Anda di halaman 1dari 3

Peran dan Tantangan Milenial Merdeka Dalam Mewujudkan

Indonesia Emas 2045

“Politik Milenial ditengah Demokrasi Prosedural”

Oleh : Ihsanul Taqwim


e-mail : ihsanultaqwim@gmail.com

Berbicara politik tentunya sangat menarik, bahkan di ruang publik maupun di warung
kopi sekalipun, tak ayal dipenuhi pembahasan mengenai hal tersebut. Namun, tidak semua
kalangan setuju bahwa politik itu sesuatu yang menarik, justru masing-masing orang
memiliki pandangan dan minat yang berbeda. Kenapa demikian, sebagian orang masih setuju
dan berpandangan politik itu bukan sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan yang sama,
justru sebagian orang berpendapat bahwa politik itu hanya sebuah alat kotor, bahkan tak
jarang masyarakat cenderung anti dengan berbagai persoalan politik karena politik itu identik
dengan korupsi.
Melihat pergeseran fase yang sedari dulu berjalan, menarik untuk kita telaah lebih
lanjut, apalagi Indonesia telah masuk pada fase industrialisasi 4.0. Hal ini layak untuk kita
apresiasi untuk Indonesia, karena ini merupakan keuntungan yang sangat potensial guna
menghadapi tantangan zaman yang berlangsung. Namun, yang menjadi tolak ukur dari fase
industrialisasi tersebut ialah bagaimana Indonesia merespon tantangan tersebut serta langkah
apa yang harus diambil guna dapat bersaing di kancah global.
Fase industrialisasi 4.0 atau dalam mengaplikasikannya dapat disebut fase digitalisasi,
dimana setiap aktifitas masyarakat mulai memanfaatkan sistem otomatisasi guna
mempermudah kebutuhan masyarakat yang dikehendaki. Melihat paradigma yang bergeser,
hal ini menjadi tantangan baru bagi setiap golongan masyarakat, terlebih, bagi generasi emas
Indonesia yang selalu di gaung-gaungkan, yakni generasi millenial. Generasi yang
individualistis, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik.
Berbicara politik generasi millenial, momentum yang paling mencolok ialah ketika
Pemilu 2019. Dimana menurut Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Suaini Siregar
menyatakan, berdasarkan hasil survey lembaganya ada sekitar 35 persen sampai 40 persen
pemilih dalam pemilu 2019 didominasi pemilih generasi millenial. Melihat cukup besarnya
persentase pemilih tersebut, merupakan pemandangan politik yang sungguh menawan, bukan
bagi penyelenggara pemilu saja yang berbangga hati. Tetapi, juga partai politik juga pasti
menilai hal tersebut ibarat lahan basah yang mengandung permata yang berharga.
Milenial adalah potensi dan kekuatan. Mereka, kita semua, adalah aset berharga
bangsa ini. Teori tentang generasi ini dipopulerkan oleh Neil Howe dan William Strauss pada
tahun 1991. Menurut mereka, generasi milenial adalah orang yang lahir di rentang tahun
1982-2000.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah generasi milenial mencapai
69,38 juta jiwa atau sekitar 25,87% dari populasi Indonesia untuk generasi Z mencapai 74,93
juta jiwa atau sekitar 27,94% dari total penduduk Indonesia. Besarnya jumlah populasi
generasi milenial dan generasi Z ini sungguh sangat penting mengingat peran strategis
mereka sebagai penerus pembangunan bangsa Indonesia. Dalam dunia “politik praktis”
maupun “politik etis”, generasi milenial akhir-akhir ini sudah mulai menunjukkan peran dan
kontribusi yang cukup menonjol. Di usia mereka yang terbilang muda, mereka sudah berani
terjun ke dunia politik, yang kata orang selama ini “politik itu kejam”.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, kita dapat temukan banyak sekali generasi
milenial yang berpartisipasi dalam Pemilihan anggota legislatif, dari tingkat kabupaten/kota,
provinsi hingga pusat. Di tingkat pusat (DPR RI), di tahun 2019 ada 52 caleg terpilih dari
kalangan milenial. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik generasi millenial cukup
tinggi. Secara teoritis, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang
untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih
pemimpin negara, ikut serta dalam Pemilu, atau melakukan aktivitas yang secara langsung
ataupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Selama ini, partisipasi politik generasi muda (terutama mahasiswa) pada umumnya
lebih banyak memilih posisi di luar kekuasaan. Mereka berpolitik secara etis, sebagai penjaga
moralitas politik publik. Saya fikir pilihan itu adalah pilihan yang baik dan memang harus
ada sebagian generasi muda yang berperan sebagai alat kontrol kekuasaan di setiap zaman.
Namun, tidak ada salahnya pula apabila ada sebagian dari generasi muda yang sudah mulai
terjun ke dunia politik praktis untuk mempersiapkan diri melanjutkan estafet politik tanah air.
Namun, jangan sampai generasi muda kehilangan idealisme nya begitu masuk ke dunia
politik. Mereka harus tetap memegang teguh nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keadilan,
sebagaimana kata Aristoteles, bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama. Jadi hakikatnya berpolitik adalah ikhtiar untuk mewujudkan
kebaikan bersama, bukan kerusakan bersama. Itu yang harus dicamkan oleh generasi
milenial.
Terdapat dua cara pandang utama untuk melihat demokrasi yakni melihat demokrasi
sebagai demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Melihat demokrasi dari sudut
pandang demokrasi prosedural berarti melihat demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, yang
menekankan prosedur pelaksanaan demokrasi itu seperti bagaimana cara memilih pemerintah
dengan menggunakan cara-cara demokratis seperti dengan mufakat atau voting. Sedangkan
demokrasi substansial melihat demokrasi pada substansinya yakni penggunaan prinsip-
prinsip demokrasi seperti kebebasan individu dan pengakuan atas hak sipil sebagai
pelaksanaan demokrasi. Singkatnya, demokrasi prosedural berfokus pada bagaimana suatu
keputusan itu diambil sedangkan demokrasi substansial berfokus pada apa yang pemerintah
lakukan.
Demokrasi prosedural memiliki empat prinsip yang menggambarkan pelaksanaan
demokrasi itu yakni partisipasi universal, kesetaraan politik, majoritarian rules, dan
responsivitas wakil atas konstituennya. Keempat prinsip ini dianggap bisa menjawab
bagaimana seharusnya pemerintah membuat keputusan yang demokratis.
Demokrasi prosedural memiliki dua pilihan cara dalam pelaksanaannya yakni
langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung melibatkan semua orang yang telah
memenuhi syarat untuk dapat memberikan keputusannya sendiri secara langsung. Namun, hal
ini agaknya sulit diterapkan mengingat jumlah rakyat dalam suatu negara besar. Hal ini
memunculkan lahirnya konsep perwakilan. Perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau
suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas
nama suatu kelompok yang lebih besar. Adanya perwakilan ini merupakan pelaksanaan dari
demokrasi tidak langsung dan merupakan praktek demokrasi prosedural yang banyak
diterapkan di negara-negara yang berideologi demokrasi, termasuk Indonesia. Perwakilan ini
juga yang membuat lahirnya prinsip keempat demokrasi prosedural yakni responsiveness ada.
Hal ini merujuk pada bagaimana wakil merespon aspirasi konstituennya setelah terpilih
menjadi wakil.
Ada banyak kemuliaan pada sistem ini. Di situ ada kebebasan, kesetaraan, dan
kemerdekaan berpikir. Nilai-nilai positif inilah yang harus ditransformasikan, terutama ke
kaum muda, agar mereka juga bisa berpikir makin matang. Kaum muda, termasuk generasi
milenial adalah potensi besar bangsa ini. Ketidakpuasan yang muncul bisa jadi mereka hidup
di zaman keterbukaan sehingga tak mampu membandingkan represivitas di era Orde Baru.
Mereka perlu didekati dan dipahami. Kegagalan menyapa mereka hakikatnya memendam
masalah besar di kemudian hari. Bahkan, terhadap eksistensi sistem demokrasi ini sendiri.

Anda mungkin juga menyukai