Anda di halaman 1dari 14

“KONFLIK PERTANAHAN PERKEBUNAN KALIBAKAR

ANTARA PTPN XII DENGAN MASYARAKAT”

Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah

HUKUM AGRARIA

Oleh :

Imron Jamil Zilfi Hamdani

Ismail Asma Eza M.Uzafillah Fadli

Rifki Mubbarok Ahmad Hikam

Nova octaviana Titania cicha

PROGAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QOLAM

GONDANGLEGI MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah, atas karunia-Nya


lah kami akhirnya bisa menyelesaikan tugas ini. Tugas ini membahas
tentang Konflik Pertanhan Lahan Perkebunan Kali Bakar antara PTPN XII
dengan masyarakat.

Dalam penyusunan tugas ini, kami banyak mendapat tantangan dan


hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan tugas
selanjutnya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah sebenarnya tercipta karena adanya konflik kepentingan


pertanahan antara siapa dengan siapa. Contoh konkrit antara
individu dengan individu, individu dengan badan Hukum, badan
hukum dengan badan hukum. Masalah pengselisihan penggunaan
lahan adalah konflik yang muncul antara komunitas yang bertikai
langsung dengan badan hukum yaitu PTPN XII (Persero).
Perkebunan Kalibakar merupakan bekas perkebunan Belanda yang
berasal dari sebagian tanah pribadi yang terdaftar di: 1) NV. Mijte
Exploitative van Het land pentung ombo, 2) NV. Mij Exploitative
van Het land Sumber Tlogo, (3) NV. Mij Exsploitative van Het Land
Kalibakar, (4) NV. Zuid Dreanger Rubber Mej,

Yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1897-


1890. Seluruh area luas kebun 8.828,84 ha dengan hak istimewa
selama 75 tahun. Perkebunan ini berada di 5 (lima) desa yaitu Desa
Simojayan, Desa Tirtoyudo, Desa Kepatihan, Desa Tlogosari dan
Desa Bumirejo dengan luas wilayah 4.826 ha. Konflik dimulai
dengan program nasionalisasi negara bekas Perkebunan Belanda,
dimana semua bekas perkebunan Belanda diambil alih Negara
termasuk Perkebunan Kalibakar. Yaitu dengan surat keputusan
Kementerian Dalam Negeri pada 18 Juni, hak guna usaha berakhir
Untuk PTPN XII dengan luas 2.050 hektar, berlaku sampai dengan
tahun 2013. Terjadi konflik kepentingan dalam pengambil alihan
tanah yang “dikuasai” oleh masyarakat dan perbedaan antara petani
sebagai pemilik tanah dan PTPN XII atau Pemerintah.
Benturan kepentingan ini terwujud dalam berbagai bentuk
penentangan terhadap gerakan, yaitu karena kepentingan
masyarakat. Ditambah lagi dengan terjadinya konflik karena
perbedaan persepsi keduanya. PTPN XII mendasarkan dan
mempertimbangkan pemberian Hak Guna Usaha tanah bukan milik
rakyat. Ketika orang berpikir tentang negara Ini adalah tanah leluhur
mereka. Begitu dalam kesadaran publik dan provokasi sistematis dan
simultan pada laju reformasi, di mana otoritas hukum dan
pemerintah melemah. Kondisi ini kemudian dijadikan sebagai
kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan yakni
melakukan reclaiming action , yaitu penerapan langkah-langkah
pemulihan. Pembabatan habis-habisan terhadap tanaman Jawa Cacao
dilakukan secara sistematis dari tahun 1993-1998. Pembersihan
dilakukan untuk memisahkan area Luas 10,5 hektar dengan total luas
2.050 hektar.

Konflik yang berlangsung selama 17 tahun itu kembali muncul


pada tahun 2013, saat hak pakai PTPN berakhir. Namun, masyarakat
tetap menguasai lahan hak guna usaha PTPN XII yang masih dalam
tahap awal mendapatkan kembali haknya. Perpanjangan HGU yang
benar-benar ketinggalan jaman Perlu diketahui, ini bukan alasan
PTPN melarang masyarakat bercocok tanam Negara itu dulunya
adalah tanah negara. Namun PTPN terpaksa menolak tanah yang
dikuasai pihak lain. Lalu konflik ini tidak pernah mendapatkan titik
pertemuan untuk kegagalan Penyelesaian sengketa tanah melalui
majelis arbitrase yang dibentuk pemerintah. Tim mediator hanya
sebatas penyelenggara rapat untuk mempublikasikan hasil rapat
Pihak yang berseberangan tidak dapat menyetujui masalah tersebut
dan pihak berwenang tidak menyelidiki masalah tersebut
Menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian Kajian ini
berfokus untuk menemukan akar konflik antara PTPN XII dan PTPN
XII. Masyarakat Kalibakar dan upaya penyelesaian konfliknya.
B. FAKTOR KONFLIK PERTANAHAN

Dalam konflik terkait masyarakat dengan PTPN XII ada


penyebab Ketegangan antara keduanya berasal dari beberapa faktor.
Pertama, pihak-pihak yang berkonflik (penduduk kota Simojayan,
Desa Tirtoyudo dan desa Bumirejo dengan PTPN XII) memiliki
persepsi yang berbeda status negara yang disengketakan. Ketidak
sepakatan ini muncul sejak tahun 1942. PTPN XII mengikuti Surat
Keputusan Menteri Pertanian No.49/UM/1953: tanggal 17 April
1958 yang menjadi dasar pemberian Hak Guna Usaha untuk PTPN
XII tahun 1988. Sedangkan lemah dari depan Menurut hukum
formal, petani percaya bahwa tanah tersebut adalah tanah nenek
moyang mereka. Penerbitan sertifikat hak guna usaha menurut PTPN
XII No.49/HGU/DA/88 tanggal 18 Juni 1936 di atas tanah seluas
7.330 hektar.

Betul sekali Penggunaan komersial yang berlaku maksimal 25


tahun sejak dikeluarkannya pesanan yang berakhir pada
12/31/2013.9 Menurut perusahaan Prosedur pemberian HGU secara
administratif cacat. di samping itu, pendiri berpendapat bahwa
proses penerbitan HGU sudah tepat dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Kemudian konflik antara PTPN XII dan Masyarakat
sempat memanas pada tahun 2013 karena sahnya HGU PTPN XII
sudah habis. kebencian terhadap perilaku, sikap dan kebijakan yang
dibuat oleh perkebunan. Menurut masyarakat, sikap yang di lakukan
pihak perkebunan itu kejam dan menyakitkan. Selain itu, perusahaan
menganggap sikap dan kebijakan perkebunan tidak tepat dengan
norma dan harapan masyarakat sekitar. Kehadiran perkebunan juga
dianggap tidak memberikan kesejahteraan bagi desa dan
penduduknya.

Bertentangan dengan apa yang dikomunikasikan oleh


masyarakat, menanam menganggap bahwa apa yang dilakukan
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perbedaan keduanya
juga terlihat jelas, di mata masyarakat perkebunan, ada masyarakat
yang hanya tahu bagaimana mengambil tanah rakyat dan
mempekerjakan petani sebagai buruh dengan upah rendah.
Sementara di mata perkebunan, hanya karyawan yang diwajibkan
untuk menerapkan aturan tersebut . pernyataan petani oleh PTPN
XII. Ada konflik diendapkan selama bertahun-tahun, mulai memanas
kembali pada tanggal 15 Desember 2015. Kasus PTPN XII
dilaporkan 37 orang ke pihak berwajib dengan dugaan perampasan
tanah dan tindakan vandalisme dan penggunaan tanah ilegal PTPN
XII. Selanjutnya, laporan itu juga dibuat dengan tuduhan masuk ke
halaman dan ambil tanah di bawah pasal 167 dan pasal 385 KUHP
dan UU Perkebunan No. 39 2014. Laporan tentang tindakan yang
diambil pihak perkebunan berhasil memancing reaksi sekaligus aksi
masyarakat di mana konflik berlanjut hingga hari ini.

C. AKTOR YANG TERLIBAT


Persoalan konflik tidak bisa terlepas dari relasi antar aktor
yang terlibat. Namun, sering kali relasi yang terbangun diantara
keduanya tidak seibang. Relasi itulah yang terjadi dalam konflik
di Perkebunan Kalibakar. Aktor tersebut adalah PTPN XII yang
berhadapan dengan petani di tiga desa yakni: Desa Simojaya,
Desa Tirtoyudo dan Desa Bumirejo. Para pendukung masyarakat
berasal dari kelompok kepentingan yaitu: Kelompok advokasi
yang diwakili oleh LBH Surabaya Perwakilan Malang.
Berikutnya adalah kelompok organisasi politik yang diwakili
oleh PPP, PDI-P dan Golkar. Sampai sekarang, dukungan masih
diberikan oleh beberapa partai politik kepada masyarakat
Kalibakar.
Namun, bantuan yang diberikan partai politik bersifat
populis yakni guna mendapatkan dukungan berupa suara dalam
pemilah umum. Terakir adalah kelompok organisasi sosial yang
diwakili oleh Forum Komunikasi Petani Malang Selatan. Ketiga
kelompok kepentingan tersebut berhadapan langsung dengan
pihak perkebunan yang diwakili oleh beberapa kelompok yakni
kariyawan baik staff maupun buruh dan mandor. Kemudian dari
kelompok advokasi yang diwakili oleh BKBH Unibraw Malang
yang menjadi kuasa hukum perkebunan. Dukungan diberikan
dengan dalih untuk menandingi aksi-aksi yang dilakukan
masyarakat.
Dinamika konflik yang sudah terjadi selama bertahun-tahun,
membuat masing-masing pihak yang berkonflik melakukan
berbagai upaya untuk keluar dari lingkaran konflik. Upaya yang
sudah ditempuh yakni upaya persuasif hingga represif, namun
upaya tersebut belum mampu meredam keteangan diantara
keduanya. Kondisi tersebut memembuat masyarakat di semua
desa yang terlibat sekaligus pemerintah desa berpangku tangan
untuk segera menyelesaikan konflik. Upaya pertama yang
dilakukan oleh masyarakat adalah menggunakan cara damai,
yakni dengan cara meminta kembali tanah kepada pihak PTPN
XII sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian lisan tahun 1951
silam.
Namun, cara damai yang digunakan masyarakat tidak
mendapatkan tanggapan hingga pada akhirnya masyarakat
beserta tokoh-tokohnya memutuskan untuk melakukan cara
koersif yakni dengan melakukan reclaiming action. Proses
rekaliming atau pendudukan tanah perkebunan oleh masyarakat
berjalan dengan sistematis dan masyarakat berhasil mendapatkan
hampir seluruh luas tanah perkebunan. Namun, meskipun secara
de facto tanah sudah dikuasi oleh masyarakat, hingga kini
masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan legalitas
atas tanah tersebut. Guna menangani kesulitan dalam
mendapatkan legalitas, petani bersama para stakeholder
menempuh pelbagai cara. Cara pertama yakni mencari
kelemahan Hak Guna Usaha yang didapatkan oleh PTPN XII.
Masyarakat menemukan banyak kejanggalan dalam prosedur
peneribitan HGU, yang kemudian masyarakat menganggap izin
atas Hak Guna Usaha PTPN XII cacat secara hukum. Upaya
berikutnya yakni meminta dukungan Bupati dan DPRD dalam
memperjuangkan hak atas tanah Perkebunan Kalibakar.
Selanjutnya, yakni meminta bantuan LBH sebagai kuasa hukum
masyarakat dalam menghadapi reaksi dari pihak PTPN XII.
Kemudian masyarakat juga melakukan aksi unjuk rasa ke BPN
dan PTPN XII untuk meminta bukti mengenai prosedur
perpanjnagan Hak Guna Usaha PTPN XII.
Perjuangan menyelesaiakn konflik juga dilakukan oleh
pemerintah desa, dimana pemerintah berusha melakukan upaya-
upaya birokratis dan negoisasi kepada pihak yang berwenang
terkait solusi atas konflik ini. Interaksi antara masyarakat dengan
pemerintah berdampak pada strategi penyelesaian konflik yang
dilakukan oeh masyarakat, yaitu: a) Menolak segala bentuk
tawaran yang diajukan oleh PTPN XII; (b) Membentuk panitia
penyelesaian tanah di masing-masing desa; (c) Membentuk
jaringan sosial para petani dalam wadah Forum Komunikasi
Petani Malang Selatan dan mengajukan permohonan hak atas
tanah kepada Menteri Agraria. Pihak PTPN XII menggunakan
strategi yang berbeda dengan masyarakat.
Menyadari semakin menguatnya perjuangan para petani,
PTPN melakukan beberapa upaya yakni: (a) Menempuh jalur
hukum yakni dengan melaporkan para penggerak petani atau
provokatir ke pihak yang berwajib agar dapat diproses sesuai
dengan hukum yang berlaku. (b) Melakukan pendekatan kepada
masyarakat sekaligus perangkat desa di masing-masing desa
yang berkonflik. Upaya tersebut dilakukan dengan beberapa
metode yakni melakukan penyuluhan hukum pada warga,
melakukan beberapa kali rapat koordinasi dengan semua pihak
yang terkait dan melakukan silaturahmi dengan warga setempat.
(c) Melakukan penawaran menjalankan kerjasama dalam bentuk
pola kemitraan.
Pola kemitraan dilakukan dengan cara PTPN XII menanam
tanaman pokok sedangkan warga diberi kesempatan menanam
tanaman sela. (d) PTPN XII melalui kuasa hukumnya mengirim
surat kepada Menteri Pertanian dan Agraria guna menegaskan
status kepemilikan tanah perkebunan. Langkah ini digunakan
dengan pertimbangan bahwa secara kelembagaan pihak yang
berwenang menyelesaikan kasus tanah Perkebunan Kalibakar
adalah pemerintah pusat. Dalam upaya penyelesaiaan konflik,
pemerintah Kabupaten Malang membentuk tim penyelesaian
konflik pertanahan yang bernama Pokja 19 Penyelesaian tanah
Kabupaten Malang. Tim tersebut bertanggung jawab untuk
memfasilitasi penyelesaian konflik antara PTPN XII dengan
masyarakat secara netral dan tidak memihak.
Beberapa upaya penyelesaian konflik sudah dilakukan olek
Pokja adalah melakukan rapat koordinasi dan menempuh jalur
birokratis kepada pemerintah pusat mengenai penyelesaian
konflik ini. Namun secara umum Pokja Penyelesaian Tanah
memberikan win-win solution dimana tanah 50% diberikan
kepada masyarakat dan 50% dikembalikan kepada
perkebunan.Masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik ini
saling bersikeras untuk medapatkan keinginanya akan tanah
Perkebunan Kalibakar. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan
tanah diwujudkan dalam berbagai macam upaya yakni
melakukan penyelesaian di pengadilan atau menggunakan jalur
hukum sedangkan cara yang kedua adalah penyelesaian di luar
pengadilan.
Pihak perkebunan dalam usaha menyelesaikan konflik lebih
dominan menggunakan jalur hukum yakni dengan melaporkan
beberapa petani yang disinyalir menjadi aktor utama dalam
pergerakan petani dan melanggar hukum. Namun, aksi yang
sudah dimulai sejak tahun 1996 dan terakir pada tahun 2015
hingga kini belum mendapatkan hasil sesuai dengan yang
diinginkan. Kemudian penyelesaian konflik juga dilakukan
melalui jalur luar pengadilan yakni dengan menggunakan cara
negosiasi atau musyawarah.
metode ini menggunakan cara dimana pihak-pihak yang
berkonflik melakukan komunikasi secara terbuka yang berujung
pada sebuah kesepakatan berupa kompromi. Upaya terakir yang
dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan Kementrian
BUMN RI pada tanggal 6 Juni 2016 di Jakarta yang menghsilkan
kepastian bahwa kewenangan untuk melepaskan tanah Kalibakar
berada di tanan Direksi PTPN II dan BUMN RI. Hal itu
dikarenakan saham PTPN XII sudah dikuasai oleh PTPN XII
sebesar 90%.
D. UPAYA PENYELESAIAN
Pemerintah Kabupaten Malang sedang mengupayakan solusi
atas konflik tersebut dengan membentuk kelompok penyelesaian
pertanahan yang disebut kelompok kerja Penyelesaian
Pertanahan di Kabupaten Malang. Tim bertanggung jawab
Memfasilitasi penyelesaian konflik antara PTPN XII dengan
masyarakat netral dan tidak memihak. Berbagai upaya dilakukan
untuk menyelesaikan konflik tersebut Pokja harus mengadakan
rapat koordinasi dan mengikuti jalur birokrasi kepada
pemerintah pusat untuk penyelesaian konflik ini. Tapi secara
umum Pokja Penyelesaian Lahan menawarkan solusi dimana
50% lahan diberikan kepada masyarakat dan 50% dikembalikan
ke perkebunan. Masing-masing pihak dalam konflik ini saling
bersih keras untuk mendapatkat keinginannya dari tanah
Perkebunan Kalibakar.
Keinginan yang kuat untuk memperoleh tanah terwujud
dalam berbagai upaya yaitu untuk mencapai kesepakatan di
pengadilan atau menggunakan jalur hukum, sedangkan cara
lainnya adalah penyelesian di luar pengadilan. Para pihak
Perkebunan menyelesaikan konflik lebih dominan dengan cara
hukum yaitu dengan melaporkan kelompok petani yang
dikatakan telah menjadi aktor utama dalam gerakan tani dan
melanggar hukum. Namun, tindakan ini Telah diluncurkan sejak
tahun 1996 dan yang terakhir pada tahun 2015 tetapi belum
mendapatkan hasil yang diinginkan. Kemudian, penyelesaian
konflik juga dilakukan melalui jalur eksternal pengadilan,
terutama melalui negosiasi atau diskusi. Metode ini
menggunakan cara yang dilakukan pihak-pihak yang berkonflik
dengan komunikasi terbuka diakhiri dengan kesepakatan bentuk
kompromi. Upaya terakhir dilakukan untuk mengadakan
pertemuan dengan BUMN RI ditetapkan pada tanggal 6 Juni
2016 di Jakarta yang menghasilkan kekuatan untuk melepaskan
tanah kalibakar berada ditanah Direktur PTPN II dan BUMN
RI.
Hal itu dikarenakan saham PTPN XII 90% dikuasai oleh
PTPN XII. Selain dua upaya di atas, pihak perkebunan juga
melakukan penawaran bekerjasama dengan masyarakat. Sesuai
dengan apa yang dikatan oleh Bernhard Limbong. Model
kemitraan adalah hubungan Kerja sama terpadu antara
penggarap dengan perkebunan di mana saling menguntungkan
dan menghormati posisi masing-masing. Mekanisme koperasi
yang diusulkan oleh perkebunan di 2007, namun masih ditolak
oleh masyarakat. Penolakan karena masyarakat menginginkan
model kerjasama dalam pengertian Orang-orang yang memiliki
tanah dan perkebunan adalah pengelolanya. Masyarakat di desa
Bumirejo telah membentuk model kerjasama dengan para pihak
perkebunan. Namun, model kerjasama yang terjalin antara
kedua pihak tidak demikian berlangsung lama dengan alasan
model kooperatif tidak tercipta kesejahteraan bagi warga desa
Bumirejo.

Anda mungkin juga menyukai