Anda di halaman 1dari 11

Anak muda sudah diajarkan sejak kecil tentang bagaimana politik menggerakkan negara.

Ma’mud Ibnu Ridwan, mengatakan pengenalan terhadap politik sebenarnya dikenalkan


sesuai usia, dimana anak-anak sudah dikenalkan tentang politik melalui pelajaran di sekolah,
dimana anak-anak diajarkan tentang identitas-identitas negara[1].

Fenomena sekarang pun, banyak anak kecil dibawa orang tua mengikuti kampanye padahal
dilarang. Bahkan kita tak dapat sangkal bahwa ada anak-anak kecil yang bercita-cita menjadi
seorang Presiden, yang notabene memiliki peran politik yang sangat signifikan.

Anak-anak itu sudah menerima modal yang tepat untuk melek politik. Mereka hanya butuh
contoh yang benar bagaimana pelaku politik menjalankan politik untuk membangun negeri.
Mereka pasti terpapar dengan politik secara tidak langsung dan membangun persepsi dari diri
sendiri terhadap politik.

Saat di sekolah, mereka melakukan hal-hal poltik, misalnya melakukan pemilihan ketua
kelas, lalu menyampaikan aspirasi untuk komunitas kelasnya atau mengikuti forum diskusi di
sekolah. Di pendidikan tinggi pun, bahasan tentang perpolitikan nasional banyak terjadi, lebih
khusus mereka yang adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik.

Selain di dunia persekolahan, anak muda pun banyak berekspresi tentang politik nasional di
dunia maya. Kiriman-kiriman di media sosial maupun gambar-gambar di internet tentang
perpolitikan nasional dibuat anak muda sebagai bentuk aspirasi mereka terhadap politik
negara ini. Namun, masih ada beberapa orang yang beranggapan anak muda apatis terhadap
politik.

Seorang elit politik dan eksekutif, Bima Arya, mengatakan bahwa anak muda apatis terhadap
politik[2]. Pernyataan itu sangatlah tidak tepat. Sebenarnya anak muda peduli politik.
Beberapa pimpinan daerah, seperti Bima Arya pun, adalah anak muda yang usianya rentang
kurang lebih 25 tahun, misalnya Muhammad Syahrial[3] dan Muhammad Nur Aifin[4].
Bahkan, kehadiran gerakan Teman Ahok dimulai oleh kalangan muda-mudi yang umurnya
dalam rentang 25 tahun[5].

Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesalahpahaman para elit politik terhadap kesadaran
politik dari kaum muda. Totok Daryanto menyadari keadaan tersebut dan merespon bahwa
pencerahan politik kepada kaum muda tidak dilakukan para elit politik itu sendiri[6].

Padahal setiap partai politik memiliki organisasi sayap pemuda sendiri, misalnya Angkatan
Muda Partai Golkar[7]. Bahkan, sebelum Bima Arya berpendapat seperti yang tertulis di atas,
ia didaulat menjadi ketua Matahari Nusantara, salah satu organisasi sayap kepemudaan
PAN[8].

Sejarah pun mencatat bahwa partai politik pertama Indonesia, National Indische Partij,
didirikan oleh tiga serangkai Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar
Dewantara, yang usia mereka di rentang kurang lebih 29 tahun[9].

Anak muda sebenarnya sudah melek politik. Tanpa digerakkan partai politik, sejak
perjuangan Sumpah Pemuda saat masa sebelum Kemerdekaan hingga Gerakan Teman Ahok,
partisipasi pemuda dalam kancah politik nasional sebenarnya sangat terwujud nyata.
Namun sebagian elit partai atau pakar perpolitikan salah menangkap hal tersebut. Semua
pemilih pemula yang tidak memilih pada pemilu dianggap apatis terhadap politik[10].
Sehingga muncul kampanye yang mengajak anak muda untuk tidak apatis dan melek politik
dengan gombalan bahwa anak muda memiliki peranan penting bagi bangsa.

Ajakan tersebut tidak akan ada gunanya, karena anak-anak sudah melek politik sejak
bersekolah. Yang diperlukan anak muda adalah mereka dapat melek bahwa politik adalah alat
untuk menjalankan negara untuk menyejahterahkan bangsa. Yang mempengaruhi pemuda
dapat melek akan hal itu adalah pendidikan politik dari pelaku politik itu sendiri.

Sayangnya, Zulkifli Taufik, birokrat dari Sumatera Utara, berpendapat bahwa beberapa elit
politik tidak memberikan contoh yang baik terhadap masyarakat[11]. Selain itu, kita dapat
mengetahui berita-berita nasional sebagian pelaku politik terjerat kasus korupsi atau kasus
imoralitas yang notabene contoh buruk oknum-oknum dalam menjalankan politik di negara
kita.

Jangan salahkan pemuda dengan mengatakan mereka apatis dan tidak peduli. Mereka
sebenarnya sadar akan keadaan dan kondisi dari politik nasional mereka, namun respon dari
kesadaran sebagian pemuda itulah yang perlu diarahkan.

Respon positiflah yang diperlukan oleh generasi muda agar dapat melek politik dengan benar.
Sebagai contoh selain Teman Ahok, Komunitas Banteng Muda adalah salah satu bagaimana
pemuda memiki pandangan terhadap politik yang tepat sehingga menghasilkan partisipasi
politik yang positif, yaitu menjadi wadah bagi para pendukung salah satu calon presiden pada
Pilpres 2014 lalu[12].

Sehingga ada dua hal yang dapat membuat kemelekan anak muda terhadap politik menuju
arah yang benar dan dapat membangun negeri, yaitu yang pertama contoh dari sosok-sosok
yang dapat menjadi teladan dalam berpolitik yang benar. Sedangkan yang kedua adalah
respon positif dari anak muda itu sendiri.

Pendidikan politik tidak perlu muluk-muluk. Berita-berita positif dari elit-elit politik dapat
membangun kesadaran anak muda terhadap politik. Bangsa kita sepatutnya bersyukur jika
Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kita dengan banyak tokoh-tokoh politik yang
menjalankan pemerintahan di eksekutif, ataupun menjalankan tugas legislatif dan yudikatif
dengan bertanggungjawab.

Sosok-sosok seperti inilah yang mampu membangkitkan kesadaran anak muda untuk melek
politik sebagai alat pemersatu bangsa membangun negeri, bukan sebagai wadah konspirasi
oknum-oknum tertentu.

Tanpa dihimbau, anak-anak muda akan sadar bahwa keberadaan mereka menentukan
kemajuan bangsa dan mereka dapat melihat politik sangat diperlukan dalam keberlangsungan
suatu negara. Bahkan anak-anak muda akan secara langsung melek dan berinisatif untuk
berpartisipasi politik, tanpa paksaan. Inilah tanda anak muda Indonesia tidak tidur dalam
mencintai negaranya sendiri

Dengan tidak tidurnya generasi muda terhadap politik, anak muda pun dapat berpartisipasi
politik. Partisipasi politik yang saya maksud tidak hanya dengan berbicara politik dalam
cengkrama biasa antar teman atau menggunakan hak suara mereka. Anak-anak muda yang
terpanggil untuk membangun bangsa melalui jalur politik dengan sendirinya akan mencari
bagaimana ia bisa mewujudkan panggilannya.

Setelah lulus, mereka dapat belajar tentang Ilmu Politik dengan memilih masuk Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Atau jika ia mau langsung terjun ke dunia politik, partai pun sudah
memiliki modal yaitu organisasi sayap kepemudaan itu sendiri, sebagai wadah bagi pemuda
untuk berpartisipasi politik lebih nyata lagi.

Alur itulah yang diharapkan terjadi dalam kehidupan generasi muda sekarang. Generasi muda
yang melihat bagaimana politik dapat menggerakan bangsa untuk mewujudkan tujuan
nasional, yaitu alinea terakhir Pembukaan UUD 1945: memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Anak muda pun akhirnya dapat melihat politik bukanlah suatu yang kotor, jahat ataupun hina.
Namun, semua generasi muda akan melek bahwa suatu negara tidak mungkin dapat berjalan
maju dan mewujudkan tujuan bangsanya bila tidak ada politik yang benar di dalamnya.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah pelaku politik saat ini siap menjadi
contoh yang baik untuk generasi muda sekarang? Dan siapa di antara generasi muda yang
mau menjadi pelaku politik yang memberi contoh baik untuk generasi muda mendatang?

Hai anak muda! Yang sudah melek jangan biarkan engkau dianggap apatis. Jangan hanya
demonstrasi tanpa perwujudan nyata, namun gunakanlah hakmu dalam berpartisipasi politik
untuk membangun negara. Bagi mereka yang terpanggil untuk masuk dunia politik, jadilah
contoh yang benar bagi generasi muda Indonesia masa depan.

Milenial punya tantangan tersendiri dalam mengenal dunia politik di tengah perkembagan
teknologi yang kian masif. Sebuah acara seminar bertajuk Seminar Milenial Melek Politik
diselenggarakan oleh Asisten Deputi Kemitraan dan Penghargaan Pemuda, Deputi Bidang
Pengembangan Pemuda, Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI dihadirkan untuk menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi milienial kaitannya dengan peta politik masa depan.

Seminar Milenial Melek Politik berlangsung pada tanggal 4 Desember 2018 di Gedung


Teater Wisma Kemenpora RI Jl. Gerbang Pemuda Jakarta Pusat.

Kegiatan Seminar ini dibuka oleh Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora RI Asrorun
Ni’am Sholeh. Dalam kesempatan tersebut, Deputi menyampaikan bahwa pemuda dalam hal
ini generasi milineal harus menegaskan komitmen kebangsaan karena arah peta politik
dimasa yang akan datang ditentukan oleh generasi muda hari ini.

“Partisipasi politik generasi milineal dihantui oleh fenomena hoax yang membanjiri media
sosial dimana generasi milineal ini sebagai konsumen utamanya,” tegas mantan ketua KPAI
ini.

“Tanggung jawab politik integrasi bangsa sekarang ada di pundak generasi milineal ini,”
tutup Niam dalam sambutannya.

Dalam laporannya Asisten Deputi Bidang Kemitraan dan Penghargaan Pemuda Drs. Wisler
Manalu, MM menyampaikan bahwa animo generasi milineal untuk mengikuti kegiatan yang
positif seperti hari ini sangat tinggi, hal ini ditunjukkan batas jumlah pendaftar melebihi
target yang ditentukan panitia.

Peserta yang hadir dalam seminar ini berjumlah 200 orang yang terdiri dari pemilih yang
berusia 16-30 tahun yang tersebar dari berbagai organisasi, perguruan tinggi dan Sekolah
Menengah Atas yang tersebar di Jakarta.

Seminar Milenial Melek Politik menghadirkan pembicara Adi Prayitno, M.Si (Pengamat
Politik yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Juri Ardiantoro, M.Si., Ph.D
(Tenaga Ahli Utama Kedeputian V (bidang politik dan pengelolaan isu Polhukam, Kantor
Staf Presiden) yang menyampaikan gagasan menangkal hoax dan menjadi pemilih cerdas.

Juga pembicara Hasanuddin Ali (peneliti partisipasi politik Alvara Institute) yang


menyampaikan peran pemuda dalam membangun suasana kondusif pemilu 2019.

Inilah beberapa gagasan penting dalam Seminar Milenial Melek Politik :

1. Jumlah Calon Pemilih Muda Lebih Besar Dibanding Pemilu Sebelumnya

Partisipasi calon pemilih dan kualitas proses Pemilu adalah indikator utama suksesnya
pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Pada kontestasi politik 2019 ada perubahan
signifikan persentase calon pemilih, di mana jumlah calon pemilih muda cukup besar
dibandingkan pemilu sebelumnya.

2. Jumlah Pemilih Pemula

Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019.
Data ini masuk dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Jumlah ini diperoleh
dari hasil pengurangan total Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dan data
penduduk wajib KTP elektronik.

Dalam laporan terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sekitar 55% pemilih
milenial/pemilih pemula (17-38 tahun) yang ikut dalam Pemilu 2019.

3. Pemilu Berkualitas Dengan Pelibatan Pemilih Muda

Pelibatan calon pemilih muda untuk mewujudkan Pemilu berkualitas dilakukan melalui
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif yakni suatu proses mendorong lebih
banyak calon pemilih muda berpartisipasi dalam pemungutan suara. Kini partai-partai politik
berupaya keras berebut simpati dan mempengaruhi preferensi politik mereka dengan berbagai
cara. Tak dipungkiri, pandangan umum bahwa dunia “politik itu kotor” memengaruhi
preferensi politik mereka sehingga muncul sikap apatis terhadap Pemilu.

Pada sisi lain, calon pemilih muda ini bisa dikategorikan massa mengambang (floating mass),
di mana mereka tidak memiliki keterikatan atau berorientasi pada ideologi atau platform
partai tertentu. Pemilu akan tercederai bila jumlah “golongan putih” dari calon pemilih muda
tinggi, meski hasil pemilu sah namun akan menurunkan indeks demokrasi. Bagaimanapun
Pemilu harus didukung oleh partisipasi tinggi calon pemilih.
Secara Kualitatif. Keterlibatan kaum muda dalam proses pemilu adalah sebuah pembelajaran
demokrasi, di mana kaum muda nantinya adalah calon-calon pemimpin dan pemegang
tampuk kepemimpinan nasional. Mentalitas mengedepankan kejujuran dan keadilan
seyogianya menjadi kredo dalam berpolitik.

Menekankan proses menjadi pijakan penting untuk pemilih pemula, membentuk karakter
mental dan moralitas mereka untuk menjunjung proses kontestasi politik jujur, bersih,
transparan dan adil menjadi modalitas mereka nanti. Dengan pendekatan ini setidaknya calon
pemilih pemula memiliki gambaran apa maksud dan tujuan Pemilu, mengapa harus
berpartisipasi dan dampak pemilu itu sendiri bagi masa depan bangsa dan negara.

4. Pendidikan Politik Untuk Partisipasi Politik Bertanggung Jawab

Sosialiasi pemilu bagi pemilih pemula juga bentuk pendidikan kebangsaan dan menanamkan
tanggung jawab di kalangan generasi muda. Mau tidak mau, mereka adalah penerima estafet
kepemimpinan negara di masa depan.

Pendidikan politik adalah suatu upaya sadar yang dilakukan secara terencana, sistematis, dan
dialogis dalam rangka mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, hal -hal dan
norma-norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Pendidikan politik
mempunyai tujuan untuk mengubah dan membentuk tata perilaku seseorang agar sesuai
dengan tujuan politik yang dapat menjadikan setiap individu sebagai partisipan politik yang
bertanggung jawab.

Pendidikan politik berperan penting sebagai media penyampaian konsep politik yang
memiliki tujuan akhir untuk membuat pemilih pemula menjadi lebih melek politik, pemuda
yang sadarakan hak dan kewajiban sehingga dapat ikut serta dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Pendidikan politik sangat berperan penting untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis.
Kehidupan yang demokratis tidak hanya memerlukan peraturan perundang-undangan yang
rigid, melainkan memerlukan sikap yang demokratis.

Siapa yang tidak tahu bahwa indonesia adalah negara yang menerapkan sistem politik
demokrasi. Dalam sistem ini setiap individu memiliki hak untuk menentukkan pemimpin
yang akan mengatur masa depan negaranya dan setiap individu juga memiliki hak untuk
memberikan aspirasinya ke pemerintah yang berkuasa. Oleh karena itu, demokrasi adalah
sistem politik kerakyatan dan tanpa adanya patisipasi rakyat, demokrasi tidak akan berjalan
dengan baik.

Generasi muda merupakan partisipan penggerak awal demokrasi. Sikap pasif kaum muda
akan menjadi suatu proses pelemahan demokrasi, karena kaum muda merupakan individu
yang sangat kritis dalam menganalisis regulasi dan peka akan pemimpin yang tepat untuk
kemajuan negaranya.

Namun sangat disayangkan , fenomena yang muncul pada saat ini adalah minat akan tema
politik di antara anak-anak muda tampak tidak terlalu disukai. Dalam sebuah survei yang
dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2012, didapati bahwa 79% anak
muda di Indonesia tidak tertarik berpolitik.
Generasi melek politik menjadi sebutan tersendiri bagi anak muda. Hal ini dikarenakan,
politik yang masih dianggap tabu oleh anak muda. Hanya segelintir anak muda yang mau ikut
memahami tentang politik Indonesia yang unik.

Masyarakat pada umumnya dikenal sebagai kelompok hidup yang saling membutuhkan satu
sama lain (simbiosis Mutualisme) kehidupan masyarakat sangat tergantung pada sekitarnya
maka dari itu istilah Gotong Royong menjadi sangat Populer saat masyarakat memahami
aspek kebutuhan hidup tiap individu lainnya dan adapun diantara problematika masyarakat
kita mengenal kehidupan pada sisi pola kebiasaan , beberapa diantaranya masih berfikir
tradisional, semi Modern dan Modern. Perbedaan dari pola kebiasaan ini berdampak pada
pola tingkah laku realitas sosial atau bahkan dapat menimbulkan strata sosial yang biasa
disebut Class Social hal ini biasanya berujung pada kasus gejala penyakit masyarakat yaitu
Kesenjangan Sosial. 

Perbedaan tinggah laku sering dikaitkan dengan adanya tingkat kecenderungan ideologis atau
sudut Pandang yang menjadikan arah kehidupan bermasyarakat tidak semua sama, begitu
pula dalam melihat fenomena kebangsaan, politik, ekonomi, sosial terlebih budaya dan tradisi
tiap individu memiliki arah pandang pada setiap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Seperti
itulah realitas sosial masyarakat Indonesia yang benar-benar tercerminkan secara realistis di
seluruh kota maupun pelosok Nusantara.

Dalam menanggapi persoalan-persoalan tersebut sangat dibutuhkan peranan sekelompok atau


sebahagian dari masyarakat itu sendiri ialah Kaum Muda,  pada sisi lain kehidupan
bermasyarakat kita mengenal Istilah Pemuda yaitu individu yang bila diamati secara biologis
sedang mengalami pertumbuhan dan secara psikologis sedang mengalami perkembangan
Emosional, atas dasar itu Pemuda menjadi sumber daya pembangunan masyarakat ataupun
bangsa baik saat ini maupun masa depan. 

Keikut andilan  Pemuda sangat diharapkan dalam menjawab berbagai tantangan kondisi
masyarakat maupun kondisi kebangsaan di negara ini, pemuda menjadi sangat penting
sebagai kelompok Pembaharu, pelopor dan sebagai kelompok cendekia bijaksana untuk
membendung besarnya problematika yang terjadi, dari hal ini dapat kita meneropong lebih
jauh mengenai Eksistensi pemuda masa kini seperti 2 Contoh konteks kehidupan Pemuda
berikut :

* Pemuda Aktif 

Pemuda aktif dikategorikan sebagai pemuda ideal yang mengikuti perkembangan  aspek
kehidupan sosial sebab mereka lebih condong berfikir kedepan bukan hanya berfikir untuk
hari ini, mereka cendrung Kritis pada setiap Aspirasi yang dikemukakan baik lewat Aksi
maupun Literasi, perihal untuk memelihara karakteristik semangat membangun banyak
diantara pemuda ikut berpartisipasi aktif mengawal proses Perpolitikan, ikut andil
memecahkan problematika bangsa, merumuskan masa depan bangsa dan lain-lain. Pemuda
aktif kerap kali melibatkan diri dalam berbagai Organisasi Kepemudaan, ormas ataupun
LSM mereka berperan sesuai dengan bidang-bidang yang digeluti.

Pada sisi lain sebahagian tubuh kepemudaan kita mendapati  Mahasiswa sebagai kaum
akademisi di perguruan tinggi, mereka aktif merumuskan program Kerja yang bertolak ukur
kepada pengembangan SDM bangsa ini, setiap tahunnya dari semua perguruan tinggi
mengalumnikan jutaan Mahasiswa dan berharap mampu menjadi Potensi baru dalam
memajukan perkembangan Ekonomi, Pendidikan, dan kemajuan kebudayaan nusantara. Dari
hal itulah Pemuda dan Mahasiswa aktif  seyognyanya mampu menjadi Ujung Tombak
kelangsungan Cita-cita Bangsa.

* Pemuda Apatis

Apatis ialah karakter yang sering kali menjadi ruang lingkup pembahasan gejala Pemuda dan
Mahasiswa, istilah ini biasa disebut Apatisme paham acuh, bermasa bodoh terhadap berbagai
hal yang terjadi, ketika kita mengamati perkembangan Publik sangat banyak ruang fasilitas
menggantikan ruang-ruang sebelumnya, pemuda yang dulunya menjadikan Buku sebagai
Pustaka Pengalaman, menjadikan diskusi kajian sebagai ruang aktualisasi Retorika dan
wawasan kini semua hal itu telah terganti dengan kecendrungan baru yaitu menghabiskan
waktu pada tempat-tempat berbuansa Non-Edukasi. 

Apatisme mengakibatkan kurangnya kepekaan terhadap gejala Masyarakat dan bisa jadi
menciptakan paham baru yaitu ego Individualisme. Ketika sikap apatisme dibiarkan begitu
saja dan tidak ada perhatian khusus hal ini dapat berdampak pada merosotnya nilai atau
bergesernya nilai Kebudayaan masyarakat nantinya. Re-edukasi terhadap pemuda sangat
dibutuhkan hari ini dan kedepannya sebab masing-masing masa menginginkan berjalannya
bangsa ini sebagaimana mestinya.

Bangsa ini sedang mengalami kemerosotan Karakter dalam Konteks Kepemudaan. Maka dari
hal tersebut perlu kiranya ada pengenalan kembali atau semisal Sosialisasi Kepemudaan, agar
kedepannya Pemuda lebih memiliki Integritas dan Kredibilitas yang dapat melampaui
Kualitas Pemuda masa Kini.

"Ingat peran pemuda sangatlah penting dan menjadi lokomotif utama hal-hal yang besar
seperti penyebaran Islam dan tegaknya negara. Mengapa pemuda menjadi lokomotif utama
sebab pemuda secara fisik sangat kuat, idealisme sangat kuat, motivasinya pun juga sangat
kuat. Karena peran pentingnya tersebut, selayaknyalah kegiatan pemuda yang positif
dilindungi dan didukung bahkan secara politik," ujar HNW dalam keterangan tertulis, Senin
(22/10/2018).

Hal tersebut diungkapkannya saat berbincang dengan delegasi gerakan Indonesia


Muroja'ah (IM), di Ruang Kerjanya, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung
MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta.

Dalam konteks kekinian, HNW menjelaskan pemuda juga mesti berperan dalam
perubahan masyarakat juga negara. Pemuda harus peduli pada setiap situasi yang
berpotensi negatif dan membahayakan negara serta menyebabkan perpecahan bangsa,
seperti aksi diskriminasi, aksi persekusi, kembalinya komunisme, Islamophobia,
Indonesia phobia, dan apapun itu harus dilawan dan dikoreksi.
"Tapi, cara mengkoreksi dan melawannya harus mengikuti alur demokrasi kita sesuai
konstitusi, yakni melalui partai di jalur legislasi atau berperan aktif melalui pemilu
dengan memilih partai politik yang sesuai. Jadi ini penting buat pemuda agar melek
politik untuk menjaga bangsa dan negara ini dari hal-hal yang menghancurkan,"
tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Indonesia Muroja'ah M. Fijar Ishlahul Ummah
juga menyampaikan secara langsung undangan resmi gelar acara Milad ke-2 Indonesia
Murojaah yang akan digelar di Masjid Istiqlal Jakarta pada 18 November 2018
mendatang. Kegiatan yang akan digelar dalam acara tersebut antara lain murojaah
hafalan Alquran serentak.

Untuk diketahui, Gerakan Indonesia Muroja'ah adalah sebuah gerakan yang mengajak
masyarakat untuk membudayakan menghafal Quran dan menjaga hafalan tersebut agar
tidak mudah hilang. Banyaknya penghafal Quran dan mampu menjaga hafalannya
diyakini akan membawa keberkahan bagi negeri ini terutama dalam mencapai
kemakmuran. Sejak awal digulirkan pada Agustus 2016, sudah ratusan orang yang
mendaftar dalam gerakan ini.
(mul/mul)

Dunia perpolitikan di Indonesia baru-baru ini digemparkan oleh aksi Tsamara Amany,
mahasiswi Universitas Paramadina, yang mengkritik Fakhri Hamzah, wakil ketua DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat). Aksi Tsamara Amany menjadi viral di media sosial, menjadi
perbincangan sehari-hari karena dianggap baru dan berani dengan kenyataan bahwa usianya
masih sangat muda yakni 21 tahun.

Dengan diawali aksi Tsamara Amany, maka membuka pertanyaan, bagaimana sih sebenarnya
pandangan anak muda di Indonesia mengenai perpolitikan di Indonesia? Apakah anak muda
di Indonesia secara keseluruhan diwakili oleh sosok Tsamara yang antusias mengikuti bahkan
terjun ke politik? Ataukah kenyataannya justru sebaliknya yaitu sebagian besar dari mereka
masih apatis terhadap politik.

Brilio.net menemui beberapa anak muda untuk bertanya pendapat mereka tentang politik.
Apakah mereka apatis atau antusias. Tentu ini bukan survei dan belum bisa menjadi
gambaran sesungguhnya apa sebenarnya yang ada dalam benak anak muda di Indonesia.
Tetapi setidaknya sedikit menjadi gambaran bagaimana mereka memandang politik.

"Politisi kita saat ini cenderung memikirkan kepentingan pribadi, kurang


merepresentasikan kepentingan masyarakat. Kita sebagai anak muda jika ingin langsung
mengubah hal yang makro (besar) mungkin agak susah dan dampaknya tidak terlalu
signifikan. Maka mulai saja dari hal kecil seperti diskusi dan bergerak di komunitas kita
masing-masing.”

"Awalnya saya memandang beberapa politisi kita bersih dan pro-rakyat, namun lama-
kelamaan sepak terjangnya mengecewakan. Di media sosial beberapa pemerhati isu
terbagi kelompok pro atau kontra pada isu tersebut. Maka kita sebagai anak muda
sebaiknya tidak menjadi kompor seperti melontarkan komentar pedas pada sikap pro atau
kontra itu tanpa riset mendalam.”

"Politisi kita memperumit pemerintahan. Banyak juga yang tidak menepati janjinya.
Sebagai anak muda, yang bisa saya sumbangkan untuk dunia politik sebagai contoh,
memberikan kritikan dan masukan kepada akun media sosial pemerintah. Yah, media
sosial kan memang sedang gencar-gencarnya.”

"Di pemerintahan mungkin banyak politisi-politisi yang baik, namun banyak juga yang
buruk dengan tidak menggunakan wewenangnya secara tepat. Saya sebagai anak yang
mendalami bidang teknologi cukup sedih karena beberapa karya teman-teman di bidang
teknologi kurang mendapat apresiasi dari politisi kita. Sebagai contoh mobil listrik karya
Ricky Elson yang tidak ditindaklanjuti pemerintah. Saya memang tidak aktif ikut demo,
tapi saya bergerak di bidang pemberdayaan sehingga ketika pemerintah melihat hasil
pemberdayaan saya, maka saat itu suara saya akan di dengar.”

"Politisi kita banyak yang baik dan mungkin banyak yang buruk. Apabila politisi yang
buruk sering vokal di media, maka hal ini kurang baik karena anak muda akan
beranggapan bahwa politisi selalu buruk. Anggapan itu tentu tidak menguntungkan untuk
politisi yang ternyata baik sehingga ia ikut terlabeli buruk. Mengenai kinerja politisi saya
pribadi jujur cukup kecewa, karena menurut Jurnal Akademik yang saya baca kini DPR
kurang memenuhi target dalam membahas undang-undang. Nah kita sebagai anak muda
baiknya ikut bereaksi terhadap isu politik baik melalui kehadirian fisik atau melalui
tulisan dan opini. Lalu setidaknya kita, khususnya apalagi mahasiswa, secara mandiri
memberikan pendidikan politik kepada orang sekitar atau keluarga.”

Brilio.net menemui Joko Susilo (24), mewakili YouSure UGM (Youth Study Centre
Universitas Gadjah Mada) tentang pendapat anak muda yang beragam tentang situasi politik
di Indonesia. Dia menyatakan bahwa anak muda sekarang terbagi dalam dua golongan dalam
memandang politik. Golongan pertama yakni golongan yang antusias dengan perpolitikan.
Golongan ini tercermin dari anak muda yang aktif dalam partai politik atau gerakan
mahasiswa, aktif melakukan aksi, atau aktif menyuarakan opininya. Golongan yang kedua
yakni mereka yang memilih apolitis.

"Mereka yang menjadi apolitis ini dikarenakan dua faktor, pertama karena benar-benar tidak
peduli dan kedua justru karena terlalu tahu banyak mengenai seluk beluk perpolitikan," jelas
Joko.

Ketidakpedulian anak muda tentang politik dapat dipahami dari tren yang terjadi saat ini.
Tren anak muda saat ini adalah pada aktualisasi diri mengenai bakat dan minat. “Lebih ke
self interest daripada public interest," jelas Joko. Terjadinya tren tersebut dapat dipahami
karena sistem yang ada di lingkungan anak muda.

Yani (23), Project Officer YouSure, menambahkan bahwa jam kerja, target uang, dan gaya
hidup membuat anak muda lebih mementingkan urusan pribadi daripada memilih peduli
dengan politik.

Apakah semua anak muda selalu begitu? Ternyata berbeda generasi beda pula jenis anak
mudanya.

Apa yang terjadi saat ini sungguh berbeda dibandingkan masa sebelum reformasi. Dari segi
kehadiran, anak muda sebelum reformasi lebih aktif melakukan aksi demonstrasi dan hadir
dalam diskusi publik menanggapi kebijakan. Sedangkan setelah reformasi, kehadiran anak
muda cenderung semu. Hal ini dipengaruhi dengan perkembangan media sosial yang
memfasilitasi anak muda untuk melontarkan komentar kebijakan di dunia maya, tidak hadir
secara tatap muka dalam diskusi kebijakan.

"Kini anak muda dapat berteriak revolusi sambil tiduran membawa gawainya masing-
masing,” jelas Joko.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial berperan penting dalam sarana berpolitik.
Jurnal terbitan Yousure dengan judul Youth and Digital Activism in Urbanized Yogyakarta,
Indonesia, menjelaskan bahwa penggunaan media sosial dalam partisipasi politik anak muda
dikarenakan ketidakpercayaan terhadap partai politik yang seharusnya menjadi konektor
aspirasi rakyat dan pemerintah. Selain itu, media sosial semakin digandrungi karena anak
muda era sekarang cenderung kurang tertarik bergabung dalam struktur hierarki
pemerintahan. Anak muda lebih suka aktif dalam struktur horizontal seperti aktif di dunia
maya dan media sosial.

Keaktifan anak muda di dunia maya dan kepedulian mereka terhadap isu politik memiliki
segi positif dan negatif. Segi positifnya ialah anak muda lebih terbuka pemikirannya. Selain
itu beberapa aksi melalui dunia maya menuai keberhasilan seperti suksesnya petisi online
dalam menggalang suara atau kepedulian pada beberapa isu.

Segi negatif partisipasi politik anak muda melalui dunia maya yakni kecenderungan sikap
reaksioner. Ketika muncul sebuah isu politik di media, anak muda sekarang cenderung
melontarkan berbagai komentar di Twitter, Line dan media sosial lainnya dengan sesuka hati
tanpa melakukan riset atau kajian dulu. Selain itu komentar anak muda pun kurang detail
dengan fakta dibatasi oleh jumlah karakter kata di media sosial. Sikap reaksioner tidak hanya
terwujud pada dalam dunia maya. Pada dunia nyata beberapa anak muda secara reaksioner
melakukan aksi dan meneriakkan opini terhadap isu publik.
"Reaksi anak muda dengan berteriak di aksi demo sebenarnya baik karena sudah peduli,
namun sayangnya aksi tersebut kadang tidak ada keberlanjutannya. Reaksioner yang seperti
ini cukup disayangkan," tambah Joko.

Namun demikian, ada pandangan bahwa walau berbeda, sebaiknya anak muda punya satu
suara optimisme untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Hal ini penting karena anak muda
era sekarang ialah potensi sumber daya manusia yang akan berlaga di kursi panas politik ke
depannya. Hal ini dapat dipahami melalui fenomena bonus demografi.

"Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi di tahun 2020-2035 dimana saat itu
kursi penting di perpolitikan atau bidang lainnya akan dipegang oleh mayoritas anak muda"
jelas Yani.

Jumlah penduduk usia muda menurut data BPS tahun 2014 yakni sebanyak 61,8 juta, yakni
sekitar 24,5 persen dari total penduduk di Indonesia. Bonus demografi ini bisa menjadi modal
menguatkan optimisme anak muda untuk dapat berlaga di kontes politik dengan performa
yang lebih baik dari generasi sebelumnya.

Yani menyatakan untuk menyambut bonus demografi ini maka perlu mempersiapkan anak
muda yang berkualitas sehingga siap memegang tempat-tempat penting. Beberapa cara untuk
meningkatkan kualitas anak muda antara lain harus banyak baca sehingga terbekali dengan
materi atau paham politik yang tepat dan berdasar. Anak muda jaman sekarang harus lebih
cerdas dalam mengolah isu, baiknya sebuah isu dipahami melalui riset dan kajian yang
berdasar.

Anda mungkin juga menyukai