Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena politik uang masih kerap terjadi mengiringi jalannya Pemilu di

Indonesia. Hal ini membawa pengaruh terhadap citra pelaksanaan Pemilu secara

langsung di Indonesia. Politik uang merupakan praktik kecurangan yang dapat

merusak pemilu yang berintegritas serta berkeadilan. Hal ini dikarenakan vote

buying yang dilakukan oleh para kandidat ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi preferensi pemilih di dalam menentukan perilakunya dalam

membuat keputusan untuk memilih atau tidak (Adhinata, 2019).

Politik uang berusaha mendistribusikan sesuatu secara individual kepada

pemilih untuk mendapatkan dukungan politik. Politik uang sendiri dapat dibedakan

menjadi beberapa bentuk, dalam kajian ini khususnya 4 bentuk yakni pork barrel

atau politik gentong babi, vote buying atau pembelian suara, individual gift atau

pemberian pribadi dan club good atau pemberian kelompok. Pork barrel adalah

penyalahgunaan dana publik untuk digunakan kepentingan kampanye, praktik ini

biasanya dilakukan oleh calon petahana menjelang pemilu, strategi menggunakan

Pork barrel ini lebih bersifat jangka panjang. Pork barrel ini berupa bantuan materi

berupa kontrak, hibah maupun proyek pekerjaan umum yang berasosiasi dengan

proyek pekerjaan publik seperti perbaikan jalan, perbaikan fasilitas publik (secara

fisik), akan tetapi juga dapat berbentuk distribusi kesejahteraan (Pratama, 2017).

Bentuk kedua yaitu Vote buying yang merupakan jual beli suara yang

melibatkan pasangan calon, pemilih serta petugas. Vote buying ini dapat berupa

1
uang maupun barang yang diberikan kepada pemilih yang bertujuan memperoleh

dukungan suara. Vote buying dari sisi pemilih sebagai permintaan dari pemilih

karena sudah memberikan suaranya kepada kandidat tersebut, sedangkan pada sisi

kandidat dilakukan karena rasa kekhawatiran akan kehilangan suara/ dukungan

dalam pemilu (Adhinata, 2019). Seringkali masyarakat menyebut hal ini sebagai

“serangan fajar” karena dilakukan pada subuh di hari pemilihan, disisi lain ada juga

pembayaran dilakukan sebelum maupun paska pemilihan. Bentuk paling umum

digunakan dalam individual gift adalah pembagian sembako atau kebutuhan-

kebutuhan pokok dari pemilih, sedangkan club good ini paling umum digunakan

ketika kandidat mendatangi kelompok tertentu kemudian membelikan kebutuhan

dari kelompok tersebut, sehingga keuntungan yang didapatkan lebih bersifat

kelompok bukan personal.

Praktik kecurangan politik uang yang terjadi pada setiap penyelenggaraan

pemilu juga dipengaruhi oleh diterapkannya sistem proporsional terbuka, sistem ini

mulai dijalankan pada tahun 2009. Sistem ini menjadikan para kandidat harus

bersaing antar sesama kandidat dalam satu partai untuk mendapatkan suara pribadi

(personal vote), dibandingkan bersaing dengan lawan yang berbeda partai. Hal ini

menyebabkan para kandidat berusaha saling menekankan daya tarik pribadi

masing-masing dan berusaha untuk memberikan insentif untuk jual beli suara

(Nurdin, 2016).

Pada pelaksanaan Pemilu tahun 2014, berdasarkan pengalaman yang dialami

oleh Burhanuddin Muhtadi, terdapat beberapa istilah yang seolah menormalisasi

praktik jual beli suara, yaitu NPWP dan Golput. Singkatan NPWP yang seharusnya

Nomor Pokok Wajib Pajak dipelesetkan menjadi Nomor Piro, Wani Piro dalam

2
istilah bahasa jawa, yang berarti berani membayar berapa ke pemilih untuk memilih

calon tersebut. Sedangkan Golput kepanjangan dari Golongan Putih yaitu orang-

orang yang tidak menggunakan haknya dalam pemilu, dipelesetkan menjadi

Golongan penerima uang tunai (Muhtadi, 2018). Seorang calon akan merasa

khawatir jika ada caleg dari partai lain melakukan jual beli suara, karena mereka

takut akan kehilangan suara dan ikut melakukan hal yang sama bahkan memberikan

uang atau barang dengan nominal lebih tinggi dari caleg lain, dan siklus ini terus

terjadi.

Bahkan di tahun 2018, Indonesia masuk ke dalam 3 besar peringkat negara yang

melakukan politik uang di dunia, yang mana mencapai 33% pemilih terjangkit

politik uang hingga menjadi sebuah normalitas baru dalam pelaksanaan Pemilu

paska Orde Baru (Muhtadi, 2018). Pelaksanaan Pileg digelar pada 17 April 2019,

dimana total penyelenggara pemilu mencapai lebih dari 7,3 juta orang dengan total

Daftar Pemilih Tetap (DPT) seluruh Indonesia mencapai 192 juta orang

(Databooks.katadata.co.id, 2019). Dimana dalam Pemilu 2019 dikatakan lebih dari

sepertiga pemilih terpapar praktik jual beli suara. Berdasarkan survei paska pemilu

2019 yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang bekerja sama

dengan Australian National University (ANU), dimana mereka menemukan pola

yang sama antar Pileg 2014 dengan 2019 yaitu semakin mendekati pemilu maka

politik uang akan semakin besar terjadinya.

3
Gambar 1. 1 Tingkat Politik Uang Jelang Pemilu (%)

33,1
29,5

21,2 22

Des '18 Feb '19 Maret '19 Mei '19

Sumber: Survei Desember 2018, Februari 2019 dan Maret 2019 dilakukan Indikator
sedangkan survei paska-pemilu pada Mei 2019 oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI)
(Muhtadi, 2019)

Praktik politik uang tentu saja mencederai sistem demokrasi yang dijalankan

oleh bangsa Indonesia. Dimana seharusnya demokrasi mampu memberikan

perlindungan hak asasi manusia, terutama hak politik untuk memilih seorang

pemimpin maupun dipilih sebagai pemimpin, sehingga dalam negara demokrasi

apresiasi terhadap hak asasi lebih mungkin dapat terlaksana dibandingkan dengan

sistem negara otoriter (Widianingsih, 2017). Selanjutnya Robert A. Dahl

mengungkapkan argumen yang menunjukkan bahwa menjalankan demokrasi lebih

membawa pemerintahan hingga rakyat ke arah yang lebih positif. Ia mengatakan

bahwa demokrasi mampu mencegah terjadinya pemerintahan yang kejam (otoriter),

mampu menjamin warga negara dengan hak asasi yang diberikannya, hingga

pemerintahan yang demokratis yang lebih mampu mengembangkan kesamaan

politik yang relatif lebih kuat (Dahl, 2001).

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, salah satu penyaluran hak

politik masyarakat adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu juga

dianggap sebagai lambang, tolok ukur dari demokrasi itu sendiri, pemilu dianggap

4
sebagai konsekuensi yang logis dari diterapkannya demokrasi dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara (Prasetyoningsih, 2014). Meskipun demokrasi tidak hanya

bisa diwujudkan melalui pemilu, akan tetapi ketika berbicara mengenai demokrasi

maka pemilu sudah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini sejalan

dengan pendapat Powell bahwa, meskipun pemilu ini bukan satu-satunya instrumen

demokrasi akan tetapi tidak dapat kita pungkiri bahwa pemilu ini sangat vital dan

utama, selain itu pemilu yang kompetitif akan melahirkan negara yang memiliki

sistem politik demokratis (Widianingsih, 2017).

Namun ketika terjadi praktik politik uang dalam Pemilu, otomatis masyarakat

tidak lagi memilih calon berdasarkan hati nuraninya masing-masing, masyarakat

akan terpengaruh dengan iming-iming uang maupun barang yang diberikan oleh

calon tertentu. Partisipasi politik masyarakat bukan hanya dilihat dari hasil jumlah

suara yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilu, akan tetapi juga harus

dilihat dari kemampuan masyarakat serta kesadaran mereka dalam menentukan

pilihan terbaiknya sesuai dengan hati nurani tanpa tekanan dari pihak lain (Irawan,

2019). Prinsip yang digunakan untuk menegakkan pemilu yang berintegritas harus

diimbangi dengan optimisme masyarakat melalui tingkat kesadaran politik

masyarakat maka akan berdampak pula kepada pelaksanaan pemilu yang baik

(Santoso, 2019). Seharusnya dalam politik yang berintegritas, di dalamnya tidak

akan menggunakan cara-cara haram untuk meraih suara dari pemilih, namun sangat

disayangkan bahwa peningkatan integritas politik elektoral di Indonesia masih saja

dihambat oleh maraknya politik uang (Muhtadi, 2019).

Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017. Pemilu menjadi sarana bagi kedaulatan rakyat untuk memilih

5
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden

dan Wakil Presiden, serta memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

dilaksanakan berdasarkan asas pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur

dan adil (UU RI, 2017). Pada tahun 2019 kembali menjadi sejarah bagi Bangsa

Indonesia, dimana Pemilu digelar serentak untuk pertama kalinya, yang mana

memilih Presiden dan Wakil Presiden sekaligus memilih DPR, DPD, DPRD

Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota dalam waktu yang bersamaan (Raditya,

2019). Melalui Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) masyarakat dapat secara bebas

mendukung, memilih seseorang/ calon tertentu untuk menjadi DPR, DPD, DPRD

Provinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota yang sesuai dengan rasionalitasnya

masing-masing. Sehingga partisipasi masyarakat dalam Pileg sangat penting untuk

kesuksesan penyelenggaraan pemilihan, meskipun tinggi maupun rendahnya

partisipasi rakyat dalam pemilihan tidak selalu berkorelasi secara linier dengan

kualitas dari pemilih itu sendiri (Akbar, 2017).

Praktik politik uang tidak hanya terjadi pada skala nasional saja, akan tetapi

juga banyak terjadi pada level daerah. Salah satunya di Kota Batu, dimana praktik

politik uang ini pernah ditemukan berdasarkan hasil laporan riset terkait

karakteristik money politic pada Pemilu dan Pilkada di Kota Batu oleh KPU Kota

Batu yang bekerja sama dengan PT. Kualita Prima Indonesia pada tahun 2015.

Hasilnya bahwa pada Pilkada Batu Tahun 2012 dan Pemilu Tahun 2014,

masyarakat batu sebanyak 44 % responden mendapatkan/ menerima politik uang

dan 56% responden tidak menerima politik uang. Kemudian politik uang juga

terjadi pada pemilihan eksekutif, dalam hal ini pemilihan Walikota Batu pada

Tahun 2017, dimana terdapat indikasi pelanggaran pada masa kampanye oleh Eddy

6
Rumpoko sebagai Walikota aktif saat itu, yang dilaporkan melakukan politik uang

untuk pemenangan istrinya yang sedang mencalonkan sebagai Walikota. Terjadi

pembagian uang 100 ribu, mukenah serta sarung di dusun Sumbersari, Giripurno

yang disertai ajakan untuk memilih pasangan calon urut 2 (Aminudin &

Wahyudiyanta, 2017).

Tidak hanya terjadi kecurangan pada pemilihan eksekutif, pada pemilihan calon

legislatif di Kota Batu juga disinyalir terjadi praktik politik uang. Hal ini didasarkan

pada hasil penelitian kuantitatif survei Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang

dilakukan oleh Bawaslu Kota Batu dalam melihat potensi rawan terjadinya praktik

politik uang jelang Pemilu Tahun 2019. Hasilnya diperolah 27% responden

mengetahui dan pernah merasakan politik uang dan masih berharap akan diberi

politik uang saat pemilu nanti. Selanjutnya 62% responden menjawab mengetahui

terjadinya praktik politik uang dan enggan melaporkan serta membiarkan terjadi

begitu saja (Hakim, 2019). Pada tahun sebelumnya, sebanyak 48% responden

mengaku telah menerima uang dan diberikan ketika berada di rumah dan 28%

mengaku menerima uang di rumah salah satu pendukung pasangan calon (Rahman,

2019).

Pemilihan Legislatif (Pileg) di Kota Batu pada tahun 2019 diikuti oleh 314

calon wakil rakyat yang ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) oleh KPU

Kota Batu, terdiri dari 14 partai politik, dimana akan memperebutkan 30 kursi

DPRD Kota Batu (Muklas, 2018). Para caleg dibagi dalam empat Daerah Pemilihan

(Dapil). Pada Dapil 1 (Batu 1), alokasi kursi sebanyak 7 buah, mencakup wilayah

Desa Pesanggrahan, Desa Sumberjo, Kelurahan Ngaglik, Kelurahan Songgokerto

dan Desa Sidomulyo. Dapil 2 (Batu 2) mendapat jatah 7 kursi, mencakup wilayah

7
Desa Oro-oro Ombo, Kelurahan Sisir, dan Kelurahan Temas. Dapil 3 (Kecamatan

Junrejo) mendapatkan jatah 7 kursi, mencakup wilayah Desa Pendem, Desa

Mojorejo, Desa Beji, Desa Torongrejo, Desa Tlekung, Desa Junrejo, dan Kelurahan

Dadaprejo. Terakhir Dapil 4 (Kecamatan Bumiaji) memperebutkan 9 kursi,

cakupannya meliputi Desa Bulukerto, Desa Punten, Desa Gunungsari, Desa

Sumbergondo, Desa Tulungrejo, Desa Sumber Brantas, Desa Pandanrejo, Desa

Giripurno, dan Desa Bumiaji.

Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kota Batu sejumlah 151.531 pemilih, dengan

jumlah desa dan kelurahan sebanyak 24, serta 757 Tempat Pemungutan Suara

(TPS). Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat Kota Batu dalam Pemilu serentak

tahun 2019 termasuk di dalamnya Pileg DPRD Kabupaten/ Kota termasuk sangat

tinggi, bahkan hampir menyentuh 90% tingkat partisipasi masyarakatnya. Berikut

ini tingkat partisipasi masyarakat Kota Batu dan beberapa kota lainnya yang masuk

dalam 10 besar partisipasi tinggi dalam Pemilihan Umum serentak tahun 2019 di

Jawa Timur :

Tabel 1. 1 10 Besar Tingkat Partisipasi Masyarakat di Jawa Timur

Kabupaten/ Tingkat Tingkat


No. No. Kabupaten/ Kota
Kota Partisipasi Partisipapsi
1. Kab. Sampang 96 % 6. Kota Mojokerto 86,44 %
2. Kab. Bangkalan 90,98 % 7. Kota Kediri 86,19 %
3. Kab. Pamekasan 90 % 8. Kota Probolinggo 85 %
4. Kota Pasuruan 88 % 9. Kab. Blitar 84 %
5. Kota Batu 87,43 % 10. Kab. Bondowoso 84 %
Sumber: (Hariyanto, 2019) (KPU Kabupaten Bangkalan, 2019) (Arifin, 2019) (Radar
Bromo Jawa Pos, 2019) (KPU Kota Batu, 2019b) (Gema Media, 2019) (Chusna, 2019)
(Supriyatno, 2019) (S. Permata, 2019) (Widarsha, 2019)
Dapat kita lihat bahwa di Kota Batu menjadi peringkat ke 5 di Jawa Timur

dengan tingkat partisipasi sebesar 87,43 %. Hal menunjukkan terdapat tingkat

8
partisipasi yang tinggi dalam masyarakat, akan tetapi disisi lain berdasarkan data

yang sudah dipaparkan, justru memperlihatkan adanya indikasi rawan terhadap

politik uang pada pemilih di Kota Batu berdasarkan survei Bawaslu Kota Batu

jelang Pemilu 2019. Terlebih dalam Pileg dengan kompetisi yang sangat sengit baik

secara internal maupun eksternal, akan semakin membuat para caleg menempuh

segala cara dalam memenangkan Pileg kali ini, sehingga berimplikasi pada praktik

jual beli suara (Amindoni, 2019). Inilah yang kemudian membuat peneliti tertarik

untuk meneliti lebih jauh bagaimana “Politik Uang Dalam Pemilihan Umum

Serentak Tahun 2019 Di Kota Batu”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, maka rumusan

masalah yang akan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses terjadinya politik uang dalam pemilihan umum serentak

Tahun 2019 di Kota Batu

2. Faktor Pendorong terjadinya politik uang dalam pemilihan umum serentak

Tahun 2019 di Kota Batu

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah yang sudah dirumuskan diatas, maka tujuan

dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui politik uang dalam pemilihan umum serentak tahun 2019

di Kota Batu

9
2. Untuk mengetahui faktor pendorong terjadinya politik uang dalam

pemilihan serentak tahun 2019 di Kota Batu

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan di bidang yang fokus mempelajari praktik

politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum, baik di tingkat nasional

dan daerah.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan

rekomendasi kepada Pemerintah Kota Batu, Komisi Pemilihan Umum Kota

Batu, Bawaslu Kota Batu maupun stakeholder lain yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemilihan umum agar terus berupaya untuk menciptakan

pemilu yang berkualitas. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi acuan

bagi masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas dalam menentukan

pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dengan

menghindari politik uang.

3. Manfaat Akademis

Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Program Studi Ilmu Pemerintahan,

serta penelitian/ kajian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti

selanjutnya yang relevan kajian penelitian praktik politik uang terutama dalam

penyelenggaraan pemilihan umum.

10
E. Definisi Konseptual

1. Pemilihan Umum

Pemilihan Umum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017. Pemilihan Umum menjadi salah satu instrumen untuk menjalankan

sistem demokrasi dalam suatu negara. Demokrasi menjamin setiap hak dan

kewajiban setiap warga negaranya termasuk hak politik untuk memilih dalam

penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017, Pemilihan Umum didefinisikan sebagai

“Pemilu menjadi sarana bagi kedaulatan rakyat untuk memilih


anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan berdasarkan asas
pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” (UU
RI, 2017)

Pemilihan umum ini terdiri dari pemilihan eksekutif untuk pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden atau biasa disebut Pilpres, sedangkan pemilihan

legislatif ini untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut

sebagai Pileg. Menurut Veri Junaidi dalam (Prasetyoningsih, 2014), Demokrasi

dan Pemilihan Umum yang demokratis memiliki keterikatan satu sama lain atau

‘the one can not exist without the others’, sehingga pemilu dimaknai sebagai

prosedur untuk mencapai demokrasi ataupun sebagai prosedur untuk

memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk menduduki

jabatan politik tertentu.

11
2. Politik Uang

Politik uang dipahami sebagai praktik pemberian uang maupun barang

maupun hal lainnya sebagai bentuk iming-iming kepada voters baik individu

maupun kelompok. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan politis

serta dilakukan secara sadar oleh pelakunya (D. Permata & Zuchron, 2018).

Menurut Herbert E. Alexander, ditambah lagi uang mempunyai daya tarik yang

kuat dalam kehidupan manusia, yang mana mampu menjadi alat untuk

menguasai energi maupun sumber daya. Adapun bentuk praktik politik uang

yang peneliti angkat dalam penelitian ini, yaitu:

a. Vote Buying (Pembelian Suara)

Praktik vote buying di Indonesia ini seringkali dikenal sebagai serangan

fajar, karena proses pembayaran untuk pembelian suara dilakukan waktu subuh

pada hari pemungutan suara. Edward Aspinal dan Mada Sukmajati

mendefinisikan pembelian suara sebagai,

“Vote Buying adalah distribusi pembayaran uang tunai maupun


barang dari seorang kandidat kepada pemilih yang dilakukan secara
sistematis, yang biasanya dilakukan beberapa hari menjelang pemilu
yang disertai dengan harapan bahwa penerima akan membalas
dengan memilih/ atau memberikan suaranya kepada si pemberi.”
(Aspinal & Sukmajati, 2015)

Praktik pembelian suara ini dalam praktiknya tidak hanya dilakukan pada

saat subuh saja, beberapa calon juga melakukan pembelian suara jauh-juah hari

sebelum hari pencoblosan dilaksanakan atau bahkan bisa juga dilakukan

setelah pencoblosan dilakukan. Dalam menjalan praktik vote buying biasanya

para calon mengandalkan tim suksesnya sebagai broker yang mana mereka

bertugas untuk melakukan strategi penjaringan suara secara langsung kepada

masyarakat di lapangan. Tim sukses bagi seorang calon menjadi ujung tombak

12
karena mereka berperan sebagai penggalang dukungan dari pemilih (Hamdi,

2015). Jumlah uang yang dibagikan kepada masyarakat juga beragam, mulai

dari 15 ribu hingga 50 ribu per orang.

Selain itu tidak jarang calon juga melakukan strategi tandem satu paket,

dimana memberikan 30 ribu untuk 2 orang caleg dan 50 ribu untuk 3 orang

caleg (Sari, 2021). Sedangkan pembelian suara berupa barang dapat berupa

bahan makanan pokok, beras, gula, tepung, minyak goreng, sarung, mukena

maupun kerudung (Kurniawan et al., 2017).

b. Pork Barrel (Proyek-Proyek Gentong Babi)

Ciri utama dari praktik pork barrel ini adalah berisi kegiatan yang

diperuntukkan untuk publik, namun didanai atau dibiayai menggunakan dana

publik dengan harapan yang sama dengan praktik pembelian suara, yakni

publik akan bersedia untuk memberikan dukungannya kepada calon tertentu

(Aspinal & Sukmajati, 2015). Biasanya praktik ini dilakukan oleh calon

petahana dengan memberikan ‘program-program’ maupun ‘proyek-proyek’

yang biasanya dilakukan di wilayah geografis tertentu saja atau bisa dibilang

tempat basis pemilih calon tertentu. Hal ini bertujuan agar masyarakat mau

kembali memilih calon tersebut pada hari pemilihan. Pork barrel juga disebut

sebagai politik distribusi, karena bentuknya dapat berupa bantuan baik dalam

bentuk kontrak, hibah maupun proyek-proyek pekerjaan publik seperti

perbaikan jalan, pengaspalan, perbaikan selokan air hingga perbaikan masjid,

musholla. Dikatakan oleh Caroline Paskarina bahwa pola politik dari pork

barrel adalah

13
“Pork barrel tidak hanya berguna untuk mempromosikan kandidat
petahana, akan tetapi juga berguna menciptakan elite-elite lokal baru
yang terkait dengan legislator melalui hubungan klientelistik secara
langsung.” (Paskarina, 2015)

Dapat kita lihat dalam penjelasan tersebut bahwa melalui praktik pork

barrel ini, program atau proyek perbaikan yang diberikan menjadi pengikat

antara penerima yang mana sebagai klien, dan legislator menjadi patronnya.

c. Individual Gifts (Pemberian-pemberian pribadi)

Bentuk lain politik uang yang terjadi juga di tengah masyarakat yang

sudah umum terjadi adalah pemberian barang-barang yang bersifat pribadi.

Barang-barang ini biasanya dianggap sebagai kenang-kenangan sehingga

benda atau barang yang diberikan tidak terlalu besar, cenderung benda-benda

bersifat kecil seperti kalender, gantungan kunci, peralatan sholat baik pria

maupun wanita serta yang paling sering dilakukan adalah pemberian sembako

berupa mie, gula, beras, minyak dan bahan pokok lainnya.

d. Club Goods (Barang-barang kelompok)

Berbeda dari pemberian lain yang lebih bersifat pribadi, club goods

lebih memberikan keuntungan bagi kelompok sosial tertentu yang dituju oleh

caleg. Biasanya caleg melakukan kunjungan ke kelompok-kelompok tertentu

yang ada di masyarakat kemudian caleg memberikan barang atau peralatan/

perlengkapan tertentu yang dibutuhkan oleh kelompok tersebut. Sehingga efek

yang diberikan nantinya akan lebih banyak menarik simpati dari anggota-

anggota dari kelompok tersebut.

14
F. Definisi Operasional

Definisi operasional ini memuat tentang indikator-indikator yang akan

dijadikan sebagai tolak ukur variabel dalam permasalahan yang sedang dilakukan

oleh peneliti yaitu tentang Politik Uang Dalam Pemilihan Umum Serentak Di Kota

Batu Tahun 2019, adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah

1. Bentuk dan besaran politik uang dalam Pemilihan Umum Serentak tahun

2019 di Kota Batu

2. Jaringan politik uang Pemilihan Umum Serentak tahun 2019 di Kota Batu

3. Faktor Pendorong terjadinya politik uang dalam Pemilihan Umum Serentak

tahun 2019 di Kota Batu

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Creswell

(2009:4) dalam buku (Santana, 2010) , mengatakan bahwa metode kualitatif

merupakan upaya penggalian dan pemahaman pemaknaan terhadap apa yang

terjadi pada individu atau kelompok yang berasal dari persoalan kemanusiaan

dan sosial yang di dalamnya melibatkan berbagai pertanyaan serta prosedur

yang harus dilewati. Creswell menyebutkan bahwa terdapat beberapa

pendekatan dalam metode kualitatif, diantaranya pendekatan fenomenologi,

pendekatan studi kasus, dan pendekatan naratif/deskriptif.

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk

menggambarkan/ melukiskan kondisi “apa adanya” (fakta) berdasarkan data-

data yang diperolah dalam penelitian. Sesuai dengan kajian dalam penelitian

15
ini tentang Politik Uang Dalam Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 Di

Kota Batu, maka akan digambarkan jaringan yang digunakan untuk

membagikan politik uang kepada masyarakat Kota Batu, selain itu juga akan

dijabarkan mengenai bagaimana bentuk-bentuk dan besaran politik uang yang

diterima oleh masyarakat, faktor apa saja yang mendorong terjadinya poitik

uang di Kota Batu.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer didapatkan melalui hasil wawancara yang

dilakukan dengan subjek penelitian yang sudah ditentukan serta dari hasil

observasi kepada subjek penelitian di lokasi penelitian. Data primer ini

didapatkan dari hasil wawancara kepada masyarakat Kota Batu yang sudah

mempunyai hak pilih serta mengalami atau terlibat secara langsung

mengalami praktik politik uang dalam Pileg 2019, dan juga akan melakukan

wawancara dengan dua orang tim sukses caleg yang terlibat dalam praktik

politik uang dalam Pileg tahun 2019 di Kota Batu.

Sedangkan data sekunder didapatkan dari sumber data yang sudah ada

seperti buku, jurnal, dokumen, peraturan perundang-undangan maupun

dokumen lainnya yang relevan dengan kajian praktik politik uang, selain itu

data sekunder ini ditujukan untuk mendukung dan melengkapi hasil

wawancara dan observasi yang sudah dilakukan oleh peneliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan proses dimana peneliti melakukan

pencatatan terhadap keterangan-keterangan yang relevan dengan penelitian

16
yang dilakukan. Dalam penelitian ini, penelitian akan mengumpulkan data dari

3 (tiga) sumber yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi.

a. Wawancara

Wawancara merupakan upaya untuk mendalami dan lebih mendalami

suatu kejadian dan atau kegiatan subjek penelitian (Suharsaputra, 2012).

Wawancara dapat dipandang sebagai salah satu cara dalam memahami/

masuk ke dalam perspektif orang lain tentang kehidupan sosialnya.

Wawancara dapat dilakukan peneliti dengan bertatap muka secara langsung

(face to face interview), maupun dilakukan secara tidak langsung dengan

menggunakan media perantara elektronik seperti telepon seluler terhadap

subjek penelitian yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Untuk mendapatkan data atau informasi terkait Politik Uang Dalam

Pemilihan Umum Serentak Di Kota Batu Tahun 2019, maka peneliti akan

melakukan wawancara secara langsung dan telepon seluler dikarenakan

kondisi saat pandemi Covid-19 saat ini dengan subjek penelitian yang

sudah ditentukan oleh penelitian.

b. Observasi

Observasi atau pengamatan langsung merupakan aktivitas pencatatan

fenomena yang dilakukan secara sistematis (Idrus, 2009). Dalam

melakukan observasi dapat dilakukan secara partisipatif atau melibatkan

peneliti dapat kegiatan yang dilakukan oleh subjek penelitian, atau dapat

juga dilakukan tanpa melibatkan peneliti secara langsung pada kegiatan

yang dilakukan oleh subjek dalam penelitian.

17
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model observasi langsung.

Artinya peneliti melibatkan diri secara langsung pada kegiatan subjek

penelitian. Peneliti kemudian melakukan pengamatan secara mandiri,

mengamati dan mencatat perilaku, mengamati lingkungan sekitar maupun

kejadian yang terjadi pada keadaan sebenarnya yang berhubungan dengan

subjek penelitian, terutama terkait hal-hal yang berkaitan praktik Politik

Uang Dalam Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 Di Kota Batu.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan upaya untuk mengumpulkan data sebagai

pendukung keakuratan data penelitian. Moleong dalam bukunya membagi

jenis dokumentasi menjadi 2, yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi

(Moleong, 1989). Dokumen pribadi ini dapat berupa catatan seseorang

secara tertulis mengenai tindakan, pengalaman maupun kepercayaannya.

Sedangkan dokumen resmi terbagi atas 2 yakni dokumen internal yang

berupa memo, pengumuman, instruksi maupun aturan suatu lembaga yang

digunakan di kalangannya sendiri, selanjutnya dokumen eksternal ini

berupa majalah, buletin, pernyataan serta berita yang disiarkan kepada

media massa. Peneliti menggunakan beberapa dokumen resmi yang

diterbitkan oleh KPU Kota Batu terkait dengan pencalonan legislatif yang

didapatkan dari website resmi KPU Kota Batu.

4. Subjek Penelitian

Dalam menentukan subjek penelitian kualitatif, peneliti menggunakan

teknik Purposive Sampling, dimana tidak dilakukan secara acak dan sudah

tertuju. Subjek dalam penelitian ini adalah Masyarakat Kota Batu, hal ini tidak

18
lain karena masyarakat sendiri sebagai objek dari praktik politik uang tersebut.

Masyarakat Kota Batu hal ini dikhususkan yang sudah mempunyai hak

memilih pada Pileg 2019. Dimana ia juga menggunakan haknya dalam Pileg

2019, dan mengalami secara langsung ditawari, diberi atau mendapatkan

praktik politik uang menjelang Pileg maupun paska Pileg 2019. Jumlah

informan yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 7 orang pemilih, diambil

dari prosentase 27 persen masyarakat Kota Batu yang mengetahui praktik

politik uang dalam pemilu 2019 berdasarkan survei dari Bawaslu Kota Batu

menjelang Pemilu 2019.

Selain itu, tim sukses caleg juga akan menjadi subjek dalam penelitian ini,

hal ini dikarenakan tim sukses inilah yang memagang peranan penting untuk

menjaring, mentargetkan masyarakat hingga yang memberikan secara

langsung uang maupun barang kepada masyarakat secara langsung di

lapangan.

5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Batu yang terdiri dari 4 Dapil (Daerah

Pemilihan) yakni Dapil 1 pada Desa Pesanggrahan, Dapil 2 di Kelurahan

Sisir, Dapil 3 pada Kelurahan Dadaprejo dan Desa Beji dan Dapil 4 di Desa

Sumbergondo. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil survei Bawaslu Kota

Batu yang menyatakan bahwa masih ada sebagian masyarakat Kota Batu

yang menginginkan politik uang pada Pileg 2019. Pemilihan penelitian di 4

Dapil ini sebagai upaya untuk menggambarkan secara utuh bagaimana

praktik politik uang yang terjadi pada Pileg di Kota Batu tahun 2019, karena

19
setiap Dapil tentu saja akan memiliki karakteristik dan bentuk praktik politik

uang yang bisa jadi berbeda antara satu dengan yang lainnya.

6. Teknik Analisa Data

Analisis data digunakan peneliti untuk menafsirkan data yang diperoleh

selama penelitian. Analisa data ini dilakukan secara berkelanjutan dari awal

mula penelitian hingga ditemukannya kesimpulan dari penelitian. Dalam

prosesnya analisis data ini dilakukan dengan mencari, menemukan data apa

yang penting dan apa yang bisa digunakan oleh peneliti dalam menyusun

laporan akhir penelitian. Salah satu teknik analisa data yang digunakan dalam

kajian penelitian kualitatif adalah teknik analisa interaktif yang dikemukakan

oleh Miles dan Huberman (1992) dalam (Suharsaputra, 2012). Teknik ini

terdiri atas 3 tahapan yaitu:

a. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses mengolah data yang diperoleh di

lapangan dengan memilah, memilih, menyederhanakan, mengabstrakkan

serta transformasi data kasar yang ditemukan di lapangan menjadi data-

data penting yang dibutuhkan sesuai dengan kajian dalam penelitian.

Reduksi data ini tidak hanya dilakukan pada awal penelitian saja, tetapi

sepanjang penelitian harus terus menerus dilakukan. Reduksi data ini

ditujukan untuk lebih menajamkan data, menggolongkan data,

mengarahkan hingga membuang data yang tidak dibutuhkan. Hal ini

untuk memudahkan peneliti dalam menarik kesimpulan hingga proses

verifikasi.

20
b. Penyajian Data

Penyajian data atau display data ini digunakan untuk lebih

menyistematikkan data yang telah direduksi untuk lebih utuh. Penyajian

data ini berupa penjelasan dalam kalimat-kalimat yang mampu

menggambarkan hasil penelitian secara jelas. Penyajian data ini kemudian

dimaknai oleh Miles dan Huberman sebagai sekumpulan informasi yang

tersusun yang memberi kemungkinan untuk penarikan kesimpulan serta

pengambilan tindakan.

c. Menarik Kesimpulan dan Verifikasi

Tahapan terakhir dalam analisa data yaitu menarik kesimpulan dan

melakukan verifikasi. Penarikan kesimpulan ini dilakukan dengan

menyusun data-data yang sudah didapatkan dalam penelitian secara

sistematis sesuai dengan urutan penyusunan laporan. Miles dan

Huberman memaknai tahap akhir ini sebagai penarikan arti data yang

telah ditampilkan oleh peneliti, dimana hal ini sesuai dengan pemahaman

peneliti serta interpretasi yang dibuat oleh peneliti. Penarikan kesimpulan

ini dapat dilakukan sejak awal penelitian berdasarkan data yang diperolah

namun sifatnya masih kabur/ belum final, dan semakin bertambahnya data

maka kesimpulan akhir yang dibuat akan lebih sesuai dengan data yang

ada di lapangan.

21
Gambar 1. 2 Model Interaktif Analisa Data oleh Miles dan Huberman

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan

Sumber: (Suharsaputra, 2012)

22

Anda mungkin juga menyukai