Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fa'iq Fadhillah

NIM : 19/443209/SP/29073
Prodi : S1 / Departemen Politik dan Pemerintahan
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Gadjah Mada
Mata Kuliah : Pemerintahan Komunitas
Reviu Film Watchdoc yang Berjudul "Sexy Killers" dan "The Mahuzes"
Tugas kali ini mahasiswa diminta untuk membuat sebuah refleksi film dokumenter
karya dari seorang movie maker spesialis dokumenter yang kembali saya sebut sebagai salah
satu yang terbaik menurut saya, tepat sekali beliau adalah Dhandy Laksono dan tim. Dari film
karyanya yang berjudul Sexy Killers dan The Mahuzes. Jujur saja, awalnya saya menggeleng-
gelengkan kepala ketika membaca judulnya. Namun pada akhirnya saya memahami betul
mengapa Mas Dhandy memberi judul seperti itu.

Sexy Killers
Sexy Killers, film ini mengudara di sebuah platform pemutar video terbesar di dunia
bernama Youtube ketika momen-momen mendekati pesta pemilu Negara Republik Indonesia
tahun 2019 silam. Dalam sekejap film dokumenter yang berdurasi sekitar kurang lebih 1,5 jam
ini viral di dunia maya. Film ini berkembang menjadi bahasan orang-orang, bersemayam di
dalam dialog masyarakat dan menjadi yang paling kontroversial diantara yang lainnya.
Bagaimana tidak, film ini dibuat saya rasa penuh dengan dedikasi yang ditujukan untuk
pasangan calon presiden nomer urut satu maupun dua. Film ini bahkan cukup menelanjangi
mereka yang selama ini berada di atas, di sebuah bangku jabatan strategis atas nama rakyat
Indonesia. Kubu pasangan calon presiden dengan nomor urut satu yang merupakan petahana
dikuliti habis-habisan. Perkara tambang batu bara yang menjadi fokus, padahal saya kira ini
adalah film yang menceritakan tentang pembunuhan yang terorganisir, namun ternyata ini lebih
dari sekedar pembunuhan.
Film ini mengangkat isu yang cukup sederhana dan dekat dengan masyarakat, namun
memang cukup sensitif dan jarang sekalo diangkat oleh para film-maker Indonesia. Mengapa
bisa cukup sensitif? Hal tersebut dikarenakan para kaum elit ataupun pemerintah juga secara
tidak langsung terlibat dalam isu tersebut. Isu di mana ketergantungan masyarakat yang cukup
tinggi pada listrik yang terus meningkat ternyata memberi dampak terhadap lingkungan dan
masyarakat Indonesia itu sendiri. Berawal dari scene yang menampilkan sepasang kekasih
yang menggunakan berbagai alat elektronik untuk mencukupi kebutuhannya di dalam sebuah
ruangan. Pertanyaannya adalah “bagaimana listrik bisa masuk ke ruangan ini?”. Sebuah
pertanyaan singkat yang lalu membuka substansi dari film dokumenter ini mengenai sisi gelap
dari industri pertambangan batu bara di Indonesia.

Ada apa dengan industri pertambangan batu bara?

Batu bara merupakan satu dari sekian sumber energi yang terbesar di Indonesia.
Keberadaannya pun cukup tersebar di berbagai wilayah di Indonesia mulai dari Sumatera,
Sulawesi, Jawa, Kalimantan dan berbagai wilayah lainnya di Indonesia, sebagai salah satu
produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia. Batu bara di Indonesia dibagi menjadi dua,
produksi untuk diekspor (kualitas menengah dan kualitas rendah) dan sebagian lagi untuk
dikirim ke PLTU di seluruh Indonesia sebagai bahan bakar untuk bisa menggerakkan turbin.
Tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap listrik lalu membuka kesempatan untuk
para investor asing maupun lokal untuk mengambil keuntungan dari peluang tersebut. Maka
dari itu lahirlah berbagai PLTU yang dibuat di daratan maupun lautan untuk memenuhi
pemintaan tersebut yang dilindungi oleh pemerintah. Namun, musibah lain kemudian banyak
bermunculan.
Dampak yang disebabkan oleh adanya PLTU berimbas kepada lingkungan bahkan
masyarakat. Polusi yang dihasilkan dari buangan industri ini menciptakan polusi udara, polusi
laut maupun polusi darat yang sangat mengerikan. Adanya PLTU juga berdampak bagi
masyarakat sekitar, baik dalam segi ekonomi maupun segi medis. Dampak yang berimbas pada
lingkungan sekitar menciptakan kondisi dimana para petani maupun pelaut yang berada di
daerah sekitar industri tersebut merasa kesal dan berkurangnya pendapatan mereka secara
berangsur dikarenakan limbah ataupun polusi yang dihasilkan oleh industri tersebut. Bukan
hanya itu, bahkan untuk daerah Kalimantan sendiri terdapat beberapa lubang galian yang
belum direklamasi. Di laut juga membuat terumbu karang rusak dan menyebabkan biota laut
mati dikarenakan oleh polusi yang dihasilkan. Dengan berbagai alasan itulah lalu lahir
gelombang protes yang dilakukan masyarakat untuk menuntut hal tersebut.

"Mengapa harus batu bara, padahal masih ada energi lain yang bisa dijadikan sumber energi
listrik?"

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa melihat bahwa batu bara termasuk
dalam bahan bakar yang paling murah ketimbang dari bahan bakar yang lain. Namun
disamping segi ekonomi, hal-hal yang lain tetap harus menjadi perhatian bagi pemerintah.
Terutama dampak yang dihasilkan yang berimbas pada masyarakat kita sendiri. Tetapi kembali
lagi, kenyataannya adalah pemerintah juga memihak investor tambang batu bara ketimbang
rakyatnya sendiri. Bahkan hukum pun juga mendukung dan melindungi praktik industri batu
bara. Bagaimana tidak mendukung, di film ini diperlihatkan bahwa para elit pemerintahan
bahkan kubu dari pasangan calon presiden secara keseluruhan ikut terlibat dan memiliki andil
dalam kepemilikan saham dari tambang-tambang batu bara di Indonesia. Jadi apabila
masyarakat menuntuk keadilan, seharusnya bukan kepada mereka kita menuntutnya. Semua
akan sia-sia, mereka akan semakin menutup-nutupi dan memperkuat pondasinya agar tetap
bisa bertahan.

The Mahuzes
Ketika tadi film Sexy Killers berfokus pada konflik antara masyarakat dengan industri
batu bara, di belahan Indonesia bagian yang lain terdapat konflik antara masyarat dengan
industri kelapa sawit. Film ini berlatar tempat di bumi Papua, tempat dimana sejuta keunikan
alam dan budaya, namun juga tempat dimana segudang permasalahan mulai dari pendidikan,
SDM, perampasan alam, pelanggaran HAM, dan konflik sosial antar suku yang masih belum
tuntas.
Ekspedisi Indonesia Biru kali ini mengangkat konflik sengit yang tengah terjadi antara
masyarakat adat Malind dan industri kelapa sawit. Suku Malind bertempat di pelosok Merauke.
Merauke adalah sebuah kabupaten yang terletak di wilayah paling timur Indonesia. Luas dari
tanah Merauke sekitar 4,7 juta hektare dan lebih dari 90% luasnya merupakan hutan. Merauke
memiliki beberapa suku adat, salah satunya merupakan Suku Malind. Suku Malind juga
memiliki berbagai marga, dan salah satunya merupakan Mahuze yang menjadi judul dalam
film dokumenter kali ini.
Diawali ketika kunjungan Presiden Joko Widodo ke Distrik Kurik, Merauke pada 10
Mei 2015 untuk melakukan pembangunan sawah di Papua seluas 1,2 juta Ha dalam kurun
waktu 3 tahun, tetapi pada kenyataannya, lahan yang tersedia hanya 500 ribu Ha. Padahal
pemerintah belanda dulunya pernah mencetak 43 ribu Ha sawah dan membutuhkan waktu
selama 60 tahun (1954-2014). Singkatnya, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden
Joko Widodo ingin membuat Papua menjadi lumbung pangan (beras) dan energi untuk
kepentingan ekspor. Proyek ini biasa disebut Merauke Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE).
Sejujurnya menurut saya, langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk membangun
Papua bertujuan baik, namun pertanyaan adalah bagaimana dengan nasib masyarakat asli
Papua setelah ini? Apakah mereka bisa menerima kebijakan ini? Apakah tidak akan terjadi
penolakan dari masyarakat yang tinggal di sana? Apakah dengan membabat hutan, pemerintah
bisa membuat kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera? Atau malah semakin memperbudak
kehidupan mereka? Bagaimana juga dampaknya terhadap hutan sebagai ladang perburuan dan
basis ekonomi mereka?
Mengingat kehidupan masyarakat Papua tidak biasa dengan budaya bercocok tanam
dan beternak. Mereka juga menganggap hutan adalah rahim ibu yang memberikan mereka
kehidupan. Dari hutan mereka bisa secara langsung mendapatkan makanan dengan cara
berburu binatang dan memangkur (memanen) sagu. Sebab menurut mereka, alam telah
menyediakan segalanya dengan gratis. Sagu adalah makanan pokok masyarakat Papua.
Kekhawatiran ini akhirnya terjawab dan memang benar adanya bahwa suku Malind
yang dihuni Marga Mahuze secara lugas menolak hutan dan tempat tinggal mereka diratakan
untuk diganti dengan perusahaan kelapa sawit yang nantinya mereka menjadi buruh di dalam
industri tersebut, bukan menjadi tuan dan nyonya di tanahnya sendiri.
Penolakan tersebut akhirnya berujung konflik yang diawali ketika salah satu sesepuh
Marga Mahuze menerima 'amplop' dari perusahaan kelapa sawit tersebut. Setelah itu
perusahaan datang dengan mengerahkan alat beratnya. Hutan Ulayat hendak diratakan dengan
tanah. Pada tanggal 21 Juni 2015, para marga mengadakan rapat besar untuk berdiskusi
mengenai hal tersebut. Menjelang tengah malam situasi semakin memanas. Namun akhirnya
disepakati dengan tegas bahwa Tanah Ulayat Marga Mahuze tidak boleh dijual kepada
perusahaan kelapa sawit. Dalam situasi dan kondisi apapun, tanah tidak boleh dijual begitulah
keputusannya.
Dalam hal yang lain, proyek MIFEE memberikan dampak buruk yaitu pencemaran air.
Selain membabat habis hutan yang berimbas pada kehilangan sumber pangan dan sandang
masyarakat Papua, air sungai juga akan terkontaminasi oleh limbah dari industri kelapa sawit.
Masyarakat Papua akan kesulitan mencari air bersih dan memanen ikan-ikan yang berada di
sungai. Masyarakat Marga Mahuze terus berupaya melakukan penolakan pengrusakan hutan
yang dilakukan oleh perusahaan. Higga akhirnya mereka hanya bisa pasrah melihat tanahnya,
rumahnya, dan sumber kehidupannya dihancurkan.
Di akhir film ini tidak diberikan sebuah solusi konkrit dan seperti sengaja dibuat
menggantung. Saya rasa ini sesuai dengan apa yang sedang terjadi di Papua saat ini. Setiap
konflik yang terjadi di Tanah Papua selalu menjadi tanda tanya dan tidak berujung.
Referensi
Laksono, D. D. (2019). Sexy Killers. Watchdoc Image.
https://www.youtube.com/watch?v=qIB7vg4I-To
Laksono, D. D. (2015). The Mahuzes. Watchdoc Image.
https://youtube.com/watch?v=MSVTZSa4oSg&t=614s

Anda mungkin juga menyukai