Anda di halaman 1dari 8

Dosen Pengampu :

Muh. Nur Hidayat Nurdin, S. Psi., M. Si.


Irdianti, S. Psi., M. Si.

PSIKOLOGI SOSIAL TERAPAN

OLEH :
Zahra Shahifah Safar (220701501091)
Zeika Zalsabila (220701502034)
Zul Viyana Yasis (220701502066)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2023
PAPER
“GOLPUT ADALAH HAK”. SEJUMLAH WARGA MEMILIH GOLPUT DI
PILPRES 2019

A. Latar Belakang
Pada kampanye dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko
Widodo- Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno, sekelompok orang telah
menyatakan dan yakin untuk tidak memilih kedua calon dan memilih Golput pada pemilu
yang akan datang. Sekelompok orang memilih golput dikarenakan kecewa atas dua calon
presiden. Menurut lembaga survei, tren golput kemungkinan naik pada April mendatang.
Salah seorang bernama Lini Zurlia yang merupakan aktivis pembela hak-hak kamu
LGBT juga memilih golput. Sikap ini jauh berbeda dengan pilpres 2014 di mana dia
merupakan pendukung tim Jokowi. Lini menyebutkan beberapa alasan golput setelah
melihat pasangan calon presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin di pilpres. “calon wakil
presiden memiliki rekam jejak yang sungguh maha dahsyat”. Ada banyak rekaman jejak
Ma’ruf Amin yang sangat intoleran. Direktur Eksekutif Voxpol mengatakan trend golput
melonjak naik hingga pada tahun 2014 angka golput telah mencapai 30%, termasuk orang
yang tidak masuk dalam daftar pemilihan tepat
Golput dimaknai sebagai prilaku apatisme (jenuh) dengan tema-tema pemilihan,
definisi tersebut menjelaskan bahwa Kejenuhan tersebut disebabkan oleh suatu kondisi
psikologis masyarakat yang hampir tiap tahun mengalami pemilu, pilgub, pilkada dan
bahkan pilkades. Disisi lain, penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga
memberikan banyak hal terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Pada titik tertentu rasa
jenuh tersebut sampai pada rasa tak peduli apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih
tetap atau tidak sama sekali. Golput merupakan akumulasi sikap jenuh masyarakat
terhadap seputar pemilu baik janji politik, money politik dan kekerasan politik dan
kondisikondisi yang tak kunjung membaik (Soebagio, 2018).
Pada perkembangan berikutnya, golput dimaknai sebagai protes dalam bentuk
ketidak hadiran masyarakat ke tempat pemungutan suara atau keengganan menggunakan
hak suaranya secara baik, atau dengan sengaja menusuk tepat dibagian putih kertas suara
dengan maksud agar surat suara menjadi tidak sah, dan dengan tujuan agar kertas suara
tidak disalah gunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula (Muhammad
Asfar, 2004) Sementara itu (Priyatmoko, 1992) mengartikan golput sebagai keengganan
masyarakat menggunakan hak pilihnya pada even pemilu baik pemilihan legislatif,
pemilihan presiden maupun kepala daerah disebabkan rasa kecewanya pada sistem politik
dan pemilu yang tak banyak memberikan perubahan apapun bagi kehidupan masyarakat.
Dari pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa golput adalah pilihan tidak
memilih sebagai bentuk akumulasi rasa jenuh (apatis) masyarakat yang nyaris setiap
tahun mengalami pemilihan kepala daerah. Golput juga sebagai reaksi atau protes atas
pemerintahan dan partaipartai politik yang tidak menghiraukan suara rakyat, perlawanan
terhadap belum membaiknya taraf kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik,
hukum dan buday. Golput merupakan respon atasketidakmampuan partai atau penguasa
dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah menerima mandat.

B. Rumusan Masalah

Di tahun 2014, angka golput mencapai sekitar 30%, termasuk orang-orang yang tidak
masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak mendapat undangan untuk memberi hak
suara. Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Al Ghifari Aqsa,
mengatakan orang-orang yang golput karena ideologinya sering disebut sebagai kaum apatis.
Mereka, katanya, seringkali dianggap tidak berhak mengkritik pemerintahan yang kelak
terpilih. Menurut (Varma, 2001) tejadinya golput dinegara berkembang seperti Indonesia
lebih disebabkan oleh rasa kecewa dan apatisme. “Di negara berkembang lebih disebabkan
oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan hasil pemilu yang kurang
amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat.
Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena terjadi paradox demokrasi atau terjadi kontraproduktif dalam proses
demokratisasi”.
Penyataan menunjukkan bahwa secara empirik peningkatan angka Golput tersebut
terjadi antara lain oleh realitas sebagai berikut: Pertama, pemilu belum mampu menghasilkan
perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, menurunnya kinerja
partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang
berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih
mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya. Ketiga, merosotnya integritas
moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar
kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik. Keempat,tidak
terealisasinya janji-janji yang dikampanyekan elit politik kepada publik yang
mendukungnnya. Kelima, kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang
dipandang sebagai kegiatan seremonial yan lebih menguntungkan bagi para elit politik.
Keenam, kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan
keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi
Pemilu secara terprogram dan meluas.

C. Landasan Teori

Berdasarkan latar belakang kasusSejumlah Warga Memilih Golput Di Pilpres 2019


dijelaskan di atas, dalam kaitannya dengan pemahaman dasar konsep Psikologi Sosial,
peneliti memutuskan bahwa grand theory kasus Sejumlah Warga Memilih Golput Di Pilpres
2019 adalah dilakukan dengan menggunakan teori Kognitif – Jean Piaget.

Kognitif mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan berpikir, seperti
proses berpikir, kemampuan seorang individu untuk menghubungkan,
mengevaluasi,mempersepsikan, atau meninjau suatu peristiwa berdasarkan informasi atau
pengalaman faktual empiris. Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang
mampu berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya melalui cara berpikir. Manusia
mencoba memahami lingkungan sekitarnya dan bereaksi dengan pikiran.

Dalam kasus ini, hal yang melatar belakangi masyarakat untuk memilih golput berasal
dari hasil pengamatan masyarakat terhadap sistem politik dan figur yang mencalonkan diri
dalam pemilihan umum. Pilihan golput lahir karena masyarakat memiliki persepsi bahwa
sistem dan figur yang ada bertolak belakang dengan kondisi yang dianggap ideal. Dalam hal
ini, kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar
bagi objek sikap. Sesuatu yang dipercayai seseorang itu merupakan sesuatu yang telah
terpolakan dalam fikirannya. Kepercayaan datang dari apa yang telah diketahui. Berdasarkan
apa yang telah dilihat itu kemudian terbentuk suatu ide mengenai sifat atau karakteristik
umum mengenai objek.

Sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan
seseorang mengenai apa yang telah diharapkan dari objek tertentu. Interaksi seseorang
dengan pengalaman dimasa mendatang serta prediksinya mengenai pengalamannya akan
mempunyai arti dan keteraturan. Kepercayaan dapat berkembang sejalan dengan
perkembangan pribadi, apa yang diceritakan orang lain, maupun kebutuhan emosional
seseorang yang bertindak sebaga ide terminan utama terbentuknya kepercayaan.

D. Rencana Solusi

Penyadaran diri para masyarakat, bahwa mereka adalah bagian dari sistem demokrasi
yang berjalan di Indonesia, dapat dilakukan dengan instrumen sosialisasi secara kreatif.
Sosialisasi politik sendiri memiliki arti sebagai suatu proses untuk menyadarkan individu
akan peranannya sebagai partisipan dalam kehidupan politik. Sosialisasi oleh para pesertase
benarnya merupakan hal yang paling berpengaruh. Selain dapat digunakan untuk memetakan
kantong-kantong suara mereka, sosialisasi ini juga bisa meningkatkan perolehan suara
mereka. Karena, semakin menarik cara sosialisasi mereka, baik itu tentang visi-misi atau
figur dari jagoan mereka, konsep dari sosialisasi yang modern juga bisa menarik perhatian
para calon pemilih.

Seperti halnya dalam pemilu legislatif di tingkat nasional, partai-partaiyang ikut pemilu
berlomba-lomba untuk menyajikan kampanye yang menarik,baik dengan panggung hiburan
atau dengan mengusung figur yang populer untukmenarik lebih banyak suara. Mungkin hal
tersebut tidak dapat dilakukan dalam pemilu, serta ide-ide kreatif bisa dimunculkan oleh para
tim sukses yang menjadi peserta pemilu. Ide tersebut harus dikeluarkan agar sosialisasi atau
kampanye berjalan lebih menarik, tidak sekedar menyebar selebaran atau memasang baliho
yang besar untuk meningkatkan perolehan suara mereka. Jika ingin lebih berpikiran positif,
dengan kampanye atau sosialisasi yang menarik, maka pesan dari visi-misi yang mereka
usung akan lebih tersampaikan dan lebih bisa diterima oleh calon pemilih.

Adapun tiga pilar psikologis yang memengaruhi perilaku pemilih rakyat sebagai solusi
menghindari golput adalah: (1) identifikasi partai yang berkaitan dengan ikatan emosional
pemilih pada partai, (2) orientasi terhadap isu dan program yang diajukan oleh calon sesuai
dengan kepentingan pemilih, dan (3) pribadi dari kandidat atau calon.

Setiap individu pasti akan memilih partai yang memiliki kedekatan secara emosional
dengan dirinya pada saat pemilu berlangsung. Keputusan untuk memilih partai terkait tidak
akan terpengaruh oleh faktor-faktor lain diluar diri individu dan partai pilihannya. Sedangkan
yang dimaksud dengan orientasi terhadap isu yaitu, para pemilih akan meilihat terlebih
dahulu hal-hal apa yang akan dibawa oleh para calon peserta pemilu. Apakah isu-isu yang
diangkat adalah permasalahan kontemporer, ataukah isu-isu yang sekedar menarik karena
membahas kelemahan dari incumbent.

Keterkaitan antara isu yang dibawa dengan kepentingan masyarakat juga merupakan
hal yang penting. Setiap individu akan lebih memilih untuk mendukung seseorang, atau
partai, dengan isu yang ‘dekat’ dengan dirinya. Selanjutnya tentang pribadi kandidat yang
diusung, hal ini akan lebih menjelaskan tentang pentingnya aspek ke-tokoh-an untuk
menggalang suara dari masyarakat. Semua yang ada di dalam figur tokoh terkait akan sangat
berpengaruh terhadap perolehan suara kandidat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Alhafizh, Y. (2017). PERILAKU GOLPUT PADA PEMILIHAN UMUM RAYA MAHASISWA


FAKULTAS USHULUDDIN IAIN RADEN INTAN LAMPUNG 2016 (Doctoral
dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

Asfar, Muhammad. 2004. Presiden Golput. Jawa Pos Press. Surabaya.

Priyatmoko, dkk. 1992. Sikap Politik dan Afiliasi Orang Tua dan Perilaku Memilih Pemuda
Kota Surabaya. Lembaga Peneleitian Unair. Surabaya.

Soebagio. Implikasi Golongan Putih Terhadap Pembangunan Demokratisasi di Indonesia.


Jurnal. Makara: Sosial Humaniora, Vol 12 No 2, Desember 2008.

Varma, S. P. (2001). Teori Politik Modern;“Gabriel Almond dan analisa Fungsional


Struktural”.

Wijaya C. (2019). ‘Golput adalah hak’, Sejumlah warga memilih golput di pilpres 2019.
BBC News Indonesia
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai