MEMECAH ATAU MEMPERSATUKAN : PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK
DALAM PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2019
FATHUL KAHAR UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Indonesia merupakan negara dengan salah satu penduduk terbesar
didunia dengan berbagai macam suku, agama dan budaya yang berbeda, akan tetapi dapat bersatu dengan suatu semboyan kita yaitu Bhineka Tunggal Ika yang bermakna Berbeda-beda tetapi tetap satu. Bersatunya penduduk indonesia ini, sayangnya dapat terpecah belah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Salah satu hal yang dapat menyebabkan perpecahan adalah pembentukan opini publik melalui media sosial. Media sosial merupakan salah satu konten yang paling sering diakses. Berdasarkan Survey yang dilakukan oleh Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 (APJII, 2017) menyatakan bahwa sebanyak 143,26 juta jiwa dari 262 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial. Tingginya data pengguna media sosial ini dimanfaatkan para partai politik untuk memperkenalkan atau menarik masyarakat dan memberikan citra positif bagi calon legisltif yang mereka punya. Kemenangan Jokowi-JK merupakan salah satu bentuk suksesnya pemanfaatan media, sehingga menghasilkan kesan dalam framing masyarakat sebagai tokoh yang merakyat dan sederhana. Pejabat yang akrab dengan dunia anak muda karena referensi musiknya kepada musik rock dan metal serta pemimpin yang inovatif karena kebijakannya. Citra semacam inilah yang terus dikampanyekan tim sukses Jokowi dalam Pilpres 2014. Keefektifan media sosial ini sebagai ajang politik bukanlah hal yang pertama kali dilakukan. Presiden Barack Obama tahun 2008 AS telah sering digambarkan sebagai kampanye pemilu pertama, di mana penggunaan media sosial memiliki dampak yang menentukan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pemilihan presiden (selanjutnya disebut Pilpres) 2019 akan dilakukan pada bulan April 2019, namun beberapa partai politik peserta Pilpres 2019 mulai melakukan kampanye. Kampanye merupakan aktivitas komunikasi yang ditujukan untuk mepengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan penyebar atau pemberi informasi (Changara, 2010) .Pemanfaatan media sosial dalam kampanye dalam pembentukan citra seorang pemimpin adalah hal yang wajar dilakukan, akan tetapi ketika hal tersebut dilakukan dalam bentuk kampanye hitam berupa fitnah atau berita hoax adalah suatu hal yang mencederai demokrasi dan bahkan dapat memecah persatuan antar bangsa. Menurut( Syahputra 2016 dalam Katz, 1957) dalam pembentukan opini publik perlu adanya transfer informasi atau pesan melalui dua tahap. Tahap pertama, infomasi atau pesan yang menyebar melalui media massa diterima oleh seorang opinion leader yang memiliki akses terhadap sumber informasi atau pesan tersebut. Tahap kedua, informasi atau pesan yang diterima seorang opinion leader tersebut kemudian menyebar kepada masyarakat. opinion leader dipahami sebagai orang yang memberi pengaruh atau dapat mempengaruhi pengikut mereka (followers) terhadap suatu isu tertentu yang sedang diperbincangan di media sosial. Dalam konteks yang telah berubah tersebut, seorang opinion leader bukan lagi sebagai pihak yang menyampaikan opini mereka karena memiliki akses pada sejumlah sumber informasi, tetapi dapat beralih menjadi opinion maker. Hal ini semakin bertambah dinamis setelah sejumlah tokoh agama ikut terlibat sebagai opinion maker di media sosial. Sejumlah ulama seperti Abdullah Gymnastiar pemilik akun @aagym atau Tengku Zulkarnain pemilik akun @ustadtengku dan masih banyak lain dalam kapasitas yang berbeda ikut aktif terlibat dalam perang wacana, opini, informasi, isu dan rumors di media sosial Besarnya pengguanaan media sosial dan juga kebebasan berpendapat oleh masyarakat memiliki kemungkinan besar sebagai anonymus untuk melakukan kampanye di media sosial. Hal ini idak jarang memicu dan memacu ketegangan antara pengguna media sosial, apalagi jika telah digiring suatu isu oleh partai politik. Salah satu bentuk kampanye yang sedang banyak diperbincangkan yakni Gerakan bertagar #2019GantiPresiden. Kekuatan atau effect yang bisa ditimbulkan oleh hashtag ini tidak bisa dianggap remeh. Pada 2011, Mesir sebuah negara yang demikian otoriter, kokoh dan angkuh seperti pemerintahan Hosni Mubarak pun takluk oleh media sosial dengan tiga tagar yang mampu memobilisasi rakyat mesir yaitu: #jan25, #Cairo, #suez.( Raenaldy, dkk 2017). Tagar #2019GantiPresiden sudah tersebar melalui pesan, email, media sosial, meme, spanduk, bendera, baju dan simbol lainnya dan bahkan masyarkat membuat deklarasi untuk Gerakan bertagar #2019GantiPresiden di berbagai kota. Propaganda hashtag ini mulai viral ketika banyak masyarakat yang satu pemikirian untuk mengganti presiden pada tahun 2019 dengan dilihatnya elektabilitas pemerintahan ini dalam memimpin negara. Dilain sisi, pada kubu pemerintah melihat bahwasanya propaganda hashtag ini merupakan suatu kekuatan dalam berkampanye dimedia sosial dan juga membuat tandigan dengan tagar #jokowi2periode ataupun #2019tetapjokowi. Perbedaan dari kedua pendukung calon presiden ini terkadang menjadi suatu tindakan dari masyarakat yang fanatik terhadap pilihannya masing-masing menjadi perpecahan dan bahkan boleh jadi dapat menjadi pertumpahan antar penduduk indonesia, Propaganda hashtag ini tidak boleh hanya dipandang sebelah mata. Hal ini dapat dijadikan kekuatan untuk mempersatukan bangsa indonesia. Beberapa hal positif yang dilakukan masyarkat dari hashtag ini antara lain #SaveKPK ,#SaveGojek, serta #MelawanAsap yang ramai diperbincangkan menjelang akhir tahun 2015, yang mana telah mewarnai media sosial dan berhasil menjadi pemberitaan populer di media massa Indonesia. Perlu adanya pembentukan opinion maker dan opinion leader dalam mempersatukan bangsa indonesia baik pihak pemrintahan dan masyarakat dengan memviralkan hashtag- hashtag pemersatu seperti #2019tetapbersatu dan mengkemasnya mendidik dalam bentuk video pendek maupun gambar. Daftar pustaka
APJII : Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2017). Tersedia dari
Cangara, H, (2011). Komunikasi Politik Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 223
Raenaldy, A, dkk (2017). Hubungan antara Media Sosial terhadap Peluang
pemenangan Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Pada Pilkada (Studi Wilayah Jakarta Utara). Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.
Syahputra, I (2016). Demokrasi Virtual dan Perang Siber di Media Sosial:
Perspektif Netizen Indonesia. Jurnal ASPIKOM, Volume 3 Nomor 3 Lampiran :
A. Biodata singkat :
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Fathul Kahar
2 Jenis Kelamin L 3 Universitas Universitas Muslim Indonesia 4 Program Studi Farmasi 5 NIM / NIDN 15020130192 6 Tempat dan Tanggal Lahir Jayapura, 11 Oktober 1995 7 E-mail Fkahar12@gmail.com 8 Nomor Telepon / HP 085344010495 B. Kartu Tanda Mahasiswa