Anda di halaman 1dari 11

FENOMENA PERILAKU MASYARAKAT DALAM MEMBUANG

SAMPAH SEMBARANGAN DI KABUPATEN KARIMUN


Dian Puspita Anggreni
180721800245

Pengantar
Indonesia saat ini sedang diterpa isu penurunan kualitas lingkungan hidup.
Penurunan kualitas lingkungan hidup ini terjadi di daerah atau kota-kota yang
sedang berkembang. Kegiatan pembangunan dengan berbagai aktivitas
masyarakat mempunyai pengaruh langsung terhadap daya dukung lingkungan
sehingga terjadi pergeseran keseimbangan lingkungan yang tidak proporsional
dan tidak efisien menimbulkan permasalahan lingkungan hidup yang cukup
serius. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (dalam Lestari, 2014) menjelaskan bahwa lingkungan hidup
merupakan kesatuan ruang dengan semua benda atau kesatuan makhluk hidup
termasuk di dalamnya ada manusia dan segala tingkah lakunya demi
melangsungkan perikehidupannya dan kesejahteraan manusia maupun makhluk
hidup lainnya yang ada di sekitarnya.
Penurunan kualitas lingkungan hidup disebabkan oleh berbagai faktor,
salah satunya adalah pembuangan sampah secara sembarangan, penimbunan
sampah dan pengolaan sampah yang tidak tempat. Menurut data jambeck (2015)
Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang membuang sampah
plastik dengan cara di buang ke laut dengan jumlah (187,2) juta ton per tahun nya.
Faktor yang paling mempengaruhi peningkatan jumlah volume sampah plastik,
erat kaitannya dengan laju pertumbuhan penduduk dan ekonomi masyarakat di
suatu daerah (Azkha dalam Sukerti, dkk, 2007). Meningkatnya taraf hidup
masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan dan kepedulian
tentang pengelolaan sampah menjadi penyebab yang paling utama masalah
tersebut.
Secara keseluruhan sampah yang di hasilkan Indonesia mencapai 175.000
ton perhari, yaitu 0,7 kg perorang. Data statistik sampah di Indonesia tahun 2014
mencatat bahwa Indonesia menduduki negara penghasil sampah plastik kedua
terbesar di dunia setelah Cina (Geotimes, 2015). Setiap tahun diperkirakan
peningkatan volume sampah akan terjadi, seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk dan aktivitas masyarakat yang tinggi. Berbagai jenis sampah baik
degradable atau nondegradable akan tercampur menjadi satu dan menimbulkan
berbagai masalah seperti pencemaran udara, tanah ataupun air.
Secara umum orang beranggapan bahwa sampah adalah sesuatu barang atau
benda yang sudah tidak berguna. SK SNI Tahun 1990, sampah adalah limbah yang
bersifat padat terdiri dari zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna
lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi
investasi pembangunan (subekti, 2014). Colink (1996) menjelaskan bahwa Sampah
adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktifitas manusia maupun
proses alam yang belum memiliki nilai ekonomi. Sampah adalah limbah yang
berbentuk padat dan juga setengah padat, dari bahan organik atau anorganik, baik
benda logam maupun benda bukan logam, yang dapat terbakar dan yang tidak dapat
terbakar. Padmi (1982) Sampah berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti
pasar, rumah tangga, perkotaan (kegiatan komersial/ perdagangan), penyapuan
jalan, taman, atau tempat umum lainnya, dan kegiatan lain seperti dari industri
dengan limbah yang sejenis sampah. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa sampah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil
aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis.
Permasalahan sampah antara satu tempat dengan tempat yang lain tidak
akan sama, tergantung dari prilaku dan besarnya jumlah penduduk. Hasil
penelitian yang ada menunjukkan ada korelasi yang sangat erat antara jumlah
penduduk dengan peningkatan volume sampah. Prilaku membuang sampah
kebantaran sungai maupun menimbun sampah di sembarang tempat dapat memicu
terjadinya bencana seperti banjir maupun penurunankualitas air. Susilowati (2007)
menjelaskan bahwa sampah yang dibuang ke peraiaran atau ke bantaran sungai
akan membentuk “Pulau Sampah” yang akan memicu terjadinya banjir,
sedangkan sampah plastik dan kaca akan menurunkan tingkat kesuburan tanah.
Sampah yang bertumpuk akan menyebabkan kerusakan ekosistem darat maupun
laut. Pencemaran yang terjadi udara akibat bau dari sampah yang membusuk dan
pencemaran air akibat pembuangan sampah kelaut. Hal tersebut menjelaskan
bahwa prilaku manusia merupakan penyebab paling besar kerusakan lingkungan.
Karimun merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan
Riau. Pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat di kabupaten karimun,
mendorong orang-orang untuk datang dan bermukim di wilayah tersebut.
Peningkatan jumlah perpenduduk, mengakibatkan wilayah tersebut banyak
mengalami alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi berupa perubahan
lahan-lahan kosong menjadi lahan terbangun (perumahan atau pertokoan).
Sebelum terjadinya alih fungsi lahan, masyarakat Karimun memiliki budaya
tersendiri dalam pengelolaan sampah secara mandiri. Sampah rumah tangga yang
dihasilkan diolah dengan cara konvensional, yaitu melalui pembakaran.
Banyaknya alih fungsi lahan, menyebabkan masyarakat kehilangan lahan untuk
membakar sampah. Hal tersebut, pada akhirnya menimbulkan kebiasaan buruk
diantara masyarakat. Masyarakat pada akhirnya lebih memilih untuk membuang
sampah rumah tangga di lahan kosong ataupun di laut, tanpa memikirkan dampak
kedepannya.
Kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan sebuah kebiasaan baru
diantara masyarakat. Menurut Skinner dalam Hergenhahn (2008) perilaku yang
ditimbulkan oleh masyarakat merupakan respon dari stimulus yang dikenali
(rangsangan dari luar). Stimulus dalam permasalahan ini berupa sampah dan
hilangnya lahan pengelolaan sampah. Selain itu, prilaku tersebut juga di perparah
dengan kurangnya penyediaan lahan tempat pembuangan sampah sementara
(TPS). Hal ini sejalan dengan teori Green (1980) yang menganalisis mengenai
perilaku manusia pada tingkat kesehatannya. Green menjelaskan perilaku individu
dalam membuang sampah dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu, faktor pendorong dan
faktor pemungkin. Faktor pendorong meliputi mengenai sikap ataupun perilaku
dalam membuang sampah, faktor pemungkin meliputi sarana dan prasarana yang
tersedia di lingkungan. Pada awalnya prilaku tersebut hanya dilakukan oleh
segelincir orang, kemudian menjadi budaya yang terus menerus diikuti oleh
banyak orang. Prilaku membuang sampah secara sembarang tersebut, kemudian
menjadi kebiasaan yang membudaya ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu,
penurunan kualitas lingkungan terus saja terjadi baik di darat maupun laut.
Pada umumnya masyarakat Karimun membuang sampah di tempat
pembuang sementara (TPS) maupun tempat pembuangan akhir (TPA). Namun,
selain hal tersebut ada pula prilaku menyimpang seperti membuang sampah di
lahan kosong dan laut. Ketiadaan lahan sebagai tempat pembuangan, terbatasnya
sarana pengangkut, dan potensi ekonomi yang rendah menjadi alasan
terbentuknya prilaku membuang sampah di lahan kosong maupun laut.
Pengendalian tempat sampah liar tersebut tidak mudah di atasi. Perlu adanya
kesadaran dan komitmen bersama menuju perubahan sikap, perilaku dan etika
yang berbudaya dan berbasis lingkungan, sebagai upaya menggugah kepedulian
dalam penanganan permasalahan sampah.
Rendahnya tingkat kesadaran mayarakat untuk membuang, memproses
dan memilah sampah memperparah masalah lingkungan di daerah tersbut. Pola
pikir masyarakat cenderung memprioritaskan pemenuhan kebutuhan hidup
dibandingkan dengan membersihkan maupun mengelola sampah yang mereka
hasilkan. Kondisi tersebut didukung pula dengan sistem pengolahan sampah yang
masih buruk. Menurut kementrian lingkungan hidup dan kehutanan setiap
harinya sampah yang terkumpul pada Tempat Pembuang Akhir (TPA) Kabupaten
Karimun sebanyak 90, 42 Ton. Jumlah sampah tersebut, bukanlah jumlah
keseluruhan dari sampah yang dihasilkan masyarakat Karimun. Hal tersebut
dikarenakan tidak semua masayarakat Karimun membuang sampah sesuai dengan
prosedur yang seharusnya. Ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan
dipengaruhi oleh beberapa faktor mempermudah yaitu, pendidikan, pendapatan,
pengetahuan, dan sikap.

dilihat dari sudut pandang interaksi sosial budaya dalam suatu ruang.
Essay berikut akan menjelaskan permasalahan sampah di Kabupaten
Karimun dari sudut pandang hubungan interaksi sosial budaya. Prilaku yang terus
menerus dilakukan secara berulang-ulang, secara tidak disadari menjadi budaya
ditengah-tengah masyarakat. Adanya prilaku tersebut tentu saja disebabkan oleh
beberapa faktor pendorong seperti faktor lingkungan, pengetahuan, dan kesadaran
diri individu. Permasalahan sampah dari segi sosial budaya pada essay ini
berfokus pada faktor-faktor yang menyebabkan prilaku, dampak dari prilaku, dan
upaya penanganan prilaku membuang sampah sembarangan. Berikut akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai fenomena tersebut.

Isi
Karimun merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan
Riau. Pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat di kabupaten karimun,
mendorong orang-orang untuk datang dan bermukim di wilayah tersebut.
Peningkatan jumlah perpenduduk, mengakibatkan wilayah tersebut banyak
mengalami alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi berupa perubahan
lahan-lahan kosong menjadi lahan terbangun (perumahan atau pertokoan).
Sebelum terjadinya alih fungsi lahan, masyarakat Karimun memiliki budaya
tersendiri dalam pengelolaan sampah secara mandiri. Sampah rumah tangga yang
dihasilkan diolah dengan cara konvensional, yaitu melalui pembakaran.
Banyaknya alih fungsi lahan, menyebabkan masyarakat kehilangan lahan untuk
membakar sampah. Hal tersebut, pada akhirnya menimbulkan kebiasaan buruk
diantara masyarakat. Masyarakat pada akhirnya lebih memilih untuk membuang
sampah rumah tangga di lahan kosong ataupun di laut, tanpa memikirkan dampak
selanjutnya.
Kondisi tersebut pada akhirnya memunculkan sebuah kebiasaan baru
diantara masyarakat. Menurut Skinner dalam Hergenhahn (2008) perilaku yang
ditimbulkan oleh masyarakat merupakan respon dari stimulus yang dikenali
(rangsangan dari luar). Stimulus dalam permasalahan ini berupa sampah dan
hilangnya lahan pengelolaan sampah. Selain itu, prilaku tersebut juga di perparah
dengan kurangnya penyediaan lahan tempat pembuangan sampah sementara
(TPS). Hal ini sejalan dengan teori Green (1980) yang menganalisis mengenai
perilaku manusia pada tingkat kesehatannya. Green menjelaskan perilaku individu
dalam membuang sampah dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu, faktor pendorong dan
faktor pemungkin. Faktor pendorong meliputi mengenai sikap ataupun perilaku
dalam membuang sampah, faktor pemungkin meliputi sarana dan prasarana yang
tersedia di lingkungan. Pada awalnya prilaku tersebut hanya dilakukan oleh
segelincir orang, kemudian menjadi budaya yang terus menerus diikuti oleh
banyak orang. Prilaku membuang sampah secara sembarang tersebut, kemudian
menjadi kebiasaan yang membudaya ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu,
penurunan kualitas lingkungan terus saja terjadi baik di darat maupun laut.
Berdasarkan sudut pandang sosial budaya, prilaku tersebut di pengaruhi
oleh aspek lingkungan dan kesadaran diri individu. Dalam perspektif
behaviorisme, respon atau perilaku menyampah yang dilakukan individu baik pria
maupun perempuan dalam kasus yang sering terjadi disekitar kita merupakan
perilaku hasil pembiasaan yang dibentuk oleh lingkungan. Adanya interaksi
manusia dengan manusia lain maupun dengan lingkungannya, secara tidak
langsung akan mempengaruhi prilaku seorang individu. Pemahaman tentang
kepedulian tentang terhadap lingkungan nantinya akan berperan penting dalam
pengambil keputusan seorang individu. Hendak membuang sampah pada
tempatnya atau membuangnya di sembarang tempat. Selain karena pemahaman
individu terhadap lingkungan, prilaku individu yang peduli ataupun acuh tak acuh
terhadap lingkungan juga merupakan salah satu karakter yang telah tertanam sejak
dini. Faktor lingkungan erat kaitannya dalam proses pembentukan karakter
individu.
Keluarga sebagai lingkungan terdekat sebagai pondasi awal dari
penanaman karakter peduli terhadap lingkungan. Menurut Bailon dan Maglaya
(1978) keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. Yudistira (2013) menjelaskan
bahwa keluarga merupakan sistem terbuka sehinga dapat dipengaruhi oleh supra
sistem, yaitu lingkungan (masyarakat), dan sebaliknya sebagai sub sistem dari
lingkungan (masyarakat), keluarga dapat mempengaruhi masyarakat. Kebiasaan
seseorang membuang sampah semberangan secara tidak langsung dipengaruhi
oleh didikan dari lingkungan keluarga maupun masyarakat disekitarnya.
Pembiaran dari prilaku tersebut pada akhirnya akan terus berlajut sampai si
individu beranjak dewasa.
Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam hal tersebut. Guru dan
orang tua seharusnya memberikan contoh tentang sikap peduli lingkungan. Guru
bertanggung jawab untuk memberikan sejumlah norma kepada siswa agar tahu
mana perbuatan yang susila dan asusila, mana perbuatan yang bermoral dan
amoral. Semua norma itu tidak hanya diberikan guru ketika di dalam kelas, namun
saat di luar kelas sebaiknya keluarga juga turut serta memberikan contoh perilaku
peduli terhadap lingkungan. Penanaman prilaku tersebut bisa diterapkan melalui
sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang baik tentang membuang maupun
mengelola sampah. Setiap individu terbentuk dari apa yang telah ditanamkan dan
ia yakini sejak kecil. Hasil penelitian McGuigan (2011) menyatakan bahwa saat
masih kecil seorang individu lebih memungkinkan untuk meniru prilaku orang
dewasa dari pada meniru prilaku orang-orang seumurannya. Saat masih kecil,
seorang individu lebih cenderung memperhatikan lingkungan sekitarnya yang
kemudian mencoba menirukan perilaku orang-orang disekitarnya.
Besaran frekuensi membuang sampah akan semakin besar jika individu
tersebut berada di lingkungan yang kotor. Lingkungan yang kotor akan sangat
mempengaruhi individu tersebut untuk membuang sampah sembarangan, dan hal
tersebut sangat kecil kemungkinannya terjadi di lingkungan yang bersih.
Misalnya, orang-orang menonton film atau menghadiri acara olahraga membuang
sampah sembarangan. Perilaku tersebut dapat diterima karena ada seseorang yang
telah dibayar untuk membersihkannya. Hal tersebut membuktikan bahwa masih
kurangnya kepedulian dan kesadaran individu terhadap lingkungan (Ajaegbo
dalam Anifa, 2012). Membuang sampah pada tempatnya sering kali di anggap hal
yang sepele oleh kebanyakan orang di karenakan kurangnya rasa tanggung jawab
terhadap diri sendiri untuk menjaga lingkungan. Adanya penanaman norma-
norma tentang peduli lingkungan ditengah-tengah masyarakat, akan menjadi
pendorong utama kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan.
Prilaku peduli tersebut, digambarkan dengan membuang sampah pada tempatnya.
Prilaku masyarakat Karimun dalam membuang sampah berbeda-beda. Ada
kelompok yang memilih untuk berprilaku membuang sampah pada tempatnya,
ada pula kelompok yang memilih berprilaku membuang sampah tidak pada
tempat. Semua itu merupakan pilihan dari setiap individu untuk memutuskan
prilaku apa yang akan dipilih. Kebebasan tersebut berasal dari setiap pribadi
individu yang nantinya menjadi suatu tingkah laku yang nyata. Pemilihan
keputusan yang dilakukan individu didasarkan atas paradigma masyarakat yang
peduli terhadap lingkungan atau paradigma serba ingin praktis. Taylor dan
morgan dalam Applebaum (1987) melihat manusia sebagai penyebab perubahan
dan merupakan faktor determinan dari evolusi masyarakat. Oleh karena itu,
pemikiran merupakan dasar dari sebuah budaya. Morgan menjelaskan bahwa
logika alami dari pemikiran manusia merupakan penentu budaya disuatu tempat,
sedangkan taylor menjelaskan bahwa budaya merupakan hasil pengetahuan, dan
dia mengakui kenyataan bahwa dimana manusia berada, maka disanalah budaya
muncul. Jika memperhatikan prilaku masyarakat masyarakat Karimun. Pada
awalnya masyakat Karimun memiliki budaya untuk mengelola sampah sendiri
dengan cara tradisional (membakar dan open dumping). Adanya perubahan
kondisi lingkungan yang terjadi, menyebabkan budaya tersebut mengalami
evolusi. Budaya yang awalnya dimulai dengan mengelola sampah secara mandiri,
berubah menjadi sebuah budaya membuang sampah di lahan kosong dan di laut.
Ketersediaan sarana fasilitas tempat sampah tidak sebanding dengan
sampah harian merupakan salah satu faktor munculnya budaya membuang
sampah sembarangan. Hal tersebut dapat dilihat dari kurangnya ketersediaan
lahan pembuangan atau tempat sampah sementara (TPS). Menurut Umar (2009:2)
dalam kehidupan sehari-hari manusia memproduksi sejumlah sampah dalam
bentuk padatan dengan volume antara 3 – 5 liter atau sekitar 1 – 3 kg sampah/hari,
baik sampah organik maupun anorganik. Rasio bahan organik dengan bahan
anorganik sampah adalah antara 1 : 3. Menurut Umar sebagian besar sampah yang
dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60 – 70% dari
total volume sampah. Ketidaktersediaan lahan pembakaran maupun TPS di sekitar
masyarakat menjadi pertimbangan, masyarakat untuk mencari lahan kosong untuk
membuang sampah. Sampah rumah tangga terus dibuang setiap harinya hingga
menumpuk dan membentuk gunung. Prilaku tersebut kemudian ditiru oleh
masyarakat yang berada disekitar. Ketidakpekaan dari pemerintah daerah ataupun
desa untuk menyediakan TPS dan SDM untuk mengelolah sampah, menyebabkan
masalah sampah di wilayah ini tidak kunjung terselesaikan.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat dipahami bahwa prilaku masyarakat
yang selalu membuang sampah sembarangan disebabkan oleh faktor lingkungan,
pengetahuan, sikap, kesadaran diri, dan kurangnya fasilitas lahan pembuangan
sampah. Paradigma masyarakat yang serba ingin praktis turut serta dalam
pembentukan budaya membuang sampah di lahan kosong. Kenyamanan yang
muncul dari kepraktisan membuang sampah tanpa perlu mengolahnya maupun
mengeluarkan uang lebih, menyebab prilaku ini ditiru oleh banyak orang.
Pembiasaan dan pengulangan prilaku tersebut secara terus menerus dari generasi
kegenerasi tanpa disadari telah menjadi sebuah budaya ditengah-tengah
masyarakat. Penumpukkan sampah yang menggunung di lahan-lahan kosong
menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di wilayah ini. Oleh sebab itu, apabila
pemahaman peduli lingkungan sudah ditanamkan sejak dini, seharusnya
permasalahan sampah tersebut dapat diminimalisir lebih mudah. Namun, dengan
adanya kebiasaan yang membudaya tersebut, pada akhirnya menyebabkan
masyarakat terjebak pada zona nyaman dan enggan untuk mencari alternatif lain
dari masalah sampah yang ada.
Dampak yang ditimbulkan oleh masalah tersebut adalah penurunan
kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan dapat dilihat dari yaitu
pertama, terjadi pencemaran udara dalam hal ini timbulnya bau tidak sedap yang
dihasilkan dari sampah-sampah rumah tangga yang bersifat organik (mudah
busuk). Kedua, gangguan estetika yang disebabkan adanya sampah yang
berserakan dimana-mana. Ketiga, pembuang sampah di laut menyebabkan
penurunan kuantitas biota laut karena pencemaran air laut. Keempat,
menyebabkan terjadinya banjir level rendah hingga tinggi. Keliman,
mendatangkan berbagai macam penyakit karena keadaan lingkungan yang kotor.
Pemecahan dari masalah penumpukkan sampah yang ada di banyak titik
Kabupaten Karimun, berupa; 1) Penanaman nilai peduli terhadap lingkungan.
Penanaman nilai-nilai ini harus dilakukan oleh masyarakat, keluarga dan sekolah.
Penanaman nilai-nilai peduli terhadap lingkungan disetiap lapisan masyarakat,
akan mendorong kesadaran masyarakat itu sendiri untuk peduli dan berupaya
mencari solusi dari permasalahan sampah yang terjadi. Salah satu upaya yang bisa
dilakukan pengurangan jumlah penggunaan sampah plastik, maupun daur ulang
sampah yang masih bisa digunakan. 2) Pembangunan tempat pembuang sampah
(TPS) disetiap perumahan maupun area pertokoan. Banyaknya pembangunan
perumahan dan pertokoan yang tidak di imbangi dengan penyediaan TPS, akan
menyebabkan pembuangan sampah di setiap lahan kosong semakin bertambah. 3)
Penyediaan teknologi maupun SDM untuk mengangkut dan mengelolah sampah
yang telah di hasilkan oleh setiap perumahan maupun pertokoan. Stelah
pembangunan TPS, sampah yang ada perlu dikumpulkan dan di olah. Oleh sebab
itu, perlunya SDM dan teknologi untuk mengankut dan mengolah sampah yang
telah terkumpul.

Penutup
Karimun merupakan salah satu wilayah yang cukup banyak mengalami
perubahan atau alih fungsi lahan. Perubahan alih fugsi lahan tersebut, tidak di
iringin oleh kesiapan pemerintah maupun masyarakat untuk menghadapi masalah-
masalah selanjutnya. Lahan-lahan kosong berubah menjadi lahan terbangun,
seperti perumahan atau pertokoan. Hal tersebut, menyebabkan masyarakat
Karimun kehilangan lahan untuk mengolah atau membakar sampah yang
diproduksi setiap harinya. Kondisi tersebut kemudian mendorong terjadinya
perubahan budaya ditengah-tengah masyarakat. Budaya yang awalnya mampu
untuk mengelola sampah sendiri dengan cara tradisional (membakar dan open
dumping). Kemudian dengan perubahan kondisi lingkungan, menyebabkan
budaya tersebut mengalami evolusi. Budaya yang awalnya mengelola sampah
secara mandiri, selanjutnya berubah menjadi sebuah budaya membuang sampah di
lahan milik orang lain.
Pemecahan dari masalah penumpukkan sampah yang ada di banyak titik
Kabupaten Karimun, berupa; 1) Penanaman nilai peduli terhadap lingkungan.
Penanaman nilai-nilai ini harus dilakukan oleh masyarakat, keluarga dan sekolah.
2) Pembangunan tempat pembuang sampah (TPS) disetiap perumahan maupun
area pertokoan. 3) Penyediaan teknologi maupun SDM untuk mengangkut dan
mengelolah sampah yang telah di hasilkan oleh setiap perumahan maupun
pertokoan.

Daftar Pustaka
Anifa, dkk. 2017. Perbedaan Perilaku Membuang Sampah Pada Siswa Antara
Sebelum Dan Sesudah Diberikan Live And Symbolic Modeling.
Kalimantan Selatan: Universitas Lambung Mangkurat. (Online),
(https://media.neliti.com/media/publications/195889-ID-perbedaan-
perilaku-membuang-sampah-pada.pdf), diaksess 20 oktober 2018
Applebaum, Herbert. 1987. Perspectives in Cultural Anthropology. State
University of New York Press.
Bailon, S.G. & Maglaya, A. (1978). Perawatan Kesehatan Keluarga: Suatu
Pendekatan Proses (Terjemahan). Jakarta: Pusdiknakes
Hergenhahn, B. R. & Olson, M. H. 2008. Theories of learning (teori belajar) edisi
ke tujuh. Jakarta: Kencana.
Jambeck J.R. (2015). Plastick Waste Input From Land Into The Ocean Science.
347, no 6223
Jumiati, dkk. Sosiologi Lingkungan. Kalimantan Tengah: Universitas Palang
Karaya. Online, (https://www.academia.edu/12827433/Review_
Permasalahan_Sampah_dari_3_Sudut_Pandang_Teori_Sosiologi),
diaksess 20 oktober 2018
Geotimes, (2015). Produksi sampah di Indonesia 67,1 Juta Ton Sampah Per
Tahun. (Online), (http://geotimes.co.id/2019-produksi-sampahdi-
indonesia-671-juta-ton-sampah-per-tahun/), Diakses pada tanggal 20
Oktober 2018
Green Lowrence W. (1980). Healt Education Planning A Diagnostic Approach.
USA:Maytield Pubishing Compani
Lestari, Sinta. 2016. Perilaku Pedagang Dalam Membuang Sampah (Studi Di
Kawasan Bandar Jaya Plaza Kelurahanbandarjayatimur,
Kecamatanterbanggibesar, Kabupaten Lampung Tengah). Skripsi
diterbitkan. Bandar Lampung:Universitas Lampung. (online),
(http://digilib.unila.ac.id/24775/5/skripsi%20tanpa%20bab%20pembahasa
n.pdf) diakses pada tanggal 20 oktober 2018
Sukerti, dkk. 2017. Prilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Denpasar Timur Kota
Denpasar, Provinsi Bali. Ecotrophic. (Online),
(https://www.researchgate.net/publication/323983462_perilaku_masyarak
at_dalam_pengelolaan_sampah_dan_faktor-faktor_yang_mempengaruhi_
di_kecamatan _denpasar_timur_kota_denpasar_provinsi_bali), Di akess
20 Oktober 2018
Umar, Ibnu. 2009. Pengelolaan Sampah Secara Terpadu di Wilayah Perkotaan.
Bengkulu: Universitas Bengkulu
Yudistira, Hardani. 2013. Pola Perilaku Membuang Sampah Masyarakat
Kampung Sangir Kelurahan Titiwungen Selatan di Daerah Aliran Sungai
Sario. Sulawesi Utara: Universitas Sam Ratulangi. (Online),
(https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/view/1730), diakses
23 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai