Muslimah News, OPINI — Indonesia adalah produsen crude palm oil (CPO
atau minyak kelapa sawit mentah) terbesar di dunia. Pada periode 2022/2023,
produksinya mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) alias 59% produksi minyak
sawit dunia. Seharusnya, dengan jumlah tersebut, negara bisa mendapatkan
keuntungan yang sangat besar. Sayangnya, jauh panggang dari api, alih-alih
menguntungkan dan menciptakan kesejahteraan, justru berbagai konflik lahir
menyengsarakan rakyat.
Sementara itu, pekerjaan yang bergaji besar hanya diperuntukkan bagi yang
memiliki ijazah. Sedangkan warga yang tidak mengenyam pendidikan layak
harus puas menerima posisi yang amat bawah, yaitu buruh sawit. Posisi ini pun
harus berebut sebab jumlah lowongan yang tersedia tidak sebanding dengan
para petani yang kehilangan mata pencariannya akibat terampasnya lahan.
Ini baru bicara dampak bagi rakyat, belum bicara dampak bagi lingkungan
yang juga bermuara pada buruknya tempat hidup warga. Alih fungsi hutan
menjadi perkebunan sawit tentu menjadikan bencana banjir kian marak sebab
perkebunan sawit menyebabkan daerah resapan berkurang. Sebaliknya, saat
musim kemarau, warga kesulitan mengakses air bersih sebab kebun sawit
telah mematikan sumber-sumber air warga. Perlu diketahui bahwa sawit
dikenal sebagai pohon cepat tumbuh dan rakus air.
Politik Oligarki
Penderitaan warga, termasuk perempuan dan anak (generasi), tidak bisa
dipisahkan dari praktik politik oligarki. Bagaimanapun juga, sejumlah regulasi
yang melegalkan perampasan tanah tidak bisa lepas dari campur tangan
kaum oligarki. Sistem politik demokrasi memang meniscayakan yang
demikian. Kontestasi yang begitu mahal menyebabkan politik transaksional
begitu kental.
Allah Swt. telah sangat jelas menggambarkan pahala yang begitu besar bagi
para penguasa yang amanah, sekaligus menggambarkan siksaan yang amat
pedih pada penguasa yang lalai apalagi zalim.
Firman-Nya, “Orang-orang yang menunaikan amanah dan menepati janji. …
Mereka itulah yang mewarisi, yakni mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya.” (QS Al-Mu’minun [23]: 8—11).
Sabdanya, “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat
dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang
yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah
pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).
Penguasa dalam Islam berfungsi sebagai pelindung dan pengurus bagi umat.
Seluruh kebutuhan umat akan diurusi secara optimal. Begitu pun saat rakyat
mendapatkan ancaman, penguasalah yang akan berdiri di garda terdepan
untuk melindungi mereka.
Khatimah
Sungguh, konflik lahan di perkebunan sawit hanyalah satu dari sekian banyak
persoalan dalam tata kelola sistem pemerintahan demokrasi oligarki. Upaya
untuk menyelesaikannya bukanlah dengan mengotak-atik regulasi, tetapi
harus mengganti sistem politiknya menjadi sistem politik yang hakiki, yakni
Islam.
Sangat Banyak
Ia menuturkan, konflik agraria yang ada di negara kita sebenarnya sudah
terjadi cukup lama dan jumlah kejadiannya sangat banyak.
Akibat konflik ini pula, cetusnya, tidak sedikit perempuan dan anak-anak yang
terlantar dan mengalami intimidasi hingga menimbulkan trauma mental.
“Atas nama pembangunan, perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi
dalih pembenar bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan oligarki
kekuasaan. Atas nama pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, nasib
rakyat tidak diperhatikan, bahkan pendidikan generasipun menjadi tumbal,”
kritiknya.
Pendidikan Seadanya
Ia menyesalkan, anak-anak mengalami trauma mental serta layanan
pendidikan yang seadanya akibat penggusuran. “Bagaimana mungkin bisa
menyiapkan generasi unggul pengisi peradaban Indonesia Emas 2045,
sementara kesempatan mereka mengenyam pendidikan yang layak
mengalami banyak hambatan?” tanyanya lugas.
Kondisi ini, jelasnya, memang wajar terjadi di sistem sekuler kapitalisme yang
mengakomodir kerakusan para oligarki atau pemilik modal.
“Karena ulah oligarki yang menyatu dengan sistem demokrasi, terciptalah
berbagai penderitaan bagi rakyat. Wajar jika dari sistem ini muncul berbagai
kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan formal,” tukasnya.
Agen
Mirisnya, ia menerangkan, negara dan penguasanya justru berposisi sebagai
agen bagi para pemilik modal.
Luasan konflik pada 2021 sebesar 50.062 hektare, naik menjadi 1.035.612 hektare
pada 2022. Luasan ini berkorelasi juga dengan korban yang terdampak 346.402
keluarga atau sekitar lebih dari 1 juta jiwa yang menjadi korban—jika asumsi
satu keluarga empat orang.
Lahan adalah tanah di muka bumi yang memiliki fungsi sosio-ekonomi bagi
masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, tanah memiliki dimensi ruang.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Oleh karenanya, konflik agraria menjadi konflik yang paling tua karena
menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan manusia, yakni tempat
tinggal (papan) dan ruang hidup. Konflik agraria yang mengancam tempat
tinggal maupun ruang hidup akan berimplikasi pada keamanan manusia dari
bahaya, baik fisik (kesehatan), kelaparan, dan bencana alam.
Konflik agraria di Rempang Batam adalah contoh bagi kita betapa konflik
agraria tidak bisa dianggap remeh yang jika tidak diberi solusi yang adil,
pemerintah harus bersiap-siap berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Menurut Dewi, konflik agraria ini meletus di banyak wilayah di Tanah Air,
berdampak kepada 5,8 juta hektare tanah yang menjadi sumber penghidupan
sekitar 1,7 juta keluarga. Ini menunjukkan konflik agraria sudah masuk ke
wilayah pemukiman padat, kampung-kampung, dan wilayah adat. Ketika
pemukiman menjadi sengketa, keberlangsungan hidup banyak keluarga
menjadi taruhan.
Demikian juga konflik di lahan sawit akibat ekspansi perkebunan sawit, telah
menimbulkan banyak implikasi, terutama terjadi realokasi besar-besaran
peruntukan lahan dan sumber daya. Berubahnya hutan menjadi lahan sawit
telah mengurangi tutupan hutan, berkontribusi pada peningkatan suhu bumi
dan memperparah perubahan iklim, serta berdampak pada bencana ekologis,
dari banjir hingga karhutla.
Ini baru sepenggal penderitaan anak dan perempuan karena konflik agraria
yang merampas ruang hidup mereka. Kejadian sesungguhnya tentu jauh lebih
banyak. Kita butuh solusi mendesak agar tidak terjadi petaka bagi anak,
perempuan, dan keluarga di Indonesia.
Syariat Islam mengakui kepemilikan individu atas tanah sebagai hak milik, hak
pakai, serta hak untuk mewariskan. Dengan tanah yang dimiliki, individu akan
mudah membangun rumah untuk tinggal sesuai tuntutan kehidupan
keluarga muslim, sekaligus menjadi sumber ekonomi untuk mencari
penghidupan (nafkah).
Syariat Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara
mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan yang tidak ada pemiliknya.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka
tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang
zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan
Ahmad).
Selain itu, semua hukum kepemilikan tanah harus dijaga oleh negara, bahkan
haram jika negara melanggarnya, apalagi dengan cara-cara yang zalim (mafia
tanah) dengan mengintimidasi, menipu, dan menggunakan kekerasan pada
warga. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil sesuatu
(sebidang tanah) yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti ia akan
dibenamkan sampai tujuh bumi.” (HR Bukhari).
Sudah saatnya umat Islam menerapkan syariat dalam naungan Khilafah agar
semua konflik agraria terselesaikan, anak dan perempuan pun bisa hidup
aman. Wallahualam. [MNews/Gz]
Ratapan Anak Negeri di Bawah
Ancaman Relokasi
5 Desember 20235 min read
Muslimah News, OPINI — Penggalan lirik lagu karya Iwan Fals berjudul “Ujung
Aspal Pondok Gede” tersebut menggambarkan perihnya penggusuran. Anak
negeri kehilangan ruang hidup berikut lingkungan, masyarakat, sejarah,
kenangan, persaudaraan, penghidupan, dan lainnya. Meski ada tempat tinggal
baru, tetap tidak akan mampu menggantikan ruang hidup berikut segala
keterkaitannya dengan alam dan masyarakat yang ditinggalkan.
Namun, pada rezim saat ini, penggusuran justru makin marak terjadi atas
nama investasi. Di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, terjadi bentrokan
antara masyarakat adat dan aparat sejak 7 September 2023. Bentrokan
tersebut pecah karena adanya rencana penggusuran permukiman warga
untuk dijadikan Rempang Eco-City yang merupakan salah satu proyek
strategis nasional (PSN) pemerintah.
KPA juga menyatakan terdapat 73 konflik agraria akibat PSN yang terjadi
dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Jokowi (2015—2023). Konflik
agraria tersebut terjadi di proyek infrastruktur, properti, pertanian, agribisnis,
pesisir, hingga tambang. (CNN Indonesia, 24-9-2023).
Namun, hal itu diabaikan oleh penguasa kapitalis yang menuhankan materi.
Pemerintah melihat masalah konflik agraria hanya dari sudut pandang materi
sehingga dengan memberi ganti rugi seolah-olah masalah telah selesai.
Penguasa seolah tidak melihat rakyatnya sebagai manusia. Pemerintah tega
mengusir rakyatnya sendiri dari tanah yang didiaminya sejak lahir dan
memberikan tanah itu kepada kapitalis dengan harga murah.
Atas kejadian tersebut, KPAI menilai pemerintah lalai karena sampai jatuh
korban anak-anak. Belasan siswa dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan akibat terkena gas air mata. Anak-anak juga trauma dan takut
berangkat sekolah. Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan
bahwa anak-anak di sana sangat rentan mengalami trauma psikis atau
psikologis selama proses relokasi.
Khatimah
Terbukti bahwa kebijakan pembangunan kapitalistik dari rezim oligarki benar-
benar mengabaikan dan menyengsarakan generasi. Mereka tidak hanya
menjadi korban secara fisik dan mental, bahkan masa depan mereka
tergadaikan karena dipaksa pindah dari tempat hidupnya selama ini. Jika
leluhurnya adalah petani, mereka tidak bisa bertani lagi. Demikian pula jika
leluhurnya adalah pelaut, mereka tidak bisa melaut lagi.
Sungguh, ratapan anak negeri karena ancaman relokasi ini akan terus terjadi
selama sistem kapitalisme masih mendominasi. Sistem ini menjadikan pemilik
modal kongkalikong dengan oligarki demi memuluskan investasi yang
sejatinya adalah penjajahan ekonomi. Wallahualam bissawab. [MNews/Gz]