Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah, atas karunia-Nya
lah kami akhirnya bisa menyelesaikan tugas ini. Tugas ini membahas tentang Konflik Pertanhan Lahan Perkebunan Kali Bakar antara PTPN XII dengan masyarakat.
Dalam penyusunan tugas ini, kami banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan tugas selanjutnya. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah sebenarnya tercipta karena adanya konflik kepentingan
pertanahan antara siapa dengan siapa. Contoh konkrit antara individu dengan individu, individu dengan badan Hukum, badan hukum dengan badan hukum. Masalah pengselisihan penggunaan lahan adalah konflik yang muncul antara komunitas yang bertikai langsung dengan badan hukum yaitu PTPN XII (Persero). Perkebunan Kalibakar merupakan bekas perkebunan Belanda yang berasal dari sebagian tanah pribadi yang terdaftar di: 1) NV. Mijte Exploitative van Het land pentung ombo, 2) NV. Mij Exploitative van Het land Sumber Tlogo, (3) NV. Mij Exsploitative van Het Land Kalibakar, (4) NV. Zuid Dreanger Rubber Mej,
Yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1897-
1890. Seluruh area luas kebun 8.828,84 ha dengan hak istimewa selama 75 tahun. Perkebunan ini berada di 5 (lima) desa yaitu Desa Simojayan, Desa Tirtoyudo, Desa Kepatihan, Desa Tlogosari dan Desa Bumirejo dengan luas wilayah 4.826 ha. Konflik dimulai dengan program nasionalisasi negara bekas Perkebunan Belanda, dimana semua bekas perkebunan Belanda diambil alih Negara termasuk Perkebunan Kalibakar. Yaitu dengan surat keputusan Kementerian Dalam Negeri pada 18 Juni, hak guna usaha berakhir Untuk PTPN XII dengan luas 2.050 hektar, berlaku sampai dengan tahun 2013. Terjadi konflik kepentingan dalam pengambil alihan tanah yang “dikuasai” oleh masyarakat dan perbedaan antara petani sebagai pemilik tanah dan PTPN XII atau Pemerintah. Benturan kepentingan ini terwujud dalam berbagai bentuk penentangan terhadap gerakan, yaitu karena kepentingan masyarakat. Ditambah lagi dengan terjadinya konflik karena perbedaan persepsi keduanya. PTPN XII mendasarkan dan mempertimbangkan pemberian Hak Guna Usaha tanah bukan milik rakyat. Ketika orang berpikir tentang negara Ini adalah tanah leluhur mereka. Begitu dalam kesadaran publik dan provokasi sistematis dan simultan pada laju reformasi, di mana otoritas hukum dan pemerintah melemah. Kondisi ini kemudian dijadikan sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan yakni melakukan reclaiming action , yaitu penerapan langkah-langkah pemulihan. Pembabatan habis-habisan terhadap tanaman Jawa Cacao dilakukan secara sistematis dari tahun 1993-1998. Pembersihan dilakukan untuk memisahkan area Luas 10,5 hektar dengan total luas 2.050 hektar.
Konflik yang berlangsung selama 17 tahun itu kembali muncul
pada tahun 2013, saat hak pakai PTPN berakhir. Namun, masyarakat tetap menguasai lahan hak guna usaha PTPN XII yang masih dalam tahap awal mendapatkan kembali haknya. Perpanjangan HGU yang benar-benar ketinggalan jaman Perlu diketahui, ini bukan alasan PTPN melarang masyarakat bercocok tanam Negara itu dulunya adalah tanah negara. Namun PTPN terpaksa menolak tanah yang dikuasai pihak lain. Lalu konflik ini tidak pernah mendapatkan titik pertemuan untuk kegagalan Penyelesaian sengketa tanah melalui majelis arbitrase yang dibentuk pemerintah. Tim mediator hanya sebatas penyelenggara rapat untuk mempublikasikan hasil rapat Pihak yang berseberangan tidak dapat menyetujui masalah tersebut dan pihak berwenang tidak menyelidiki masalah tersebut Menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian Kajian ini berfokus untuk menemukan akar konflik antara PTPN XII dan PTPN XII. Masyarakat Kalibakar dan upaya penyelesaian konfliknya. B. FAKTOR KONFLIK PERTANAHAN
Dalam konflik terkait masyarakat dengan PTPN XII ada
penyebab Ketegangan antara keduanya berasal dari beberapa faktor. Pertama, pihak-pihak yang berkonflik (penduduk kota Simojayan, Desa Tirtoyudo dan desa Bumirejo dengan PTPN XII) memiliki persepsi yang berbeda status negara yang disengketakan. Ketidak sepakatan ini muncul sejak tahun 1942. PTPN XII mengikuti Surat Keputusan Menteri Pertanian No.49/UM/1953: tanggal 17 April 1958 yang menjadi dasar pemberian Hak Guna Usaha untuk PTPN XII tahun 1988. Sedangkan lemah dari depan Menurut hukum formal, petani percaya bahwa tanah tersebut adalah tanah nenek moyang mereka. Penerbitan sertifikat hak guna usaha menurut PTPN XII No.49/HGU/DA/88 tanggal 18 Juni 1936 di atas tanah seluas 7.330 hektar.
Betul sekali Penggunaan komersial yang berlaku maksimal 25
tahun sejak dikeluarkannya pesanan yang berakhir pada 12/31/2013.9 Menurut perusahaan Prosedur pemberian HGU secara administratif cacat. di samping itu, pendiri berpendapat bahwa proses penerbitan HGU sudah tepat dengan prosedur yang telah ditetapkan. Kemudian konflik antara PTPN XII dan Masyarakat sempat memanas pada tahun 2013 karena sahnya HGU PTPN XII sudah habis. kebencian terhadap perilaku, sikap dan kebijakan yang dibuat oleh perkebunan. Menurut masyarakat, sikap yang di lakukan pihak perkebunan itu kejam dan menyakitkan. Selain itu, perusahaan menganggap sikap dan kebijakan perkebunan tidak tepat dengan norma dan harapan masyarakat sekitar. Kehadiran perkebunan juga dianggap tidak memberikan kesejahteraan bagi desa dan penduduknya.
Bertentangan dengan apa yang dikomunikasikan oleh
masyarakat, menanam menganggap bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perbedaan keduanya juga terlihat jelas, di mata masyarakat perkebunan, ada masyarakat yang hanya tahu bagaimana mengambil tanah rakyat dan mempekerjakan petani sebagai buruh dengan upah rendah. Sementara di mata perkebunan, hanya karyawan yang diwajibkan untuk menerapkan aturan tersebut . pernyataan petani oleh PTPN XII. Ada konflik diendapkan selama bertahun-tahun, mulai memanas kembali pada tanggal 15 Desember 2015. Kasus PTPN XII dilaporkan 37 orang ke pihak berwajib dengan dugaan perampasan tanah dan tindakan vandalisme dan penggunaan tanah ilegal PTPN XII. Selanjutnya, laporan itu juga dibuat dengan tuduhan masuk ke halaman dan ambil tanah di bawah pasal 167 dan pasal 385 KUHP dan UU Perkebunan No. 39 2014. Laporan tentang tindakan yang diambil pihak perkebunan berhasil memancing reaksi sekaligus aksi masyarakat di mana konflik berlanjut hingga hari ini.
C. AKTOR YANG TERLIBAT
Persoalan konflik tidak bisa terlepas dari relasi antar aktor yang terlibat. Namun, sering kali relasi yang terbangun diantara keduanya tidak seibang. Relasi itulah yang terjadi dalam konflik di Perkebunan Kalibakar. Aktor tersebut adalah PTPN XII yang berhadapan dengan petani di tiga desa yakni: Desa Simojaya, Desa Tirtoyudo dan Desa Bumirejo. Para pendukung masyarakat berasal dari kelompok kepentingan yaitu: Kelompok advokasi yang diwakili oleh LBH Surabaya Perwakilan Malang. Berikutnya adalah kelompok organisasi politik yang diwakili oleh PPP, PDI-P dan Golkar. Sampai sekarang, dukungan masih diberikan oleh beberapa partai politik kepada masyarakat Kalibakar. Namun, bantuan yang diberikan partai politik bersifat populis yakni guna mendapatkan dukungan berupa suara dalam pemilah umum. Terakir adalah kelompok organisasi sosial yang diwakili oleh Forum Komunikasi Petani Malang Selatan. Ketiga kelompok kepentingan tersebut berhadapan langsung dengan pihak perkebunan yang diwakili oleh beberapa kelompok yakni kariyawan baik staff maupun buruh dan mandor. Kemudian dari kelompok advokasi yang diwakili oleh BKBH Unibraw Malang yang menjadi kuasa hukum perkebunan. Dukungan diberikan dengan dalih untuk menandingi aksi-aksi yang dilakukan masyarakat. Dinamika konflik yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, membuat masing-masing pihak yang berkonflik melakukan berbagai upaya untuk keluar dari lingkaran konflik. Upaya yang sudah ditempuh yakni upaya persuasif hingga represif, namun upaya tersebut belum mampu meredam keteangan diantara keduanya. Kondisi tersebut memembuat masyarakat di semua desa yang terlibat sekaligus pemerintah desa berpangku tangan untuk segera menyelesaikan konflik. Upaya pertama yang dilakukan oleh masyarakat adalah menggunakan cara damai, yakni dengan cara meminta kembali tanah kepada pihak PTPN XII sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian lisan tahun 1951 silam. Namun, cara damai yang digunakan masyarakat tidak mendapatkan tanggapan hingga pada akhirnya masyarakat beserta tokoh-tokohnya memutuskan untuk melakukan cara koersif yakni dengan melakukan reclaiming action. Proses rekaliming atau pendudukan tanah perkebunan oleh masyarakat berjalan dengan sistematis dan masyarakat berhasil mendapatkan hampir seluruh luas tanah perkebunan. Namun, meskipun secara de facto tanah sudah dikuasi oleh masyarakat, hingga kini masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan legalitas atas tanah tersebut. Guna menangani kesulitan dalam mendapatkan legalitas, petani bersama para stakeholder menempuh pelbagai cara. Cara pertama yakni mencari kelemahan Hak Guna Usaha yang didapatkan oleh PTPN XII. Masyarakat menemukan banyak kejanggalan dalam prosedur peneribitan HGU, yang kemudian masyarakat menganggap izin atas Hak Guna Usaha PTPN XII cacat secara hukum. Upaya berikutnya yakni meminta dukungan Bupati dan DPRD dalam memperjuangkan hak atas tanah Perkebunan Kalibakar. Selanjutnya, yakni meminta bantuan LBH sebagai kuasa hukum masyarakat dalam menghadapi reaksi dari pihak PTPN XII. Kemudian masyarakat juga melakukan aksi unjuk rasa ke BPN dan PTPN XII untuk meminta bukti mengenai prosedur perpanjnagan Hak Guna Usaha PTPN XII. Perjuangan menyelesaiakn konflik juga dilakukan oleh pemerintah desa, dimana pemerintah berusha melakukan upaya- upaya birokratis dan negoisasi kepada pihak yang berwenang terkait solusi atas konflik ini. Interaksi antara masyarakat dengan pemerintah berdampak pada strategi penyelesaian konflik yang dilakukan oeh masyarakat, yaitu: a) Menolak segala bentuk tawaran yang diajukan oleh PTPN XII; (b) Membentuk panitia penyelesaian tanah di masing-masing desa; (c) Membentuk jaringan sosial para petani dalam wadah Forum Komunikasi Petani Malang Selatan dan mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Menteri Agraria. Pihak PTPN XII menggunakan strategi yang berbeda dengan masyarakat. Menyadari semakin menguatnya perjuangan para petani, PTPN melakukan beberapa upaya yakni: (a) Menempuh jalur hukum yakni dengan melaporkan para penggerak petani atau provokatir ke pihak yang berwajib agar dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. (b) Melakukan pendekatan kepada masyarakat sekaligus perangkat desa di masing-masing desa yang berkonflik. Upaya tersebut dilakukan dengan beberapa metode yakni melakukan penyuluhan hukum pada warga, melakukan beberapa kali rapat koordinasi dengan semua pihak yang terkait dan melakukan silaturahmi dengan warga setempat. (c) Melakukan penawaran menjalankan kerjasama dalam bentuk pola kemitraan. Pola kemitraan dilakukan dengan cara PTPN XII menanam tanaman pokok sedangkan warga diberi kesempatan menanam tanaman sela. (d) PTPN XII melalui kuasa hukumnya mengirim surat kepada Menteri Pertanian dan Agraria guna menegaskan status kepemilikan tanah perkebunan. Langkah ini digunakan dengan pertimbangan bahwa secara kelembagaan pihak yang berwenang menyelesaikan kasus tanah Perkebunan Kalibakar adalah pemerintah pusat. Dalam upaya penyelesaiaan konflik, pemerintah Kabupaten Malang membentuk tim penyelesaian konflik pertanahan yang bernama Pokja 19 Penyelesaian tanah Kabupaten Malang. Tim tersebut bertanggung jawab untuk memfasilitasi penyelesaian konflik antara PTPN XII dengan masyarakat secara netral dan tidak memihak. Beberapa upaya penyelesaian konflik sudah dilakukan olek Pokja adalah melakukan rapat koordinasi dan menempuh jalur birokratis kepada pemerintah pusat mengenai penyelesaian konflik ini. Namun secara umum Pokja Penyelesaian Tanah memberikan win-win solution dimana tanah 50% diberikan kepada masyarakat dan 50% dikembalikan kepada perkebunan.Masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik ini saling bersikeras untuk medapatkan keinginanya akan tanah Perkebunan Kalibakar. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan tanah diwujudkan dalam berbagai macam upaya yakni melakukan penyelesaian di pengadilan atau menggunakan jalur hukum sedangkan cara yang kedua adalah penyelesaian di luar pengadilan. Pihak perkebunan dalam usaha menyelesaikan konflik lebih dominan menggunakan jalur hukum yakni dengan melaporkan beberapa petani yang disinyalir menjadi aktor utama dalam pergerakan petani dan melanggar hukum. Namun, aksi yang sudah dimulai sejak tahun 1996 dan terakir pada tahun 2015 hingga kini belum mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Kemudian penyelesaian konflik juga dilakukan melalui jalur luar pengadilan yakni dengan menggunakan cara negosiasi atau musyawarah. metode ini menggunakan cara dimana pihak-pihak yang berkonflik melakukan komunikasi secara terbuka yang berujung pada sebuah kesepakatan berupa kompromi. Upaya terakir yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan Kementrian BUMN RI pada tanggal 6 Juni 2016 di Jakarta yang menghsilkan kepastian bahwa kewenangan untuk melepaskan tanah Kalibakar berada di tanan Direksi PTPN II dan BUMN RI. Hal itu dikarenakan saham PTPN XII sudah dikuasai oleh PTPN XII sebesar 90%. D. UPAYA PENYELESAIAN Pemerintah Kabupaten Malang sedang mengupayakan solusi atas konflik tersebut dengan membentuk kelompok penyelesaian pertanahan yang disebut kelompok kerja Penyelesaian Pertanahan di Kabupaten Malang. Tim bertanggung jawab Memfasilitasi penyelesaian konflik antara PTPN XII dengan masyarakat netral dan tidak memihak. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut Pokja harus mengadakan rapat koordinasi dan mengikuti jalur birokrasi kepada pemerintah pusat untuk penyelesaian konflik ini. Tapi secara umum Pokja Penyelesaian Lahan menawarkan solusi dimana 50% lahan diberikan kepada masyarakat dan 50% dikembalikan ke perkebunan. Masing-masing pihak dalam konflik ini saling bersih keras untuk mendapatkat keinginannya dari tanah Perkebunan Kalibakar. Keinginan yang kuat untuk memperoleh tanah terwujud dalam berbagai upaya yaitu untuk mencapai kesepakatan di pengadilan atau menggunakan jalur hukum, sedangkan cara lainnya adalah penyelesian di luar pengadilan. Para pihak Perkebunan menyelesaikan konflik lebih dominan dengan cara hukum yaitu dengan melaporkan kelompok petani yang dikatakan telah menjadi aktor utama dalam gerakan tani dan melanggar hukum. Namun, tindakan ini Telah diluncurkan sejak tahun 1996 dan yang terakhir pada tahun 2015 tetapi belum mendapatkan hasil yang diinginkan. Kemudian, penyelesaian konflik juga dilakukan melalui jalur eksternal pengadilan, terutama melalui negosiasi atau diskusi. Metode ini menggunakan cara yang dilakukan pihak-pihak yang berkonflik dengan komunikasi terbuka diakhiri dengan kesepakatan bentuk kompromi. Upaya terakhir dilakukan untuk mengadakan pertemuan dengan BUMN RI ditetapkan pada tanggal 6 Juni 2016 di Jakarta yang menghasilkan kekuatan untuk melepaskan tanah kalibakar berada ditanah Direktur PTPN II dan BUMN RI. Hal itu dikarenakan saham PTPN XII 90% dikuasai oleh PTPN XII. Selain dua upaya di atas, pihak perkebunan juga melakukan penawaran bekerjasama dengan masyarakat. Sesuai dengan apa yang dikatan oleh Bernhard Limbong. Model kemitraan adalah hubungan Kerja sama terpadu antara penggarap dengan perkebunan di mana saling menguntungkan dan menghormati posisi masing-masing. Mekanisme koperasi yang diusulkan oleh perkebunan di 2007, namun masih ditolak oleh masyarakat. Penolakan karena masyarakat menginginkan model kerjasama dalam pengertian Orang-orang yang memiliki tanah dan perkebunan adalah pengelolanya. Masyarakat di desa Bumirejo telah membentuk model kerjasama dengan para pihak perkebunan. Namun, model kerjasama yang terjalin antara kedua pihak tidak demikian berlangsung lama dengan alasan model kooperatif tidak tercipta kesejahteraan bagi warga desa Bumirejo.