Anda di halaman 1dari 4

Bonus Demografi : Mendulang Optimisme Politik Milenial.

Oleh : Teuku Syahwal, S.Pd., M.Pd., C.Ht.


Ketua DPC Partai Demokrat Pidie, Kandidat Doktoral Universitas Negeri Jakarta.

Mengeja peristiwa sejarah yang mampu mewarnai dinamika politik bangsa Indonesia,
93 Tahun yang lalu, tepatnya 28 Oktober 1928 para pejuang muda melaksanakan Kongres
Pemuda Indonesia Kedua, mengikrarkan bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa
satu: Indonesia. Sebagai kesatuan semangat nasionalisme ini kemudian dikenal dengan
peristiwa Sumpah Pemuda, yang diperingati tiap tahunnya sebagai kristalisasi perjuangan
kaum muda. Sungguh terlalu banyak rentetan perjuangan kaum muda tercatat dengan tinta
emas, tidak bisa disepelekan, Rengasdengklok yang menjadi hari bersejarah dalam
menentukan momentum Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Masih sangat kental dalam ingatan, peristiwa Reformasi 1998 mengantarkan
Indonesia pada gerbang kehidupan berbangsa yang lebih demokratis, terbuka dan egaliter.
Kesadaran politik yang telah disemai oleh pendahulu harus terus dipupuk untuk
keberlangsungan masa depan bangsa dan mewujudkan tujuan dari bernegara secara utuh dan
totalitas untuk tiap anak bangsa.
Segala tindak tanduk yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini kaum
muda dengan semangat patriotnya menjadi penentu arah masa depan. Meminjam ungkapan
Tan Malaka,“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Ungkapan
tersebut menunjukkan bahwa sepanjang perlintasan jalan republik, idealisme merupakan
barang langka yang hanya dimiliki oleh kaum muda.
Dikutip dari Katadata.co.id; Bonus demografi adalah sebuah fenomena saat penduduk
usia produktif jumlahnya sangat banyak. Indonesia menjadi negara yang kini memiliki bonus
demografi atau ledakan penduduk. Pasalnya jumlah penduduk usia produktif lebih tinggi
dibandingkan usia non produktif. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah penduduk Provinsi Aceh sebesar
5,33 juta jiwa pada Juni 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3,52 juta jiwa (66,2%)
penduduk di Serambi Mekah tersebut merupakan kelompok usia produktif (15-64 tahun).
Berdasarkan data Provinsi Aceh dalam Angka 2021, Sebesar 2,24 juta jiwa (42,1%)
penduduk Aceh merupakan rentang usia Gen Z dan Millenial. Angka besar tersebut
merupakan tanda nyatanya bonus demografi telah mewarnai demografi Aceh.
Bicara tentang bonus demografi bukanlah perkara gampang, hanya melihat sisi
positifnya saja akan berdampak sangat berbahaya, jika fenomena tersebut tidak bisa diurus
dengan manajemen yang baik, tidak menutup kemungkinan fenomena tersebut menjadi
petaka.

Sebagai Subjek Politik


“Jika politik tidak diisi oleh orang baik, maka politik akan diisi oleh orang jahat”
(Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki). Pentingnya politik, segala kebijakan atau keputusan
di negeri ini masih menggunakan yang namanya politik. Merumuskan dan membuat
regulasi/undang-undang (UU), mengawasi pemerintahan, menentukan anggaran dan lain-lain
yang berkenaan dengan kehidupan bernegara.
Memiliki makna yang sangat luas, Politik dapat diartikan sebagai makna yang positif
maupun dengan makna yang negatif, itu semua tergantung dari bagaimana pandangan orang
lain menilai makna dari politik. Secara etimologi kata “Politik” berasal dari bahasa Yunani,
yakni Polis, yang dapat berarti kota atau negara kota.
Politik juga dipandang sebagai bentuk upaya untuk menciptakan kesejahteraan bagi
rakyat. Hal ini pun menunjukkan bahwa politik memiliki peranan inti untuk menciptakan
kondisi yang sejahtera bagi warga negara. Oleh karena itu, pentingnya literasi politik bagi
generasi muda guna untuk meningkatkan kesadaran dan peranan anak muda untuk menjadi
penerus yang akan menjadi penggerak bagi kemajuan berbangsa dan bernegara. Namun,
belakangan ini fenomena generasi muda sering dianggap tidak peduli terhadap partisipasi
politik, citra poltik dikalangan kaum muda sangat negatif, kotor, jahat, penuh trik dan intrik
kepentingan serta menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan kelompok (oligarki).
Berdasarkan riset IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk “Indonesian
Millenial report 2019”, hanya 23,4 persen yang suka mengikuti berita politik. Namun, tidak
dinyatakan secara spesifik bahwa pemilih milenial tersebut paham akan politik. Kaum
milenial cenderung menganggap politik hanya untuk orang – orang yang kuno atau generasi
tua “old school”. Melihat fenomena tersebut menjadi ‘bencana,’ dalam beberapa dekade
terakhir ini telah menunjukkan banyaknya para pemilih yang tidak menggunakan hak
pilihnya (golongan putih/golput), menjadi penanda kelesuan dalam berpolitik dan
berdemokrasi.
Pemilih dalam tiap kontestasi skala nasional, pada Pemilu 1999 punya tingkat
partisipasi pemilih 92,6% (golput 7,3%), Pileg 2004 punya tingkat partisipasi pemilih 84,1%
(golput 15,9%), Pilpres I punya tingkat partisipasi pemilih 78,2% (golput 21,8%), Pilpres II
punya tingkat partisipasi pemilih 76,6% (golput 23,4%), Pileg 2009 punya tingkat partisipasi
pemilih 70,99% (golput 29,01%), Pilpres 2009 punya tingkat partisipasi pemillih 71,17%
(golput 28,83%), Pileg 2014 punya tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,11% (golput
24,89%), Pilpres 2014 punya tingkat partisipasi pemilih mencapai 69,58% (golput 30,42%),
Pileg 2019 Golput sebesar  29,68 %, ada peningkatan jumlah pemilih dibanding dengan
golput pada Pilpres 2019 (golput 19,24%).
Kesadaran politik merupakan aspek penting dalam tatanan demokrasi, sekaligus
adanya perubahan atau modernisasi politik yang berkesinambungan (sustainable). Kesadaran
politik akan menjadikan kaum muda sebagai kekuatan, bukan sebagai objek melainkan
sebagai subjek politik era bonus demografi yang berefek baik terhadap perpolitikan.

Literasi Politik
Literasi politik dipahami sebagai pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang
diambil dari kehidupan sehari-hari dan bahasa, merupakan upaya memahami seputar isu
politik, keyakinan para kontestan, bagaimana kecenderungan mereka memengaruhi diri
sendiri dan orang lain. Dengan kata lain, literasi politik merupakan senyawa dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai politik (Bakti, dkk: 2012).

Menurut Bernard Crick menegaskan literasi politik tidak hanya sekedar pengetahuan
politik, melainkan cara membuat diri menjadi lebih efektif dalam kehidupan publik dan
dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik
dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.

Berdasarkan uraian diatas, penulis melihat ‘peluang’ dalam mempertajam literasi


politik kalangan milenial digaungkan melalui peran serta bersama semua elemen bangsa,
utamanya pemerintah memiliki tanggung jawab besar terhadap kehidupan demokrasi bangsa
ini untuk terus melakukan sosialisasi, partai politik, lingkup kehidupan sekolah/kampus
punya tanggung jawab juga dalam melahirkan generasi melek politik, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)/Organisasi Massa (Ormas), keluarga/lingkungan sangat mempengaruhi
cara pandang mengenai seluk beluk politik yang mereka (milenial) inginkan. Namun, peran
partai politik, pemerintah serta LSM/Ormas yang harus lebih diutamakan dalam memberikan
pendidikan politik.

Kepiawaian milenial dan generasi Z dalam mengoperasikan gadget (utamanya media


sosial) ditambah kesadaran politik menjadi corong partisipasi merawat kewarasan demokrasi,
tak heran hari ini kita mengenal adanya kampanye melalui media sosial, gerakan tanda pagar
(tagar) yang menjadi viral dan trending topik. Kesadaran politik (politic awareness) milenial
dan generasi Z menjadi sinyal optimis mereka mengenali hak dan kewajibannya sebagai
warga negara, sehingga mereka mengenali kekuatannya sebagai subjek politik, muda adalah
kekuatan. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai