Anda di halaman 1dari 9

Nama: Maria Agustin Ranggafu

Nim: 2071502211

KOMUNIKASI POLITIK DI DALAM MEDIA SOSIAL PADA PILPRES 2024


UNTUK GENERASI MILENIAL

Komunikasi dan politik memiliki kaitan yang erat. Hubungan ini bisa jadi terwujud
dalam pernyataan, misalnya “Salah satu kegiatan politik adalah melakukan komunikasi” atau
“Komunikasi dapat digunakan untuk mencapai satu tujuan politik tertentu”. Dalam kehidupan
sehari-hari, orang dengan mudah menemukan sejumlah aktivitas komunikasi yang terjadi
dengan latar belakang kepentingan atau tujuan politik. Sebagai contoh, seorang walikota yang
memberi sambutan pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan menegaskan
pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Contoh yang lain, upaya pengenalan visi
dan misi calon presiden yang salah satunya dilakukan melalui debat politik atau perbincangan
di masyarakat tentang kontroversi kebijakan baru yang diberlakukan suatu pemerintah daerah.

Seluruh aspek kehidupan modern saat ini telah melibatkan proses komunikasi. Salah
satunya adalah politik yang menitikberatkan pada strategi dalam proses pengelolaan kekuasaan
yang melibatkan pemimpin, rakyat, media, dan komponen Sistem sosial, ekonomi, budaya,
bahkan agama. Seluruh sistem yang digunakan mempunyai kontribusi pada pengembangan
hidup manusia dan lingkungannya serta diikat oleh nilai etika dan norma masing-masing.

Sesuai dengan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilu tahun 2024
akan dilaksanakan secaraserentak. Pesta demokrasi ini tentunya menyimpan banyak peristiwa
dan fakta menarik. Salah satu topik yang cukup ramai diperbincangkan adalah tingginya jumlah
pemilih generasi Y (Milenial) sebagai calon pemilih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Bencsik, Csikos dan Juhez, generasi Y adalah kelompok yang lahir pada rentang waktu
tahun 1980-1995 (Putra, 2019).

Jumlah pemilih generasi Y yang signifikan pada Pemilu 2024 nanti sejalan dengan hasil
survey penduduk yang dikeluarkan oleh BPS dalam Statistik Indonesia 2022. Berdasarkan
publikasi tersebut jumlah penduduk pada kelompok umur 25-44 tahun hingga tahun 2021
adalah sebesar 85.520 jiwa, atau sekitar 31% dari total jumlah penduduk Indonesia (85.520
jiwa).

Kecepatan arus informasi melalui media dapat merubah opini masyarakat dalam satu
detik , berita yang berkembang luas kemudian menjadi isuisu tertentu sehingga isu yang ada
tersebut kemudian mempengaruhi perilaku pemilih dengan menjadikannya pertimbangan
pemilih untuk menentukan pilihannya. Berdasarkan penelitian ( Biswas, Ingle & Roy dalam Yusran
& Sapar 2022) dari analisis dan interpretasi terlihat jelas bahwa media sosial berperan dan
berdampak signifikan terhadap perilaku memilih pemilih. Orang-orang menggunakan platform
media sosial untuk melacak perkembangan politik, teknologi memainkan peran penting dalam
memberikan informasi dalam waktu yang lebih singkat.

Tingginya jumlah pemilih dari generasi Y adalah fakta yang patut menjadi perhatian
penting bagi pemerintah dan juga partai politik, sebagai salah satu pihak yang paling memiliki
hubungan erat dengan persoalan pemilih. Pemerintah memiliki peran yang erat dalam
memberikan pengetahuan tentang pemilu sehingga pemilu dapat berjalan dengan lancar dan
dapat menyalurkan suara sebagaimana yang seharusnya. Permasalahan komunikasi juga tidak
terhindar, seperti berita yang tidak benar dan lainnya maka pemerintah perlu menjadi filter
pada media sosial.

TEORI DAN KONSEP

Komunikasi Politik

Komunikasi politik memiliki posisi strategis dalam suatu sistem politik termasuk
seperti sistem politik Indonesia. Sistem Politik Indonesia sendiri terbedakan menurut periode
masa keberlakuannya (Kantaprawira dalam Syarifudin, 2018). Perbedaan-perbedaan esensial
Sistem Politik di Indonesia dari periode yang satu ke periode lainnya, secara historis tercatat
bahwa itu ditandai dengan munculnya sistem politik Demokrasi Liberal, Sistem Politik
Demokrasi Terpimpin, dan Sistem Politik Demokrasi Pancasila. Terakhir yaitu Sistem Politik
Demokrasi Reformasi, muncul sejak tahun 1998 setelah rejim Orde Baru tumbang.

Meskipun sistem politik di Indonesia itu memperlihatkan suatu keanekaragaman,


namun dalam keberagamannya tampak tetap dipersatukan oleh falsafah yang sama yaitu
Pancasila. Hal ini terjadi karena falsafah tidak banyak berpengaruh terhadap sistem politik dan
termasuk tentunya terhadap aktor (pelaku) politik itu sendiri (Syarifudin, 2018).
Secara terminologis, pada semua sistem politik termasuk dalam Sistem Politik
Demokrasi Reformasi itu sendiri, posisi komunikasi politik itu menjadi salah satu fungsi dari
tujuh fungsi yang terdapat dalam sistem politik. Fungsi komunikasi politik dan termasuk fungsi
lainnya seperti fungsi pendidikan politik/political education, mempertemukan
kepentingan/interest articulation, interest aggregation, dan seleksi kepemimpinan/political
selection, ini lazim disebut dengan fungsi input. Oleh Almond dan Coleman pada Syarifudin
2018, itu disederhanakan menjadi : 1) Political socialization and recruitment; 2) Interest
articulation; 3) Interest aggregation dan Political communication.

Fungsi politik sendiri berarti suatu fungsi pemenuhan tugas dan tujuan struktur politik.
Jadi suatu struktur politik dapat dinyatakan berfungsi apabila sebagian atau seluruh tugasnya
terlaksana dan tujuannya tercapai. Dalam suatu sistem politik yang nota bene terdiri dari
sejumlah struktur itu, struktur politik itu jadi terbedakan menurut sifatnya, yaitu struktur politik
yang berkategorikan infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Infrastruktur politik yaitu
struktur politik masyarakat/rakyat, suasana kehidupan politik masyarakat/rakyat, sektor politik
masyarakat/rakyat (political infrastructures). (Gabriel A. Almond & James S. Coleman).
Fungsi yang hendak ditunaikan oleh sejumlah struktur dalam tatanan infrastruktur politik itu
meliputi sejumlah peran seperti peran pendidikan politik, mempertemukan kepentingan,
agregasi kepentingan, seleksi kepentingan dan komunikasi politik. Sebagaimana sudah
disebutkan sebelumnya, semua pemeranan ini berfungsi sebagai fungsi input bagi sistem
politik.

Bagi suatu struktur politik dalam tatanan infrastruktur politik seperti media massa
(cetak-eletronik) atau organisasi politik (non legislatif) misalnya, maka fungsinya dalam sistem
politik yaitu berguna untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik
pikiran intra-golongan, institut, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan
sektor pemerintahan. Dengan begitu, maka melalui komunikasilah pikiran politik dapat
dipertemukan. Karena pada hakikatnya segala pikiran itu harus ada yang menyampaikannya
(comunicator) melalui pesan (messages) dan akhirnya ada yang menerima atau menanggapinya
(communicant). Berdasarkan argumentasi dimaksud, maka menurut Kantaprawira, komunikasi
politik itu berarti sebagai suatu proses interaksi, stimuli- kontra-stimuli, penyampaian fakta,
kepercayaan, kelakuan, reaksi emosional dalam bidang atau tentang obyek politik.

Terkait dengan obyek politik tadi, maka dalam hubungan sistem politik di Indonesia
dalam era millenium, yaitu Sistem Politik Demokrasi Reformasi, maka salah satu obyek politik
yang sangat penting dalam tahun 2014 itu adalah menyangkut agenda Kampanye
Capres/Cawapres dalam Pemilu Langsung Pilpres 2014.

Dalam pelaksanaannya, maka komunikator dalam proses komunikasi politik terkait


obyek politik mengenai Kampanye Capres/Cawapres itu, pada intinya adalah Capres/Cawapres
nomor 1 dan nomor 2. Sementara menyangkut pesan-pesannya, yaitu terkait dengan materi-
materi kampanye dari kedua komunikator. Sedang komunikannya yaitu anggota masyarakat
dan terutama dari kalangan calon konstituen bagi kedua komunikator/Capres/Cawapres nomor
1 dan nomor 2. Sementara terkait dengan saluran-saluran sebagai sarana untuk menyampaikan
pesan–pesan politik tadi, berdasarkan pengamatan diantaranya teridentifikasi berupa meda
sosial.

Media Sosial

Media sosial merupakan media di jagat maya yang membolehkan pengguna


mengidentifikasikan dirinya ataupun berinteraksi, berbagi informasi, berkomunikasi secara
interaktif dengan pengguna lain serta menjalin hubungan sosial secara virtual. Pada media
sosial, terdapat tiga tatanan yang menyatakan makna bersosial yaitu pengenalan (cognition),
komunikasi (communicate) dan kerjasama (cooperation). (Yusran & Sapar, 2022)

Penilaian tentang khalayak media itu aktif, kemudian dikenal dengan pendekatan uses
and gratification dalam studi media massa. Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu
Katz sebagai bentuk reaksi terhadap pernyataan Bernard Berelson sebelumnya. Publikasinya
pertama kali muncul pada tahun 1974 lewat tulisan Elihu Katz dan Jay Blumler. Pendekatan
ini sendiri, sebagaimana dikatakan Littlejohn, lebih difokuskan pada audien ketimbang pesan
karena the person as an active selector of media communications.Dan karenanya disimpulkan,
effects occur are by products of people using media communications (Syarifudin, 2018).

Penggunaan media (media using) yang nota bene menjadi salah satu konsep penting
dalam model teori uses and gratification, didefinisikan Katz, Gurevitch dan Hass sebagai suatu
aktifitas yang berkaitan dengan media yang mencakup: (1) isi media : berita, opera sabun,
drama tv, dll. (2) jenis media : misalnya cetak atau elektronik (3) terpaan media dan situasinya
: seperti di rumah atau di luar rumah, sendiri atau dengan orang lain (Tan pada Syarifudn,
2018). Masih menurut teori yang sama, oleh individu sendiri, tindakan “penggunaan” itu
sendiri dilandasi oleh kebutuhan perorangan yang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.
Istilah “kebutuhan” yang merupakan padanan kata “need” itu sendiri, dalam psikologi
digunakan juga sebagai padanan dari kata–kata: “motivies”, “wants”, “desires”, dan lain – lain.

Dalam kaitan dengan studi ini, maka dengan mengacu pada pengertian Katz, Gurevitch
dan Hass menyangkut konsep uses sebelumnya, maka berarti riset ini akan difokuskan pada
fenomena isi media, jenis media dan terpaan media.

KETERKAITAN TEORI DAN KONSEP DENGAN KASUS AKTUAL PILPRES 2024

Komunikasi politik merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidu pan manusia
dan negara karena manusia harus mengatur diri, kelompok, masyarakat, dan lingkungannya
agar dinamis serta terukur. Dalam proses komunikasi politik berlangsung perdebatan untuk
memperebutkan kekuasaan, kepentingan, dan tujuan tiap-tiap pihak yang secara esensi untuk
mengelola sumber daya manusia serta lingkungan mereka. Tujuan dicapai acap kali
memunculkan konflik diantara para pihak karena kepentingan dan pemahaman yang
berbeda. Upaya untuk menciptakan kejujuran dan keadilan dalam proses politik didasarkan
undang-undang yang berlaku dan pertimbangan etis. Oleh karenanya, dapat dinyatakan bahwa
komunikasi politik (political communication) adalah suatu proses dan aktivitas-aktivitas yang
terencana membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi ke dalam suatu sistem
politik dengan menggunakan seperangkat simbol-simbol yang berarti yang melibatkan pesan-
pesan politik serta aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan
kebijakan pemerintah.
Peristiwa politik menjadi perhatian, semakin menarik dan gegap gempita seiring
dengan dukungan perkembangan teknologi komunikasi, terutama media massa. Media massa
merupakan instrumen sekaligus media komunikasi yang menyebabkan aktivitas politik
semakin menarik. Politikus dapat memanfaatkan beragam bentuk media massa, baik cetak,
elektronik, maupun media sosial berbasis internet (new media). Dalam proses dan aktivitas
politik dibutuhkan peran serta fungsi komunikasi. Komunikasi politik telah menjadi kajian
yang menarik bagi banyak kalangan, baik mahasiswa, dosen, aktivis, politiskus, dan
masyarakat. Ketertarikan banyak pihak pada kajian komunikasi politik, salah satunya
disebabkan aktivitas dan peristiwa politik yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat.
Politik telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat di level mana pun.
Keberadaan media massa dengan media baru (new media) saat ini semakin mendekatkan
proses dan aktivitas politik, baik tingkat internasional, nasional, maupun lokal, dengan
masyarakat atau khalayak.
Beragam peristiwa politik dapat diakses oleh khalayak atau publik dengan cepat karena
akses terhadap informasi semakin mudah dan murah. Dalam konteks Indonesia saat ini,
momen-momen politik yang terjadi melibatkan masyarakat secara luas. Di antaranya pemilihan
umum (pemilu), pemilihan langsung presiden (pilpres), pemilihan langsung kepala daerah
(pilkada), dan aktivitas politik sehari-hari lainnya yang melibatkan politikus sebagai
komunikator politik. Media menjadi bagian dari proses politik dan membuat aktivitas politik
sebagai konsumsi khalayak. Peristiwa politik menjadi semakin dekat dengan realitas
masyarakat karena diantarkan oleh media massa. Momen-momen politik tersebut menjadi
konsumsi publik secara terbuka karena dihidangkan oleh berbagai bentuk media massa.
Keadaan ini berimplikasi pada semakin dinamisnya peristiwa politik dibandingkan
sebelumnya. Momen-momen politik akhirnya melahirkan berbagai bentuk komunikasi politik
yang pada ujungnya dinikmati secara bersama-sama oleh khalayak.
Media memiliki peran yang sangat penting dalam aktivitas politik. Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi telah menempatkan media massa sebagai bagian dari s-
stem politk yang harus terus dipertimbangkan kekuatannya. Kemampuannya untuk
menjangkau khalayak secara luas dapat memberikan manfaat bagi komunikator politik untuk
membentuk opini publik sesuai dengan keinginannya. Namun, pada sisi lain, perkembangan
teori tentang komunikasi media massa telah menempatkan media tidak hanya sekedar sebagai
saluran komunikasi. Pengemasan pesan dan citra aktor politik lewat pembingkaian yang
dilakukan media mampu memberikan efek yang mungkin berbeda denga apa yang diinginkan
oleh komunikator politik utama, pada titik inilah media massa sekaligus menjadi kelompok
penekan bagi kepentingan politik pemerintah dan parlemen (Wahid, 2016).
Media sosial memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap dunia politik,
khususnya pada logika dan pola komunikasi politik. Perubahan ini paling terlihat pada masa
kampanye politik. Media konvensional saat ini masih digunakan dalam berkampanye tetapi
pada saat yang sama media sosial juga dianggap memiliki peran penting dalam mempengaruhi
perilaku memilih masyarakat. Meskipun efektifitas kampanye politik melalui media sosial
untuk meraih suara pemilih hingga saat ini masih belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Namun, penetrasi yang tinggi terhadap masyarakat dari media sosial sedikit banyak
memberikan harapan bagi media komunikasi baru ini untuk mewarnai pola komunikasi politik
konvensional yang ada selama ini. Harapan ini setidaknya mampu mendorong sosial politik
berbondong-bondong untuk memiliki akun di media sosial, di samping faktor bahwa media
sosial adalah media komunikasi baru yang mudah dan murah.
Sifat dan keunggulan media sosial yang efektif, efisien, dan memiliki daya jangkau luas
memberikan peluang yang menjanjikan untuk difungsikan sebagai media iklan politik. Jika
bertumpu pada media massa sebagai saluran iklan politik, meskipun memiliki daya jangkau
yang cukup luas, tetapi tingginya biaya yang dikeluarkan membuat partai politk atau kandidat
peserta pemilihan mulai untuk menggunakan media sosial sebagai media untuk beriklan. Salah
satu fungsi dari iklan politik adalah untuk membentuk image partai atau kandidat. Iklan sebagai
bagian dari pemasaran politik adalah serangkaian aktivitas untuk menanamkan citra politik di
benak masyarakat dan meyakinkan public. Menurut Peteraf dan Shanley, sebagaimana dikutip
oleh, image bukan hanya sekadar masalah persepsi atau identifikasi, melainkan juga
memerlukan pelekatan suatu individu terhadap kelompok atau grup. Image politik dapat
mencerminkan tingkat kepercayaan dan kompetensi tertentu yang dimiliki partai politik
(Wahid, 2016).
Berbagai langkah untuk beradaptasi dengan perkembangan tersebut terus diupayakan.
Di mulai dari membuat website partai, lalu seiring dengan semakin tingginya jumlah pengguna
media sosial, mereka pun ikut membuat akun pada beberapa media sosial yang memiliki
pengguna cukup banyak di Indonesia, di antaranya Twitter, Instagram dan Facebook.
Pemahaman tersebut sebenarnya lebih cenderung dipengaruhi oleh pola komunikasi
politik partai politik yang hanya muncul di tengah-tangah masyarakat pada saat kampanye
politik menjelang pemilihan umum. Tampak bahwa paradigma untuk menyapa masyarakat
oleh partai ini hanya pada saat mereka membutuhkan suara dari calon pemilihnya. Setelah
mereka memenangkan pemilu dan para wakilnya berhasil duduk di parlemen, komunikasi
dengan konstituen tidak terlalu intens seperti pada masa kampanye pemilihan. Jika paradigma
ini terus dipelihara, maka budaya politik yang tidak sehat akan terus berlangsung. Masyarakat
tidak pernah mendapatkan edukasi politik yang menjelaskan bagaimana mereka dapat
memainkan perannya sebagai kontrol terhadap wakil rakyat yang telah mereka pilih. Hal ini
bukan tidak mungkin menjadi latar belakang munculnya sikap apatis dari generasi milenial
terhadap politik, terutamanya pada partai politik, karena mereka menganggap partai politik
hanya membutuhkan mereka ketika mendekati pemilihan saja. Tindak lanjut atas suara yang
telah mereka berikan tidak terlihat.
Namun, saat ini muncul fenomena meningkatnya intensitas penyebaran iklan politik di
media sosial yang dilakukan oleh partai politik dan juga para kandidat atau bakal calon
legislatif yang ingin bertarung di Pemilu 2024. Sayangnya, hal ini lebih dilatarbelakangi oleh
faktor pertimbangan pendeknya waktu kampanye politik secara resmi yang nantinya ditetapkan
oleh KPU RI. Berdasarkan keterangan dari salah satu narasumber SAS, waktu kampanye
pemilu secara resmi hanya akan berlangsung selama 75 hari. Sehingga, memulai untuk
memperkenalkan diri kepada khalayak melalui media sosial mulai hari ini adalah strategi yang
cukup banyak dipilih oleh calon parpol dan bakal calon legislatif.
Dalam definisi komunikasi politik yang disampaikan oleh Cangara Dan Nimmo (2013),
komunikator politik memiliki peran penting untuk terciptanya sebuah aktivitas politik.
Bagaimana seseorang atau sebuah kelompok yang menjadi komunikator politik memandang
posisi sebuah media atau saluran komunikasi dalam mencapai tujuan pesan politik yang ingin
dicapainya, akan sangat mempengaruhi bentuk dan kemasan pesan politik yang akan ia
sampaikan melalui media tersebut. Seperti partai politik PDI-P dan PSI sebagai komunikator
politik dalam kajian ini telah memperlihatkan bahwa perbedaaan perspektif yang mereka miliki
dalam mempertimbangkan peran media sosial dalam aktivitas komunikasi politiknya dengan
kelompok pemilih muda, pada akhirnya akan mempengaruhi bentuk pesan politik apa yang
hendak mereka letakkan pada media sosial tersebut.
PDI-P berada pada posisi meletakkan media sosial sebatas media iklan politik seperti
halnya pada media lama (media massa) dan seperti halnya sifat iklan adalah bentuk komunikasi
persuasif yang tidak memiliki ruang dialog di dalamnya. Model komunikasi politik satu arah
inilah yang masih diterapkan oleh PDI-P melalui media sosial. Hingga saat ini mereka masih
meyakini bahwa komunikasi politik yang dilakukan secara interpersonal dan interaksi secara
langsung masih lebih efektif untuk menjalin komunikasi dengan konstituennya. Hal ini pun
berlaku pada konstituen generasi milenial. PDI-P membangun strategi komunikasi politik
kepada kelompok muda dengan jalan mendirikan organisasi sayap partai yang menjadi wadah
bagi para pemuda untuk bisa berinteraksi langsung dengan dunia politik.
Hal ini sedikit berbeda dalam pandangan PSI. Meskipun pemahaman mereka bahwa
media sosial adalah saluran komunikasi yang mampu memberikan ruang kemudahan dalam
membangun image positif terhadap partai melalui iklan politik, tetapi mereka melihat dan
menjalankan prinsip komunikasi dua arah antara partainya dengan masyarakat di dunia maya.
Bagi PSI, dialog adalah bagian dari edukasi politik bagi masyarakat, khususnya kelompok
muda, agar mereka mampu memahami dengan baik arti penting keberadaan mereka dalam
dunia politik. Selain itu, PSI juga berkeinginan untuk memperlihatkan bahwa politik bukanlah
sebuah proses yang asing dan harus dijauhi dari keseharian para kelompok muda. Melalui
dialog yang intensif dengan kelompok muda lewat akun media sosial yang mereka miliki, PSI
percaya bahwa membangun citra yang positif bagi partai politik akan dapat diupayakan dan
diwujudkan.
Media sosial tentunya mempunyai peluang sebagai arena pertukaran ide, gagasan,
pilihan dan dukungan secara demokratis menggantikan era retorika, era media konvensional,
yang selama ini menguasai alur informasi yang diterima oleh masyarakat (Heryanto, 2019).
Dalam kaitannya dengan generasi Y, kedekatan mereka dengan internet telah menjadi kekuatan
tersendiri bagi kelompok usia ini untuk membangun ruang virtual yang lebih demokratis dan
patut diperhitungkan dalam peta perpolitikan Indonesia. Keunggulan media sosial sebagai
salah satu bentuk aplikasi komunikasi berbasiskan internet menawarkan kemudahan dialog
tanpa batas yang dapat dimaksimalkan fungsinya oleh komunikator politik. Sudah saatnya,
komunikasi politik lebih mengarah kepada dialog, bukan lagi sebatas retorika dan janji-janji
dari elit.

DAFTAR PUSTAKA

Putra, Y. S. (2019). Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi. Among Makarti, 9(2).

Yusran, I. I., & Sapar, S. (2022). Pengaruh Media Sosial Dan Perilaku Pemilih Dalam
Memprediksi Partisipasi Pemilih Pada Pemilu 2024 (Studi Di Kecamatan Mappedeceng
Kab. Luwu Utara). Jurnal Darma Agung, 30(2), 187-203.

Syarifudin, S. (2018). Komunikasi Politik Bermedia Dan Penggunaannya Oleh Masyarakat


(Survey Pada Masyarakat Palopo Sulawesi Selatan Tentang Kampanye Pilpres
2014). Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 19(1), 47-62.

Wahid, U. (2016). Komunikasi Politik: Teori, Konsep, Dan Aplikasi Pada Era Media
Baru. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Andriana, N. (2022). Pandangan Partai Politik Terhadap Media Sosial Sebagai Salah Satu Alat
Komunikasi Politik Untuk Mendekati Pemilih Muda (Gen Y Dan Z): Studi Kasus PDI-
P Dan PSI. Jurnal Penelitian Politik, 19(1), 51-66.

Nimmo, D. (2013). Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, Dan Media


(Terjemahan). Bandung, Pt. Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai