Anda di halaman 1dari 5

Nama : Benediktus Telaumbanua

Nim : B1B121065

Judul : Pertarungan Aktor Dalam Konflik Penguasaan Tanah Dan Penambangan Pasir Besi Di Urut
Sewu Kebumen

Resume :
Konflik ekologi politik yang terjadi di Urut Sewu disebabkan karena adanya klaim tanah oleh
TNI AD yang mendapat legitimasi dari pemerintah. Klaim ini menyebabkan masyarakat mengalami
marginalisasi ekonomi dan politik. Padahal, pemerintah merupakan komponen negara yang
berkewajiban mendistribusikan kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat
UUD 35 pasal 33 ayat 3.
Fakta menunjukkan bahwa negara tidak serius menangani persoalan ini. Pemerintah justru
melakukan pembiaran ketika TNI berusaha reunsertif ikasi tanah di wilayah Urut Sewu dengan
menggunakan dasar IKN Nomor Register 30709034 dalam surat bernomor S-825/KN/ 2011. Surat ini
dibuat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan bertanggal 29 April 2011 yang
berisi tentang penelusuran data dokumen tempat latihan uji coba senjata TNI AD di Urut Sewu. BPN
yang dikawal oleh TNI AD terus melakukan pengukuran tanah dari desa Wiromartan hingga
Ayamputih. Upaya lain ditempuh TNI AD yaitu dengan melakukan pemagaran tanah sejak Desember
2013.
Tahun 2014 menjadi tahun keempat bagi PT MNC sejak diberikannya izin produksi oleh
KPPT Kebumen. Artinya, selama empat tahun ini PT MNC tidak melakukan produksi sehingga target
keuntungannya tidak tercapai. Sebaliknya, PT MNC harus mengeluarkan dana untuk mendapatkan
MoU dengan pihak desa, membayar biaya untuk berkonsolidasi dengan warga yang mau mendukung
program mereka, serta menanggung kerusakan alat berat yang ada di Desa Wiromartan. PT MNC
hanya memiliki sisa waktu 6 tahun untuk melakukan penambangan jika merunut pada izin produksi.
Kecil kemungkinan PT MNC akan menyerah begitu saja, karena telah mengeluarkan modal yang
cukup besar.
Penyelesaian konflik di Urut Sewu tidak akan selesai apabila pemerintah yang memiliki
otoritas tidak bertindak tegas dan objektif dalam menyelesaikan persoalan kepemilikan tanah dan
fungsinya. Ada dua hal yang perlu dilakukan dalam penyelesaian konflik di Urut Sewu. Pertama,
menuntaskan sengketa tanah Urut Sewu. Bukti yang dimiliki oleh masyarakat berupa sertifikat dan
letter C desa menjadi bukti kepemilikan tanah yang sah. Sedangkan klaim yang dilakukan TNI AD
berdasarkan pengakuan oleh instansi yang berwenang ini pada hakikatnya hanya pengakuan bahwa di
lahan tersebut digunakan sebagai area latihan TNI AD, bukan menyatakan bahwa lahan tersebut
adalah milik TNI AD. Kedua, mencabut izin penambangan pasir besi pada PT MNC karena izin
tersebut telah cacat dengan adanya rekomendasi oleh Kodam Diponegoro, terlebih rekomendasi
tersebut pun telah dibatalkan oleh pihak Kodam Diponegoro.

Aktor-aktor konflik :
• Masyarakat
• TNI AD
• Investor
• Pemerintah Kabupaten
• LSM local dan nasional

Peranan Para Aktor :


• Masyarakat yang menggunakan tanah ini untuk tanah pertanian dan akan merasakan
dampak langsung dari penambangan pasir besi
• TNI AD yang menggunakan tanah untuk latihan dan uji coba senjata. Dari
penambangan ini TNI AD akan mendapatkan keuntungan ekonomi dari perusahaan
• Investor yang akan mengekstraksi pasir besi. Investor ini merupakan bagian dari
perusahaan multinasional.
• Pemkab yang ingin memperoleh pendapatan daerah untuk meningkatkan PAD
• LSM lokal dan nasional yang mendukung perjuangan masyarakat Urut Sewu.

Judul : Forest conflict in Asia and the role of collective action in its management (Konflik
hutan di Asia dan peran tindakan kolektif dalam pengelolaannya)
Resume :
Penyebab mendasar dari konflik hutan sering kali adalah persoalan-persoalan
mendasar seperti sengketa kepemilikan tanah dan klaim yang tumpang tindih, kurangnya
koordinasi antar negara lembaga, dan kebijakan konservasi dan pembangunan ekonomi yang
memprioritaskan global dan kepentingan nasional di atas kepentingan, kebutuhan, dan
aspirasi lokal. Penyebab langsung dari konflik hutan mencakup perusakan aset, hilangnya
pendapatan dan penghidupan peluang, penggusuran masyarakat lokal dari tanah mereka,
polusi, dan masih banyak lagi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dari
investasi.
Konflik masyarakat-luar dikelola melalui berbagai konflik strategi manajemen.
Seringkali, sejumlah strategi diterapkan mengatasi konflik tertentu. Empat strategi umum
ditemukan untuk digunakan mengelola konflik atas hutan: penghindaran, pemaksaan,
negosiasi, dan mediasi. Meskipun bukan merupakan teknik manajemen, namun pengaturan
co-management merupakan teknik manajemen bersama berhasil digunakan bersama dengan
mediasi dalam beberapa kasus. Pilihan dari Strategi pengelolaan konflik dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Salah satu yang utama faktornya adalah kekuatan. Ketika para aktor sangat
berkuasa, kemungkinan besar merekalah yang berkuasa akan melakukan paksaan.
Sebaliknya, aktor lemah seperti masyarakat lokal dan masyarakat adat mungkin tidak punya
pilihan selain menghindari konflik terbuka.
Terakhir, konflik dapat mempunyai dampak positif dan negatif secara kolektif
tindakan. Di satu sisi, hal ini dapat mendorong tindakan kolektif, terutama jika dilakukan
secara local institusi sudah kuat. Di sisi lain, konflik juga bisa melemah tindakan kolektif,
khususnya ketika institusi lokal lemah. Sejumlah factor mempengaruhi bagaimana konflik
akan berinteraksi dengan tindakan kolektif. Antara lain konflik Dampak terhadap Tindakan
kolektif ditentukan oleh sejauh mana tujuan dan kepentingannya dibagikan oleh anggota
masyarakat, sejauh mana dampak negatifnya didistribusikan secara merata di antara individu-
individu dalam kolektif, dan sejauh mana mengatasi konflik saat ini dapat secara efektif
menjadi preseden yang dapat menghalangi masa depan konflik. Pada gilirannya, kekuatan
aksi kolektif di tingkat komunitas dapat membantu menentukan keberhasilan dan kegagalan
manajemen konflik.

Judul : Stakeholder conflicts and forest decentralization policies in West Kalimantan: their
dynamics and implications for future forest management (Konflik pemangku kepentingan dan
hutan kebijakan desentralisasi di Kalimantan Barat: dinamika dan implikasinya bagi masa
depan pengelolaan hutan)

Resume :
Implementasi kebijakan desentralisasi kehutanan di Kalimantan Barat mengakibatkan
konflik antara pemerintah daerah dan pusat mengenai kewenangannya mengeluarkan izin
penebangan. Selain itu, kebijakan desentralisasi kehutanan juga tercipta konflik lokal antar
pemangku kepentingan mengenai batas wilayah, pembagian manfaat, dll. Tidak mekanisme
manajemen konflik yang sistematis telah digunakan untuk mengatasi hal ini konflik.
Akibatnya banyak konflik yang menimbulkan dampak negative seperti kurangnya
kepercayaan, pembalakan liar, tuduhan dll. Namun demikian, hal tersebut memang terjadi
berpendapat bahwa ada potensi untuk mengelola konflik melalui Pembangunan keterampilan
komunikasi dan negosiasi. Konflik dalam pengelolaan sumber daya harus diantisipasi sejak
awal agar bila timbul dapat diatasi cukup.

Judul : Menyelesaikan Konflik Penguasaan Kawasan Hutan Melalui Pendekatan Gaya Sengketa Para
Pihak Di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lakitan

Resume :
Konflik yang terjadi melibatkan masyarakat dengan KPHP Lakitan dan masyarakat
dengan pemegang ijin usaha hutan tanaman industri PT. Paramita Mulia Langgeng. Pihak
masyarakat desa Campursari, Muara Megang1, Jajaranbaru I, Bamasco, Lubuk Rumbai dan
PT. PML memilih gaya kompromi. Hanya desa Sukakarya yang memilih gaya kolaborasi.
Warga desa Jajaranbaru II dan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas memilih kompetisi.
KPHP Lakitan menerapkan gaya akomodasi, sedangkan warga Pagerayu dan Mulyosari
memilih menghindar dalam menghadapi konflik.
Pihak bergaya sengketa kompromi, akomodasi dan kolaborasi difasilitasi dan
dimediasi untuk mengusulkan Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan guna mendapatkan
legalitas pengeloalan sekaligus pengakuan hutan negara, oleh karena itu penerbitan Ijin Hutan
Desa dan Hutan Kemasyarakatan penting dipercepat. Peran pihak luar yang tidak ada
hubungan konflik sangat penting untuk memfasilitasi dan memediasi para pihak menuju
penyelesaian konflik.
Pihak yang berkompetisi perlu dimediasi sehingga gayanya berubah kompromi,
akomodasi ataupun kolaborasi. Kalaupun tetap pada gayanya kiranya akan menghasilkan
pilihan yang konstruktif untuk memperoleh haknya atas lahan melalui pelepasan kawasan
hutan. Pihak yang bergaya menghindar perlu dilakukan komunikasi intensif agar menyadari
adanya konflik atau berubah ganyanya untuk berkompromi.

Aktor-aktor Konflik :

• Masyarakat dengan KPHP Lakitan

• Masyarakat dengan pemegang ijin usaha hutan tanaman industri PT. Paramita Mulia
Langgeng.

Peranan Para Aktor :


Judul : Penyelesaian Konflik Sumber Daya Hutan Secara Kolaboratif Kemitraan

Resume :
Pertama, pengertian masyarakat lokal berbeda dengan masyarakat adat. Eksistensi
masyarakat adat itu dikenal dari adanya kelompok yang homogenitas, mempunyai aturan-
aturannya sendiri dan adanya kepala adat yang mengawasi aturan-aturan adat tersebut
dipatuhi. Masyarakat yang semacam itu diakui keberadaannya dan hak-haknya atas sumber
daya alam hutan dalam kawasan teritorialnya.
Pengaturan semacam ini dapat direplikasikan pada masyarakat lokal yang sudah
heterogen, berkenaan dengan hak-hak mereka atas sumber daya alam dari hutan disekitar
kawasan mereka. Seperti hak-hak masyarakat adat, yang diatur dalam suatu Peraturan
Daerah, hak-hak masyarakat lokal dapat juga diatur dalam suatu Peraturan Daerah. Ketaatan
kepada peraturan ini diawasi oleh Kepala Dusun, sehingga penentuan hak-hak mereka atas
sumber daya alam hutan disekitarnya, sekaligus merupakan partisipasi mereka dalam
pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam tersebut.
Bahkan pengaturan semacam itu dapat diturunkan pula dalam Peraturan Desa yang
lebih detail dimana kelompok-kelompok masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam
pengelolaan sumber-sumber daya alam di hutan sekitar desa mereka, sekaligus memetik
manfaat dari hutan yang lestari tersebut.
Kedua, bahwa pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten, secara normatif seharusnya dapat menyebabkan masyarakat lokal
dapat menikmati hak-hak mereka. Namun demikian pada kenyataannya masyarakat lokal
masih belum dapat sepenuhnya menikmati hak-hak mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya masih terdapat tumpang tindih antara kebijakan pemerintah pusat
dan kebijakan pemerintah daerah tentang apa saja yang menjadi kewenangan masing-masing.
Adanya pandangan dari kalangan pemerintah yang masih menganggap bahwa masyarakat
lokal hanya merupakan pihak yang akan merambah kawasan juga merupakan faktor belum
terpenuhinya hak-hak mereka, yang pada kenyataannya justru mereka mempunyai kearifan
tradisonal dalam mengelola kawasan taman nasional.
Ketiga, penyelesaian yang komprehensif untuk mengakhiri konflik kepentingan dalam
pengelolaan sumber daya hutan di Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, adalah
dengan menggunakan mekanisme penyelesaian kolaboratif. Dalam penyelesaian konflik
pemanfaatan hutan di Tangkahan dengan penyelesaian kolaboratif dapat dibuktikan oleh
beberapa hal. Salah satu bukti yang pertama adalah terbentuknya Lembaga Pariwisata
Tangkahan (LPT) yang merupakan lembaga hasil pembentukan masyarakat lokal dalam
mengelola kawasan ekowisata Tangkahan. Bukti kedua adalah adanya Peraturan Desa yang
mengikat dua desa yaitu desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang untuk ikut dalam
mengelola kawasan dan memanfaatkan sumber daya hutan. Peraturan Desa tersebut semakin
menambah kesadaran masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan illegal logging di
sekitar kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser. Bukti ketiga adalah adanya
kerjasama nyata antara Balai Taman Nasional Gunung Leuser dengan pihak Lembaga
Pariwisata Tangkahan (LPT) untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan ekowisata secara
bersama-sama.
Judul : Konflik Kontestasi Aktor Intra Desa : Buah Demokrasi Minus Transformasi

Resume :
Desa merupakan media demokrasi paling asli dan tertua di Indonesia yang menjadi
arena kontestasi politik aktor intra desa yaitu : pemerintah desa, masyarakat politik dan
masyarakat desa itu sendiri. Pergeseran kontestasi aktor dari masa Orde Baru ke Orde
Reformasi membuahkan kembalinya demokrasi ke pangkuan desa. Anehnya, benih
demokrasi desa justru mengarah pada konflik yang menajam dan terkonsolidasi antara arus
bawah dengan elit lokal. Elit lokal terjebak pada formalisme, romantisme dan konservatisme
dalam menjalankan pemerintahan sementara arus bawah menjawabnya dengan gerakan
delegitimasi ekstra institusional bahkan anarki. Perhatian terbesar adalah bagaimana
mentransformasikan masa depan demokrasi desa ditengah kontestasi penuh konflik ini.

Anda mungkin juga menyukai