Anda di halaman 1dari 9

Pemilihan umum atau yang biasa disingkat pemilu merupakan puncak proses

demokrasi yang menjadi landasan utama bagi sebuah negara berdasarkan prinsip
keadilan, keamanan, dan ketertiban. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengertian pemilihan
umum diuraikan secara detail. Idealnya, pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Sistem pemilu Indonesia ini telah mengalami
perubahan dan pembaruan seiring berjalannya waktu, termasuk reformasi terkait
pemilihan langsung presiden dan pemilihan kepala daerah. Belakangan ini, dalam
rangka menyesuaikan diri dengan golongan rakyat yang disebut dengan kelompok
milenial di Indonesia yang jumlahnya relatif signifikan, kampanye Pemilu diarahkan
ke corak milenial (Prasetyo, dkk, 2021).

Namun, tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam penyelenggaraan pemilu


meliputi masalah yang kompleks. Essai ini akan menjelaskan bagaimana sinergi yang
tepat antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan generasi muda memiliki
potensi besar untuk menjadi pilar penting dalam mewujudkan proses pemilu yang
bukan sekadar mencakup aspek keamanan dan ketertiban, melainkan juga berperan
sebagai "Cooling System" yang menjaga proses pemilu berjalan dengan damai,
memberikan wadah bagi aspirasi masyarakat, mencerminkan nilai-nilai demokrasi
yang mendalam, dan mendorong pemilu yang bermartabat. Sinergi ini merupakan
kombinasi harmonis antara filosofi demokrasi yang menegaskan partisipasi rakyat
dan peran aktif generasi muda dalam memastikan integritas pemilu serta prinsip
politik yang menggarisbawahi pentingnya stabilitas dan perdamaian dalam proses
demokratisasi negara.

Dikutip dari situs bawaslu.co.id, ketua bawaslu Rahmat Bagja dalam Rapat Kerja
Teknis (Rakernis) divisi hukum polri menyampaikan bahwa Bawaslu bersama
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus berupaya mencegah ujaran kebencian,
kampanye hitam, dan isu sara pada Pemilu Serentak 2024. Upaya tersebut dilakukan
agar polarisasi masyarakat pada Pemilu 2019 tidak terulang kembali. Kemudian
timbul pertanyaan, bukankah semestinya polarisasi bisa diterima sebagai bagian dari
dinamika politik yang sehat? Istilah polarisasi politik merujuk kepada terpecahnya
masyarakat akibat adanya perbedaan pilihan politik, yang mana dalam perpecahan ini
muncul rasa saling tidak percaya dan kebencian, sehingga memunculkan permusuhan
(Mansyur, 2023). Ini berarti mereka memiliki pendapat yang sangat berbeda tentang
isu-isu politik penting, dan jarang sekali menemukan kesamaan pandangan di antara
kelompok-kelompok tersebut. Dilansir dari situs Katadata.co.id , hasil survei Litbang
Kompas menunjukkan, 56% dari total responden merasa khawatir akan adanya
polarisasi politik pada masa Pemilu 2024. Menurut survei yang dilakukan, sebanyak
27,1% responden menganggap bahwa sikap saling tidak menghargai pilihan atau
intoleransi adalah sumber utama polarisasi ketika pemilu. Selain itu, hoaks atau berita
bohong juga memiliki dampak signifikan, dengan 22% responden menyebutkannya
sebagai faktor penyebab polarisasi. Selain faktor-faktor tersebut, 18% responden juga
menganggap bahwa sikap para elite politik turut memperkeruh suasana dan memecah
belah masyarakat.

Polaritas politik yang tajam justru seringkali menjadi pemicu kerusakan prinsip dasar
demokrasi. Ini dapat berujung pada ketegangan sosial, perpecahan dalam
masyarakat, dan bahkan tindakan kekerasan. Polarisasi menjadi masalah ketika orang
terlalu teguh pada pandangan mereka, mereka cenderung enggan untuk bekerja sama
dengan kelompok lain. Ini dapat menghambat kemajuan dan kemungkinan solusi
untuk masalah yang kompleks. Seperti pengambilan keputusan bisa menjadi sulit,
berkurangnya toleransi terhadap pandangan yang berbeda dan menghambat dialog
yang produktif. Polarisasi politik adalah dinamika yang mengguncang Indonesia
sejak era 1950-an hingga 1960-an, di mana perbedaan dalam politik aliran menjadi
pemicu utama. Saat berada di bawah pemerintahan Orde Baru, polarisasi ini mereda.
Namun, kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 membuka gerbang baru dalam ruang
politik yang sebelumnya tertutup oleh kebijakan represif. Era Reformasi awalnya
tampak meredakan polarisasi politik karena pengaruh ideologi, orientasi keagamaan,
dan aliran politik yang semakin surut. Tetapi, seiring berjalannya waktu, polarisasi
politik kembali memuncak pada tahun 2014, menandai periode ketegangan politik
yang menarik di Indonesia (Karim, 2019; Warburton, 2020; Afrimadona, 2021; Jati,
2022). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Karim (2019), ia berpendapat bahwa
ada dua pendekatan utama yang dapat digunakan dalam kajian polarisasi. Pertama,
kita dapat melihat polarisasi sebagai hasil dari proses politik elektoral, yang
mencakup pemilihan umum dan politik partai. Kedua, kita juga dapat mengevaluasi
bagaimana polarisasi sosial dalam masyarakat dielaborasi dan dikelola melalui proses
politik elektoral, baik sebagai upaya untuk menguranginya atau sebagai alat untuk
memobilisasi massa.

Secara umum, istilah Cooling system biasanya digunakan dalam dunia teknik atau
industri untuk mengontrol suhu (Nikbakhti dkk, 2020), tidak dalam konteks pemilu
atau politik. Dalam konteks pemilu, istilah cooling system digunakan secara
metaforis untuk menggambarkan berbagai upaya atau mekanisme yang bertujuan
untuk meredakan ketegangan politik, mengurangi polarisasi, dan menciptakan
lingkungan yang lebih damai selama pemilu. Mengacu pada polri.go.id, Wakapolri
Komjen Pol Gatot Eddy Pramono mengungkapkan perhatiannya yang khusus terkait
cooling system tersebut. " Cooling System maksudnya adalah untuk menjaga dan
mencegah potensi gangguan kamtibmas dengan melibatkan seluruh komponen
bangsa sehingga kamtibmas terjaga dan terkendali," ujar Sandi kepada para wartawan
pada tanggal 14 Juni 2023. Mengingat dalam situasi ketegangan politik sangat
penting untuk menekankan pentingnya menjaga stabilitas politik. Dengan
menggunakan istilah yang menggambarkan "mendinginkan" situasi politik, pesan
tersebut bisa lebih menonjol. Praktik cooling system dalam pemilu dapat dilakukan
melalui serangkaian tindakan dan mekanisme yang disesuaikan dengan situasi yang
ada, seperti dialog, mediasi, sosialisasi kepada pemilih, dan lainnya.
Menurut Panuntun (2019), Polisi Masyarakat atau yang dikenal dengan singkatan
"Polmas," adalah konsep yang menginspirasi partisipasi aktif masyarakat dalam
menjaga keamanan dan ketertiban. Di tengah persaingan politik sengit selama pemilu,
peran Polmas menjadi lebih penting. Konsep Polmas sebagai Harmoni Keamanan
Melalui Kolaborasi Filosofis adalah manifestasi dari gagasan bahwa keamanan bukan
hanya tanggung jawab pihak berwenang, melainkan tanggung jawab bersama untuk
menjaga kedamaian di komunitas kita. Pendekatan ini memberdayakan Masyarakat
(dalam hal ini anak muda), bukan hanya menjadi objek, melainkan menjadi subjek
yang berperan aktif mengambil bagian dalam upaya meredam politisasi identitas dan
melakukan kontra narasi terhadap politisasi “isu-isu identitas” yang sering terjadi di
tengah-tengah masyarakat selama ini., dan melaporkannya kepada otoritas yang
berwenang (Syarwi, 2022).

Dalam pengertian ini, anak muda diberdayakan untuk mengidentifikasi, menganalisis,


dan mencari solusi terhadap masalah keamanan dan ketertiban, termasuk konflik
antar warga, masalah sosial, dan berperan sebagai agen cooling system yang
membantu mengurangi ketegangan politik dan menghindari potensi konflik. Mengapa
anak muda? Bagaimana mereka akan melakukannya?

Berikutnya, melibatkan peran anak muda sebagai agen pendinginan (cooling system)
memiliki peran etis dalam konteks pemilu mencerminkan pengakuan terhadap peran
vital mereka dalam dinamika politik dan demokrasi. Anak muda, yang sering
diidentifikasi dengan semangat revolusioner dan dorongan untuk perubahan positif,
dapat menjadi penyeimbang dalam mengurangi ketegangan politik yang berpotensi
mengancam integritas pemilu. Dengan pemahaman teknologi yang lebih baik, anak
muda memiliki kapasitas untuk mendeteksi dan menyebarluaskan informasi yang
akurat, menjauhkan proses pemilu dari gangguan berita palsu yang seringkali
melumpuhkan masyarakat (Saputra, dkk, 2021). Toleransi dan pemahaman mereka
terhadap keragaman pandangan politik berpotensi menciptakan dialog yang lebih
inklusif dan saling pengertian, yang merupakan inti dari demokrasi yang sehat.
Partisipasi mereka juga menghadirkan aspek penting dalam representasi demokratis,
menjaga agar pemilih muda memiliki suara yang kuat dalam proses politik. Selain itu,
melibatkan anak muda dalam peran ini menciptakan peluang edukasi politik yang
berkelanjutan, memastikan bahwa generasi mendatang teredukasi dan memahami
nilai-nilai demokrasi serta kewajiban kewarganegaraan mereka. Dalam paradigma
politik dan filsafat, peran anak muda dalam menjaga integritas pemilu
menggambarkan semacam pencerahan demokratis, di mana semangat dan visi mereka
membantu menjaga ketenangan dan keberhasilan proses demokrasi, yang pada
akhirnya adalah cerminan dari aspirasi masyarakat secara keseluruhan.

Ada beberapa cara khusus di mana anak muda dapat melibatkan diri adalah dengan
aktif berperan sebagai pemantau pemilu independen. Polri dapat memberikan akses
kepada kelompok pemantau pemilu independen yang terdiri dari anak muda, yang
bertugas mengawasi pemungutan suara dan proses pemilu secara keseluruhan.
Dengan mengikuti pelatihan pemantauan pemilu yang diselenggarakan oleh
organisasi sipil atau lembaga pemilu, mereka dapat memastikan bahwa pemilu
berlangsung secara jujur dan adil, serta memberikan laporan jika ada ketidaksesuaian
yang terjadi. Polri juga dapat mengadakan dialog dan diskusi terbuka dengan anak
muda tentang isu-isu pemilu dan keamanan. Ini menciptakan kesempatan untuk
berbagi informasi dan perspektif, serta mempromosikan pemahaman bersama tentang
pentingnya menjaga ketertiban selama pemilu. Kemudian anak muda dapat mengatur
forum diskusi atau debat publik tentang isu-isu penting yang berkaitan dengan
pemilu. Ini memberikan platform bagi pemilih muda untuk berbicara dan
mendengarkan berbagai pandangan politik.

Anak muda, generasi milenial, mereka dibesarkan dengan teknologi, sehingga


terbiasa menggunakan perangkat elektronik, akses internet, dan aplikasi berbasis
teknologi (Apryanto, 2022). Mereka terbiasa berinteraksi dengan berbagai jenis
media sosial dan dapat dengan mudah menyebarkan informasi, pesan, dan kampanye
secara online. Mereka dapat menciptakan konten yang menarik, menggunakan desain
grafis, video, dan alat-alat kreatif lainnya untuk memengaruhi dan memotivasi
audiens mereka. Anak muda bisa saja mengembangkan aplikasi mobile yang
memberikan informasi lengkap tentang kandidat, platform partai, dan panduan
langkah demi langkah tentang bagaimana memilih, mereka juga dapat membuat
aplikasi pemantauan pemilu yang dibuat dengan fitur pengaduan pelanggaran pemilu
yang langsung terhubung ke lembaga pemilu yang memungkinkan penggunanya
mengirim laporan foto atau video tentang pelanggaran hukum selama pemilu, seperti
kampanye di zona terlarang atau intimidasi pemilih. Polri memiliki peran khusus
dalam mendukung anak muda sebagai Cooling System Agent dalam pemilu melalui
sejumlah upaya konkret. Pertama-tama, Polri dapat memberikan akses kepada anak
muda untuk berpartisipasi dalam pemantauan pemilu independen. Ini dapat dilakukan
dengan memberikan pelatihan khusus kepada anak muda yang berminat untuk
menjadi pengamat pemilu. Dengan pelatihan ini, mereka akan memahami prosedur
pemilu, protokol keamanan, dan cara mengidentifikasi potensi pelanggaran hukum.
Polri dapat bekerja sama dengan lembaga pemantau pemilu independen yang ada atau
membentuk kelompok khusus yang terdiri dari anak muda untuk mengawasi proses
pemungutan suara secara langsung. Polri memiliki pengetahuan dan sumber daya
yang diperlukan untuk membantu anak muda mengembangkan solusi teknologi yang
dapat digunakan untuk memantau pemilu dan melaporkan pelanggaran hukum secara
efektif. Dengan dukungan ini, anak muda dapat menciptakan alat-alat yang inovatif
untuk menjalankan peran mereka sebagai Cooling System Agent. Selain itu, Polri
dapat mengadakan dialog terbuka dengan anak muda tentang isu-isu pemilu dan
keamanan. Ini menciptakan kesempatan bagi anak muda untuk berbagi pandangan
mereka, mengajukan pertanyaan, dan memahami lebih dalam tentang tugas dan
tanggung jawab Polri dalam pemilu. Dialog semacam ini membangun hubungan yang
kuat antara Polri dan anak muda, yang sangat penting untuk menciptakan kolaborasi
yang efektif.

Pada akhirnya, mari kita lihat masa depan pemilu dengan mata penuh gairah dan
optimisme. Anak muda bukan hanya pemirsa dalam drama politik ini, mereka adalah
penulis dan pemeran utama. Bersama Polri, anak muda membentuk plot yang akan
membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Anak muda adalah pemikir inovatif yang
siap melawan badai disinformasi dengan panah kebenaran. Mereka adalah generasi
teknologi yang akan menjalankan cooling system dengan aplikasi dan platform yang
menghubungkan rakyat dengan pemilu. Tidak ada lagi cara klise atau biasa, anak
muda adalah pionir dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Bersama Polri, mereka
adalah kekuatan baru dalam menjaga kedamaian pemilu, dan dengan semangat ini,
kita akan menciptakan sejarah yang tak terlupakan. Indonesia, kita bersama-sama
akan menjaga nyala demokrasi agar selalu bersinar terang.

DAFTAR PUSTAKA

Afrimadona. (2021). Revisiting Political Polarisation in Indonesia: A Case Study of


Jakarta’s Electorate. Journal of Current Asian Affairs, 40(2), 1–25.

Apryanto, F. (2022, November). Peran Generasi Muda Terhadap Perkembangan


Teknologi Digital di Era Society 5.0. Media Husada Journal Of Community
Service, 2(2), 130-134. doi:10.33475/mhjcs.v2i2.35

HUMAS POLRI. (2023, 14 Juni). Polri: Pentingnya Cooling System untuk


Keamanan Pemilu 2024. [Tautan URL:
https://humas.polri.go.id/2023/06/14/polri-pentingnya-cooling-system-untuk-
keamanan-pemilu-2024/](https://humas.polri.go.id/2023/06/14/polri-
pentingnya-cooling-system-untuk-keamanan-pemilu-2024/)

Jati, W. R. (2022). Polarization of Indonesian Society during 2014-2020: Causes and


Its Impacts toward Democracy. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 26(2).
Karim, A. G. (2019). Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di
Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(2), 215.
doi:10.14710/politika.10.2.2019.200-210.

Mansyur, I. C. (2023). Polarisasi Politik di Indonesia 2014-2019: Sebuah Kajian


Pustaka. Jurnal Politik Profetik, 11(1), 1-22.
https://doi.org/10.24252/profetik.v11i1a1

Muhamad, N. (2023, 18 Juli). Sikap Intoleransi Jadi Penyebab Utama Polarisasi


Politik Menurut Litbang Kompas. Tautan URL:
[https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/18/sikap-intoleransi-jadi-
penyebab-utama-polarisasi-politik-menurut-litbang-kompas](https://
databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/18/sikap-intoleransi-jadi-
penyebab-utama-polarisasi-politik-menurut-litbang-kompas)

Nikbakhti, R., Wang, X., Hussein, A. K., & Iranmanesh, A. (2020). Absorption
cooling systems – Review of various techniques for energy performance
enhancement. Alexandria Engineering Journal, 59(2), 707-738.

Panuntun, R. E. B. (2019). Kemitraan Polisi dengan Masyarakat dalam Mewujudkan


Kamtibmas: Studi Kasus di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen (Skripsi
Sarjana tidak diterbitkan). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Prasetyo, T. P., Muhammad, M. S.I., Budhiati, I. SH., MH. (2021). Filsafat Pemilu
Berbasis Teori Keadilan Bermartabat. Jakarta: K-Media.

Purnawan, H. (2023, Maret 1). Upaya Bawaslu dan Polri Cegah Polarisasi dalam
Pemilu Serentak 2024. Bawaslu - Badan Pengawas Pemilihan Umum. Tautan
URL: [https://www.bawaslu.go.id/id/berita/upaya-bawaslu-dan-polri-cegah-
polarisasi-dalam-pemilu-serentak-2024](https://www.bawaslu.go.id/id/berita/
upaya-bawaslu-dan-polri-cegah-polarisasi-dalam-pemilu-serentak-2024)

Saputra, N. A., & Erowati, D. (2021, April). Pengaruh Peran Kampanye Media Sosial
terhadap Perilaku Pemilih Muda di Kota Semarang [Influence Role of Social
Media Campaigns on Behavior Young Voters In Semarang City]. Journal of
Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 3(3), 845-852.
doi:10.34007/jehss.v3i3.413

Syarwi, P. (2022). Polarisasi Isu, Politik Identitas, dan Keterbelahan Publik pada
Pemilu Presiden Tahun 2019. Jurnal Communitarian, 4(1), 591.

Warburton, E. (2020). How Polarised Is Indonesia and Why Does It Matter? In


Democracy in Indonesia From Stagnation to Regression?. Singapore: ISEAS
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai