpenting
adalah membekali pengguna dan konsumen informasi agar lebih bijak agar tujuan
berkomunikasi membangun tali silaturahmi tercapai. Hanya dengan itu media sosial
membangun kemaslahatan umat, bukan membuat gaduh suasana di tahun politik.11
Namun, media sosial bagi partai bukan barang mutlak untuk menjamin kemenangan
mereka. Yang perlu diperhatikan, jumlah pengikut yang besar di media sosial—termasuk
popularitas di media—tak selalu bisa diterjemahkan ke kotak suara. Popularitas atau tingkat
keterkenalan yang tinggi tidak selalu menjamin tingkat keterpilihan karena ada banyak faktor
yang membuat partai dipilih. Namun, mengabaikan media sosial sembari berharap pada
kampanye offline belaka juga sebuah kekeliruan.12
“Di tahun politik biasanya perang antar pendukung pasangan calon (paslon) di media
sosial sangat panas. Saya khawatir mereka menjadi lepas kontrol dengan terlalu aktif
menyebarkan berita-berita hoax sehingga berujung pada pelanggaran hukum,” kata Ketua
Umum Komando Barisan Rakyat (Kobar) Rijal13
Kita sebagai calon pemilih, juga harus mengerti bahwa apa yang terjadi di media
sosial, belum tentu juga menjadi nyata. Semua hanya berazaskan kampanye politik dengan
mengedepankan kepentingan pemenangan, dengan menyaring seluas-luasnya suara para
calon pemilih.

10
http://id.beritasatu.com/home/media-sosial-di-tahun-politik/171239
11
http://id.beritasatu.com/home/media-sosial-di-tahun-politik/171239
12
https://tirto.id/partai-politik-dalam-belantara-media-sosial-cEZG
13
https://nasional.sindonews.com/read/1299665/15/tahun-politik-masyarakat-harus-bijak-gunakan-media-
sosial-1524279417
Di Indonesia, saya melihat apatisme milenial terhadap politik tak lepas dari persepsi
bahwa politik itu kotor. Laporan tahunan KPK sejak 2004 hingga 2016 menunjukkan bahwa
sebanyak 32% dari mereka yang ditangkap KPK adalah kader partai politik. Belum lagi,
setiap hari mereka disuguhi pemberitaan tentang pejabat publik yang menggunakan rompi
oranye.14
Dengan segala perdebatannya, mendekati milenial adalah sebuah keharusan. Karena
itu, mendekati media sosial pun menjadi sebuah keniscayaan. Menurut survei CSIS, sebanyak
81,7% milenial memiliki Facebook, 70,3% memiliki Whatsapp, 54,7% memiliki Instagram.
Twitter sudah mulai ditinggalkan milenial, hanya 23,7% yang masih sering mengaksesnya.
Jadi jelas, bahwa suara kita sebagai kaum milenial pada perhelatan pilpres di 2019
nanti adalah sangat penting. Sudah kewajiban kita untuk membekali diri dengan pengetahuan
agar kita tidak salah pilih pasangan calon yang akan memimpin negara kita untuk 5 tahun
kedepan.
Mengingat suara kaum muda sangat berpotensi untuk memenangkan dan menjatuhkan
paslon politik, jelas kita akan menjadi incaran parpol untuk berbondong-bondong menggaet
suara kita. Jadi gunakan hak pilih kita dengan bijak dan baik, agar Indonesia menjadi lebih
baik dengan pemimpin yang amanah, berkompetensi, serta mampu membawa negara kita
pada Indonesia yang lebih baik.

14
https://news.detik.com/kolom/d-3755077/milenial-politik-dan-media-sosial

Anda mungkin juga menyukai