Anda di halaman 1dari 15

Perempuan dan Anak dalam Jebakan

Konflik Lahan Sawit


6 Desember 20235 min read

Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.

Muslimah News, OPINI — Indonesia adalah produsen crude palm oil (CPO
atau minyak kelapa sawit mentah) terbesar di dunia. Pada periode 2022/2023,
produksinya mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) alias 59% produksi minyak
sawit dunia. Seharusnya, dengan jumlah tersebut, negara bisa mendapatkan
keuntungan yang sangat besar. Sayangnya, jauh panggang dari api, alih-alih
menguntungkan dan menciptakan kesejahteraan, justru berbagai konflik lahir
menyengsarakan rakyat.

Konflik Lahan Seruyan


Warga desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah sungguh
malang bukan kepalang. Saat mereka menuntut haknya dengan berunjuk
rasa, salah satu warganya tertembak hingga tewas. Bentrokan warga dengan
polisi tersebut dimulai saat gas air mata ditembakkan kepada warga. Sungguh
memilukan, aparat yang seharusnya melindungi rakyat, malah terlihat seperti
melindungi korporasi.

Sebenarnya, bentrokan warga dengan aparat adalah puncak konflik sejak 16


tahun yang lalu. Menurut James Watt, warga Desa Bangkal, PT HMBP mulai
masuk ke desanya pada 2007. Bupati Seruyan kala itu, Darwan Ali, memohon
agar warga desa menerima perusahaan tersebut. Bupati menjelaskan kepada
warga bahwa PT HMBP akan menyejahterakan masyarakat, salah satunya
dengan membuka lapangan pekerjaan. (BBC Indonesia, 11-10-2023).

Namun, bertahun-tahun perusahaan tersebut beroperasi, janji-janji


perusahaan dan pemerintah daerah tidak kunjung terlaksana, padahal
perjanjian itu sudah ditandatangani oleh warga dan perusahaan, seperti akan
membangun kebun plasma untuk warga. Setiap keluarga akan mendapatkan
dua hektare kebun paling lambat 2014, tetapi hingga kini kebun plasma
sebagai medium pendongkrak kesejahteraan warga itu tidak kunjung
terealisasi.
Jebakan bagi Perempuan dan Anak
Konflik lahan sawit tidak dialami oleh warga Desa Bangkal saja. Luas lahan
sawit yang mencapai 16 juta hektare di negeri ini nyatanya menyisakan kisah
pilu di banyak wilayah lainnya. Sebut saja perkebunan sawit di Sumatra Utara
yang lebih dahulu berkonflik. Tanah warga yang dirampas telah merenggut
ruang hidup masyarakat, terutama perempuan dan anak. Mereka yang
seharusnya hidup aman dan nyaman, kini harus menderita karena ruang
hidupnya telah hilang.

Kemiskinan juga kian menyelimuti warga. Lapangan pekerjaan yang


perusahaan janjikan pun hanya sebagai buruh kasar yang upahnya sangat
minim, tidak sebanding dengan kerugian saat tanah warga terampas. Bahkan,
kadang kala perempuan dan anak harus turut membantu sang ayah untuk
memenuhi target produksi, tanpa diberi upah.

Sementara itu, pekerjaan yang bergaji besar hanya diperuntukkan bagi yang
memiliki ijazah. Sedangkan warga yang tidak mengenyam pendidikan layak
harus puas menerima posisi yang amat bawah, yaitu buruh sawit. Posisi ini pun
harus berebut sebab jumlah lowongan yang tersedia tidak sebanding dengan
para petani yang kehilangan mata pencariannya akibat terampasnya lahan.

Belum lagi pendidikan bagi generasi, pembangunan sekolah yang dijanjikan


perusahaan sering kali sekadar iming-iming tanpa realisasi. Kualitas generasi
pun juga kian terpuruk seiring gizi buruk yang terus menghantui. Tidak jarang
pula, demi menutupi kebutuhan keluarga, para ibu rela melakukan apa saja,
termasuk menjual diri. Bukan lagi rahasia kalau di area pertambangan dan
perkebunan sawit marak bisnis prostitusi. Astagfirullah!

Ini baru bicara dampak bagi rakyat, belum bicara dampak bagi lingkungan
yang juga bermuara pada buruknya tempat hidup warga. Alih fungsi hutan
menjadi perkebunan sawit tentu menjadikan bencana banjir kian marak sebab
perkebunan sawit menyebabkan daerah resapan berkurang. Sebaliknya, saat
musim kemarau, warga kesulitan mengakses air bersih sebab kebun sawit
telah mematikan sumber-sumber air warga. Perlu diketahui bahwa sawit
dikenal sebagai pohon cepat tumbuh dan rakus air.

Inilah sejumlah dampak yang menimpa masyarakat, terutama terhadap


perempuan dan anak. Sedangkan perampasan lahan rakyat tidak akan mudah
jika tidak ada peran pemangku kebijakan. Oleh karenanya, politik oligarki
menjadi akar persoalan mengapa perampasan ruang hidup rakyat seperti kian
dimudahkan.

Politik Oligarki
Penderitaan warga, termasuk perempuan dan anak (generasi), tidak bisa
dipisahkan dari praktik politik oligarki. Bagaimanapun juga, sejumlah regulasi
yang melegalkan perampasan tanah tidak bisa lepas dari campur tangan
kaum oligarki. Sistem politik demokrasi memang meniscayakan yang
demikian. Kontestasi yang begitu mahal menyebabkan politik transaksional
begitu kental.

Simbiosis mutualisme pemangku kebijakan dan para oligarki menjadikan


demokrasi sebagai wadah terbaiknya. Alhasil, seluruh kebijakan yang
menzalimi rakyat niscaya terlahir dalam sistem demokrasi. Lihatlah saat rakyat
menuntut hak atas tanahnya, penguasa malah berdiri di samping korporasi,
menjadi perpanjangan tangan mereka untuk menyelesaikan konflik antara
rakyat dan perusahaan.

Aparat dikeluarkan bukan untuk melindungi rakyat dari terampasnya ruang


hidup mereka. Sebaliknya, moncong hitam dan peluru tajam malah diarahkan
pada rakyat yang tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk melawan korporasi.
Sungguh kondisi yang amat memilukan bagi siapa saja yang menyaksikannya.

Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja yang penuh dengan penolakan


masyarakat, misalnya. Telah jelas tertuang di dalamnya sejumlah regulasi yang
mempermudah perampasan tanah milik rakyat. Atas nama investasi dan
pembangunan ekonomi, perampasan tanah dengan nama relokasi sah
dilakukan. Dalih menciptakan kesejahteraan rakyat akhirnya menjadi kedok
untuk melanggengkan hegemoni.

Islam Menyelesaikan Konflik Lahan


Berbeda secara diametral politik Islam dengan politik oligarki demokrasi.
Sistem politik Islam menjadikan akidah sebagai landasan dalam setiap
aktivitasnya. Alhasil, penguasa yang terlahir dari sistem politik Islam hanya
memiliki niat untuk mengabdi kepada Sang Penciptanya.

Allah Swt. telah sangat jelas menggambarkan pahala yang begitu besar bagi
para penguasa yang amanah, sekaligus menggambarkan siksaan yang amat
pedih pada penguasa yang lalai apalagi zalim.
Firman-Nya, “Orang-orang yang menunaikan amanah dan menepati janji. …
Mereka itulah yang mewarisi, yakni mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya.” (QS Al-Mu’minun [23]: 8—11).

Sabdanya, “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat
dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang
yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah
pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).

Apalagi berbicara perampasan lahan. Penguasa dalam Islam akan melindungi


apa pun yang menjadi milik rakyatnya, termasuk tanah tempat mereka hidup
dan bekerja. Islam juga akan memberikan tanah kepada siapa pun yang
membutuhkannya, baik untuk berkebun, berladang, maupun sebagai
pemukiman.

Penguasa dalam Islam berfungsi sebagai pelindung dan pengurus bagi umat.
Seluruh kebutuhan umat akan diurusi secara optimal. Begitu pun saat rakyat
mendapatkan ancaman, penguasalah yang akan berdiri di garda terdepan
untuk melindungi mereka.

Khatimah
Sungguh, konflik lahan di perkebunan sawit hanyalah satu dari sekian banyak
persoalan dalam tata kelola sistem pemerintahan demokrasi oligarki. Upaya
untuk menyelesaikannya bukanlah dengan mengotak-atik regulasi, tetapi
harus mengganti sistem politiknya menjadi sistem politik yang hakiki, yakni
Islam.

Dengannya, akan lahir penguasa amanah yang mengurusi dan melindungi


rakyat dari segala macam mara bahaya. Perempuan dan anak (generasi) pun
akan hidup aman dan nyaman di tempat tinggal mereka dengan sejahtera.
[MNews/Gz]
Pakar: Konflik Agraria Berdampak pada
Nasib Pendidikan Generasi
6 Desember 20233 min read

Muslimah News, NASIONAL — Menyoroti terjadinya konflik agraria di negeri


ini, pakar politik pendidikan Dr. Ir. Aminatun, M.Si. menilai akan berdampak
pada nasib pendidikan generasi.

“Konflik Rempang, misalnya, mengakibatkan sekitar 20—25 anak SD dan SMP


mengalami trauma, takut berangkat ke sekolah. Efek yang sama pernah terjadi
pada konflik agraria di Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang,
Jawa Barat (Maret 2017), sebanyak 60 anak dari 220 kepala keluarga korban
penggusuran ikut terlantar dan terancam tidak bisa melanjutkan sekolah,”
jelasnya kepada MNews, Selasa (5-12-2023).

Sangat Banyak
Ia menuturkan, konflik agraria yang ada di negara kita sebenarnya sudah
terjadi cukup lama dan jumlah kejadiannya sangat banyak.

“Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat, selama dua periode


pemerintahan Jokowi (2015—2022) telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria
yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai
1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia,” .

Kemudian, tambahnya, berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di


seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi,
pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti,
kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.

“Berbagai konflik lahan terjadi juga di institusi pendidikan. Sekolah di Batam


tergusur karena pembangunan perumahan, gedung sekolah disegel
perusahaan di Cianjur, sengketa lahan SMKN 9 di Batam dengan PT Cidi
Pratama dan sengketa lahan SD di Cianjur sehingga pembelajaran berhenti,”
ucapnya.
Konflik agraria ini, ungkapnya, membawa derita berkepanjangan bagi rakyat
akibat perlakuan represif dari pemerintah dan aparat.

“Konflik ini menjadikan rakyat kehilangan lahan pertanian, rumah, bahkan


sarana umum pendidikan. Akibat konflik ini, banyak warga yang akhirnya
terlempar dari tanahnya sendiri, kehilangan mata pencariannya, dan terpaksa
menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja nonformal yang bermigrasi
ke kota, bahkan ke luar negeri,” bebernya.

Akibat konflik ini pula, cetusnya, tidak sedikit perempuan dan anak-anak yang
terlantar dan mengalami intimidasi hingga menimbulkan trauma mental.

“Belum lagi karena tergusurnya sekolah mereka, memaksa mereka untuk


beradaptasi dengan lingkungan yang baru yang tentu saja tidak mudah di saat
mereka mengalami trauma mental. Konflik agraria ini—mengacu data
Susenas 2022—menambah deretan panjang keberadaan 4.087.288 anak-anak
dan remaja berusia 7—18 tahun yang tidak bersekolah,” paparnya.

Sederet konflik tersebut, ungkapnya, mengindikasikan bahwa negara tidak


ubahnya sebagai penyedia karpet merah bagi investor, baik asing maupun
lokal.

“Atas nama pembangunan, perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi
dalih pembenar bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan oligarki
kekuasaan. Atas nama pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, nasib
rakyat tidak diperhatikan, bahkan pendidikan generasipun menjadi tumbal,”
kritiknya.

Pendidikan Seadanya
Ia menyesalkan, anak-anak mengalami trauma mental serta layanan
pendidikan yang seadanya akibat penggusuran. “Bagaimana mungkin bisa
menyiapkan generasi unggul pengisi peradaban Indonesia Emas 2045,
sementara kesempatan mereka mengenyam pendidikan yang layak
mengalami banyak hambatan?” tanyanya lugas.

Kondisi ini, jelasnya, memang wajar terjadi di sistem sekuler kapitalisme yang
mengakomodir kerakusan para oligarki atau pemilik modal.
“Karena ulah oligarki yang menyatu dengan sistem demokrasi, terciptalah
berbagai penderitaan bagi rakyat. Wajar jika dari sistem ini muncul berbagai
kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan formal,” tukasnya.

Agen
Mirisnya, ia menerangkan, negara dan penguasanya justru berposisi sebagai
agen bagi para pemilik modal.

“Akibatnya, kebijakan-kebijakan negara berpihak untuk memenuhi


kepentingan para oligarki. Kepentingan rakyat terabaikan. Bahkan yang lebih
parah, negara justru turut melegitimasi semua kerakusan para oligarki,
sebagaimana tercermin dalam UU Cipta Kerja,” ujarnya.

Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, imbuhnya,


sedangkan oligarkilah pemilik kekuasaan yang merampas hak dan tanah
rakyat.

“Demikianlah dampak sistem kapitalisme. Akibat keserakahan kapitalisme,


rakyat menjadi korban, oligarki kekuasaan terus melenggang. Seharusnya kita
tidak membiarkan ini terus menerus terjadi, jika kita ingin menyelamatkan
generasi,” tandasnya. [MNews/Ruh]

Konflik Agraria Mengorbankan Anak dan


Perempuan
5 Desember 20235 min read

Penulis: Fatma Sunardi

Muslimah News, FOKUS — Konflik agraria di Nusantara terus terjadi. Catatan


Akhir Tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan
setidaknya ada 212 letusan konflik. Meski secara jumlah mengalami
penambahan lima kasus dibandingkan 2021, tetapi penyelesaian mengalami
stagnasi dan konflik cenderung meluas. “Dari sisi luasan wilayah yang
terdampak, naik drastis hingga 100% dan jumlah korban terdampak,” kata
Dewi Kartika selaku Sekretaris Jenderal KPA dalam konferensi pers awal
Januari lalu.

Luasan konflik pada 2021 sebesar 50.062 hektare, naik menjadi 1.035.612 hektare
pada 2022. Luasan ini berkorelasi juga dengan korban yang terdampak 346.402
keluarga atau sekitar lebih dari 1 juta jiwa yang menjadi korban—jika asumsi
satu keluarga empat orang.

Beberapa kasus konflik agraria telah menjadi isu nasional, bahkan


internasional. Sebut saja relokasi warga Rempang, Batam, imbas dari proyek
strategis nasional (PSN). Konflik juga terjadi di Desa Wadas, Kelurahan Bener
Purworejo. Warga menolak rencana sosialisasi pematokan lahan yang
diproyeksikan akan dijadikan lokasi pertambangan quarry batuan andesit
sebagai bahan materiel PSN Bendungan Bener. Masih banyak lagi konflik
serupa yang berujung pada intimidasi dan kriminalisasi warga.

Tanah Adalah Ruang Hidup


Tanah adalah elemen penting bagi peradaban manusia. Tanah berperan
langsung bagi pemenuhan kebutuhan dasar tiap manusia yakni sandang,
pangan, dan papan. Aktivitas ekonomi untuk memenuhi ketiganya langsung
terkait dengan tanah. Bahkan, sebelum manusia mengenal industri,
perdagangan, dan jasa, manusia menggantungkan hidupnya dari apa pun
yang ada di permukaan tanah berupa lahan (hutan) untuk mencari makanan
dan tempat berlindung, serta berburu untuk mendapatkan bahan pakaian.

Demikian halnya dengan kebutuhan dasar masyarakat berupa, air, udara


bersih, iklim, infrastruktur dasar semisal jalan, dan semua sarana pemenuhan
hajat pendidikan, kesehatan, dan kebencanaan, seluruhnya langsung terkait
dengan lahan.

Lahan adalah tanah di muka bumi yang memiliki fungsi sosio-ekonomi bagi
masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, tanah memiliki dimensi ruang.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Oleh karenanya, konflik agraria menjadi konflik yang paling tua karena
menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan manusia, yakni tempat
tinggal (papan) dan ruang hidup. Konflik agraria yang mengancam tempat
tinggal maupun ruang hidup akan berimplikasi pada keamanan manusia dari
bahaya, baik fisik (kesehatan), kelaparan, dan bencana alam.

Dalam kehidupan masyarakat modern yang makin kompleks, tanah makin


memegang peranan penting. Jumlah manusia yang bertambah menjadi
tantangan bagi penataan ruang untuk tempat tinggal dan ruang hidup.
Kesalahan tata ruang sudah pasti akan menimbulkan konflik dengan dimensi
yang kompleks.

Konflik agraria di Rempang Batam adalah contoh bagi kita betapa konflik
agraria tidak bisa dianggap remeh yang jika tidak diberi solusi yang adil,
pemerintah harus bersiap-siap berhadapan dengan rakyatnya sendiri.

Ancaman bagi Anak dan Perempuan


Konflik agraria merupakan salah satu persoalan yang masih menjadi PR besar
pemerintah untuk dituntaskan. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Dewi Kartika mengatakan bahwa jumlah korban yang terdampak konflik
sepanjang 2022 mengalami kenaikan hampir 50% dibandingkan 2021.

Menurut Dewi, konflik agraria ini meletus di banyak wilayah di Tanah Air,
berdampak kepada 5,8 juta hektare tanah yang menjadi sumber penghidupan
sekitar 1,7 juta keluarga. Ini menunjukkan konflik agraria sudah masuk ke
wilayah pemukiman padat, kampung-kampung, dan wilayah adat. Ketika
pemukiman menjadi sengketa, keberlangsungan hidup banyak keluarga
menjadi taruhan.

Konflik agraria telah mengakibatkan penggusuran skala nasional.


Penggusuran—dan apa pun namanya—telah menjadi episode penderitaan
baru bagi anak dan perempuan karena mereka tergolong the vulnerable
people ‘paling tidak punya kendali’ atas lahan. Anak dan perempuan harus
turut menanggung penderitaan dengan level yang tidak proporsional akibat
konflik agraria di Indonesia yang terus terjadi.

Meletusnya bentrokan di Rempang Batam pada 7 September 2023 membuat


banyak anak dan perempuan menjadi korban. Penembakan gas air mata di
dekat SDN 24 dan SMPN 22 Galang mengakibatkan kepanikan, ketakutan,
hingga luka fisik pada anak-anak yang sedang melakukan pembelajaran.
Menurut KontraS, sedikitnya 20 warga Rempang dari kalangan anak,
perempuan, dan lansia, mengalami luka berat maupun ringan karena
kerusuhan tersebut. Aparat dinilai menggunakan secara serampangan
menggunakan kekuatan berlebihan.

Demikian juga konflik di lahan sawit akibat ekspansi perkebunan sawit, telah
menimbulkan banyak implikasi, terutama terjadi realokasi besar-besaran
peruntukan lahan dan sumber daya. Berubahnya hutan menjadi lahan sawit
telah mengurangi tutupan hutan, berkontribusi pada peningkatan suhu bumi
dan memperparah perubahan iklim, serta berdampak pada bencana ekologis,
dari banjir hingga karhutla.

Dampak karhutla sendiri sangat memengaruhi kesehatan anak karena jadi


mudah sakit, tumbuh kembangnya terhambat, dan akhirnya menjadi generasi
yang lemah. Hal ini tentu akan menjadi beban perawatan bagi para ibu, di
samping beban kemiskinan akibat bencana berulang.

Hilangnya luasan hutan pun berdampak langsung pada perubahan sumber


penghidupan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang selama ini
bergantung pada hutan. Hutan sebagai tempat mencari bahan makanan dan
obat-obatan, baik untuk keperluan konsumsi maupun dijual, sudah tidak ada
lagi. Masyarakat dipaksa beralih pada sumber penghidupan baru, misal
menjadi buruh di lahan sawit. Berkurangnya penghasilan keluarga ini
berdampak langsung pada kemiskinan perempuan dan kualitas pemenuhan
gizi anak, hingga memunculkan kasus stunting.

Ini baru sepenggal penderitaan anak dan perempuan karena konflik agraria
yang merampas ruang hidup mereka. Kejadian sesungguhnya tentu jauh lebih
banyak. Kita butuh solusi mendesak agar tidak terjadi petaka bagi anak,
perempuan, dan keluarga di Indonesia.

Islam Menyelesaikan Konflik Agraria


Akar masalah konflik agraria adalah masalah sengketa kepemilikan tanah dan
lahan. Tatanan sekuler saat ini telah mengambil sistem ekonomi kapitalisme
yang memberikan kebebasan bagi individu-individu untuk memiliki tanah
yang sangat luas.

Undang-undang dan peraturan yang dibuat pemerintah telah membuka jalan


bagi investasi di berbagai sektor baik perkebunan, pertambangan,
infrastruktur, maupun pembangunan pulau-pulau kecil. Investasi telah
mengakibatkan penguasaan tanah oleh perusahaan swasta.

Pemerintah—yang memiliki kekuasaan—menjadi pelayan bagi para pemodal


yang akan berinvestasi. Tidak heran jika dalam setiap konflik agraria, posisi
pemerintah selalu bersama investor (pemilik modal), dan sebaliknya—diakui
ataupun tidak—zalim kepada rakyat.
Sementara itu, dalam sistem Islam (Khilafah), negara wajib menempatkan
kebijakan ekonominya untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Negara
akan menjalankan politik ekonomi Islam. Penerapan semua kebijakan harus
menjamin pemenuhan semua kebutuhan dasar (primer), termasuk
kebutuhan akan tanah dan lahan.

Syariat Islam mengakui kepemilikan individu atas tanah sebagai hak milik, hak
pakai, serta hak untuk mewariskan. Dengan tanah yang dimiliki, individu akan
mudah membangun rumah untuk tinggal sesuai tuntutan kehidupan
keluarga muslim, sekaligus menjadi sumber ekonomi untuk mencari
penghidupan (nafkah).

Syariat Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara
mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan yang tidak ada pemiliknya.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka
tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang
zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan
Ahmad).

Islam pun menetapkan kepemilikan umum sebagai kepemilikan bersama,


termasuk dalam hal ini adalah hutan, pulau, dan bahan tambang (deposit
besar). Jadi, sebuah kesalahan jika lahan dan tambang dimiliki oleh individu
demi mengembangkan suatu usaha.

Selain itu, semua hukum kepemilikan tanah harus dijaga oleh negara, bahkan
haram jika negara melanggarnya, apalagi dengan cara-cara yang zalim (mafia
tanah) dengan mengintimidasi, menipu, dan menggunakan kekerasan pada
warga. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil sesuatu
(sebidang tanah) yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti ia akan
dibenamkan sampai tujuh bumi.” (HR Bukhari).

Sudah saatnya umat Islam menerapkan syariat dalam naungan Khilafah agar
semua konflik agraria terselesaikan, anak dan perempuan pun bisa hidup
aman. Wallahualam. [MNews/Gz]
Ratapan Anak Negeri di Bawah
Ancaman Relokasi
5 Desember 20235 min read

Penulis: Nida Alkhair

Sampai saat tanah moyangku

Tersentuh sebuah rencana


Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi
Terdengar langkah hewan bernyanyi
Di depan masjid, samping rumah wakil Pak Lurah
Tempat dulu kami bermain, mengisi cerahnya hari
Namun, sebentar lagi, angkuh tembok pabrik berdiri
Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali

Muslimah News, OPINI — Penggalan lirik lagu karya Iwan Fals berjudul “Ujung
Aspal Pondok Gede” tersebut menggambarkan perihnya penggusuran. Anak
negeri kehilangan ruang hidup berikut lingkungan, masyarakat, sejarah,
kenangan, persaudaraan, penghidupan, dan lainnya. Meski ada tempat tinggal
baru, tetap tidak akan mampu menggantikan ruang hidup berikut segala
keterkaitannya dengan alam dan masyarakat yang ditinggalkan.

Namun, pada rezim saat ini, penggusuran justru makin marak terjadi atas
nama investasi. Di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, terjadi bentrokan
antara masyarakat adat dan aparat sejak 7 September 2023. Bentrokan
tersebut pecah karena adanya rencana penggusuran permukiman warga
untuk dijadikan Rempang Eco-City yang merupakan salah satu proyek
strategis nasional (PSN) pemerintah.

Pulau Rempang akan dijadikan kawasan pengembangan terintegrasi untuk


industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru-
terbarukan. Rempang Eco-City akan menjadi lokasi pabrik produsen kaca Cina,
Xinyi Glass Holdings Ltd.. Masyarakat Rempang akan direlokasi ke Pulau
Galang, tetapi mayoritas warga menolak relokasi.
Masyarakat adat telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200
tahun, tetapi pada 2004 pemerintah malah memberi konsesi selama 80 tahun
kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak perusahaan dari
Artha Graha Network (AG Network) milik pengusaha Tomy Winata. PT MEG
akan menguasai 17.600 hektare lahan di Pulau Rempang, termasuk 10.028
hektare hutan lindung yang ada di dalamnya. (CNBC Indonesia, 15-9-2023).

Perkembangan terakhir kasus Rempang, warga Pulau Rempang masih terus


menyuarakan penolakan terhadap PSN Rempang Eco-City. Meskipun kondisi
sudah kondusif, nyatanya warga masih terus mendapatkan intimidasi. (Tempo,
1-12-2023).

Konflik Agraria Akibat PSN


Selain kasus Rempang, banyak terjadi konflik agraria akibat pembangunan
oleh pemerintah. Berdasarkan catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), sepanjang 2022 telah terjadi 32 letusan konflik agraria, 11 di
antaranya terkait dengan PSN. Luasan konflik mencapai 102.752 hektare dan
berdampak pada 28.795 KK. (Portal Informasi Indonesia, 16-10-2023).

KPA juga menyatakan terdapat 73 konflik agraria akibat PSN yang terjadi
dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Jokowi (2015—2023). Konflik
agraria tersebut terjadi di proyek infrastruktur, properti, pertanian, agribisnis,
pesisir, hingga tambang. (CNN Indonesia, 24-9-2023).

Pada proyek-proyek tersebut, rakyat harus kehilangan tanahnya. Akibatnya,


mereka kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, lingkungan, dan
masyarakat yang selama ini mereka tempati. Masyarakat menolak kebijakan
pemerintah dan melakukan perlawanan sehingga terjadilah konflik. Namun,
negara memiliki kekuatan aparat untuk menekan warga. Akhirnya di banyak
kasus, rakyat menyerah dan meninggalkan tanah mereka.

Perampasan Ruang Hidup


Tindakan pemerintah yang mengambil alih tanah yang didiami warga sejak
lama demi proyek nasional menunjukkan bahwa masyarakat sejatinya tidak
memiliki hak pilih terhadap kebijakan penguasa. Mereka dipaksa untuk pindah
dengan dalih tidak memiliki sertifikat tanah dan sebagainya. Bahkan,
penguasa tega menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan warga dari
tempat tinggalnya.
Pemerintah juga merasa sudah cukup dengan memberikan ganti rugi berupa
rumah ataupun uang. Sedangkan relokasi sejatinya bukan hanya
memindahkan tempat tinggal, melainkan mencabut seseorang dari akar
masyarakatnya. Ingat, manusia bukan hanya butuh materi, tetapi juga
makhluk sosial yang memiliki kebutuhan spiritual, emosional, dan sebagainya.

Namun, hal itu diabaikan oleh penguasa kapitalis yang menuhankan materi.
Pemerintah melihat masalah konflik agraria hanya dari sudut pandang materi
sehingga dengan memberi ganti rugi seolah-olah masalah telah selesai.
Penguasa seolah tidak melihat rakyatnya sebagai manusia. Pemerintah tega
mengusir rakyatnya sendiri dari tanah yang didiaminya sejak lahir dan
memberikan tanah itu kepada kapitalis dengan harga murah.

Penguasa juga lebih mementingkan proyek strategis yang nyatanya hanya


menjadi bancakan para pemilik modal dan tidak berdampak signifikan bagi
kesejahteraan masyarakat. Para kapitalis jelas diuntungkan karena bisa
mendapatkan lahan dengan harga sangat murah, seperti nilai sewa Pulau
Rempang oleh PT MEG yang hanya Rp26.000 per meter selama 30 tahun.

Sementara itu, masyarakat yang terusir dijanjikan akan pekerjaan di pabrik


atau proyek pembangunan, sedangkan mereka kehilangan lahan, laut, kebun,
pohon, dan lainnya. Tentu ini tidak sebanding dengan hilangnya ruang hidup
yang dimiliki warga. Apalagi hampir semua PSN merupakan proyek padat
modal, bukan padat karya sehingga hanya menyerap tenaga kerja dalam
jumlah sedikit. Akibatnya, warga terpaksa melakukan urbanisasi, bahkan
bekerja di luar negeri menjadi TKI. Sementara itu, tanah di negeri sendiri justru
dikuasai para kapitalis yang dibekingi oligarki.

Dampak terhadap Ibu dan Generasi


Bentrok antara masyarakat dan penguasa juga berdampak besar pada ibu dan
generasi. Di Pulau Rempang, misalnya, aparat menggunakan pendekatan
kekerasan untuk menyelesaikan bentrok dengan warga. Anak-anak sekolah
turut terkena gas air mata karena lokasi bentrokan dekat dengan sekolah
mereka. Kondisi sekolah pun akhirnya ricuh. (Kompas, 8-9-2023).

Atas kejadian tersebut, KPAI menilai pemerintah lalai karena sampai jatuh
korban anak-anak. Belasan siswa dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan akibat terkena gas air mata. Anak-anak juga trauma dan takut
berangkat sekolah. Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan
bahwa anak-anak di sana sangat rentan mengalami trauma psikis atau
psikologis selama proses relokasi.

Reza mengatakan, “Inilah potret pemerintah memang tidak cukup ngeh


bahwa anak-anak Rempang berhadapan dengan risiko trauma, depresi,
kegagalan akademis, kendala bersosialisasi, dan konsekuensi buruk jangka
panjang lainnya akibat dipaksa angkat kaki dari kampung halaman mereka.”
(Bisnis Indonesia, 24-9-2023).

Namun, sekali lagi, pemerintah melihat dampak penggusuran terhadap


generasi ini hanya dari sudut pandang materi, yaitu investasi. Hal ini tampak
dari pejabat sekelas menteri yang diutus menangani kasus Rempang adalah
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang tentu saja
berkepentingan untuk menyukseskan investasi di sana.

Sedangkan terkait masalah trauma yang dialami perempuan dan anak-anak,


penguasa seakan tidak peduli. Pemerintah tidak mengutus menteri yang
terkait dengan generasi, seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak ataupun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Walhasil,
wajar muncul anggapan bahwa penguasa lebih mementingkan amannya
investasi para pemilik modal daripada masalah penderitaan generasi.

Khatimah
Terbukti bahwa kebijakan pembangunan kapitalistik dari rezim oligarki benar-
benar mengabaikan dan menyengsarakan generasi. Mereka tidak hanya
menjadi korban secara fisik dan mental, bahkan masa depan mereka
tergadaikan karena dipaksa pindah dari tempat hidupnya selama ini. Jika
leluhurnya adalah petani, mereka tidak bisa bertani lagi. Demikian pula jika
leluhurnya adalah pelaut, mereka tidak bisa melaut lagi.

Ironis, demi keserakahan para kapitalis, penguasa oligarki telah mencabut


generasi dari akar kehidupannya. Mereka juga dipaksa hidup di tanah yang
asing untuk menjadi buruh yang mengandalkan pekerjaan dan upah tidak
seberapa, justru dari para kapitalis yang telah merampas tanah mereka.

Sungguh, ratapan anak negeri karena ancaman relokasi ini akan terus terjadi
selama sistem kapitalisme masih mendominasi. Sistem ini menjadikan pemilik
modal kongkalikong dengan oligarki demi memuluskan investasi yang
sejatinya adalah penjajahan ekonomi. Wallahualam bissawab. [MNews/Gz]

Anda mungkin juga menyukai