demokrasi yang menjadi landasan utama bagi sebuah negara berdasarkan prinsip
keadilan, keamanan, dan ketertiban. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengertian pemilihan
umum diuraikan secara detail. Idealnya, pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Sistem pemilu Indonesia ini telah mengalami
perubahan dan pembaruan seiring berjalannya waktu, termasuk reformasi terkait
pemilihan langsung presiden dan pemilihan kepala daerah. Belakangan ini, dalam
rangka menyesuaikan diri dengan golongan rakyat yang disebut dengan kelompok
milenial di Indonesia yang jumlahnya relatif signifikan, kampanye Pemilu diarahkan
ke corak milenial (Prasetyo, dkk, 2021).
Dikutip dari situs bawaslu.co.id, ketua bawaslu Rahmat Bagja dalam Rapat Kerja
Teknis (Rakernis) divisi hukum polri menyampaikan bahwa Bawaslu bersama
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus berupaya mencegah ujaran kebencian,
kampanye hitam, dan isu sara pada Pemilu Serentak 2024. Upaya tersebut dilakukan
agar polarisasi masyarakat pada Pemilu 2019 tidak terulang kembali. Kemudian
timbul pertanyaan, bukankah semestinya polarisasi bisa diterima sebagai bagian dari
dinamika politik yang sehat? Istilah polarisasi politik merujuk kepada terpecahnya
masyarakat akibat adanya perbedaan pilihan politik, yang mana dalam perpecahan ini
muncul rasa saling tidak percaya dan kebencian, sehingga memunculkan permusuhan
(Mansyur, 2023). Ini berarti mereka memiliki pendapat yang sangat berbeda tentang
isu-isu politik penting, dan jarang sekali menemukan kesamaan pandangan di antara
kelompok-kelompok tersebut. Dilansir dari situs Katadata.co.id , hasil survei Litbang
Kompas menunjukkan, 56% dari total responden merasa khawatir akan adanya
polarisasi politik pada masa Pemilu 2024. Menurut survei yang dilakukan, sebanyak
27,1% responden menganggap bahwa sikap saling tidak menghargai pilihan atau
intoleransi adalah sumber utama polarisasi ketika pemilu. Selain itu, hoaks atau berita
bohong juga memiliki dampak signifikan, dengan 22% responden menyebutkannya
sebagai faktor penyebab polarisasi. Selain faktor-faktor tersebut, 18% responden juga
menganggap bahwa sikap para elite politik turut memperkeruh suasana dan memecah
belah masyarakat.
Polaritas politik yang tajam justru seringkali menjadi pemicu kerusakan prinsip dasar
demokrasi. Ini dapat berujung pada ketegangan sosial, perpecahan dalam
masyarakat, dan bahkan tindakan kekerasan. Polarisasi menjadi masalah ketika orang
terlalu teguh pada pandangan mereka, mereka cenderung enggan untuk bekerja sama
dengan kelompok lain. Ini dapat menghambat kemajuan dan kemungkinan solusi
untuk masalah yang kompleks. Seperti pengambilan keputusan bisa menjadi sulit,
berkurangnya toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan menghambat dialog
yang produktif. Polarisasi politik adalah dinamika yang mengguncang Indonesia
sejak era 1950-an hingga 1960-an, di mana perbedaan dalam politik aliran menjadi
pemicu utama. Saat berada di bawah pemerintahan Orde Baru, polarisasi ini mereda.
Namun, kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka gerbang baru dalam ruang
politik yang sebelumnya tertutup oleh kebijakan represif. Era Reformasi awalnya
tampak meredakan polarisasi politik karena pengaruh ideologi, orientasi keagamaan,
dan aliran politik yang semakin surut. Tetapi, seiring berjalannya waktu, polarisasi
politik kembali memuncak pada tahun 2014, menandai periode ketegangan politik
yang menarik di Indonesia (Karim, 2019; Warburton, 2020; Afrimadona, 2021; Jati,
2022). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Karim (2019), ia berpendapat bahwa
ada dua pendekatan utama yang dapat digunakan dalam kajian polarisasi. Pertama,
kita dapat melihat polarisasi sebagai hasil dari proses politik elektoral, yang
mencakup pemilihan umum dan politik partai. Kedua, kita juga dapat mengevaluasi
bagaimana polarisasi sosial dalam masyarakat dielaborasi dan dikelola melalui proses
politik elektoral, baik sebagai upaya untuk menguranginya atau sebagai alat untuk
memobilisasi massa.
Secara umum, istilah Cooling system biasanya digunakan dalam dunia teknik atau
industri untuk mengontrol suhu (Nikbakhti dkk, 2020), tidak dalam konteks pemilu
atau politik. Dalam konteks pemilu, istilah cooling system digunakan secara
metaforis untuk menggambarkan berbagai upaya atau mekanisme yang bertujuan
untuk meredakan ketegangan politik, mengurangi polarisasi, dan menciptakan
lingkungan yang lebih damai selama pemilu. Mengacu pada polri.go.id, Wakapolri
Komjen Pol Gatot Eddy Pramono mengungkapkan perhatiannya yang khusus terkait
cooling system tersebut. " Cooling System maksudnya adalah untuk menjaga dan
mencegah potensi gangguan kamtibmas dengan melibatkan seluruh komponen
bangsa sehingga kamtibmas terjaga dan terkendali," ujar Sandi kepada para wartawan
pada tanggal 14 Juni 2023. Mengingat dalam situasi ketegangan politik sangat
penting untuk menekankan pentingnya menjaga stabilitas politik. Dengan
menggunakan istilah yang menggambarkan "mendinginkan" situasi politik, pesan
tersebut bisa lebih menonjol. Praktik cooling system dalam pemilu dapat dilakukan
melalui serangkaian tindakan dan mekanisme yang disesuaikan dengan situasi yang
ada, seperti dialog, mediasi, sosialisasi kepada pemilih, dan lainnya.
Menurut Panuntun (2019), Polisi Masyarakat atau yang dikenal dengan singkatan
"Polmas," adalah konsep yang menginspirasi partisipasi aktif masyarakat dalam
menjaga keamanan dan ketertiban. Di tengah persaingan politik sengit selama pemilu,
peran Polmas menjadi lebih penting. Konsep Polmas sebagai Harmoni Keamanan
Melalui Kolaborasi Filosofis adalah manifestasi dari gagasan bahwa keamanan bukan
hanya tanggung jawab pihak berwenang, melainkan tanggung jawab bersama untuk
menjaga kedamaian di komunitas kita. Pendekatan ini memberdayakan Masyarakat
(dalam hal ini anak muda), bukan hanya menjadi objek, melainkan menjadi subjek
yang berperan aktif mengambil bagian dalam upaya meredam politisasi identitas dan
melakukan kontra narasi terhadap politisasi “isu-isu identitas” yang sering terjadi di
tengah-tengah masyarakat selama ini., dan melaporkannya kepada otoritas yang
berwenang (Syarwi, 2022).
Berikutnya, melibatkan peran anak muda sebagai agen pendinginan (cooling system)
memiliki peran etis dalam konteks pemilu mencerminkan pengakuan terhadap peran
vital mereka dalam dinamika politik dan demokrasi. Anak muda, yang sering
diidentifikasi dengan semangat revolusioner dan dorongan untuk perubahan positif,
dapat menjadi penyeimbang dalam mengurangi ketegangan politik yang berpotensi
mengancam integritas pemilu. Dengan pemahaman teknologi yang lebih baik, anak
muda memiliki kapasitas untuk mendeteksi dan menyebarluaskan informasi yang
akurat, menjauhkan proses pemilu dari gangguan berita palsu yang seringkali
melumpuhkan masyarakat (Saputra, dkk, 2021). Toleransi dan pemahaman mereka
terhadap keragaman pandangan politik berpotensi menciptakan dialog yang lebih
inklusif dan saling pengertian, yang merupakan inti dari demokrasi yang sehat.
Partisipasi mereka juga menghadirkan aspek penting dalam representasi demokratis,
menjaga agar pemilih muda memiliki suara yang kuat dalam proses politik. Selain itu,
melibatkan anak muda dalam peran ini menciptakan peluang edukasi politik yang
berkelanjutan, memastikan bahwa generasi mendatang teredukasi dan memahami
nilai-nilai demokrasi serta kewajiban kewarganegaraan mereka. Dalam paradigma
politik dan filsafat, peran anak muda dalam menjaga integritas pemilu
menggambarkan semacam pencerahan demokratis, di mana semangat dan visi mereka
membantu menjaga ketenangan dan keberhasilan proses demokrasi, yang pada
akhirnya adalah cerminan dari aspirasi masyarakat secara keseluruhan.
Ada beberapa cara khusus di mana anak muda dapat melibatkan diri adalah dengan
aktif berperan sebagai pemantau pemilu independen. Polri dapat memberikan akses
kepada kelompok pemantau pemilu independen yang terdiri dari anak muda, yang
bertugas mengawasi pemungutan suara dan proses pemilu secara keseluruhan.
Dengan mengikuti pelatihan pemantauan pemilu yang diselenggarakan oleh
organisasi sipil atau lembaga pemilu, mereka dapat memastikan bahwa pemilu
berlangsung secara jujur dan adil, serta memberikan laporan jika ada ketidaksesuaian
yang terjadi. Polri juga dapat mengadakan dialog dan diskusi terbuka dengan anak
muda tentang isu-isu pemilu dan keamanan. Ini menciptakan kesempatan untuk
berbagi informasi dan perspektif, serta mempromosikan pemahaman bersama tentang
pentingnya menjaga ketertiban selama pemilu. Kemudian anak muda dapat mengatur
forum diskusi atau debat publik tentang isu-isu penting yang berkaitan dengan
pemilu. Ini memberikan platform bagi pemilih muda untuk berbicara dan
mendengarkan berbagai pandangan politik.
Pada akhirnya, mari kita lihat masa depan pemilu dengan mata penuh gairah dan
optimisme. Anak muda bukan hanya pemirsa dalam drama politik ini, mereka adalah
penulis dan pemeran utama. Bersama Polri, anak muda membentuk plot yang akan
membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Anak muda adalah pemikir inovatif yang
siap melawan badai disinformasi dengan panah kebenaran. Mereka adalah generasi
teknologi yang akan menjalankan cooling system dengan aplikasi dan platform yang
menghubungkan rakyat dengan pemilu. Tidak ada lagi cara klise atau biasa, anak
muda adalah pionir dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Bersama Polri, mereka
adalah kekuatan baru dalam menjaga kedamaian pemilu, dan dengan semangat ini,
kita akan menciptakan sejarah yang tak terlupakan. Indonesia, kita bersama-sama
akan menjaga nyala demokrasi agar selalu bersinar terang.
DAFTAR PUSTAKA
Nikbakhti, R., Wang, X., Hussein, A. K., & Iranmanesh, A. (2020). Absorption
cooling systems – Review of various techniques for energy performance
enhancement. Alexandria Engineering Journal, 59(2), 707-738.
Prasetyo, T. P., Muhammad, M. S.I., Budhiati, I. SH., MH. (2021). Filsafat Pemilu
Berbasis Teori Keadilan Bermartabat. Jakarta: K-Media.
Purnawan, H. (2023, Maret 1). Upaya Bawaslu dan Polri Cegah Polarisasi dalam
Pemilu Serentak 2024. Bawaslu - Badan Pengawas Pemilihan Umum. Tautan
URL: [https://www.bawaslu.go.id/id/berita/upaya-bawaslu-dan-polri-cegah-
polarisasi-dalam-pemilu-serentak-2024](https://www.bawaslu.go.id/id/berita/
upaya-bawaslu-dan-polri-cegah-polarisasi-dalam-pemilu-serentak-2024)
Saputra, N. A., & Erowati, D. (2021, April). Pengaruh Peran Kampanye Media Sosial
terhadap Perilaku Pemilih Muda di Kota Semarang [Influence Role of Social
Media Campaigns on Behavior Young Voters In Semarang City]. Journal of
Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 3(3), 845-852.
doi:10.34007/jehss.v3i3.413
Syarwi, P. (2022). Polarisasi Isu, Politik Identitas, dan Keterbelahan Publik pada
Pemilu Presiden Tahun 2019. Jurnal Communitarian, 4(1), 591.