Anda di halaman 1dari 11

PERAN PEMUDA DALAM DEMOKRASI DI ERA 4.

Desy Arisandi¹, Visman², Hadrian Indra Mapa³

Penggiat Pemilu dan Demokrasi, darisandi358@gmail.com, Kendari Indonesia


Penggiat Pemilu dan Demokrasi, vismanniman@gmail.com, Baubau Indonesia
Penggiat Pemilu dan Demokrasi, hadrianindramapalagundi@gmail.com , Kendari Indonesia

ABSTRAK
Penelitian ini menlihat bagaimana peran pemuda dalam mengawal demokrasi yang sehat
pada era 4.0. Dalam konteks daerah atau negara yang melaksanakan Pilkada dan Pemilihan
umum (Pemilu) 2024 akan menjadi panggungnya para pemuda dalam menentukan
pemimpin Indonesia masa depan. Hal ini karena mereka yang masuk generasi Z akan
bertindak sebagai pemilih mayoritas. Bersama dengan generasi milenial, generasi Z
memperoleh porsi terbesar dari daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 dengan
persentase sekitar 40%-50% keseluruhan DPT. Adanya bonus demografi di satu sisi
membuat suara pemuda jelas dianggap sangat menentukan dalam Pemilu 2024.
Momentum ini juga seyogianya mendorong para pemuda untuk berkiprah melalui peran
aktifnya di lapangan. Pemuda perlu ambil bagian dalam perannya untuk menciptakan dan
mensukseskan hajat demokrasi yang sehat alih-alih berpangku tangan karena merasa suara
pemuda sebagai suara mayoritas.
Kata Kunci : Demokrasi, pemuda, era 4.0
ABSTRACT
This research looks at the role of youth in guarding a healthy democracy in the 4.0 era. In
the context of the regions or countries that carry out Pilkada and general elections (Pemilu)
2024 will be the stage for young people to determine Indonesia's future leaders. This is
because those who enter generation Z will act as the majority voter. Together with the
millennial generation, generation Z gets the largest portion of the final voter list (DPT) for
the 2024 elections with a percentage of around 40%-50% of the total DPT. The existence
of a demographic bonus on the one hand makes it clear that youth voices are considered
very decisive in the 2024 Election. This momentum should also encourage youth to take an
active role in the field. Youth needs to take part in their role in creating and succeeding the
cause of a healthy democracy instead of standing idly by because they feel that the voice of
youth is the voice of the majority.

Keywords : Dmocracy, Youth, Era 4.0

PENDAHULUAN
Pemilu adalah suatu kunci untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan,
humanis dan transparansi karena setiap orang menentukan hak pilihnya secara rasional
maupun emosional untuk memilih siapa yang ia kehendaki menjadi pemimpin. Salah satu
karakteristik dari pemilu adalah adanya partisipasi dari warga negara dalam kehidupan
politik. Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat
adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Setiap warga dan
kelompok masyarakat dalam proses demokrasi memperoleh ruang untuk turut
berpartisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaannya dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut dalam menentukan pemimpin
sebuah pemerintahan. (Frenki. 2021).
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi juga berarti
memungkinkan adanya pergantian kekuasaan setiap periode tertentu dengan menjadikan
Pancasila sebagai dasar atau filosofi hidup berbangsa terkhusus pada sila ke-3 yaitu
Persatuan Indonesia, menjadikannya sebuah impian dan harapan bahwa bangsa Indonesia
sudah seharusnya dan sepatutnya saling bergandengan tangan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Dalam konteks ini tidak terkecuali peran generasi muda dan kaum milenialnya.
Mengawal demokrasi pancasila tentu bukan hal yang mudah, akan tetapi memahami
demokrasi pancasila yang berpusat pada ideologi bangsa ini (pancasila) sudah barang tentu
bukan hal sulit. Oleh karena, demokrasi pancasila memiliki landasan prinsip-prinsip
ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, serta keadilan sosial menjadi tujuan akhir dari
perjalanan demokrasi bangsa. Diperlukan kepeloporan dari generasi muda untuk selalu
merawat demokrasi melalui ideologi bangsa yaitu Pancasila. Sehingga demokrasi bangsa
ini tidak terkesan hanya menjadi teks-teks normatif tanpa makna, dan harapan kita bersama
mewujudkan demokrasi subtantif yang berkeadilan sosial serta mensejahterakan rakyat.
( https://www.ubb.ac.id/artikel/518/)
Generasi milenial dianggap sebagai bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia,
generasi ini lahir di era teknologi dan internet mulai berkembang pesat. Para milenial ini
lah yang menjadi harapan untuk masa sekarang dan masa depan dalam membangun
Indonesia. Pemuda sebagai agent of change dalam berbagai hal, seperti salah satunya
ialah politik. Namun, jika diperhatikan pada saat ini minat milenial terhadap politik mulai
berkurang. Hal ini karena banyak orang memandang “politik” cenderung dengan perebutan
kekuasaan dan melihat politik sebagai sebuah lingkaran setan. Perspektif seperti inilah yang
perlu diubah oleh para milenial dan memutus lingkaran setan tersebut. Begitu juga dengan
masalah demokrasi di Indonesia, hingga saat ini masih banyak generasi muda yang apatis
terhadap perkembangan demokrasi di negara ini. Ini tentu saja disebabkan karena suatu
alasan.
Survei terhadap milenial yang telah dilakukan oleh Atma Jaya Institute for Public
Policy (AJIPP) memperlihatakan bagaimana pendapat para milenial mengenai demokrasi
di Indonesia yang dinilai masih buruk, bahkan beberapa dari mereka menyebutkan sangat
buruk.
Alasan mengapa demokrasi di Indonesia dikatakan buruk ialah menurut 44 persen
milenial karena adanya politisasi agama. Dengan hasil yang lain mengatakan, karena
adanya hoax (22 persen), korupsi (17 persen), radikalisme (11 persen), kekuatan penguasa
(1 persen), dan lain-lain (3 persen).
Dalam hal ini, politisasi agama nilai memiliki pengaruh besar terhadap buruknya
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Agama sering kali dikaitkan dengan pelaksanaan
demokrasi, oleh para golongan tertentu sering dijadikan sebagai alat politik.
(https://yoursay.suara.com/news/)
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian atau pembahasan ini adalah kualitatif
dengan mengambil berbagai referensi data dan berita dari buku, jurnal ataupun laman
berita-berita terpercaya lalu merangkumnya menjadi satu dengan menganalisis pola-pola
yang tercipta serta membahasnya berdasarkan dengan data dan fakta yang fokus kepada
masalah Peran Pemuda dalam Menyongsong Pesta demokrasi 2024. ( Shidqi dan
Andriyani. 2022)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menyambut pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 merupakan faktor penting
dalam keberhasilan demokrasi itu sendiri. Saat ini telah muncul beberapa tokoh nasional
yang mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Diantaranya, Prabowo Subianto, Ganjar
Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Agus Harimurty Yudhoyono, Erick Thohir,
Sandiaga Uno, Puan Maharani, Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. Nama-nama
tersebut merupakan putra dan putri terbaik bangsa yang membawa bangsa Indonesia
menjadi negara yang bermartabat secara politik, berdaulat secara ekonomi, berbudi luhur
secara budaya, kepastian secara hukum, humanis secara sosial, demokrasi yang berwibawa
dan disegani sacara global.
Lembaga Survei Political Statistics (POLSTAT) merilis tentang elektabilitas calon
presiden (capres) 2024. Ketua Gerindra Prabowo Subianto mengungguli dua calon kuat
lainnya, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Survei
dilakukan pada 10 hingga 18 Februari 2023 dengan total 1.220 responden yang berusia 17
tahun ke atas. Margin of error penelitian ini adalah +/- 2,8 persen pada tingkat kepercayaan
95 persen. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara pribadi. Prosedur pengambilan
sampel dilakukan secara acak (multistage random sampling). (https://news.detik.com/)
Suhu politik semakin memanas jelang pemilihan presiden 2024. Dalam perkembangan
terakhir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengumumkan akan mencalonkan Anies
Basweda sebagai calon presidennya pada 2024. PKS yang tergabung dalam koalisi
Perubahan dengan Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Demokrat, mengatakan
penting untuk menjadi bagian dari koalisi.
Sementara itu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra-PKB) membentuk
kelompok pakar untuk mengkaji kebijakan dan perencanaan pemerintah 2024. Sedangkan
Koalisi Indonesia Bersatu (Golkar, PAN, PPP) melirik Ridwan Kamil untuk di usung
sebagai calon presiden. Di sisi lain, PDI Perjuangan (PDIP) masih enggan memutuskan
siapa calon presiden yang akan dicalonkan. Tujuan dari partai koalisi adalah mendapatkan
tiket untuk menentukan bakal calon presiden dan wakil presiden. Dalam pemilu
mendatang, calon presiden harus memenuhi tiket syarat ambang batas 20% kursi parlemen
atau 25% suara sah nasional. (https://www.bbc.com/)
Pemilu 2024 merupakan pemilu nasional keenam yang diselenggarakan
pascareformasi tahun 1998. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, kajian mengenai
pemilu dan evaluasi pemilu dalam menghasilkan pemerintahan yang stabil dan
demokratis menjadi fokus utama tidak hanya dari kalangan akademisi, tetapi juga
melingkupi praktisi dan kalangan penggiat demokrasi secara luas. Banyak sisi yang
menjadi objek pembahasan dari pemilu, salah satunya dimensi Peran Pemuda Dalam
Demokrasi Di Era 4.0 terhadap pemilu itu sendiri.
Fenomena Peran Pemuda Dalam Demokrasi.
Pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana
pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan
terbentuknya pemerintahan yang kuat, karena pemilu telah memenuhi kewajibannya yaitu
melahirkan orang-orang terpilih dan terbaik yang akan mepresentasikan keterwakilan
rakyat secara powerfull. Hal ini berkaitan dengan makna yang dilekatkan pada pemilu itu
sendiri sebagai sebuah potret ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di
zaman modern. “Pemilu dalam konstelasinya sebagai pengejawantahan demokrasi,
mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana legitimasi politik, melalui Pemilu
pemerintah dapat mempengaruhi perilaku rakyat, sebagai fasilitator terbangunnya kontrak
politik rakyat dengan pemerintahnya, serta sebagai ajang penilaian rakyat terhadap
penguasa yang mereka percayai selama lima tahun yang telah berlalu.
Dalam pandangan akademisi asal Desa Bonyoh, Kintamani, Bangli ini, konsolidasi
demokrasi tidak cukup hanya dengan Pemilu yang dilakukan secara prosedural, melainkan
lebih ditentukan oleh seberapa melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai dan
dewan perwakilan yang dihasilkannya. “Untuk itu, kualitas Pemilu sangat ditentukan oleh
seberapa besar partisipasi rakyat dalam pemilu itu sendiri, serta seberapa mampu rakyat
sebagai pemilik kedaulatan dapat mengawasi penyelenggaraan pemilu itu sendiri.
Kedepan, dalam rangka membangun demokrasi yang mampu menjamin parameter
kedirian rakyat sebagai pemilik kedaulatan, Lasmawan yang juga adalah Ketua Forum
Wakil Rektor bidang SDM PTN se-Indonesia ini, menegaskan perlunya dilakukan
penyederhanaan sistim kepartaian dan menekan cost politik yang harus dihabiskan di setiap
hajatan pemilu. Disisi lain, untuk meningkatkan kualitas pemilu itu sendiri, maka penting
dilakukan gerakan Pemilu dalam semangat gotong royong. “Sehingga setiap warga negara
merasa dan menjadikan Pemilu itu adalah diri mereka sendiri, sehingga tidak semata-mata
mengandalkan sistim dan regulasi yang bersifat prosedural-mekanistis semata.
Pergeseran nilai-nilai karakter dan semangat kepemudaan melanda generasi
muda Indonesia. Kontras rasanya jika kita lihat peran pemuda pada era prakemerdekaan,
pascakemerdekaan, dan era reformasi yang sangat mengelora sehingga mampu
mempengaruhi dinamika kehidupan kenegaraan Indonesia jika dibandingkan dengan peran
pemuda pada era sekarang ini (dalam Aris Riswandi Sanusi, 2015).
Kaum milenial memiliki peran yang sangat strategis dalam menyukseskan pembangunan
demokrasi di era modern saat ini. Perkembangan teknologi dan era disrupsi saat ini
memungkinkan generasi penerus bangsa ini mengambil dan memerankan fungsinya
sebagai pilar kebangsaan, terutama dengan cara aktif dan kreatif dalam memanfaatkan
berbagai fasilitas teknologi dalam dunia politik. Demikian disampaikan Akademisi
Undiksha, Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd saat menjadi narasumber dalam Seminar
Nasional yang digelar Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Hukum dan Ilmu
Sosial (FHIS) Undiksha, Sabtu (5/10/2019). Seminar yang didibuka untuk umum ini juga
menghadirkan narasumber anggota DPD RI Dr. Made Mangku Pastika, M.M dan Hakim
Mahkamah Konstitusi Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.Hum.
Lasmawan menjelaskan, kaum milenial bisa menjadi trigger bagi terbangunnya
demokrasi yang berkualitas, manakala mereka mau dan terkelola dalam alam dan
dimensinya oleh sistem serta instrumen-instrumen negara sebagai media demokrasi. Hal
ini terbukti dari peran pemilih milenial pada Pemilu yang baru berlalu yang jumlahnya
mendekati angka 40 persen dari total warga negara yang menggunakan hak pilihnya.
Artinya terdapat hampir 70 juta pemilih milenial yang telah menggunakan hak
kenegaraannya dalam pesta demokrasi besar itu. “Peningkatan angka partisipasi pemilih
pada Pemilu kemarin yang hampir mencapai angka 81 persen membuktikan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi besar yang tingkat konsolidasinya
mengalami peningkatan tajam. Hal ini tidak terlepas dari peran pemilih muda. Untuk itu,
di era teknologi saat ini, kalangan pemilih muda merupakan segmen yang harus dikelola
sedemikian rupa, dengan memasuki dunia mereka manakala calon-calon peserta Pemilu
ingin mendapatkan kepercayaan dari para pemilih ini,” jelasnya.
Disampaikan lebih lanjut, dengan mengedepankan mediasi dan mengelola bakat
politik serta masuknya teknologi dalam komunikasi politik, maka peningkatan literasi
demokrasi kaum milenial harus terus dilakukan sehingga mampu memainkan perannya
sebagai pemilih yang cakap media, tanggap, kreatif dan advokatif. “Jika ini bisa dilakukan,
maka gerakan demokrasi itu adalah kita, melalui pemilu gotong royong, niscaya bisa
direalisasikan,” tegasnya. (https://undiksha.ac.id/)
Milenial adalah potensi dan kekuatan. Mereka, anda semua, adalah aset berharga
bangsa ini. Teori tentang generasi ini dipopulerkan oleh Neil Howe dan William Strauss
pada tahun 1991. Howe & Strauss (1991) membagi generasi berdasarkan kesamaan rentang
waktu kelahiran dan kesamaan kejadian-kejadian historis. Menurut mereka, generasi
milenial adalah orang yang lahir di rentang tahun 1982-2000. Adapun setelahnya
merupakan generasi post-millenials.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah generasi milenial
mencapai 69,38 juta jiwa atau sekitar 25,87% dari populasi Indonesia. Sementara untuk
generasi Z mencapai 74,93 juta jiwa atau sekitar 27,94% dari total penduduk Indonesia.
Besarnya jumlah populasi generasi milenial dan generasi Z ini sungguh sangat penting
mengingat peran strategis mereka sebagai penerus pembangunan bangsa Indonesia.
Dalam dunia “politik praktis” maupun “politik etis”, generasi milenial dan juga
generasi post-milenials, akhir-akhir ini sudah mulai menunjukkan peran dan kontribusi
yang cukup menonjol. Di usia mereka yang terbilang muda, mereka sudah berani terjun ke
dunia politik, yang kata orang selama ini “politik itu kejam”.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, kita dapat temukan banyak sekali generasi
milenial yang berpartisipasi dalam Pemilihan anggota legislatif, dari tingkat
kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Di tingkat pusat (DPR RI), di tahun 2019 ada 52
caleg terpilih dari kalangan milenial.
Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik generasi milanial cukup tinggi.
Secara teoritis, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin
negara, ikut serta dalam Pemilu, atau melakukan aktivitas yang secara langsung ataupun
tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Yang menarik, generasi milenial di era 4.0 ini memiliki karakter dan perilaku
politik yang khas dalam melakukan partisipasi politik. Dalam satu dekade terahir, mereka
sangat aktif menjadi bagian atau segmen masyarakat yang paling banyak menggunakan
media sosial berbasis internet dalam merespon isu-isu politik maupun dalam melakukan
aktivitas politik.
Perlu kita ketahui bahwa penggunaan internet di kalangan milenial hari ini sudah
mencapai 88,5 persen. Intensitas generasi milineal ini dalam menggunakan teknologi
informasi berbasis internet telah menjadi trend sekaligus rutinitas yang terkadang
mengambil sebagain besar waktu mereka. Media sosial ini sangat efektif sebagai sarana
untuk melakukan penyebaran informasi, pengembangan pengetahuan, termasuk untuk
melakukan kampanye politik (Komariah & Kartini, 2019).
Selama ini, partisipasi politik generasi muda (terutama mahasiswa) pada umumnya
lebih banyak memilih posisi di luar kekuasaan. Mereka berpolitik secara etis, sebagai
penjaga moralitas politik publik. Saya fikir pilihan itu adalah pilihan yang baik dan
memang harus ada sebagian generasi muda yang berperan sebagai alat kontrol kekuasaan
di setiap zaman.
Namun, tidak ada salahnya pula apabila ada sebagian dari generasi muda yang
sudah mulai terjun ke dunia politik praktis untuk mempersiapkan diri melanjutkan estafet
politik tanah air. Namun, jangan sampai generasi muda kehilangan idealismenya begitu
masuk ke dunia politik. Mereka harus tetap memegang teguh nilai-nilai kebaikan,
kebenaran dan keadilan, sebagaimana kata Aristoteles, bahwa politik adalah usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jadi hakikatnya berpolitik
adalah ikhtiar untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan kerusakan bersama. Itu yang
harus dicamkan oleh generasi milenial.
Tentu kita turut prihatin, selama ini dunia politik dipersepsikan secara buruk oleh
masyarakat, termasuk oleh sebagian generasi muda. Menurut riset yang dilakukan oleh
Litbang Media Indonesia, ada beberapa alasaan generasi milenial tidak tertarik pada politik,
antara lain:
1. Menganggap politik sebagai hal yang membosankan
2. Aktor-aktor politik lebih mementingkan diri sendiri
3. Banyak hoaks yang beredar.
Persepsi demikian tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena mereka melihat secara
empiris berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi selama ini. Untuk itu, tugas dari
generasi milenial dan post-millenials hari ini dan di masa depan adalah melakukan
perubahan/perbaikan terhadap budaya dan nilai-nilai politik yang masih buruk. Marilah
kita gali kembali teladan-teladan politik dari para pendiri bangsa kita. Jika kita belajar dari
para founding fathers bangsa ini, setidaknya ada dua learning points yang dapat kita
adaptasi hari ini.
Pertama, tokoh-tokoh utama dari founding fathers kita dulu adalah orang-orang
yang tulus dalam memikirkan nasib bangsa dan negaranya. Meskipun mereka tidak “satu
warna” (beragam warna ideologi politik), namun mereka tetap meyakini bahwa politik
adalah kegiatan untuk menciptakan kebaikan bersama, meski dengan cara pikir yang
majemuk. Namun, mereka tetap dapat menjaga persatuan Indonesia. Kedua, mereka adalah
orang-orang yang aktif dalam dunia politik di usia yang masih sangat belia.
Tahukan Anda usia berapa Soekarno mulai terkenal? Beliau mulai terkenal sejak
masuk sebagai anggota Jong Java cabang Surabaya di usianya yang baru 14 tahun.
Kemudian, di usianya yang baru 25 tahun, Bung Karno mendirikan Algemeene Studie Club
(ASC) atau klab kuliah umum di Tanah Pasundan, Bandung pada tahun 1926, yang
kemudian menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Hingga akhirnya sejarah
bangsa ini mencatat Ir. Soekarno menjadi presiden Republik Indonesia pertama, di usianya
yang baru menginjak 44 tahun. Mohammad Hatta. Beliau yang usianya hanya terpaut 1
tahun lebih muda dari Soekarno, sudah aktif di pergerakan politik di usia belasan tahun. Di
usia pelajar, beliau sudah aktif di Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Di usia 24
tahun, beliau sudah menjadi pimpinan organisasi Perhimpunan Indonesia. Hingga pada
akhirnya pula beliau menjadi Wakil Presiden RI pertama di usianya yang baru 43 tahun.
Demikian pula para pendiri bangsa lainnya, seperti Mohammad Yamin, H. Agus Salim,
Wahid Hasyim, Mohammad Natsir dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh seperti mereka,
barangkali semakin langka di era ini. Namun, kita harus meyakini bahwa sejarah itu tidak
berjalan secara linear. Kita masih memiliki harapan besar kepada generasi di masa yang
akan datang. Melalui pendidikan politik yang berkualitas dan beradab, kita harapkan peran
generasi milenial dan juga post-milenial di masa depan lebih banyak membawa perubahan
yang lebih maju dalam kehidupan politik kita. (https://berita.upi.edu/)
KESIMPULAN
Sejarah telah mencetus bahwa peran pemuda dalam demokrasi itu tidak diragukan
lagi, data dan fakta telah membuktikan itu semua. Jadi tidak alasan bagi kita generasi
sekarang untuk lari tantangan zaman dari fenomena dan iklim politik yang ada. Melihat
persoalan secara empiris dan objektif, agar tidak menimbulkan sikap yang apatis terhadap
keadaan.
Dalam konteks daerah atau negara yang melaksanakan Pilkada dan Pemilihan
umum (Pemilu) 2024 akan menjadi panggungnya para pemuda dalam menentukan
pemimpin Indonesia masa depan. Hal ini karena mereka yang masuk generasi Z akan
bertindak sebagai pemilih mayoritas. Bersama dengan generasi milenial, generasi Z
memperoleh porsi terbesar dari daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 dengan
persentase sekitar 40%-50% keseluruhan DPT. Adanya bonus demografi di satu sisi
membuat suara pemuda jelas dianggap sangat menentukan dalam Pemilu 2024.
Momentum ini juga seyogianya mendorong para pemuda untuk berkiprah melalui peran
aktifnya di lapangan. Pemuda perlu ambil bagian dalam perannya untuk menciptakan dan
mensukseskan hajat demokrasi yang sehat alih-alih berpangku tangan karena merasa suara
pemuda sebagai suara mayoritas. Ambil peran Peran para pemuda dalam gelaran pemilu
dapat diaktualisasikan setidaknya ke dalam tiga posisi.
a) Pertama, dengan melibatkan diri sebagai penyelenggara pemilu di berbagai
tingkatan, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat desa. Manfaat yang dapat
diperoleh dari peran sebagai penyelenggara pemilu adalah pengetahuan
empiris dan teknis seputar penyelenggaraan pemilu. Para pemuda akan
mengetahui bagaimana kesulitan-kesulitan yang dihadapi di lapangan sebagai
penyelenggara pemilu. Dengan melibatkan diri sebagai penyelenggara pemilu
mereka juga akan menyadari bahwa bekerja sebagai penyelenggara tidak
semudah yang terlihat. Lagi pula mereka sudah seharusnya merasa malu bila
di lapangan masih ditemukan para penyelenggara pemilu yang didominasi
oleh generasi berusia di atas 40an. Bagaimanapun pemilu yang berlangsung
serentak ini menuntut kecepatan dan efisiensi kerja yang memerlukan fisik
prima yang dimiliki para pemuda. Melalui perannya sebagai penyelenggara
Pemilu, para pemuda berarti siap untuk menjadi bagian integral dari proses
demokrasi.
b) Kedua, yang dapat dimanfaatkan oleh pemuda ialah berperan sebagai tim
pemenangan atau salah satu calon eksekutif atau calon legislator. Tujuannya
agar mereka memperoleh pengalaman tentang dinamika politik dan
kepemiluan. Pengalaman yang diperoleh di lapangan sebagai tim pemenangan
nantinya akan berguna untuk proses pendewasaan berdemokrasi. Dengan
begitu segala bentuk perbedaan opini yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dukungan yang ditemukan di lapangan menjadi suatu hal yang biasa.
c) Ketiga, melalui peran edukatif terhadap masyarakat. Peran itu bisa
diwujudkan oleh para pemuda dengan mendirikan semacam lembaga
demokrasi independen atau pemantau Pemilu. Pendirian lembaga tersebut
dimaksudkan agar ada di antara para pemuda yang berposisi sebagai pihak
yang berada di luar lingkaran dukung-mendukung antarcalon. Dengan begitu,
terdapat para pemuda yang bisa mengambil jarak untuk melihat dinamika dan
realitas politik secara jernih. Mereka juga akan melihat dinamika yang terjadi
selama pemilu dari berbagai sudut pandang.
Semua peran tersebut diharapkan dapat membentuk sisi idealisme sebagai ekspresi
yang identik dan melekat dalam jiwa generasi muda, di tengah tantangan dan dinamika di
tahun politik. Terlebih fakta sebagai pemilih mayoritas yang disemat oleh kelompok
milenial dan generasi Z juga membuat kedua kalangan ini akan dilirik banyak partai.
Godaan tentu akan datang dari berbagai sudut. Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi,
kita mungkin akan melihat banyak deklarasi dukungan yang mengatasnamakan pemuda di
berbagai daerah. Tinggal bagaimana para pemilih di kedua segmen usia yang rata-rata
dihuni para pemuda ini memanfaatkan momentum penting dalam menentukan arah bangsa
ke depan secara objektif.
Tantangan Tantangan terbesar dalam pemilu yang akan dihadapi pemilih dari
generasi muda saat ini; sejauh mana mereka mampu mempertahankan independensi pikiran
di tengah serbuan opini dan propaganda di tahun politik. Yang paling dikhawatirkan ialah
bila di antara para pemuda kita terbawa dan teracuni oleh sentimen-sentimen politik yang
diproduksi elite. Termasuk di dalamnya pihak yang dengan sengaja mempersempit sudut
pandang dan objektifitas yang dapat mempengaruhi para pemilih pemula. Bagaimana pun,
para pemuda khususnya yang berstatus pemilih pemula belum memiliki pijakan yang
kokoh. Mereka bukanlah generasi tua yang kaya pengalaman dan biasanya teguh pada
pendirian. Bisa dikatakan bahwa generasi muda khususnya para pemilih pemula menjadi
pihak yang rawan untuk dipengaruhi dan dipropaganda lewat berbagai saluran
media.Pemuda yang masih minim jam terbang dalam dunia kepemiluan harus segera
menyadari; mereka akan dihadapkan pada serbuan berita. Terlebih di tahun politik nanti
yang hampir pasti isinya sarat dengan subjektifitas. Itu merupakan tantangan aktual yang
menuntut para pemuda untuk mengadaptasikan diri dengan baik di tengah dinamika dan
suhu politik yang semakin meningkat. Pada akhirnya kita semua hanya berharap bahwa
besarnya hak suara yang dimiliki oleh generasi muda pada Pemilu 2024, semoga
berbanding lurus dengan besarnya kesadaran serta tanggung jawab mereka dalam
menentukan nasib bangsa ke depan.

DAFTAR PUSTAKA

Sanusi, Aris Riswandi.2015. Implementasi Pendidikan Politik Dalam Membentuk Karakter


Kepemimpinan Lintas Budaya Pada Generasi Muda Demi Mewujudkan Budaya
Politik Pancasila.Hal-22
Affandi, Firmansyah Noor.2017. Pelaksanaan Pendidikan Politik Dalam Meningkatkan
Partisipasi Politik Generasi Muda.hal-5
Al-Farisi, Leli Salman.2018. Politik Identitas: Ancaman Terhadap Persatuan dan Kesatuan
Bangsa dalam Negara Pancasila.JURNAL ASPIRASI. Vol. No. 2
https://www.ubb.ac.id/artikel/518/Peran%20Pemuda%20Dalam%20Meniti%20Demokras
i%20Pancasila
https://yoursay.suara.com/news/2020/03/21/170000/peran-milenial-dalam
penguatan-demokrasi-di-indonesia
https://undiksha.ac.id/merekonstruksi-literasi-demokrasi-kaum-milenial-di-era-revolusi-
4-0/
https://berita.upi.edu/peranan-generasi-millenial-di-era-4-0-dalam-meneruskan-estafet-
politik-di-indonesia/
https://jateng.bawaslu.go.id/2021/10/02/bagaimana-peran-millenial-di-era-demokrasi-
digital/
https://m.mediaindonesia.com/opini/535447/pemuda-dan-pemilu-2024

Anda mungkin juga menyukai