Anda di halaman 1dari 5

Memasuki 2019 ini, masyarakat banyak disuguhkan dengan berbagai momentum besar, salah satunya

adalah Pilkada serentak di 171 daerah, mencakup 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten seluruh
Indonesia serta prosesi persiapan menuju Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden yg akan
dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Mengingat pada tanggal tersebut akan dilaksanakan “Pesta
Demokrasi (PEMILU) Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg)” untuk memilih pemimpin
bangsa dan negara Indonesia lima tahun ke depan, secara langsung, umum, bebas dan rahasia (luber).
Pilpres 2019 tentunya membawa angin segar bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia, karena dalam
mensukseskan pesta demokrasi ini masyarakat mengharapkan agar pelaksanaannya dapat berjalan secara
bersih, damai dan berkualitas, serta mampu menghasilkan perubahan di berbagai segi kehidupan yang positif.
Riuh Pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai kota, kabupaten ataupun provinsi
yang menyelenggarakan perhelatan akbar demokrasi di tingkatan lokal. Dengan irisan kepentingan
menyongsong Pemilu 2019, tensi politik menjadi memanas, suhu politik mulai mendidih menyebabkan
pertarungan membangun citra kian ingar-bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media.
Partai politik, elit politik, simpatisan, dan calon kepala daerah tentu berlomba mati-matian untuk meraih
kemenangan dengan berbagai strategi dan manuver.
Berpredikat sebagai seorang akademisi (mahasiswa) sudah barang tentu seyogyanya
mengambil peran penting dalam berbagai aspek bi dang kehidupan termasuk dalam bidang politik.
Pesta demokrasi tahap pertama sudah di depan mata, peran mahasiswa sebagai agen perubahan,
kontrol moral, dan iron stock dituntut untuk memainkan peran tersebut sebagai bukti bahwa mahasiswa
masih mampu menunjukkan eksistensinya dengan aktif.
Sebagai agen perubahan dalam bidang politik, mahasiswa tidak harus terjun ke lapangan
bermain dengan para pemangku kepentingan elite politik. Sebab, sejatinya peran mahasiswa sebagai
agen perubahan dapat diartikan sebagai seorang yang membuat perubahan tanpa menimbulkan
dampak negatif pada masyarakat, mengingat bahwa jika seorang telah terjun di wilayah politik terlalu
berisiko mendapatkan konsekuensi. Konsekuensi seseorang jika bergelut di bidang politik adalah harus
mampu menanggung konsekuensi sosial seperti bullying, pengasingan diri, maupun tekanan mental.
Kontrol moral adalah salah satu peran penting yang harus dijaga oleh seorang mahasiswa
selama menjalankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat walaupun itu menjadi tugas semua
elemen sosial kemasyarakatan. Peran mahasiswa sebagai kontrol moral merupakan semangat bagi
kaum intelektual (mahasiswa) untuk mampu menganalisis kondisi sosial yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Analisis yang digunakan tidak serta-merta terjadi begitu saja tetapi tentunya melalui
beberapa mekanisme yang ditandai munculnya kesadaran pribadi, kesadaran etis, sehingga
menimbulkan kesadaran kolektif yang terjadi dalam sistem sosial secara keseluruhan.
Peran mahasiswa dalam kaitannya dengan iron stock adalah menanggung nilai etis sebagai
penyandang predikat ‘mahasiswa’ secara bahasa maha yang artinya tinggi dan siswa adalah terpelajar.
Sudah menjadi kebenaran absolut bagi yang menyandang predikat mahasiswa. Masyarakat menilai
mahasiswa adalah orang yang berpendidikan dan mempunyai kemampuan dalam keilmuan yang
dilatarbelakanginya. Kepercayaan dari masyarakat itu yang menjadikan mahasiswa poros penting
dalam berkehidupan termasuk persoalan sosial dan politik.
Oleh karena itu, di tahun politik dewasa ini, mahasiswa sebaiknya memilah terlebih dahulu
berbagai informasi yang ada. Termasuk informasi ya ng beredar di media sosial. Informasi yang
didapatkan setiap menit maupun detik sebaiknya terlebih dahulu melalui berbagai kajian yang
mendalam untuk menarik sebuah kesimpulan. Kontribusi mahasiswa di tahun politik saat ini hendaknya
mengambil tindakan yang betul-betul melalui pengkajian mendalam terlebih dahulu untuk menarik
suatu kesimpulan.
Sebagai seorang mahasiswa yang berlatar belakang ilmu sosial politik, misalnya, idealnya ikut
andil dalam ajang lima tahunan ini. Ada beberapa peran yang bisa dilakukan sebagai seorang
akademisi sejati. Pertama, semua sepakat bahwa Pemilu dan Pilkada telah menjadi wadah aspirasi
politik warga negara, khususnya mahasiswa. Namun pada praktoknya, ada banyak kecurangan-
kecurangan yang terjadi di tengah pesta demokrasi ini.
Maka, oleh karena itu, mahasiswa bisa mengambil peran dalam Pilkada untuk mensistemasi
dan mengorganisir para pemilih untuk menjadi cerdas, dan memberikan pengetahuan berupa
pemahaman melek politik agar memilih calon pemimpin berdasarkan kinerja dan kreadibilitasnya
selama ini.
Kedua, Kontribusi aktif dalam membentuk serta mempengaruhi pengambilan keputusan politik
atau kebijakan publik secara luas. Mahasiswa seharusnya mampu memberikan peran nyata dalam
setiap pengambilan kebijakan terkait pemilihan kepala daerah di daerahnya.
Idealnya partisipasi yang aktif ini harus tidak ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik.
Kontribusi ini adalah murni dari kepentingan masyarakat yang benar-benar harus disampaikan kepada
siapapun calon pemimpin daerah yang akan memenangi pilkada.
Dan ketiga, mahasiswa merupakan social and political controller, yang yakni bisa memberikan
peran sebagai watch dog (anjing penjaga) kegiatan demokrasi di tengah masyarakat. Mahasiswa yang
juga menjadi the guardian of value mendasai bekal bekal ilmu dan pengetahuan yang didapat dari
lembaga pendidikan, betugas mahasiswa menjaga dan menjunjung tinggi prinsip
Daya kekuatan dan ilmu pengetahuan yang menjiwai mahasiswa, setidaknya berpotensi
membawa pembaruan kehidupan sosial kearah yang lebih baik, yang akan diawali dari pemilihan
kepala daerah tahun ini dan kepala negara pada tahun depan. Dengan demikian, kaum intelektual
senantiasa dituntut untuk mampu tanggap dalam menyikapi situasi kebangsaan, terutama atas situasi
akhir-akhir ini yang rawan potensi konflik dan disintegrasi. Intelektual sejatinya senantiasa memiliki visi
untuk membawa bangsa ke arah yang lebih baik, dan mendahulukan kepentingan bersama daripada
kepentingan kelompoknya sendiri, apalagi sekadar material reward (keuntungan materi).
Karenanya, komitmen kebangsaan adalah sikap yang harus dipegang teguh secara konsisten
oleh para kaum intlektual saat ini. Sebagai kaum intelektual yang mampu membawa bangsa Indonesia
ke budaya politik beradab bukanlah sebuah hal yang utopis. Sejarah peradaban dunia ini telah
membuktikan bahwa, di tangan kaum intlektual lah perubahan-perubahan besar terjadi.
Dari zaman Nabi, zaman sahabat, zaman kerajaan, zaman kemerdekaan hingga reformasi,
pemudalah yang selalu menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan kondisi bangsa ini. Dan,
mahasiswa telah membuktikan itu ketika meruntuhkan rezim Orde Lama (1966) dan mengulingkan
hegemoni Orde Baru 1989). Mahasiswa mengembalikan demokrasi di negeri ini pada tempatnya yang
benar.

Sikap Milenial
Menurut saya, menjelang Pilpres 2019 nanti para milenial harus bersikap sebagaimana Avant-Garde.
Yang kritis pada pihak mana pun dan melihat melalui sudut pandang Helicopter View. Bukan berarti
saya tidak mendukung mereka yang beraspirasi melalui jalur partisan dan mendukung salah satu
kandidat. Tapi, menurut saya bersikap kritis sebagaimana Avant-Garde jauh bermanfaat.

Alasan pertama, pemilu ini merupakan pemilu dengan distorsi terbanyak. Banyak terjadi polarisasi
masyarakat dan fragmentasi politik. Meski begitu, gejolak yang ada dapat menjadi suatu ladang bagi
milenial untuk mempelajarinya, mengambil hikmahnya, secara komprehensif sehingga gejolak yang kini
ada dapat menjadi suatu pengetahuan baru yang nantinya akan sangat bermanfaat di era milenial
nanti.

Kedua, berpikir kritis bagi milenial harus tumbuh tak lain agar milenial dapat menciptakan diskursus
publik yang sehat, yang diisi oleh ide dan gagasan, yang minim akan sentimen. Mengapa milenial?
Data dari Badan Pusat Statistik, bahwa pendidikan Indonesia lebih baik dibanding 23 tahun yang lalu.
Tahun 1994, tamatan SM+/Sederajat berada pada 16,36. Sedangkan, di tahun 2017 meningkat
menjadi 36,00. Artinya, milenial kini memiliki intelegensia yang lebih baik, maka kemanfaatannya harus
dapat dirasakan pada ranah publik.

Ketiga, kita tidak dapat menggantungkan kepemimpinan hanya pada satu individu saja, seperti yang
terjadi sekarang. Figure-centered yang kini menjadi budaya politik kita suatu saat nanti akan berakhir.
Suka tidak suka harus ada regenerasi kepemimpinan. Milenial perlu bersikap kritis-komprehensif sejak
dini agar ketika estafet kepemimpinan sampai di tangan milenial, mereka sudah siap.

Charles Maurice de Talleyrand, diplomat asal Prancis, berkata, "Seratus kambing yang dipimpin oleh
seekor singa akan lebih berbahaya ketimbang seratus singa yang dipimpin oleh seekor kambing."
Seratus kambing yang dipimpin oleh singa, maka akan mengaum. Sedangkan, singa yang dipimpin
oleh kambing akan mengembik, berapapun jumlahnya.

Pertanyaan bagi kita, akan menjadi apa nantinya, yang memimpin atau yang dipimpin? Menjadi
kambing atau singakah nanti? Sudah pasti, nanti kita akan menjadi pemimpin, tapi pemimpin yang
manakah? Seekor singa yang akan membuat kawanan mengaum, atau kambing yang akan membuat
kawanan tersebut mengembik? Jawabannya ada pada langkah kita ke depannya. Dari pengetahuan
yang kita dapat kini.

Menjadi Avant-Garde artinya bersikap sebagaimana kepakaran yang independen. Kepakaran yang
tidak meletakkan dirinya pada posisi dukung-mendukung suatu kubu atau tolak-menolak kubu lainnya.
Kepakaran independen, menurut Garin Nugroho, yakni kepakaran yang berpihak pada kepentingan
masyarakat, bukan kepentingan kubu agar bermanfaat dalam membaca tantangan pertumbuhan
bangsa.

Potret milenial di masa depan tergambarkan dari perilakunya di masa sekarang. Menuju Indonesia
Emas. Kejayaan era tersebut dibangun bukan dari sikap nyinyir dan saling serang antarkubu.
Melainkan, dibangun dari sikap dan pengetahuan yang salah satunya didapat dari sikap kritis milenial
melihat berbagai persoalan hari ini.

Avant-Garde yang kritis menjadi kian jarang. Menjadi seorang kritis artinya siap diserang oleh kubu
yang dikritisi. Akhirnya, demokrasi kian lama kian dangkal, masyarakat kian lama kian mundur
kualitasnya akibat saling bully antarkubu. Akhirnya, Indonesia butuh dengan milenial yang hebat dalam
kualitasnya, dalam artian, ia punya kemampuan yang akan bermanfaat. Bukan milenial yang hanya
mengekor pada pilihan dan figur-figur tertentu. Inilah pendidikan politik yang diperlukan.

Akhir Kata

Fragmentasi politik dan polarisasi masyarakat membuat masyarakat harus bersikap kritis. Politik Hard-
Core yang kini mengotori ruang maya makin lama membuat kualitas masyarakat semakin tereduksi.
Maka, milenial kini harus memberikan solusi dengan bersikap layaknya Avant-Garde, yang kritis-
komprehensif sehingga persoalan dan gejolak kini dapat dihadapi bersama seiring dengan estafet
kepemimpinan yang nanti milenial raih. Melalui kapasitas yang milenial dapatkan dari bersikap kritis
sebelumnya, selayaknya kepakaran independen.

Maka bagi milenial, terjebak dalam pusaran perdebatan non-ilmiah pada pilpres ini sangat tidak
berguna, atau sampai-sampai bertindak layaknya Hard-Core yang merusak diskursus publik yang
rasional. Maka berlaku bijaklah sebagaimana Avant-Garde, yang tepat dalam mengambil pijakan,
sehingga dapat bersikap layaknya cahaya. "Persoalan perubahan yang dihadapi manusia bukanlah
mengadopsi hal-hal baru, melainkan sulitnya membuang kebiasaan-kebiasaan lama," kata Albert
Einstein.

Anda mungkin juga menyukai