Anda di halaman 1dari 9

EFEKTFITAS SOSIAL MEDIA DAN MEDIA KONVENSIONAL

DALAM PEMILU 2024

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti utama Indikator Kennedy Muslim, media


baru berbasis internet, seperti media sosial (Instagram, Facebook, Twitter,
dll) memberikan banyak berpengaruh terhadap perpolitikan di Indonesia.
Hal ini terlihat dari data pengguna media baru yang kian bertambah dari
masa ke masa.

"Meski demikian, media konvensional seperti berita televisi dan dialog


politik masih memiliki peran yang cukup signifikan dalam memengaruhi
calon pemilih," ujarnya pada diskusi “Efektivitas Penggunaan Media
Konvensional dan Media Baru sebagai Platform Menghadapi Pemilu 2024”
yang digelar Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina,
Selasa, (18/4/2023).

Sementara itu, Tsamara Amany Alatas yang turut menjadi pembicara


menyebutkan bahwa media baru sangat efektif untuk meningkatkan
popularitas bagi tokoh dan partai politik pada Pemilu 2024.

“Seringkali topik-topik yang dibahas di twitter, tiktok, dan media sosial


lainnya kemudian diangkat jadi pemberitaan di media konvensional. Ini
bukti bahwa media baru dapat memengaruhi media konvensional,”
pungkas Tsamara.

Tsamara berpendapat bahwa media baru tidak bisa jadi tulang punggung
utama bagi tokoh dan partai politik. Hal tersebut lantaran pada beberapa
tokoh dan partai politik tingkat elektabilitas yang diperoleh tidak berbanding
lurus dengan popularitas di media sosial.

Pada diskusi tersebut, Aiman Witjaksono menekankan pentingnya kedua


media tersebut. “Tidak perlu kita memilih antara media baru atau media
konvensional. Keduanya sama-sama perlu dimanfaatkan secara maksimal
sesuai karakteristiknya masing-masing,” kata Aiman.

Ia juga menekankan pentingnya literasi digital pada era masa kini guna
menyaring informasi dari kedua media tersebut.
Kumparan.com - Kontestasi politik yang akan berlangsung pada 2024
mendatang memantik banyak isu muncul terkait dengan pelaksanaan
pemilihan umum. Sebagai akademisi, mahasiswa Magister Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Jakarta (MIKOM FISIP UMJ) turut ambil bagian dalam
memberikan sumbangsih pemikiran melalui forum webinar nasional
dengan tema Strategi Digitalisasi Pemasaran dan Kampanye Politik pada
Pemilu 2024.

Dalam pengantarnya, Dr. Aminah Swarnawati, M.Si mengatakan bahwa


digitalisasi merupakan sebuah keniscayaan di Era digital. Mengingat
segmen pasar hari ini adalah milenial dan gen Z, sehingga dalam
menyambut pemiliu mendatang, para politisi maupun partai politik harus
bisa beradaptasi.
“Karena mereka (milenial dan gen-z) merupakan digital native, sedangkan
generasi sebelumnya merupakan digital immigrant. sehingga kata kuncinya
ialah adaptasi dan kolaborasi,” tuturnya.
Aminah menambahkan, media konvensional mungkin penting sebagai
media pemasaran politik, namun masyarakat selaku pengguna saat ini
telah lebih banyak yang bergeser ke digital. Sehingga pemasaran politik di
media digital menjadi penting untuk didiskusikan.
Masuknya dunia pada era digital membuat banyak aspek kehidupan
bergeser dari konvensional ke digital, begitupula dengan aktivitas politik.
Perkembangan zaman menjadi perhatian penting bagi para politisi dalam
melakukan kampanye politik. Dalam webinar tersebut, dua narasumber
diantaranya adalah praktisi yang telah berpengalaman dalam melakukan
kampanye politik pada kontestasi politik.

rajakomen.com - Luas jangkauan untuk mengumpulkan suara dalam


kegiatan berpolitik membuat kinerja calon kandidat dan partai juga harus
lebih luas. Anda juga memahami bahwa banyaknya suara memengaruhi
keberhasilan dalam pencalonan diri.

Di samping itu, media sosial dapat menjadi bagian dari survei yang dapat
dihitung dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun survei yang dilakukan
juga perlu dicek kembali, mengingat media sosial dapat diakses dengan
menggunakan lebih dari satu akun.
Media sosial sebagai alat kampanye dewasa ini dirasa lebih efektif.
Terlebih saat pandemi, kegiatan sosial dibatasi. Namun sebelum pandemi
covid-19, media sosial juga dilaksanakan sebelum pemilu. Hal ini
dimaksudkan agar informasi atau program yang disampaikan melalui
media sosial dapat membentuk opini publik.  berikut ini beberapa hal
tentang media sosial dalam berpolitik.

Jumlah Pengguna Media Sosial yang Besar di Indonesia

Indonesia termasuk negara yang padat penduduk. Kepadatan tersebut


diimbangi oleh kepadatan penduduk Indonesia di media sosial internet.
Hampir mencapai 170 juta penduduk dari 200 juta lebih telah
menggunakan media sosial. Informasi ini dilansir dari laporan perusahaan
media asal Inggris, We Are Social, yang up to date tertanggal per bulan
Januari 2021.

Pelaporan yang dibagikan pada bulan Februari tahun 2021 itu


menunjukkan pola pemakaian media sosial di sejumlah negara termasuk
Indonesia. Sebanyak rata-rata tiga jam 14 menit sehari orang Indonesia
mengakses internet.

Pencapaian angka pengguna internet tersebut membuat Indonesia berada


di urutan kesembilan  dari 47 negara yang dianalisis. Satu di antara
penyebabnya banyak pengguna yang kecanduan untuk memainkan media.
Hal ini merupakan keadaan yang menguntungkan  termasuk saat media
sosial sebagai alat kampanye  dilaksanakan.                             

Efektifitas Penggunaan Media Sosial dari Segi Waktu

Dua tahun ini, pandemi covid 19 mengubah pola hidup masyarakat.


Termasuk untuk berhubungan komunikasi dua arah tidak diperbolehkan
bertatap muka. Namun segala aktifitas harus tetap berjalan normal tanpa
mengurangi waktu harian kerja.

Hal tersebut membuat media sosial internet lebih cepat mengubungkan


dengan segala sesuatu aspek kehidupan. Waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan sosial tidak terlalu banyak. Sehingga efektifitas termasuk
dalam penggunaan media sosial sebagai alat kampanye dapat
dimaksimalkan.
Media Sosial Mengurangi Biaya Operasional Kampanye

Kampanye yang biasanya dilakukan secara tradisional, dengan segala


bentuk persiapan mulai dari ruang, dan penataan pelaksanaan.  Kini dapat
dilakukan tanpa bersusah payah dengan hal tersebut. Sebab media sosial
telah menyediakan ruang dan tata pelaksanaan dengan cara
memanfaatkan fitur yang telah siap digunakan.

Biaya operasional juga lebih meminimalkan pengeluaran para calon


kandidat. Karena hanya membutuhkan kuota dan jaringan internet ketika
pelaksanaan. Selain itu, kampanye yang dilakukan lebih jujur dan dapat
menghindari praktek money politic.  Sebab para kandidat bertemu dengan
calon pemilih tidak secara langsung.

Selain itu, biaya operasional yang muncul hanyalah hitungan penggunaan


pribadi. Bahkan dapat lebih hemat lagi ketika media sosial sebagai alat
kampanye dihubungkan dengan berbagai macam platform  dengan satu
akun. Maka penyebaran lebih cepat, sebab ketika ter-up date satu
informasi, maka informasi secara langsung diterima bersamaan.

Penetrasi Informasi Lebih Cepat dengan Media Sosial

Efektifitas lainnya berupa penetrasi informasi lebih cepat. Seperti budaya


lisan, informasi yang disampaikan melalui media sosial, baik berupa
tulisan, audio, maupun visual dapat menyebar dengan bantuan lisan.

Hal ini termasuk keunggulan media sosial dalam memerbaharui informasi


dengan menggunakan bahasa yang berbeda. Klarifikasi dan tembahan
informasi bertumpuk menjadi satu saat penetrasi terjadi. Sehingga variasi
informasi publik dapat membentuk opini publik di media sosial.

Namun kekurangannya media sosial sebagai alat kampanye ialah ketika


calon kandidat menjumpai informasi yang tidak benar terkait kegiatan yang
dilaksanakan oleh calon kandidat. Hal ini dapat terjadi saat terjadi adu opini
publik. Sehingga ketika ada pihak yang tidak mendukung, hoaks informasi
terjadi. Penetrasi semacam ini perlu diwaspadai.

Terlebih dengan membuat akun resmi media sosial khusus calon kandidat
dan partai menjadi solusi dalam hal tersebut. Mengingat publik perlu
mengklarifikasi informasi dari akun resmi. Bukan yang berasal dari
potongan informasi lalu dimodifikasi sedemikian rupa. Selain itu, efek
penetrasi ini terbilang cukup besar. Dilansir dari laporan We Are Social
sebelumnya, sejumlah kurang lebih 170 juta penduduk Indonesia yang
menggunakan tablet atau smartphone, memiliki penetrasi sebesar 99
persen.

Efektifitas dalam Menggiring Opini Publik

Kembali seperti penjelasan sebelumnya, bahwa penetrasi yang tinggi


dapat menggiring opini publik terkait calon kandidat dan partai politiknya.
Media sosial sebagai alat kampanye efektif untuk memberikan edukasi
kepada pengguna terpelajar. Tetapi juga dapat memberikan edukasi paling
awal untuk kaum pengguna baru.

Sekalipun pengguna baru tersebut kurang dalam berliterasi baca,


kemampuan media menyediakan gambar dan warna dapat menjadi
stimulus untuk menggiring opini. Karena seringnya menampilkan gambar
dapat mudah diingat sebagai penanda. Bukti yang terbilang otentik sebagai
gambaran kegiatan politik memungkinkan lebih dipercaya, daripada
sekedar tulisan saja.

Di samping itu, sesering mungkin media sosial menampilkan informasi


disertai sentuhan simpati, dapat mengubah pandangan buruk menjadi
positif. Hal ini kembali pada bagaimana respon publik ketika memberikan
penilaian terhadap kinerja calon kandidat dan partai politik sebelum
pelaksanaan pemilihan umum.

Media sosial sebagai alat kampanye ini pada selanjutnya mampu


membentuk brand tersendiri bagi partai politik. Brand yang muncul
menjadikan calon kandidat dan partai politiknya punya cover tertentu yang
dapat dijadikan rujukan masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial.

Sehingga secara tidak langsung media sosial memberikan efektifitas untuk


menarik simpati masyarakat. Termasuk dalam memercayai calon kandidat
mampu  melaksanakan tugas di masyarakat dengan brand yang
diusungnya saat pemasaran politik berlangsung. Bukti yang telah terekam
sebelumnya sebelum pemilihan umum, dapat menjadi pegangan
masyarakat apabila suatu saat nanti dibutuhkan. Bahkan apabila ada
penyelewengan kekuasaan, media sosial memiliki bukti yang tidak mudah
dihilangkan sebab telah terpenetrasi.
perludem.org - Larry Diamond dalam Liberation Technology, Social Media
and the Struggle for Democracy memandang bahwa media sosial
merupakan teknologi yang berperan dalam liberation atau pembebasan di
Timur Tengah, serta perluasan ruang publik di Cina dan Malaysia. Media
sosial memfasilitasi masyarakat untuk bersuara, berpartisipasi, bahkan
memobilisasi diri untuk perubahan. Di Myanmar, media sosial digunakan
oleh para aktivis dan jurnalis untuk melawan represi rezim otoriter militer.
Media sosial yang menyambungkan warga dari seluruh dunia,
memungkinkan gaung suatu narasi untuk didengar lebih luas, dan
terbangunnya suatu gerakan solidaritas.

Namun demikian, Christian Fuchs yang memilih membahas media sosial


dari perspektif ekonomi politik menulis bahwa sekalipun media sosial
membuka ruang publik yang lebih luas, namun hal tersebut ditujukan untuk
menampung sebanyak mungkin informasi dan data para pengguna, untuk
tujuan komodifikasi. Media sosial memanfaatkan big data pengguna untuk
mendapatkan keuntungan dari periklanan, yang tentunya mengancam
keamanan data pribadi pengguna.

Big data inilah yang disebut oleh Mark Andrejevic (2013) sebagai alat
pengawasan terhadap warga negara, konsumen, sekaligus pekerja.
Vincent Mosco (2014) bahkan menyebut big data yang dikumpulkan oleh
media sosial dan dibeli oleh negara sebagai kombinasi dari “kapitalisme
pengawasan” dan “negara pengawasan”.

Kasus Cambridge Analytica dimana Facebook menjual data pengguna


kepada Trump pada 2018 menjelaskan dengan baik kerangka hubungan
media sosial sebagai bisnis informasi dan data, dengan big data yang
digunakan sebagai basis iklan bertarget untuk pemenangan pemilu.

Media sosial dan tantangan Pemilu Indonesia 2024

14 Desember 2022, KPU telah menetapkan 17 partai politik peserta pemilu


nasional, dan 6 partai politik lokal Aceh. Namun, meski telah ditetapkan,
masa kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023. Partai
terancam pidana di luar jadwal jika melakukan kegiatan yang menawarkan
visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu di luar tanggal 28
November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Pegiat pemilu, Titi Anggraini, menilai partai politik tak akan menunggu 28
November 2023 untuk mendekati pemilih. Bahkan, politisi yang hendak
maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden telah memanfaatkan
media sosial untuk meningkatkan elektabilitas. Media sosial akan menjadi
opsi untuk membangun popularitas, menjangkau pemilih, dan mengubah
citra diri.

“Masuk di sini ruang potensi aktor-aktor yang mengambil oportunisme.


Buzzer akan ada di situ. Makanya perlu sekali platform media sosial
mengambil peran di situ. Karena, platform juga kan mendapatkan insentif
dari penyelenggaraan pemilu,” tandas Titi pada diskusi “Building The
Resilience of Digital Democracy ahead of the 2024 Elections” (14/12).

Peran yang bisa diambil oleh platform media sosial ialah membuka data
seluruh iklan politik di Indonesia sejak ditetapkannya partai politik peserta
Pemilu 2024, yakni 14 Desember 2022. Data tersebut penting untuk
disampaikan kepada publik, sebagai bentuk transparansi iklan politik yang
memiliki dampak terhadap Pemilu 2024.

Dari platform Meta, Twitter, Youtube/Google, dan Tiktok, hanya Meta yang
mengizinkan adanya iklan politik di Facebook. Sejak 2020, Meta
menyediakan Facebook Ads Library untuk mentransparansi iklan yang
beredar di platform Meta.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh konsorsium European Partnership


for Democracy, Facebook Library Ads kerap tidak memuat semua iklan
politik. Repositori iklan yang kurang komprehensif menyebabkan hal
tersebut. Facebook Ads Library juga belum mentransparansi sipaya yang
membiayai iklan politik, dan kepada siapa saja iklan tersebut ditampilkan.

Transparansi iklan politik di media sosial lebih krusial, karena tak seperti
halnya iklan di media lainnya yang ditampilkan kepada publik yang lebih
luas, iklan di media sosial dapat disesuaikan dengan kelompok orang
tertentu, yang berpotensi mempolarisasi basis pemilih dan mendistorsi
debat politik.

European Partnership for Democracy merinci standar bagi Ads Library


yang dapat diatur oleh suatu regulasi untuk meningkatkan tanggungjawab
media sosial. Pertama, pengungkapan jumlah biaya iklan yang
sesungguhnya, bukan rentang biaya iklan. Kedua, informasi pengiklan
yang akurat dan lengkap, namun menjaga kerahasiaan data pribadi.
Informasi tentang pihak ketiga dan kandidat atau partai politik perlu dirinci
di Ads Library dan bagian disclaimer. Informasi tentang entitas pendanaan
juga harus diungkapkan dan diverifikasi, termasuk nomor pokok wajib
pajak pengiklan.

Ketiga, pengungkapan mekanisme penargetan dan kriteria penargetan.


Platform sedianya menyertakan sasaran penargetan yang dipilih oleh
pengiklan.

Keempat, jumlah pengguna media sosial yang dijangkau oleh suatu iklan.
Kelima, iklan yang dilarang harus tetap dipublikasi dalam repositori iklan
demi pengawasan publik. Penjelasan terkait mengapa suatu iklan dihapus
jiuga dinilai penting.

Di Indonesia, menurut Titi, aturan terkait kampanye di media sosial belum


memadai. Pendekatan yang digunakan sebatas membatasi kepemilikan
akun media sosila peserta pemilu.

“KPU masih mengatur pada ranah yang sangat tradisional, yaitu


membatasi kepemilikan akun di setiap media sosial maksimal 10 akun,”
tukas Titi.

Pengalaman Filipina

Di Filipina, terdapat undang-undang yang mewajibkan pengguna media


sosial untuk mendaftarkan identitas hukum dan nomor telepon saat
pengguna membuat akun baru. Aturan ini bertujuan untuk menghapus
anonimitas di media sosial yang kerap menyebar disinformasi, ujaran
kebencian, dan digunakan sebagai trolls. Namun, belum ada kajian yang
memeriksa efektivitas regulasi tersebut terhadap kampanye sehat di media
sosial pada Pemilu Filipina 9 Mei 2022.

Laporan program Undercover Asia, jasa troll bisa disewa sebagai tantara
bayaran dalam perang media sosial di Pemilu Filipina. Dari wawancara
dengan salah satu troll, tugas yang diberikan ialah mempromosikan politisi
tertentu, membagikan konten disinformasi minimal 150 kali sehari, dan
bergabung dengan grup yang memiliki lebih dari 3.000 anggota. Operasi ini
dilakukan lebih dari satu tahun sebelum pemilihan.

Upah jasa troll yang diberikan lebih tinggi dari tingkat upah rata-rata
bulanan masyarakat Filipina di tahun 2020. Kebanyakan troll merupakan
orang yang bekerja di industri iklan, public relation, produksi konten,
bahkan mantan jurnalis.

Rappler melaporkan bawah presiden terpilih, Bong Bong Marcos,


menghabiskan lebih dari 623 juta peso, terbanyak dari semua kandidat.
Biaya tersebut di luar pengeluaran untuk iklan kampanye di Facebook yang
tidak dilaporkan oleh Bong Bong Marcos. Facebook Ads juga tidak merinci
total uang yang dikeluarkan kandidat untuk menghasilkan iklan politik di
platform Facebook.

Ketidakterbukaan biaya kampanye di media sosial menambah sulit


penelusuran terhadap kampanye ilegal yang dilakukan kandidat. Terlebih,
aturan hukum mengenai dana politik juga belum kuat. 1 dari 4 kandidat
pemilu nasional tidak menyerahkan laporan dana kampanye kepada
Comelec, khususnya kandidat yang tidak memenangkan kursi.

Tantangan Pemilu Indonesia 2024 tidak hanya bagaimana merekayasa


agar media sosial menjadi ruang publik yang sehat demokrasi dan tidak
mendisrupsi informasi bagi pemilih, tetapi juga menguatkan regulasi
pelaporan dana kampanye di ruang digital, dan mendorong transparansi
iklan politik oleh platform media sosial.

Source :
1. https://www.liputan6.com/surabaya/read/5265198/media-baru-
disebut-efektif-tingkatkan-popularitas-tokoh-dan-partai-politik-di-
pemilu-2024
2. https://kumparan.com/ksu/menakar-efektivitas-kampanye-digital-
pemilu-2024-mikom-fisip-umj-gelar-webinar-1yYecst3xHH/full
3. https://rajakomen.com/blog/efektivitas-penggunaan-media-sosial-
sebagai-alat-kampanye-dalam-pemilihan-umum-51bd427d9f.php
4. https://perludem.org/2022/12/23/tantangan-kampanye-di-media-
sosial-oleh-nurul-amalia-salabi

Anda mungkin juga menyukai