Anda di halaman 1dari 8

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam suatu negara demokrasi, partisipasi politik merupakan salah satu
bentuk untuk membangun kegiatan politik di suatu negara. Ironisnya, angka
partisipasi politik di Indonesia tidak memenuhi target dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU), yakni sebesar 75 persen. Pada pemilihan legislatif tahun 2014 di
Indonesia, angka partisipasi politik berada pada nilai 72 persen. Angka tersebut
menurun pada saat pemilihan Presiden 2014 yang berada pada 69,58 persen.
Berbagai upaya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) guna
meningkatkan angka partisipasi politik masyarakat di atas angka target dari KPU.
Dalam rangka pemilihan umum serentak tahun 2019 di Indonesia, Arief
Budiman, selaku ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), mengatakan bahwa
KPU memiliki target untuk memenuhi partisipasi politik sebesar 77,5 persen
(Jurnaliston, 2018). Target ini naik dari target partisipasi politik pada tahun 2014,
yakni senilai 2,5 persen. Untuk memenuhi target tersebut, KPU membuat
pedoman pendidikan pemilih yang memiliki tujuan untuk peningkatan partisipasi
politik, peningkatan literasi politik, dan juga peningkatan kerelawanan (volunteer)
(Joyowardono & Wahyuningsih, 2015).
Upaya-upaya terus dilakukan oleh KPU untuk terus meningkatkan
partisipasi politik, baik secara offline maupun online. Pada dasarnya, berbagai
bentuk partisipasi politik penting untuk dilakukan namun perlu digarisbawahi
bahwa partisipasi politik online dapat memunculkan slacktivism. Dengan adanya
slacktivism, masyarakat melakukan partisipasi politik dengan waktu yang sedikit
dan keterlibatan masyarakat yang minim (Jones, 2017). Slacktivism yang sering
dilakukan oleh masyarakat secara umum adalah dengan membagikan konten di
media sosial sesuai dengan aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar
atau kegiatan yang sedang menjadi trending di media sosial.

1
2

Di sisi lain, sebenarnya media sosial dapat memberikan nilai positif,


bukan hanya untuk partisipasi online namun juga partisipasi secara offline. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh de Zuniga, Jung, dan Valenzuela (2120)
menemukan bahwa jaringan sosial dapat meningkatkan modal sosial, partisipasi
masyarakat, dan juga partisipasi politik. Konsep jaringan sosial yang digunakan
oleh de Zuniga dan kolega sebenarnya memiliki makna yang sama dengan media
sosial. Jaringan sosial pada dasarnya digunakan untuk pertukaran informasi secara
besar yang digunakan untuk konstruksi identitas pribadi, hubungan sosial, atau
hiburan (Stoycheff, Liu, Wibowo, & Nanni, 2017).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Perangin-angin dan Zainal di
Bandung, Jakarta, dan Surabaya menujukkan bahwa media sosial telah digunakan
secara massif oleh para pemilih pemula karena melalui media sosial mereka dapat
berinteraksi dan berkomunikasi tanpa memerlukan persiapan fisik. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Ike Ratnamulyani dan Maksudi (2018) menunjukkan
bahwa pemilih pemula menggunakan media sosial untuk mengakses informasi
tentang pemilu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media sosial
membantu para pemilih mendapatkan berbagai informasi untuk membantu
kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan offline.
Indonesia saat ini tengah dihadapkan dengan kontestasi politik, yakni
pemilihan umum serentak pada tahun 2019. Di tengah kontestasi politik ini, ada
hal yang menarik yakni adanya budaya dalam politik Indonesia, yakni populisme.
Populisme adalah cara hidup demokratis yang dibangun melalui keterlibatan
masayarakat dalam politik (Mudde & Kaltwasser, 2017). Populisme tidak serta
merta muncul menjelang kontestasi politik tahun 2019 namun budaya ini sudah
muncul sejak komtestasi politik tahun 2014. Populisme menjadi semakin kuat
pada kontestasi politik 2019 karena pada dasarnya kontestan dalam pemilihan
Presiden memiliki calon yang sama dengan kontestasi politik 2014. Joko Widodo
dan Prabowo Subianto kembali bertarung dalam pemilihan Presiden 2019.
3

Pada masa kontestasi 2014, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, masing-
masing memiliki gaya populis yang berbeda satu dengan yang lainnya. Joko
Widodo memiliki gaya populis yang bersifat sosialis. Sementara di sisi lain,
Prabowo Subianto menonjolkan gaya populis yang bersifat nasionalis. Yang perlu
ditekankan, kedua calon Presiden ini pada masa kontestasi 2014 sama-sama
menekankan sifat “anti-asing” (Hadiz & Robison, 2017).
Populisme pada akhirnya memobilisasi masyarakat secara keseluruhan.
Dengan munculnya populisme, muncul pula gerakan populis yang dimobilisasi
oleh kelompok-kelompok sosial. Suatu gerakan sosial dapat dikatakan gerakan
populis jika memenuhi beberapa poin yang berisikan tuntutan pada pemerintah,
yakni bantuan pemerintah untuk pendidikan, asuransi perawatan medis, jaminan
pekerjaan oleh pemerintah, masalah pajak, permasalahan komunis, dan
menghindari keterlibatan asing (Hawkins, Riding, & Mudde, 2012).
Salah satu bentuk gerakan populis yang saat ini tengah menjadi
perbincangan masyarakat adalah #2019GantiPresiden yang banyak bermunculan
di media sosial. Tanda pagar 2019 Ganti Presiden memenuhi enam masalah
pokok yang diajukan oleh kelompok-kelompok lawan dari Joko Widodo. Salah
satu bentuk tuntutan yang diajukan adalah keinginan mengenai masalah pekerjaan
yang diutarakan pada Hari Buruh Nasional tahun 2018. Dalam kejadian ini, para
anggota kelompok menginginkan adanya jaminan pekerjaan yang jika tidak
dilakukan mereka menginginkan adanya pergantian Presiden (Manafe, 2018).
Kelompok pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-
Sandiaga membuat tanda pagar #2019GantiPresiden. Tanda pagar tersebut
memudahkan penandaan (tagging) opini yang terkait dengan isu dari gerakan
populis yang membuat mudah diidentifikasi, ditemukan, dan dibagikan oleh
pemilih pemula di media sosial. Pemilih pemula dapat ikut bergabung dengan
kelompok-kelompok dari gerakan populis #2019GantiPresiden maupun memilih
opini lainnya yang bersebrangan dengan opini dari kelompok-kelompok tersebut.
4

Mudde dan Kaltwasser (2017) mengatakan bahwa populisme pada


dasarnya memiliki nilai positif untuk partisipasi politik (Mudde & Kaltwasser,
2017). Kontestasi pemilihan Presiden 2019 yang kontras dengan gaya populis dari
masing-masing kandidat membuat peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara
gerakan #2019GantiPresiden dengan partisipasi politik pemilih pemula di
Universitas Padjadjaran.
Pendekatan kuantitatif dapat membantu peneliti untuk melihat hubungan
sebab akibat antara gerakan #2019GantiPresiden dengan partisipasi politik
pemilih pemula di Universitas Padjadjaran yang memiliki mediator yakni
penggunaan #2019GantiPresiden di media sosial yang dalam penelitian ini
dibantu dengan adanya mediator yakni penggunaan #2019GantiPresiden di media
sosial. Variabel penggunaan #2019GantiPresiden di media sosial berada di antara
variabel X dan variabel Y.
Mediator adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen sehingga hubungan antara kedua variabel
tersebut tidak terjadi secara langsung (Suryani & Hendryadi, 2012). Adanya
mediator dapat membantu peneliti untuk melihat hubungan antara gerakan
#2019GantiPresiden sebagai gerakan populis dengan partisipasi politik pemilih
pemula di Universitas Padjadjaran yang tidak terjadi secara langsung.
Pada masa orde baru mahasiswa terkurung dalam rezim otoriter namun
semakin bersemangat meneriakkan perubahan. Hal yang berbanding terbalik
terjadi sejak pasca reformasi, mahasiswa semakin terbuka namun justru
pergerakan semakin sunyi (El-Kazhiem, 2015). Hal ini yang mendasari peneliti
untuk melakukan penelitian ini sekaligus membangun partisipasi politik
mahasiswa, khususnya pemilih pemula. Di sisi lain, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) juga menargetkan untuk mahasiswa menjadi agen sosialisasi dalam
pemilihan umum 2019.
Penelitian ini memiliki fokus pada pemilih pemula di Universitas
Padjadjaran yang merupakan mahasiswa Universitas Padjadjaran angkatan
2018. Peneliti melakukan penelitian di lingkungan Universitas Padjadjaran
karena Universitas Padjadjaran memiliki 34 organisasi di tingkat Universitas
32 organisasi di tingkat fakultas. Dengan banyaknya organisasi di Universitas
Padjadjaran dan beragamnya bentuk organisasi, membantu peneliti untuk
melihat modal sosial dari mahasiswa angkatan 2018 Universitas Padjadjaran.
Modal sosial merupakan salah satu variabel dalam model penelitian de Zuniga
dan kolega (2012) yang mendorong terjadinya partisipasi politik. Hal ini dapat
membantu peneliti untuk melihat variabel lain yang mendorong adanya
partisipasi politik.
Selain itu, penelitian ini dilakukan di lingkungan Universitas
Padjadjaran karena Universitas Padjadjaran adalah universitas terbesar di Jawa
Barat. Jawa Barat dianggap menjadi wilayah pertempuran bagi kedua
pasangan calon dalam pemilihan Presiden 2019. Hal ini dikarenakan Jawa
Barat memiliki populasi yang besar untuk perebutan suara di Indonesia dan
Jawa Barat memiliki karakteristik pemilih yang unik karena orientasi
masyarakat yang mengutamakan sisi religius dan popularitas
(Pinterpolitik.com, 2017).
Di sisi lain, jumlah swing voters di Jawa Barat memiliki persentase
yang hampir mencapai 50%. Berdasarkan survei Indopolling Network, jumlah
pemilih yang belum menentukan pilihan atau swing voters terhadap Pasangan
Calon Presiden-Wakil Presiden mencapai 47,6 persen (Yuliantoro, 2018).
Jumlah swing voters inilah yang menjadi perebutan bagi kedua Paslon dalam
Pemilu 2019. Selain itu, pada pemilihan Presiden 2014, Prabowo menang di
Jawa Barat maka dari itu Prabowo tidak ingin suara yang didapatkan pada
tahun 2014 diambil oleh kubu Jokowi. Hal inilah yang menjadi wilayah
pertarungan karena Prabowo ingin mengulang kemenangan yang sama di Jawa
Barat seperti tahun 2014.

5
1.2 Rumusan Masalah
Dengan latar tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagaimana pengaruh sikap pada #2019GantiPresiden sebagai gerakan
populis terhadap partisipasi politik pemilih pemula Universitas Padjadjaran
melalui penggunaan #2019GantiPresiden di media sosial?

1.3 Identifikasi Masalah


Dengan latar belakang tersebut maka identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah:
1.3.1 Apakah sikap terhadap #2019GantiPresiden sebagai gerakan populis
berpengaruh terhadap partisipasi politik pemilih pemula di Universitas
Padjadjaran?
1.3.2 Apakah sikap terhadap #2019GantiPresiden sebagai gerakan populis
berpengaruh terhadap penggunaan #2019GantiPresiden di media
sosial oleh pemilih pemula di Universitas Padjadjaran?
1.3.3 Apakah penggunaan #2019GantiPresiden berpengaruh dengan
partisipasi politik pemilih pemula di Universitas Padjadjaran?
1.3.4 Apakah modal sosial memengaruhi sikap pada #2019GantiPresiden
sebagai gerakan populis terhadap partisipasi politik pemilih pemula
Universitas padjadjaran melalui penggunaan #2019GantiPresiden di
media sosial?

6
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:
1.4.1 Untuk mengetahui pengaruh antara sikap pada #2019GantiPresiden
sebagai gerakan populis dengan partisipasi politik pemilih pemula di
Universitas Padjadjaran melalui penggunaan #2019GantiPresiden di
media sosial
1.4.2 Untuk mengetahui pengaruh antara sikap pada #2019GantiPresiden
sebagai gerakan populis dengan partisipasi politik pemilih pemula di
Universitas Padjadjaran
1.4.3 Untuk mengetahui pengaruh antara sikap pada #2019GantiPresiden
sebagai gerakan populis dengan penggunaan #2019GantiPresiden di
media sosial
1.4.4 Untuk mengetahui pengaruh antara penggunaan #2019GantiPresiden
di media sosial dengan partisipasi politik pemilih pemula di
Universitas Padjadjaran
1.4.5 Untuk mengetahui pengaruh modal sosial terhadap sikap pada
#2019GantiPresiden sebagai gerakan populis dengan partisipasi
politik pemilih pemula Universitas Padjadjaran melalui penggunaan
#2019GantiPresiden di media sosial

1.5 Kegunaan Penelitian


Adapun kegunaan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.5.1 Kegunaan Teoritis
a. Penelitian ini adalah penelitian pertama yang menguji efek dari
sikap terhadap gerakan populisme di Indonesia terhadap partisipasi
politik pemilih pemula. Hal ini dapat membantu untuk melihat
hubungan, baik positif maupun negatif dari gerakan populisme
dengan partisipasi politik pemilih pemula.
b. Penelitian ini menghubungkan populisme dengan penggunaan
media sosial sebagai faktor yang memprediksi partisipasi politik
sebagai langkah awal membangun pemahaman atau lebih lanjut

7
model teoritis tentang partisipasi politik pemilih pemula di
Indonesia.

1.5.2 Kegunaan Praktis


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian awal dalam
penyusunan strategi komunikasi dan kampanye untuk meningkatkan
partisipasi pemilih pemula di Universitas Padjadjaran. Selain itu,
peneliti berharap mahasiswa dapat membantu untuk mendorong
adanya pembelajaran mengenai pengetahuan politik karena beberapa
mahasiswa di Universitas Padjadjaran masih memiliki tingkat
pengetahuan politik yang rendah. Di sisi lain, penelitian ini membantu
untuk memperkenalkan gaya politik baru, yakni populisme yang
sudah hadir di Indonesia dan dipergunakan sebagai gaya komunikasi
dari sudut pandang politik dan budaya.

Anda mungkin juga menyukai