Anda di halaman 1dari 156

Volume 22, No.

1 (June 2020): 1-150

ISSN 1410-8356
E-ISSN 2355-5963

Negara dan Ilegalitas: Studi Kasus Perdagangan Burung di Wilayah Jakarta


INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO AJI PURWANTO

Tradisi HANTA UA PUA Sebagai Upaya Pelestarian Budaya Religi di Bima


NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO

Makna dan Penghargaan Perempuan Nuaulu dalam Inisiasi


Ritual Pinamou di Pulau Seram
TELFRIN LASAMAHU, IZAK Y. M. LATTU, RAMA TULUS PILAKOANU

Tadisi Wisuda Secara Adat Di Masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur


Kabupaten Kerinci
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI

Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Membangun Kerukunan Umat


Beragama Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
Moh. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI

LABORATORIUM ANTROPOLOGI
JURUSAN ANTROPOLOGI
FISIP UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
JURNAL ANTROPOLOGI:
Isu-Isu Sosial Budaya
P-ISSN 1410-8356
E-ISSN 2355-5963

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya (JANTRO) telah terdaftar dengan nomor ISSN 1410-
8356 (cetak), ISSN 2355-5963 (online). Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya (JANTRO)
adalah jurnal peer review yang diterbitkan oleh Laboratorium Antropologi, Jurusan Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Sumatera Barat, Indonesia.

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya (JANTRO) diterbitkan dengan tujuan ikut mengem
bangkan kajian Ilmu Antropologi Sosial dan Budaya di Indonesia, dengan terbuka dan
menerima kontribusi dari berbagai disiplin ilmu dan pendekatan yang bertemu di persimpangan
hasil penelitian dan analisis-kritis mengenai isu pembangunan kontemporer. Jurnal ini dikelola
dan di bawah naungan Laboratorium Antropologi Jurusan Antropologi FISIP Universitas
Andalas. Sumbangan artikel meliputi artikel hasil penelitian, kajian kepustakaan dan ulasan
ilmiah lainnya.

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya (JANTRO) terbit secara berkala sebanyak dua kali
dalam rentang waktu bulan Juni hingga bulan Desember. Artikel Jurnal ini dapat ditulis dalam
bahasa Indonesia atau Inggris. Artikel yang diterbitkan telah melalui proses seleksi oleh dewan
redaksi dan mitra bestari. Artikel yang lolos seleksi akan dipungut biaya guna keberlanjutan
jurnal, sedangkan pengiriman naskah tidak dipungut biaya. Informasi lengkap untuk pemuatan
artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia di dalam setiap terbitan

DEWAN EDITORIAL
Pemimpin Redaksi : Lucky Zamzami (Universitas Andalas)

Dewan Editor : Takamasa Osawa (Kyoto University, Jepang)


Johan Weintre (Flinders University, Australia)
Maskota Delfi (Universitas Andalas)
Yevita Nurti (Universitas Andalas)
Eka Vidya Putra (Universitas Negeri Padang)
Asrinaldi (Universitas Andalas)
Zainal Arifin (Universitas Andalas)

Mitra Bestari : Nursyirwan Effendi (Universitas Andalas)


Juniator Tulius (Nanyang Technological University)
Akifumi Iwabuchi (TUMSAT, Jepang)
Semiarto Aji Purwanto (Universitas Indonesia)
Alfan Miko (Universitas Andalas)
Bambang Rudito (ITB Bandung)
Silfia Hanani (IAIN Bukittinggi)
Dedi Adhuri Supriadi (LIPI, Jakarta)
Adi Prasetijo (Universitas Diponegoro)
Asliah Zainal (IAIN Kendari)
Azwar (Universitas Andalas)
Retnaningtyas Susanti (Universitas Negeri Padang)
Najah Nadiah Amran (National Univ. of Malaysia)
Syahrizal (Universitas Andalas)
Jendrius (Universitas Andalas)

ALAMAT REDAKSI PENERBIT


DEWAN REDAKSI
JURNAL ANTROPOLOGI LABORATORIUM ANTROPOLOGI
Isu-isu Sosial dan Budaya JURUSAN ANTROPOLOGI
Gedung Jurusan Lantai II FISIP FISIP UNIVERSITAS ANDALAS
Universitas Andalas Padang PADANG
Kampus Limau Manis 25162 Telp. 0751-71266/081374535378
Online at http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro Email: editor_jantro@soc.unand.ac.id
Website
Jurnal Jurnal: http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id
Antropologi:Isu-Isu Sosial Budaya telah mendapatkan akreditasi nasional peringkat 2 Ristek Dikti,
dengan nomor SK: 34/E/KPT/2018 Tanggal 10 Desember 2018
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

DAFTAR ISI

Halaman

Negara dan Ilegalitas: Studi Kasus Perdagangan Burung di Wilayah Jakarta


INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO AJI PURWANTO.......................................................... 1

Tradisi HANTA UA PUA Sebagai Upaya Pelestarian Budaya Religi di Bima


NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO……………………………………………………….. 10

Makna dan Penghargaan Perempuan Nuaulu dalam Inisiasi Ritual Pinamou di Pulau Seram
TELFRIN LASAMAHU, IZAK Y. M. LATTU, RAMA TULUS PILAKOANU…………………. 19

Tradisi Wisuda secara Adat di Masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur,


Kabupaten Kerinci
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI………………………………………………….. 29

Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama dI Kota Kupang
Nusa Tenggara Timur
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI…………………………………………………... 38

Civil Rights of the Believers of Unofficial Religions (Penghayat Kepercayaan)


in Pekalongan District
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI............................................................................. 48

Kearifan Lokal Masyarakat dalam Melestarikan Tradisi Pernikahan Pepadun


di Lampung Utara
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI………………………………………………………... 60

Teong Negeri: Sentralitas Folklore Nama Lokal Komunitas dalam Jejaring Sosio-Kultural
Islam-Kristen di Maluku
REVALDO PRAVASTA JULIAN MB. SALAKORY, IZAK YOHAN MATRIKS LATTU
RAMA TULUS PILAKOANNU………………………………………………………………………. 70

Tradisi Nyumpet Dalam Budaya Lokal Pada Masyarakat Sekuro, Kabupaten Jepara
IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR……………………………………………… 81

Dinamika Keagamaan Masyarakat Perbatasan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat


ASLAN, SUHARI, ANTONI, M. ALI MAULUDIN, GALUH NASHRULLOH KARTIKA MR… 90

Budaya Siri’ Na Pacce dan Sipakatau dalam Interaksi Sosial Masyarakat Sulawesi Selatan
AULIAH SAFITRI, SUHARNO................................................................................................. 102

https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p1-150.2020 Attribution-ShareAlike 4.0 International.. Some rights reserved


Riau Malay Identity Politics
M. RAFI, EKO PRIYO PURNOMO, BASKORO WICAKSONO………………………………… 112

Perubahan Pola-Pola Perkawinan pada Masyarakat Lampung Saibatin


.
ALI IMRON RINALDO ADI PRATAMA................................................................................. 121

Internalizing Multiculturalism Values Through Education: Anticipatory Strategies for


Multicultural Problems and Intolerance in Indonesia
FIRDAUS, DIAN KURNIA ANGGRETA, FAISHAL YASIN…………………………………….. 131

Etnosentrisme dan Sikap Intoleran Pendatang Terhadap Orang Papua


ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI………………………………………………………………… 142

https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p1-150.2020 Attribution-ShareAlike 4.0 International.. Some rights reserved


JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

NEGARA DAN ILEGALITAS: STUDI KASUS PERDAGANGAN BURUNG


DI WILAYAH JAKARTA
1 2
Indraini Hapsari ( *), Semiarto Aji Purwanto ( )
12
Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION ABSTRACT

Submitted : 25th December, 2019 This article aims to analyze the relationship between state and
Review : 06thMarch, 2020 illegality which taking place at the center, namely in Jakarta. The
study becomes significant for examining how mechanisms and
Accepted : 30th April, 2020
relations of non-state and state actors occur. Many ethnographic
Published : 1st June, 2020 studies of illegal activities, such as gold mining, logging, and fishing
Available Online : June, 2020 show that such businesses take place on the periphery or border
where the state has weak control over such places. Data is conducted
by literature study and short field observations.Our case studies of
KEYWORDS illegal trade in the bird market in Jakarta will question the Weberian
perspective which defines the state as a legal and rational institution
State; illegality; bird trade; center-periphery; that will always enforce control in its territory. In this article, we
Jakarta. consider the state as a relational arena where it is possible for various
actors, both non-state and state actors, to participate in illegal
activities through contestations or collaboration to achieve their
CORRESPONDENCE respective interests or goals.

* E-mail:indrainihapsari@gmail.com

A. PENDAHULUAN

A
ktivitas perdagangan satwa liar bukanlah Asia merupakan pusat perdagangan satwa liar
sebuah fenomena yang baru. Menurut yang dilindungi yang menjadi sumber, jalur
van Uhm (2016), sejak peradaban transit, dan juga pasar hewan langka. Kawasan
manusia yang paling awal, aktivitas perda- Asia Tenggara sendiri sudah dikenal sebagai
gangan satwa hidup sudah terjadi, yakni mulai pusat perdagangan satwa liar (wildlife trade).
dari masa kekuasaan Firaun di Mesir sampai Indonesia yang memiliki biodiversitas yang tinggi
para kaum aristokrat di era modern ini. Ramses menjadi sumber yang penting di dalam per-
II sering terlihat bersama dengan peliharaannya dagangan gelap satwa liar yang dilindungi. Kepo-
berupa seekor singa dan Julius Caesar juga lisian menyebutkan kegiatan ilegal ini menduduki
pernah menerima hadiah berupa seekor urutan ketiga kejahatan di Indonesia yang
jerapah dari Cleopatra (2016:1). Hal ini menun- jumlahnya berada di bawah perdagangan narko-
jukkan bahwa sejak zaman awal peradaban tika dan terorisme (Tempo 2019: 26).
manusia hingga dewasa ini, pasar untuk satwa, Pasar yang menjual satwa liar terbesar di
baik sebagai bahan makanan, bahan pakaian, Asia Tenggara terletak di Indonesia, tepatnya di
peliharaan, atau objek hiburan sudah banyak kawasan ibu kota, Jakarta, yaitu Pasar Barito,
diminati oleh kalangan-kalangan tertentu. Jatinegara, dan Pramuka (TRAFFIC 2015). Per-
Berbicara mengenai pasar hewan, tidak dagangan satwa, baik yang legal maupun ilegal,
lengkap bilamana tidak membahas mengenai terjadi di tiga pasar tersebut. Pasar Barito yang
pasar yang ada di kawasan Asia. Kawasan terletak di Jalan Barito, Jakarta Pusat, terdiri atas
kurang/lebih 30 deretan kios yang secara khusus
1|P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p1-9.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

menjual burung dan hewan lainnya yang Kasus perdagangan burung ilegal di sebuah
terletak di pinggir jalan. Pasar Jatinegara, pasar burung di Jakarta dipilih karena selain
Jakarta Timur, terdiri atas kurang/lebih 40 toko berkaitan dengan komoditas burung (terutama
burung permanen yang terletak di kanan dan kicau) yang tengah menjadi tren di kalangan
kiri jalan (Jalan Kemuning); dan tambahan pecinta burung di perkotaan, juga erat kaitannya
beberapa pedagang burung dengan kios yang dengan lokasi dari pasar tersebut. Lokasi
tidak permanen yang berjualan di depan kios penelitian dipilih karena beberapa alasan.
permanen dan juga di tepian Jalan Matraman Pertama, seperti yang telah dijelaskan sebe-
Raya. Pasar Pramuka yang telah beroperasi lumnya, berdasarkan laporan yang dikeluarkan
sejak tahun 1976 berdiri di atas gedung oleh TRAFFIC (2015), beberapa pasar hewan di
permanen yang terdiri atas empat lantai dengan Jakarta menjadi salah satu pasar yang menjual
ratusan kios yang didominasi oleh penjual satwa liar terbesar di Asia Tenggara. Kedua,
burung dan juga perlengkapan burung, seperti secara konseptual, lokasi tempat perdagangan
makanan dan kandang. Selain menempati burung ilegal yang berada di ibu kota membuat
gedung utama, ada juga beberapa kios burung penulis memikirkan kembali mengenai konsep
permanen yang terletak di sekitar gedung dan/atau teori mainstream mengenai state
utama (TRAFFIC 2015). formation yang selama ini dipahami dengan
Pemaparan mengenai aktivitas perdaga- menggunakan kerangka berpikir Weberian. Lo-
ngan satwa liar di atas memunculkan perta- kasi pasar yang berada di ibu kota juga dapat
nyaan-pertanyaan penelitian. Apakah aktivitas membongkar pernyataan yang selama ini
ilegal selalu dikaitkan dengan negara yang mengatakan bahwa aktivitas ilegal terjadi di
memiliki kontrol yang lemah di dalamnya? wilayah yang mana negara lemah kontrol
Apakah dengan memasukkan kontrol negara terhadapnya (Ballard 1997; Tagliacozzo 2005;
yang lebih kuat di dalam aktivitas perdagangan Erman 2008; Ford & Lyons 2019).
satwa ilegal akan mengurangi atau menghi-
langkan jumlah aktivitas tersebut? Bagaimana
dengan Indonesia sendiri sebagai salah satu C. HASIL DAN PEMBAHASAN
negara yang dijadikan sumber penting di dalam 1. Kajian Praktik Ilegalitas di Indonesia
perdagangan satwa liar, apakah ini menggam-
barkan sistem pemerintahan dan penegakan

B
hukum yang lemah?. Tulisan ini bertujuan untuk eberapa literatur telah menginspirasi
menganalisis hubungan antara negara dan penulis dalam penulisan artikel dengan to-
ilegalitas dalam melihat aktivitas perdagangan pik mengenai relasi antara negara dengan
satwa liar yang terjadi di ibu kota negara dan aktivitas perdagangan burung ilegal ini. Tinjauan
pengawasan yang dilakukan oleh negara terhadap literatur-literatur juga dapat membuat
terhadap aktivitas tersebut. penulis menemukan relung yang dapat diisi atau
diperkaya (novelty) dengan penelitian yang akan
B. METODE PENELITIAN dilakukan.
Tulisan pertama datang dari Erman (2008)
yang membahas mengenai relasi antara aktor-

D
ata di dalam artikel ini diperoleh dengan
aktor negara dan para penambang timah ilegal di
memanfaatkan studi berbagai literatur
Pulau Bangka. Fokus utama dari tulisan ini
yang membahas mengenai ilegalitas
adalah melihat bagaimana suatu aktivitas eko-
yang terjadi di Indonesia. Selain melakukan
nomi ilegal adalah bukan sekadar persoalan
studi literatur, untuk mendapatkan data me-
memberikan label sebagai transaksi yang terdaf-
ngenai praktik ilegalitas di wilayah center,
tar atau tidak, tetapi juga mengenai relasi kuasa
penulis melakukan penelitian empirik dan pe-
di antara aktor negara dengan masyarakat dalam
ngamatan secara singkat. Penelitian empirik
usaha untuk mendapatkan akses sumber daya
yang melihat relasi antara manusia dengan
timah. Erman (2008) juga menjelaskan mengenai
komunitasnya, manusia dengan sumber daya
alasan mengapa Pulau Bangka menjadi wilayah
alam, serta manusia dengan hukum akan
yang strategis untuk dilakukannya penyelundu-
memperlihatkan non-obvious connections anta-
pan terhadap timah. Penyelundupan timah yang
ra regulasi-regulasi tertentu dan bagaimana
banyak terjadi di Bangka disebabkan oleh kondisi
individu atau kelompok merespons regulasi
geografis Bangka yang strategis, yakni dikelilingi
tersebut (Teletsky 2017: 120). Penelitian perta-
oleh lautan dan pulau-pulau kecil, serta dekat
ma dilakukan dengan melakukan wawancara
dengan pasar bebas di Singapura dan Penang
dengan pegiat yang ada di sebuah lembaga
(2008: 93). Dengan kata lain, di dalam konteks
yang terkait dengan konservasi dan per-
kasus yang dijelaskan oleh Erman (2008),
dagangan komoditas burung pada bulan
pertam-bangan ilegal timah di Bangka dapat
Agustus tahun 2019. Dalam penelitian yang
berlangsung dan berkelanjutan karena lokasinya
kedua, penulis melakukan wawancara dan
yang dianggap strategis, yakni di wilayah yang
pengamatan singkat di sebuah pasar burung di
Jakarta pada bulan April dan September 2019.
2|P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p1-9.2020 INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

dianggap jauh dari jangkauan negara dan beragam. Hampir semua song bird seper-
berdekatan dengan pasar bebas. tinya, ya. Selain bird keeping, sekarang
Lemahnya pengawasan negara juga men- kontes burung juga sudah banyak dite-
jadi penyebab perdagangan macan tutul mukan di berbagai daerah di Indonesia.
Sunda, Prionailurus javanensis, yang masih Burung yang dikonteskan juga sangat
terus berlanjut hingga kini (Nijman, dkk. 2019). beragam jenisnya, terutama song bird.
Pada kasus yang lain, Jepson, dkk. (2011)
juga melaporkan lemahnya kapasitas negara Tren bird keeping dan bird contest tadi
untuk meregulasi, absennya organisasi kor- telah menyebabkan peningkatan perbu-
porat besar, serta tidak adanya budaya yang ruan burung di daerah-daerah pedesaan.
kuat untuk melakukan konservasi satwa liar Burung-burung tersebut juga banyak dijual
dalam diri masyarakat menjadi faktor terbesar di perkotaan, bahkan kota besar, seperti
penghambat sulitnya melakukan konservasi Jakarta. Saya pernah mengobrol dengan
burung-burung liar di Indonesia. Baik tulisan salah satu petinggi di kantor BKSDA,
Nijman, dkk. (2019) maupun Jepson, dkk. beliau bilang bahwa pasar itu bagaikan
(2011) membuat penulis kembali berefleksi, suatu etalase. Burung-burung yang dipa-
apakah aktivitas ilegal memang berkaitan jang di dalam sangkar yang dilihat oleh
dengan kontrol negara di periferi yang lemah. pembeli, itu cuma sebagian yang muncul di
Studi Iskandar dan Iskandar (2015) mengenai permukaan.Di balik itu, ada burung-burung
kontes burung kicau di Bandung, Jawa Barat khusus yang hanya dikeluarkan ke serious
dan dampaknya terhadap konservasi burung di buyer saja.”
alam memberikan penulis gambaran lain me-
ngenai keterkaitan antara aktivitas pemeliha- (Catatan lapangan, 28 Agustus 2019)
raan, perdagangan, dan kontes burung dengan
jumlah perburuan burung di alam. Mereka Memelihara burung sangat popular dan
melihat bahwa aktivitas pemeliharaan burung, sudah menjadi hobi banyak orang di Indonesia
kontes burung, dan perdagangan burung yang (Iqbal 2015:132). Burung yang dipelihara keba-
justru terjadi di perkotaanlah yang mendorong nyakan merupakan burung hasil perdaga-ngan
perburuan burung yang tidak terkendali di yang tidak teregulasi (karena burung yang
pedesaan. Sayangnya, mereka tidak secara diperdagangkan merupakan spesies yang dilin-
mendalam menguraikan bagaimana proses dungi). Hal itu membuat beberapa spesies men-
perdagangan burung liar di perkotaan dapat jadi terancam punah, seperti murai hijau jawa
terjadi dan berkelanjutan. (Cissa thalassina), bulbul berkepala jerami
(Pycnonotus zeylanicus), dan kakatua jambul
kuning (Cacatua sulphurea) (2015:132). Meme-
2. Temuan Empiris di Lapangan
lihara burung juga merupakan tradisi yang
melekat pada kebudayaan orang Jawa, oleh
Selain mengulas beberapa literatur, penulis sebab itu permintaan burung lokal paling banyak
juga melakukan pengamatan singkat ke sebuah adalah dari daerah-daerah di Pulau Jawa
lembaga konservasi burung dan sebuah pasar (TRAFFIC, 2015). Bilamana dibandingkan de-
burung untuk mendapatkan temuan empirik. ngan pemelihara satwa bukan-burung, rumah
Pada bulan Agustus 2019, penulis mengunjungi tangga yang memelihara burung liar (wild-caught
sebuah lembaga konservasi yang berfokus birds) yang termasuk dalam tiga kategori
pada pelestarian burung-burung liar di konservasi (burung kicau lokal, burung beo lokal,
Indonesia. Penulis berbincang dengan salah dan burung kicau impor) rata-rata memiliki
seorang pegiat di lembaga tersebut. Menu- pendidikan yang lebih tinggi serta kondisi
rutnya, upaya konservasi burung langsung perekonomian yang lebih baik. Di sisi lain, rumah
berkaitan dengan aktivitas pemeliharaan tangga yang memiliki burung yang memang
burung (bird keeping) dan juga kontes burung sengaja diternakkan secara komersial rata-rata
(bird contest). memiliki kondisi perekonomian yang baik pula
namun tingkat pendidikannya tidak setinggi
“Belakangan ini, tren bird keeping dan mereka yang memelihara burung-burung liar
contest jadi lebih popular lagi di (Jepson dan Ladle 2005).
Indonesia. Dulu, aktivitas memelihara Pada bulan September 2019, penulis
burung lebih banyak dikaitkan dengan mengunjungi sebuah pasar burung di daerah
tradisi Jawa, kukila. Kalau kukila yang Jakarta. Sejauh pengamatan penulis, burung-
dipelihara cuma perkutut. Perkutut jadi burung yang dipajang di sana tidak ada yang
lambang prestisenya laki-laki Jawa. masuk daftar red list atau dikategorikan sebagai
Sekarang ini, alasan orang memelihara 1
endangered oleh IUCN . Dari wawancara dengan
burung sudah mengalami pergeseran;
jenis burung yang dipelihara juga lebih 1
IUCN (The International Union for the Conservation of
Nature) Red List of Threatened Species (dikenal juga sebagai
3|P a g e
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p1-9.2020
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

seorang pedagang pakan burung terungkap law’ alongside democracy, a free press, and fair
bahwa ada burung-burung tertentu yang election as critical achievements of modernity.”
memang sengaja tidak dipajang oleh penjual di Kalimat ini, menurut penulis adalah awal bagi
pasar tersebut, salah satunya adalah jalak putih upaya untuk menjelaskan keterkaitan antara
2
(Acridotheres melanopterus) . Selain mence- pemerintahan (governance) dan penegakan hu-
ritakan soal keberadaan burung-burung khusus kum di dalam lingkup pemerintahan itu sendiri.
tersebut, informan juga mengatakan bahwa Menurut Weber (1978: 217) tipe ideal dari
petugas BKSDA (Balai Konservasi Sumber dominasi terlegitimasi yang ditemukan di dalam
Daya Alam) yang bertugas di pasar tersebut masyarakat modern adalah otoritas yang legal
jumlahnya sangat sedikit dan sangat jarang dan rasional (rational grounds). Dalam rezim
pula melakukan pengawasan. Informan juga dominasi legal-rasional ini, setiap bagian dari
mengatakan bahwa jaringan perdagangan hukum secara esensial berada di dalam sebuah
burung ilegal yang terjadi di pasar tersebut juga sistem yang konsisten yang terdiri atas
diduga kuat melibatkan oknum aparatur negara. peraturan-peraturan yang abstrak yang dibuat
secara sengaja. Bentuk dominasi yang legal-
rasional menjadi dasar negara modern. Weber
3. Negara Hukum yang Legal dan Rasional juga mengatakan bahwa negara merupakan
sebuah komunitas manusia yang (dengan
Setiap tahun, The World Justice Project sukses) mengklaim monopoli terhadap hak untuk
3
(WJP ), mengeluarkan sebuah peta dunia yang menentukan apa yang legal dan ilegal di dalam
berisikan indeks peraturan hukum negara- teritorinya (Cribb 2011: 31). Pada negara-negara
negara di dunia. Tujuan mereka antara lain Barat, hukum tertulis dan keputusan pengadilan
adalah mengevaluasi tingkat ketaatan warga dianggap berasal dari masyarakat itu sendiri.
negara pada peraturan. Indonesia menjadi Namun begitu, Moustaira (2017:304) mengata-
salah satu negara yang diwakili oleh warna kan bahwa karakter mistik dan religius dari
merah muda, yang menunjukkan tingkat pondasi hukum sering kali diabaikan atau bahkan
ketaatan terhadap peraturan hukum rata-rata. ditolak karena dianggap bertentangan dengan
WJP berupaya meningkatkan tingkat ketaatan asumsi positivis yang legal dan juga rasional.
negara-negara di dunia pada peraturan hukum Dengan demikian, konsep dari legalitas
karena mereka yakin bahwa hal itu dapat sendiri sebenarnya inheren di dalam konsep
mengurangi angka korupsi, melawan kemis- modern mengenai negara. Negara dapat
kinan dan penyakit, serta memproteksi mendefinisikan apa yang legal atau ilegal dan
masyarakat dari ketidakadilan. Peraturan hukum menanamkan dasar perbedaan tersebut di dalam
juga merupakan dasar dari keadilan, ke- legitimasinya (Aspinall dan van Klinken 2011: 2).
sempatan, serta kedamaian di dalam masya- Aspinall dan van Klinken (2011) juga mentakan
rakat yang dapat menjadi penyokong bahwa negara-negara yang tergabung di dalam
pembangunan, pemerintahan yang akuntabel, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) juga menga-
serta penghargaan terhadap hak-hak funda- dopsi definisi negara Weber sebagai landasan
4
mental manusia . Dengan demikian, menurut legitimasinya, yakni bahwa negara memiliki
WJP, tujuan dari kebijakan pembangunan kuasa untuk menegakkan hukum dan bila perlu
adalah untuk memberikan stimulasi kepada menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan
negara-negara di dunia agar dapat melalui tersebut (2011: 2).
proses evolusi menuju indeks kuartil yang
menunjukkan masyarakat yang lebih taat pada
4. Negara dan Paradoks Neoliberalisme
peraturan. McCarthy (2011: 92) mengatakan,
“The governance discussion places ‘the rule of
Perdagangan satwa ilegal, selain membawa
kerusakan pada lingkungan alam, juga mem-
IUCN Red List atau Red Data List) dibentuk pada 1964
sebagai inventarisasi konservasi global yang menangani bawa penulis pada pertanyaan mengenai posisi
masalah spesies biologi. IUCN merupakan pemegang dan peran negara. Dari pernyataan McCarthy
otoritas terbesar dunia yang berspesialisasi dalam (2011: 90), “While state failure in environmental
menentukan status konservasi dari suatu spesies. management contributes to environmental de-
2
Jalak putih (Acridotheres melanopterus) termasuk salah
satu burung yang dilindungi berdasarkan daftar lampiran cline, it also brings up the very question of the
yang dikeluarkan dalam PP No.7 Tahun 1999 tentang state,” penulis melanjutkan dengan pertanyaan,
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta tertuang apakah kegagalan negara dalam mengatasi atau
dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1994 ini dinyatakan
mengurangi jumlah aktivitas perdagangan satwa
berstatus kritis atau “critically endangered” oleh IUCN.
(Sumber:http://www.satuharapan.com/read detail/read/jalak ilegal merupakan suatu gejala dari pemerintahan
-putih-burung-endemik-berstatus-kritis) yang tidak baik? Apakah pemerintahan yang baik
3
Dikutip dan disunting dari https://worldjustice (good governance) ditandai dengan sistem
project.org/rule-of-law-index/global (diakses pada 24 Mei
negara yang kuat?
2019, pukul 10.11 WIB).
4
Dikutip dan disunting dari https://worldjustice Sistem pemerintahan yang baik merupakan
project.org/rule-of-law-index/global (diakses pada 24 Mei suatu kunci pemerintahan yang modern dan
2019, pukul 10.15 WIB).
4|P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p1-9.2020 INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

merupakan syarat yang krusial bagi demokrasi Mencermati kasus perdagangan burung ilegal
di era neoliberal. Secara global, neoliberalisme di atas dengan sistem pemerintahan di Asia
muncul sebagai rangkaian perubahan dan Tenggara, khususnya Indonesia, maka peme-
pergeseran di dalam ekonomi-politik dunia rintah seharusnya menerapkan kontrolnya
pada tahun 1970-an dan 1980-an (Nevins dan terhadap aktivitas tersebut. Pemerintah Indo-
Peluso 2009: 9). Di Asia Tenggara sendiri, nesia telah menetapkan keanekaragaman hayati
runtuhnya pemerintahan presiden Indonesia mana yang dianggap dilarang dan diperbolehkan
Soekarno yang menyebabkan dukungan Ame- untuk diperjualbelikan melalui Undang-Undang
rika Serikat dan Inggris pada masa Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
dalam krisis 1965-1966 dan perang Vietnam Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
menjadi momen yang penting di dalam kemun- serta regulasi turunannya, yakni Peraturan
culan neoliberalisme (2009: 9). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Merujuk pada von Mises yang menyatakan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan
bahwa neoliberalisme merupakan kebangkitan dan Satwa yang Dilindungi. Dengan kata lain,
ekonomi liberal laissez-faire di abad ke pemerintah telah melakukan pemagaran (enclo-
sembilan belas, Graeber (2015: 10) menya- sure) (Nevins dan Peluso 2009) atau praktik
takan bahwa gagasan mengenai pasar (harus) teritorialisasi (Vandergeest dan Peluso 1995),
bertentangan dan independen dari pemerintah. dalam hal ini kepada jenis satwa tertentu.
Asumsi neoliberal atau ekonomi liberal laissez- Penetapan status suatu satwa sebagai dilindungi
faire di abad kesembilan belas tersebut yang atau dilarang diperjualbelikan telah menandakan
menjadi titik tolak Graeber dalam melihat “sisi bahwa negara memiliki kuasa dalam menerap-
lain” asumsi tersebut. Alih-alih pasar bekerja kan kontrol dan manajemen terhadap sumber-
secara lebih efisien tanpa campur tangan dari daya alam yang ada di dalam teritorinya.
birokrasi pemerintahan, Graeber justru melihat
adanya suatu paradoks di era neoliberal.
5. Negara dan Praktik Ilegalitas
Pengurangan campur tangan pemerintah di
dalam proses ekonomi ternyata berakhir
dengan diproduksinya regulasi, birokrasi, dan Diskusi mengenai keterkaitan antara negara
kebijakan yang lebih banyak (2015: 19). dan legalitas sebelumnya membawa penulis
Sejalan dengan itu, Nevins dan Peluso terhadap diskusi mengenai negara dan ilegalitas.
(2009) mengatakan bahwa karakteristik par- Bilamana mendasarkan pemikiran menggunakan
tikular dari negara-negara di Asia Tenggara kerangka negaranya Weber, maka aktivitas yang
yang otoritarian berpengaruh di dalam proses dikatakan sebagai ilegal jelas dikatakan sebagai
pembangunan pasca kolonialisme. Negara- sesuatu yang tidak dapat diterima karena
negara otoritarian di Asia Tenggara telah melanggar hukum dari negara. Ilegalitas dapat
memainkan peran yang penting di dalam dikatakan sebagai efek dari negara karena
menginisiasi, menjaga, dan memagari melalui narasi dari ilegalitas tersebut, secara
(enclosure) berbagai sumber daya alam, baik paradoksal kita dibawa untuk membayangkan
itu tanah, mineral, perikanan, yang ditujukan aktor-aktor yang berada di dalam negara sebagai
sebagai akumulasi swasta dan juga negara jawaban dari ilegalitas tersebut. Dengan kata
(2009: 3). Proses ini melibatkan apropriasi lain, bilamana kita melihat aktivitas ilegal sebagai
lahan, sumber daya, dan manusia, kemudian suatu bentuk pelanggaran hukum, maka jawaban
mengubah itu semua menjadi suatu komoditas dari hal itu adalah dengan memasukkan
agar akumulasi kapital dapat dilakukan (2009: intervensi dan reformasi pemerintahan untuk
3). Merujuk pada Vandergeest dan Peluso menguatkan kapasitas negara dalam mengura-
(1995), proses tersebut juga dapat dikatakan ngi ilegalitas tersebut (McCarthy 2011: 93).
sebagai teritorialisasi, yaitu “...the attempt by an Selanjutnya, McCarthy (2011: 93) mempertanya-
individual or group to affect, influence, or kan, bilamana berpegang pada asumsi negara
control people, phenomena, and relationships sebagai sebuah bentuk komunitas legal-formal
by delimiting and asserting control over a seperti yang telah dijabarkan, mengapa kasus
geographic area’’ (1995: 388). Proses terito- ilegalitas masih banyak terjadi?
rialisasi dimaknai sebagai suatu proses yang Berenschot dan van Klinken (2018: 100)
dilakukan oleh negara modern untuk membagi pernah mengatakan bahwa birokrasi di Indonesia
wilayah menjadi zona-zona politik dan ekonomi tidak beroperasi sebagai sebuah institusi yang
yang kompleks serta saling tumpang tindih, terikat pada peraturan, laiknya yang digam-
mengatur kembali penduduk dan sumber daya barkan oleh Weber di dalam mengaplikasikan
dalam zona-zona tersebut, dan membuat hukum dan regulasinya. Di Indonesia, juga
aturan yang membatasi bagaimana dan oleh negara-negara lain di dunia, keterlibatan aktor-
siapa wilayah tersebut dapat dimanfaatkan aktor negara dalam aktivitas ilegal merupakan
(Oktayanty 2014: 85). sesuatu yang sudah diketahui masyarakat umum
dan tersebar di mana-mana (Aspinall dan van

5|P a g e
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p1-9.2020
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Klinken 2011: 2). Keterlibatan aktor-aktor ne- peka dalam melihat aktor-aktor negara yang
gara di dalam aktivitas kriminal dalam suatu berkolaborasi dengan masyarakat pada
organisasi yang besar, seperti dalam peme- umumnya, sering kali sampai pada titik di mana
rasan, penyelundupan, penebangan liar, dan batas yang memisahkan antara negara dengan
perdagangan narkotika berdampak pada pan- masyarakat menjadi kabur atau bahkan
dangan terhadap ilegalitas yang sering kali terhapus, terutama pada level lokal (Aspinall dan
dilihat sebagai sesuatu yang terlegitimasi oleh van Klinken 2011: 12).
sebagian masyarakat (2011: 4). Dengan Banyak ilmuwan dan aktivis yang memahami
demikian, aktivitas ilegal yang dilakukan oleh istilah “ilegal” sebagai label yang diasosiasikan
aktor-aktor negara akan lebih baik dipahami dengan hal yang negatif. Di dalam konteks
bukan sebagai suatu penyimpangan dari cara tulisan ini, penulis sepakat dengan pandangan
kerja negara yang normal, melainkan sebagai Thomas dan Galemba (2013) yang memahami
bagian dari logika negara itu sendiri (Aspinall “ilegalitas” sebagai sebuah kategori sosial,
dan van Klinken 2011: 19). subjektif, politis, dan spasial yang diproduksi
Alih-alih menggunakan kerangka berpikir (2013: 211). Bilamana menyitir dari pernyataan
negara yang diajukan oleh Weber, McCarthy Nicholas De Genova (2004), “There is [often]
(2011) menyarankan agar kita bisa memilih nothing matter-of-fact about illegality.” Label legal
pendekatan lain yang memungkinkan untuk atau ilegal menggambarkan sebuah relasi antara
membongkar oposisi antara legal dan ilegal, aktivitas perdagangan dengan suatu hukum
serta memberikan perhatian terhadap ketidak- negara (Bruns dan Miggelbrink 2012: 11).
cocokan antara logika hukum negara dengan Dengan kata lain, baik perdagangan yang legal
praktik sehari-hari masyarakat. Pendekatan maupun ilegal merupakan dampak dari regulasi
tersebut harus menunjukkan peran dari yang dibuat oleh negara.
ilegalitas di dalam konteks yang lebih luas, di Di dalam kasus perdagangan satwa ilegal di
mana ilegalitas tersebut menjadi bagian dari Indonesia, bila melihatnya hanya sebagai bentuk
logika dasar dari relasi politik yang sebenarnya pelanggaran hukum yang bisa diatasi dengan
dapat menyokong relasi tersebut (2011: 94). kontrol negara, maka itu akan mengaburkan
Pendekatan teori sosial terhadap negara dan persoalan penting lainnya. Indonesia, tepatnya di
hukumnya mengisyaratkan bahwa hukum kawasan Jakarta, adalah tempat di mana pasar
sendiri merupakan refleksi dari suatu relasi yang menjual hewan liar terbesar di Asia
kuasa (2011: 94). Sebelumnya, Heyman dan Tenggara berada. Pasar-pasar tersebut ter-
Smart (1999) juga sudah menekankan bahwa golong sebagai pasar resmi yang mengantongi
hukum (negara) telah menciptakan zona-zona surat izin dari pemerintah setempat. Terletak di
ambiguitas dan ilegalitas itu sendiri. Studi ibu kota, seharusnya negara memiliki kontrol
empiris mengenai negara dan ilegalitas penuh terhadap aktivitas yang terjadi di
memungkinkan untuk melampaui asumsi yang dalamnya. Namun demikian, perdagangan satwa
mengatakan bahwa negara selalu menegakkan ilegal masih dilakukan. Apakah kita masih bisa
hukum di dalam teritorinya (1999: 1). mengatakan bahwa negara yang lemah kontrol
Aspinall dan van Klinken (2011) menawar- menjadi alasan utama berlangsungnya aktivitas
kan sebuah pendekatan, yakni relasional- perdagangan satwa ilegal di dalam pasar-pasar
strategis (strategic-relational approach) untuk resmi tersebut? Dengan demikian, aktivitas-
mempelajari keterlibatan aktor-aktor negara di aktivitas ilegal, dalam hal ini adalah perdagangan
dalam suatu aktivitas ilegal yang banyak terjadi satwa ilegal yang terjadi adalah bukan serta-
di Indonesia. Pendekatan ini melihat bahwa merta menggambarkan bentuk pelanggaran
aktivitas ilegal yang dilakukan oleh aktor negara hukum (McCarthy 2011). Aktor-aktor negara
akan lebih baik dipahami sebagai sebuah yang terindikasi terlibat di dalam aktivitas ilegal
produk dari strategi kompetitif di antara tersebut, bukan juga merupakan bentuk
kepentingan-kepentingan dan aktor-aktor yang penyimpangan dari cara kerja negara yang
heterogen yang berada dalam negara (2011: normal (Aspinall dan van Klinken 2011). Aktivitas
10). Pendekatan ini sebenarnya merupakan perdagangan satwa ilegal, baik yang melibatkan
nomenklatur alternatif yang berasal dari aktor negara atau tidak, yang terjadi di dalam
pendekatan yang dibunyikan oleh Migdal teritori sebuah negara merupakan epitome dari
(2001), yakni pendekatan state-in-society. negara itu sendiri. Negara bukanlah sebuah
Keduanya menekankan bahwa negara bukan entitas ideologis tetap yang berdiri di sebuah
merupakan suatu ‘objek’, melainkan sebuah ruang hampa, tetapi merupakan sebuah arena
arena relasional. relasional tempat berbagai tekanan sosial
Seperti telah dijelaskan dalam pemaparan berkelindan satu sama lain melalui material atau
mengenai pendekatan relasional-strategis dan simbol-simbol, saling berkompetisi mempere-
state-in-society di atas, studi mengenai negara butkan supremasi melalui perjuangan dan
kini harus dimasukkan ke dalam studi akomodasi, pertentangan, dan koalisi (Migdal
mengenai masyarakat. Ahli antropologi, 2001: 107).
ilmuwan politik, dan lainnya harus bisa lebih
6|P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p1-9.2020 INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

6. Menguji Praktik Ilegalitas di Wilayah (2005) mengatakan bahwa penglihatan negara


Center yang astigmatik terhadap wilayah zomia (wilayah
yang jauh dari kontrol negara) akan berimplikasi
Penulis belajar dari Tagliacozzo (2005: 5) pada negara yang selalu paranoid terhadap
mengenai undertrading, yaitu pergerakan kondisi yang obscure tersebut. Biasanya,
contraband dalam jumlah yang besar atau, “the kegelisahan atau paranoia negara terhadap hal-
passage of goods underneath, or at the legal hal tersebut digambarkan melalui proses
and geographic interstices of, the majority of pengamanan yang ketat (2005: 23).
items being traded in this arena”. Undertrading Bilamana van Schendel dan Abraham (2005)
biasanya berlangsung di tiga tempat, yakni di mengatakan bahwa negara memiliki paranoia
perbatasan atau wilayah periferi yang jauh dari terhadap wilayah periferi sehingga ia cenderung
pandangan dan jangkauan negara; di natural terobsesi untuk menguatkan kontrol di wilayah
choke point seperti jalan setapak menuju tersebut, Ballard (1997) mengatakan hal
wilayah pegunungan atau jalan air yang sempit, sebaliknya. Di dalam komunitas lokal yang
tempat yang biasanya tidak dilewati jalur terletak di wilayah-wilayah frontier yang jauh dari
perdagangan karena wilayah geografis yang pusat pemerintahan yang terdapat di Asia-
sulit dilalui; dan di dalam hiruk-pikuk perkotaan Pasifik, Afrika, dan Amerika Selatan, klaim
tempat negara disibukkan dengan aktivitas- negara terhadap pengawasan dan penguasaan
aktivitas lain yang berjalan bersamaan (2005: sumber daya alam, terutama sumber daya
5). mineral, kerap kali dilihat secara skeptis atau
Perdagangan burung ilegal yang dilakukan bahkan ditolak keberadaannya. Hal tersebut
di ibu kota membuat penulis berefleksi terhadap disebabkan karena absennya keberadaan
tulisan tersebut. Pasar burung terbesar di negara di dalam wilayah-wilayah tersebut. Lebih
Jakarta bukan berada di wilayah perbatasan jauh, ia mengatakan bahwa ketika kehadiran
atau periferi yang jauh dari pandangan dan institusi negara hanya sedikit atau bahkan absen
jangkauan negara. Tidak juga di natural choke sama sekali, baik secara material maupun
point. Apakah aktivitas perdagangan burung simbolis, di wilayah yang jauh dari pusat
ilegal di Jakarta disebabkan karena “negara pemerintahan, kemampuan negara untuk
terlalu sibuk dengan aktivitas-aktivitas lain yang menegakkan kedaulatan atau suaranya di
berjalan bersamaan”? Beberapa literatur yang wilayah-wilayah tersebut menjadi dipertanyakan
menjelaskan masalah aktivitas ilegal, seperti kembali (Ballard dan Banks 2003: 296). Ford dan
pertambangan liar, penangkapan ikan ilegal, Lyons (2019) juga mengatakan bahwa
dan penebangan hutan liar biasanya dilakukan mempelajari ilegalitas adalah hal yang penting di
di dua tempat ideal yang disebutkan oleh dalam konteks Indonesia. Mereka mengatakan
Tagliacozzo (2005) di atas, yakni wilayah bahwa aktivitas-aktivitas ilegal yang paling
periferi atau natural choke point. Selain menyolok mata terjadi di wilayah periferi di mana
mempersoalkan masalah the nature of the state agensi-agensi pemerintah sering kali kesulitan
sebagai sebuah institusi legal-rasional yang untuk mengawasi praktik-praktik ilegal yang
selalu menegakkan hukum di dalam teritorinya, muncul. Bagi Miswanto dan Arfa (2016:4), salah
penulis juga akan memunculkan pertanyaan satu faktor yang mendorong terjadinya ilegalitas
mengenai jaringan dari perdagangan burung adalah karena kondisi geografis Indonesia yang
ilegal yang terjadi di wilayah center tersebut. luas sehingga menyulitkan aparat negara untuk
Rademacher (2015) mengatakan bahwa memberantas aktivitas tersebut (2016: 4).
studi etnografi yang terkait dengan ekologi Dari pernyataan van Schendel dan Abraham
politik sebagian besar dilakukan di wilayah (2005), Ballard (1997), serta Ford dan Lyons
pedesaan atau agraris (2015: 140). Sekarang, (2019) mengenai kehadiran negara dan
kita juga harus memberikan perhatian tentang pengaruhnya di wilayah periferi, penulis mengin-
bagaimana pusat institusi dan kuasa negara dikasikan kemungkinan terjadinya praktik ilegali-
memengaruhi relasi-relasi kuasa yang ada di tas yang melibatkan aktor negara di dalam-nya.
wilayah pedesaan atau pinggiran (2015: 140). Data dan analisis penulis menunjukkan bahwa
Studi mengenai pusat institusi dan kuasa terjadinya praktik ilegal di wilayah yang dekat
negara tersebut memberikan pemahaman dengan pusat pemerintahan dimungkinkan terjadi
etnografis yang lebih mendalam mengenai karena adanya jalinan para aktor, baik aktor non-
mekanisme birokrasi yang mendorong dan negara maupun negara, yang terlibat di dalam
mengorganisasikan diskursus-diskursus peru- jaringan perdagangan komoditas ilegal tertentu.
bahan lingkungan (2015: 140). Perdagangan Perdagangan barang gelap tidak terjadi di
burung ilegal di wilayah yang dianggap lebih wilayah antah-berantah atau ruang hampa, tetapi
dekat dengan pusat pemerintahan membuat terjadi di suatu teritori yang dinamakan sebagai
penulis memikirkan kembali mengenai negara. Kontrol terhadap suatu teritori secara
kompleksitas mata rantai jaringan perdagangan intrinsik berhubungan dengan karakte-ristik
di dalamnya. Van Schendel dan Abraham normatif dari negara modern yang berhak
7|P a g e
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p1-9.2020
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

memonopoli kekerasan yang terlegitimasi untuk terjadinya praktik ilegalitas merupakan sebuah
menegakkan hukum. Untuk bermain dengan arena yang di dalamnya terdapat berbagai aktor,
rapi, mata rantai jaringan perdagangan ilegal di yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai
perkotaan mengisyaratkan rangkaian yang kepentingan masing-masing, baik sendiri-sendiri
lebih panjang dan melibatkan lebih banyak atau bersama.
aktor yang heterogen di dalamnya.
E. UCAPAN TERIMA KASIH
D. KESIMPULAN

U
capan terima kasih penulis sampaikan

P
raktik ilegalitas terjadi di berbagai kepada Irwan Hidayana dan Suraya Afiff
wilayah di Indonesia, terutama di wilayah dari Program Pasca Sarjana, Departe-
periferi atau frontier. Wilayah tersebut men Antropologi, Universitas Indonesia
potensial sebagai lokasi terjadinya praktik atas fasilitasi dan diskusi selama penulisan
ilegalitas karena negara dianggap sering kali artikel. Terima kasih juga diucapkan kepada
memiliki kontrol yang lemah di dalamnya. Studi semua pihak yang telah berkontribusi, baik
mengenai perdagangan burung ilegal di sebuah secara materiil maupun moril, dalam proses
pasar burung di Jakarta ini menunjukkan bahwa penulisan artikel ini yang tidak dapat penulis
praktik ilegalitas juga berlangsung di wilayah sebutkan satu per satu.
center, yakni lokus yang sering diasumsikan
bahwa negara memiliki kuasa yang kuat di
dalamnya. Dari perspektif negara Weberian,
praktik ilegalitas di wilayah center dan
keterlibatan aktor negara merupakan penyim-
pangan dari negara sebagai institusi legal dan
rasional. Akan tetapi, sebagaimana diungkap
Aspinall dan van Klinken (2011) serta McCarthy
(2011), praktik ilegalitas tersebut merupakan
bagian yang membangun logika negara itu
sendiri. Dengan melihat negara sebagai sebuah
arena kekuasaan (Migdal 2001; Aspinall dan
van Klinken 2011), dapat dipahami bahwa lokus

DAFTAR PUSTAKA

Aspinall, E., & G. Van Klinken. (2011). The State and Illegality in Indonesia. Aspinall, E., & G. Van
Klinken (eds.) The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Ballards, C., & G. Banks. (2003). Resource Wars: The Anthropology of Mining. Annual Review
Anthropology, 32(-), pp. 287-313.
Berenschot, W.,& G. Van Klinken. (2018). Informality and Citizenship: The everyday state in
Indonesia. Citizenship Studies, 22(2), pp. 95-111.
Bruns, B., & J. Miggelbrink. (2012). Subverting Borders: Doing Research on Smuggling and Small-
Scale Trade. Wiesbaden: VS Verlag.
Cribb, R. (2011). A system of exemptions: Historicizing state illegality in Indonesia. Aspinall, E. & G.
Van Klinken (eds.) The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
De Genova, N. (2004). The Legal Production of Mexican/Migrant “Illegality”. Latino Studies 2, pp. 160-
185.
Erman, E. (2008). Rethinking Legal and Illegal Economy: A case study of tin mining in Bangka Island,
pp. 91-111.
Ford, M., & L. Lyons. (2019). The Illegal as Mundane: Researching border-crossing practices in
Indonesia’s Riau Islands. Routledge, pp. 1-16.
Heyman, J.M., & A. Smart. (1999). States and Illegal Practices: An Overview. Heyman, J.M. (ed.)
States and Illegal Practices. Oxford and New York: Berg.
Iskandar, J., & B.S. Iskandar. (2015). Pemanfaatan Aneka Ragam Burung dalam Kontes Burung
Kicau dan Dampaknya terhadap Konservasi Burung di Alam: Studi kasus di Kota Bandung,
Jawa Barat. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON, 1(4), pp. 747-752.
Iqbal, M. (2015). Looking at Online Bird Trading in Indonesia: A Case Study from South Sumatra.
Birding ASIA, 24(-), pp. 132-135.
Jepson, P., dkk. (2011). Assessing market-based conservation governance approaches: a socio-
economic profile of Indonesian markets for wild birds. Flora & Fauna Internasional, Oryx, 45(4),
pp. 482-491.

8|P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p1-9.2020 INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Jepson, P., & R.J. Ladle. (2005). Bird-Keeping in Indonesia: Conservation impacts and the potential
for substitution-based conservation responses. Oryx, 39(4), pp. 1-6.
McCarthy, J.F. (2011). The limits of illegality: State, governance, and resource control in Indonesia.
Aspinall, E. & G. Van Klinken (eds.) The State and Illegality in Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Migdal, J. (2001). State in Society: Studying how states and societies transform and constitute one
another. Cambridge: Cambridge University Press.
Miswanto & Arfa, D. (2016). Perdagangan dan Penyelundupan Pekerja Migran Indonesia di
Malaysia.Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, 18(1), pp. 1-11.
Moustaira, E.N. (2017). Narratives of Laws, Narratives of Peoples.Nafziger, J.A.R. (ed.) Comparative
Law and Anthropology. Glos, UK: Edward Edgar Publishing Limited
Nevins, J., & N.L. Peluso. (2009). Taking Southeast Asia to Market: Commodities, nature, and people
in the neoliberal age. Selangor, Malaysia: Strategic Information and Research Development
Centre (SIRD).
Nijman, V., dkk. (2019). Dynamics of illegal wildlife trade in Indonesian markets over two decades,
illustrated by trade in Sunda Leopard Cats. Biodiversity Conservacy International, pp. 1-14.
Oktayanty, Y. (2014). Dari Hutan Adat Kalawa ke Hutan Desa: Sebuah Teritorialisasi Negara Berbasis
Masyarakat. Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya 16(1), pp. 83-97.
Tagliacozzo, E. (2005). Secret Trades, Porous Borders: Rademacher, A. (2015). Urban Political
Ecology.Annual Review of Anthropology, 44(-), pp. 137-152.
Satu Harapan. (2016). Jalak Putih, Burung Endemik Berstatus Kritis. Available online from:
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/jalak-putih-burung-endemik-berstatus-kritis
(Accessed May 24, 2019).
Teletsky, A. (2017). Legal Pluralism: Linking Law and Culture in Natural Resource Co-Management
and Environmental Compliance. Nafziger, J.A.R. (ed.) Comparative Law and Anthropology.
Glos, UK: Edward Edgar Publishing Limited.
Tempo (Majalah). (2019). Satwa Ilegal Taman Safari: Lembaga konservasi terbesar di Indonesia
diduga terlibat dalam perdagangan ilegal hewan dilindungi (edisi 8-14 April 2019).
Thomas, K., & Galemba, R.B. (2013). Illegal Anthropology: An Introduction. PoLAR: Political and
Legal Anthropology Review, 36(2), pp. 211-214.
Traffic Report. (2015). In the Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets. Selangor
(September 2015).
Vandergeest, P.,& N. Peluso. (1995). Territorialization and the State Power in Thailand.Theory and
Society, 24(3), pp. 385-426.
Van Schendel, W., & I. Abraham. (2005). Illicit Flows and Criminal Things: States, Borders and the
Other Side of Globalization. Bloomington, IN: Indiana University Press.
Van Uhm, D.P. (2016). The Illegal Wildlife Trade: Inside the World of Poachers, Smugglers and
Traders. Switzerland: Springer International Publishing.
Weber, M. (1978). Economy and Society: An outline of interpretive sociology. Berkeley: University of
California Press.
World Justice Project. (2019). WJP Rule of Law Index. Available online from:
https://worldjusticeproject.org/rule-of-law-index/global (Accessed May 24, 2019).

9|P a g e
INDRAINI HAPSARI, SEMIARTO A PURWANTO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p1-9.2020
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

TRADISI HANTA UA PUA SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN BUDAYA RELIGI DI BIMA


1 * 2
Nurrofika ( ), Mukhamad Murdiono ( )
12
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Bima has many traditions and local wisdom that should continuously
Submitted : 23rd August, 2019 preserve, one of which is the traditional ceremonies of Hanta Ua Pua.
Review : 29th August, 2019 This tradition is one of the Bima conventional ceremonies in the context
Accepted : 03rd May, 2020 of enlivening the birthday of the great prophet Muhammad. The
purpose of writing this article is to find out the implementation and
Published : 1st June 2020
values contained in the Hanta Ua Pua traditional ceremonial religious
Available Online : June 2020 tradition as an effort to preserve Islamic culture in Bima. This article
prepares using the method of library research, which is a method of
data collection that is carriers out by utilizing the sources and materials
KEYWORDS
of the library. The results and conclusions obtained are the traditional
ceremonies of the Hanta Ua Pua ceremony, which are a memorial and
Local wisdom; Tradition; Culture; Values; a tribute event to the teachings of Islam and scholars. Done since the
Bima Sultanate of Bima. The values in this ceremony divide into three,
namely social values, spiritual values, and educational values. The
CORRESPONDENCE Hanta Ua Pua traditional ceremonies are evidence of the entrance and
development of Islamic culture in Bima, which is expected to grow and
develop the character of the Bima people who can continue to hold fast
E-mail: nurrofikaa@gmail.com to Islamic teachings. However, along with the times, the ceremony
began to fade in Bima.

A. PENDAHULUAN

Daerah Bima ini sendiri terletak di pulau

B
udaya merupakan sebuah sistem yang
mencakup banyak hal setidaknya seperti Sumbawa di bagian ujung timur provinsi Nusa
bahasa, musik, benda, kepercayaan dan Tenggara Barat. Tanah Bima atau sering disebut
juga aktivitas masyarakat yang didalamnya oleh masyarakatnya dengan Dana Mbojo telah
mengandung makna kebersamaan serta saling mengalami perjalanan yang panjang dan sudah
memiliki hubungan antara lainnya (Yunus: 2014). mengakar jauh ke dalam sejarah nusantara.
Budaya itu sendiri akan selalu melekat pada Pada tahun 1950, daerah Bima yang juga
suatu masyarakat sehingga akan selalu bisa disebut dengan Sunda Kecil ini berbatasan
diterapkan dari generasi ke generasi. Oleh dengan Samudra Indonesia di bagian selatan,
karena itu, setiap kelompok masyarakat pasti Laut Flores di bagian utara, kabupaten Dompu
memiliki budayanya masing masing. Budaya dan Sumbawa di bagian barat serta Selat Sape
tersebut dipegang teguh oleh tiap-tiap individu di bagian timur (Ismail: 2008).
dari setiap kelompok masyarakat. Di indonesia Kemudian, berdasarkan sensus penduduk
sendiri, tiap-tiap daerah memiliki latar belakang pada tahun 1982 yang dilakukan oleh Kantor
sosio-budaya yang beraneka ragam dan berbeda Statistik Daerah Kabupaten Tingkat II,
dengan yang lainnya, yang salah satunya adalah Masyarakat Bima sendiri terdiri dari dou mbojo
budaya yang dimiliki daerah Bima. (orang Bima) yang merupakan pembauran dari
orang Bima, orang Makassar dan orang Bugis,

10 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p9-18.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

kemudian ada dou donggo (orang Donggo) yang jadikan sebagai pegangan hidup dan menjadi
merupakan orang asli Bima dan yang terakhir identitas sendiri dari daerah Bima.
kaum pendatang di mana yang paling besar Pegangan hidup dan identitas ini dapat
pengaruhnya ialah orang Melayu dan orang Arab dibentuk oleh ras, etnik, kasta, latar belakang
(Ismail: 2004). Hal ini tentu saja mempengaruhi yang merupakan pengusung dari kebudayaan
pertumbuhan dan perkembangan budaya Bima (Mardotillah, 2016). Tidak berlebihan jika tradisi
yang beragam. Sebagaimana diketahui, tradisi Upacara adat Hanta ua pua dapat disebut
dan kebudayaan dapat dipengaruhi oleh letak sebagai salah satu ciri khas identitas budaya
geografis, keadaan, struktur dan iklim suatu daerah Bima. Bima sendiri memiliki begitu
wilayah yang keberadaannya memberikan pe- banyak tradisi dan kebudayaan yang sudah
ngaruh yang besar terhadap kehidupan masya- sepatutnya dilestarikan dan dijaga kebera-
rakatnya. daannya. Salah satu dari banyaknya kearifan
Di samping itu, sebagai makhluk pluralis yang lokal dari budaya di daerah Bima yang masih dan
memiliki rasa, cipta dan karsa, manusia tentu terus berusaha dilestarikan oleh masyarakatnya
ingin menciptakan kehidupan yang dapat adalah tradisi upacara adat Hanta Ua Pua yang
menandai eksistensinya. Hal ini tentu saja harus dibawa dan diperkenalkan oleh mubaliq Islam
ditopang dengan kemampuan berpikir, kemam- pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Khair
puan merasa dan kemampuan berbuat yang Sirajuddin pada tahun 1640-1682.Tradisi upacara
dikembangkan dengan cara menilai, menafsir adat Hanta Ua Pua merupakan tradisi upacara
dan memprediksi keadaan alam dan lingkungan adat Bima dalam rangka memeriahkan Maulid
sepanjang waktu sehingga terciptanya suatu Nabi Besar Muhammad SAW yang dilakukan
kebudayaan. sajuma’a (sejumat atau sepekan) pada wura
Di indonesia pada umumnya masih banyak molu (bulan maulud atau Rabiul Awal)
orang yang sering menyamakan arti dari (Muhammad, 2010:12). Tradisi upacara adat ini
kebudayaan dan peradaban. Namun, dalam memiliki banyak nilai dan pembelajaran sehingga
perkembangan ilmu antropologi, kedua istilah ini dapat menjadi suatu wadah dalam menyebarkan
merupakan dua hal yang memiliki perbedaan arti. nilai-nilai.
Peradaban diartikan sebagai manisfestasi dari Hal ini dapat kita dilihat dalam penelitian
kemajuan mekanis, teknologi, dan ekonomi, sebelumnya yang telah dilakukan oleh (Asbah,
sementara kebudayaan adalah ungkapan 2017:17-18) yang menyatakan bahwa tradisi
semangat yang mendalam dari/pada suatu upacara adat ini juga menjadi salah satu wahana
kelompok masyarakat yang direfleksikan dalam masyarakat Bima dalam menyebarkan syiar
seni, sastra, religi, nilai dan moral (Panggabean, Islam. Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua
2015: 16). menjadi salah satu media dakwah dalam hal
Wujud kebudayaan ini pada hakekatnya dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan masya-
di bagi menjadi dua, yaitu yang bersifat fisik rakat Bima terhadap Al Quran dan hadist.
(tangible) dan bersifat non-fisik (intangible). Kemudian dalam penelitian (Zuriatin &
Salah satu wujud kebudayaan non-fisik meru- Nurhasanah, 2018:137), tradisi upacara adat
pakan sistem kepercayaan yang penghormatan Hanta Ua Pua ini juga digambarkan sebagai
dan penyembahannya dilakukan dengan cara simbol kesepekatan sultan, ulama dan seluruh
upacara, doa, sajian atau korban yang rakyat Bima untuk berkomitmen dan mencintai
kesemuanya bisa disebut kearifan lokal suatu kitab suci Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai
daerah (Saputra & Nurbaiti, 2010:2-3). Se- pedoman hidup. Selain itu tradisi ini juga menjadi
mentara kearifan lokal sendiri lahir dari pemikiran salah satu bukti perpaduan antara nilai-nilai Islam
dan nilai-nilai yang di yakini oleh masyarakat dengan adat istiadat serta kepercayaan yang
suatu daerah terhadap lingkungannya yang berkembang di masyarakat Bima. Selain itu,
memiliki kandungan nilai-nilai, norma dan sistem dalam penelitian yang tulis oleh (Jumiati: 2017)
kepercayaan serta ide-ide (Rapanna, 2016: 11). menyatakan bahwa upacara adat Hanta Ua Pua
Setiap kelompok masyarakat di suatu daerah ini juga menjadi salah satu wadah dalam
tentu saja memiliki kearifan lokal sendiri yang menyalurkan bakat serta memotivasi para
tetap berusaha dan terus mereka tumbuh- seniman dan budayawan dalam hal menciptakan
kembangkan sebagai tanggapan aktif terhadap karya seni yang bermutu yang layak dan dapat
lingkungannya. Begitu juga dengan daerah Bima. dipertunjukan dalam pelaksanaan upacara adat
Adanya berbagai ritual dan tradisi yang terus ini. Selain itu dengan adanya tradisi upacara adat
dilakukan merupakan bukti yang memperkuat Hanta Ua Pua ini dapat dijadikan tolak ukur serta
keberadaan nilai-nilai dan ajaran agama dan apresiasi masyarakat terhadap seberapa pen-
kepercayaan di tengah masyarakatnya serta tingnya keberadaan suatu budaya.
menjadi produk budaya masa lalu yang patut Hal tersebut diperkuat oleh tulisan (Mahmud:
secara terus-menerus dan berkelanjutan di- 2008) yang menyatakan bahwa pada hakekatnya
tradisi upacara adat Hanta Ua Pua merupakan
11 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020 NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

media dakwah guna meningkatkan keimanan dan teknologi juga tentunya mempengaruhi
dan ketaqwaan masyarakat Bima agar men- tumbuh dan kembangnya suatu budaya di suatu
jadikan Al-Quran dan hadist sebagai satu- daerah paling tidak dengan adanya pergeseran
satunya pedoman hidup mereka dalam tatanan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Hal
kehidupan bermasyarakat namun tetap sesuai inipun tentu saja juga terjadi di daerah Bima. Dari
dengan nggusu waru dan adat istiadat Bima. hal tersebut, pelestarian budaya upacara adat
Dalam Nggusu waru sendiri berbunyi “dou maja Hanta Ua Pua ini menjadi salah satu hal yang
labo dahu dei ndai Ruma Allahu Ta’ala” yang penting dilakukan. Pelestarian budaya ini juga
artinya orang yang merasa malu dan takut seiring dengan himbauan UNESCO yang telah
kepada Allah SWT. Hal ini merupakan perintah mengingatkan kepada bangsa-bangsa di dunia
kepada seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat bahwa betapa pentingnya jati diri bangsa atau
harus memiliki rasa malu dan takut kepada Allah masyarakat di era globalisasi ini (Sedyawati:
SWT, manusia lainnya, lingkungan dan pada 1997).
dirinya sendiri untuk melakukan hal yang tidak Berdasarkan penjelasan di atas, untuk
sesuai dengan ajaran agama islam (Ismail, menjaga dan mepertahankan budaya tradisional
2001:46-47). Namun, pada kenyataannya tradisi seperti budaya Hanta Ua Pua ini diperlukan
upacara adat Hanta Ua Pua ini juga sempat perhatian khusus untuk tetap menjaga dan
terhenti pasca wafatnya sultan ke-14,yaitu Sultan melestarikannya mengingat keberadaan suatu
Muhammad Salahuddin yang terkenal dengan budaya tidak bersifat statis melainkan dinamis
gelarnya Ma Kakidi Agama (yang menegakkan sehingga akan terus selalu mengalami
agama) pada tahun 1951 yang bersamaan perubahan seiring berjalannya waktu. Sementara
dengan berakhirnya masa kesultanan Bima. itu, budaya religi yang dimaksudkan dalam
Pemberhentian tradisi upacara adat hanta ua pua penelitian ini adalah budaya yang muncul dari
ini tentu saja memberikan dampak pada pengaruh masuk dan berkembangnya suatu
masyarakat Bima yang dimana mengalami kepercayaan yaitu agama islam di daerah Bima
kehilangan suatu momentum serta tuntunan yang terefleksikan dalam suatu tradisi
hidup yang berpengaruh sangat penting terhadap keagamaan yaitu upacara adat Hanta Ua Pua
penanaman nilai-nilai keagamaan mereka. yang kemudian menjadi salah satu ciri dan
Dampak dari pemberhentian tradisi upacara identitas diri yang tidak dapat dipisahkan dari
adat Hanta Ua Pua ini menyebabkan masyarakat kehidupan masyarakat Bima. Sehingga, sebagai
Bima kehilangan momentum kebersamaan salah satu ciri dan identitas diri yang
sehingga mereka berusaha mengadakannya menggambarkan budaya religi di daerah Bima
kembali pada tahun 1952 namun dihalangi oleh serta kenapa tradisi upacara adat Hanta Ua Pua
sekelompok ulama sendiri dengan menggunakan ini penting dan harus terus dilaksanakan dan
dalih bahwa tradisi upacara adat Hanta Ua Pua dilestarikan, menjadi hal yang sangat penting
tersebut berjiwa feodal. Namun, pada tahun 2002 untuk mengetahui terlebih dahulu tujuan dan
tradisi upacara adat ini mulai digelar kembali manfaat dari pelaksanaan tradisi upacara adat ini
setelah Majelis Adat Dana Mbojo mengusulkan serta nilai-nilai dan pesan-pesan moral apa saja
kepada pemerintah kota dan pemerintah yang terkandung didalamnya.
kabupaten Bima. Sehingga, dapat di jadikan Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
suatu pembelajaran bahwa dengan adanya tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mendeskrip-
peristiwa pemberhentian pelaksanaan tradisi sikan berkembangnya ajaran Islam di tanah Bima
upacara adat Hanta Ua Pua yang pernah dengan cara menggali nilai-nilai serta pesan-
dilakukan sebelumnya, tidak menutup kemung- pesan moral yang terdapat dalam tradisi upacara
kinan akan terjadi pemberhentian kembali adat hanta ua pua ini. Penulis juga berharap
pelaksanaannya mengingat keberadaan dan tradisi seperti ini dapat terus dipertahankan dan
pelaksanaan tradisi upacara adat Hanta Ua Pua dilestarikan karena merupakan aset budaya yang
ini makin hari makin dinilai sebagai acara menjadi salah satu identitas bangsa. Selain itu,
perayaan biasa dengan ditandai oleh semakin tujuan lainnya adalah agar tradisi upacara adat
kurangnya orang yang datang memeriahkan. hanta ua pua ini dapat menjadi salah satu model
Disamping itu, tradisi upacara adat Hanta Ua alternatif sekaligus daya tarik bagi wisatawan
Pua ini sering dimaknai hanya sebagai simbol lokal maupun asing untuk berkunjung dan belajar
serta media dakwah dalam menyebarkan syiar tentang daerah Bima sendiri.
agama Islam jaman dulu sehingga masih banyak
masyarakat Bima pada zaman sekarang B. METODE PENELITIAN
terutama generasi muda yang belum benar-
benar mengetahui tujuan, manfaat, nilai-nilai

P
enelitian ini menggunakan jenis penelitian
serta pesan-pesan moral yang terkandung dalam library research (penelitian kepustakaan)
tradisi upacara adat ini. Di sisi lain, adanya yang dilakukan dengan menggunakan
pembangunan dan majunya ilmu pengetahuan literatur (kepustakaan) baik berupa buku,
12 | P a g e
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

catatan, maupun laporan hasil penelitian dari Hal ini juga berlaku terhadap berbagai budaya
penelitian terdahulu. Sumber data di dapat dari yang telah mendapatkan pengaruh kepercayaan
dokumen atau studi dokumen. Studi dokumen lama, namun hal itu tidak langsung dibubarkan
yaitu mencari data mengenai hal-hal atau oleh para ulama atau mubaliq akan tetapi mereka
variabel yang berupa catatan atau transkrip, berusaha untuk memasukkan kedalamnya unsur-
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen unsur dan nilai-nilai yang berasaskan ajaran-
rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto: ajaran agama Islam seperti halnya dengan tradisi
2010). upacara adat hanta ua pua yang pelaksanaannya
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berlandaskan kecintaan terhadap Allah SWT dan
dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah baginda rasul Muhammad SAW.
berbagai sumber seperti buku, majalah, jurnal
hasil penelitian, artikel, makalah, surat kabar,
web (internet), atau informasi lain yang B. Tradisi Upacara Adat Hanta Ua Pua
berhubungan dengan judul dan tujuan dari 1. Pelaksanaan Upacara Adat Hanta Ua Pua
penelitian. Setelah data-data tersebut terkumpul
selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data Menurut Ranjabar (2006) pelestarian budaya
dalam penelitian ini adalah menganalisis dan lokal merupakan salah satu cara masyarakat
mensintesiskan dokumen tersebut untuk dikaji dalam mempertahankan nilai seni budaya dan
sehingga menjadi gagasan baru dalam me- nilai tradisional dengan menyesuaikannya de-
nunjang hasil penelitian. ngan situasi yang dinamis dimana akan terus
berubah-ubah dan berkembang. Adanya pelesta-
rian budaya ini dibutuhkan dalam rangka menja-
C. HASIL DAN PEMBAHASAN ga, mempertahankan dan melindungi kebera-
daan budaya lokal atau tradisional. Pelestarian
A. Kedatangan Islam di Bima tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini menjadi
sangat penting dilakukan karena menyadari
derasnya arus perkembangan zaman dan

B
ima merupakan salah satu daerah yang
bisa dibilang terlambat mengenal ajaran teknologi yang bisa menyebabkan masyarakat
Islam. Masuk dan tersebarnya ajaran Bima meninggalkan dan berhenti melaksa-
Islam di tanah bima bisa dijelaskan melalui nakannya.
beberapa tahap yaitu di antaranya: tahap Disamping itu juga, sudah seharusnya semua
pertama, Islam masuk ke daerah Bima dibawa kalangan di Indonesia secara umum, dan di
oleh mubaliq dan pedagang dari Demak dan daerah Bima secara khusus untuk membangun
Gresik. Islam dibawa dengan damai yaitu dengan dan mengembangkan kesadaran terhadap nilai
cara para mubaliq langsung menghadap raja dan budaya yang dalam hal ini juga bersamaan
mengajaknya untuk memeluk ajaran islam. dengan mempertahankan jati diri bangsa dan
Kemudian tahap kedua, Islam masuk ke Bima kearifan lokal agar tetap bisa berdiri tegak
melalui Ternate dan Sulawesi Selatan. Misi Islam ditengah derasnya arus globalisasi dan
yang dibawa tentu saja penuh dengan keda- modernisasi ini. Oleh karenanya, tradisi upacara
maian dengan menggunakan jalur perdagangan adat Hanta Ua Pua dan nilai-nilai yang
dan hubungan kekeluargaan (Tajib, 1995:110). terkandung didalamnya harus tetap terus
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, dilestarikan dan tatap dijaga keberadaannya
Islam datang ke daerah Bima dari dua arah yaitu karena menjadi salah satu perwujudan identitas
dari jawa dan dari Sulawesi Selatan. Namun, masyarakat Bima yang dekat dengan ajaran
tidak ada yang benar-benar bisa memastikan agama Islam yang diselaraskan dengan adat
mubaliq dari daerah mana yang pertama kali istiadat sara dana mbojo (sesuai dengan cara
datang dan menyebarkan syiar Islam tersebut. dan hidup masyarakat Bima).
Sementara jikalau membahas tentang awal Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini
masuknya Islam ke daerah Bima dan sumber diperkenalkan pertama kali pada masa
datangnya, maka bisa di pastikan bahwa Islam pemerintahan sultan Abdul Khair Sirajuddin pada
masuk ke Bima bersumber dari Makassar dan tahun 1640-1682. Pada masa itu, perkembangan
lewat jalur Utara (Rachman, 2009:85), sehingga agama Islam mengalami pasang surut karena
dapat ditarik kesimpulan bahwa kedatangan keadaan dimana agama Islam merupakan
islam di daerah Bima dibawa oleh para mubaliq agama yang baru berusia belasan tahun sebagai
dan pedagang dan dilakukan secara damai. agama kerajaan serta dengan adanya kepri-
Proses islamisasi di Bima juga dilakukan badian sultan yang kurang perhatian dan peduli
dengan cara damai oleh para ulama ataum terhadap pentingnya ajaran agama Islam dan
mubaliq ditengah-tengah masyarakat Bima yang lebih mencintai seni dan budaya. Hal ini tentu
sudah dipengaruhi oleh kepercayaan lama yang saja tidak mengagetkan, mengingat pada awal
sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. sebelum masuknya agama Islam di daerah Bima,
13 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020 NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

masyarakat Bima sendiri masih percaya bahwa Kemudian penghulu melayu yang telah di jemput
ada kekuatan yang mereka sebut sebagai oleh para utusan sultan ini mulai melakukan
“Parafu” (Fitriana, 2019). perjalanan dari kampung Melayu menuju Asi
Hal ini tentu menyebabkan para ulama harus Bima (istana Bima). bersamaan dengan rombo-
merencanakan dan merancang berbagai ke- ngan penghulu melayu berjalan menuju istana,
giatan dakwah melalui pertunjukan dan atraksi pasukan Jara Wera (kuda Wera), pasukan Jara
kesenian yang islami yang tujuannya dapat Sara’u (Kuda Saru’u), laskar Suba Na’e, Penari
memikat hati Sultan. Di samping tujuannya Sere, Pengusung Uma Lige dan para tokoh adat
menarik perhatian Sultan terhadap ajaran Islam, Mbojo ikut menyertainya.
tradisi upacara hanta ua pua ini juga diadakan
bersamaan dalam rangka memperingati hari
Maulid nabi besar Muhammad SAW (Tajib,
1995).
Ua Pua sendiri merupakan satu kesatuan
tangkai bunga dolu (telor) yang berjumlah 99 biji
yang merupakan manifestasi dari asmaul husna
(nama-nama Allah) yang sudah dihias dengan
berbagai warna yang kemudian ditancapkan
pada suatu wadah bersama sirih dan pinang.
Kemudian pada bagian tengah dari wadah
tersebut diletakkan sebuah kitab suci Alquran
(Muhammad, 2010). Ua Pua ini kemudian
ditempatkan pada sebuah Uma Lige (rumah Gambar 2. Pasukan jara wera
Lige) yang berbentuk segi empat berukuran
4x4m yang dibuat menyerupai miniatur masjid
sebagai simbol kebesaran Allah SWT. Uma Lige
(rumah Lige) tersebut diusung oleh 44 orang pria
sebagai simbol dari keberadaan 44 keahlian dan
keterampilan yang dimiliki pemerintahan ke-
sultanan Bima. Rombongan ini melakukan
perjalanan dari Kampung Melayu menuju Asi
Mbojo (Istana Bima) yang kedatangannya
disambut oleh Sultan dengan pesan yang harus
dikerjakan yaitu memegang teguh ajaran agama
Islam.
Pelaksanaan tradisi upacara adat Hanta Ua
Pua ini di mulai dari kegiatan atraksi seni
tradisional serta pengajian bersama. Semua
rakyat Bima yang datang berkumpul di lapangan
Sera Suba dari pukul 06.00 pagi. Kemudian
Gambar 3: Rombongan Hanta ua pua.
tokoh masyarakat Bima baik tokoh adat, agama
maupun pejabat kesultanan bersama para penari Setelah rombongan ini sampai di istana, maka
lenggo mbojo di utus oleh Sultan untuk men- akan di sambut oleh sultan dengan disertai
jemput penghulu melayu di kampung melayu. atraksi serta seni tari tradisional. Lalu di ikuti oleh
pernyataan sultan dalam kesiapannya menerima
dan memulai pelaksanaan upacara dengan
penyerahan Ua Pua. Kemudian, setelah penyera-
han dilakukan penghulu melayu di persilahkan
untuk duduk berdampingan dengan sultan
sebagai simbol keharmonisan dan kesamaan
tujuan. Di bagian akhir pelaksanaan upacara,
diadakan dengan membagikan kepada seluruh
masyarakat Bima yang hadir, yaitu bunga telur
yang berjumlah 99 yang berarti simbol dari
nama-nama Allah.
Budaya Hanta Ua Pua ini merupakan budaya
yang sedikit diambil dari budaya Melayu namun
mengalami perpaduan dan pembaruan dengan
budaya asli Bima. Adapun upacara adat Hanta
Gambar 1: Tari Lenggo Ua Pua, idul fitri dan idul adha merupakan hari
14 | P a g e
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

besar yang diperingati dengan resmi oleh c. Nilai Pendidikan


pemerintahan kerajaan.
Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini juga
mengandung nilai pendidikan yang menjadi salah
2. Nilai-nilai dalam Upacara Adat Hanta Ua satu hal penting bagi masyarakat di daerah Bima
Pua di antaranya, pertama: pendidikan dalam mem-
bentuk karakter dan akhlak seseorang. Dalam
a. Nilai Sosial
pembentukan karakter dan akhlak ini, tentu saja
baginda rasul Muhammad SAW menjadi panutan
Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua salah satu
dan contoh teladan yang paling baik bagi
budaya yang dimiliki oleh tanah Bima yang
seseorang. Kedua: menanamkan nilai kesadaran
pelaksanaan acaranya merupakan salah satu
diri kepada masyarakat terhadap pentingnya nilai
media silaturahmi antar suku di daerah Bima
budaya dan nilai sejarah, terutama sejarah
maupun daerah lain di Indonesia. Di samping itu
masuk dan berkembangnya ajaran Islam di
juga, tradisi Upacara Adat Hanta Ua Pua ini juga
daerah Bima. Ketiga: menumbuhkan nilai
disisi lain menghidupkan kembali budaya Bima
tanggung jawab dan gotong royong terhadap
mbolo ro dampa (musyawarah mufakat) dan
tugas yang diberikan dan dipercayakan kepada-
budaya karawi kaboju (gotong royong) yang
nya untuk dijalankan dengan baik.
keberadaannya juga mulai memudar. Dalam
Adapun pesan moral yang ingin disampaikan
budaya mbolo ro dampa atau yang bisa disebut
melalui tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini di
juga dengan musyawarah dan mufakat. Orang
antaranya adalah: pertama, masyarakat dan juga
Bima bisa berkumpul tanpa adanya perbedaan
para raja harus menghormati para ulama
dan pembedaan golongan, status sosial dan
mengingat para ulama merupakan transmisi ilmu-
kelompok baik dari pejabat kesultanan sampai
ilmu agama. Sehingga patutlah diajarkan secara
rakyat biasa. Sementara dalam budaya karawi
masal kepada masyarakat tentang adab dan
kaboju atau yang bisa disebut dengan gotong
perilaku terhadap para ulama. Kedua, adanya
royong. Seluruh lapisan masyarakat Bima baik
nilai kebersamaan, nilai gotong royong, musya-
dari pihak kesultanan sampai rakyat biasa
warah mufakat dan disamping itu juga terdapat
berbagi tugas dalam mempersiapkan prosesi
point penting bahwa dalam membangun suatu
upacara. Wujud nyata dari bentuk gotong royong
kehidupan kemasyarakatan yang baik dibutuhkan
dalam upacara ini ada pada 44 orang yang
kerukunan dan keharmonisan.
mengusung Uma Lige (rumah Linge) ditunjuk dari
Dalam kehidupan masyarakat Bima, ulama
kampung yang berbeda di daerah Bima.
merupakan sumber ilmu syariat sedangkan raja
atau sultan merupakan simbol hukum, maka para
ulama mencari cara terbaik untuk menebarkan
ilmu syariat tersebut dengan legalitas hukum
b. Nilai Spiritual yang jelas sehingga masyarakat luas dengan
mudah tunduk dan patuh terhadap syair tersebut.
Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini Maka, melunakkan hati raja serta mengingat-
merupakan upacara yang tujuan dasarnya kannya pada sumpah para leluhur sebelumnya
adalah menyebarkan ajaran agama Islam yang terhadap ajaran Islam suatu keharusan maka
dilaksanakan dan dilakukan dengan cara dan dengan demikian dibuatkanlah tradisi upacara
disesuaikan dengan adat istiadat di daerah Bima. adat hanta ua pua sebagai momentum serta
Upacara ini tentu saja banyak mengandung nilai- sarana untuk pengingat bagi seluruh lapisan
nilai agama Islam, nilai Budaya serta nilai sosial masyarakat.
yang menjadi pedoman dan acuan hidup
masyarakat Bima. Tradisi upacara adat ini juga
merupakan salah satu acara penghormatan 3. Upacara Adat Hanta Ua Pua sebagai
terhadap baginda besar Nabi Muhammad SAW Budaya Islam di Bima
serta penghormatan terhadap para ulama yang
sudah berjuang membawa dan menyebarkan Kehidupan masyarakat di daerah Bima
ajaran agama Islam di tanah Bima. Masyarakat
memang sudah sangat dekat dan kental dengan
Bima sendiri memiliki kepercayaan bahwa
ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Pengaruh
dengan melakukan dan melaksanakan acara ini
budaya Hindu-Budha dan kepercayaan asli suku
mampu menumbuh dan menambah rasa cinta
Bima pun mengalami pergeseran nilai dengan
mereka terhadap ajaran Islam dan baginda Rasul disisipkannya nilai-nilai Islam ke dalamnya.
serta dapat menjadi hawo ro ninu (orang yang
Masyarakat suku Bima asli pada mulanya
dimuliakan) dalam mendakwahkan Islam. percaya pada makakamba makakimbi.
Namun, hal tersebut tidak menyebabkan
pertengkaran dan permusuhan terhadap kedata-
15 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020 NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

ngan ajaran Islam. Kedatangan Islam sendiri di b. Sebagai penghormatan kepada ulama
tanah Bima dilakukan dengan cara damai (Azra:
1999). Walaupun mengislamkan kawasan Tradisi upacara ini diresmikan sebagai salah
nusantara dilakukan pada waktu dan cara yang satu upacara terbesar ajaran Islam setelah idul
tidak seragam karena dipengaruhi oleh tingkat fitri dan idul adha yang rutin diadakan setiap
penerimaan ajaran Islam tersebut tergantung dari tahunnya. Tradisi upacara adat ini juga
waktu pengenalannya, watak dan juga budaya merupakan penghormatan kepada ulama yang
lokal yang kental. ajaran Islam lebih mudah telah bersusah payah menyebarkan syiar Islam.
masuk pada daerah yang yang memiliki budaya Ulama dalam pandangan masyarakat Bima
maritim dan terbuka daripada pada wilayah digambarkan sebagai hawo ra nino yaitu tempat
budaya agraris yang lebih tertutup (Azra: 2002). berteduh dan berkaca yang dijadikan panutan
Melalui tradisi upacara adat Hanta Ua Pua oleh masyarakat yang hampir setara dengan
inilah dakwah dan penyebaran agama Islam raja. Kemuliaan ini dipandang penting oleh
mulai pada pengisian makna dan nilai-nilai islami masyarakat bima karena memandang para
yang integratif ke dalam semua jenis musik, seni ulama adalah jalur transmisi ilmu-ilmu syariat.
dan budaya yang akan dikembangkan pada
kehidupan langsung masyarakat di daerah Bima. c. Sebagai momentum silahturahmi dan
Pada pelaksanaan tradisi upacara adat ini ajaran bermusyawarah mufakat
Islam diperkenalkan tanpa harus keluar dari adat
istiadat yang ada yang telah lama mereka Tradisi ini disamping sebagai wujud
pegang teguh, sehingga ketika mereka menerima memperingati hari maulud nabi besar Muham-
ajaran Islam, mereka menerimanya dengan suka mad SAW dan mengenang jasa para ulama
rela. dalam usaha menyebarkan ajaran islam di
Tradisi Hanta Ua Pua ini merupakan suatu daerah Bima, juga menjadi kegiatan dan sarana
kegiatan bersejarah dalam pertumbuhan dan untuk mewujudkan dan menunjukan rasa
perkembangan ajaran Islam dan juga umat Islam kebersamaan dan persatuan dalam masyarakat.
sendiri di daerah Bima. Di dalam pelaksanaan- Dalam pelaksanaannya seluruh suku di tanah
nya, tradisi upacara adat ini terdapat beberapa Bima akan berkumpul dan berbaur menjadi satu
kegiatan yaitu penobatan, peringatan masuk dan sehingga terjalin interaksi dan komunikasi yang
berkembangnya ajaran islam di tanah Bima serta baik. Di samping itu, dalam mempersiapkan
bersamaan dengan peringatan maulid nabi besar upacara adat ini, masyarakat Bima secara
Muhammad SAW. gotong royong saling bekerja sama dan tolong
Selain itu juga, tradisi upacara adat Hanta Ua menolong sehingga terbangun dan terjalin
Pua ini telah memiliki tempat yang istimewa hubungan yang rukun antar masyarakat.
dalam kehidupan masyarakat muslim di daerah
Bima karena diadakan dengan tujuan dan makna d. Sebagai perantara dan wadah dalam dakwah
mengangungkan nilai-nilai dan ajaran Islam. ajaran Islam.
Tradisi upacara ini juga merupakan bukti
perkembangan ajaran Islam di tanah Bima. Seperti yang disebutkan dalam penelitian
Tradisi upacara ini juga berperan sebagai yang dilakukan sebelumnya, budaya Hanta Ua
penghormatan kepada ajaran Islam dan ulama Pua menjadi salah satu media penyebaran
serta dapat menjadi media dakwah ajaran Islam ajaran Islam di daerah Bima pada masa awal
di Indonesia secara luas dan di daerah Bima masuknya ajaran Islam. Tradisi upacara adat ini
secara khusus. memiliki hubungan erat dengan dakwah ajaran
Ada beberapa fungsi dari tradisi upacara adat islam karena berkaitan langsung dengan sejarah
Hanta Ua Pua sebagai salah satu budaya religi di masuk dan berkembangnya islam itu sendiri.
tanah Bima diantaranya adalah : Dakwah juga memiliki simbiosis yang erat
dengan tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini
a. Sebagai pengingat karena sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
kebangsaan dan kewargaan bersamaan dengan
Sejak berdirinya kesultanan Bima yang nilai-nilai islami yang bertujuan memuliakan,
dibantu oleh para ulama, sultan berkewajiban menyelamatkan dan membahagiakan masya-
menjalankan ajaran agama secara kaffah rakat.
(menyeluruh). Adanya tradisi upacara adat ini
tentu saja untuk menjadi pengingat dan untuk
menegaskan kembali bagi pemimpin baru dan
masyarakat akan tugas dan kewajiban mereka
dalam melanjutkan syiar islam.

16 | P a g e
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

D. KESIMPULAN karakter masyarakat Bima yang berpedoman


teguh pada nilai-nilai agama tanpa melupakan
budaya dan adat istiadat yang ada.

T
radisi upacara Hanta Ua Pua ini
merupakan salah satu kearifan lokal dari Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini
budaya Bima yang merupakan salah satu merupakan bentuk dari seni tradisional yang
simbol dan jejak ajaran Islam. Tradisi upacara ini diciptakan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah
adalah budaya yang tergabung dari budaya SWT. Selain itu tradisi upacara adat ini juga
Melayu dengan adat istiadat masyarakat asli sebagai bukti penghayatan terhadap kebesaran
Bima. Tradisi ini Pertama kali diperkenalkan pada Allah baik yang terdapat di alam maupun dari
masa pemerintahan kesultanan Abdul Khair hasil buatan tangan manusia sendiri.
Sirajuddin pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Tradisi upacara adat Hanta Ua Pua ini
merupakan bukti nyata adanya jejak-jejak E. UCAPAN TERIMA KASIH
kerajaan Islam di tanah Bima. Tradisi upacara
adat ini merupakan budaya yang dicangkok dari

T
erimakasih penulis sampaikan kepada
budaya melayu kemudian diangkat dan diper- bapak Mukhamad Murdiono yang dengan
kenalkan kepada masyarakat asli Bima dan sabar telah memberikan bimbingan,
disesuaikan dengan adat dan istiadat yang sudah masukan dan arahan kepada penulis. Selain itu
ada sehingga dapat diterima dengan baik dan juga kepada Program Pascasarjana Universitas
suka rela. Negeri Yogyakarta yang telah mendukung artikel
Selain sebagai media dakwah, tradisi upacara ini sepenuhnya dan pengalaman belajar yang
ini juga merupakan salah satu simbol dan bukti menyenangkan dan penuh motivasi sehingga
penghormatan kepada ilmu agama dan ulama penulis terinspirasi untuk menulis artikel ini.
yang berjuang menyebarkannya. Dengan tetap
dilaksanakannya serta dilakukannya tradisi
upacara adat ini diharapkan dapat membentuk

DAFTAR PUSTAKA

Alan Malingi. (2016). ‘Syiar Islam dalam Upacara Adat Hanta Ua Pua di Tanah Bima Nusa Tenggara
Barat’. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016: 29-54.
Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Prakti. Jakarta: Rineka Cipta
Asbah, (2017). ‘Upacara Ua Pua sebagai media dakwah dan syiar Islam pada penyebaran agama
Islam di Bima’. Historis. Vol. 2, No. 1, Juni 2017, Hal. 11-18
Azra, A. (1999). Renaisens Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya. Hal: 8.
Azra, A. (2002). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan. Hal: 18.
Fitriana, A. (2019). ‘Budaya Rimpu sebagai eksistensi perempuan Islam di tanah Bima’. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol.21, no. 02.
Ismail, M. Hilir. (2008). Kebangkitan Islam di Dana Mbojo 1540-1950. Bogor: CV. Binasti. Hal: 11.
Ismail, M. Hilir. (2004). Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. Mataram:
Gunung Agung I. Hal: 17.
Jumiati, (2017). Hanta Ua Pua: Sejarah tradisi keagamaan di Bima abad xvii-xxi.
Mardotillah, M. (2016). ‘Silat: Identitas budaya, pendidikan, seni bela diri, dan pemeliharaan
kesehatan’. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial dan Budaya. Vol. 18. no. 2.
Muhammad, R. (2010). Upacara Adat Hanta Ua Pua. Mataram: PT. Mahani Persada. Hal: 22-23.
Panggabean, H. (2015). Kearifan Lokal Keunggulan Global. Elex Media Komputindo.
Rapanna, P. (2016). Membumikan Kearifan Lokal Menuju Kemandirian Ekonomi. Sah Media.
Ranjabar, R. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal: 115.
Retno Kartini Savitaningrum Imansah (2017). ‘Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima; Arsitektur,
Misi Agama dan Kekuasaan’. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 15, No. 2, 2017: 390-419.
Salmin & Jasman, (2017). ‘Implementasi nilai-nilai lokal dalam pengembangan pariwisata budaya di
kabupaten Bima’. Jurnal Administrasi Negara. Volume 14 Nomor 3 Juli-Desember 2017 | 94-
103
Saputra, D. S. & Nurbaiti. (2010). Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional
Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Tajib, A. (1995). Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: PT. Harapan Masa PGRI. Hal: 140.
17 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020 NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Tawalinuddin Haris. (2012). ‘Masuknya Islam dan Munculnya Bima sebagai Pusat Kekuasaan Islam di
Kawasan Nusa Tenggara’. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 10, No. 1, pp. 23 - 50
Zuriatin, N. (2018). ‘Kebudayaan Islam yang Berkembang di Kesultanan Bima pada Abad Ke XVII M’.
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 8. No. 2.

18 | P a g e
NURROFIKA, MUKHAMAD MURDIONO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p9-18.2020
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

MAKNA DAN PENGHARGAAN PEREMPUAN NUAULU DALAM INISIASI RITUAL


PINAMOU DI PULAU SERAM
1* 2 3
Telfrin Lasamahu ( ), Izak Y. M. Lattu ( ), Rama Tulus Pilakoanu ( )
123
Graduate School of Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 16th September, 2019


This article aims to analyze the appreciation of women in the
Review : 01st February, 2020 Pinamou ritual as an initiation ritual for women. The method used is a
Accepted : 03rd May, 2020 qualitative research method, with data acquisition through
Published : 1st June 2020 observation, interviews, audio-visual material, and literature studies.
Available Online : June 2020 The study found in Pinamou ritual has an appreciation for the women
who see in mythology about women. Then, it shows the figure of
KEYWORDS women as the successors of the life of a community and also as a
source of blessing for both personal and community living in the
community. The Pinamou ritual also has an affirmation of the
Women’s award; Initiation; Pinamou; Nuaulu; initiation ritual that must carry out to reach the customary order in the
Seram Island community and become a place to look back at every meaning in the
ritual performed.
CORRESPONDENCE

*E-mail: lasamahutelfrin@gmail.com

A. PENDAHULUAN

terhadap perempuan yang ada dan terkandung

K
ebudayaan patriakhi yang mendominasi
struktur masyarakat dan menjadikan dalam ritual yang menjadi warisan lokal dari
pandangan dalam masyarakat yang me- masyarakat setempat. Ritual Pinamou meru-
nandai perempuan sebagai sosok yang lemah pakan Ritual masa akhil balik dari seorang
menjadi suatu dilema yang berkepanjangan. perempuan dari masa kanak-kanak menuju
Konstruksi pemikiran yang telah mengakar ini masa dewasa dengan mendapat menstruasi
bahkan tidak disadari merupakan adopsi dari pertama. Terdapat tahapan dalam ritual Pinamou
kebudayaan luar yang dibawa masuk dan ini, yang dimulai dengan anak perempuan masuk
1
mengalami penjajahan secara fisik bahkan juga dalam rumah khusus yang disebut Posune dan
penjajahan dalam konteks budaya yang sering kemudian puncaknya dengan pemberian minyak
dianggap berada dalam penguasaan laki-laki bagi seluruh laki-laki dalam masyarakat sebagai
yang mengandung unsur patriakal dalam suatu berkat dalam pencarian nafkah. Perempuan yang
komunitas masyarakat. Pengaruh kebudayaan dipandang dalam strata dan dianggap rendah
yang berkembang cenderung melihat akan mempunyai andil besar dalam suatu komunitas
ketimpangan bagi perempuan dalam masya- masyarakat. Perempuan menjadi sumber berkat
rakat. Dengan kebudayaan dalam ritual yang bagi kehidupan keluarga dan masyarakat. Ritual
dijalankan bagi perempuan memuat peng- yang dijalankan juga memperlihatkan bahwa
hargaan bagi perempuan itu sendiri dalam suatu kebudayaan yang dilakukan dapat di lihat seba-
komunitas masyarakat. Ritual Pinamou yang gai jawaban dari pemikiran konstruksi dunia
merupakan warisan lokal kebudayaan yang ada barat yang masih saja mencari bagaimana peran
dalam masyarakat Nuaulu di Pulau Seram, perempuan dan apa yang harus dihargai dari
hendak mengemukakan tentang penghargaan perempuan. Nilai dari seorang perempuan dapat

1
Rumah khusus untuk Pinamou selama menjalankan Ritual.
19 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p19-28.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

dilihat dalam pelaksanaan ritual dalam suatu B. METODE PENELITIAN


komunitas. Ritual yang dilakukan menjadi suatu

P
sistem dalam kehidupan masyarakat setempat enelitian ini dilakukan dengan menggu-
yang dijunjung tinggi untuk memperlihatkan nakan metode kualitatif, karena dengan
penghargaan bagi perempuan dalam ritual yang metode ini mampu menjawab tujuan
dilakukan. penelitian. Penelitian dilakukan di Pulau Seram,
Penelitian dalam Suku Nuaulu juga telah khusus pada masyarakat Nuaulu di Dusun
dilakukan oleh banyak ahli dalam sosial Yahalatan. Data dikumpulkan dengan metode,
2
keagamaan , namun para peneliti tersebut tidak yakni Pertama adalah observasi kualitatif
4
memberikan perhatian pada tempat perempuan (qualitative obeservation) , dimana penulis turun
dalam ritual masyarakat Nuaulu dalam konteks ke lokasi penelitian dan yang diamati adalah
ritual inisiasi pada perempuan (Pinamou). Dalam kegiatan ritual Pinamou. Kedua adalah wa-
5
konteks budaya lokal tersimpan penghargaan wancara kualitatif (qualitative interview) , peneliti
yang tinggi terhadap seorang perempuan. dapat melakukan face-to-face interview (wawan-
Terdapat beberapa penulisan tentang perem- cara berhadap-hadapan) dengan partisi-pan,
puan yakni salah satunya dalam masyarakat mewawancarai mereka dengan telepon atau
Nuaulu, yakni Makna Menstruasi Bagi Perem- terlibat dalam focus group interview (wawancara
puan Suku Naulu-Dusun Rohua Kabupaten dalam kelompok tertentu) yang terdiri dari enam
3
Maluku Tengah Provinsi Maluku . Setelah mene- sampai delapan partisipan per kelompok.
laah tulisan ini, penulis tidak menemukan Pertanyaan yang dikemukakan bersifat umum
penghargaan terhadap perempuan Nuaulu dalam dan terbuka. Informan yang akan diwawancarai
ritual Pinamou sebagai ritual inisiasi. Perbedaan adalah kepala Suku Nuaulu, Kapitan Suku
tulisan tersebut dengan peneliti adalah ingin Nuaulu, beberapa perempuan yang telah
melihat penghargaan terhadap perempuan melakukan ritual Pinamou, Mama bian yang
dalam ritual Pinamou sebagai ritual inisiasi pada merupakan pemimpin dalam melakukan ritual
masyarakat Nuaulu di Pulau Seram. Pinamou, serta masyarakat setempat yang ada
Ritual Pinamou dalam konteks Nuaulu bukan pada dusun Yahalatan. Ketiga adalah materi
hanya sebatas ritual inisiasi yang pada dasarnya audio dan visual kualitatif (qualitative audio and
6
harus dilakukan. Namun dalam penggalian visual materials) . Data ini bisa berupa foto, objek
makna dalam ritual ini adalah penghargaan seni, videotape, atau segala jenis suara/bunyi.
terhadap perempuan nuaulu dalam ritual Keempat adalah studi pustaka. Penulis memakai
Pinamou. Pemaknaan lebih dalam akan terlihat studi pustaka untuk memperoleh landasan teori
dalam kearifan lokal yang dibangun dalam suatu melalui buku, literatur atau catatan-catatan terkait
penghargaan dalam ritual yang dilakukan. Ritual dengan penelitian yang dilakukan. Setelah
yang dilakukan sebagai bentuk penghargaan melakukan penelitian, penulis akan menganalisis
bagi seorang perempuan sebagai penerus data yang diperoleh dari hasil wawancara dan
komunitas dalam masyarakat, menjadi bagian juga observasi lapangan dan juga teknik lain
penting yang tak dapat dipungkiri dalam yang dipakai secara sistematis agar pembaca
keberadaan perempuan dalam ritual yang dapat mudah untuk memahaminya.
dilakukan dalam suatu komunitas. Artikel ini
bertujuan menganalisis penghargaan terhadap C. HASIL DAN PEMBAHASAN
perempuan Nuaulu dalam Ritual Inisiasi di Pulau 1. Ritual Inisiasi menurut Arnold van
Seram yang berfokus pada ritual Pinamou. Di Gennep
samping itu, juga bertujuan untuk menjelaskan

D
adanya makna penghargaan terhadap perem- alam pengamatan seorang Van Gennep,
puan yang terkandung dalam ritual Pinamou bahwa ritual yang dilakukan bagi perem-
yang menjadi warisan lokal dari masyarakat puan bukanlah ritual yang menciptakan
setempat. struktur karena adanya pemisahan. Tetapi ritual
ini menjadi sebuah transisi peran penting
2
umumnya terdiri dari tiga fase: Pemisahan, di
Pola Komunikasi Masyarakat Suku Nuhatan Sebagai
Dampak Akulturasi Budaya (Aulia Vera Rosida, Juli -
mana seseorang tidak terlibat dari peran atau
Desember 2011), Pendidikan Nilai Sosial Budaya Dalam status sosial; Transisi, di mana seseorang
Keluarga Dan Lingkungan Masyarakat Suku Nuaulu Di beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan
Pulau Seram (Case Study: Di Desa Tamilou Kecamatan peran baru; dan Penggabungan, dimana orang
Amahai Kabupaten Maluku Tengah, (Jenny Koce
Mattitaputy, April 2016), Sistem Religi Suku Nuaulu Di
tersebut mengintegrasikan peran baru atau
Pulau Seram Maluku Tengah (Fahham, 2016), The cultural status ke dalam diri.
relations of classification: an analysis of Nuaulu animal
categoris from central Seram, Ellen Roy. (1993).
3 4
Yonna Euinike Tanahitumesseng, Retty Ratnawati, Mufidah John W. Creswell. (2016) Research Design, Pendekatan
Cholil. (2017). Makna Menstruasi Bagi Perempuan Suku Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran, Edisi ke 4,
Naulu-Dusun Rohua Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 254.
5
Maluku, Program Studi Kajian Wanita Universitas Creswell, Research Design, 254.
6
Brawijaya, IJWS - Vol. 5, No.1, 2017. Creswell, Research Design, 255.
20 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020 TELFRIN LASAMAHU, et al.
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Pada tahap pemisahan, individu dipisahkan sakral yang dianggap sebagai upacara religious
dari satu tempat atau kelompok atau status; yang mengandung unsur penyembahan dan
dalam tahap peralihan, disucikan dan menjadi kepercayaan dalam tatanan komunitas masya-
subjek dari prosedur-prosedur perubahan; rakat yang ada. Ritual yang dilakukan sebagai
sedangkan pada masa penggabungannya bentuk awal kehidupan. Meskipun terdapat
secara resmi ditempatkan ke pada suatu tempat, tahapan dalam ritual namun setiap tahapan itu
kelompok atau status baru. merupakan awal dalam penggabungan suatu
Setiap tahapan yang disebut sebagai masa individu yang menjalankan ritual dalam suatu
transisi itu berbeda-beda. Pada setiap individu komunitas masyarakat yang ada.
terdapat fase yang berbeda, namun setiap fase Ritual inisiasi menjadi tahapan ritual yang
ini tidak menjamin akan berlangsungnya tatanan berhubungan juga dalam kepercayaan yang
sosial dalam suatu komunitas masyarakat. Se- dilakukan secara sakral dalam masyarakat.
tiap individu dalam suatu komunitas masyarakat Ritual inisiasi yang dilakukan sebagai bentuk
tidak dapat langsung di identikan dengan penyucian diri, dan konsep tentang penyucian
maksud dalam setiap tahap kehidupan yang diri ini menjadi suatu pandangan yang bukan
mengharuskan akan setiap tatanan dalam hanya pada agama terkemuka tetapi agama
kehidupan masyarakat. Setiap tatanan kehi- suku juga mengenal akan penyucian diri dalam
dupan itu menjadi suatu pelajaran dan tolak ukur setiap ritual yang dibangun dalam tatanan suatu
yang dijadikan sebagai ritual dan menjadi komunitas masyarakat. Penyucian diri ini mejadi
penanda akan suatu keberadaan seorang suatu fase baru dalam hal kelahiran kembali
individu untuk ada dalam suatu komunitas. Se- dalam tergabungnya suatu individu yang
tiap ritual dalam tahapan bahkan pemberla- melakukan ritual dengan komunitas dalam suatu
kuannya terhadap setiap individu dalam masyarakat.
masyarakat tidak perlu untuk dipahami sebagai Dalam pandangan Van Gennep tentang
suatu pemisahan pada fase fisik misalnya laki- tahapan ritual inisiasi yang mengandung unsur
laki dan perempuan, yang mana sering kali didalamnya yakni pemisahan, transisi dan
dianggap terdapat ketimpangan dalam setia penggabungan, di tegaskan kembali Merry
7
tahapan ritual yang dijalani oleh seorang Douglas . Dalam kajiannya tentang Kemurnian
perempuan. Ketimpangan ini menjadi bentuk dan bahaya, suatu analisis terhadap yang kotor
budaya dalam konstruksi yang telah dibangun dan tabu, Mary Douglas terfokus pada
dalam masyarakat dalam kebudayaan patriaki. masyarakat primitive dan agama mereka yang
Perlu ditegaskan lagi bahwa penyelenggaraan dipandang sebagai masyarakat yang masih
ritual bukan hanya dalam masa batasan secara melekat dalam konsep pemahaman tentang yang
fisik saja tetapi bagaimana dapat membangun kotor dan tabu. Masyarakat primitive dalam
kehidupan komunitas dalam lingkup pribadi pengalaman budaya dapat diartikan sebagai nilai
bahkan kelompok dalam masyarakat. Dalam sosial yang menyimpang. Namun kita tidak bisa
tindakan dalam suatu ritual, pemutusan dalam mengatakan bahwa ada ketimpangan dalam
hubungan secara sementara dengan masyarakat ritual mereka jika kita tidak melihat hal tersebut
itu sebagai suatu tujuan untuk memisahkan fase menjadi suatu bagian yang secara turun temurun
yang dianggap lampau untuk dapat melihat fase telah ada dalam masyarakat tersebut. Contoh
baru dalam pandangan ke masa depan. Setiap yang kotor misalkan bagi masyarakat primitive
tindakan yang dilakukan menjadi suatu tanda yakni menstruasi. Menstruasi dianggap sebagai
akan setiap tindakan yang ada dalam hal yang kotor. Namun hal yang dianggap kotor
masyarakat. Namun tindakan itu tidak dipahami ini dapat menjadi suatu kekuatan yang bisa saja
dalam pandangan yang hanya menyudutkan satu menjadi baik dalam komunitas tetapi juga
pihak tetapi menjadi bagian dalam pandangan menjadi bahaya dalam komunitas itu sendiri.
secara bersama dalam suatu masyarakat. Ritus Setiap ritual yang berhubungan dengan
yang berkaitan dengan pemisahan menjadi suatu pembersihan diri mempunyai kekuatan secara
tujuan penggabungan dalam suatu komunitas mistis. Kekuatan secara mistis ini ditonjolkan dan
masyarakat. dapat dilihat ketika ritual ini tidak dilakukan.
Pemisahan yang dilakukan dalam pandangan Ritual yang tidak dilakukan bagi hal yang
masyarakat suku bahkan masyarakat lain seperti dianggap kotor dalam suatu komunitas dapat
kelas dan juga kasta sebenarnya merupakan menjadi ancaman bagi komunitas itu sendiri.
suatu tatanan sosial yang secara bersama Ritual antara yang bersih dan yang kotor akan
dirumuskan dan ditata, namun jika dilihat dalam menciptakan suatu pengalaman yang baru,
pengaruh akan ritual yang dijalankan, maka ritual bahwa yang kotor dan yang bersih itu tidak perlu
yang dijalankan bukan hanya sekadar dilakukan pemisahan. Pemisahan yang ada
pembatasan tetapi ada suatu penggabungan dan dapat menimbulkan penghargaan yang minim
pembentuk nilai yang terkandung dalam ritual
7
yang dijalankan dalam suatu komunitas masya- Mary Douglas. (1966) Purity and Danger, An Analysis of the
Concepts of Pollution and Taboo, New York:
rakat. Ritual merupakan suatu tahapan yang
Routledge,1966.
21 | P a g e
TELFRIN LASAMAHU, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

bagi setiap leluhur kita sendiri. Sehingga setiap komunitas dalam masyarakat maluku. Pengaruh
ritual yang dilakukan terkhusus bagi perempuan masuknya budaya patriakhi ini di dalam
seperti halnya menstruasi, jangan dianggap perkembangan sejarah bangsa Eropa, yakni
8
sebagai suatu pemisahan. Menstruasi yang Portugis dan Belanda . Matriakhi sendiri
dialami oleh perempuan dianggap sebagai hal merupakan konstruksi sosial awal dari orang
yang kotor mempunyai kekuatan dalam suatu Maluku. Mitologi Nusa Ina yang menempatkan
komunitas. Sehingga yang kotor dapat menjadi seorang Ina (perempuan) dalam sentral
yang suci dengan melihat aspek dari kekuatan penciptaan. Perempuan sebagai peretas kehidu-
yang ada. Menstruasi yang dialami oleh pan mula-mula dalam sebuah teritori yang besar
perempuan merupakan sebuah kemurnian. dengan situasi kehidupan beserta tatanan
9
Sehingga ritual dilakukan sebagai bentuk nilainya .
perlindungan bagi perempuan yang memiliki Manusia awal (Alifuru) yang diciptakan
kemurnian tersebut. Perlindungan ini pintu pertama adalah perempuan atau Ibu yang
10
gerbang untuk menemukan anggota komunitas bernama Hulamasa . Penciptaan Nusa Ina atau
baru dalam kehidupan masyarakat. Melalui Pulau Seram bersamaan dengan penciptaan Ibu
11
perempuan maka keanggotaan kasta ditentukan, bumi yang melahirkan Alifuru Ina. Alifuru
melalui perempuan kemurnian dari anggota perempuan (Ina) atau seorang Ibu adalah
masyarakat terus diabadikan. Hal ini ciptaan awal Mahakuasa Pencipta Alam
12
menegaskan pandangan pembatasan terhadap Semesta dan Manusia . Nusa Ina merupakan
perempuan harus diakhiri. Perempuan memiliki sebuah nama yang mana manusia pertama kali
kekuatan dalam komunitas masyarakat. yang diciptakan adalah seorang ina (perem-
13
Representasi perempuan sebagai kekuatan tidak puan) . Mitologi Nusa Ina menggambarkan laki-
hanya dilihat dalam kajian sebagai perempuan laki (Alifuru Ama) sebagai pendatang dari “langit”
sebagai ibu saja. Perempuan sebagai ibu yang memiliki jiwa petualang yang kemudian jatuh
dapat melahirkan dan menjadi penyambung cinta pada sang pemilik bumi (Alifuru Ina). Alifuru
kehidupan dalam suatu komunitas. Sehingga Ama tidak dilihat sebagai ciptaan kemudian yang
pengasingan dalam ritual bagi perempuan lebih rendah dari Alifuru Ina. Kosmologi Maluku
bukanlah suatu pemisahan, tetapi merupakan yang menggambarkan laki-laki sebagai langit
suatu pengalaman yang dijadikan sebagai suatu dan perempuan sebagai bumi. Perkawinan
kekuatan dalam komunitas masyarakat yang keduanya menjadi cikal-bakal kelahiran komu-
14
ada. nitas Maluku . Mitos menceritakan tentang
Teori diatas dapat mengarahkan kita tentang bagaimana melalui tindakan Supernatural Beings
nilai penghargaan terhadap perempuan yang sebagai suatu realitas asali masuk ke dalam
bukan hanya sebagai sebuah nilai tetapi juga eksistensi kosmos, atau hanya sebagai bagian
memiliki pengaruh dalam suatu komunitas dari realitas seperti pulau, tanaman, kekhususan
masyarakat. Ritual yang dilakukan untuk dapat tingkah laku atau kebiasaan manusia, suatu
menyeimbangkan kehidupan dalam masyarakat lembaga, karenanya mitos selalu dikaitkan
yang memegang nilai dan kepercayaan yang dengan penciptaan dan bagaimana segala
15
dibawa turun-temurun dari sejak para leluhur sesuatu dijadikan .
mereka ada. Setiap kepercayaan ini dibangun Pulau Seram sebagai pulau ibu atau Nusa
dalam mitologi yang menjadi sebuah penegasan Ina sebagai tempat asal mula manusia Maluku
16
terhadap tatanan nilai dalam masyarakat. yang pertama, tempat para tete nene moyang
Sehingga setiap tahapan ritual bukan hanya (leluhur) hidup dan membentuk tatanan dunia
sebagai sebuah tradisi yang dibangun dan Seram dengan berbagai aturan adat yang
dilakukan dalam setiap pemaknaanya, tetapi dipegang hingga kini. Pulau Seram sebagai Nusa
mengandung unsur dalam kepercayaan yang Ina (Pulau Ibu), karena perempuan atau Ina yang
dibangun dalam mitologi yang ada pada suatu diciptakan pertama kali mengandung makan bagi
komunitas. orang Maluku bahwa perempuan atau Ina dan
dunia berada dalam konsep penciptaan awal dan
2. Penghargaan Perempuan dalam Mitologi setara. Figur Ina karena ia yang mengandung,
orang Seram melahirkan, memberi makan dan membesarkan
semua anak. Narasi mitologi penciptaan bumi
Pulau Seram yang ada dalam teritori wilayah
daerah Maluku, memiliki pergeseran dalam 8
Wedelmina Yudit Tiwery. (2015) Teologi Ina, Terlahir dari
pandangan kedudukan. Pergeseran ini ditun- Rahim Maluku, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 117.
9
jukkan dengan perkembangan budaya patriakhi 10
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 118.
yang merebak secara luas dan menggusur Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 135.
11
Suku awal orang Maluku.
pemahaman awal orang maluku yang berkaitan 12
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 135-136.
erat dengan matriakhi yang mempunyai 13
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 139.
14
pengaruh dan peran yang sangat besar dalam 15
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 143-145.
terbentuknya sejarah dan sepak terjang setiap Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 153.
16
Sebutan untuk leluhur orang Maluku.
22 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020 TELFRIN LASAMAHU, et al.
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Nusa Ina dengan Nunusaku telah melahirkan Mitos-mitos tersebut tidak hanya merefleksikan
kesadaran yang kuat dalam diri masyarakat daur kehidupan dan kematian di alam semesta,
tentang peran seorang Ina. Ia adalah gambaran tapi juga merefleksikan bagaimana daur
sebuah tatanan kehidupan mula-mula di bumi perjuangan hidup personal dalam setiap individu
Nusa Ina yang ramah, suka menolong orang lain manusia; drama kelahiran, kehidupan, kematian
dalam susah. Seorang Ina yang menjadi peletak serta harapan untuk dilahirkan kembali untuk
17 23
awal kehidupan komunalitas di Nunusaku . penebusan dosa . Penting bahwa aktivitas
Mitos tersebut mengedepankan tema persauda- dalam ritual untuk bertemu dengan yang sakral.
raan di antara sesama manusia dengan menja- Ritual inisiasi, pengampunan, dan penebu-
dikan Nunusaku sebagai pusat bersama dan san dosa adalah ritual, yang dengan berbagai
Alifuru Ina sebagai Ibu bersama. Nilai persauda- cara dan prosedur, menampilkan kembali proses
raan dan keibuan adalah nilai yang sangat penciptaan asali yaitu penciptaan dunia yang
relevan untuk digemakan dan digumuli dalam berawal dari chaos dan setelah itu wujud dunia
24
konteks kehidupan masyarakat di Maluku saat ini diberikan antar dewa tersebut . Tema-tema
18
dan bahkan seterusnya . yang ada di dalam setiap ritual dan mitos-mitos
Penghargaan terhadap perempuan dibentuk arkhais adalah keinginan untuk hidup di satu
dalam mitologi yang ada dalam kehidupan dunia sebagaimana yang datang dari tangan
masyarakat. Mitos yang dalam perkembangan sang pencipta, sebuah dunia yang murni dan
zaman menjadi runtuh karena pengaruh budaya maha kuat. Mitos tentang penciptaan berperang
luar yang masuk dalam masyarakat. Ritual penting dalam masyarakat arkhais. Ritual dalam
merupakan sebuah jalan masuk untuk mengingat masyarakat arkhais mengandung “pengulangan”
kembali mitologi kehidupan dalam suatu kembali apa yang Tuhan lakukan pada waktu illo
masyarakat sebagai cerminan kehidupan yang tempore (berasal dari bahasa latin Latin yang
dipegang sejak awal dalam masyarakat. Mitos berarti “pada waktu itu”), yaitu saat alam semesta
dipahami bukan sekadar seni verbal/ cerita mendapatkan wujudnya. Setiap festival Tahun
masyarakat setempat, melainkan merupakan Baru, mitos kelahiran kembali dan reintegrasi,
upaya untuk mengungkapkan atau merefleksikan atau ritual inisiasi adalah perlambang “kembali”
19
realitas keberadaan masyarakat pemiliknya . ke awal, satu kesempatan untuk memulai dunia
25
Menurut Eliade, mitos adalah sejarah mengenai baru .
apa yang terjadi di masa lalu. Pemikiran Eliade
terhadap mitos merupakan cara masyarakat 3. PINAMOU: Ritual inisiasi bagi perempuan
arkhais menceritakan keberadaan mereka Nuaulu
melintasi dunia yang supranatural menuju
kenyataan dunia ini dan cerita ini dianggap kudus Ritual inisiasi merupakan ritual yang ada
sehingga perlu adanya pewarisan bagi generasi dalam setiap komunitas masyarakat. Ritual
berikutnya. Bahwa untuk mengetahui kebera- menjadi bagian dalam kehidupan suatu
daan/asal usul maupun segala ritus dan tindakan komunitas yang ada dalam masyarakat. Pinamou
mereka di dunia dapat dipahami melalui merupakan salah satu ritual inisiasi yang ada di
kenyataan-kenyataan yang ditunjukkan oleh Suku Nuaulu bagi seorang perempuan yang
20
mitos tersebut . Masyarakat arkhais adalah dilakukan dalam pengalihan status dari seorang
masyarakat yang hidup di zaman pra sejarah wanita dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
ataupun masyarakat tribal dengan kebudayaan Secara harafiah Pinamou diartikan sebagai
terbelakang yang hidup saat ini. Sehari-hari wanita bisu. Namun bisu bukan berarti tidak
mereka mengerjakan pekerjaan “alami”, seperti mengatakan sepatah katapun. Bisu dalam hal ini
21
berburu, memancing dan bercocok tanam . diartikan bahwa perempuan yang melakukan
Mitos-mitos sendiri merupakan simbol-simbol ritual Pinamou dapat bebicara namun tidak
22
berwujud narasi . Mitos-mitos menceritakan mengeluarkan suara dengan keras. Ritual
tentang Yang Sakral, bagaimana kehidupan Pinamou sendiri telah ada turun temurun dari
ilahiah yang bersifat supranatural itu bisa sejak para leluhur. Ritual ini merupakan ritual
menjadi sangat dekat dengan kehidupan alamiah yang wajib untuk dilakukan oleh setiap
manusia. Simbol-simbol tersebut bukan hanya perempuan dalam masa akhil balik mereka. Hal
mengemukakan kepada kita tentang dunia Yang ini ditandai dengan menstruasi yang didapat oleh
Sakral, tapi juga kontinuitas antara struktur seorang perempuan.
eksistensi manusia dengan struktur kosmik. Ketika seorang perempuan mengalami
menstruasi perempuan ini memberitahukannya
17
pada Ibu dari perempuan tersebut. Ibu dari
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 177.
18 perempuan ini melarikan anak perempuan ini
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 123.
19
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 119. kedalam hutan sebelum dimasukan kedalam
20
Tiwery, Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, 169-170.
21 23
Daniel L. Pals. (2012) Seven Theories of Religion, Pals, Seven Theories of Religion, 244-246.
24
Yogyakarta: IRCiSoD, 233. Pals, Seven Theories of Religion, 251.
22 25
Pals, Seven Theories of Religion, 241. Pals, Seven Theories of Religion, 256-257.
23 | P a g e
TELFRIN LASAMAHU, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

rumah kecil yang telah disediakan oleh ibu untuk menuju rumah besar dari perempuan
masyarakat dan keluarga. Setelah itu Ibu dari yang melakukan ritual Pinamou ini. Setelah
anak perempuan ini memberitahukan kepada sampai rumah besar, Mama bian mendadani
keluarga bahwa ritual Pinamou harus dilakukan. perempuan yang melakukan Pinamou ini dengan
Setelah ada kesepakatan dalam keluarga maka aksesoris yang dikenakan. Setelah didandani,
perempuan yang melaukan ritual Pinamou perempuan yang melakukan ritual Pinamou ini
ditempatkan pada sebuah rumah kecil yang diberi makan. Makanan yang diberikan pada
disebut Posune. perempuan yang melakukan ritual Pinamou ini
Didalam rumah Posune ini terdapat peralatan masih bersifat ubi-ubian. Makanan yang
yang akan digunakan bagi perempuan yang diberikan oleh Mama bian kepada perempuan
melakukan ritual Pinamou. Peralatan yang yang melakukan ritual Pinamou ini tidak ditelan
digunakan oleh perempuan yang melakukan tetapi dibuang kembali sesuai instruksi dari
ritual Pinamou ini terdiri dari bambu. Peralatan Mama biang. Hal ini dilakukan sebagai tanda
masak bahkan mandi dari perempuan yang penghargaan terhadap hasil pencarian dari
melakukan ritual Pinamou ini bersifat alami. keluarga bagi perempuan yang melakukan ritual
Tidak berhubungan dengan peralatan modern. Pinamou. Setelah acara makan, perempuan
Makanan yang akan dimakan oleh perempuan yang melakukan ritual Pinamou, berjalan
yang melakukan ritual Pinamou ini juga bersifat mengelilingi kampung untuk membagikan minyak
alami seperti ubu-ubian dan juga makanan yang khusus bagi setiap masyarakat. Minyak khusus
hanya direbus. Di dalam Posune, perempuan ini diperuntukan bagi masyarakat laki-laki baik
yang melakukan ritual Pinamou ini didampingi yang kecil maupun dewasa. Hal ini dilakukan
oleh 2 orang Mama bian. Mama bian mempunyai Karena pemahaman masyarakat suku nuaulu
tugas dan fungsi untuk menasihati perempuan sendiri bahwa perempuan merupakan sumber
yang melakukan ritual Pinamou ini dan juga berkat. Jadi minyak yang diberikan dapat
menjadi media interaksi bagi perempuan menjadi sebuah doa bagi laki-laki yang ada
Pinamou untuk mengikuti jalannya ritual Pinamou dalam masyarakat suku nualu dalam tugas untuk
ini. Mama bian berperan aktif dalam melihat, mencari nafkah bagi keluarga.
memperhatikan dan mengatur jalannya ritual
Pinamou ini. 4. PINAMOU: Penghargaan terhadap
Setelah berada dalam posune selama Perempuan Nuaulu dalam Ritual Inisiasi
menstruasi, Pinamou akan dikeluarkan dari di Pulau Seram
dalam posune dengan tahapan yang ada dalam
ritual yang dijalankan. Hal yang pertama Dalam tahapan ritual yang ada maka
dilakukan adalah meratakan gigi atau dalam penghargaan bagi perempuan di lihat dalam
dialek setempat disebut dengan Papar gigi. ritual khusus bagi perempuan. Bagi Van Gennep,
Papar gigi dilakukan dengan 3 buah batu khusus. kekhususan itu tidak bisa dilepaspisahkan. Ritual
Papar gigi ini dilakukan dengan tujuan untuk Pinamou dilakukan dalam tahapan yang ada
meratakan gigi dari perempuan yang melakukan merupakan sebuah pengkhususan yang dila-
Pinamou. Bagi masyarakat Suku Nuaulu, kukan bagi seorang perempuan. Dalam kaca-
Perempuan yang memiliki gigi yang rata dan mata patriakal ritual ini dapat menjadi suatu
rapih terlihat menarik. Tahapan selanjutnya legitimasi oleh kaum laki-laki atas perempuan.
adalah Pinamou dimandikan. Perempuan yang Namun dapat dilihat bahwa akhir dari ritual
melakukan ritual Pinamou dimandikan oleh Pinamou ini adalah pemberian minyak bagi
mama-mama (ibu-ibu) yang ada dalam setiap laki-laki yang ada dalam masyarakat suku
komunitas suku nuaulu. Perempuan yang nuaulu sebagai bentuk kepercayaan bagi
melakukan ritual Pinamou dimandikan dengan perempuan sebagai saluran berkat bahkan
kelapa, dan juga kunyit. Kelapa digunakan untuk saluran kehidupan dalam masyarakat. Ritual
membersihkan kotoran pada tubuh perempuan Pinamou yang ditandai dengan menstruasi yang
yang melakukan ritual Pinamou ini. Sementara dianggap kotor itu menjadi suatu kekuatan dalam
kunyit dipakai untuk mencerahkan warna kulit masyarakat. Terdapat proses pembelajaran yang
dari perempuan yang melakukan ritual Pinamou dapat dilihat adalah bahwa pengkhususan dalam
ini. ritual Pinamou bagi perempuan Naulu ini
Setelah dimandikan kemudian perempuan menunjukan bahwa perempuan yang menjalani
yang melakukan ritual Pinamou diberikan kain ritual Pinamou ini mendasari akan pengkhu-
baru. Kain baru ini menggantikan kain yang lama susannya untuk menjadi seorang Ibu, sebagai
yang dipakai selama perempuan yang penerus kehidupan.
melakukan Pinamou ini berada dalam Posune. Proses pembelajaran yang kedua dalam
Kain baru ini sebagai simbol pembersihan diri budaya Pinamou dapat terlihat dari peranan
dari seorang perempuan. Setelah itu perempuan Mama bian yang dijadikan sebagai agen budaya.
yang melakukan ritual Pinamou ini dibawa keluar Mama bian dalam ritual Pinamou ini sebagai
dari Posune dan kemudian berjalan bersama ibu- sosok yang akan mengajarkan perempuan yang
24 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020 TELFRIN LASAMAHU, et al.
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

melakukan ritual Pinamou tentang kehidupan dan menganggap itu benar. Hal itu yang dalam
yang akan dijalani setelah nantinya ia berada gagasan mereka dianggap sebagai sebuah
dalam masyarakat dan menjadi seorang keteraturan dalam masyarakat mereka sendiri.
perempuan yang dewasa. Mama bian Namun yang diperhadapkan adalah persoalan
merupakan agen yang menjadi passing down, dengan yang lain yang melihat akan adanya
teaching yang mana peran Mama bian ketimpangan akan gagasan yang dipikirkan yang
menurunkan ajaran secara komunal terhadap dilaksanakan dalam suatu ritual. Hal yang perlu
perempuan yang melakukan ritual Pinamou itu untuk ditekankan adalah tidak semua hal dapat
sendiri yang nanti diteruskan oleh perempuan dianggap sebagai hal yang menyimpang karena
tersebut dalam kehidupan sehari-harinya, bagi mereka yang memiliki gagasan itu
bagaimana menjadi perempuan yang baik dan segalanya yang dipikirkan mempunyai nilai
sebagainya. Dapat juga dikatakan dalam ritual dalam sistem kelompok sosial yang mereka
Pinamou, perempuan dikhususkan didalam sendiri miliki. Stigma terhadap peran perempuan
rumah Posune maka perempuan tersebut juga di budayakan dalam kebudayaan popular
sementara mengalami katekisasi cultural yang yang ditampilkan dan dalam pesan tradisionalnya
dijalankan oleh perempuan. Dimana dalam adalah bahwa seorang perempuan itu lemah dan
28
pembelajaran ini dapat memberikan pandangan membutuhkan perlindungan dari laki-laki .
tentang bagaimana perempuan dalam kehidupan Kebudayaan popular yang ditampilkan seperti
bermasyarakat yang melakukan ritual dalam film, musik dan bacaan-bacaan yang ada dan
kepercayaan sebagai pemeluk agama suku yakni berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan
Suku Nuaulu. popular mendorong akan pandangan terhadap
Dengan ritual Pinamou yang dilakukan maka seorang perempuan dalam masyarakat dan
Pinamou menjadi sebuah wadah untuk menjadi suatu tanda bagi perempuan sebagai
menempatkan Perempuan Nuaulu pada pusat sosok yang lemah. Perempuan dalam panda-
kehidupan. Perempuan dalam ide dan gagasan ngan dari segi kebudayaan menjadi sosok yang
yang berkembang dalam masyarakat dianggap lemah. Namun setiap yang alami dari kehidupan
sebagai sosok yang lemah. Dalam beberapa perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu yang
faktor ide dan gagasan ini mengalami berharga tetapi dianggap dalam sistem nilai
perkembangan dalam masyarakat. Pandangan budaya yang dalam anggapannya menitikbe-
perempuan sebagai yang lemah dipahami dalam ratkan pada titik lemahnya seorang perempuan.
nilai alamiah yang ada dalam diri perempuan. Hal yang bersifat alami dalam kodrat bagi
Teori Nature (Kodrat alam) beranggapan bahwa seorang perempuan sering kali dianggap sebagai
perbedaan psikologisa antara laki-laki dan hal yang dianggap tabu atau kotor. Namun dari
perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis setiap ide dan gagasan yang ada perlu untuk
26
dari kedua insan tersebut . Teori ini kemudian dilihat adalah sebuah kekuatan dari hal yang
didorong dalam pandangan pembedaan antara secara kodrat yang menstigmakan perempuan
laki-laki dan perempuan. Pembedaan dalam ide sebagai sosok yang lemah. Menstruasi yang
tentang perempuan secara kodrat dianggap lebih dialami oleh perempuan, dianggap sebagai suatu
lemah dari laki-laki telah mengalami perkem- hal yang kotor. Mestruasi dianggap sebagai
bangan bukan saja pada masyarakat awam suatu yang kotor bagi masyarakat Nuaulu
tetapi juga dalam kalangan filsafat yang terus sebagai penghalang terhadap roh leluhur,
menerus mengalami perkembangan dalam sehingga perempuan yang melakukan ritual ini
pemikiran tentang kaum perempuan. mempunyai tempat khusus yakni didalam rumah
Perempuan dalam perannya pada kehidupan Posune. Rumah Posune menjadi tempat bagi
masyarakat dihubungkan dalam setiap nilai seorang perempuan Nuaulu dalam menjalankan
budaya dan gagasan yang berkembang dalam tradisi Pinamou ini. Pertanyaan menarik adalah
masyarakat itu sendiri. Berbagai pandangan jika menstruasi bagi perempuan Nuaulu sendiri
tentang peran bagi seorang perempuan dianggap kotor mengapa harus ada rumah yang
seringkali terbentuk dalam setiap gagasan dipersiapkan bagi perempuan Nuaulu yang
tentang bagaimana perempuan berperilaku dan mendapat menstruasi dan akan menjalankan
kemudian gagasan itu diturunkan secara turun- tradisi Pinamou? hal ini dapat saja mendapat
27
temurun . Gagasan ini juga berkaitan dengan pengertian bahwa perempuan selalu mempunyai
segala kebiasaan yang ada dalam setiap tempat yang penting dalam kehidupan
kelompok bahkan setiap kesukuan. Bagi mereka masyarakat. Sehingga perempuan yang menga-
yang menjalankan dan memiliki gagasan ini lami menstruasi dan menjalakan tradisi Pinamou
melihatnya dari sudut pandang mereka sendiri mempunyai rumah khusus yang akan ditinggali
selama menjalani masa menstruasi dan juga
26
Kasiyan. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam menjalankan ritual Pinamou tersebut.
dalam iklan, Yogyakarta: Ombak, 33.
27
Brunetta R. Wolfman. (1989). Peran Kaum Wanita,
28
Bagaimana menjadi cakap dan seimbang dalam aneka Wolfman, Peran Kaum Wanita, Bagaimana menjadi cakap
peran, Yogyakarta: Kanisius, 12. dan seimbang dalam aneka peran, 15.
25 | P a g e
TELFRIN LASAMAHU, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Pemisahan yang dilakukan bukan untuk D. KESIMPULAN


menciptakan struktur dalam masyarakat. Struktur

R
yang mengklaim akan peran laki-laki yang itual inisiasi dapat dikatakan merupakan
dominan dalam masyarakat. Ritual Pinamou ini pintu masuk dalam setiap tahapan
menunjukan bahwa perempuan mendapat kehidupan manusia yang ada dalam suatu
tempat tertinggi, dihargai kerena perempuan komunitas masyarakat. Ritual inisiasi membantu
menjadi pusat kehidupan bagi suatu masyarakat untuk memperkenalkan nilai yang ada dalam
dan juga menjadi penyambung kehidupan dalam suatu komunitas masyarakat, tetapi juga menjadi
suatu masyarakat. Perempuan mempunyai sebuah pemahaman baru bagi setiap kedudukan
penghargaan dan perlu untuk dihargai dalam dalam anggota masyarakat. Ritual Pinamou
sebuah komunitas. Perempuan memperoleh menjadi sebuah cerminan akan sebuah
kekhususan dalam melanjutkan kehidupan dalam penghargaan bagi perempuan nuaulu dan dapat
suatu komunitas. Perempuan sedang mengambil dipakai sebagai sebuah cerminan bagi setiap
peran penting dalam masyarakat meskipun perempuan dalam mempertahankan dan
terlihat dalam setiap ritual perempuan itu sering menjaga kontribusi dalam kehidupan bermasya-
tidak mendapat tempat atau terpinggirkan. rakat. Ritual Pinamou, telah menjadi bagian dari
Seperti yang diungkapkan oleh Martines bahwa komunitas, dan didalam ritual ini relasi-relasi
perempuan dalam ritual sering kali terpinggirkan dalam kehidupan bermasyarakat dapat terbentuk
karena dipengaruhi pemahaman patriaki yang satu dengan yang lain. Ritual Pinamou ini
sangat tinggi kemudian ruang bagi perempuan menjadi bagian penting dalam komunitas karena
29
itu tidak diberikan . Dalam hal ini perlu untuk perempuan yang mengalami pengkhususan itu
dilihat adalah bahwa sebenarnya perempuan mempunyai peran yang sangat penting terhadap
memainkan peran yang sangat besar baik itu di suatu komunitas karena perempuan tersebut
dalam setiap ritual tetapi juga sebagai penerus yang akan memberi kehidupan dalam komunitas
kehidupan. Perempuan sangat dibutuhkan tersebut dengan memberi dan mendidik anak
hampir disetiap aspek kehidupan yaitu di dalam dalam komunitas yang ada yakni komunitas
keluarga menjadi ibu dan istri sedangkan di luar dalam suku nuaulu.
30
lingkungan itu perempuan juga bekerja . Ritual Dalam sisi yang lain orang bisa saja melihat
inisiasi dalam tahapan yang dilakukan pemi- ritual ini apalagi pengkhususan yang lebih
sahan dan kemudian penggabungan kembali dikaitkan dengan pengasingan dari perempuan
menjadi sebuah ritual yang menonjolkan akan dalam ritual ini dalam rumah kecil sebagai
pengahargaan terhadap perempuan dalam ritual sebuah tindakan diskriminasi. Apalagi dalam isu
yang di padukan dengan kepercayaan sebagai yang berkembang sekarang untuk melihat sisi
agama suku. Perempuan memiliki tempat khusus perempuan maka ritual ini juga dapat merujuk
dan dihargai dengan pemberlakukan dalam ritual pada bagian diskriminasi. Tetapi dalam penulisan
inisiasi yang dilakukan seperti ritual Pinamou. ini menekankan bagaimana melihat relasi
Ritual yang dijalankan mempunya makna yang perempuan sebagai ibu, yang didorong dalam
mendalam yang menegaskan akan penghargaan penghargaan akan alam sebagai ibu dan melihat
terhdap seorang perempuan yang ada dalam kesucian komunitas yang ada. Maka dapat
masyarakat bahkan komunitas setempat sebagai terlihat dengan jelas bahwa ritual Pinamou ini
penerus kehidupan dalam suatu masyarakat merupakan juga penghargaan terhadap perem-
bahkan komunitas yang ada. Ritual dijalakan puan. Dimana perempuan yang menjalankan
dalam kepercayaan dan ketaatan yang diyakini budaya ini dikhususkan dan mendapatkan
sebagai yang sakral dan menjadi wadah yang pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai
meperlihatkan bahwa perempuan mempunyai suatu hal yang akan menjadikan perempuan
peran yang besar dalam masyarakat ditengah sebagai sosok yang penting dalam suatu
stigma dan pandangan tentang perempuan yang komunitas sebagai penerus kehidupan dalam
melihat struktural dalam masyarakat dan keluarga bahkan dalam komunitas itu sendiri.
mengabaikan makna sakral yang mengandung Sehingga pengkhususan perempuan sebagai
unsur penghargaan terhadap seorang suatu yang penghargaan sebagai perempuan
perempuan sebagai penerus kehidupan. sebagai penerus kehidupan.
Ritual Pinamou dapat menjadi suatu
pengakuan iman dalam kepercayaan agama
29
Jan van Bremen and D.P. Martinez. (1995), Ceremony and suku yang dapat dilihat dan data terus
Ritual ini Japan, Ritual Practics in an industrialized society, diperbaharui. Mitologi dalam kehidupan sebuah
New York: Routledge. komunitas dapat dilihat dalam setiap ritual yang
30
SOLUSI KONFLIK PERAN PEREMPUAN MINANGKABAU
memiliki narasi dan makna yang terkandung
(Kasus Perawat Yang Melanjutkan Pendidikan Ke
Perguruan Tinggi) Nola Mutiara Asril, Maihasni, Alfitri dalam sejarah yang telah diwariskan dari
(Department of Sociology, Faculty of Social and Political generasi ke generasi. Pemahaman baru yang
Science, Universitas Andalas, Padang, Indonesia), Jurnal masuk dan melunturkan narasi tentang mitologi
Antropologi:Isu-Isu Sosial Budaya- Vol.21 no.02 (December
dapat ditantang dalam setiap ketahanan dalam
2019), 198
26 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020 TELFRIN LASAMAHU, et al.
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

pemberlakukan ritual yang disoroti dalam berhubungan dengan keberlanjutan kehidu-


pandangan dan makna dalam sebuah komunitas, pan dalam setiap inidividu yang ada dengan
sehingga dengan berlangsungnya sebuah ritual keturunan dalam suatu komunitas dan juga
maka setiap mitologi, nilai dan kepercayaan sebagai pemberi berkat dalam kehidupan bagi
dapat tetap terjaga dalam suatu komunitas. Cara laki-laki dan juga komunitas dalam masya-
berpikir laki-laki yang sering membuat akan rakat.
peran perempuan yang tertutup ditegaskan 2. Teks budaya lokal menjadi bagian penting
kembali dalam ritual Pinamou yang ingin melihat yang berisikan tentang narasi-narasi, keper-
dan mendorong perempuan ke depan untuk cayaan dalam mitologi yang mengandung
melihat peran lain dari perempuan sebagai Ibu, makna yang sangat mendalam bagi sebuah
sakralitas dan juga kesucian komunitas. Penga- tatanan kehidupan dalam masyarakat.
ruh perempuan dalam relasi sosial dalam Dimana dalam kepercayaan yang dibangun
masyarakat menjadi nilai penting dalam sebuah dengan mitologi yang ada, menciptakan
komunitas karena peran dari perempuan sebagai keselarasan dalam hubungan sesama dan
ibu yang meneruskan narasi-narasi dalam cerita- masyarakat yang ada dalam suatu komunitas
cerita bahkan nasihat bagi anak-anak. Perem- dan ruang lingkup sosial. Mitologi tentang
puan sebagai ibu mempunyai peran penting perempuan mempengaruhi penghargaan ter-
untuk meneruskan pengetahuan komunitas bagi hadap perempuan, dengannya maka mitos
anak-anak yakni generasi yang ada. Yang bukan hanya sekedar cerita tetapi sebagai
bagian penting juga dalam nilai sosiologi agama suatu narasi yang harus dibangun dalam
adalah bagaimana dengan ritual ini orang dapat konteks kebudayaan patriakhi yang sering
memperkuat relasi-relasi sosial antar masyarakat berkuasa. Mitologi dari seorang perempuan
yang menjadikan perempuan sebagai sosok dapat mengubah kembali pemikiran dalam
yang penting dalam ritual Pinamou itu sendiri masyarakat terhadap seorang perempuan.
yang menegaskan secara gamblang bahwa
perempuan ini merupakan sosok yang menjadi E. UCAPAN TERIMA KASIH
penerus dalam kehidupan keluarga bahkan

U
terlebih dalam komunitas yang ada yakni dalam capan terimakasih penulis sampaikan
komunitas masyarakat nuaulu. kepada pihak-pihak yang telah membantu
Penulisan ini memberikan beberapa usulan yang kelancaran dalam penelitian ini, baik itu
dapat dipertimbangkan untuk melihat kebuda- sumbangan pemikiran dan materi. Terkhusus
yaan yang hampir terkikis dan mengalami untuk masyarakat Dusun Yalahatan, Pulau
pergeseran makna yang tidak secara natural Seram untuk setiap informasi yang diberikan,
tetapi dipandang berbeda dalam kemajuan yang terus menjalankan ritual dalam setiap siklus
pemikiran dan zaman, terlebih dalam konteks kehidupan yang ada dalam komunitas sebagai
budaya lokal: agama Suku yang memiliki kepercayaan dan
1. Budaya selalu melekat dan menjadi tetap menghargai warisan leluhur yang dijalakan
kebiasaan suatu masyarakat sehingga secara dalam ritual yang memiliki makna yang dapat
sengaja atau tidak akan selalu diterapkan dari membuka pikiran yang baik dalam kehidupan
generasi ke generasi. Oleh karena itu, setiap sebagai masyarakat yang menjalankan ritual
kelompok masyarakat akan memiliki sebagai budaya dan kepercayaan yang dipegang
budayanya masing-masing. Budaya ini akan sebagai sesuatu yang memiliki nilai yang sakral.
terus diterapkan dan dipegang teguh oleh
31
individu dari suatu kelompok masyarakat .
Teks budaya lokal dapat memberikan makna
yang lebih berguna dalam kesejajaran sosial
dalam masyarakat. Dalam pemikiran tentang
perempuan dalam masyarakat yang dianggap
rendah dalam hubungan patriakhi yang telah
berkembang dalam masyarakat dan menja-
dikan perempuan menjadi sosok yang sering
tidak dianggap ditepis dengan ritual yang
diberlakukan dalam suatu komunitas yang
mengandung penghargaan terhadap seorang
perempuan yang menjadi penerus suatu
kehidupan dalam masyarakat. Hal ini

31
Budaya Rimpu Sebagai Eksistensi Perempuan Islam Di
Tanah Bima, Ayu Fitriana, Suharno, Department of Civic
Education, Graduate School, Universitas Negeri Yogyakarta,
Indonesia Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya-Vol.21
no.02 (December 2019), 211
27 | P a g e
TELFRIN LASAMAHU, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020
TELFRIN LASAMAHU, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

DAFTAR PUSTAKA

Asril Nola Mutiara, Maihasni, Alfitri. (2019). ‘Solusi Konflik Peran Perempuan Minangkabau (Kasus
Perawat Yang Melanjutkan Pendidikan Ke Perguruan Tinggi’. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya-Vol.21 no.02, 198
Bremen van Jan and Martinez P. D. (1995). Ceremony and Ritual ini Japan, Ritual Practices in an
industrialized society, New York: Routledge.
Creswell W John. (2016). Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran,
Edisi ke 4, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Douglas Mary. (1966). Purity and Danger, an Analysis of the Concepts of Pollution and Taboo, New
York: Routledge.
Ellen Roy. (1993). The cultural relations of classification: an analysis of Nuaulu animal categoris from
central Seram,
Fitriana Ayu, Suharno. (2019). ‘Budaya Rimpu Sebagai Eksistensi Perempuan Islam Di Tanah Bima’.
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya-Vol.21 no.02, 211.
Gennep van Arnold. (1960). The Rites of Passage, Translated by Monika B. Yizedom And Gabrielle L.
Caffee, The University Of Chicago Press.
Kasiyan, (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam iklan, Yogyakarta, Ombak.
Matitaputty Koce Jenny. (2016). ’Pendidikan Nilai Sosial Budaya Dalam Keluarga Dan Lingkungan
Masyarakat Suku Nuaulu Di Pulau Seram (Case Study: Di Desa Tamilou Kecamatan Amahai
Kabupaten Maluku Tengah)’, Vol 4, No 1.l
Pals L Daniel. (2012). Seven Theories of Religion, Yogyakarta: IRCiSoD.
Rozida Vera Aulia. (2011). ‘Pola Komunikasi Masyarakat Suku Nuhatan Sebagai Dampak Akulturasi
Budaya, Vol 1, No 1.
Tanahitumesseng Euinike Yonna, Ratnawati Retty, Cholil Mufidah. (2017). ‘Makna Menstruasi Bagi
Perempuan Suku Naulu-Dusun Rohua Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, Program
Studi Kajian Wanita Universitas Brawijaya’, IJWS - Vol. 5, No.1.
Tiwery Yudit Wedelmina. (2015). Teologi Ina, Terlahir dari Rahim Maluku, Jakarta: Bpk Gunung Mulia.
Wolfman R Brunetta. (1989). Peran Kaum Wanita, Bagaimana menjadi cakap dan seimbang dalam
aneka peran, Yogyakarta: Kanisius.

28 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p19-28.2020 TELFRIN LASAMAHU, et al.
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

TRADISI WISUDA SECARA ADAT DI MASYARAKAT LEKUK 50 TUMBI LEMPUR


KABUPATEN KERINCI
1* 2
Yolla Ramadani ( ), Astrid Qommaneeci ( )
1 2
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sakti Alam Kerinci, Jambi, Indonesia

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

This article is the result of research conducted with the aim to


Submitted : 10th December, 2019 determine the effect of traditional graduation traditions on increasing
Review : 07th March, 2020 community motivation in continuing education to tertiary institutions.
Accepted : 03rd May, 2020 The Traditional Graduation Tradition is the awarding of a degree given
Published : 1st June, 2020 by the Indigenous Institution of 50 Tumbi Lempur Indigenous Peoples
Available Online : June 2020 to local sons and daughters who have completed a Bachelor, Master,
Doctoral degree, or Professor. The awarding of this title is carried out
royally every year on the second of Shawwal. This research uses a
KEYWORDS
descriptive qualitative method where data is collected by observation,
interview, and documentation study. The results showed that this
Motivation; Education; Prestige; graduation
tradition is still carried out by the community until now because this
traditions
tradition has grown a very large motivation for every child and parent to
be able to continue their education up to college. This motivation arises
CORRESPONDENCE
both from internal and external from the community. One of the external
motivations arises because of the pride felt by each family when their
E-mail: Yolla_ramadani@yahoo.com
children are given a title in front of the entire community of Lekuk 50
Tumbi Lempur. While internal motivation arises, one of which is due to
the desire of children to achieve achievements and reach goals so that
they can boast of the family.

A. PENDAHULUAN

I
ndonesia adalah bangsa yang besar, yang Budaya pada hakikatnya memiliki nilai-nilai
kaya akan budaya. Hildred Geertz dalam yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan
Marnelly, 2017:150) menyebutkan bahwa dilaksanakan seiring dengan proses perubahan
wilayah Indonesia ini terdiri dari beribu-ribu sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pelaksa-
pulau yang didiami oleh beranekaragam suku naan nilai-nilai budaya merupakan legitimasi dan
bangsa yang merupakan golongan etnik dan manifestasi masyarakat terhadap budayanya.
mengunakan lebih kurang 250 bahasa dae- Eksistensi dari budaya dan keragaman nilai-nilai
rah serta memiliki berbagai kepercayaan dan luhur kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa
kebudayaan yang beragam. Garna (dalam Indonesia merupakan sarana dalam membangun
Mardotillah dan Mochammad 2016:122) menga- karakter warga negara, baik yang berhubungan
takan bahwa kebudayaan dapat dikatakan dengan karakter privat maupun karakter pu-
merupakan suatu sistem keteraturan dari makna- blik. Geertz (1992:5) berpendapat bahwa ke-
makna dan simbol-simbol. Kebudayaan juga budayaan adalah pola dari pengertian-penger-
merupakan suatu peralatan simbolik bagi tian atau makna yang terjalin secara menyeluruh
pengontrol perilaku sehingga proses kebudayaan dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara
harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi. historis, suatu sistem mengenai konsepsi- kon-
sepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk
29 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p29-37.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

simbolik yang dengan cara tersebut manusia dangkan kebudayaan non material terdiri dari
berkomunikasi, melestarikan dan mengembang- benda-benda abstrak yang tidak berwujud,
kan pengetahuan dan sikap mereka terhadap misalnya adat istiadat, tradisi, kebiasaan, peri-
kehidupan. laku, sikap, kepercayaan, bahasa, seni, hukum,
Kebudayaan adalah pola-pola perilaku yang agama, dan lain sebagainya (Saifuddin,2005
dikemas dalam sistem simbol lalu secara historis :134).
ditularkan kepada orang lain. Di sini sistem ini Masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur,
merupakan warisan konsep bawaan yang sekali- Kecamatan Gunung Raya adalah salah satu
gus diekspresikan melalui simbol yang bermakna masyarakat yang masih mempertahankan kebu-
sehingga dapat dikomunikasikan (Koenjaraning- dayaan mereka baik secara material maupun non
rat, 1972:68). Kebudayaan dalam masyarakat material. Kecamatan Gunung Raya merupakan
menurut sosiolog Ogburn dan Nimkof memberi- daerah dengan topografinya merupakan dataran
kan cara terbaik untuk memandang kebudayaan dengan letak geografis 890 m diatas permukaan
dalam dua wujud, yaitu kebudayaan material dan laut. Kecamatan gunung raya memiliki luas
kebudayaan non material. Kebudayaan material 74.385 ha atau 19.53 % dari luas Kabupaten
merupakan bukti fisik tentang keberadaan, Kerinci yaitu 380.850 ha dengan ketinggian
identitas, karakteristik dari suatu kelompok atau antara 950 sampai 1200 meter dari permukaan
komunitas suatu masyarakat tertentu. Se- laut. Benyamin, 2005).
.

Gambar 1. Peta Kabupaten Kerinci

Salah satu kebudayaan yang masih terus mengukuhkan secara adat putra-putri Lekuk 50
dilaksanakan oleh masyarakat Lekuk 50 Tumbi Tumbi Lempur yang telah menyelesaikan
Lempur adalah Tradisi wisuda secara adat. studinya. Ketika Peneliti observasi awal pelaksa-
Tradisi wisuda secara adat atau sering disebut naan tradisi ini tahun 2015 telah dikukuhkan
juga sebagai hari pendidikan pada masyarakat secara adat sebagai cendikionegaro (gelar adat)
Lekuk 50 Tumbi yang memotivasi putra-putri sangat banyak yaitu 22 orang sarjana (S1), 6
daerah untuk selalu melanjutkan pendidikan orang bergelar magister (S2), 3 orang bergelar
sampai ke perguruan tinggi sehingga walaupun doktor (S3) dan tiga orang berjabatan akademik
berada pada daerah pinggiran, mereka selalu sebagai professor. Sebagai perbandingan,
update dalam perkembangan IPTEK. Tradisi ini bahwa sampai tahun 2016 ini terdapat lebih dari
merupakan kebudayaan nonmaterial yang masih 1000 orang putra-putri dari Lekuk 50 Tumbi
dilaksanakan masyarakat hingga saat ini. Lempur yang sudah mendapatkan gelar sarjana,
Tradisi ini dirayakan oleh masyarakat setiap dan sebagian besar dari mereka sudah
tahunnya pada tanggal 2 syawal. Tradisi ini telah dikukuhkan oleh adat setiap tahunnya.
berlangsung ±58 tahun sejak tahun 1960. Tradisi
ini dirayakan masyarakat secara meriah dan
besar-besaran dengan memberikan gelar dan
30 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020 YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Gambar 2. Prosesi Wisuda Adat

Berdasarkan latar belakang permasalahan sumber, yaitu data primer dan data sekunder.
dapat kita lihat bahwa masyarakat Lekuk 50 Data primer yang di dapatkan dari hasil observasi
Tumbi Lempur masih sangat kental dalam dan wawancara di lapangan bertujuan untuk
melaksanakan tradisi leluhur. Selain itu, daerah mendapatkan informasi tentang tradisi wisuda
ini berada pada daerah pinggiran Kabupaten secara adat atau hari pendidikan pada
Kerinci, yang mana pada umumnya daerah yang masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Sementara
berada pada pinggiran pusat kota tingkat dari data sekunder di dapatkan dari hasil kajian
pendidikannya akan lebih rendah dari pusat kota pustaka dan hasil penelitian terdahulu. Instru-
(Damsar, 2011:56). Hal ini tidak sama dengan men lainnya yang digunakan dalam penelitian
masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur, di mana ini adalah tape recoder, HP dan kamera, yang
mereka terletak di pinggiran kabupaten yang bertujuan untuk menghindari data yang hilang
berseblahan langsung dengan hutan TNKS dan untuk mendokumentasikan hasil penelitian
namun mereka memiliki tingkat pendidikan yang dan situasi masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur
melebihi masyarakat di pusat kabupaten. Ada yang sedang melakukan Tradisi Wisuda Secara
beberapa penelitian tentang kebudayaan yang Adat.
dilaksanakan pada masyarakat Lekuk 50 Tumbi Sebelum melaksanakan penelitian, penulis
Lempur, namun belum ada yang membahas sudah melaksanakan observasi tentang tradisi
lebih dalam tentang Tradisi wisuda secara adat wisuda secara adat pada tahun 2017 dan 2018.
yang terus dilaksanakan oleh masyarakat Lekuk Di samping itu, penulis juga telah mengem-
50 Tumbi Lempur sampai saat ini. Hal ini menjadi bangkan hubungan baik, sehinga hal ini dapat
sangat menarik sehingga penulis tertarik untuk menurunkan jarak dan kecurigaan yang bisa
meneliti lebih lanjut, apa yang menyebabkan mengganggu proses wawancara (Bungin: 2007).
masyarakat masih melaksanakan tradisi wisuda Adapun proses pengumpulan data yang dila-
secara adat? bagaimana pengaruh tradisi ini kukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
terhadap meningkatnya motivasi masyarakat memperoleh data yang relevan dan akurat,
dalam melanjutkan pendidikan?. Tujuan dari sehingga dapat memperoleh hasil penelitian
penelitian ini adalah melihat sejauh mana yang lebih baik.
pengaruh eksistensi pelaksanaan wisuda secara Proses analisis data berlangsung terus
adat di masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur menerus selama penelitian dilakukan dengan
terhadap motivasi masyarakat dalam melanjut- menggunakan model analisis interaktif dari Miles
kan pendidikan. dan Huberman terdapat dalam Bungin (2005:69),
yang merupakan proses siklus yang bergerak di
B. METODE PENELITIAN antara tiga komponen pokok, diantaranya reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

P
enelitian ini menggunakan metode Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai
kualitatif deskriptif di mana data dikum- September 2019. Tempat penelitian di Kabu-
pulkan dengan observasi (pengamatan paten Kerinci tepatnya di Lekuk 50 Tumbi
terlibat), wawancara dan studi dokumentasi. Lempur, Kecamatan Gunung Raya.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan
pada saat pengumpulan data berlangsung, dan
setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu. Data dikumpulkan berasal dari dua
31 | P a g e
YOLLA RAMADANI YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020
YOLLA RAMADANI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN dilaksanakan pada Gedung Serba Guna Desa


1. Sejarah Tradisi Wisuda Secara Adat Lempur Mudik.

T
radisi wisuda secara adat akrab disebut b. Pelaksanaan Tradisi Wisuda Secara Adat
oleh masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur Pelaksanaan tradisi wisuda secara adat
sebagai hari pendidikan. Mayoritas masya- dilaksanakan setiap tahunnya oleh panitia yang
rakat Lekuk 50 Tumbi Lempur hidup bertani di telah ditunjuk oleh Dewan Kurator. Dewan
ladang. Sebagian besar masyarakat menanam Kurator adalah Kepala Desa yang berada di
Casiavera (Kayu Manis), yang mana sekitar Lekuk 50 Tumbi Lempur. Dewan Kurator inilah
tahun 1950-an harga kulit manis masih sangat yang nantinya akan menjadi kordinator kegiatan
tinggi sehingga dengan berladang saja wisuda secara adat.
masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan Pelaksanaan wisuda secara adat diawali
sehari-hari dengan cukup mewah. Hal ini dengan pembentukan panitia oleh Dewan
membuat masyarakat enggan untuk sekolah Kurator dan diketahui oleh Depati Agung. Setelah
apalagi melanjutkan ke Perguruan Tinggi karena dibentuk panitia terpilih, panitia akan menga-
pemikiran mereka buat apa sekolah tinggi-tinggi, dakan rapat kerja yang nantinya akan membahas
cukup dengan berladang saja sudah bisa tentang seluruh persiapan dan perlengkapan
memperoleh uang yang banyak. Pada tahun yang akan dibutuhkan dalam pelaksanaan
1961 muncullah sarjana pertama Lekuk 50 Tumbi kegiatan. Tradisi wisuda secara adat memiliki
Lempur Ir. Rifa’I. Beliau menyembelih seekor beberapa rangkaian aktivitas kegiatan dianta-
kerbau untuk mensyukuri gelar yang sudah ranya adalah sebagai berikut:
beliau peroleh dan mengadakan kenduri
mengundang pemuka adat dan masyarakat i. Persiapan, Pengumuman dan Pendafta-
desa. Kemunculan seorang sarjana ini ran Wisudawan
memunculkan pemikiran bagi tokoh adat supaya Para putra-putra masyarakat Lekuk 50 Tumbi
masyarakat lain hendaknya juga memiliki Lempur yang telah menyelesaikan studinya atau
keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Lem- sedang menunggu prosesi wisuda di perguruan
baga Adat sepakat untuk mengadakan Hari tinggi masing-masing juga diperkenankan untuk
Pelajar sebagai bentuk HUT Pemuda, Pelajar mendaftar dan mengikuti tradisi ini. Para calon
dan Sarjana Lekuk 50 Tumbi Lempur setiap wisudawan peserta tradisi wisuda secara adat
tahunnya. Tahun 2019 ini adalah pelaksanaan ke akan mengisi formulir pendaftaran dan me-
58 yang mana sudah tercatat seribu lebih sarjana lengkapi persyaratan yang telah ditentukan oleh
dalam masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur. panitia.

2. Hakekat Tradisi Wisuda Secara Adat ii. Pembukaan Oleh Depati Nan X
Wisuda secara adat (Hari Pendidikan Acara pembukaan wisuda secara adat
Pemuda, Pelajar dan Sarjana) sudah menjadi dilaksanakan di tengah perkampungan masyara-
kebiasaan bagi masyarakat Lekuk 50 Tumbi kat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Seluruh wisudawan,
Lempur setiap tahunnya. Pelaksanaan tradisi ini keluarga wisudawan dan masyarakat ikut
dilaksanakan secara meriah. berkumpul menyaksikan acara pembukaan
wisuda secara adat. Seluruh wisudawan
a. Tempat dan Waktu Pelaksanaan mengenakan pakaian Toga dari perguruan tinggi
Pelaksanaan wisuda secara adat dilaksa- masing-masing. Ada beberapa kegiatan di dalam
nakan pada tanggal 2 (dua) syawal setiap tahun- acara pembukaan di antaranya kata sambutan
nya yang bertempat di Gedung Serba Guna dari Panitia, serah terima wisudawan dari panitia
Desa terpilih. Saat ini ada 5 (lima) gedung serba kepada Depati Nan X, Tarian Asyeik dan
guna yang berada di setiap desa Lekuk 50 Tumbi dilanjutkan dengan mengarak seluruh wisudawan
Lempur. Pelaksanaan tradisi wisuda secara adat keliling desa di wilayah Lekuk 50 Tumbi Lempur.
ini dilaksankan bergiliran di 5 (lima) desa setiap Arak-arakan wisudawan akan berakhir pada
tahunnya. Tahun ini tradisi wisuda secara adat Gedung serba guna tempat acara berlangsung.

32 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020 YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Gambar 3. Pembukaan oleh Depati Nan Sepuluh

Gambar 4. Tarian Asyeik

iii. Upacara Wisuda Secara Adat adat kepada wisudawan. Ada beberapa gelar
Seluruh wisudawan dan keluarga berkumpul berbeda yang diberikan kepada wisudawan di
di gedung serba guna untuk melaksanakan antaranya, untuk Sarjana Strata Satu diberikan
serangkaian kegiatan upacara wisuda secara gelar Cendikionegaro, Magister Strata Dua
adat. Prosesi wisuda secara adat sama halnya diberikan gelar Cendikionegaro Pertamo, Strata
dengan wisuda yang dilaksanakan di Perguruan Tiga program Doktoral dan Guru Besar diberikan
Tinggi, hanya saja pemberian gelar diberikan gelar Cendikionegaro Utama. Dalam kegiatan
secara adat. Rangkaian acara diawali oleh pemberian gelar ini, wisudawan akan diberikan
laporan dari ketua panitia dilanjutkan dengan gelar sesuai dengan studi yang telah disele-
pembacaan nama-nama wisudawan oleh Depati saikannya di perguruan tinggi.
Nan Sepuluh sekaligus memberikan gelar secara

Gambar 5. Orasi ilmiah oleh salah satu wisudawan terbaik

Setelah prosesi pemberian gelar dilanjutkan adat diakhiri dengan orasi ilmiah yang
dengan ucapan terima kasih oleh wisudawan dilaksanakan oleh salah satu wisudawan terbaik
kepada orangtua. Prosesi upacara wisuda secara dari putra-putri Lekuk 50 Tumbi Lempur.

33 | P a g e
YOLLA RAMADANI YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020
YOLLA RAMADANI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Gambar 6. Bentuk Piagam Penghargaan Cendikionegaro

Layaknya ijazah yang diperoleh di perguruan mengunjungi wisudawan. Biasanya panitia akan
tinggi yang ditandatagani oleh Rektor, Piagam membagi waktu untuk wisudawan melaksanakan
penghargaan yang diberikan juga ditandatangani hajatan agar masyarakat bisa berkunjung dalam
oleh Depati Agung Nan Sepuluh sebagai bentuk waktu yang berbeda, ada yang di siang hari,
penghargaan yang ditujukan untuk putra-putri malam hari, bahkan jika banyak yang diwisuda
masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur. hajatan dilanjutkan keesokan harinya. Depati
Nan Sepuluh akan berbagi untuk bisa mewakili
iv. Hajatan hadir dari rumah ke rumah para wisudawan.
Setelah berakhirnya rangkaian acara di Hajatan dilaksanakan dengan sangat meriah di
gedung serba guna, para wisudawan dan setiap umahnya, bahkan ada wisudawan yang
keluarga pulang ke rumah masing-masing sampai memotong seekor kerbau bagi
mempersiapkan hajatan untuk para Depati Nan masyarakat yang mampu.
Sepuluh beserta seluruh masyarakat yang akan

Gambar 7. Hajatan dirumah Wisudawan

Beberapa rangkaian kegiatan tersebut di atas pelaksanaan tradisi wisuda secara adat pada
telah menjadi rutinitas setiap tahunnya oleh generasi sekarang (pada hari raya Idul Fitri 2018
masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur. Hari Raya kemaren) dengan tradisi wisuda secara adat
Dua Syawal menjadi hari yang ditunggu-tunggu yang pernah mereka alami dan mereka
bagi calon wisudawan. laksanakan. Tradisi wisuda secara adat yang
dilakukan oleh masyarakat Lekuk 50 Tumbi
3. Eksistensi Tradisi Wisuda Secara Adat Lempur merupakan representasi pola dari (model
Tradisi wisuda secara adat merupakan tradisi of) sebagai wujud dari tindakan yang dilakukan
yang masih bertahan dan rutin dilaksanakan oleh ketika mereka telah menyelesaikan pendidi-
masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur hingga saat kannya, sedangkan makna dan nilai-nilai yang
ini. Dalam perkembangannya tidak ada peru- terkandung di dalam tradisi wisuda secara adat
bahan yang mendasar dari setiap kegiatan yang dan diyakini oleh masyarakat setempat
dilaksanakan. Berdasarkan informasi dari bebe- merupakan representasi pola bagi (model for)
rapa informan yang berbeda generasi mereka yang digunakan untuk menginterpretasikan,
mengatakan tidak ada yang berbeda dalam mendorong, dan menciptakan tindakan atau
34 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020 YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

dalam pengertian lain sebagai pedoman yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam
tindakan. kebudayaan, makna tidak bersifat individual
Tradisi wisuda secara adat sebagai sistem tetapi publik, ketika sistem makna kemudian
makna dan sistem nilai, dihubungkan dengan menjadi milik kolektif dari suatu kelompok.
simbol yang terdapat pada tradisi ini, yaitu simbol Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang
dari gelar yang telah diberikan. Gelar yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-
dikukuhkan oleh Depati Nan Sepuluh inilah yang simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem
dibanggakan oleh putra dan putri masyarakat konsep yang diwariskan yang terungkap dalam
Lekuk 50 Tumbi Lempur dalam kehidupannya bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia
sehari-hari. Teori interpretatif menekankan arti berkomunikasi, melestarikan, dan memperkem-
penting partikularitas suatu kebudayaan, dan bangkan pengetahuan mereka tentang kehidu-
berpendirian bahwa sasaran sentral dari kajian pan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.
sosial adalah interpretasi dari praktek-praktek Kebertahanan tradisi wisuda secara adat atau
manusia yang bermakna. Kebudayaan yang hari pendidikan yang terus dilaksanakan oleh
dihasilkan manusia memiliki makna yang berawal masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur merupakan
dari penafsiran masyarakat terhadap kebuda- bagian dari tradisi dan kebudayaan yang mereka
yaan yang diyakininya dan tercermin dalam miliki dan mereka pertahankan. Dengan
berbagai bentuk aktivitas atau kegiatan yang demikian, tradisi ini pastilah memiliki makna
mereka lakukan. tersendiri bagi masyarakat di sini, sebagaimana
Tradisi wisuda secara adat yang dilakukan di tergambar dalam simbol yang terdapat pada
masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur merupakan tradisi wisuda secara adat, yang dengan simbol
suatu tradisi yang memiliki makna tersendiri. ini maka akan diketahui makna antara tradisi
Dalam pelaksanaannya, tentu berawal dari wisuda secara adat sebagai aktivitas yang
penafsiran masyarakat pendukungnya, serta dilakukan dan tradisi ini sebagai pedoman
dicerminkan melalui praktek-praktek atau kegia- tindakan yang dilakukan pada masyarakat Lekuk
tan yang berhubungan dengan tradisi tersebut, 50 Tumbi Lempur.
seperti semangatnya putra-putri masyarakat
untuk dapat melanjutkan pendidikan yang lebih 4. Pengaruh Tradisi Wisuda Secara Adat
tinggi. Geertz secara jelas mendefinisikannya. Terhadap Tingkat Pendidikan Masyarakat
Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan Tradisi wisuda secara adat merupakan tradisi
simbol yang disusun, dalam pengertian di mana yang sengaja dibuat oleh para tokoh masyarakat
individu-individu mendefinisikan dunianya, me- Lekuk 50 Tumbi Lempur. Berdasarkan hasil
nyatakan perasaannya dan memberikan pe- wawancara dengan beberapa informan, tradisi ini
nilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang sengaja dibuat untuk mengubah pola pikir
ditransmisikan secara historik diwujudkan di masyarakat yang dulunya sangat berantusias
dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di menjadi seorang petani dikarenakan geografis
mana orang-orang mengkomunikasikan, me- alam Lekuk 50 Tumbi yang subur. Dahulunya
ngabadikannya, dan mengembangkan pengeta- masyarakat sebagian besar menanam kulit
huan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; manis (Casiavera) dikarenakan harga kulit manis
suatu kumpulan peralatan simbolik untuk yang lumayan mahal, sehingga masyarakat
mengatur perilaku, sumber informasi yang enggan melanjutkan pendidikan mereka. Masya-
ekstrasomatik” Karena kebudayaan merupakan rakat beranggapan untuk apa sekolah tinggi,
suatu sistem simbolik, maka proses budaya sedangkan dengan menanam kulit manis mereka
haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinter- sudah mendapatkan uang yang banyak untuk
pretasikan. memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pola pikir yang
Geertz memfokuskan konsep kebudayaan demikian membuat para Depati Nan Sepuluh
kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman beserta para Pemuka Adat lainnya berpikir keras
masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi agar masyarakat tetap melanjutkan pendidikan
berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga mereka agar masyarakat Lekuk 50 Tumbi tidak
pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat.
sebagai pedoman penilaian terhadap gejala- Sejak dilaksanakannya tradisi wisuda secara
gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan adat atau lebih dikenal dengan Hari Pendidikan
tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku inilah, masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur mulai
35 | P a g e
YOLLA RAMADANI YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020
YOLLA RAMADANI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

berantusias berlomba-lomba untuk melanjutkan variasi lingkungan budaya; 4) Motivasi ekonomi


pendidikan mereka dari SD, SMP, SMA, Sarjana yang percaya bahwa nilai budaya lokal akan
Strata Satu, Magister Strata Dua dan Melan- meningkat bila terpelihara dengan baik sehingga
jutkan prigram Doktoral Strata Tiga. Dengan memiliki nilai komersial untuk meningkatkan
diadakannya tradisi wisuda secara adat ini kesejahteraan pengampunya; dan 5) Motivasi
menimbulkan perubahan energi dari dalam diri simbolis yang meyakini bahwa budaya lokal
masyarakat sehingga mereka menjadi lebih adalah manifestasi dari jatidiri suatu kelompok
bersemangat. Para putra dan putri Masyarakat atau masyarakat sehingga dapat menumbuh-
Lekuk 50 Tumbi Lempur berusaha dengan giat kembangkan rasa kebanggaan, harga diri dan
agar bisa menyelesaikan pendidikan mereka percaya diri yang kuat.
tepat waktu, selain itu mereka juga ingin Motivasi ekstrinsik ataupun instrinsik dari
melanjutkan pendidikan mereka kejenjang yang tradisi wisuda secara adat secara tidak langsung
lebih tinggi. melahirrkan prestise bagi masyarakat yang putra-
Tradisi ini telah menimbulkan motivasi bagi putrinya telah di wisuda berkali kali secara adat.
masyarakat baik instrinsik maupun secara Rasa bangga yang dimiliki oleh setiap keluarga
ekstrinsik. Secara Instrinsik memunculkan sehingga membuat mereka bersemangat untuk
motivasi dimana putra dan putri masyarakat melanjutkan pendidikannya.
Lekuk 50 Tumbi Lempur berlomba-lomba untuk
menjadi yang terbaik dengan berbagai prestasi D. KESIMPULAN
yang dapat membanggakan orang tua dan

B
keluarga. Putra-putri masyarakat Lekuk 50 Tumbi erdasarkan paparan hasil penelitian dan
Lempur tidak pernah puas dengan tongkat pembahasan yang dijelaskan sebelum-
pendidikan yang mereka capai saat ini dan selalu nya, maka dapat disimpulkan bahwa
ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. tradisi wisuda secara adat masih eksis
Selain itu juga muncul motivasi ekstrinsik dimana dilaksanakan pada masyarakat Lekuk 50 Tumbi
dengan melihat teman-teman dan keluarga Lempur setiap tanggal dua Syawal di Gedung
mereka yang telah berhasil membuat mereka Serba Guna Desa yang terpilih. Tradisi Wisuda
menjadi ingin meniru mereka yang telah berhasil. secara adat masih dilaksanakan hingga saat ini
Gelar yang telah mereka peroleh telah menjadi dikarenakan memiliki makna tersendiri oleh
kebanggaan tersendiri bagi mereka dan pastinya masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur, dianta-
kebanggan juga bagi keluarga. Prestise bagi ranya adalah sebagai wujud penghargaan yang
keluarga yang diperoleh ketika mendapatkan diberikan oleh Depati nan Sepuluh agar putra
gelar dan pengakuan dari seluruh Tokoh Adat dan putri Lekuk 50 Tumbi Lempur bisa
dan Masyarakat Lekuk 50 Tumbi Lempur. berbangga atas prestasi yang mereka peroleh.
Tradisi Wisuda secara adat masih dilestarikan Selain prestasi dan gelar sarjana yang mereka
dan dilaksanakan hingga saat ini dapat peroleh melalui wisuda secara adat juga salah
sustainable jika berbasis pada kekuatan dalam, satu bentuk pengakuan gelar mereka di
kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Karenanya masyarakat. Gelar ini nantinya diharapkan bisa
sangat diperlukan penggerak, pemerhati, pecinta menjadi motivasi bagi putra dan putri Lekuk 50
dan pendukung dari berbagai lapisan masya- Tumbi Lempur untuk dapat menggapai cita-cita
rakat. Untuk itu perlu ditumbuhkembangkan mereka dan meraih kesuksesan di masa yang
motivasi yang kuat untuk ikut tergerak akan datang. Selain itu, jikalau salah satu
berpartisipasi melaksanakan pelestarian, antara anggota keluarga masyarakat Lekuk 50 Tumbi
lain: 1). Motivasi untuk menjaga, memperta- Lempur diwisuda, maka akan menjadi prestise
hankan dan mewariskan warisan budaya yang dan kebanggan tersendiri bagi keluarga tersebut.
diwarisinya dari generasi sebelumnya; Prestise yang diharapkan dari tradisi wisuda
2). Motivasi untuk meningkatkan pengetahuan secara adat telah memunculkan motivasi
dan kecintaan generasi penerus bangsa terha- ekstrinsik dan motivasi intrinsik bagi masyarakat
dap nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa dari untuk terus melanjutkan jenjang pendidikan yang
masa ke masa melalui pewarisan khasanah telah mereka peroleh.
budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang
dapat dilihat, dikenang dan dihayati; 3) Motivasi
untuk menjamin terwujudnya keragaman atau
36 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020 YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI
YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

E. UCAPAN TERIMAKASIH ngumpulan data di lapangan. Penulis juga


mengucapkan ribuan terima kasih kepada Dirjen

P
enulis mengucapkan terima kasih kepada Kemenrisristek Dikti yang telah memberikan
selurah Masyarakat Lekuk 50 Tumbi dukungan financial terhadap penelitian ini melalui
Lempur yang telah banyak membantu Hibah Penelitian Dosen Pemula pendanaan
kelancaran penelitian selama proses pe- tahun 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, dkk. (2006). Adat dan Budaya Daerah Kerinci. Dinas Kebudayaan Kabupaten Kerinci.
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial
Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Geertz. C. (1992). Tafsir Kebudayaan . Yogyakarta: Kanisius.
Haviland, A William. (1999). Antropologi . Jilid 2 Jakarta: Erlangga.
Hindar Hindaryatiningsih, Nanik. (2016). ‘Model Proses Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Lokal Dalam
Tradisi Masyarakat Buton’. Sosiohumaniora: Journal of sciences and Humanities. Vol 18. No. 2
Tahun 2016.
Kaplan, David, Albert A. Manners. (1999). Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. (1972). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Liliweri, Alo. (2014). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung ; Nusamedia.
Marnelly, T.M. (2017). ‘Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Melayu Pesisir (Studi Pengelolaan Madu
Sialang di Desa Rawa Mekar Jaya)’. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 19, No. 2,
Hal. 149-154.
Mardotillah. M dan Mochammad D.Z. (2016). ‘Silat: Identitas Budaya, Pendidikan, Seni Bela Diri, dan
Pemeliharaan Kesehatan’. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 18, No. 2, Hal. 121-
133.
Martina Dewi, Vera. ‘Upacara Adat Wisuda Waranggono di Kayangan Api Desa Sendangharjo
Kecamatan Ngasem Kabupaten Bojonegoro (Nilai Budaya dan Potensinya Sebagai Sumber
Pembelajaran Sejarah)’. Jurnal Studi Sosial. Vol. 3 No. 2 Desember 2018.
Miles, M B dan Huberman, A M. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode
Baru. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press).
Moleong, J. Lexy. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi Cetakan ke-33). Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. ALFABETA.
Ramadani, Yolla. Astrid Qommaneeci. (2018). ‘Pengaruh Pelaksanaan Kenduri Sko (Pesta Panen)
Terhadap Perekonomian dan Kepercayaan Masyarakat Kerinci, Provinsi Jambi’. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 20, No. 1 Juni 2018. https://doi.org/10.25077/
jantro.v20.n1.p71-83.2018
Zakaria, Iskandar. (1984). Tambo Sakti Alam kerinci. Jambi.

37 | P a g e
YOLLA RAMADANI YOLLA RAMADANI, ASTRID QOMMANEECI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p29-37.2020
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


|ISSN (Online) 2355-5963 |

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MEMBANGUN KERUKUNAN UMAT


BERAGAMA DI KOTA KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

1* 2
Moh. Mul Akbar Eta Parera ( ), Marzuki ( )
1 2
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 26th August, 2019


Indonesia is a multicultural and diverse nation. one form of diversity in
Review : 04th September, 2019.
Indonesia is the issue of religion. Diversity in terms of religion can
Accepted : 03rd May, 2020 trigger conflict, which can damage Indonesia's culture which is so
Published : 1st June, 2020 tolerant among fellow religious communities. Indonesia has the values
Available Online : June, 2020 of local wisdom that form the basis for the creation of religious harmony
must be maintained and preserved. This study used a qualitative
KEYWORDS approach to the type of case study research. This research aims to
determine the harmony of religious community trough local wisdom.
The results showed that religious harmony in the perspective of local
Local wisdom; Religious Harmony; Kupang
wisdom in the city of Kupang through: Nusi (cooperation). Butukila
(bond and hold a sense of brotherhood. Suki Toka Apa (supporting and
CORRESPONDENCE helping each other. Muki Nena (a sense of belonging and belonging))
This philosophy is a guideliness for the people in Kupang, namely "Lil
Au Zero Dael Banan" that in building and maintaining the City Kupang
for the better is the duty of all citizens regardless of religion, ethnicity or
* E-mail: etaparera024@gmail.com race.

A. PENDAHULUAN

I
ndonesia dapat dikatakan sebagai sebuah 29-37) bahwa keberagaman sosial dalam budaya
kapal tua dengan penumpang berbagai rupa, dapat mempengaruhi keharmonisan antar
ada Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulewesi, masyarakat dalam kehidupan sosial. Maka perlu
Nusa Tenggara, Bali, Maluku, Ambon, dan juga adanya pendekatan dengan cara melalui budaya.
Papua tetapi bersatu dalam nusantara. Akulturasi budaya memiliki dampak yang besar
Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dengan semakin kuatnya apresiasi, hubungan
dapat dilihat dari dua cirinya yang unik. Pertama, kekerabatan, meningkatnya sikap toleransi dan
secara horizontal, masyarakat ditandai oleh adanya rasa tolong menolong baik antar sesama
kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial maupun antar suku.
berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, Masyarakat Indonesia merupakan masya-
adat, serta perbedaan kedaerahan; dan Kedua, rakat multikultural yang memiliki banyak konse-
secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan- kuensi, di mana ada banyak tantangan dan juga
perbedaan vertikal antara lapisan atas dan peluang bagi bangsa dalam pembangunan.
lapisan bawah yang cukup tajam. Banyak hal juga terjadi dalam masyarakat
Indonesia merupakan salah suatu negara multikulutral berupa konflik sosial dalam
majemuk di Dunia, karena Indonesia memiliki keberagaman, sehingga menjadi suatu hambatan
keanekaragaman yang terdiri dari berbagai dan juga tantangan bagi bangsa ini. Pada rezim
macam ras, budaya, agama, dan suku, sehingga Orde Baru konflik sosial terjadi secara berturut-
Indonesia disebut sebagai bangsa yang turut di Indonesia pada 1990-an bukanlah
multikultural. Menurut Anakotta dan Alman (2019: masalah sara. Sebaliknya, itu adalah kecem-
38 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p38-47.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

buruan sosial dan ekonomi, menurut rezim Orde kehidupan masyarakat. Merujuk pada hasil
Baru, yang telah menjadi basis bagi konflik- penelitian Verkuyten dan Slooter (2007:467)
konflik ini. Hal ini tidak bisa lepas dari fakta-fakta bahwa sikap toleransi dalam kehidupan remaja
meningkatnya konflik agama (Jakarta, Situbondo, lebih memperhatikan beberapa aspek seperti
Medan, Sambas, Kupang, dan Ambon). Orang keadaan sosial dari perilaku, jenis kepercayaan,
Kristen dan Muslim bertengkar dan saling perbedaan jender dan juga usia. Pada dasarnya
membunuh (Tule, 2000:91-92). setiap warga dalam segala tindakannya me-
Selain itu, akibat konstelasi politik kerukunan ngemban tugas khusus dalam mempertahankan
antar umat beragama dapat terkikis dengan dan mempromosikan prinsip non-diskriminasi
memanasnya arus perpolitikan yang berlang- atau prinsip yang didasarkan pada nilai keadilan.
sung. Misalnya pada pemilu DKI Jakarta, dalam Oleh karena itu, pada tingkat mikro setiap warga
praktik politik yang berlangsung tidak hanya harus memperhatikan hak dan kewajiban orang
menjadi pertarungan antar partai politik maupun lain demi menjaga sebuah keseimbangan.
tokoh politik. Melainkan juga melibatkan pihak Keseimbangan yang dimaksud yaitu perkem-
lain yang memiliki unsur sentimen suku dan bangan diri terutama dalam pengembangan
agama. Dalam situasi seperti ini tentunya dapat sikap dan perilaku yang berorientasi pada
menyebabkan konflik antar umat beragama kehidupan yang saling menghormati (Rahman-
(Iqbal, 2015: 8). dani dan Samsuri, 2019: 117-118).
Di Indonesia konflik antar umat nyatanya Konflik-konflik agama yang secara terus
masih sering terjadi, dengan masih adanya menerus dibiarkan dapat merusak budaya
pengrusakan rumah ibadah. Tule (2000:91-103) toleransi yang menjadi ciri khas Indonesia. Maka
mengemukan bahwa konflik antar uma beragama dari itu, perlu adanya pendekatan budaya dalam
terjadi karena adanya simbol-simbol keagamaan menyelesaikan konflik. Budaya positif seperti ini,
sering dimanipulasi oleh kelompok-kelompok harus diwariskan dan disosialisasikan kepada
tertentu. Seperti halnya yang terjadi di Kupang generasi ke generasi baik penduduk asli maupun
(30 November 1998) dan konflik agama lain di pendatang di tengah arus modernisasi yang
NTT menandai puncak konflik agama di Timor, semakin meningkat. Kebudayaan yang merupa-
ketika beberapa masjid, rumah-rumah Bugis dan kan kearifan lokal masyarakat setempat
toko-toko dibakar. Orang-orang Bugis Muslim merupakan blue print of behavior, memberikan
harus melarikan diri dan hidup dalam kece- pedoman kepada masyarakat dalam berperilaku
masan. Semua insiden, baik di Flores maupun dan bertindak. Berdasarkan pedoman yang ma-
Timor, tampaknya menjadi suatu tantangan bagi syarakat patuhi, maka masyarakat membentuk
bangsa Indonesia yang memiliki budaya yang prosedur-prosedur dalam mencapai tujuan yang
toleransi secara tradisional yang telah hidup dari diinginkan (Rahmandani dan Samsuri, 2019: 54).
generasi ke generasi. Dalam hal ini, Pemerintah, pejabat, akademisi,
Permasalahan diatas menunjukkan bahwa dan lembaga keagamaan memiliki peran yang
agama merupakan isu yang dapat menjadi alat sangat vital dalam mencapai tujuan secara
provokasi untuk menimbulkan kekerasan dan bersama yang dapat dilakukan memalui
ketegangan antar umat beragama. Indonesia pendidikan baik formal maupun pendidikan
merupakan negara plural yang di dalam informal.
masyarakat yang terdiri dari kepercayaan politik, Studi yang dilakukan Centre of Strategic and
ras, dan agama. Dalam hubungan antar umat International Studies (CSIS) pada tahun 2012,
beragama, beberapa tahun terakhir ini agama menyatakan bahwa toleransi beragama orang
menjadi kendaraan bagi para elit dalam Indonesia tergolong rendah (Hermawati at el.,
menimbulkan tekanan antar umat beragama. 2016: 106). Atas permasalahan toleransi yang
Konflik seperti ini dapat memengaruhi opini tengah berlangsung, masing-masing daerah
publik terutama sikap toleransi. Konflik tingkat berunjuk gigi menunjukkan tingkat kerukunan
negara memengaruhi sikap individu pada yang dimiliki oleh masyarakatnya. Berdasarkan
toleransi. Individu di negara-negara yang baru- penelitian Ulum dan Budiyono (2016:37) menga-
baru ini mengalami konflik sipil cenderung tidak takan bahwa masyarakat yang memilki tingkat
mentolerir kelompok yang paling tidak disukai kerukunan tertinggi yakni Provinsi Nusa
daripada individu di negara lain. Tenggara Timur (NTT). Nilai tertinggi dalam hal
Maraknya konflik yang terjadi dapat kerukunan antar umat beragama ditempati oleh
menimbulkan perubahan sikap toleransi dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai
39 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p38-47.2020 MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

indeks sebesar 83,3%. Kota Kupang, Nusa wawancara, dan dokumentasi. Data yang di
Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah yang dapatkan kemudian diuji keabsahan dilakukan
menjadi cerminan kerukunan umat beragama dengan menggunakan teknik Triangulasi (Sugi-
karena masih terjaganya keharmonisan dalam yono, 2012:397). Analisis data hasil penelitian
kehidupan beragama. Hal ini ditandai adanya menggunakan teknik analisis Milles dan
perhatian terhadap kearifan lokal masyarakat Hubermas (1994:12) yang meliputi pengumpulan
setempat dalam menjaga kerukunan umat data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
beragama. kesimpulan.
Pluralitas agama di Nusa Tenggara Timur
terjaga dengan baik karena adanya implementasi C. HASIL DAN PEMBAHASAN
kearifan lokal (local wisdom) yang masih 1. Kearifan Lokal Masyarakat Kota Kupang
berlangsung sampai sekarang. Kearifan lokal Dalam Membangun Keruku-nan Umat
merupakan cara yang begitu penting dalam Beragama
pembangunan bangsa, maka dalam penelitian ini

H
kerukunan umat beragama sebagai suatu ke- asil data Badan Pusat Statistik Provinsi
arifan lokal (local wisdom). Kerukunan antar umat Nusa Tenggara TimurKota Kupang terdiri
beragama menjadi suatu daya tarik sendiri, dari 51 desa/kelurahan dengan 6 kecam-
sehingga kebanyakan terjadinya konflik yang tan. Kecamatan Alak terdiri dari 12 Kelurahan;
bernuansa agama namun masih ada terdapat Kecamatan Maulafa terdiri dari 9 Kelurahan;
daerah-daerah yang masih menjaga kearifan Kecamatan Oebobo terdiri dari 7 Kelurahan;
lokal (local wisdom) hidup berdampingan, rukun Kecamatan Kota Raja terdiri dari 8 Kelurahan;
dan damai walaupun dalam keadaan berbeda Kecamatan Kelapa Lima terdiri dari 5 Kelurahan
agama. dan Kecamatan Kota Lama terdiri dari 10
Berdasarkan latar belakang diatas, maka Kelurahan. Secara sosial budaya Kota Kupang
penelitian ini bertujuan untuk mengungkap merupakan kota heterogen yang dapat dilihat
pentingnya kearifan lokal masyarakat dalam dari beragam suku, ras, golongan dan agama
membangun kerukunan umat beragama di Kota yang menempati masing-masing wilayah.Dari
Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT). Oleh segi agama masyarakat Kota Kupang terdiri dari
karena itu, fokus dalam penulisan artikel ini penganut: agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu
adalah untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal dan Budha. Beberapa agama tersebut merupa-
yang ada di Kota Kupang dalam membangun kan tersebar di kecamatan atau distrik di wilayah
kerukunan umat beragama yang begitu plural. Kota Kupang.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
B. METODE PENELITIAN Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Timur pada tahun 2016 wilayah Kota Kupang

J
enis penelitian ini yaitu studi kasus tentang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke dua
kearifan lokal masyarakat dalam memba- setalah TTS (Timor Tengah Selatan) dengan
ngun kerukunan umat beragama di Kota presentasi pada tahun 2016 sebanyak 7.63%,
Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan dan mengalami penigkatan satu tahun kemudian
pendekatan kualitatif. Jenis studi kasus yang sebanyak 7.73% dan pada tahun 2018
digunakan adalah kasus tunggal holistik dengan meningkat menjadi 7.81%. Jumlah tempat ibadah
desain satu kasus dan menempatkan sebuah di Kota Kupang tahun per-31 Desember 2015
kasus sebagai fokus penelitian (Yin, 2009: 46). tempat ibadah Islam di Alak 20, Maulafa 7,
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 11 Oebobo 13, Kota Radja 10, Kelapa Lima 8, Kota
April sampai 25 Juni 2019. Penelitian ini Lama 10 sehingga jumlah untuk tempat ibadah
dilakukan di dua Kelurahan, yaitu Kelurahan Islam sebanyak 67 tempat yang tersebar di Kota
Namosain dan Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang; Kristen di Alak 46, Maulafa 53, Oebobo
Kupang, Nusa Tenggara Timur. Informan dalam 71, Kota Radja 8, Kelapa Lima 36, dan Kota
penelitian ini sebanyak 13 orang, meliputi tokoh- Lama 32 sehingga sebanyak 288 tempat ibadah;
tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, pemerin- Katolik sebanyak 4 tempat, Maulafa 11 tempat,
tahan, dan lapisan masyarakat. Pengumpulan Oebobo 7 tempat, Kota Radja 2 tempat, Kelapa
data dengan menggunakan teknik observasi, Lima 5 tempat, Kota Lama 3 tempat sehingga

40 | P a g e
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p38-47.2020
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

jumlah rumah ibadah umat katolik 32 tempat kehormatan, dan perdamaian secara optimal
yang tersebar di Kota Kupang; Hindu di Alak 1 dalam kehidupan umat beragama (Syihab &
tempat, Maulafah 2 tempat, Oebobo 1 tempat, Muhammad, 2017: 13-34). Sedangkan menurut
Kota Radja 1, Kelapa Lima tidak ada, Kota Lama Khambali (2017:1-27) mengatakan bahwa keru-
1, jadi jumlah tempat ibadah umat beragama kunan umat beragama dengan membentuk
Hindu yang tersebar adalah 6 tempat dan Budha hubungan harus melakukan interaksi sesuai
di Alak tidak tempat ibadah, Maulafa tidak tempat dengan norma yang berlaku. Interaksi tersebut
ibadah, Oebobo tidak ada, Kota Radja tidak ada, mengedepankan rasa hormat, rendag hati,
Kelapa Lima tidak ada dan Kota Lama 1, jadi kerjasama terhadap sesama umat beragama
jumlah tempat ibadah untuk umat beragama maupun sesama umat beragama lain dengan
Budha sebanyak 1 tempat. tujuan membangun kesejahteraan dan perda-
Sumbulah dan Nurjanah (2013:194-210) maian dalam masyarakat. Kerukunan umat
mengatakan bahwa kerukunan umat beragama beragama terjalin ketika pemahaman induvidu-
terjalin ketika memenuhi beberapa cara, yaitu: induvidu dalam kehidupan sehari-hari.
pertama,adanya dialog dan kerjasama antar Hilangkan prinsip yang tidak baik untuk
umat beragama. Untuk menciptakan kerukunan mencapai kemuliaan. Mengedukasi kepada
antarumat beragama maka harus bekerjasama masyarakat tentang sikap yang beradap tanpa
untuk menciptakan dan menjalin hubungan yang kekerasan dalam bertindak. Perlu untuk
kuat sebagai warga negara Indonesia. Dengan membangun hubungan antar para pemuka
kerjasama dan dialog dalam pertemuan para pe- agama sehingga munculnya dialog antara
muka agama dapat memberikan dampak positif pemuka agama. Penerimaan pluralisme dan
bagi tiap-tiap agama. Bukan hanya dialog, akan pengem-bangan sikap toleransi positif terhadap
tetapi kerjasama dapat menyelesaikan permasa- agama lain tidak datang dengan sendirinya.
lahan kemanusiaan yang terjadi dalam kehidu- Orang harus mempelajarinya. Sekolah misalnya,
pan sosial. Sebagaimana menurut Catton alih-alih memperdalam perbedaan agama, harus
(2017:65-82) berpendapat bahwa kurangnya menawarkan kesempatan untuk menanamkan
kepedulian dan keterlibatan dapat menjadi suatu nilai-nilai keadilan dan toleransi pada anak-anak.
awal munculnya konflik dan terjadinya ketega- Kita harus melibatkan diri kita dalam proses
ngan dalam kehidupan masyarakat yang plural. pembelajaran yang berkelanjutan di mana kita
Maka dari itu perlu adanya dialog dan kerjasama belajar untuk menerima orang lain dalam
antara berbagai masyarakat dalam kehidupan. perbedaan mereka. Di Indonesia, masih ada
Kedua, membalas perbuatan buruk dengan tradisi lama toleransi, dan kemampuan untuk
kebaikan. Hal sekecil ini dapat dapat menim- hidup bersama dengan cara yang baik dan positif
bulkan rasa kerukunan umat beragama, karena dengan anggota masyarakat dengan keyakinan
ajaran dari tiap-tiap agama mengajarkan sesuatu dan praktik keagamaan yang berbeda. Apabila
yang baik dan tanpa adanya dendam terhadap orang memiliki pengetahuan yang akurat,
umat beragama lain. Ketiga, pendekatan wilayah informasi, dan fakta yang terlibat dalam
dapat menumbuhkan kerukunan umat beragama pemikiran kritis maka toleransi dapat terjalin
dengan adanya partisipasi dalam undangan dari dengan baik. Anak-anak menyadari perbedaan
setiap kegiatan yang dilakukan oleh agama lain. ras dan gender sangat dini, dan membentuk
Silahturahmi antara masyarakat umat beragama stereotip pada usia dua belas tahun. Oleh karena
dilakukan dalam kegiatan seperti Hari Raya itu toleransi diajarkan kepada anak-anak kecil
besar Idul Fitry, Natal dan Paskah. Keempat, dengan penguatan terus-menerus dari waktu ke
selalu menghargai agama umat lain. dalam waktu sehingga dapat memahami akhirnya
setiap agama mengajarkan untuk selalu meng- mengarah pada toleransi yang lebih besar
hargai agama umat lain. (Magnis-Suseno, 2006:37-39 & Beaman (2010:
Agama-agama didunia memiliki ajaran untuk 266-284).
mempertahankan kerukunan umat beragama. Untuk mempererat kerukunan umat beraga-
maka dari itu, setiap penganut agama harus ma antara lain yaitu, pertemuan secara intensif
menjunjung tinggi dan menerapkan ajaran untuk antara pemuka agama dengan pendekatan-
menjamin keadilan sosial dan kemakmuran pendekatan secara baik secara personal maupun
dalam masyarakat. Kerukunan dalam masyara- organisasional dan tidak terpancing sesuatu.
kat terjalin ketika penganut tiap-tiap agama selalu Ketika munculnya isu-isu yang dapat merusak
mengaplikasikan nilai keseimbangan, keadilan, keretakan kerukunan umat beragama dengan
41 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p38-47.2020 MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

mengprofokasi dapat disikapi dengan secara menjadi satu ikatan sosial, dengan berbagai
dingin dan tenang. Maka dari itu peran pemuka kesukuan dirangkum dalam satu bangsa dan
agama dalam memberikan pemahaman terhadap komunitas dunia. Jika aturan pluralitas agama
umat (Sumbulah & Nurjanah, 2013:227-234). seperti yang disebutkan di atas, salah satunya
Senada juga di sampaikan oleh Mita (2016:1-5) dilanggar oleh salah satu pengikut agama, dan
bahwa adanya hubungan timbal balik yang baik pelanggaran itu mengganggu kehormatan agama
antara umat beragama yang berbeda maupun lain, tentu akan ada ketidakharmonisan dalam
antara sesama umat beragama.Kerukunan umat kehidupan sehari-hari, bahkan bentuk tersulit,
beragama dalam kehidupan berdasarkan pada seperti konflik dan perang.
kebajikan dan cinta demi terciptanya perdamaian Secara etnologis Kota Kupang merupakan
publik. Agama pada dasarnya mengatur hubu- kotamadya yang dipenuhi berbagai agama, suku
ngan antara masing-masing manusia dengan dan ras yang hidup saling berdampingan. Kota
Tuhan. Adanya sikap tulus dan jujur sangat Kupang memiliki sebuah falsafah yang menjadi
penting dalam keragaman beragama. toleransi pandangan masyarakat untuk hidup rukun
merupakan karakter utama dalam ajaran tiap-tiap meskipun memiliki identitas yang berbeda.
agama (Sharma, 2011: 113-126). Kerukunan Falsafah ini menjadi pegangan bagi masyarakat
umat beragama di bagi menjadi dua model di Kota Kupang. Falsafah tersebut adalah “Lil Au
utama toleransi, yaitu antara lain: pertama, Nol Dael Banan” yang memiliki arti bahwa dalam
toleransi pasif yang berarti menerima perbedaan membangun dan menjaga Kota Kupang untuk
sebagai fakta; kedua, merupakan toleransi aktif, lebih baik lagi merupakan tugas semua warga
yang berarti terlibat dengan orang lain di tengah yang mencari kehidupan didalamnya tanpa
perbedaan dan variasi (Khambali et. al, 2017:1- memandang agama, suku maupun ras. Panda-
16).Keterlibaam berarti menerima perbedaan ngan hidup ini sudah dibentuk dan dijaga
tanpa adanya paksaan dan prasangkat terhadap sehingga terciptanya kehidupan yang rukun.
agama lain. Prasangka dapat disebabkan oleh Selain falsafah diatas menjadi pegangan
manipulasi yang disengaja, indoktrinasi dan untuk hidup rukun dalam beragama, pentingnya
propaganda. Maka dari itu pendidikan memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang mendukung
peran penting dalam menciptakan kerukunan sehingga kerukunan tetap terjaga. Nilai-nilai
antar etnik dan agama. Toleransi dapat terwujud kearifan lokal seperti, Nusi (gotong royong),
ketika adanya hak atas kebebasan beragama Butukila (ikat dan pegang rasa persaudaraan)
yang harus dilindungi. Sebagaimana dalam dan Suki Toka Apa (saling mendukung dan
peraturanorganisasi PBB dan organisasi regional menolong) dan Muki Nena (rasa saling memiliki
seperti OSCE dan ECHR. Ketika Pengadilan dan mempunyai). Nilai-nilai kearifan lokal ini
terlalu banyak membelenggu negara atau harus diimplementasikan dalam kehidupan dalam
membatasi kebebasan secara berlebihan, ini berbagai kegitan, sebagai berikut:
merugikan ekspresi hak, perlindungan mino- Pertama, saling mendukung dan menolong
ritas(Adrian, 2016: 75-77). (Suki Toka Apa). Manusia merupakan makhluk
Hal senada juga disampaikan oleh Wirma sosial yang membutuhkan orang lain dalam
(2017:1-7) menjelaskan bahwa masyarakat plural kehidupan masyarakat. Manusia membutuhkan
terdiri dari berbagai agama, kelompok, budaya, hal privasi namun tidak mampuh hidup sendiri
bahasa dan etnis. Pluralisme merupakan tanpa bantuan atau pertolongan orang lain. Sikap
keberagama masyarakat namun hidup bersatu tolong menolong antara umat beragama dapat
dalam kehidupan sosial tanpa adanya intimidasi mewujudkan terciptanya kedamaian umat bera-
dari kelompok yang besar terhadap kelompok gama dalam masyarakat. Sikap saling mendu-
yang minoritas. Perbedaan induvidu bukan kung dan menolong merupakan kunci untuk
menjadi suatu permasalahan namun, menjadi menciptakan kehidupan yang rukun.
suatu ikatan sosial yang kuat. Manusia terdiri dari Sikap saling menolong dan mendukung
berbagai etnis dan budaya dan mengikat diri satu sangat penting bagi warga dalam kehidupan
sama lain. Semua menunjukkan perbedaan, ke- masyarakat yang plural. Nilai-nilai seperti ini
ragaman dan keunikan, tetapi tetap dalam kesa- dapat tercipta kerukunan antara umat beragama
tuan. Perbedaan individu bergabung menjadi dimasyarakat. Sikap saling mendukung dan
satu unit keluarga, keragaman keluarga menyatu menolong tercipta dalam kehidupan masyarakat

42 | P a g e
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p38-47.2020
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

melalui beberapa kegiatan yang sudah dilakukan tidak menimbulkan sekat-sekat dalam kehidupan
dari tahun ke tahun. Misalnya dalam kegiatan masyarakat. Sikap saling tolong menolong antara
pembersihan tempat ibadah tiap-tiap agama umat beragama terlihat ketika ibadah hari raya
seperti gereja dan masjid. Kegiatan ini semua islam maka pemuda gereja ikut terlibat menjaga
umat beragama bersama-sama terlibat sehingga dan mengatur penyebarangan sepeda motor dan
adanya rasa saling mendukung dan menolong sebaliknya ketika umat beragama kristen dan
antar sesama umat. Kegiatan sederhana seperti katolik. Keunikan yang ada di masyarakat Kota
ini namun dampaknya sangat besar dengan Kupang seperti ini dapat menciptakan keseim-
pembauran antara agama dan interaksi dalam bangan dan harmoni dalam keberagaman
antarsesama umat maupun para tokoh. (Permana, 2010:6).
Hal ini senada dengan teori yang disam- Tradisi yang sering dilakukan sebagai
paikan oleh Jati (2013: 397-398) bahwa Kearifan penanda sebuah komunitas, sebagai perekat
lokal memilik peran sehingga terjalin kerukunan antara umat beragama dan perekat antara warga
antar umat beragama antara lain; pertama, yang dilakukan dengan sukarela sehingga
kearifan lokal sebagai identitas dalam suatu menjadi suatu budaya yang berkembang dalam
masyarakat. Menunjukan bahwa dalam suatu masyarakat hingga saat ini. Budaya yang
masyarakat tersebut memiliki budaya perda- menjadi perekat antara umar beragama ketika
maian bahwa masyarakat merupakan masyara- ada warga yang beragama kristen meninggal
kat yang beradab.; kedua, adanya elemen maka umat beragama islam ikut terlibat. Ketika
perekat lintas warga, kepercayaan dan lintas selesai penguburan maka budayanya duduk
agama. Bahwa adanya ruang atau arena untuk bersama-sama untuk membahas keperluan yang
berdialog antar lintas dengan berbagai persoalan sudah di gunakan dan itu merupakan tanggung
yang melekat antar berbagai masyarakat; ketiga, jawab bersama dan diatasi secara bersama-
adanya rasa kebersamaan dalam suatu sama. contoh seperti ini memang sudah
masyarakat dan dapat mendorong meningkatnya diajarkan orang tua kepada anak-anaknya
kebersamaan dalam menepis berbagai kemung- sampai saat ini. Itulah kerja sama yang sangat
kinan yang dapat merusak solidaritas, yang luar biasa. Sikap positif ini terus dibangun dalam
tumbuh diatas kesadaran bersama dan keempat, kebersamaan dalam tatanan masyarakat untuk
kearifan lokal sebagai perekat hubungan antar menghilangkan berbagai hal yang merusak
sesama masyarakat dengan adanya sosio-kultur solidaritas yang tumuh atas kesadaran bersama
dan sosio-keagamaan. (Abdullah, 2008:8).
Hubungan antara umat beragama di Kota Kedua, Gotong royong (Nusi). Keberagaman
Kupang sangat baik hal ini dibuktikan dengan beragama di Kota Kupang merupakan suatu
berbagai kegiatan dalam masyarakat. Kebiasaan anugerah yang harus dijaga. Keberagaman
yang sering dilakukan oleh masyarakat Kota dalam agama bukan merupakan suatu ancaman
Kupang yang tiap tahun dilakukan dengan jika dijaga. Keharmonisan tercipta dalam
melibatkan semua agama dalam berpartisipasi keberagaman ketika antara umat beragama
adalah kegiatan yang rutin yang dilakukan oleh saling bergandeng tangan berjalan bersama
pemuda lintas agama kristen GMIT (Gereja dalam kehidupan masyarakat. Kebersamaan di
Masehi Injil Timor) dengan mengadakan pawai lihat ketika saling bergotong royong dalam
paskah. Kegiatan ini melibatkan semua lintas kegiatan pembersihan rumah ibadah seperti
agama dengan ciri atau simbol khas kegamaan gereja dan juga rumah ibadah masjid dan semua
yang ada di Kota Kupang.Hal ini senada dengan agama terlibat dalam hal tersebut. Hal ini senada
toeri yang disampaikan oleh Mutakin (2005:43) dengan teorinya Alwasih, et al (2009:51)
menjelaskan kearifan lokal merupakan kemam- menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan
puan bersikap dan bertindak, baik secara suatu kebiasaan yang dilakukan sudah bertahun-
induvidu maupun kelompok berdasarkan nilai-nila tahun lamanya oleh induvidu atau masyaraka
dan norma-norma dalam masyarakat. Nilai-nilai melalui pengelaman dan bertahan hingga saat
kearifan lokal ditanamkan dalam kegiatan yang ini.
dapat mencerminkan kerukunan antara umat Kearifan lokal menjadi kekuatan yang dapat
beragama dalam kehidupan masyarakat. Kegia- menciptakan masyarakat yang kondusif dalam
tan ini sudah terjalin sejak lama antara umat konteks kehidupan dan hubungan manusia
beragama. budaya seperti ini dilakukan agar dengan manusia serta manusia dengan komu-
antara umat beragama saling berbaur sehingga nitas. Maka dengan mengangkat dan memahami
43 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p38-47.2020 MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

kearifan lokal di tengah kehidupan masyarakat sosial. Perilaku yang mewujudkan rasa persau-
yang beragam dapat memberikan peran daraan adalah disaat hari raya besar umat islam
teratatanya kehidupan yang rukun, harmoni, yaitu idhul fitri, maka saudara umat kristen ikut
saling menghormati dan menghargai antara bersilahturahmi berjabat tangan kepada tetangga
sesama umat beragama (Sudarma, 2007:3). yang beragama muslim. Begitupun sebaliknya
Kehidupan yang rukun dan harmoni antara umat ketika hari raya natal umat islam datang ke
beragama dalam masyarakat Kota Kupang rumah pendeta. Budaya seperti ini menjadi
terjalin dengan sangat baik. Ketika adanya kekuatan besar yang harus di wariskan kepada
kegiatan yang dilakukan seperti ulang tahun anak muda dan kearifan-kearifan dalam beriman
AGAPE (tradisi kristen berupa cinta Tuhan dari setiap tokoh agama antar umat beragama
kepada Ciptaan-Nya) seluruh Indonesia. Keter- harus terjalin terus menerus. Kerukunan Umat
libatan umat Islam adalah menjadi panitia dalam Beragama adalah suatu keadaan dimana dalam
kegiatan tersebut dan tempat kegiataannya suatu masyarakat yang dalam keseharian saling
dilakukan di halaman masjid. Keterlibatan umat berinteraksi baik berinteraksi sesama umat
beragama menjadi dasar untuk mencipatakan beragama, baik sesama agama maupun
kerukunan umat beragama. Hal senada dengan berinteraksi dengan agama lain yang saling
teori yang di sampaikan oleh Ade dan Affand pengertian mengedepankan toleransi, saling
(2016:1-15) mengatakan bahwa nilai dalam ke- menghormati, menghargai kesetaraan dalam
arifan lokal terdiri dari, antara lain: budaya saling menyebarkan ajaran agamanya dan kerja sama
percaya yaitu tanggung jawab, konsensus, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
persatuan, solidaritas, nilai-nilai, sikap kemam- dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
puan untuk bekerja sama dan kepercayaan. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Kehidupan antara umat beragama harus Undang-Undang Dasar Negara Republik
mengedepankan rasa gotong royong antara Indonesia tahun 1945 (Mudzhar, 2010:36).
sesama. Gotong royong dengan bekerjasama Perbedaan dalam hal keyakinan tidak sampai
dalam melakukan suatu kegiatan dapat memicu perpecahan dan batasan dalam
mempererat rasa kerukunan umat beragama. pergaulan antara umat beragama. Dalam agama
sikap gotong royong merupakan suatu nilai yang mangajarkan untuk saling menghormati agama
baik menjadi pegangan bagi masyarakat dalam lain, mewujudkan kerukunan umat beragama dan
kehidupan secara keseluruhan tanpa meman- menambah persaudaraan antara penganut aga-
dang agama yang diyakini (Light, Keller & ma. Hal ini senada dengan teorinya Imron dan
Colhoun (Aslan, 2017:13)). Hidayat (2013: 118-119) mengatakan bahwa
Ketiga, ikat dan pegang rasa persaudaraan kearifan lokal dapat mewujudka kerukunan umat
(Butukila). Kota Kupang merupakan Kota yang beragama ketika dalam suatu masyarakat warga
terdiri dari berbagai macam agama, suku dan harus saling akrab, akur dalam kebersamaan di
ras. Maka perlu adanya rasa persaudaraan pada masyarakat sosial. Warga Kota Kupang selalu
diri warga sehingga dapat menciptakan menumbuhkan rasa persaudaraan dan mening-
kehidupan yang harmonis dan rukun. Perlu untuk galkan perbedaan untuk mencapai satu tujuan
membangun dan memupuk rasa persaudaraan yang sama yaitu kehidupan yang harmonis. Hal
antara sesama umat beragama dalam kehidupan ini sudah dilaksanakan dalam kehidupan nyata
bermasyarakat. Untuk meningkatkan rasa seperti kegiatan hari raya adanya partisipasi dari
persaudaraan antar sesama agama maka agama lain yang terlibat untuk membantu dalam
perlunya interaksi baik itu dalam kehidupan hal tersebut, sehingga mencerminkan rasa
maupun dalam kegiatan keagamaan. Hal ini kebersaman yang kuat antar mereka. Adanya
senada dengan yang disampaikan oleh Purbasari rasa senasib, kebersamaan, dan sepenang-
(2019:1-9) bahwa interaksi sosial dapat gungan tanpa memandang agama, etnis, dan
menumbuhkan dan membangun rasa persau- kelas sosial.
daraan antar sesama dan dapat meminimalisir Keempat, rasa saling memiliki dan mempu-
konflik dan kesenjangan sosial karena adanya nyai (Muki Nena). Membangun dan memupuk
sikap keterbukaan antar sesama. kebersamaan dalam keberagaman adalah
Masyarakat Kota Kupang selalu mengede- sesuatu yang harus di lakukan. Kota Kupang
pankan rasa persaudaraan dalam kehidupan terdiri dari berbagai agama, adat istiadat dan

44 | P a g e
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p38-47.2020
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

suku. Keberagaman suatu bentuk kekayaan yang mengajarkan tentang kerukunan. Ajaran-ajaran
harus kita rawat. Namun terkadang dalam agama yang dapat menjadi pedoman dasar dari
keberagama tersebut dapat memicu konflik tiap-tiap manusia dalam menjalankan kehidupan
maupun perpecahan antara masyarakat. Maka dalam lingkungan sosial. Agama selalu mem-
dari itu perlu sikap saling memiliki untuk menjalin berikan arahan petunjuk mengenai hidup
interaksi dalam perbedaan dimasyarakat. Hal bertetangga.
senada sesuai dengan teori Curtin, et al (2013: Hukum pada agama selalu mengatakan
108–137) menjelaskan bahwa rasa memiliki bahwa selalu menjunjung tinggi antar sesama
antara induvidu dengan induvidu dan induvidu umat walaupun berbeda agama (megasihi antara
dengan kelompok dimanapun ia berada, pada sesama dan mengasihi Tuhan Yang Maha
dasarnya perlu keterlibatan, partisipasi dalam Kuasa). Dalam ajaran paulus mengajarkan untuk
suatu masyarakat sesuai dengan peraturan yang selalu mendahulukan memeberikan hormat, tidak
berlaku. harus menunggu terlebih dihormati. Aturan
Contohnya sikap saling memiliki ini diterjalin gereja kita harus menghormati semua masya-
ketika hari raya idhul adha dan pemotongan rakat, semua orang harus dihormati karena
hewan qurban. Umat islam dalam membagikan mereka adalah ciptaan Allah Bapak. Hal sema-
daging qurban tanpa memandang apa agamanya cam ini dapat memberikan dampak yang sangat
baik itu umat kristen, nasrani dan katolik. Hal ini besar terhadap kehidupan kebergaan dalam
sangat luar biasa dapat memberikan kesan masyarakat.
bahwa adanya sikap saling memiliki terhadap
umat yang berbeda keyakinan. Budaya atau D. KESIMPULAN
kebiasaan ini dapat menjadi satu cara agar dapat

K
mempererat hubungan antara sesama walaupun erukunan umat beragama dalam perspektif
berbeda dalam beragama. kearifan lokal di Kota Kupang antara lain
sebagai berikut: 1) Nusi (gotong royong),
Curtin et al. (2013: 108–137) menjelaskan
2) Butukila(ikat dan pegang rasa persaudaraan),
bahwa rasa memiliki terlihat ketika adanya 3) Suki Toka Apa(saling mendukung dan
hubungan internal dari induvidu dengan menolong), 4) Muki Nena (rasa saling memiliki
kelompok dimanapun ia berada. Adanya rasa dan mempunyai). Falsafah ini menjadi pegangan
memiliki satu dengan yang lain sehingga bagi masyarakat di Kota Kupang. Adapun
kerukunan dapat terjaga hingga saat ini pandangan hidup atau falsafah masyarakat
walaupun begitu banyak berita ataupun isu Kupang untuk membangun kerukunan yaitu “Lil
Au Nol Dael Banan” yang memiliki arti bahwa
melalui televisi dan media sosial yang dapat
dalam membangun dan menjaga Kota Kupang
menyebabkan keretakan antara umat beragama, untuk lebih baik lagi merupakan tugas semua
namun adanya rasa kekeluargaan sehingga tidak warga yang mencari kehidupan didalamnya
ada muncul rasa benci antar umat beragama di tanpa memandang agama, suku maupun ras.
Kota Kupang. Ada pribahasa mengatakan
bahawa “ketika kamu menyakiti satu agama E. UCAPAN TERIMAKASIH
maka umat beragama lain merasakan hal yang

P
sama”. Rasa memiliki ketika suatu induvidu atau enulis ingin mengucapkan terimakasih
kelompok merasa diterima, dibutuhkan dan kepada Bapak Marzuki selaku dosen
pembimbing yang telah senantiasa
dihargai oleh lingkungan sosial. Hal tersebut
membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menjadi dasar terciptanya kehidupan masyarakat menyusun artikel ini hingga terbit. Terimakasih
yang rukun dan tetap terjaga (Fisher, Overholser, juga penulis sampaikan kepada Program
Ridley, Braden, & Rosoff, 2015: 29–41). Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Kerukunan antarumat beragama di Kota yang telah memberi dukungan untuk penerbitan
Kupang harus dipertahankan untuk menjadikan artikel.
Kota Kupang yang lebih baik lagi. Kerukunan
merupakan suatu nilai yang sangat luas, dalam
tiap-tiap agama ditemukannya ajaran yang

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. (2008). Agama sebagai kekuatan sosial, eds. Metodologi penelitian agama. Yogyakarta:
Tiarawacana.
45 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p38-47.2020 MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Ade, V. & Affand, I. (2016). ‘Implementasi nilai-nilai kearifan lokal dalam mengembangkan
keterampilan kewarganegaraan (studi deskriptif analitik pada masyarakat talang mamak kec.
rakit kulim, kab. indragiri hulu provinsi riau)’. Jurnal Ilmu Ushuluddin, 1 (25), 1-15.
Adrian, M. (2016). Religious Freedom at Risk The EU, French Schools, and Why the Veil was
Banned. London: Springer . DOI 10.1007/978-3-319-21446-7.
Alwasih, C. et al (2009). Etnopedagogi: landasan praktek pendidikan dan pendidikan guru. Bandung;
Kiblat Universitas Pendidikan Indonesia.
Anakotta, R, dkk (2019). ‘Akulturasi masyarakat lokal dan pendatang di papua barat’. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. 1(21). 0.25077/jantro.v21.n1.p29-37.2019
Aslan. (2017). ‘Nilai-nilai kearifan lokal dalam budaya pantang larang suku melayu sambas’. Jurnal
Ilmu Ushuluddin, 1 (16), 1-10.
Beaman, G. L. (2010). ‘Is religious freedom impossible in canada?’. Journal Law, Culture and the
Humanities, 2 (8), 266-284 DOI: 10.1177.
Catto, R. (2017). ‘Religious indifference new perspectives from studies on secularization and
nonreligion’. Gewerbestrasse: The registered company address. DOI 10.1007/978-3-319-
48476-1.
Curtin, N., Stewart, A. J., & Ostrove, J. M. (2013). ‘Fostering academic self-concept: Advisor support
and sense of belonging among international and domestic graduate students’. American
Educational Research Journal, 50(1), 108–137. 10.3102/0002831212446662.
Fisher, L. B. et al. (2015). ‘From the outside looking in: Sense of belonging, depression, and suicide
risk’. Journal Psychiatry, 78(1), 29–41 DOI: 10.1080/00332747.2015.1015867.
Hermawanti, R., Paskarina. C., & Runiawati, N. (2015). ‘Toleransi antar umat beragama di Kota
Bandung’. UMBARA: Indonesian Journal of Anthropology. 1 (2).
Imron, A dan Hidayat, A. (2013). ‘Kekuatan agama dan kearifan lokal dalam proses kebangkitan
masyarakat yogyakarta pascagempa’. Jurnal esensia Vol. XIV No. 1 103-130.
Iqbal. dkk. (2015). Politik Lokal Dan Konflik KeagamaanPilkada Dan Struktur Kesempatan Politik
Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, Bekasi, Dan Kupang. Yogyakarta: center for
religious and cross-cultural studies/crcs) sekolah pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Jati, W. R. (2013). ‘Kearifan lokal sebagai resolusi konflik keagamaan’. Jurnal Walisongo. 2 (21) 393-
416.
Khambali, M. K. (2017). ‘Al-Wasatiyyah> in the practice of religious tolerance among the families of
new Muslims in sustaining a well-being society’. JournalHumanomics, 3(33), 1-16 DOI:
10.1108/H-02-2017-0025.
Mudzhar, M. A. (2010). Sosialisasi PBM dan tanya jawabnya. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama Republik Indonesia.
Mita, R. (2016). ‘Religious harmony, an important factor in the political unity of Albanians in years
1912-1924’. European Journal of Social Sciences Education and Research, 1 (8), 26-30.
Mutakin, A. (2005). Nilai-nilai kearifan adat dan tradisi di balik simbol (totem) kuda kuningan.
Bandung: FPIPS-UPI.
Permana, E. C. (2010). Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Purbasari, A. V. (2019). ‘Interaksi sosial etnis cina-jawa kota surakarta’. Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya. 1(2). 10.25077/jantro.v21.n1.p1-9.2019
Rahmandani, F., & Samsuri. (2019). ‘Hak dan kewajiban sebagai dasar nilai intrinsik warga negara
dalam membentuk masyarakat sipil’. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Buadya, 4(1),
113-128. Doi: https://doi.org/10.25217/jf.v4i1.426
Rahmandani, F., & Samsuri. (2019). ‘Malang Corruption Watch sebagai gerakan masyarakat sipil
dalam membangun budaya anti-korupsi di daerah’. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya, 21(1), 49-59. Doi: https://doi.org/10.25077/jantro.v21.n1.p49-59.2019
Sharma, A. (2011). Problematizing religious freedom. London: Springer Dordrecht Heidelberg. DOI
10.1007/978-90-481-8993-9.
Sumbulah, U., & Nurjanah (2013). Pluralisme agama makna dan lokalitas pola kerukunan antarumat
beragama. Malang: Uin-Maliki Press.

46 | P a g e
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p38-47.2020
MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Syihab, H. A., & Muhamad. A. (2017). ‘Reviving the wasatiyyah values for inter-religious harmony in
plural societies’. Jurnal Al-Tamaddun, 12 (2), 13-24
Sudarma, I. K. (2007). ‘Laporan penelitian: studi ananlisis kebutuhan pendidikan multikultural berbasis
kompetensi pada siswa sekolah dasar di kota singaraja’. Singaraja: Undiksha.
Tule. S., P. (2000). ‘Religious conflicts and a culture of tolerance: paving the way for reconciliation in
Indonesia’. Antropologi Indonesia. 24.
Ulum, R., & Budiyono. (2016). Survey kerukunan umat beragama di Indonesia. Jakarta: Kementerian
Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Verkuyten, M., & Slooter, L. (2007). ‘Tolerance of Muslim beliefs and practices: age related differences
and context effects’. International Journal of Behavioral Development. 31 (5), 467–477.
DOI:10.1177/0165025407081480.
Wirman. (2017). ‘Plurality in the context of religious harmony’. Journal Of Humanities And Social
Science, 11 (22), 25-31.

47 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p38-47.2020 MOH. MUL AKBAR ETA PARERA, MARZUKI
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

CIVIL RIGHTS OF THE BELIEVERS OF UNOFFICIAL RELIGIONS


(PENGHAYAT KEPERCAYAAN) IN PEKALONGAN DISTRICT
1* 2
Moh. Ilham A Hamudy ( ), M Saidi Rifki ( )
1 2
Research and Development Agency, Ministry of Home Affairs, Republic of Indonesia Jakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

There are seven groups of unofficial religions (penghayat kepercayaan)


Submitted : 20th November, 2019
in Pekalongan District. The issuance of Constitutional Court (MK)
Review : 01st February, 2020
decision No. 97/ PUU-XIV/2016 did not automatically fulfill their civil
Accepted : 02nd May, 2020
rights. There were various obstacles to implement the constitutional
Published : 1st June, 2020
court decision. Therefore, this study specifically aimed to review their
Available Online : June, 2020
existence and the fulfillment of their civil rights after the Constitutional
Court's decision. With a qualitative approach, and descriptive and
KEYWORDS literature methods, this study found that the social access of penghayat
kepercayaan, such as the inclusion of their beliefs in the religion part of
Penghayat Kepercayaan; civil rights; the Identity Card ("KTP"), the availability of penghayat kepercayaan
Constitutional Court; local religion; culture; teachers at school, or marriage registration, was yet to be fulfilled. The
Pekalongan main obstacles were caused by the inadequate data collection of the
penghayat kepercayaan population. Another obstacle was that,
although the acceptance of the rest of the community towards the
CORRESPONDENCE penghayat kepercayaan communities was quite good, the penghayat
kepercayaan communities were still concern about them. Past
*E-mail: ilhamhamudy80@gmail.com discrimination seems to be main factor. For this reason, responsive
works of the Pekalongan District Government are urgently needed to
validate the data of penghayat kepercayaan communities and facilitate
the social interactions across different communities to nurture a
harmonious life in the district.

A. INTRODUCTION

T
his study was prompt by the Constitutional be called penganut kepercayaan. According to
Court's (‘MK”) decision on penghayat them, penghayat means manembah, always
kepercayaan in Indonesia. At the end of self-aware, sincere, patience, and grateful
2017, the Constitutional Court Panel of Judges (Habsari, 2018, p. 1), that humans can do
issued a decision that the term penghayat nothing, have nothing and have no power
kepercayaan can be shown in the religion part of whatsoever (Cahyadi, 2018, p. 12).
the family card (“KK”) and the electronic ID Decision of the Constitutional Court No.
(“KTP”) without further specifying it (kompas.com, 97/PUU-XIV/2016 granted all the requests for
2017). The penghayat kepercayaan in this study judicial review of Article 61 Paragraphs (1) and
refers to the community of indigenous religions (2) as well as Article 64 Paragraphs (1) and (2) of
and beliefs of an ethnic group in Indonesia (a Law No. 24 of 2013 on the Amendments to Law
local religion) (Fadli, 2017). They only belief in No 23 of 2006 on Population Administration for a
their ancestor’s teachings (Hakiki, 2011; Miharja, proper civil administration. The penghayat
2015; see also Sulaeman et al., 2019). kepercayaan communities in Indonesia are not
To a certain extent, members of the many but they are diverse.
penghayat kepercayaan community also prefer to
48 | P a g e
https://doi.org/10.25077/ jantro.v22.n1.p48-59.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Based on the 2010 Population Census (SP Office) of Pekalongan District, on 8 August 2019,
2010), the number of penghayat kepercayaan there were only 95 persons of penghayat
communities are relatively small. There are only kepercayaan which change their religion status in
299.617 persons (0.13%) of the total population. the KTP, from formerly blank or a dash, into
It was derived from those who choose “others” to “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” (Belief in
answer the question of their religion (program God). They consist of fifty males and 45 females
peduli.org, 2018). However, it is quite difficult to and spread out in nineteen sub-districts of
have valid numbers of penghayat kepercayaan. Pekalongan District. These numbers show the
In Pekalongan District, referring to the Office of change after the decision of the Constitutional
Population and Civil Registration (Dukcapil Court No. 97/PUU-XIV/2016.

Table 1.
Number of Penghayat kepercayaan Population

Type of Belief
NO. AREAS (“Kepercayaan”)
M F NUMBER
1 Kandangserang 0 0 0
2 Paninggaran 0 0 0
3 Lebakbarang 0 0 0
4 Petungkriyono 0 0 0
5 Talun 0 0 0
6 Doro 0 0 0
7 Karanganyar 2 0 2
8 Kajen 4 2 6
9 Kesesi 16 14 30
10 Sragi 7 7 14
11 Siwalan 11 7 18
12 Bojong 2 4 6
13 Wonopringgo 4 6 10
14 Kedungwuni 1 0 1
15 Karangdadap 0 0 0
16 Buaran 1 0 1
17 Tirto 0 0 0
18 Wiradesa 0 0 0
19 Wonokerto 2 5 10
TOTAL 50 45 95
Source: Data from the Dukcapil Office of Pekalongan District, August 8, 2019.

The Dukcapil Office data also shows that they They were: Paguyuban Ilmu Sejati (46 persons),
reside in ten sub-districts out of nineteen. Kasesi Paguyuban Ngesti Tunggal (100 persons),
Sub-district has the most residents (30 persons), Paguyuban Penghayat Kapribaden (544
followed by Siwalan Sub-district (18 persons), persons), Paguyuban Tri Tunggal Bayu (60
Sragi (17 persons), Wonopringgo (10 persons), persons), Paguyuban Kawruh Jawa Jawata (143
Wonokerto (7 persons), Kajen and Bojong (6 persons), Paguyuban Budi Luhur (52 persons),
persons each), Karanganyar (2 persons), Paguyuban 09 Pambuko Jiwo (50 persons), dan
Wonopringgo and Kedungwuni (1 person each). Paguyuban Sapta Dharma (56 persons).
The Dukcapil Office data did not show any Paguyuban Kapribaden has the largest number
penghayat kepercayaan in the other nine of members.
districts. However, the data was later revised to only
This is different from the data from the Office seven groups of Penghayat kepercayaan.
of Education and Culture (Dikbud Office) of Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) was
rd
Pekalongan District. Data as of May 3 2019 declared to be not a part of the Penghayat
from Dikbud Office of Pekalongan District kepercayaan group since its members are also
showed eight groups of penghayat kepercayaan. believers of the six recognized religions.

49 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020 MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Table 2.
List of Penghayat Kepercayaan Groups (May & August 2018)

NAME OF THE
NAME OF
ADDRESS MANAGEMENT/ NUMBER OF
NO. PENGHAYAT KEPERCAYAAN
PERSON IN MEMBERS
GROUPS
CHARGE
MAY 2019
Jl. Raya Kadipaten No.16 Ds
1 Paguyuban Ilmu Sejati Kadipaten RT.03/RW.02, Keca- Sumito 46
matan Wiradesa
Paguyuban Ngesti Gg Kenangan No 237 Rejosari,
2 Rasmani 100
Tunggal (Pangestu) Bojong
Paguyuban Sinangoh Prendeng RT 01/RW 03,
3 Sunaryo 554
Penghayat Kapribaden Sinangoh Prendeng, Kajen
Jl Raya Karanganyar, Karangsari,
4 Paguyuban Tri Tunggal Bayu Sugiharto 60
Karanganyar
Paguyuban Kawruh Sumurjomblang Bogo RT 08/RW 03,
5 Sri Renggani 143
Jawa Jawata Kecamatan Bojong
Babel, RT 17/RW 05, Kecamatan
6 Paguyuban Budi Luhur Suryat 52
Wonokerto
7 Paguyuban 09 Pambuko Jiwo Desa Gebangkerep, Sragi Sudiyo 50
Desa Wonokerto
8 Paguyuban Sapta Dharma Casnari 56
Kecamatan Wonokerto
TOTAL 1,061
AUGUST 2019
Jl. Raya Kadipaten No.16 Ds
1 Paguyuban Ilmu Sejati Kadipaten RT.03/RW.02, Keca- Sumito 46
matan Wiradesa
Paguyuban Sinangoh Prendeng RT 01/RW 03,
2 Sunaryo 554
Penghayat Kapribaden Sinangoh Prendeng, Kajen
Jl Raya Karanganyar, Karangsari,
3 Paguyuban Tri Tunggal Bayu Sugiharto 60
Karanganyar
Paguyuban Kawruh Sumurjomblang Bogo RT 08/RW 03,
4 Sri Renggani 143
Jawa Jawata Kecamatan Bojong
Babel, RT 17/RW 05, Kecamatan
5 Paguyuban Budi Luhur Suryat 52
Wonokerto
6 Paguyuban 09 Pambuko Jiwo Desa Gebangkerep, Sragi Sudiyo 50
Desa Wonokerto,
7 Paguyuban Sapta Dharma Casnari 56
Kecamatan Wonokerto
TOTAL 961
Source: Data from the Dikbud Office of Pekalongan District, 2019

The validity of the data was also debatable. who actively attend routine events held by the
The Dikbud Office data above did not show their group’s management.
distribution across the nineteen sub-districts of However, the main issue was not merely
Pekalongan District. The Dikbud Office relied on about the inconsistency of the numbers of
the reports by the representative of the members. It was more about the citizen's equality
communities in MLKI (Majelis Luhur Keperca- of rights. The government must serve the citizen
yaan Indonesia). According to the Dikbud Office, equally. The size of the community does not
the number of members may change. It may be negate that obligation (MK No.97/PUU-XIV/2016,
more than 1,000 since many individual believers 2017). After the Constitutional Court decision,
are not registered in any group. For example, the each of the Penghayat kepercayaan communities
list of members of the Paguyuban Perguruan would have the first choice to use the name
Ilmu Sejati shows 165 persons, which were legally. Regardless of the size of the commu-
different from the Dikbud Office data (46 nities, their existence poses a challenge for the
persons). The groups also only register members

50 | P a g e
MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

state to include them in the formal population recognized religion differently in accessing public
indicator. service (Aziz Faiz, 2018).
The penghayat kepercayaan communities ha- There are multiple studies conducted on the
ve never been living a happy life. In the Old discrimination of treatment by the state to the
Order, they were caught in the political clash penghayat kepercayaan communities. A study by
between the communist and the religious groups Fasya, Ahmad, dan Arifianto (2004) and Fulthoni
(Magnis-Suseno et al., 2015). Penghayat et al (2009). Sukirno (2018), Colbran (2010),
kepercayaan community’s safety is subject to Panjaitan (2018), and Fadli (2017) also
political interest. The Government issued Regu- conducted a study on discrimination of penghayat
lation No 1/PNPS of 1965 on misuse of religion kepercayaan by the government. They
or blasphemy, which further put the penghayat stated that Indonesia was a failed state in
kepercayaan community in a hard spot (Isnur, protecting minority rights, and also failed in
2012). After the 1965 Tragedy, the problems dealing with intolerance and religious violence.
continue. Many people accused them to be part Budijanto (2016), Dwintari (2016), and Adzkiya
of the Indonesian Communist Party (PKI). (2018) also conducted a study on the civil rights
Resolution of the People’s Consultative of the penghayat kepercayaan community.
Assembly (“TAP MPR”) No IV/MPR/1978 on Generally, the penghayat kepercayaan com-
State Policy Guidelines (“GBHN”) stated that munities did not have a problem in obtaining
Kepercayaan was not a religion. This resolution services related to population and civil
was adopted to accommodate the PPP party, administration. However, there is still discrimi-
which threatened to walk out from the assembly nation in society such as rejection of funerals,
if penghayat kepercayaan was acknowledged as coercion in choosing religious lessons in schools.
an equal to religion in the GBHN (geotimes.co.id, Based on the above observation, this study
2018). As a result, the life of penghayat was important and interesting to be conducted
kepercayaan in Indonesia continues to be since few studies specifically discussed the
difficult. They keep running into problems in fulfillment of Civil rights and the existence of the
obtaining administration documents (Ginting, penghayat kepercayaan community after the
2018). The unfair treatment of the penghayat Constitutional Court decision No.97/PUU-
kepercayaan community is started at school age. XIV/2016, especially in Pekalongan District. This
In school, they are forced to follow one of the study was aimed to fill the gap. As such, this
recognized religions for their religious study. study discussed (1) how can the penghayat
While at home, their family educates them to be a kepercayaan community access the basic social
penghayat kepercayaan (Aryono, 2018, p. 59). services, and (2) the acceptance of the
There are various problems they have to deal penghayat kepercayaan community in the
with in society, such as applying for a job and Pekalongan District by the society and regional
difficulties to obtain a burial ground in the public government. This study also showed the
cemetery (Sudarto, 2017). penghayat kepercayaan community situation
These are the problems that the Constitutional after the Constitutional Court decision No.
Court responded by declaring that “religion” in 97/PUU-XIV/2016, while providing solutions for
Article 61 paragraph (1) and Article 64 paragraph the fulfillment of civil rights of the communities for
(1) Law No. 23 of 2006 on Population an area that still have a problem to fulfill it.
Administration as amendment by Law No. 24 of
2013 on the amendment to Law No, 23 of 2006 is B. METHOD
contrary to the 1945 Constitution and does not

T
have a legal force if it does not include aliran his study combined descriptive methods
kepercayaan (bbc.com, 2017.). The different and document analysis. The descriptive
treatment for the recording of an element of method was intended to describe the civil
population data is not based on a constitutional rights of penghayat kepercayaan as a unit of
reason. The regulation treats the citizen analysis after the Constitutional Court decision
following kepercayaan and the formally based on facts as they were presented
(Sugiyono, 2015). The desktop study method
51 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020 MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

was intended to gather relevant information on socialization Regulation No. 40 of 2009 on


the existence of the penghayat kepercayaan Population Administration relating to marriage
community in Pekalongan District. This infor- administration for the penghayat kepercayaan
mation was obtained through reviewing books, community members that have not adopted one
scientific works, thesis, dissertations, en- of the recognized religions, was also not
cyclopedias, internet, and other sources (Zed, conducted.
2004). This study used interview techniques to The Chairman and Secretary of Penghayat
gather the relevant data, collecting information Kapribaden Community also confirm that many of
from the chairmen and the members of the them are not counted yet. According to him, the
penghayat kepercayaan groups in Pekalongan number of his community should be around 500
District that were purposely selected. persons. Some people subscribe to Penghayat
The approach used in this study was the Kapribaden's beliefs but not registered in his
qualitative approach. This approach was appro- group. In one sub-district, the number of Peng-
priate since the existence of penghayat hayat Kapribaden may reach 50 persons.
kepercayaan was considered to be multidimen- Karanganyar Sub-district might have 70 - 80
sional (Alwasilah, 2003). Meanwhile, the collec- persons of penghayat Kapribaden, while Kasesi
tion of facts and data was done by tracing the Sub-district might have 30 -50 persons. The
news in mainstream mass media to enrich the same situation also described by the Chairman of
analysis. This study was carried out between Paguyuban Tri Tunggal Bayu (TTB). The
early June 2019 to end of August 2019. Chairman stated that the numbers of the TTB
community might be in thousands if the
C. RESULTS AND DISCUSSION sympathizers were counted as their members.
The Dikbud Office’s data only shows those who

I
n this part, the answer to the study questions formally recognized as TTB followers. The
regarding (1) social access of penghayat sympathizers, those who formally belong to one
kepercayaan, and (2) social acceptance of the of the recognized religions but were interested in
surrounding communities are discussed: the TTB teachings, were not counted.
The socialization of the regulations by the
1. Social Access Dukcapil Office currently only targeting the
The basic services, especially the civil chairmen of the penghayat kepercayaan groups
administration services, provided by the and not conducted directly to the communities.
Pekalongan District government to the penghayat He believed that the regulation was known by the
kepercayaan communities, are quite well. chairmen of the groups, and the chairmen might
However, it was not sufficient since there are still convey the regulation to their people. The leaders
some rights that they can't access. The of the penghayat kepercayaan groups often
Government's inability to provide access to represent their community members to change
education for the children of penghayat their religion status in the Dukcapil Office,
kepercayaan indicates the government’s lack of showing a statement letter from the leader of the
attention to that right. The lack of valid data on penghayat kepercayaan community or the
the number of penghayat kepercaya- chairman of the group.
an population in Pekalongan District also shows
that the government was not striving to make a. Other Population Administration
minority groups as legal subjects that have the Services
same rights and opportunities as other citizens. Aside from the religion part of the KTP, other
he Constitutional Court decision No. 97/PUU- population administration services that showed
XIV/2016 granted all the requests for judicial inaccurate data were marriage and death of
review of Article 61 Paragraphs (1) and (2) as the penghayat kepercayaan. After the issuance
well as Article 64 Paragraphs (1) and (2) of Law of the new regulation, data form the Duk-
No. 24 of 2013 on the Amendments to Law No 23 capil Office did not show any record of penghayat
of 2006 on Population Administration. The kepercayaan marriage. This was acknowledged
government did not directly socialize the decision by the Head of Population Registration Unit and
to the penghayat kepercayaan communities. The the Head of Birth Registration Section of

52 | P a g e
MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Pekalongan District. Based on the Duk- 0.00% of the total population was registered in
capil Office data, as of Trimester II/2018, the the Dukcapil Office. In 2018, the Dukcapil Office
population of Pekalongan District is 944,398 recorded 25 non-Moslem marriage and no peng-
persons, and approximately 7% are non-Moslem. hayat kepercayaan marriage. The data on the
Based on the population report of the Pekalo- death of penghayat kepercayaan community was
ngan District in the same year, the penghayat also not available due to society's lack of
kepercayaan population was only 45 persons (23 understanding regarding this matter.
males and 22 females). This means that only

Table 3.
Population report (per type of religion) in the Districts/Cities

RELIGION MALE FEMALE Total %

Islam 476,675 463,705 940,380 99.57%


Protestant 1,233 1,262 2,495 0.26%
Catholic 470 491 961 0.10%
Hindu 216 185 401 0.04%
Buddha 58 48 106 0.01%
Confucius 5 5 10 0.00%
Kepercayaan 23 22 45 0.00%
Total 944,398 100.00%
Source: Data from the Dukcapil Office of Pekalongan District, II/ 2018

Table 4.
Deeds issued by the Dukcapil Office of Pekalongan District, 2018

CHANGE ACKNOWLE
2ND MARRIAGE
NO MONTH BIRTH DIVORCE DEATH OF DGMENT ADOPTION TOTAL
COPY CERTIFICATE
NAME OF A CHILD
1 Jan 2,260 47 2 0 195 0 0 2 2,506
2 Feb 2,030 73 3 0 34 3 0 0 2,143
3 Mar 1,984 54 0 0 173 1 0 1 2,213
4 Apr 2,145 51 5 0 59 0 1 0 2,261
5 May 2,208 73 1 0 209 1 1 3 2,496
6 June 1,011 34 1 0 42 0 0 1 1,089
7 July 3,195 152 2 0 23 2 0 0 3,374
8 Aug 2,493 121 3 0 138 3 0 1 2,759
9 Sept 2,304 102 2 0 31 1 0 0 2,440
10 Oct 2,336 198 2 1 28 7 0 0 2,572
11 Nov 2,325 114 1 1 43 6 0 1 2,491
12 Dec 2,354 169 3 0 28 3 0 0 2,557
TOTAL 26,645 1,188 25 2 1,003 27 2 9 28,901
Source: Data from the Dukcapil Office of Pekalongan District, II/ 2018

There are some reasons why the penghayat refused to change the notation in the religion part
kepercayaan marriage was not conducted. One of the KTP to state penghayat kepercayaan. The
of them was that, legally, a marriage should be process to issue the marriage certificate was also
conducted based on the religion notation in the very long. (Susetyo, 2017, p. 149). The
couple's KTP, while most of the members penghayat kepercayaan members must change

53 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020 MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

the notation in the religion part of their KTP first. He stated that they were ready to provide the
Government Regulation No. 40 of 2019 states teachers for the students if they receive the
that the recording of marriages of penghayat reports and data on penghayat kepercaya-
kepercayaan is carried out at the District/City an students. The Dikbud Office acknowledged
Dukcapil Office or the District/City Population and the likelihood of penghayat kepercayaan students
Civil Registration Work Unit at the latest 60 days in their schools.
after the marriage held before their leaders. The difficulty of finding penghayat kepercaya-
Changing the notation in the religion part of an students in SMPN 01 Bojong was due to a
the KTP was also not easy (Kurniawan, 2015). lack of synchronization between the student's
The process was long, and the community’s will main data and other available data, such as the
to change it was lacking. This fact was also Guidance Counseling teacher's data. The main
acknowledged by the Chairman of Paguyuban student data stated that all students in SMP 01
Penghayat Kapribaden Tri Tunggah Bayu, who are Moslem. The new headmaster also did not
stated that besides being lazy due to the length receive any information on penghayat kepercaya-
of time it took to process one, they also consider an students from the teachers, the students, or
processing population documents as compli- their parents.
cated. he long length of time a KTP issuance was The student stated that the student informed
also acknowledged by the Pekalongan District the previous headmaster of the student's beliefs.
Population and Civil Registration Office. They However, there was no special teacher to teach
complained about the lack of KTP forms. (see the penghayat kepercayaan study. The student
also Ansyari, Amin, & Resmawan, 2018). attended the Islamic study with the Moslem
At the time of the study, the socialization of classmates, which the student could still accept.
the new regulation was carried out by the central The student also stated that there is
government. The Pekalongan District govern- another penghayat kepercayaan student in
ment rarely pro-actively socialize it. The another school, SMPN 02 Bojong.
socialization by the central government also was We did not find any student with a
not properly conducted. The socialization by the penghayat kepercayaan background in SDN 01
central government also was not properly and SDN 02 Sinagoh Prendeng, Kajen. Data
conducted. The regional government in charge of from both schools stated that 100% of students
population administration was never invited to the are Moslems, in line with the student's parents'
socialization events. The officers only invited the KTP. This data is quite odd since Sinangoh
chairmen of the penghayat kepercaya- Prendeng is possibly a village with the largest
an groups. The old chairmen would not be able number of penghayat kepercayaan. The village
to socialize the new regulation across the has a ritual ceremony and is a gathering place of
nineteen sub-districts in Pekalongan District. the Paguyuban Kapribaden. The headmaster
Without the socialization of the new regulations, knew that there were a number of the students’
the members of penghayat kepercayaan will still parents who subscribed to penghayat kepercaya-
be an outcast, and discrimination views about an, but they still register their children as
them would still be nurtured. Moslems. The headmaster of SDN 01 and SDN
02 also said there were no reports from students’
b. Access to Education parents on the existence of penghayat
The Head of Culture and the Head of History kepercayaan students. The Dikbud Office ac-
& Muskala Section of the Dikbud Office of knowledged that they did not pro-actively verify
Pekalongan District stated that there were 500 the existence of penghayat kepercaya-
elementary schools, 78 junior high schools, and an students. However, socializations were carried
37 high schools in Pekalongan District. The out to school headmasters to update and report if
Dikbud Office did not have data on the penghayat they found penghayat kepercayaan students.
kepercayaan students in those schools. They did The government gave a choice to the
not receive any reports, either from the penghayat kepercayaan believers, not to attend
penghayat kepercayaan communities or the religious studies in formal schools (Wahyudi,
schools. 2018) because Pekalongan District did not have
a special teacher for penghayat kepercayaan.

54 | P a g e
MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

However, one of Pekalongan District resident is a government on the existence of penghayat


counselor for penghayat kepercayaan study, but kepercayaan students in the school.
he teaches in Batang District, at SMP 3 Warung The absence of a penghayat kepercayaan
Asem and SD Pejambon. Pagulno, the teacher, teacher was not without reason. There are no
manages Paguyuban Kawruh Jawa Jawata. He teachers who have a suitable diploma to teach
also serves as an educational counselor in that subject.The Pekalongan District Government
several schools for penghayat kepercaya- is not seriously recruiting penghayat kepercayaan
an students. As a counselor, he has an official counselors. There were a lot of interests in the
certificate from BNSP (National Professional community to be a penghayat kepercayaan
Certification Agency). counselor. However, if everything depends on the
Several factors cause the penghayat penghayat kepercayaan group, it will be
kepercayaan children in Pekalongan District to impossible since it will require a large number of
fail to receive the penghayat kepercayaan study funds. But the Pekalongan District Dikbud Office
in their school. One of the reasons was that the denied this information. According to the Office,
government failed to collect data on penghayat the government allocated funds for instructors or
kepercayaan students. The socialization of teachers. The Dikbud Office regretted that the
Minister of Education and Culture Regulation No. penghayat kepercayaan counselor was active
27 of 2016 on Penghayat kepercayaan Education outside the Pekalongan District.
Services is also not comprehensive. The Valid data related to the number of penghayat
regulation seemed to be issued in a hurry. As a kepercayaan believers is quite important. With
result, the teaching kit is incomplete, as such data, it will be easier for the government to
acknowledged by the Headmaster of SMPN 01 fulfill their civil rights, such as health services,
Bojong. social assistance, or access to education. Valid
The regulation was new and rather difficult to data will also minimize the non-fulfillment of
implement. The affected students were familiar student services in schools or dismissal of
with the general subjects. There was a concern teachers such as those in Brebes (Royani, 2014)
that the students would be confused with Semarang, (Aziz, 2016), Garut (Erdianto, 2017;
the penghayat kepercayaan study. For example, Wahyu, 2019) and other cities.
they worried that their classmates might treat Nonfulfillment of services/civil rights will not
them differently. They also worried that they happen if the government facilitates the teaching
might be discriminated against by their for students according to their respective beliefs.
classmates and teachers. Not to mention the However, if religious studies in schools are
stigma from the community that views abolished, it would be better because the
the penghayat kepercayaan as an atheist and religious study made the students to be
have no religion. Another difficulty was because segregated. For example, for an Islamic study,
the schools require them to choose to learn the the students of other faiths must leave the
teachings of other religions so they can graduate classroom.
(compare with Haryadi, Salfutra, & Darwance, The teaching of manners should be more
2018). important in school, while the teaching of religion
At the time of the study, there was no demand should be conducted by their parents (Lubis,
from the schools for penghayat kepercaya- 2019; Suwardi, 2010). Religious study in several
an teachers. The local government was waiting countries, such as Finland and Greece, contains
for information from the schools and the pengha- the teaching of cultural identity, character,
yat kepercayaan communities. There was no tolerance, and having a constructive and critical
coordination on the supply of penghayat keperca- approach (Kallioniemi & Ubani, 2016;
yaan teachers in the Pekalongan District. The Koukounaras Liagkis, 2015).
schools, the government, and the penghayat The absence of penghayat kepercayaan study
kepercayaan community were waiting for each in schools was caused by the recognition of the
other to make the first move. The MLKI, as the six official religions in 1968, which then changed
coordinator of all penghayat kepercayaan groups the community's view against local religious
in Pekalongan District, did not inform the groups They assumed that penghayat keper-
55 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020 MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

cayaan was not equal to the six religions. Initially, religion part of their KTP empty or to change it.
the government intended to formalize the religion The small Paguyuban Kapribaden also has the
of migrants, while penghayat kepercayaan as the same situation. Even its Secretary refused to
original religion of the archipelago did not need change the religion part of his KTP. His reason
further recognition by the government. was that even his KTP stated his religion is Islam,
he and his family were able to conduct their daily
2. Social Acceptance of the Society life according to the community's traditions.
A large number of students who register as Another problem is that the government seems to
Moslems in several schools was because the be reluctant to change people's opinions on the
religion column has not been changed in their difficulties of arranging population administration
parents’ ID card and Family Card. The documents. This situation happened in both the
community members who stated one of the education sector and civil registration (NFID,
recognized religions on their KTPs were reluctant 2019). Although the Constitutional Court decision
to register their children as a penghayat is final, many of the penghayat kepercayaan are
kepercayaan in school, as in SDN 01 and 02 not so keen on changing their religion part of their
Sinangoh Prendeng. Sinangoh Prendeng Village KTP, because they know that they would
was mentioned as an area with the most encounter problems when they deal with local
penghayat kepercayaan population in Kajen. government.
The residents’ reluctance to change their As such, many population records are not
religion status was due to their past trauma. valid. For example, the different record of religion
Many of them were summoned by the authority, in their family card (KK) and KTP. Their KK
cast aside, and suffered other discriminatory stated that they are penghayat kepercayaan, but
acts. As such, some of them still feel insecure to their KTP stated Islam. The penghayat
admit that they are penghayat keperca- kepercayaan community also think that they
yaan followers (Sulaiman, 2018). Some of them, would have problems with the village officers to
mainly those who reside in villages, would obtain their population documents. It is a
maintain their distance. Some who keep a concern since the old penghayat keperca-
different appearance, such as not wearing a yaan seems to be no longer care with population
headscarf, was afraid that they would be documents such as KTP.
labeled kafir (non-believer) or munafiq (hypo- Another concern prior to the issuance of GR
crites), although the Pekalongan Districts seem No 40 of 2019 on Population Administration is on
to be quite tolerant and there were no issues with the marriage of penghayat kepercayaan (Ridha,
any religious followers. Sukirno, & Sudaryatmi, 2017). The marriage
It seems that the main factor of not stating procedures in Pekalongan District were still
their true beliefs in their KTP is from their view of based on the six recognized religions.
the environment. This belief resulted in difficulty The Dukcapil Office was only willing to record
to obtain the real number of penghayat and provide a copy of the marriage certificate
kepercayaan (Hamali, 2012). Their view of their when all requirements were met, one of them is
environment also causing the decrease of the availability of the guardian for the bride and
penghayat kepercayaan throughout the years. groom (their parents). While under the penghayat
According to one of the chairmen of the kepercayaan belief, there is no need for such a
penghayat kepercayaan group, many of their guardian. According to their beliefs, the parents
members stated Islam as their religion because are not their guardian. The parents are there to
they were listed as the mosque caretaker in their witness and bless the marriage of their children.
neighborhood. Also, many of them married
people that subscribe to one of the recognized D. CONCLUSIONS
religions, and they elect to adopt their spouse’s

T
religion as their own. he Constitutional Court's decision has
It took lots of courage for penghayat placed the penghayat kepercayaan to be
kepercayaan to show their real beliefs (Budijanto, equal to the existing religions in Indonesia.
2016). At the time of the study, approximately 1% The Constitutional Court's decision has placed
of them have had the courage to keep the the penghayat kepercayaan to be equal to the

56 | P a g e
MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

existing religions in Indonesia. It means that there penghayat kepercayaan communities. This is the
will be many regulations that need to be adjusted role of the Dukcapil Office. The valid data would
to the Constitutional Court's Decision. Including then be used by Bappeda Pekalongan District to
regulations to ensure their civil rights to have determine the budget allocated to the work units
their places of worship, having their marriage in the area. The regional employment unit also
rituals, having education according to their can allocate the necessary personnel, especially
beliefs, and others are fulfilled. teachers, for schools that have penghayat
In terms of the availability of government kepercayaan students.
regulation, there was no significant gap to fulfill The participation of penghayat kepercayaan
the civil rights of the penghayat keperca- communities is needed. Their pro-active involve-
yaan community in the Pekalongan District. The ment in providing data, showing their existence,
existing regulation already accommodates their and socializing with the majority is a necessity to
needs. The problems are mostly in implementing form a harmonious relationship amongst various
it. The regional government was not responsive community members.
enough to adjust to the Constitutional Court
decision No 97/PUU-XIV/2016. The regional E. ACKNOWLEDGMENT
government was slow in fulfilling the civil rights of

W
the penghayat kepercayaan communities. The e would like to thank the Pekalongan
regional government should be proactive in District government for their generosity
registering the penghayat kepercayaan com- in funding this study. Especially to the
munitiesin Pekalongan District. Regional Research and Development Planning
With valid data, the regional government can Agency, the Dukcapil Office, the Office of
determine the numbers of the penghayat Education and Culture, and the Chairmen of the
kepercayaan in Pekalongan District. The govern- Penghayat kepercayaan Groups in Pekalongan
ment can use this data to determine resource Regency who have helped us immensely in
allocation (personnel or budget) to serve the collecting data.

REFERENCES

Adzkiya’, U. (2018). Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus
Di Komunitas Sedulur Sikep Kab. Kudus) [Magister Manajemen Pendidikan Program
Pascasarjana FKIP-UKSW].
Alwasilah, A. C. (2003). Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian
Kualitatif. Pustaka Jaya.
Ansyari, F., Amin, J., & Resmawan, E. (2018). Analisis Standar Pelayanan Pembuatan E-Ktp di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Paser. EJournal Administrative Reform, 6(3), 301–
312.
Aryono, A. (2018). Pergulatan Aliran Kepercayaan dalam Panggung Politik Indonesia, 1950an-
2010an: Romo Semono Sastrodihardjo dan Aliran Kapribaden. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 3(1),
58. https://doi.org/10.14710/jscl.v3i1.17855
Aziz, A. (2016). Diskriminasi Penganut Kepercayaan. Tirto.Id.
Aziz Faiz, A. (2018). Kebijakan Negara dalam Mengakomodir Agama Pribumi Perspektif Sosial-
Antropologi. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat: Media Pemikiran Dan Dakwah Pembangunan,
2(2), 211–226. https://doi.org/10.14421/jpm.2018.022-01
bbc.com. (2017). Putusan MK “angin segar” dan “memulihkan martabat” penghayat kepercayaan.
BBC News Indonesia.
Budijanto, O. W. (2016). Penghormatan Hak Asasi Manusia Bagi Penghayat Kepercayaan di Kota
Bandung. Hak Asasi Manusia, 7(1).
Cahyadi, W. (2018). Karya Musik “Ngragi.” Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 13(1),
11–20.
57 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020 MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Colbran, N. (2010). Realities and challenges in realising freedom of religion or belief in Indonesia. The
International Journal of Human Rights, 14(5), 678–704.
https://doi.org/10.1080/13642980903155166
Dwintari, J. W. (2016). Kesetaraan Hak Memperoleh Pendidikan Kepercayaan Bagi Penghayat
Kepercayaan [Universitas Sebelas Maret].
Erdianto, K. (2017). Mendikbud Larang Sekolah Mendiskriminasi Siswa Penghayat Kepercayaan.
Kompas.Com.
Fadli, M. (2017). Constitutional Recognition and Legal Protection for Local Religion in Indonesia: A
Discourse on Local Religion of the Tengger and Baduy People. Pertanika Journals Social
Science & Humanities, 25(2). https://doi.org/10.1016/0042-6989(95)00038-2
Fasya, A. ‘Aunillah, Ahmad, A. A. H., Arifianto, M. L., & Zainurrakhmah. (2004). The Dynamics of
Relation between the State and Local Religions in Indonesia: Between Idealism and Reality. Al-
Albab, 4(2), 215–261.
Fulthoni, Arianingtyas, R., Aminah, S., & Sihombing, U. P. (2009). Memahami Diskriminasi; Buku
Saku untuk Kebebasan Beragama. The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).
geotimes.co.id. (2018). Memberi Keadilan bagi Penghayat. Geotimes.Co.Id.
Habsari, N. T. (2018). Adam Religion in the Religious Life of Samin Tribe in Sumberbening Village
Ngawi 1969-1999. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 19(2), 155.
https://doi.org/10.25077/jaisb.v19.n2.p155-165.2017
Hakiki, K. M. (2011). Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran Kebatinan). Analisis: Jurnal
Studi Keislaman, 11(1), 159–174. https://doi.org/10.24042/AJSK.V11I1.617
Hamali, S. (2012). Dampak Konversi Agama terhadap Sikap dan Tingkah Laku Keagamaan Individu.
Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 7(2), 21–40. https://doi.org/10.24042/AJSLA.V7I2.503
Haryadi, D., Salfutra, R. D., & Darwance. (2018). Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian Undang-Undang Administrasi Kependudukan Terhadap
Penghayat Kepercayaan Orang Lom Suku Mapur di Kepulauan Bangka Belitung.
icjr.or.id. (2012). Mengenal Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Icjr.or.Id.
Isnur, M. (2012). Agama, Negara, dan Hak Asasi Manusia: Proses Pengujian UU 1/PNPS/1965
Tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, Dan/atau Pengodaan Agama di Mahkamah Konstitusi.
LBH Jakarta.
Kallioniemi, A., & Ubani, M. (2016). Religious Education in Finnish School System. In Miracle of
Education. Brill | Sense. https://doi.org/10.1163/9789460918117_013
kompas.com. (2017). MK: Kolom Agama di KTP dan KK Dapat Ditulis "Penghayat
Kepercayaan" Kompas.Com.
Koukounaras Liagkis, M. (2015). Religious Education in Greece: a New Curriculum, an Old Issue.
British Journal of Religious Education, 37(2), 153–169.
https://doi.org/10.1080/01416200.2014.944093
Kurniawan, I. (2015). Memerangi Diskriminasi Atas Minoritas. Kabar Kampoeng.
Lubis, S. (2019). Tinjauan Normatif Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam Penanaman Nilai-Nilai
Anti-Korupsi. Murabbi : Jurnal Ilmiah Dalam Bidang Pendidikan, 02(01), 31–47.
Magnis-Suseno, F., Sumaktoyo, S. N. G., Kolimon, M., Pasiak, T., Wahid, A., Mufid, A. S., Imanulhaq,
M., & Sciortino, R. (2015). Agama, Keterbukaan dan Demokrasi Harapan dan Tantangan
(Cetakan 1). Yayasan Paramadina.
Miharja, D. (2015). Sistem Kepercayaan Awal Masyarakat Sunda. Al-Adyan, 10(1), 19–36.
NFID. (2019). Kelompok Warga Rentan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; ak Satupun
Kelompok Rentan Tertinggal : Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu, Masyarakat Adat, serta
Minoritas Agama dan Keyakinan.
Panjaitan, A. K. (2018). Implikasi Pengosongan Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk
Terhadap Pemenuhan Hak Konstitusional Umat Baha’i. Indonesian State Law Review, 1(1), 1–
16.
programpeduli.org. (2018). Keadilan bagi Penghayat Kepercayaan. Programpeduli.Org.

58 | P a g e
MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020
MOH. ILHAM A HAMUDY, M SAIDI RIFKI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Royani, Y. M. (2014). Problem Penghayat Kepercayaan di Jawa Tengah: Catatan untuk Tahun 2013.
Elsaonline.Com.
Sudarto. (2017). Kondisi Pemenuhan Hak KonstitusionaL Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Qualitative and Quantitative
Research Methods). Alfabeta.
Sukirno, S. (2018). Diskriminasi Pemenuhan Hak Sipil Bagi Penganut Agama Lokal. Administrative
Law & Governance Journal, 1(3), 231–239.
Sulaeman, S., Malawat, M., & Darma, D. (2019). Konstruksi Makna Bakupukul Manyapu bagi
Masyarakat Mamala Maluku. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(1), 61.
https://doi.org/10.25077/jantro.v21.n1.p61-72.2019
Sulaiman, S. (2018). Problem Pelayanan terhadap Kelompok Penghayat Kepercayaan di Pati, Jawa
Tengah. Jurnal SMART (Studi Masyarakat, Religi, Dan Tradisi), 4(2), 207–220.
https://doi.org/10.18784/smart.v4i2.649
Susetyo, H. (2017). Pencatatan Perkawinan bagi Golongan Penghayat. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 28(1–3), 149. https://doi.org/10.21143/jhp.vol28.no1-3.542
Suwardi. (2010). Etika Kebijaksanaan dalam Ajaran Budi Pekerti Luhur Penghayat Kepercayaan
Kejawen. Makara, Sosial Humaniora, 14(1), 1–10.
Wahyu, D. N. (2019). Pendidikan Anak Penghayat Kepercayaan di SMA 9 dan SMP 59 Surabaya
[UIN Sunan Ample].
Wahyudi, M. (2018). Analisis Masuknya Aliran Kepercayaan di Kolom Agama dalam Kartu Keluarga
dan Kartu Tanda Penduduk; (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016
tentang Yudicial Review Undang-Undang Administrasi Kependudukan) [Magister Ilmu Hukum].
Zed, M. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

59 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p48-59.2020 MOH. ILHAM A HAMUDY, M. SAIDI RIFKI
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MELESTARIKAN TRADISI


PERNIKAHAN PEPADUN DI LAMPUNG UTARA

Roy Kembar Habibi (¹ *), Eny Kusdarini (²)


12
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 03rd September, 2019 The purpose of writing this article is to find out the traditional marriage
Review : 02nd March, 2020 culture of pepadun in North Lampung as a legacy from the ancestors of
Accepted : 03rd May, 2020 pepadun. Therefore there is a need for cultural preservation that makes
Published : 1st June, 2020 the hallmark of pepadun traditional marriages in North Lampung. This
article was compiled using the library research method, which is a
Available Online : June, 2020
method of data collection which is carried out by utilizing sources and
library materials. The results obtained were the culture of pepadun
marriage in North Lampung, the cultural heritage of the people of North
KEYWORDS Lampung, which had existed since the early traditional wedding
ceremonies. In the wedding there is a meeting of the bride and groom's
Culture; Marriage; North Lampung Society; family, a meeting of the indigenous tribes of pepadun, a procession of
Pepadun Marriage marriage in the wedding, and there is a release dance for the bride and
groom, and there is a dance that will invite the bride and groom to
dance in the evening. fund. The pepadun community has never let go
CORRESPONDENCE of the culture of marriage that had been passed down by previous
ancestors. The conclusion of this research is the culture of customary
*E-mail: kembarhabibi26@gmail.com marriage of pepadun into a marriage culture that cannot be abandoned
by the pepadun community, especially in North Lampung.

A. PENDAHULUAN

I
ndonesia memiliki banyak keunikan bahasa bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaima-
dan budaya, seperti di beberapa pulau dari na juga budaya, merupakan bagian tak
Sabang sampai Merauke. Beraneka ragam terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
budaya yang ada di Nusantara serta adat- orang cenderung menganggapnya diwariskan
istiadat masih dijaga dan dilakukan oleh secara genetis. Ketika seseorang berusaha
masyarakatnya. Peran masyarakat melestarikan berkomunikasi dengan orang-orang yang
adat budaya dan bahasa sungguh sangat penting berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-
dengan cara pembinaan yang mencakup bahasa, perbedaannya, membukti-kan bahwa budaya itu
aksara, dan budaya. Ragam budaya yang dimiliki dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup
oleh negara Indonesia beragam baik dari budaya menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak,
setiap provinsi yang ada di Indonesia.Indonesia dan luas. Banyak aspek budaya turut
memiliki ciri khas tersendiri. Budaya di Indonesia menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
merupakan budaya yang telah lahir sejak nenek sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
moyang sebelum generasi baru.Budaya harus kegiatan sosial manusia. Budaya mengajarkan
dijaga dan dilestarikan dengan baik. masyarakat untuk mempelajari dengan baik dan
Budaya merupakan suatu cara hidup yang menjaga situs yng sudah turun temurun yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah diajarkan oleh nenek moyang. Budaya lahir
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke karena adanya sejarah yang mejadikan budaya
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur menjadi sebuah ciri khas yang harus dijaga dan
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, dilestarikan oleh masyarakat setempat.
adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,

60 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Menurut Sulasno (2013) Kebudayaan adalah timbal balik terhadap keadaan kondisi sosial,
seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta ekonomi dan lainnya. Budaya mengajarkan
karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan masyarakat untuk mempelajari setiap sejarah
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan yang lahir dalam perkembangannya. Budaya
belajar, dan mempelajari budaya tersebut untuk tidak akan pernah hilang dari masyarakat jika
dilestarikan lebih baik lagi. Sedangkan menurut masyarakat mampu menjaga dan melestarikan
Tumanggor (2015) kebudayaan adalah cara dengan baik. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh
berfikir dan merasa yang menyatakan diri dalam unsur budaya yaitu Bahasa, kesenian, sistem
seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu organisasi sosial dan sistem ilmu pengetahuan
ruang dan waktu. Budaya adalah sebuah warisan (Erica, 2013:265)
dan peninggalan yang perlu diajarkan kepada Menurut Sabarudin (2012:66), perkawinan
generasi penerus. Dengan mempelajari budaya merupakan unsur tali-temali yang meneruskan
lokal masyarakat maupun generasi muda akan kehidupan manusia dalam masyarakat (generasi)
dapat mempertahankan dengan baik setiap dengan kata lain, terjadi perkawinan berarti
peninggalan budaya. berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat
Menurut Roveneldo (2017:10), Indonesia saling membantu dan menunjang hubungan
merupakan negara kepulauan dengan memiliki kekerabatan yang rukun dan damai serta adanya
keragaman suku dan budaya yang merupakan silsilah yang menggambarkan kedudukan
aset dari kebudayaan nasional. Salah satu seseorang sebagai anggota kerabat. Perkawinan
kebudayaan yang masih diwariskan secara mempertemukan dua kelaurga yang akan
turun-temurun hingga kegenerasi saat ini ialah menjadikan sebuah budaya semakin bertambah.
budaya atau tradisi pada perkawinan.Salah Budaya perkawinan memiliki unsur yang berbeda
satunya suku Lampung yang berada di pulau dari setiap suku yang ada di Indonesia.Unsur
Sumatera, memiliki ragam budaya baik berupa perkawinan merupakan unsur budaya turun
kesenian maupun budaya pada perkawinan. Jika temurun dan merupakan pemberian Tuhan Yang
ditinjau dari seni dan budayanya, Lampung Maha Esa. Pernikahan sejatinya menjalin
memiliki keragaman budaya dan adat istiadat kekeluargaan bagi setiap manusia. Menurut
seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Cardon (2016:5), perkawinan adalah perseku-
Masyarakat Lampung hingga saat ini tetap tuan hidup antara seorang pria dan seorang
menjaga budaya dan adat istiadatnya, karena wanita yang dikukuhkan secara formal dengan
kebudayaan dan adat istiadat dikembangkan undang-undang, yaitu yuridis dan juga keba-
atau dilestarikan bukan hanya sebagai hiburan nyakan “religious” menurut tujuan suami istri dan
semata namun sebagai pengatur norma hidup undang-undang, dan dilakukan untuk selama
bermasyarakat serta sebagai jati diri bangsa hidup. Perkawinan menjadikan sepasang ma-
yang berbudaya. Menurut Ariyani (2018:103) nusia menciptakan budaya dalam rumah tangga
budaya Lampung memiliki keanekaragaman yang akan menciptakan perbedaan yang hjarus
yang harus dilestaraikan. Adat Lampung menjadi diterima. Dari perbedaan itu muncul adat dalam
budaya masyarakat Lampung yang tidak akan sebuah pernikahan.
ditinggalakan. Bukannya hanya adat dan Sama halnya dengan perkawinan suku
budayanya melainkan sastra Lampung yang pepadun di Lampung Utara. Proses perkawinan
menjadi keragaman setiap adat yang ada di yang dilaksanakan adalah budaya perkawinan
Lampung. pepadun yang harus dilestarikan dengan baik.
Salah satu kebudayaan yang terdapat di Perkawinan adat Lampung pepadun pertama
Lampung khususnya masyarakat adat Lampung proses cakak sai tuha, yaitu keluarga besar pihak
Pepadun di Lampung Utara yang telah ada sejak laki-laki beserta penyimbang (tokoh adat) me-
dulu dan sering dilaksanakan hingga saat ini ngunjungi pihak perempuan untuk menyam-
adalah Tradisi Pernikahan Adat Pepadun. paikan keinginan bujang Lampung Pepadun
Masyarakat Lampung Pepadun khususnya selalu meminang gadis Lampung Pepadun dari
mempertahankan adat dan tardisi dalam keluarga yang akan menikah. Pernikahan
pernikahan. Adat pepadun tidak bisa ditinggalkan pepadun di Lampung Utara tradisi daerah yang
oleh masyarakat Lampung utara dalam resepsi sudah ada sejak dulu yaitu hal yang dibicarakan
pernikahan adat. Adat ini merupakan adat yang yaitu besarnya tengepik (uang peninggalan) dan
sudah turun temurun yang diajarkan oleh nenek gerok rasan (prosesi upacara adat) yang akan
moyang masyrakat pepadun di Lampung Utara. dijalankan. Kemudian cara selanjutnya dalam
Kebudayaan terjadi melalui proses belajar pernikahan adat pepadun Lampung Utara
dari lingkungan alam maupun lingkungan sosial membicarakan simbol dan kedua mempelai
artinya hubungan antara manusia dengan bujang dan gadis setuju keluarga menlajutkan
lingkungan dihubungkan dengan kebudayaan. dengan pertemuan ayah dan ibu baik dari
Jadi terbentuknya kebudayaan berawal dari mempelai Pria bertemu dengan oaring tua
61 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020 ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

mempelai gadis Lampung Pepadun untuk pakatan bersama atas dasar cinta dan restu dari
membicarakan simbol pemberian bujang keluarga. Pernikahan ini didahului dengan tukar
Lampung ke gadis Lampung Pepadun. cicin yang dilaksanakan oleh muli dan mekhanai.
Kedua belah pihak melaksanakan acara Pihak mekhanai ( laki-Laki) menyanggupi untuk
pertunangan atau intar padang. Dimana keluarga melakukan tukar cicin. Ngakuk maju pada da-
calon mempelai laki-laki beserta para penyim- sarnya merupakan pertemuan kedua mempelai
bang dan rombongan menuju kediaman calon dan pertemuan ini merupakan pertemuan yang
mempelai perempuan dengan menggunakan sangat mewah, karena dilaksanakan sebuah
sarana adat/pakaian adat dan membawa dodol pesta oleh keluarga wanita untuk menyambut
60, gula, kopi, ketan, lapis legit, alat nginang dan keluarga laki-laki.
alat rokok. Dalam rombongan tersebut ibu-ibu Hal diatas sama dengan penelitian yang
disebut tulak hanaw dan rombongan bapak- dilakukan oleh Aini (2015:15) mengenai adat
bapak disebut perwatin. Mereka memakai masyarakat Lampung dalam melaksanakan upa-
pakaian warna putih dan ibu-ibunya memakai cara pernikahan sesuai dengan suku lampung
tanduk tungkah. Sesampainya di kediaman calon pepadun. Dalam penelitian ini menjelaskan
mempelai perempuan menyerahkan tengepik bahwa dalam upcara adat lampung memiliki
dan barang-barang bawaan/hantaran.Acara yang tradisi arak arakan dalam melaksanakan
tidak tertinggal adalah upacara adat dalam adat pernikahan adatnya. Masyarakat setempat selalu
pepadun dalam pernikahan. Acara yang digelar mengadakan upacara tesebut berdasarkan turun
adalah dengan menyiapkan hewan sapi untuk temurun budaya yang telah lahir dilingkungan
menjadi tanda sebagai hewan kurban yang akan adat Lampung. sebuah pernikahan dalam adat
diolah sebagai makanan dalam upacara Lampung wanita yang menentukan berapa
pernikahan adat pepadun. Kemudian diadakan mahar dan apa saja yang harus disanggupi oleh
acara tujuh hari tujuh malam dalam pernikahan pihak lelaki. Setiap keluarga wanita memiliki
untuk mempersatukan calon mempelai Pria dan standar untuk menentukan apa yang harus
Wanita yang akan menikah. Acara adat pepadun diberikan lelaki kepada calon istri dalam tukar
selalu diselingi dengan tarian adat lampung, yaitu cicin maupun disaat menikah. Adat ini me-
tarian siger pengunten sebagai awal pembukaan ngibaratkan bahwa pernikahan adat lampung
acara pernikahan. dilakukan sebagai tradisi raja dan khatu yang ada
Bukan hanya sapi namun hewan ternak yang di Lampung.
menjadi ciri khas perkawinan adat pepadun di Terkait budaya pernikahan pepadun di
masyrakat Lampung Utara, yaitu kerbau sebagai Lampung Utara, penelitian sebelumnya pernah
hewan seserahan dari pihak mempelai pria. dilakukan oleh Roveneldo (2011) terkait proses
Namun sebelum acara pemberian hewan kerbau nudaya perkawinan Lampung sebagai bentuk
sebagai hewan sesrahan adat pepadun dalam pelestarian bahasa Lampung. Dalam penelitian
pernikahan dilaksanakan yang namanya nyiok. tersebut yang dilihat lebih kepada pernikahan
Budaya ini merupakan budaya yang ada didalam Lampung secara adat. Untuk meningkatkan dan
pernikahan adat pepadun masyrakat Lampung melestarikan budaya Lampung agar tidak hilang
Utara. Mempelai pria melakukan nyirok yaitu dari tanah kelahiran. Dalam penelitian sebe-
mengikat mempelai gadis Lampung pepadun, lumnya dijelaskan bahwa perlu ditingkatkan
budaya yang berikutnya dalam pernikahan kedasaran mulai dari pemerintah Provinsi
masyarakat adat lampung pepadun yaitu Lampung untuk membuat peraturan dalam
tengepik mempelai lelaki membawa barang meningkatkan dan melestarikan budaya perni-
bawaan kepada keluarga perempuan. Setelah itu kahan Lampung. Pernikahan tidak hanya
ibu kandung dari calon mempelai laki-laki dilestarikan di lingkungan masyarakat, namun
memasangkan cincin, pehiasan dan tapis kepada pemerintah dapat mendukung dan memberikan
calon menantunya. Setelah pemasangan cincin, pengetahuan kepada semua masyarakat Lam-
perhiasan dan tapis oleh ibu kandung dari calon pung untuk tetap mempertahankan budaya
mempelai laki-laki kepada calon mempelai pernikahan adat Lampung dan tidak mening-
perempuan bahwa, anak gadis mereka sudah galkan bahasa Lampung sebagai bahasa daerah.
memiliki ikatan dengan seorang laki-laki Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Firdha
pilihannya dan di setujui oleh keluarganya. Razak (2018) yang melakukan penelitian me-
Seperti penelitian sebelumnya mengenai ngenai Tradisi Sebambangan Masyarakat
Ngakuk Maju pada perkawinan masyarakat adat Lampung Pepadun dalam Prespektif Islam.
lampung pepadun di kampong karta tulang Penelitian ini menjelaskan bahwa masyarakat
bawang oleh Putri, Iskandar & Basri (4:2018) Lampung menunjung tinggi adat pernikahan
dalam penelitian ini menjelaskan bahwa ngakuk secara agama islam. Sebambangan merupakan
maju yang dilaksanakan oleh masyarakat budaya pernikahan Lampung yaitu larian dalam
Lampung khususnya Tulang Bawang, pernikahan arti pihak laki-laki membawa perempuan
pepadun memilih ngakuk maju, yaitu kese- langsung bertemu dengan pihak laki-laki untuk
62 | P a g e
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

segera melangsungkan pernikahan tanpa ada toupang tawi, musek, begawi dan menjau kawin.
pertentangan antara kedua mempelai. Dalam Nilai-nilai kearifan lokal dalam prosesi inilah yang
sembambangan pihak laki-laki dan perempuan berkaitan dalam pengembangan budaya kewar-
yang terpenting tidak boleh melanggar ajaran ganegaraan dan budaya lokal pepadun di
agama islam dan tidak melanggar adat Lampung utara. Yang bisa dijadikan pegangan
sebambangan Lampung. dalam rujukan tingkah laku sebagai warga
Terkait penelitian sebelumnya yang dijelaskan negara menuju warga negara yang baik. Dalam
diatas, tujuan penelitian ini adalah penulis tertarik acara prosesi perkawinan nilai-nilai yang terkan-
untuk menulis dan mencoba memperkenalkan dung untuk menjadikan masyarakat ataupun
sebuah pernikahan adat pepadun yang ada di warga negara kearah yang lebih baik yaitu
Lampung tepatnya di Lampung Utara. Artikel ini adanya nilai gotong royong, nilai kebersamaan,
ditulis dengan berbagai acuan tentang bahan nilai religius, nilai sosial, nilai kekeluargaan, dan
bahan pustaka mengenai sebuah budaya turun nilai mufakat. Bekerjasama itu dilaksanakan oleh
temurun adat pepadun dalam melangsungkan seluruh masyarakat sekitar, sanak saudara dan
sebuah pernikahan. muda mudi apabila ada yang mau melang-
Dalam artikel ini penulis menjelaskan sebuah sungkan perkawinan. Kegiatan bekerjasama ini
budaya pernikahan yang memiliki ciri khas dilakukan untuk menyiapkan segala macam
berbeda yang dimiliki suatu dareah yang ada di kebutuhan tempat maupun makanannya. Jadi,
Indonesia khususnya di Provinsi Lampung. disitu dapat menjadikan kita sebagai masyarakat
Pernihan di Lampung sendiri selalu menguta- yang memiliki sikap kemampuan bekerjasama,
makan sebuah adat yang telah lahir sejak lama tanggung jawab, berjiwa sosial dan sebagai
dan yang masih diwariskan oleh masyarakat warganegara yang baik. Adat pepadun Lampung
pepadun di Lampung. Penulis tertarik untuk Utara selalu menjaga kearifan lokal nilai
menulis artikel penelitian mengenai Melestarikan pernikahan yang tidak bisa ditinggalkan dalam
Budaya Pernikahan Pepadun di Masyarakat pernikahan.
Lampung Utara. Masalah yang akan diangkat
dalam penulisan artikel ini mengenai awal mula 2. Prosesi Kearifan Lokal Pernikahan Adat
pernikahan adat pepadun, budaya pernikahan Lampung Pepadun Sebagai Budaya
pepadun dan masyarakat Lampung Utara dalam Lampung Utara
menjaga, melestarikan budaya pernikahan
pepadun. Proses kearifan lokal dalam adat pepadun di
Lampung Utara, yaitu kedua pengantin kepada
B. METODE PENELITIAN kedua orang tua untuk meinta maaf dan meminta
restu dalam pernikahan adat. Pernikahan

P
enyusunan artikel ini dilakukan dengan merupakan aturan Agama yang sudah menjadi
menggunakan metode library research. sebuah aturah hukum agam yang telah diridhoi
Pengumpulan data penelitian dengan Allah.serta menjadikan keluarga mereka keluarga
metode library research dilakukan dengan yang sakinah, mawadah dan warohmah. Setelah
memanfaatkan sumber dan bahan kepustakaan. bersimpuh kepada kedua orang tua selanjutnya
Metode ini tidak dilakukan melalui penelitian menyalami keluarga, sanak saudara para
lapangan karena batasan kegiatannya hanya penyimbang dan tamu yang hadir di acara ijab
berhubungan dengan bahan-bahan koleksi kobul. Dengan tujuan berharap agar berkah yang
perpustakaan maupun bahan artikel jurnal yang didapat pengantin nantinya berlipat ganda. Dan
dikaji sesuai dengan apa yang diangkat dalam sabai kedua belah pihak, para penyimbang
sebuah artikel penulis (Zed, 2008). Pada bersalam-salam juga, hal ini dimaksudkan bahwa
penelitian ini, analisis data yang digunakan, yaitu di antara mereka telah terjalin ikatan persau-
melakukan studi literatur dan mengumpulkan daraan dan saling memaafkan atas segala
data. Kemudian dilakukan pengolahan data untuk kekurangan dan kesalahan. Prosesi selanjutnya
mempermudah dalam menganalisis data pada ketua penyimbang memberikan nasihat-nasihat
studi literatur. perkawinan dan diakhiri toupang tawi yaitu
mengoleskan ketelapak tangan pengantin de-
ngan tepung beras tiga warna yaitu warna putih,
C. HASIL DAN PEMBAHASAN merah dan hijau. Diikuti setelah ketua penyim-
1. Budaya Pernikahan Adat Lampung bang adalah orang tua dari kedua pengantin dan
menaburkan beras yang telah dihaluskan dengan

D
alam seluruh prosesi perkawinan adat dicampur bunga tujuh warna dikepala pengantin
Lampung pepadun seperti: cakak sai tuha, sebanyak tiga kali. Makna dari toupang tawi ini
intar padang, meradui dau, kampung sebagai penawar segala marabahaya dan
suku, cangget muli meranai dan cangget setuha, menaburkan beras di campur bunga tujuh warna
akad nikah, bersimpuh kepada orang tua, bermakna segara restu orang tua, segala doa
63 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020 ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

terbaik agar sepasang suami istri ini menjadi menciptakan budaya satu keluarga yang berbeda
keluarga sakinah, mawadah dan warohmah. dan mampu menciptakan suasana baru dalam
Segera di berikan keturunan yang sholeh dan kehidupan berkeluarga. Anak merupakan
sholehah. Selesai toupang tawi dilaksanakan, generasi yang akan diwariskan budaya adat
maka acara adat selanjutnya, yaitu musek (suap- pernikahan dari setiap suku maupun
suapan) para sesepuh atau orang yang dituakan pengetahuan dan pendidikan.
dalam kampung tesebut menyuapkan makanan Menurut Issa, A (2012:7) budaya pernikahan
kepada pengantin. di kota Zanzibar berbeda dengan pernikahan
Bila dilihat dari sebuah acara adat dan adat lainnya. Di Kota Zanzibar pernikahan
budaya pernikahan Lampung Pepadun bahwa adatnya merupakan pernikahan adat yang
masyarakat Lampung utara terlebih dahulu mengharuskan dan menerima orang imigran
melaksanakan aturan-aturan adat yang sudah yang tinggal di daerah tersebut. Hal ini dilakukan
menjadi tradisi daerah tersebut. Adat istiadat itu untuk menambah wawasan antara masyaralat
sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan Zanzibar dengan perbedaan masyarakat luar
hukum adat yang berlaku sehingga, masyara- yang tidak tingal di Zanzibar. Budaya pernikahan
katnya menjadikan pegangan hidup maupun tersebut berdasarkan norma kehidupan yang
panutan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai meningkatkan pengetahuan setiap masyarakat.
kompleks norma-norma dan nilai-nilai seperti: Menurut Roche & Hohmann (2011:10)
norma agama, norma sosial, nilai moral, nilai pernikahan merupakan sebuah persatuan dari
musyawarah, tanggung jawab, silaturahmi, kaum laki-laki dan perempuan. Pernikahan
kekeluargaan dan nilai budaya pada upacara memiliki perbedaan dari sebuah budaya. Namun
perkawinan adat Lampung Utara sebagai adat budaya yang muncul adalah pernikahan yang
istiadat dapat dipilih sebagai ciri yang tidak boleh meninggalkan sebuah budaya yang
membedakan suku Lampung pepadun dengan sudah terlahir dalam masyarakat. Pernikahan
suku-suku yang lainnya. Secara keseluruhan yang harus dilaksanakan sesuai aturan hukum
upacara perkawinan adat Pepadun ini berbeda adat dan hukum negara. Hukum adat pernikahan
dengan upacara perkawinan adat suku jawa atau biasanya menjunjung tinggi budaya pernikahan
suku lainnya, meskipun dalam hal-hal tertentu yang tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan
terdapat beberapa persamaan. setiap masyarakat seperti upacara adat,
Menurut Alimi, M,Y (2014:20) perkembangan pertemuan dengan pihak keluarga dan saling
budaya dalam sebuah pernikahan disuatu negara menanyakan persiapan yang harus disiapkan
berbeda. Seperti pernikahan dalam budaya dan dalam upacara adat pernikahan.
adat di Indonesia memiliki keragaman yang Zamzami (2016:7) berpendapat bahwa suatu
berbeda dari setiap masyarakatnya.Seperti di budaya merupakan warisan pada zaman dulu,
Sulawesi selalu menjaga pernikahan sesuai setiap wilayah maupun daeran memiliki cirri khas
agama dan suku. Terutama seperti agama masing-masing. Dilingkungan masyarakat harus
muslim di Sulawesi yang selalu menyeleng- dapat menjega dengan baik serta mampu
garakan pernikahan sesuai adat Sulawesi dan melestarikan suatu budaya yang belum
ajaran agama islam. Orang bugis Sulawesi sepenuhnya paham. Budaya dari setiap daerah
dalam melaksanakan pernikahan yang paling memiliki ciri khas tersendiri yang akan
utama adalah keagamaan masyarakat islam membedakan antara budaya daerah satu dengan
yang tidak boleh ditinggalkan. Seperti membaca budaya daerah lainnya.
surat Al-Quran, menikah dengan agama islam,
dan mengajarkan hidup bersosial. Begitu juga 3. Nilai Kearifan Lokal Pernikahan Budaya
seperti adat pepadun yang mengajarkan budaya Lampung Pepadun
pernikahan dalam adat sosial budaya untuk
dilestarikan bukan untuk ditinggalkan. Kearifan lokal merupakan unsur bagian dari
Pernikahan adat yang tidak bisa ditinggalkan tradisi-tradisi budaya masyarakat suatu bangsa,
merupakan wujud pernikahan adat yang sudah yang muncul menjadi bagian-bagian pada
menjadi budaya turun temurun setiap tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan
masyarakat. Budaya pernikahan tidak bisa (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan
ditinggalkan karena sudah mendarah daging sebuah bangsa. Oleh sebab itu kearifan lokal
dalam kehidupan masyarakat. Menurut Karen tidaklah sama pada tempat dan waktu yang
Fernandez, Veer,E & Lastovicka, J (2011:15) berbeda dan suku yang berbeda juga.
menurut pandangan pernikahan merupakan Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam
wujud membentuk rumah tangga yang mampu dan kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai
menciptakan budaya baru sebagai perbedaan sistem pengetahuan baik yang berhubungan
budaya. Namun budaya yang dimaksud yaitu dengan lingkungan maupun sosial.
budaya keluarga yang sudah melekat dalam Kearifan lokal yang harus dijaga dalam
kehidupan. Budaya pernikahan bersama sama sebuah budaya adat pernikahan, yaitu ajaran
64 | P a g e
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

terdahulu yang tidak bisa ditinggalkan. Seperti sebagai persiapan mereka suatu saat untuk
upcara adat dalam adat pernikahan Lampung berperan langsung maupun untuk melaksanakan
Pepadun. Dalam pernikahnnya adat pepadun perkawinan nantinya. Budaya pernikahan yang
mempelai pria datang dan bertemu dengan ada di dalam adat Lampung pepadun tidak
keluarga wanita pepadun untuk menanyakan terlepas dari budaya yang ada dilingkungan
kesanggupan untuk segera dilakukan upacara masyarakat. Budaya ini bukan hanya diajarkan
adat nikah pepadun. Seperti diarak dari bali dalam lingkungan masyarakat. Budaya perni-
pendopo desa hingga dibawa kerumah mempelai kahan adat pepadun adalah warisan turun
wanita. Menurut Eko, B & Putranto, H (2019:20) temurun yang diajarkan oleh kedua orang tua
budaya pernikahan adat masyarakat merupakan kepada setiap anak. Dalam kegiatan adat seperti
budaya pernikahan yang membangun adat ngulom adatdan kampung suku terdapat nilai-
toleransi agama. Agama yang dianut tidak bisa nilai yang dalam pengembangan budaya
ditinggalkan seperti pernikahan yang mengha- kewarganegaraan dan budaya kerifan lokal yaitu
ruskan pernikahan satu agama. Tujuannya adanya nilai musyawarah mufakat, solidaritas,
karena dengan meningkatkan dan menjelaskan kekeluargaan, tanggung jawab dan nilai sosial.
pernikahan sesuai dengan syariat agama tidak Orang tua harus memberikan nasihat untuk
akan memudarkan toleransi budaya dalam suatu menjaga perilaku dan menjunjung tinggi adat
pernikahan baik secara lokal maupun secara istiadatnya. Adat istiadat dalam pernikahan
nasional. pepadun adalah sebagai mana orang tua
Menurut Elkink, Farrel, Reidy & Suiter mengajarkan budaya pernikahan yang men-
(2015:15) budaya pernikahan harus mening- junjung tinggi nilai tanggung jawab seorang
katkan dan mejaga kearifan nilai lokal. suami kepada istri, kemudian istri harus menjaga
Pernikahan tidak hanya melakukan pernikahn suami dengan baik, di dalam adat Lampung
yang besar, namun dalam sebuah pernikahan Pepadun anak tuha merupakan warisan bagi
harus menjaga nilai kearifan lokal yag tidak bisa anak lelaki yang harus menjaga rumah dan
luntur dari masyarakat. Pemerintah diharuskan kedua orang tua yang tidak boleh ditinggalkan.
memiliki peraturan untuk menjaga kearifan Adat ini sudah menjadi kebiasaan adat pepadun
budaya pernikahan adat dalam masyarakat. khususnya Lampung Utara.
Pemerintah harus bisa menjaga keutuhan adat Bahwa nilai-nilai kearifan lokal pada
pernikahan yang dimilki masyarakat, budaya perkawinan adat penting bagi pengembangan
lokal dalam pernikahan mencipatkan keutuhan budaya kearifan lokal dalam adat pepadun
nilai kearifan lokal yang tidak dapat ditinggalkan menjelang pernikahan. Masyarakat pepadun
oleh masyarakat. Seperti pernikahan adat tidak bisa begitu saja melepas dan meninggalkan
pepadun yang tidak akan melepas budaya adat budaya yang telah lahir sejak nenek moyang
pernikahan lokal yang masyarakat miliki. Menurut mereka. Berlangsung secara alami dan turun
Ding (2018:10) budaya kearifan dan nilai lokal temurun seiring dengan pelestarian nilai-nilai
dalam suatu pernikahan adalah bentuk syukur budaya dan kearifan lokal itu sendiri. Dalam
yang telah diwariskan oleh generasi sebelum prosesi upacara perkawinan adat Lampung
masyarakat yang sekarang lahir. Seperti di pepadun seperti: cakak sai tuha, intar padang,
Tiongkok pernikahan yang menjaga kearifan nilai meradui dau, kampung suku, cangget muli
lokal, yaitu mempertahankan pernikahan dengan meranai dan cangget setuha, akad nikah,
pribumi asli Tiongkok yang tidak boleh diting- bersimpuh kepada orang tua, toupang tawi,
galkan maupun dilupakan. Adat ini untuk begawi dan menjau kawin. Banyak terdapat
membangun budaya yang telah diwariskan oleh petuah atau pesan bagaimana hidup beradat,
leluhur mereka pada setiap masyarakat berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara
Tiongkok. Jadi pribumi asli Tiongkok melakukan bagi kedua calon pengantin dan seluruh
pernikahan dengan asli pribumi Tiongkok untuk masyarakat yang datang. Tentunya hal ini akan
menjaga kearifan nilai budaya lokal yang telah berpengaruh terhadap seberapa kuat masyarakat
lahir sejak leluhur mereka. disana dalam mewariskan budaya dan kearifan
Kebudayaan dan kearifan lokal penting bagi lokal.
pengembangan budaya dan kebudayan nilai
kearifan lokal. Walaupun tidak semua
masyarakat mengetahui sepenuhnya tentang a. Budaya Masyarakat dan Pernikahan
budaya lokal pernikahan. Pengembangan Pepadun Lampung
tersebut terjadi secara alami seiring dengan
proses penanaman budaya dan kearifan lokal Dalam perkawinan Lampung pepadun. kebu-
pada generasi penerusnya. Prosesi upacara dayaan mencakupi segala bidang kehidupan
perkawinan adat berlangsung untuk memberikan manusia, dan juga adat istiadat. Untuk
pengetahuan dan makna dari serangkaian memahami kebudayaan Lampung dan nilai-nilai
kegiatan tersebut kepada generasi berikutnya, budaya yang terkandung pada prosesi adat
65 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020 ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

perkawinan Lampung pepadun menjadi cerminan Nilai budaya merupakan tingkat paling tinggi
dari budaya regilius, nilai gotong royong sesama dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal ini
masyarakat, nilai musyawarah mufakat, nilai disebabkan karena nilai budaya merupakan
sosial budaya. konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam
1) Nilai religius ini terlihat dari sebagian besar pikiran sebagian masyarakat yang mereka
masyarakat Lampung pepadun adalah anggap bernilai, berharga, dan penting dalam
agama islam, nilai-nilai islam itu banyak hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu
mempengaruhi nilai budaya, termasuk nilai- pedoman yang memberi arah dan orientasi pada
nilai dalam adat perkawinan Lampung kehidupan para masyarakat. Menurut Darakchi
pepadun. Dimana dalam nilai religious (2019:16) perkembangan budaya pernikahan
sebelum pernikahan membacakan ayat suci tidak bisa ditinggalkan dalam bentuk budaya
Al-Quran bacaan sebelum dan seduah akad masyaralat sekitar. Dalam pandangannya seperti
nikah dalam masyarakat adat pernikahan pernikahan masyarakat di Pomka Bulgaria yang
pepadun. menjaga pernikahan sesuai aturan ajaran
muslim. Mereka menjaga ajaran budaya muslim
2) Nilai gotong royong sesama masyarakat pernikahan seperti melihat budaya pernikahan
yang terdapat dalam perkawinan adat Indonesia yang selalu diatur dalam pearturan
Lampung pepadun adalah cakak sai tuha, pernikahan negara Indonesia bukan karena
intar padang, dan kampung suku. Disini hukum pernikahan saja melainkan karena ajaran
sanak keluarga, para tetangga berkumpul agam islam yang dianut umat muslim.
bekerjasama untuk membantu melancarkan Sedangkan adat istiadat adalah tata kelakuan
acara perkawinan adat ini. Karena secara yang kekal dan turun temurun dari generasi satu
keinginan sendiri sanak keluarga dan para ke generasi lain, sebagai warisan sehingga kuat
tetangga datang membantu jika ada yang integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
mengadakan hajatan. Ini merupakan hal Bila dilihat dari segi geografis, Indonesia
yang diajarkan sejak dahulu membantu merupakan suatu negara yang sangat kaya akan
sanak keluarga yang memiliki hajat besar keanekaragaman budaya. Hal ini dikarenakan
dalam pernikahan pepadun di Lampung Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa
Utara. dimana masing-masing suku bangsa tersebut
memiliki perbedaan dan keunikan baik dari segi
bahasa daerah, adat istiadat, kebiasaan dan
3) Nilai musyawarah mufakat acara awal berbagai hal lain yang memperkaya keaneka-
sebelum perkawinan cakak sai tuha. Disini ragaman dari budaya Indonesia itu sendiri.
calon mempelai laki-laki beserta keluarga Manusia dan perkawinan tidak terlepas dari
besar dan rombongan datang ke rumah unsur kebudayaan yang sudah dihayati sepajang
calon mempelai perempuan menyampaikan zaman.Upacara perkawinan adalah moment
niat baik untuk menikah dan membicarakan sakral dalam hidup seseorang dan merubah
kesepakatan hari pernikahan. Selain cakak status seseorang dari lajang menjadi suami atau
sai tuha nilai musyawarah mufakat terlihat istri. Disetiap daerah mempunyai adat istiadat
dalam prosesi acara ngulom adat dan yang berbeda-beda, terutama dalam prosesi
kampung suku. Mengundang para penyim- upacara perkawinan. Menurut Lundh, C
bang dan para tetangga dalam pemben- (2013:20) pernikahan budaya di Swedia sama
tukan panitia pada rencana perkawinan adat halnya dengan pernikahan adat yang dimiliki oleh
yang akan dilaksanakan, semua dilakukan setiap negara. Di Swedia pernikahan menjaga
dengan penuh rasa tanggung jawab keutuhan budaya masyarakat dalam menjaga
bersama-sama. budaya pernikahan sebelumnya. Budaya perni-
kahan adalah wujud syukur kepada Tuhan Yang
4) Nilai sosial budaya yang terlahirkan adalah Maha Esa yang telah mempertemukan adat yang
mengenalkan budaya pernikahan adat berbeda maupun sama untuk dijaga dan
Lampung Pepadun kepada masyarakat di dilestarikan. Pernikahan yang akan mempersa-
Lampung. sosial budaya ini yang akan tukan budaya. Seperti pernikahan adat pepadun
selalu diajarkan kepada setiap anak cucu di lampung Utara. Adat Pepadun tidak akan
dan tidak bisa dilupakan. Adat ini tidak bisa pernah terlepas dari leluhur yang telah
ditinggalkan. Adat pernikahan pepadun mengajarkan pernikahan pepadun untuk selalu
menjadi budaya yang kuat dan selalu dijaga dan dilestarikan. Walau dalam sebuah
dipertahankan oleh masyarakat Lampung pernikahan adat memiliki bentuk upacara yang
Pepadun. berbeda dan upacara adat pernikahan memiliki
serangkaian upacara adat. Menurut Eggebo, H
(2013:10) pernikahan menjaga dan melestarikan
adat adalah wujud dalam menjaga budaya lokal
66 | P a g e
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

adat setempat. Pernikahan bukan mencari nasihat sehingga mencerminkan adat istiadat
kenyamanan saja, namun pernikahan harus Lampung.
dijaga dalam bentuk menjaga nilai yang Perkawinan adat Lampung pepadun terdapat
terkandung dalam adat dan budaya masyaralat beberapa nilai budaya pernikahan data pepadun
setempat. Pernikahan pepadun menjaga dan yang menjadi suatu pedoman, pegangan,
menjujung nilai dan adat budaya yang tidk bisa peraturan dalam kehidupan sehari-hari yang
ditinggalkan oleh masyarakatnya. Seperti budaya harus ditaati oleh masyarakat Lampung Utara
pernikahan arak-arakan adat pepadun, bermain adat pepadun yang telah diturunkan secara turun
pantun lampung, dan menyanyikan lagu adat temurun dari nenek moyang dan dilaksanakan
Lampung dalam suatu upacara adat Lampung dalam prosesi perkawinan adat Lampung
Pepadun. pepadun meliputi: cakak sai tuha (pertemuan
Menurut Antoka, Alman & Solehun budaya keluarga), intar padang (lamaran), ngulom adat
merupakan ciri yang dimiliki oleh setiap daerah (izin kampung), kampung suku (pembentukan
tempat tinggal. Budaya daerah yang mampu panitia), cangget muli meranai (tarian pelepasan
mengingat akan tanah kelahiran. Budaya yang masa lajang), khatam Al-Qur’an, akad nikah,
harus dipupuk dilingkungan masyarakat yaitu bersimpuh kepada orang tua, toupang tawi
saling menjaga warisan budaya setempat yang (penawar segala marabahaya),musek (suap-
sudah ditinggalkan oleh nenek dan kakek suapan), begawi (pemberian gelar adat), dan
moyang bangsa ini. Budaya masyarakat lokal menjau kawin (kunjungan setelah menikah).
dapat terselenggara dengan baik. Seperti budaya Menurut Utomo, reimondos, Mcdonald, & Hull
masyarakat papua. Mereka tinggal dilingkungan (2016:10) pernikahan budaya lokal, yaitu
masyarakat yang mampu menjaga, melestarikan pernikahan budaya orang tua. Pernikahan
dan mempertahankan budaya lokal. Budaya lokal budaya lokal adalah pernikahan yang dimiliki
yang dijaga oleh masyarakat papua yaitu mulai oleh orang tua yang tidak bisa ditinggalkan.
dari pakaian adat, adat pernikahan, sistem Orang tua mengajarkan kepada anaknya bahwa
kekerabatan dan interaksi sosial baik dengan setiap pernikahan merupakan adata istiadat
tetanga maupun teman yang memiliki budaya untuk menjaga warisan budaya pernikahan yang
berbeda. sudah dimiliki baik dari adat yang telah dianut
Dalam sejarah perkembangan manusia, dalam keluarga. Budaya yang lahir adalah
kebudayaan tidak terlepas dari isu identitas yang budaya adat pernikahan yang harus direstui oleh
merupakan pengusung dari kebudayaan. Isu orang tua sesuai dengan adat. Budaya
identitas dipandang sebagai sesuatu yang statis pernikahan dalam adat pepadun setiap orang tua
dan cenderung given. Seiring perkembangan menjelaskan kesanggupan baik dari wanita
jaman di masa modern yang serba kompleks maupun calon suami untuk berdiskusi menganai
maka terjadi pergeseran bahwa identitas lebih adat yang sudah ada dalam lingkungan
bersifat dinamis, yaitu dapat dibentuk, di- masyarakat adat pepadun. Seperti budaya adat
konstruksi, tidak stabil dan dapat dimodifikasi. cannget muli meranai (melepas masa lajang),
Identitas dapat dibentuk oleh ras, etnik, kasta, berserah kepada taoupang orang tua (meminta
latar belakang, gender, hubungan kekerabatan, restu kepada orang tua sebagi penawar
agama bahkan kelas dan semuanya terangkum marabahaya), menjamu kawin (berkunjung
dibawah sebuah kekuasaan atau negara yang setelah pernikahan antara orang tua muli dan
semuanya dapat tergantung dari negara untuk Mekhanai).
mengaktifkannya. Identitas seseorang merupa- Budaya lokal pernikahan adat Lampung
kan sebuah tanda, baik pribadi maupun bagi pepadun, yaitu Pelestarian yang dilakukan
kelompok besarnya menjadi ciri khas membentuk masyarakat Lampung pepadun dalam memperta-
sebuah perilaku (Mardotilah & Zein., 2016: 8). hankan kebudayaan dengan senantisa menjalan-
Kebudayaan yang ada pada perkawinan adat kan segala prosesi upacara perkawinan adat
pepadun Lampung Utara menjadi sebuah tradisi yang menjadi bagian dari budaya itu sendiri.
adat istiadat yang mewujudkan nilai-nilai luhur Pelestarian kearifan lokal akan terjadi dengan
yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. sendirinya ketika masyarakat telah melestarikan
Sehingga ketentuan-ketentuan adat itu diberla- budaya yang ada. Pelestarian budaya juga
kukan oleh masyarakat adat yang menjadikan dilakukan dengan senantiasa menjunjung, dan
pedoman dalam kehidupan untuk mendidik dan melaksanakan adat istiadat yang telah
meningkatkan akhlak orang yang memakainya. diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut
Prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam Hamid, Stephenson & Rubenson (2010:6)
kehidupan sejak dahulu hingga kini dan dimasa budaya pernikahan tidak boleh hilang. Pernika-
yang akan datang. Dalam nilai-nilai budaya han akan menjujung nilai budaya masyarakat
terlihat jelas pada perkawinan adat Lampung yang telah lahir sejak nenk moyang mereka.
pepadun yang mengandung makna, dan nasihat- Dalam sebuah pernikahan wanita akan menjadi
pendamping lelaki yang harus selalu menaati
67 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020 ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

perintah suami sesuai dengan ajaran agama dan dituju sangat beragam, karena dalam kegiatan ini
budaya. Pernikahan tidak akan pernah terlepas seluruh masyarakat yang ada di lapau saat itu
dari budaya lokal yang ada dilingkungan dapat berperan dalam kegiatan yang
masyarakat. diselenggarakan (Hasan, Asmawi & Rasul.,
Bahwa upacara pernikahan sesuai dengan 2018:8). Seperti contohnya adat pernikahan
adat adalah tradisi yang telah lahir dan pepadun yang harus dijaga dan dilestarikan
diperkenalkan oleh nenek moyang. Seperti dengan baik oleh masyarakat Lampung.budaya
budaya adat pepadun dalam pernikahan pernikahan pepadun merupakan budaya yang
Lampung pepadun di Lampung Utara harus sudah menjadi ciri khas bagi masyarakat
mematuhi segala budaya yang telah ada di pepadun di Lampung utara.
masyarakat. Seperti cakak sai tuha yaitu
pertemuan keluarga dari pihak lelaki bertemu D. KESIMPULAN
dengan pihak wanita beserta penyeimbang yaitu

B
tokoh adat pepadun. Budaya pepadun berikutnya erdasarkan dari hasil penelitian yang telah
yaitu intar pandang pertunangan atau lamaran penulis uraikan pada pembahasan sebe-
yang dilakukan pria kepada wanita, ngulom adat lumnya, maka secara umum dapat
yaitu ijin kampong yang dilakukan oleh pihak disimpulkan bahwasannya dalam perkawinan
lelaki dan perempuan untuk ijin melakukan adat pepadun di Lampung Utara yang dianggap
upcara adat sesuai yang dimiliki masyarakat sebagai prinsip kehidupan berupa pedoman,
pepadun, kampong suku membentuk panitia pegangan ,peraturan yang harus diataati oleh
upacara adat dan panitia pernikahan, cangget masyarakatnya, sehingga adat istiadat tersebut
muli meranai dan cangget setuha, yaitu dijunjung tinggi oleh masyarakat adat sebagai
pelepasan masa lanjang pria dan wanita sebuah siklus dalam kehidupan berumah tangga,
dengantarian adat Lampung, muli-meranai bermasyarakat dan bernegara. Dalam perkawi-
mempererat bujang gadis di masyarakt untuk nan adat Lampung pepadun terdapat nilai-nilai
saling membantu, cangget muli-meranai budaya pernikahan yang tidak bisa ditinggalkan
mengajak calon pengantin untuk menari yaitu: nilai religius, nilai gotong royong sesam
bersama. masyarakat, nilai budaya, nilai musyawarah
Sejalan dengan proses pelestarian budaya mufakat, nilai kekeluargaan, Pengembangan
dan kearifan lokal yang ada pada adat Lampung. budaya pernikahan adat lampung pepadun
Pengembangan budaya ni berjalan secara alami berjalan secara langsung dan alami dalam ruang
seiring dengan tanggung jawab orang tua, tokoh lingkup informal dan non formal. Budaya adat
adat dalam memotivasi, membentuk, menga- Lampung Pepadun diajarkan kepada setiap
rahkan dan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal generasi muda yang ada di Lampung Khusus
pada generasi muda. Pendidikan dalam keluarga nya bagi masyarakat Lampung Utara.
berlangsung dengan rasa tanggung jawab orang Pernikahan secara adat pepadun di Lampung
tua untuk memberikan pengetahuan terkait nilai- Utara tidak akan pernah ditinggalkan oleh
nilai kearifan lokal pada perkawinan adat masyarakatnya. Adat ini menjadi pernikahan adat
pepadun di Lampung Utara. Penjelasan makna yang selalu dijaga dan dilestarikan dengan baik
ataupun pesan yang terdapat dalam proses hingga penerus berikutnya.
pengembangan budaya pernikahan adat pepa-
dun. Selain itu dalam prosesi perkawinan adat E. UCAPAN TERIMAKASIH
banyak terdapat nilai-nilai seperti nilai religius,

T
nilai gotong royong, nilai cinta tanah air, nilai erimakasih penulis sampaikan kepada Eny
tradisi, nilai sosial, nilai tanggung jawab, nilai Kusdarini atas masukan dan arahan yang
toleransi, sikap silaturahmi, sikap musyawarah. telah diberikan. Selain itu kepada Program
Pernikahan adat pepadun di Lampung Utara Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
merupakan bentuk dan contoh pelesatarian yang telah mendukung artikel ini sepenuhnya
pernikahan adat yang tidak dapat ditinggalkan dan pengalaman belajar yang menyenangkan
oleh masyarakat Lampung Utara. dan penuh motivasi sehingga penulis terinspirasi
Adapun upaya yang dilakukan untuk untuk menulis artikel ini.
menjangkau masyarakat secara keseluruhan
untuk menimbulkan motivasi dan meningkatkan
kesadaran untuk menggunakan hak politiknya
adalah dengan melakukan sosialisasi dengan
mengedepankan pendekatan budaya. Untuk
mengukur efek komunikasi yang dilakukan
melalui kegitan sosialisasi ‘Ciloteh Lapau’ maka
perlu dilihat kembali, apabila audience yang

68 | P a g e
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020
ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

DAFTAR PUSTAKA

Alimi, M, Y. (2014). Islam as Drama: Wedding Rites and theTheatricality of Islam in South Sulawesi.
The Asia Pacific Journal of Anthropology, 15:3, 265-285, DOI:
10.1080/14442213.2014.915875.
Anakotta, R, Alman & Solehun. (2019). Akulturasi Masyarakat Lokal Dan Pendatang Di Papua
Barat.Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya - Vol. 21 No. 01 (June
2019).,Https://Doi.Org/10.25077/ Jantro.V21.N1.P29-37.2019.
Aryani, F.(2018). Sastra Lampung. Garha Ilmu: Yogyakarta.
Cardon, P.(2016). Community, Culture,And Affordances InSocial Collaboration AndCommunication.
International Journal Of Business Communication 2016, Vol. 53(2) 141– 147. Doi:
10.1177/2329488416635892.
Darakchi, S. (2019). Muslim Marriages: Intergenerational Differencesin the Notions of Marriage among
the BulgarianPomaks. Journal Marriage & Family Review, 55:8, 778-799,DOI:
10.1080/01494929.2019.1610137.
Ding, M. (2018). Security matters in marriage: Uyghurs’perceptions of security in Xinjiang, China.
Journal Central Asian Survey, 37:1, 85-99, DOI: 10.1080/02634937.2017.1338247.
Eko, B& Putranto, H. (2019). The Role of Intercultural Competence and LocalWisdom in Building
Intercultural and InterreligiousTolerance.Journal ofIntercultural Communication Research,
DOI: 10.1080/17475759.2019.1639535.
Eggebø, H. (2013). A Real Marriage? Applying for Marriage Migration to Norway.Journal of Ethnic and
Migration Studies, 2013Vol. 39, No. 5, 773_789, http://dx.doi.org/
10.1080/1369183X.2013.756678.
Elkink, J, Farrell,D , Reidy,T & Suiter,J. (2017). Understanding the 2015 marriage referendumin
Ireland: context, campaign, and conservativeIreland.Journal Irish Political Studies, 32:3,
361-381, DOI: 10.1080/07907184.2016.1197209.
Erica, W,C(eds).(2013).Indigenous MediaIn Mexico: Culture, Community And TheState.University
Press: Duke, Durham, Nc. , Xvii+265 Pp.ISBN 9 7808 2235 5007.
Fernandez, Veer,E & Lastovicka, J. (2011). The golden ties that bind: boundarycrossing in diasporic
Hindu weddingritual. Journal Consumption Markets & Culture,14:3, 245-265.
Hamid, Stephensonand Rubenson.(2011). Marriage decision making, spousal communication, and
reproductive health among married youth in Pakistan.Journal strudy Pakistan DOI:
10.3402/gha.v4i0.5079.
Hasan, W, Asmawi &Rasul,N. (2018). Komunikasi Budaya Dalam Meningkatkan Partisipasi PemilihDi
Kota Pariaman.Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. December 2018, Vol. 20 (2):
179-189., ISSN. 1410-8356., Doi: 10.25077/Jantro.V20.N2.P179-189.2018.
Issa, A.( 2012). Wedding ceremonies and cultural exchange in anIndian Ocean port city: the case of
Zanzibar Town. Journal Social Dynamics, 38:3, 467-478, DOI:10.1080/
02533952.2012.756720.
Lundh, C. (2013). The Geography of Marriage.Journal Scandinavian Journal ofHistory, 38:3, 318-343,
DOI: 10.1080/03468755.2013.804003.
Mardotillah,M & Zein, D, M. (2016). Silat: Identitas Budaya, Pendidikan, Seni Bela Diri,
DanPemeliharaan Kesehatan. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Desember 2016
Vol. 18 (2): 121-133., ISSN. 1410-8356.,
Rochea, Sand Hohmann, S. (2011). Wedding rituals and the struggle over national identities. Journal
Central Asian Survey. Vol. 30, No. 1, March 2011, 113–128.
Revelnedo. (2017). Prosesi Perkawainan Lampung Pepadun Sebagai Bentuk Pelestarian Bahasa
Lampung. Jurnal Kajian Bahasa. doi: https://doi.org/10.26499/rnh.v6i2.265
Sabaruddin Sa. (2012). Lampung Pepadun dan saibati/ Pesisir. Buletin Waylima Manjau: Jakarta.
Sulaksono, E (eds). 2013. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Pusat Studi dan
Kajian Kebudayaan Jawa.Universitas Atmajaya.: Yogyakarta Press.
Tumanggor, S. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: PrenadamediaGroup, 2015
Utomo, Reimondos, Utomo, McDonald & Hull. (2016). Transition into marriage inGreater Jakarta:
Courtship, parental influence, andself-choice marriage. Journal South East Asia
Research2016, Vol. 24(4) 492–509SOAS 2016Reprints and permission:sagepub.co.uk/
journals Permissions.nav DOI: 10.1177/0967828X16674134.
Zamzami, L. (2016).Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat NelayanDalam
Melestarikan Wisata Bahari.Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2016 Vol. 18
(1): 57-67., ISSN 1410-8356.

69 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p60-69.2020 ROY KEMBAR HABIBI, ENY KUSDARINI
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

TEONG NEGERI: SENTRALITAS FOLKLORE NAMA LOKAL KOMUNITAS


DALAM JEJARING SOSIO-KULTURAL ISLAM-KRISTEN DI MALUKU
1* 2
Revaldo Pravasta Julian MB. Salakory ( ), Izak Yohan Matriks Lattu ( )
3
Rama Tulus Pilakoannu ( )
123
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

This article analysis about Teong Negeri has folklore centrality of


Submitted : 08th October, 2019
community local name of Muslim-Christian socio-cultural network in
Review : 21st October, 2019
Maluku. This study is qualitative research. Data were collected through
Accepted : 04th May, 2020
interviews, documentary studies an observation. Methods analysis
Published : 1st June, 2020
employed was descriptive qualitative. In the folklore of the village Wassu
Available Online : June, 2020
of Erihatu Samasuru (Christian), it has pela of the village of Haya
Nakajarimau (Muslim) which means leader (older brother) for his three
KEYWORDS brothers, the village of Hatu Silalou (Christian) and the village of Tehua
Lounusa Amalatu (Muslim). Communal narratives bind and become a link
to give spirit to identity because society listen to local stories about Teong
Teong Negeri; Folklore; Community Local Negeri that have strong meanings, believing in each other. The four
Name; Socio-Cultural Networks villages, in central Maluku, which are Wassu, Haya, Hatu, and Tehua, use
the Teong Negeri symbol as an identity to maintain relations of kinship
CORRESPONDENCE bond. The network that was built was challenged when the religious
communal conflict happened, but the spirit towards the culture was always
unheld. Teong Negeri became a symbol of central identity towards the
traditional village that was able to regulate the socio-cultural system of
*E-mail: 752018010@student.uksw.edu every village in Maluku. not only for every community that has a bond of
brotherhood or ethnicity. However, it becomes a universal symbol when,
as a socio-cultural capital that is able to bridge the community from outside
(buton migrants) based on cross-generation dialogue carried out by early
generations of indigenous Maluku people with Buton migrants (migrants)
in Maluku in order to have knowledge about the relationship harmonious

A. PENDAHULUAN

P
enulis melihat dalam kebudayaan Maluku belanda sehingga bahasa asli di Maluku
setiap negeri memiliki Teong Negeri (nama mengalami kepunahan (Cooley, 1987).
lokal komunitas). Teong Negeri merupa- Namun berbeda dengan keempat negeri yang
kan nama adat atau nama gelar yang diberikan memiliki ikatan kultural yaitu negeri Wassu,
kepada negeri adat di Maluku, pemberian nama Haya, Hatu dan Tehua yang memegang teguh
Teong Negeri biasanya berdasarkan kepada kepada ikatan persaudaraan yang luhur,
kejadian perkara saat negeri tersebut didirikan sehingga kepercayaan (trust) yang dibangun
untuk pertama kalinya. Teong Negeri ini pada masa lampau oleh keempat negeri pela
menggunakan bahasa daerah atau bahasa asli, gandong yang terikat dalam hubungan jejaring
simbol yang secara fisik batu teong (batu sosio-kultural yang begitu kuat. Keempat negeri
pertama tanda membangun negeri) dan baileo tersebut memiliki hal yang unik untuk menjaga
(rumah adat negeri), yang menjadi simbol relasi persaudaraan mereka yaitu dengan
bersejarah dan mengikat setiap masyarakat yang menggunakan pengetahuan mereka tentang
berada di wilayah mereka tinggal bahkan Teong Negeri (nama lokal komunitas) agar
menghubungkan masyarakat di luar wilayah. jejaring sosio-kulutural (pela gandong) terlihat
Akan tetapi makna Teong Negeri dengan kokoh dan tidak tergoyahkan ketika konflik
bertumbuhnya zaman modern simbol identitas ini Agama (Islam-Kristen) di Maluku. semua ini tidak
telah dilupakan dan sebagian dari masyarakat terlepas dari pengetahuan masyarakat (folklore)
Maluku, tidak mengetahui tentang nama adat dari terkhususnya dalam kehidupana keempat negeri,
negeri mereka. menurut Cooley disebabkan oleh pela gandong (Haya, Hatu, Tehua dan Wassu).
pengaruh kekuasaan dari zaman kolonial Keempat negeri ini menggunakan pengetahuan
70 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

mereka sebagai masyarakat lokal tentang bagaimana pengetahuan masyarakat (folklore)


pentingnya primodial bond, serta bagaimana tentang Teong Negeri (nama adat) negeri di
pentingnya makna Teong Negeri untuk menjaga Maluku yang adalah bagian dari pranata budaya
hubungan persaudaraan (pela gandong) pada digunakan masyarakat lokal untuk menjaga
pra sampai pasca-konflik. (jejaring sosio-kultural) pela gandong ketika
Penelitian sebelumnya pada aras Global telah konflik dan membangun rekonsiliasi komunal
bank mengkaji tentang jejaring sosial (sosial pasca konflik agama di Maluku. Celah tersebut
network) misalnya: Fukuyama yang menjelaskan yang akan penulis eksplorasi dalam penelitian
bahwa jejaring sosial dibangun berdasarkan tesis ini. Karena itu, tulisan ini bertujuan melihat
radius kepercayaan masyarakat Cina dan Teong Negeri sentralitas folklore nama lokal
Amerika Latin (Fukuyama, 2014; 2010). Robert komunitas dalam jejaring sosio-kultural Islam-
Putnam yang menegaskan bahwa jejaring sosial Kristen di Maluku. dapat dilihat kekuatan jejaring
memperkuat demokrasi negara demokratis Pela Gandong dari ketiga negeri sehingga ketika
seperti Amerika Serikat (Putnam, 2000). Dalam konflik pada tahun 2001 di Pulau Seram Selatan
konteks Cina, Richard Madsen menjelaskan ketiga negeri yang memiliki hubungan pela
bahwa jejaring sosial berbasis budaya menjadi gandong tidak terjadi konflik. Ketiga negeri ini
kekuatan masyarakat Cina, bahkan ketika saling melindungi satu sama lain. Terbukti salah
dikuasai oleh Partai Komunis yang menolak satu dari ketiga negeri yang memiliki ikatan Pela
demokrasi (Madsen, 2007). Di Indonesia, gandong ini mayoritas Kristen, yaitu negeri Hatu
penelitian tentang jejaring sosial telah dilakukan yang semasa konflik tidak diserang, karena
oleh Najib Azca. Bagi Azca, jejaring sosial negeri ini memiliki kedua pela gandong dari
masyarakat Yogyakarta menjadi kekuatan sosial negeri Islam (Negeri Haya dan Tehua) yang
untuk membangun relasi sosial masyarakat (Mas' secara geografis ketiga negeri pela gandong
oed dan Azca, 2001). Jejaring sosio-kultural juga tersebut berada di daerah yang sama, yaitu di
menjadi kekuatan masyarakat Maluku pasca kecamatan Tehoru. Dengan demikian penulisan
konflik seperti yang diteliti oleh Izak Lattu dalam ini akan mengkaji perihal Teon Negeri yang
tulisannya, “Culture and Christian-Muslim merupakan nama lokal telah mampu menjadi
Dialogue in Moluccas-Indonesia” dalam artikel ini simbol yang mengitegrasi, dan memiliki peran
membahas tentang budaya jejaring yang disebut penting dalam menjaga relasi jejaring sosio-
pela, dapat dilihat pasca-konflik banyak daerah di kultural (pela gandong) pada masa dan pasca
Maluku melaksankan ritual (panas pela) yang konflik Maluku.
berfungsi untuk membuat masyarakat kolektif
mengingat sumpah nenek moyang untuk B. METODE PENELITIAN
mencintai sampai sekarang dan mengantisipasi

J
pertikaian di masa depan; Lattu, 2012: 45-52). enis dan metode penelitian kualitatif
Penelitian terdahulu yang membahas tentang etnografi digunakan untuk memperoleh data
jejaring sosial, dan dalam artikel Lattu sendiri hasil temuan di lapangan secara mendalam
melihat kekuatan jejaring budaya (Pela) untuk berdasarkan pemahaman-pemahaman para
berdialog ketika pasca-konflik. Bakri dalam informan. Data yang diperoleh akan diuraikan
artikelnya yang berjudul Resolusi konflik melalui dengan kata-kata menurut pernyataan informan
pendekatan kearifan lokal pela gandong di Kota dan kemudian akan dianalisis secara ilmiah
Ambon. Dalam tulisanya membahas tentang dengan kata-kata yang melatarbelakangi perilaku
bagaimana kearifan lokal (Pela gandong) informan terkait cara berpikir, berperasaan dan
berperan penting dalam rekonsiliasi konflik bertindak (Creswell, 2010). Penelitian ini akan
agama yang diakibatkan karena adanya unsur dilakukan di pulau haruku negeri Wassu
politisasi (Bakri, 2015). Begitupun Hehanussa (Kristen), dengan pela gandong mereka di pulau
Pela Gandong merupakan model untuk seram negeri Haya (islam), negeri Hatu(kristen)
kehidupan bersama dalam konteks Pluralisme dan negeri Tehua (islam). Penelitian ini, penulis
Agama di Maluku. dalam tulisannya dimana menggunakan beberapa teknik pengumpulan
pemuda agama (muslim) yang mengedepankan data yang akan digunakan, yakni pertama, hasil
Nilai lokal (Pela dan Gandong), sebagai dasar data wawancara merupakan teknik dalam
budaya agar dapat berjejaring dengan saudara mengumpulkan data sehingga dapat dilakukan
mereka di Kristen (Hehanussa, 2009). Berikutnya secara berhadapan dengan informan sehingga
Masringor dan Sugiswati dalam artikelnya yang dapat memperoleh informasi dengan leluasa.
melihat Pela Gandong yang bagian dari pranata Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan haruslah
adat digunakan sebagai sarana penyelesaian pertanyaan yang bersifat terbuka dan tidak
konflik, sehingga dapat mengikat seluruh terstruktur yang dapat membuka pikiran informan
kelompok masyarakat yang terlibat konflik untuk memberikan pendapat (Creswell, 2010:
(Masringor dan Sugiswati, 2017). Berdasarkan 267). Wawancara face to face dilakukan
beberapa penulis terdahulu sedikit memiliki bertujuan sehingga peneliti memperoleh data
perbedaan dalam artikel ini penulis melihat secara langsung dari tangan pertama (Usman

71 | P a g e
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

dan Akbar., 2008). Informan yang akan di pekerjaan yang mempunyai kesamaan (Dundes,
wawancarai ialah para saniri dari keempat negeri 1965 ).
pela gandong (pemimpin dalam stuktur Menurut William Bascom cerita rakyat
pemerintah negeri). Kedua studi dokumenter (folklore) adalah jembatan antara masyarakat
antara lain foto-foto dan yang terkait dengan hasil melek huruf dan non-melek huruf. Dia melihat
penelitian (Creswell, 2010: 270). Ketiga, studi folklore atau cerita rakyat berfungsi untuk
pustaka. Dalam penelitian ini, penulis akan memberikan sanksi dan memvalidasi lembaga
melakukan studi pustaka guna memperoleh Agama, sosial, politik dan ekonomi, sehingga
landasan teori melalui buku, literatur atau catatan dapat memberikan perangkat edukatif dalam
terkait dengan penelitian yang dilakukan. Penulis mentransmisikan dari generasi ke generasi. bagi
akan menganalisa hasil data yang didapatkan Bascom, mitos, legenda, dongeng, peribahasa,
dari hasil wawancara dan datang yang teka-teki, teks balada, lagu lainnya. Seni rakyat,
didapatkan dari lapangan secara sistematis agar tarian rakyat, musik rakyat, kostum rakyat, obat
mudah untuk dimengerti oleh para pembaca. rakyat, adat, kepercayaan merupakan bagian
Dengan demikian, akan hasil analisa akan dikaji terpenting dalam kebudayaan (Dundes, 1965:
berdasarkan emik (Huberman, 2014) masyarakat 25). Menurut Archer Taylor cerita rakyat (folklore)
tentang Teong Negeri begitu penting bagi adalah bahan yang disampaikan oleh tradisi, baik
masyarakat Maluku tengah dalam menjaga dari mulut ke mulut atau oleh kebiasaan dan
jejaring kultural (relasi Islam-Kristen) sewaktu praktik. Ini bisa berupa lagu rakyat, cerita rakyat,
dan sesudah konflik. teka-teki, peribahasa, atau bahan lain yang
disimpan dalam kata-kata. Mungkin alat
tradisional dan benda-benda fisik seperti pagar
C. HASIL DAN PEMBAHASAN atau simpul, roti salib panas, atau telur Paskah;
ornamen tradisional seperti Tembok Troy; atau
1. Folklore Teong Negeri dalam kehidupan simbol tradisional seperti swastika. Ini mungkin
masyarakat prosedur tradisional seperti melempar garam di
atas bahu seseorang atau mengetuk kayu. Ini

D
alam cerita rakyat ketiga negeri Teong mungkin kepercayaan tradisional seperti angga-
Negeri Nakajarimau dari Negeri Haya, pan bahwa penatua baik untuk penyakit mata.
tidak terlepas dari kisah pertarungan Semua ini adalah cerita rakyat (Dundes, 1965:
antara leluhur dari Negeri Haya dengan seekor 34).
naga yang mengganggu ketentraman masya- Menurut pandangan Sims dan Stephens,
rakat. Menurut cerita, leluhur dari Negeri Haya folklore menjangkau kelompok orang yang
dipercaya memiliki kemampuan khusus merubah berbagi hubungan pribadi, nilai, tradisi, keperca-
dirinya menjadi seekor Harimau. Maka dengan yaan dan bentuk pengetahuan lainnya, yang
keperkasaannya kemenangan dimiliki oleh sebagian mendefinisikan mereka sebagai kelom-
leluhur dari Negeri Haya, sehingga dengan pok. folklore merupakan pengetahuan yang di-
kemenangan tersebut masyarakat Haya dapat dapatkan dalam ruang keseharian (informal).
hidup dengan tentram dan damai. Dengan misalnya dalam ritual adat, tindakan yang
demikian, Teong Negeri dari Negeri Haya yaitu diwujudkan dalam keseharian, dan materi. Ini
Nakajarimau; Naka artinya naga dan Jarimau juga merupakan bagian dari perwujudan untuk
artinya harimau, bagi masyarakat adat artinya menciptakan interaksi dalam kehidupan
negeri yang perkasa. Beberarapa literatur masyarakat, berlaku dinamis untuk menciptakan,
tentang folklore antara lain: menurut William komunikasi, dan proses membagikan pengeta-
Thoms folklore merupakan pengetahuan rakyat. huan itu dengan orang lain. folklore adalah tubuh
Secara khusus, cerita rakyat ditransmisikan kepercayaan tradisional, adat, dan ekspresi,
secara lisan misalnya bahasa, teknik berburu, yang diwariskan secara lisan (Sims dan
dan aturan perkawinan adalah upaya Stephens, 2005).
memberikan pengetahuan bagi generasi pene- Sedangkan menurut James Danandjaja
rus, Ada beberapa bentuk cerita rakyat yang sebagai penulis folklor yang berasal dari
dimanifestasikan dan dikomunikasikan hampir Indonesia, dalam pandangannya Danandjaja
secara eksklusif dalam bentuk tertulis sebagai melihat kata folklor memiliki dua akar kata dalam
kebalikan dari bentuk lisan, seperti syair buku pengertiannya yaitu majemuk, sedangkan lore
ayat, marginalia buku, epitaf, dan huruf yaitu sesuatu value (pesan) budaya, yang
tradisional (misalnya, surat berantai). Bagi para diturunkan secara lisan (oral), kepada generasi
folklorist cerita rakyat yang ditransmisikan dari penerus. Menurutnya pertama: folklore Indonesia
individu ke individu, sering kali secara langsung tidak dapat dibatasi dalam ruang yang terbatas
melalui kata atau tindakan, tetapi kadang-kadang (eksklusif), karena Indonesia Negara yang plural
secara tidak langsung. Ciri-ciri pengenal menurut (beragam) dengan semboyan bhineka tunggal
Dundes folk merupakan komunitas yang memiliki ika (satu dalam perbedaan), sehingga ciri-ciri fisik
identitas yang sama misalnya secara fisik tubuh bukan hanya kepada orang yang berkulit putih,
memiliki kulit, rambut, bahasa, agama dan akan tetapi kepada masyarakat yang memiliki ciri
72 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020 Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

fisik berkulit coklat dan hitam yang adalah bagian pengalaman bersama (emosi) sehingga
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia masyarakat terikat satu sama lain (Danandjaja,
(NKRI). Seperti di negeri Hatu awal mula 1994). Dengan demikian penulis melihat berda-
pemberian nama Teong Negeri yaitu Silalou, Sila sarkan kepada Teong Negeri yang adalah
berarti satu benda yang terdiri dari bagian-bagian folklore pengetahuan bagi masyarakat lokal,
yang berbeda ukurannya, Lou berarti terkumpul, selalu dijaga melalui kebiasaan bercerita (tradisi
Silalou artinya berbeda-beda tetapi satu oral), upaya tradisi lisan ini berfungsi sebagai
masyarakat Walaya, akan menjadi kekuatan bentuk pemeliharaan budaya-budaya lokal yang
masyarakat dalam menghadapi tantangan ditransmisikan terhadap generasi muda, agar
apapun dari dalam maupun dari luar. Seperti tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang
tangan dengan 5 jari berbeda tetapi lima jari ini bersifat integrasi masyarakat.
akan bekerja sama dalam satu kepalan tangan
yang kuat. sedangkan di Negeri Tehua ketika
berkumpulnya Marga antara lain Sialana, Mutuu, 2. Teong Negeri sebagai Jejaring Sosio-
Selano dan Latan, Kumkelo, Latua (Latue), Kultural
Hayoto (Tumio) Sehingga terhimpun sebagai Jaringan sosial adalah jaringan ikatan sosial
satu kesatuan masyarakat adat Negeri Tehua. yang mengelilingi seseorang. Analisis jejaring
Dengan kehadiran soa-soa (kumpulan marga) sosial dikembangkan dalam bidang antropologi
tersebut, maka mulailah mereka hidup bersama, dan sosiologi sebagai tanggapan terhadap
bermusyawarahlah untuk menetukan soa pengamatan bahwa hubungan yang dipelihara
(marga) Ulayo sebagai orang pertama (Tuan orang tidak selalu dijelaskan dengan pola
Tanah) di Lounusa Yamano. soa Ulayo kekerabatan atau keanggotaan dalam kelompok
memegang tongkat pemerintahan yang pertama. atau kelas sosial tertentu. Menurut Agusyanto
Dengan demikian nama Teong Negeri dari negeri jaringan sosial begitu penting karena mampu
Tehua yaitu Lounusa Amalatu artinya pulau membantu manusia agar dapat berelasi dengan
berkumpulnya para Latu (Raja). Bagi Danandjaja semua manusia. Sehingga manusia bukan
Folklor berbeda dengan disiplin keilmuan lain hanya berelasi dengan sesamanya (kelompok)
menurutnya Folklor merupakan ilmu pengeta- saja, akan tetapi dengan orang di luar kelompok
huan masyarakat lokal yang memiliki adat mereka. Baginya pengalaman setiap individu
istiadat yang proses pengajaran melalui cara serta kebutuhannya dapat membuat manusia
bercerita, nilai budaya (value) disampaikan dari mampu berinteraksi dengan orang dari luar
generasi awal (orang tua) kepada generasi dirinya (Agusyanto, 1995: 1 ). Robert Lawang
penerus (keturunan) antara lain Folklor yang mencoba menjelaskan makna jejaring dalam
bersifat fisik simbol, suatu gerakan tradisional, modal sosial, merupakan ikatan pertalian antara
tarian adat budaya yang menjadi alat pengingat individu atau kolektif masyarakat dalam sistem
(Mnemonic Device). Bagi negeri Wassu yang kepercayaan (Trust), yang saling menghubung-
merupakan Pela Gandong dari Ketiga Negeri Di kan membentuk hubungan sosial dalam
Pulau Seram Haya, Hatu, Tehua. Berdasarkan mengupayakan satu rasa bersama, sehungga
sejarah awal masyarakat negeri ini merupakan saling memperdulikan antar sesama, dengan
kumpulan masyarakat yang berdiaspora dari demikian jejaring yang terikat begitu kuat dan
Pulau Seram menuju ke Pulau Haruku. Maka tidak mudah putus, disintegrasi apabila mengha-
terlihat dari nama negeri tersebut di berinama dapi sebuah masalah. Jejaring tidaklah
“Erihatu Samasuru” yang artinya: Weri (alang- mementingkan diri sendiri, melainkan kepenti-
alang) Hatui (batu). Nama Erihatu dilihat ngan masyarakat bersama, jejaring dalam sosial
berdasarkan geografis, sedangkan Samasuru capital memiliki unsur menjaga dan menjemba-
artinya negeri yang berasal dari Nunusaku. tani seluruh masyarakat agar kepercayaan terus
Nama Samasuru dilihat berdasarkan asal-usul kuat Dari beberapa literasi tentang jejaring
setiap masyarakat yang berasal dari Nusa Ina penulis melihat bahwa dalam suatu kelompok
(Pulau Seram). Dapat dilihat bahwa keempat (kumpulan individu), saling membutuhkan satu
negeri ini berdasarkan kepada folklor tradisional sama lain, sehingga tidak dapat berdiri sendiri.
yang tuturan ceritanya hanya ditransmisikan Meskipun dalam jejaring/kelompok masing-
pada generasi tertentu. Sehingga hanya masing individu memiliki kebutuhan mereka.
masyarakat (komunitas) dipercaya yang dapat Akan tetapi adanya rasa nilai solidaritas yang
memiliki pengetahuan ini. Danandjaja mengata- diatur dalam kelompok demi menjaga jejaring
kan folklor memiliki fungsi yang mampu mengikat tersebut agar tetap kuat (Lawang, 2004).
seluruh masyarakat dalam satu hubungan Berdasarkan hasil penelitian jejaring kultural
kolektif, sehingga memampukan masyarakat yang terjadi telah lama terjalin misalnya di negeri
sosial hidup dalam keharmonisan dan mencip- Haya Nama Teong di Negeri Haya (Nakaja-
takan pengetahuan tentang pentingnya kebe- rimau), kata Naka atau Naga, ada kemungkinan
ragaman. folklor menjadi bagian bersama dari perjumpaan masyarakat ketika berada di Negeri
masyarakat kolektif tertentu. yang melalui lama dengan para pedagang dari Cina pada

73 | P a g e
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

abad ke 15 sebelum datangnya bangsa Eropa. Maluku. Menurut Pieter Pelupessy dalam
Hal ini terlihat dari temuan beberapa keramik penulisannya yang meneliti tentang Suku Bati di
antik yang diduga berasal dari Cina pada zaman Pulau Seram, menjelaskan tentang asal tentang
Dinasti Qing (Handoko, 2016). Sedangkan kata asal mula nusa ina atau pulau seram. Pada awal
Harimau atau Jarimau, beberapa kemungkinan, mula penciptaan Nusa Tuni atau Nusa Awal
nama lokal tersebut memiliki keterkaitan dengan setiap negeri berasal dari suatu tempat di Nusa
perjumpaan dengan penyiar Islam dari luar. Likur Ina (pulau ibu). Tempat tersebut yaitu di Gunung
Samalehu merupakan penyiar agama Islam Murkele (Gunung Mistis). Gunung tersebut
berasal dari Arab, yang dalam jalur pelayaran terdapat istana kerajaan Lomine yang
melewati Buton, dan setelah itu pada tahun 1625 berkedudukan di Gunung Murkele kecil, dan
menuju ke Seram Selatan. Nama Teong Negeri istana kerajaan Poyano di Gunung Murkele
(Nakajarimau) merupakan penghormatan terha- besar. Kerajaan Alifuru ini ditopang oleh lima
dap kepemimpinannya yang telah memimpin kerajaan besar lainya yaitu kerajaan Silalousana
serta melindungi seluruh masyarakat dari bahaya atau Silalou di bagian selatan Nusa Ina (Pulau
eksternal. Begitupun di negeri Wassu, Hatu Dan Ibu) yaitu di Supa Maraina, kerajaan Mumusikoe
Tehua dimana Teong Negeri sebagai simbol atau Lemon Emas di Salalea yang terdapat
yang mampu mengikat seluruh masyarakat. disebelah utara Nusa Ina (pulau ibu), kerajaan
sedikit berbeda dengan teori jejaring oleh Barnes Amalia di Yamasina disebelah timur Nusa Ina
tahun 1954 menemukan konsep jaringan (pulau ibu), dan kerajaan Nunusaku bernama
berguna dalam menggambarkan pola hubungan Lounusa atau Tounusa disebelah barat Nusa Ina
di sebuah desa nelayan kecil Norwegia yang (pulau ibu), dan masing-masing istana kerajaan
tidak mudah dijelaskan berdasarkan pola kekera- memiliki nama yang menjadi Teong Negeri
batan tradisional atau kelas sosial. Memang, (Pelupessy, 2012). Peran penting dari kebuda-
ketika masyarakat menjadi lebih maju dan yaan terlihat ketika masa konflik pada Januari
modern dan kurang tertutup dan terikat, 1999, kekerasan mendadak dan mengejutkan
keuntungan dari pendekatan jaringan menjadi terjadi antara orang Kristen dan Muslim di
lebih jelas, Hal ini terjadi karena analisis jaringan provinsi Maluku, Indonesia. Sebelumnya dipan-
membuka bidang pemeriksaan untuk semua dang sebagai wilayah yang stabil di kepulauan
jenis ikatan potensial dari pada membatasi oleh itu, ia dengan cepat menjadi tempat perselisihan
kami harapan yang lebih tradisional dari jenis antaragama yang menghancurkan. Ribuan orang
orang yang mungkin membentuk dunia sosial terbunuh dalam spiral kekerasan selama tahun-
seseorang. Analisis jaringan sosial adalah tahun berikutnya. Tidak banyak diketahui di
metode dimana ikatan orang harus memahami daerah lain di Indonesia dan sebagian besar
satu sama lain dan karakteristik ikatan tersebut diabaikan di bawah rezim Suharto, Maluku
diperiksa dan kemudian digunakan sebagai menjadi pusat perhatian utama pemerintahan
sarana untuk menjelaskan perilaku orang-orang Habibie, Wahid, dan Megawati Konflik ini
yang terlibat didalamnya. Pendekatan ini tidak merupakan konsekuensi dari kebijakan Orde
berkonsentrasi pada atribut orang dalam Baru yang mengganggu keseimbangan kekuatan
jaringan, tetapi lebih pada hubungan sosial dari antara kedua komunitas. Salah satu dari sedikit
satu orang ke orang lain (Scott, 2002). Disini daerah dimana kedua kelompok agama itu
barnes mengatakan bahwa masyarakat hampir sama jumlahnya, Maluku adalah tempat
tradisional begitu ekslusif sehingga tidak dapat kompetisi yang sunyi dan rapuh untu merebut
menjadi modal untuk menjembatani masyarakat kekuasaan antara Kristen dan Muslim. Konflik
secara kolektif. Dari temuan dalam artikel ini Maluku merupakan konflik yang membuat
terkhususnya di negeri Haya masyarakat lokal adanya disintegrasi terhadap kelompok yang
telah belajar dalam Habitus mereka untuk berbeda secara ideologi antara Islam dan Kristen
mampu berelasi dengan orang dari luar. Jejaring di Maluku (Bertrand, 2004).
yang dilakukan dalam tindakan keseharian saling Konflik agama di Maluku membuat kematian
membantu satu lain menciptakan trust tercatat 8-9 ribu orang manusia tewas. Begitupun
(kepercayaan) mendalam dalam satu masyara- perumahan warga, gedung pemerintahan,
kat. gedung ibadah dan instansi lain tercatat, sekitar
29 ribu rumah warga terbakar, 45 mesjid, 47
3. Folklore Teon Negeri Menjaga Jejaring gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4
Sosio-Kultural Islam-Kristen di Maluku bank hancur dan habis terbakar (Santosa, 2007:
201). Meskipun demikian belum mampu
Penulis melihat bahwa nama Teong Negeri mengganggu stabilitas dari kohesi sosial
begitu penting bagi mayoritas negeri adat di masyarakat maluku sendiri yaitu Pela. Menurut
Maluku sebagai pranata budaya yang harus Lattu, Pela merupakan identitas masyarakat
dilestarikan. Teong Negeri sendiri memiliki nilai Maluku yang diwariskan dari satu generasi ke
yang kuat karena merupakan warisan yang generasi penerus yang lain dan dipelihara
merupakan dari simbol negeri yang memiliki nilai sebagai ingatan kolektif yang harus
sakralitas yang begitu tinggi bagi masyarakat dipertahankan (Lattu, 2012). Menurut Ruhulesin,
74 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020 Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

kata Pela terbagi atas tiga. Pertama, pulau yang bernama gunung Sembilan (Wara Siwa).
Haruku misalnya negeri Pelauw, Kailolo, Dalam Folklore masyarakat Gunung Sembilan
Kabauw, Ruhumoni dan Hulali kata pela berarti (Wara Siwa) merupakan tempat dimana kerajaan
sudah , dan di Pulau Ambon misalnya Negeri yang memiliki kekuatan mistis, dan tidak
Tulehu, Tengah-tengah dan Tial, Pela berarti sembarangan orang yang bisa pergi ke gunung
“cukup”. Ada juga Istilah “Pela nia” memiliki arti tersebut. Perjalanan Kapitang Supele ke gunung
sampe jua (berhenti bertengkar). Kedua, Kata tersebut untuk melihat api, menurut cerita
pela menurut masyarakat di pulau seram di ambil masyarakat Maluku primitif belum mengetahui
dari salah satu tradisi kakehang (suatu proses api tersebut (sesuatu yang berwarna merah).
pembentukan jati diri terhadap laki-laki) yang Sebagai adik yang bungsu Kapitang Supele
berati saudara. Ketiga. Kata Pela artinya laha (panglima perang negeri wassu) yang mena-
(orang tatua) yang memiliki ikatan. Sehingga kata warkan dirinya untuk pergi ke gunung itu,
pela di percaya berasal dari moyang dulu (para setibanya disana dia melihat api (sesuatu yang
leluhur). (Ruhulesin, 2005.) berwarna merah) namun kedatangannya dike-
Menurut Bartels, adanya ikatan genealogi tahui dan dikejar. Dia pun berlari sambil
diantara klan-klan negeri sekutu (pela gandong). membawa api tersebut dan menceburkan dirinya
Dengan mengangkat sumpah, ikatan klan itu ke dalam air. Sambil tetap berenang dirinya tiba
diformalkan untuk seluruh negeri dan sejak saat di salah satu tempat negeri Wassu (Erihatu
itu mereka dianggap sebagai satu Pela penuh. Di Samasuru) dan sebagai titah raja dia diangkat
negeri dimana diakui adanya hubungan menjadi Kapitang (gelar panglima perang)
genealogi antarklan tapi tidak diangkat sumpah, dengan marga Timisela. Sehingga ikatan
larangan pernikahan hanya berlaku bagi klan persaudaraan pela gandong tersebut terdapat
yang berhubungan dan tidak ada kewajiban perjanjian antara keempat negeri yaitu negeri
timbal balik antara negeri yang terlibat secara Wassu, Haya, Hatu dan Tehua:
keseluruhan. Pela ini juga disebut adik-kakak, 1. Orang Wassu dan orang Haya, Hatu dan
karena dalam ikatan ini, negeri yang didiami oleh Tehua tidak boleh baku kawin (menikah).
kakak tertua dari nenek moyang yang sama 2. Orang Wassu dan orang Haya, Hatu dan
mempunyai status yang lebih tinggi daripada Tehua tidak boleh baku musuh (bermusuhan).
negeri adik-adiknya (Bartels, 2017). Menurut 3. Orang Wassu dan Orang Haya, Hatu dan
Zamzami, kearifan lokal yang berlaku dalam Tehua harus baku jaga (saling menjaga satu
komunitas adat di Indonesia menciptakan value sama lain).
(nilai) sebagai elemen dasar kehidupan
masyarakat adat yang di aplikasikan dalam ritual Berdasarkan penguraian diatas menurut
adat (Zamzami dan Hendrawati, 2014.) Hal yang Danandjaja folklore ditransmisikan secara lisan
sama dialami oleh negeri yang berada di pulau kepada generasi muda sebagai (mnemonic
haruku yaitu Wassu yang memiliki Pela Gandong device) (Danandjaja, 1994: 2). dapat dilihat
yang berasal dari pulau Seram yaitu: negeri bahwa keempat negeri tersebut memiliki
Haya, negeri Hatu dan negeri Tehua yang telah kesadaran kolektif terhadap kearifan lokal,
menjalin sebuah jejaring sejak zaman nenek menurut sulaeman dalam penulisannya yang
moyang. Menurut Sejarah hubungan pela melihat masyarakat Maluku khususnya negeri
gandong antar keempat negeri ini berawal dari mamala memiliki kearifan lokal mencoba
seorang kapitang (panglima perang) dari negeri mengkonstruksikan makna nilai agama dan
Wassu (Erihatu Samasuru). Pada awalnya budaya dalam tradisi bakupukul manyapu
kapitang (panglima perang) yang bernama (Sulaeman, 2019). Berbeda dengan Sulaeman,
supele (nama panglima perang negeri wassu) ini penulis melihat ketiga pela gandong dari negeri
berasal dari pulau seram, yang memiliki Wassu yang menggunkanan Teong Negeri
hubungan dengan ketiga Kapitang dari negeri mereka masing-masing antara lain: negeri Haya
Haya, Hatu Dan Tehua. Kapitang Supele (nama (Nakajarimau) artinya pimpinan (kakak) bagi
panglima perang negeri wassu) yang pada waktu ketiga saudaranya, negeri Hatu (Silalou) dan
itu melakukan perjalanan ke salah satu gunung negeri Tehua (Lounusa Amalatu).

75 | P a g e
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Gambar 1. Gapura: Teong Negeri Erihatu Samasuru/Wassu.

Teong Negeri merupakan simbol pengingat memiliki fungsi untuk menjaga janji-janji para
(mnemonic device) yang memiliki peran penting leluhur yang sehingga terwujudnya keharmo-
dalam mengingat memori kolektif dimasa lampau nisan keberagaman agama di Maluku. Terkhu-
yang selalu dihormati, dijaga oleh keempat susnya bagi masyarakat negeri Wassu, Haya,
negeri yang memiliki Ikatan pela gandong. Hatu dan Tehua dengan nama Teong Negeri
Dengan demikian setiap daerah di Maluku yang merupakan simbol penghubung bagi masyarakat
terikat dalam jejaring (pela gandong) ketika yang berdiaspora, dan yang tinggal di negeri
konflik agama berlangsung keempat negeri ini begitupun untuk menjaga relasi dengan pela
tidak mengalami konflik. Menurut castells gandong. Pasca konflik komunal 1999-2002,
identitas ialah kumpulan aktor sosial yang dari keempat negeri Wassu (Kristen), Haya (Islam),
padanya membentuk suatu komunitas sebagai Hatu (Kristen) dan Tehua (Islam), berupaya
bentuk perlawanan, dari sini adanya kesadaran merevitalisasi identitas mereka, dengan cara
kolektif untuk mempertahankan identitas menghidupkan ikatan primordial bond sebagai
(Castells, 2010). upaya menjaga jejaring yang telah mengikat
Sewaktu konflik tahun 2001-2002 di Pulau dalam hubungan pela gandong bagi generasi
Seram ketiga negeri yang memiliki hubungan muda melalui cerita yang lisankan. Begitupun
pela gandong tinggal dalam satu teritori, salah nama lokal (Teong Negeri) di Maluku merupakan
satu negeri Kristen, yaitu Hatu tidak diserang, identitas dari setiap negeri di Maluku. Dalam
karena negeri ini memiliki kedua pela gandong upacara adat biasanya masing-masing negeri
dari negeri Islam (Negeri Haya dan Tehua) yang menggunakan nama Teong Negeri atau disebut
juga berada di daerah yang sama, yaitu di nama lokal sebagai menjadi simbol identitas dari
kecamatan Tehoru. Kejadian tersebut menun- negeri. Teong Negeri yang menggunakan baha-
jukkan bahwa Teong Negeri ialah salah satu sa asli atau bahasa lokal ini sering digunakan
bagian dari folklore sebab menjadi simbol dalam ruang formal ketika berlangsung ritual
identitas dan mnemonic device (alat pengingat) adat, misalnya relasi-relasi ini dihidupkan
dari keempat negeri untuk melawan isu yang sebelum konflik pada tahun 1970 perbaikan
menggunakan identitas agama sebagai pemicu gedung gereja di negeri Wassu dan pada tahun
konflik, sehingga keempat pela gandong 1980 masa kepemimpinan Raja Salakory
menggunakan simbol identitas (Teong Negeri) pemasangan tiang kabah masjid Ukhuwah
yang memiliki fungsi untuk menjaga kehar- Negeri Haya. pertemuan ini terjadi pada 9
monisan selama konflik komunal antaragama Desember 2009, dalam acara perayaan 100
berlangsung di Maluku. Semua hal ini karena tahun penginjilan masuk di negeri Hatu,
masyarakat Maluku terkhususnya keempat pembangunan gedung masjid di negeri Haya
negeri masih mengawetkan folklore atau cerita pada tahun 2010 acara pelantikan raja Samalehu
rakyat kepada generasi penerus secara lisan. (gelar: Lattu Haya) dan pada tahun 2016 kembali
Sehingga adanya pengetahuan bagi generasi diadakan pelantikan raja Hasan Waelisa di negeri
muda supaya menghormati eksistensi budaya Haya dan pada 19 oktober 2019 pelantikan raja
yang menjadi identitas mereka. negeri Wassu yang menghadirkan ketiga Pela
Bagi keempat negeri, nama Teong Negeri Gandong Haya, Hatu dan Tehua.

76 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020 Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Gambar 2. Pelantikan Raja/Upu Latu Negeri Wassu (Kristen) di damping Raja Negeri Haya (Islam), Hatu (Kristen) dan Tehua
(Islam) yang saling merangkul menuju baileo

Teong Negeri ini juga kemudian digunakan kebajikan dalam membangun kepercayaan
dalam ruang informal, seperti sapaan dalam dalam suatu jaringan yang menjadi penting bagi
perjumpaan sehari-hari. Penulis melihat bahwa kesejahteraan, hidup dengan kebajikan ini
sapaan yang di gunakan keempat negeri yang membuat individu memiliki, disiplin, rasa terima
memiliki hubungan pela gandong ini, yakni: kasih, memiliki keberanian, ketekunan, keren-
Wassu, Haya, Hatu dan Tehua menggunakannya dahan hati, hal ini membutuhkan kecintaan
sebagai simbol untuk menunjukkan identitas asal terhadap kebijaksanaan untuk bertindak di dunia
mereka. Menurut Eller Simbol adalah benda- (Sullivan and Flanagan, 2012).
benda, gambar, suara, tindakan, gerak tubuh, Berdasarkan penuturan diatas terlihat bahwa
ucapan, dan hampir semua media lain yang nama lokal ini merupakan simbol yang dapat
“berarti” sesuatu, yang “memiliki makna” (Eller, menjaga relasi beberapa negeri yang mempunyai
2007). Apalagi di Maluku sendiri pasca konflik ikatan persaudaraan yang berakar kepada
agama lahirnya sapaan dikalangan Islam-Kristen kesadaran dari setiap individu maupun kolektif
yang memberi nilai disintegrasi antara lain: salam berdasarkan narasi yang di transmisikan dari
yang berarti orang Islam dan sarani yang artinya leluhur ke generasi muda. Hal ini akan
orang Kristen. Sehingga bagi keempat pela membangkitkan rasa kecintaan terhadap iden-
gandong tersebut apabila bertemu satu sama lain titas keempat negeri, sehingga adanya
digunakanlah sapaan dengan Teon Negeri yang kesadaran terhadap masyarakat memiliki rasa
menjadi simbol identitas (mnemonic device) dari bersama untuk saling menjaga sesama.
masing-masing negeri misalnya dalam intreats Penghargaan terhadap simbol Teong Negeri
sehari-hari, masyarakat dari negeri Haya bukan hanya pada masyarakat yang tinggal
berjumpa dengan seorang negeri Wassu, dan dalam negeri akan tetapi terciptanya rasa yang
memberikan sapaan Nakajarimau maka Wassu mengikat terhadap identitas. Rasa identitas pela
haruslah menjawab dengan Erihatu Samasuru gandong ini juga di miliki oleh setiap masyarakat
begitupun simbol ini berlaku bagi negeri Hatu dan keempat negeri yang tinggal diluar daerah.
Tehua. Dapat dilihat Teong Negeri merupakan Bermodalkan cerita dari para orang tua meskipun
simbol sakral bagi keempat negeri pela gandong tinggal jauh dari daerah akan tetapi roh
karena selain menjadi simbol identitas yang penghormatan terhadap ajaran ikatan Primordial
mampu mengintegrasi sesama, tetapi juga itu selalu dihormati.
menjadi simbol penghargaan terhadap leluhur. Penulis mencoba melihat bahwa cerita-cerita
Dengan demikian ketika mereka menghargai atau folklore yang ditransmisikan membuat
sesama (pela gandong) mereka itu bagian dari masyarakat memiliki pengetahuan yang diimaji-
representasi penghormatan kepada leluhur nasikan sehingga menimbulkan rasa kecintaan
(Durkheim, 2011). terhadap pela gandong atau ikatan persaudaraan
Penulis melihat bahwa simbol Teong Negeri berdasarkan simbol dari Teong Negeri atau
sebagai simbol yang menjaga jejaring hubungan nama lokal dalam memakai bahasa daerah dari
pela gandong ini dikarenakan adanya suatu spirit masing-masing Negeri Wassu, Haya, Hatu dan
terhadap identitas. menurut Theodore Malloch Tehua. Dalam kerangka ini, dapat dilihat bahwa
dalam modal sosial adanya nilai-nilai, keramah- Teong Negeri bukan hanya menjaga seluruh
tamahan, dan norma-norma, menurutnya hal masyarakat yang mempunyai ikatan kekerabatan
yang sama dalam spirit capital baginya spiritual (bonding), tetapi dapat menjadi simbol yang
adalah sumber energi moral. nilai-nilai itu mampu menjembatani (bridging) setiap masya-
menjadi sumber yang mendasar kepada rakat yang heterogen (para pendatang) yang
77 | P a g e
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

tinggal di daerah setempat. Penulis menemukan berada dalam sistem sosial masyarakat di negeri
adanya temuan yang berbeda dengan konsep Haya, karena itu mereka perlu menghormati
jejaring sosial yang melihat masyarakat mampu kebudayaan di negeri tempat mereka tinggal. Hal
membangun jejaring individu memiliki kebutuhan ini dapat dilihat bersama ketika adanya kegiatan
tersendiri (ekonomi), sehingga mampu bekerja pencarian dana yang dilakukan oleh negeri
sama dan berinteraksi dengan orang dengan Wassu (Erihatu Samasuru). Masyarakat Buton
orang lain. jejaring sosial terlihat begitu juga ikut berpartisipasi bersama-sama sebagai
kompleks, diukur dari homogenitas masyarakat bagian dari masyarakat negeri Haya
(usia, kelas sosial, agama). Seperti yang (Nakajarimau).
disampaikan Barnes yang mengatakan bahwa Penulis melihat berdasarkan temuan pertama
jejaring sosial dilihat dari adanya sistem kelas Teong Negeri memiliki makna yang kuat karena
dan adanya sistem hirarki yang dibentuk dalam mampu menjadi simbol sentral yang mampu
mengatur pola kehidupan masyarakat di menjaga ikatan primordial. Fungsi dari Teong
norwegia, penulis melihat bahwa teori jejaring Negeri dapat menjaga ikatan jejaring sosio-
sosial begitu ekslusif karena hubungan sosial kultural antarsesama (pela gandong) sebagai
yang terjalin karena adanya unsur kesetaraan modal sosial, kedua menjaga sistem kohesi
yang tidak berlandaskan kepada kesadaran sosial sehingga dapat menjembatani relasi-relasi
melainkan atas kepentingan dari individu dalam masyarakat yang berbeda (Buton) untuk saling
satu jejaring.seperti pandangannya Durkheim berinteraksi dalam kehidupan sosial yang telah
yang menyebutnya Solidaritas organik yaitu lama di jalin dari para orang tua (Bridging
jaringan yang terikat atas pembagian kerja pada Society). Ketiga simbol Teong Negeri sebagai
masyarakat modern. Begitupun Alexis De bukan hanya sebagai Mnemonic Device (tradisi
Tocqueville dalam pandangan terhadap masya- lisan) bagi setiap masyarakat homogen (ikatan
rakat aristokrasi yang melakukan hubungan Pela Gandong) akan tetapi mengkisahkan
timbal-balik yang adalah bagian dari hukum tentang keharmonisan antara masyarakat penda-
kemasyarakatan; dan tuntutan kewajiban sosial tang yang telah bergenerasi di daerah tempat
ini dan bukan karena urusan kemanusiaan. mereka tinggal. Sehingga dapat dilihat bahwa
Kaum aristokrasi hanya melakukan kewajiban keharmonisan yang ditunjukan bukanlah sesuatu
membantu sebagai tuan dan budak, akan tetapi yang dipaksakan, akan tetapi karena masyarakat
tidaklah dengan ketulusan hati, sebagaimana yang menjaga narasi-narasi damai, untuk
manusia yang membantu manusia lainnya menjauhkan mereka dari gangguan dari luar
(Tocqueville, 2005). yang bersifat memecah belah, Interaksi dalam
Menurut Putnam modal sosial memiliki dua keseharian yang di hidupi akan memperkuat
unsur yaitu mengikat (bonding) dan menjem- jaringan masyarakat. Dengan demikian Teong
batani (bridging), lebih bersifat inklusif terhadap Negeri dilihat sebagai simbol yang inklusif
masyarakat diluar jaringan. Dirinya berpendapat terhadap keberagaman dan sebagai simbol yang
modal sosial bukan hanya kepada kelompok berguna dalam menghilangkan stereotype
jaringan yang memiliki ikatan kekerabatan masyarakat asli di Maluku tentang para penda-
(bonding), tetapi mampu berinteraksi dengan tang sebagai salah satu aktor atau kelompok
kelompok jaringan lain untuk membangun suatu menciptakan konflik agama di Maluku. Teong
kepercayaan (Putnam, 2000). Bridging sosial Negeri juga merupakan simbol eksistensi dalam
adalah suatu modal yang melihat ikatan yang mempertahankan jejaring sosio-kultural yang
renggang, dan memiliki celah sehingga mampu mampu mengikat dan menghubungkan segala
menjembatani untuk menengahi masalah dalam perbedaan mulai dari wilayah, agama, dan etnis
struktur jaringan (Putnam, 2000: 22). di Maluku agar hidup damai, harmonis dan saling
Berdasarkan temuan penulis melihat di negeri percaya (trust).
Haya sendiri, terdapat para pendatang dari
Sulawesi, yaitu masyarakat Buton yang Sudah
berada 70 tahun bermukim negeri Haya.
Meskipun mereka adalah pendatang, namun D. KESIMPULAN
mereka ikut berpartisipasi dalam kehidupan

T
kekerabatan bersama dengan masyarakat Haya eong Negeri merupakan simbol identitas
misalnya acara pelantikan raja di Negeri Haya bagi negeri-negeri di Maluku yang
dan Negeri Wassu 19 oktober 2019 adanya menggunakan bahasa daerah, setiap
bantuan-bantuan material yang di sumbangkan negeri selalu dikenal dengan nama lokal mereka,
demi kelancaran kegiatan tersebut. Tidak hanya sehingga dapat menjaga jejaring sosio-kultural
itu, mereka juga menghargai negeri-negeri yang yang mampu menghubungkan mereka dengan
memiliki hubungan pela gandong dengan negeri daerah yang lain dalam ikatan pela. Dalam cerita
Haya tempat mereka tinggal. Masyarakat Haya rakyat negeri Wassu Erihatu Samasuru, memiliki
sendiri memandang mereka sebagai bagian dari pela negeri Haya (Nakajarimau) kakak tertua,
negeri tersebut sejak zaman dahulu pada abad bagi ketiga saudaranya, negeri Hatu (Silalou) dan
ke 17. Sejak saat itu para pendatang telah negeri Tehua (Lounusa Amalatu). Dari
78 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020 Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

pengertian masing-masing negeri menunjukan merupakan simbol yang memiliki makna untuk
bila keempat negeri tersebut terikat dalam menjaga kohesi sosio-kultural yang menjadi
hubungan pela gandong. Teong Negeri dapat identitas lokal masyarakat adat.
memberikan spirit terhadap kesadaran identitas, Teong Negeri menjadi sakral bagi keempat
dikarenakan masyarakat mendengarkan cerita negeri ini karena adalah bagian dari mnemonic
lisan. Teong Negeri dilihat memiliki makna yang device yang dilisankan. Teong negeri memiliki
kuat, saling percaya satu sama lain. sehingga nilai-nilai sakral karena berbicara tentang sejarah
bagi keempat negeri di Maluku tengah Wassu, awal mula negeri ini didirikan sampai pada
Haya, Hatu dan Tehua menggunakan simbol konteks saat ini teong negeri digunakan dalam
identitas Teong Negeri untuk menjaga eksistensi ritual-ritual adat misalnya upacara pertemuan
hubungan relasi ikatan kekerabatan (Pela pela gandong; pelantikan raja, kegiatan yang
Gandong). Jejaring sosio-kultural yang dibangun berkaitan dengan keagamaan, dan sebagai
mendapat tantangan ketika konflik komunal salam untuk memperkenalkan dari mana dirinya
berbasis agama, akan tetapi spirit terhadap berasal. Teong Negeri menjadi suatu simbol
budaya selalu dijunjung tinggi. identitas sentral terhadap negeri adat yang
Beberapa hal tentang Teong Negeri antara mampu mengatur sistem sosio-kultural setiap
lain: Teong Negeri memiliki beberapa hal penting negeri di Maluku. bukan hanya bagi setiap
masyarakat adat di Maluku antara lain: Teong masyarakat yang memiliki ikatan persaudraan
Negeri merupakan simbol yang menghubungkan atau sesama etnis. Akan tetapi menjadi simbol
antara masyarakat adat dengan leluhur (orang universal ketika, sebagai modal sosio-kultural
tatua) yang sangat mereka hargai. Nilai (value) yang mampu menjembatani masyarakat dari luar
yang menjadi dasar masyarakat adat untuk (migran buton) berdasarkan kepada dialog lintas
selalu menghargai cerita kehidupan para leluhur generasi yang dilakukan generasi awal
awal yang membangun tempat tinggal, ternya- masyarakat Maluku penduduk asli dengan
man bagi generasi penerus dapat hidup dengan penduduk pendatang Buton (migran) di Maluku
nyaman. Para leluhur telah memberikan pengeta- agar memiliki pengetahuan tentang hubungan
huan sosial-kultural bagi penerusnya agar yang harmonis .
menghargai wilayah yang telah diberikan, ada
suatu harapan besar para leluhur bagi generasi
penerus supaya tetap utuh dalam satu kesatuan E. UCAPAN TERIMAKASIH
masyarakat adat, yang berpegang teguh pada

P
janji, norma-norma, sehingga masyarakat dapat enulis ingin mengucapkan terimakasih
berelasi dengan sesama. Teong Negeri dilihat kepada dosen pembimbing Izak Y. M.
sebagai simbol yang begitu penting karena Lattu dan Rama. Tulus. Pilakoannu yang
merupakan bagian dari local wisdom masyarakat telah membantu dalam menyelesaikan artikel
adat terkhususnya bagi keempat negeri yang ilmiah ini hingga terbit. Penulis mengucapkan
memiliki ikatan pela gandong. Seperti yang di terimakasih kepada Program Magister Sosiologi
kemukan dilistone simbol merupakan tanda untuk Agama, Universitas Kristen Satya wacana.
saling mengenal, begitupun teong negeri yang

DAFTAR PUSTAKA

Bakri, H. (2015, January ,). Resolusi Konflik melalui PendekatanKearifan Lokal Pela
Gandong di Kota Ambon. (The POLITICS:Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, Volume 1, Number 1), 51-60.
Bartels, D. (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup
Berdampingan Di Maluku Tengah; Jilid I, . Jakarta: : Kepustakaan Populer Gramedia.
Bertrand, J. (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. New York: Cambridge
University.
Castells, M. (2010). “The Power Of Identity: . United Kingdom: Second Edition With A New
Preface” Willey Black Well, .
Cooley, F. L. (1987). Mimbar dan Takhta. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Creswell, W. J. (2010). Research Design: Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan mixed.
Yogyakarta: : Pustaka Pelajar.
De Tocqueville. Alexis. (2005). Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, )
Dundes, A. (1965 ). The Study Of Folklore,. United States of America:: Prentice-Hall. Inc.
Engelwood Cliffs, N. J, .

79 | P a g e
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020
Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Durkheim, E. (2011). The Elementary Form of The Religious Life, Sejarah Bentuk-Bentuk
Agama yang paling dasar. Jogjakarta: IRCiSoD.
Eler, J. D. (2007). Introducing Anthropology of Religion: Culture To The Ultimate. NewYork::
Routlged. .
Fukuyama, F. (2010). Trust Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. . Penerbit
Qalam.
Fukuyama, F. (2014). The Great disruption, Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan
Sosial. Penerbit Qalam.
Handoko, Wuri .(2016, Juli). Arkeologi Sejarah Islam Di Pesisir Selatan Pulau Seram Maluku
Tengah. Kapata Arkeologi , Volume 12 Nomor 1, 79-90.
Hehanussa. Jozef M. N. (2009). PELA DAN GANDONG: Sebuah Model Untuk Kehidupan
Bersama Dalam Konteks Pluralisme Agama Di Maluku. Gema Teologi, Vol 33 No 1 ) ,
1-15.
Huberman, M. B. (2014). Qualitative data analysis: An expanded sourcebook (3rd
ed.).Qualitative data analysis: An expanded sourcebook (2nd ed.). . London: Sage
Publication.
James., D. (1994). Folklore Indonesia, Ilmu Gossip, Dongeng dan lain-lain. . Jakarta: :
Pustaka Utama Grafiti.
John, S. (2002). Social networks: Critical concepts in sociology,. London and New York::
Taylor&Francis.
Lattu, I. Y. (2012). Culture and Christian-Muslim Dialogue in Moluccas Indonesia. ,
Interreligious Insight, Vol. 10, No. 1:, 45-52.
Lawang, R. M. (2004). Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik-Suatu Pengantar,. Jakarta:
FISIP UI Press, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Martine., S. C. (2005). Living Folklore, An Introduction to the Study of People and Their
Traditions. Utah State : University Press Logan.
Mas' oed, S. M. (2001). Social Resources for Civility and Participation: The case of
Yogyakarta. Indonesia . Jurnal The Politics of Multiculturalism: pluralism and
citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia, ., 119-140.
Masringor. Julia dan Sugiswati. Besse (2017). Pela Gandong Sebagai Sarana Penyelesaian
Konflik. Jurnal Perspektif, volume 22. No 1 thn , 66-79.
Pelupessy, P. J. (2012). Esuriun Orang Bati. Salatiga: Disertasi, Program Pascasarjana Studi
Pembangunana-Universitas Kristen Satya Wacana.
Putnam, R. D. (2000). Bowling Alone: The Collapse in Revival of American Community. New
York: : SIMON & SCHUSTER.
R., Agusyanto. (1995 ). Dampak Jaringan Social Dalam organisasi: Kasus PAM Jaya, . DKI
Jakarta.: Universitas Indonesia,.
Richards., M. (2007). Democracy’s Dharma : Religious Renaissance and Political
Development in Taiwan. Berkley :: University Of California Press.
Ruhulesin, J. C. (2005.). Etika Publik: menggali dari tradisi Pela di Maluku, . salatiga-jawa
tengah: Disertasi, Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana,.
Pelupessy, Pieter J. Esuriun Orang Bati, (Disertasi, Program Pascasarjana Studi
Pembangunana-Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), 126-127.
Santosa, B. A. (2007). “Peran Media Massa dalam Mencegah Konflik”, . Jurnal ASPIKOM,
Volume 3 Nomor 2,, 201.
Sulaeman, M. M. (2019). Konstruksi Makna Bakupukul Manyapu Bagi Masyarakat Mamala di
Maluku. Jurnal Antroplogi: Isu-Isu Sosial Budaya, 16 (1), doi.org/10.25077/
jantro.v21.n61.p72., 37-48.
Sullivan, O. M. (2012.). Spiritual Capital: Spirituality in Practice in Christian Perspective, .
united kingdom: Ashgate Publishing Limited .
Usman. Akbar., U. H. (2008). Metodology Penelitian Sosial. . Jakarta:: Bumi Aksara.
Zamzami, L. &. (2014.). Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Maritim Untuk Upaya Mitigasi
Bencana di Sumatera Barat. Jurnal Antroplogi: Isu-Isu Sosial Budaya, 16 (1), 37-48.
doi:10.25077/jantro.v16.n1.p, 37-48.

80 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p70-80.2020 Revaldo Pravasta Julian Mb Salakory, et al
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

TRADISI NYUMPET DALAM BUDAYA LOKAL PADA MASYARAKAT SEKURO


KABUPATEN JEPARA
1* 2
Imanullah Hesti Nur Alama ( ), Abdul Gafur ( )
1 2
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Culture is a custom made from long ago. The fundamental thing of culture
Submitted : 07th September, 2019. is the presence of predecessors or ancestral information either written or
Review : 02nd February, 2020 unwritten. The local culture of java still in jepara district is a ‘nyumpet’
Accepted : 04th May, 2020 tradition. The study aims to describe how to preserve local culture in
Published : 1st June, 2020 Indonesian tradition especially the ‘nyumpet’ tradition in jepara district
Available Online : June, 2020 securitate so society so that the younger generation will not forget the
culture that has been built up long ago. This article was prepared using a
library study method where the data obtained came from various books,
KEYWORDS
journals, theses and several libraries from related sources. The scope of
this study is expected to shape the fine young generation, responsible,
Culture; Nyumpet Tradition; Ritual; Jepara
and active generation of young people in local cultures. The ‘nyumpet’
tradition is a ritual performed by some people jepara kejawen. The
CORRESPONDENCE
nyumpet ritual is performed when there is a wedding ceremony or
circumcision.
*E-mail: hestiamala@gmail.com

A. PENDAHULUAN

M
asyarakat Indonesia merupakan generasi muda yang kurang mengetahui budaya
masyarakat yang majemuk, Hildred di desa tempat tinggalnya. Mereka lebih senang
Geertz memaparkan ada lebih dari 300 berpenampilan lebih
suku bangsa di Indonesia yang mempunyai modern karena lebih menarik dan tidak terikat
kebudayaan masing-masing yang terdiri dari oleh berbagai aturan atau tradisi-tradisi tertentu.
bahasa, identitas, kultural yang berbeda-beda Eksistensi generasi muda di era revolusi
(Nasikun, 2013, 41-42). Mengenali budaya lokal industri 4.0 ini sangat diperlukan untuk mema-
merupakan cara masyarakat agar menciptakan jukan suatu bangsa dalam mengukur tingkat
sebuah negara yang adil dan makmur ditengah- kemajuan di masa depan. Dalam usaha me-
tengah perkembangan jaman yang mengikiskan ngembalikan karakter generasi muda sangat
budaya lokal. Budaya lokal memiliki peranan diperlukan penguatan budaya lokal sebagai
penting dalam pembentukan perilaku generasi identitas bangsa. Namun dapat dilihat saat ini
muda. bahwa lemahnya generasi muda dalam menjaga
Perkembangan zaman semakin berkembang dan melestarikan budaya turun-temurun dari
dengan adanya teknologi dan komunikasi nenek moyang membuat masuknya budaya
IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) asing sangat mudah. Akibat era modernisasi ini
menandakan perubahan zaman yang sangat masyarakat mudah menjadi kehilangan identitas
signifikan dalam era revolusi industry sekarang nasional bangsa Indonesia diantaranya tari,
ini tentu mengakibatkan zaman dari gaya kepercayaan, pakaian adat, ciri-ciri khas daerah
tradisional berubah menjadi modern dengan dan banyak lagi. Pengaruh dari masuknya
ditandai mudahnya aspek informasi dan budaya asing sangat memberikan dampak
terjadinya akulturasi budaya asing. Hal tersebut terhadap generasi muda zaman milenial mulai
menimbulkan permasalahan di masyarakat pada dari gaya hidup, cara berpakaian, cara
81 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

berperilaku, dan lain-lain. merapati, dan memagari. Atau dalam istilahnya


Nilai-nilai kearifan lokal yang mulai terabaikan mbuntoni atau menutup jalan dari berbagai
dalam kehidupan masyakarat sekarang ini gangguan secara kasat mata maupun terhindar
merupakan sebuah isu penting untuk diangkat secara fisik dari musibah apapun. Pelaksanakan
dalam sebuah pembelajaran generasi muda. Hal sumpetan yang dilakukan sebelum pelaksanaan
ini termasuk usaha dalam mencari solusi hajatan seseorang dapat digolongkan sebagai
alternatif agar dapat menyikapi dampak kegiatan tradisional mengingat tradisi tersebut
globalisasi di era revolusi industri 4.0 yang makin berasal dari nenek moyang serta diakui tanpa
merambat di segala sendi kehidupan dipermasalahakan yang akan selamanya ber-
bermasyarakat. Dengan demikian potensi se- jalan selama masyarakat masih mempercayainya
buah bangsa harus dioptimalkan, termasuk dan melestarikannya. Akan tetapi, seiring berja-
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat. lannya waktu tradisi seperti ini mulai terjadi
Sehingga sistem budaya lokal berupa modal perubahan karena zaman. Masyarakat muda
sosial ini dapat dilestarikan dan diberkem- sekarang ini lebih berfikir praktis dan efisien
bangkan secara turun temurun dari nenek sehingga ritual ‘nyumpet’ tidak dilakukan secara
moyang hingga saat kini (Hikmat, 2010: 169). beruntun. Asal sudah ada kegiatan kenduri
Membicarakan budaya lokal (local wisdom) membagi makanan pada tetangga dan sanak
maka setidaknya menimbang adanya sebuah saudara sudah dianggap cukup. Hal ini terjadi
kepercayaan dan keagamaan di Indonesia. karena perubahan perilaku sosial. Perilaku sosial
Karena agama merupakan salah satu penyaring yaitu kumpulan hasil dari kontak sosial dan
dan sebuah pandangan dalam hubungan interaksi dalam bermasyarakat (Nugroho & W.S,
masyarakat seperti di Negara Indonesia. Karena 2010). Banyaknya mindset masyarakat yang
pada dasarnya beberapa budaya lokal atau lebih modern akan nampak jelas perubahan
tradisi di Indonesia sebagian besar merupakan berfikir dalam menyikapi permasalahan yang
warisan budaya Hindu dan Budha. dihadapi.
Tradisi sendiri merupakan suatu kebiasaan Oleh sebab itu, penulisan ini bertujuan untuk
yang dilakukan sejak lama dan menjadi bagian mendeskripsikan bagaimana membumikan
dari kelompok masyarakat. Hal mendasar dari budaya lokal dalam tradisi-tradisi yang ada di
tradisi adalah adanya informasi pendahulu atau Indonesia khususnya tradisi “nyumpet” di
nenek moyang baik tertulis maupun tidak tertulis masyarakat sekuro kabupaten Jepara agar
agar tradisi tersebut tidak mengalami kepunahan. generasi muda tidak melupakan budaya yang
Diantaranya kebudayaan daerah merupakan telah dibangun sejak dulu. Dengan adanya era
suatu khasanah keanekaragaman yang harus modern saat ini maka generasi diperkotaan dapat
dijaga saat ini, khususnya di era revolusi industri mengetahui lebih banyak lagi tradisi-tradisi yang
yang telah mengikiskan budaya lokal daerah. semakin terkikis dengan mengakses melalui
Kearifan lokal suatu wilayah akan dikenal melalui internet. Warisan budaya harus dilestarikan
keunikannya yang berbeda dengan daerah lain. meskipun banyak tekanan dari budaya lain yang
Salah satu budaya lokal di Indonesia diantaranya terus tumbuh di masyarakat (Taib bin Saearani
pulau jawa tepatnya di kabupaten Jepara yang dkk, 2014). Oleh karena itu penulis berusaha
saat ini masih dilaksanakan adalah tradisi mengkaji tradisi nyumpet yang telah mengalami
“nyumpet”. perubahan.
Tradisi “nyumpet” merupakan ritual yang
dilakukan oleh sebagian orang kejawen Jepara. B. METODE PENELITIAN
Ritual nyumpet dilakukan ketika ada upacara

M
pernikahan atau khitanan. Hal ini dimaksutkan etode yang digunakan dalam artikel ini
sebagai penolak bala pada saat acara yaitu studi kepustakaan (library research)
berlangsung, ritual ini biasanya dilakukan oleh merupakan metode pengumpulan data
tuan rumah dengan menaruh guci-guci yang melalui telaah terhadap sumber-sumber kepus-
telah diisi dengan makanan hasil bumi dengan takaan (Mahmud, 2011) dengan mengkaji
syarat yang berlaku didesa sekuro. Tradisi yang beberapa pustaka dari sumber-sumber yang
dilaksanakan agar harapan dari pelaksanaan terkait. Langkah pertama yaitu dengan mela-
kegiatan pernikahan atau khitanan dan yang kukan studi literatur pada buku-buku, jurnal, dan
lainnya diberikan kelancaran dari mulai acara penelitian yang telah dilakukan yang berhubu-
hingga sampai selesai. ngan dengan membumikan budaya lokal dalam
Ritual kebudayaan “Nyumpet” dimaksutkan tradisi “nyumpet” di era milenial masyarakat
agar makanan yang disajikan kepada tamu tidak sekuro kabupaten jepara. Selanjutnya, data-data
ada yang terbuang sia-sia karena guci yang telah yang didapat dianalisis dan digeneralisasikan
diberikan mantra-mantra akan menangkal menggunakan kajian teori yang relevan sehingga
sesuatu hal yang bermaksud jelek terhadap tuan dapat digunakan sebagai acuan dalam
rumah yang mengadakan acara. Ritual ‘nyumpet’ pembuatan artikel ini.
mempunyai makna melindungi, menutupi,
82 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020 IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN muda harus diberi pengetahuan budaya di sekitar


desa tempat tinggal mereka dalam hal ini adalah

I
ndonesia terkenal dengan negara kepulauan budaya jawa. Oleh sebab itu, diperlukannya
dengan budaya dan etnis masyarakat yang usaha dimana masyarakat muda di era milineal
seragam yang penuh dengan nilai-nilai budaya ini dapat mengenal budaya jawa yang semakin
lokal setempat. Agar dapat bertahan dalam lama mulai mengikis salah satunya tradisi
terpaan globalisasi yang inhuman maka pribadi “nyumpet” dengan cara memberi sebuah
bangsa harus mempunyai identitas sendiri pengetahuan melalui hal-hal yang bersangkutan
dengan terlahir pada sebuah kebudayaan. dengan pola pikir masyarakat muda.
Keragaman suku bangsa dapat menciptakan
budaya yang beragam. Budaya lokal sendiri 1. Keragaman Budaya Lokal di Indonesia
diciptakan dari hasil karya, karsa, dan sastra Indonesia memiliki keanekaragaman eko-
yang berkembang di suatu suku-suku di daerah sistem dan hayati, juga kebinekaan suku bangsa
pedalaman. Pada abad ke-13, tradisi muslim dan bahasa yang tercatat memiliki 300 kelompok
memasuki budaya lokal di Indonesia. Dengan etnik yang berbeda dengan perbedaan
proses akulturasi tanpa rekayasa, sehingga budayanya (Iskandar, 2016:34). Budaya meru-
memunculkan budaya baru yang bernuansa pakan nama dasar dari kebudayaan yang berasal
Hindu dan Islam yang sangan khas di kalangan dari bahasa inggris yaitu culture. Kata
Indonesia. Hingga munculnya kolonialisme mulai kebudayaan sendiri terdapat pada bahasa sanse-
abad ke-16 menggeser budaya lokal lebih ke kerta buddhayah yang berbentuk jamak berarti
budaya barat. Problematika yang dihadapi akal. Beberapa wujud dimana budaya dapat
budaya lokal di masa lampau jauh berbeda terbagi diantaranya sebagai suatu wujud ide-ide,
dibandingkan masa sekarang. Menghadapi gagasan, nilai-nilai, peraturan, kelakuan berpola
tekanan era revolusi industry 4.0 sekarang ini, dari manusia dalam masyarakat serta benda-
budaya lokal memiliki beragam cara untuk benda hasil karya manusia itu sendiri sehingga
mempertahanakan eksistensinya. Paul S.N. (Lee memiliki dimensi yang mencolok dapat diukur
1991 dalam Goonasekera et al. 1996: 98-99) berdasarkan karakteristik budaya tersebut
menemukan adanya empat cara budaya lokal (Daryanto, 2015:2). Kebudayaan sendiri dapat
dalam merespons budaya asing yang dibawa diartikan sebagai bentukan dari gagasan ataupun
globalisasi. karya. Karya masyarakat ini dapat menghasilkan
a. Pertama (parrot pattern) merupakan sebuah sebuah teknologi dan kebudayaan baru dari
pola penyerapan budaya secara menyeluruh manusia untuk menguasai alam sekitarnya
dalam bentuk dan isinya, seperti halnya (Demina, 2013). Kebudayaan merupakan
seorang anak kecil yang meniru seseorang terbentuk dari budi berupa cipta, karya dan
bernyanyi secara total tanpa memedulikan arti sastra.
atau maknanya. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
b. Kedua (amoeba pattern) merupakan pola majemuk yang terdiri dari kumpulan orang atau
penyerapan budaya asing dengan kelompok dengan latar belakang suku yang
mempertahankan isinya tapi mengubah berbeda. Budaya di Indonesia yang beragam
bentuknya, sama halnya dengan amoeba memiliki banyak suku kurang lebih 1.128 suku
yang muncul dalam bentuk berbeda-beda tapi bermukim yang tersebar di wilayah Indonesia
substansinya tetap sama. Contohnya, sebuah dari Sabang sampai Merauke. Keragaman
produk dari luar yang di iklankan di Indonesia budaya merupakan potensi yang dapat
yang dibawakan oleh bintang iklan lokal dimanfaatkan sebagai kekuatan dalam menjawab
sehingga tak mengesankan program impor. berbagai permasalahan dari isu melemahnya
c. Ketiga (coral pattern) merupakan pola budaya lokal.
penyerapan budaya asing dengan memper- Keragaman budaya merupakan suatu
tahankan bentuknya tapi mengubah isinya, keunggulan dengan cara komunikasi budaya
sesuai dengan karakter batu karang (coral). dalam modal pembangunan Indonesia yang
Contohnya, lagu yang dimainkan dengan multikutural ditandai dengan adanya komunikasi
melodi dari asing tapi liriknya menggunakan ragam budaya yang dilakukan secara individu
bahasa lokal. maupun kelompok sebagai bentuk adanya
d. Keempat (butterfly pattern) merupakan pola hubungan yang serasi (Purbasari, 2019:4-5).
penyerapan budaya asing secara total Negara Indonesia sangat berlimpah kebudayaan,
sehingga menjadi tak terlihat perbedaan karya seni, kreasi-kreasi yang menarik dari
budaya asing dengan budaya lokal. (Mubah, keragaman budaya. Seperti ragam batik atau
2011). seni lainnya yang memiliki ciri khas dari
daerahnya masing-masing. Banyak ragam
Budaya semakin lama akan terkikis karena keunikan yang dimiliki tiap suku-suku diantaranya
masuknya budaya asing, sehingga masyarakat kekhasan budaya lokal mulai dari sistem
83 | P a g e
IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

kekerabatan, etika pergaulan, pakaian adat, Selain itu nilai-nilai budaya lokal juga dapat
rumah adat, tari tradisional, alat musik diperoleh dari seni tari, seni wayang kulit,
tradisional, senjata tradisional, bahasa dan wayang orang, serta tradisi-tradisi di setiap
dialek, instrumen dan lagu daerah, pengetahuan daerah. Contohnya pada budaya jawa dapat
pengobatan dan pengetahuan kuliner (Widiastuti, memperlihatkan suatu sistem tanda atau simbol-
2013). simbol yang bermakna yang diaplikasikan dalam
Hal tersebut memunculkan ketertarikan yang kehidupan bermasyarakat (Nugroho, 2011:2).
tinggi dari negara lain untuk mempelajari, Nilai budaya memiliki cakupan yang berlaku yang
mencoba, menikmati hasil budaya lokal di terkandung nilai-nilai etika moral dan filosofi yang
Indonesia ada pula yang akhirnya pindah universal (Soehardi, 2002). Nilai budaya
kewarganegaraan menjadi warganegara Indo- merupakan bagian dari konsep tingkat hakiki,
nesia. Keanekaragaman ini merupakan potensi apabila kita amati dapat ditemukan beberapa
kekuasaan untuk membangun potensi dan persamaan pola tingkah laku warga suku-suku
kemandirian bangsa. Budaya akan terus berkem- bangsa di seluruh plosok Indonesia. Misalnya di
bang dilandasi pola hidup yang menyeluruh dan Indonesia mengenal pola kerja bersama yang
komplek dari berbagai unsur agama, adat- secara universal dikenal dengan gotong royong.
istiadat, bahasa, teknologi, kesenian dan lain- Walaupun ada perbedaan dalam sistem
lain. Dengan demikian budaya tidak meliputi kerjanya, tetapi terdapat kecocokan pola tata
adat-istiadat saja melainkan seluruh aspek kerjanya. Nilai budaya merupakan sesuatu yang
bidang. Banyak ragam kesenian dari plosok penting sebagai keyakinan yang dapat
negeri yang harus dipelajari dari sekarang agar mempengaruhi sikap dan perilaku dalam
generasi muda tidak lupa tradisi yang sudah ada kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia
sejak nenek moyang yang harus dilestarikan di menggunakan nilai-nilai tesebut sebagai
antaranya tradisi “nyumpet” yang terdapat nilai- penyaring dalam menyikapi pengaruh global
nilai social dan religius di dalamnya. sekarang ini. Nilai budaya menjadi kekuatan
dalam pengendali krisis eksistensi manusia
2. Nilai-nilai budaya Lokal dalam keterasingan menuju arah baru sesuai
Hakikat nilai-nilai budaya dapat berlaku lebih semangat lokalitas dan globalitas (Fauzi, 2018).
umum tidak hanya di masyarakat jawa saja tetapi Banyak nilai-nilai moral, sosial, religius yang
diseluruh plosok Indonesia. Dalam kehidupan disampaikan melalui budaya di Indonesia. Nilai-
bermasyarakat sistem nilai berkaitan erat dengan nilai tersebut akan mempengaruhi tingkah laku
sikap dan pola tingkah laku manusia. Tentu saja masyarakat dalam berinteraksi diantaranya
nilai budaya bersifat partikularistik dimana khas sopan santun, tata-krama dalam bersikap dan
tertentu berlaku umum dalam suatu suku budaya bertindak oleh generasi muda pada orang yang
tertentu (Soehadi, 2002). Apabila kita pahami lebih tua atau asas sopan santun. Pada budaya
kembali kekhasan nilai budaya suku lain di nyumpet menghasilkan nilai-nilai moral pada
Indonesia relatif berbeda. Misalnya dalam masyarakat lokal hal ini di desa sekuro dimana
pernikah adat atau system kekerabatan Jawa karakter atau pun sikap terbentuk sekaligus
tentunya berbeda dengan adat Minangkabau. dalam sikap religius dengan kebiasaan-
Permasalahan ini juga dapat berfungsi kebiasaan positif yang dapat dilaksanakan.
membentuk struktur nilai budaya yang berlaku di
masyarakat Indonesia. Meskipun demikian
masyarakat masih berada pada kawasan Asia 3. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat
Tenggara yang dicirikan menganut filosofi timur. Era Milenial
Kearifan lokal dapat diperoleh, dikemas, Mengkaji fenomena masyaratkat sosial tidak
dilaksanakan, dan dilestarikan dengan baik lepas dari lingkungan masyarakat sebelum.
sebagai sebuah pilihan dari pedoman hidup di Masyarakat salah bentuk dari tata kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai dari local wisdom dapat yang merupakan salah satu bentuk memiliki nilai-
pula digunakan sebagai filter kebudayaan asing nilai dan budaya. Berbicara mengenai generasi
yang masuk sehingga tidak bertentangan dengan milenial yang berada pada Generasi X yang lahir
identitas bangsa serta kaharmonisan dengan rentang tahun 1960-1980. Generasi tersebut
Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai kearifan lokal cenderung suka akan risiko dan pengambilan
dapat sebagai banteng dalam menghadapi arus keputusan yang matang akibat dari pola asuh
global di era milineal yang telah mengakar dalam dari generasi sebelumnya (Baby Boomers).
masyarakat atau daerah. Berikutnya merupakan generasi Baby Boom,
Pada dasarnya, nilai-nilai budaya lokal dapat generasi yang lahir pada rentang tahun 1946-
memperbaiki kualitas tindakan anak untuk 1960. Terlahir pada masa perang dunia kedua
perkembangan pembelajaran di masyarakat. telah berakhir sehingga perlu penataan ulang
Pada ajaran budaya lokal terdapat nilai-nilai kehidupan. Kenapa disebut dengan Baby Boom
kearifan dalam kehidupan banyak disampaikan karena pada era tersebut tingkat kematian bayi
melalui ungkapan (Budiyono & Feriandi, 2017). sangat tinggi. Untuk generasi terakhir disebut
84 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020 IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

generasi veteran yang lahir kurang dari tahun masyarakat lokal yang dijadikan pembelajaran
1946. Badan pusat statistik (2018) menyebut atau panutan sebagai contoh interaksi sosial
istilah generasi ini bermacam-macam oleh para dalam masyarakat tradisional. Pada perubahan
peneliti, seperti silent generation, traditionalist, abad ini yang menuju era modern harus memiliki
generasi veteran, dan matures. Dunia era kesadaran agar dapat menghargai kebudayaan
modern ini saat ini mengalami perubahan yang yang dimiliki dari nenek moyang.
signifikan dalam ketrampilan yang dibutuhkan.
Demikian disebabkan munculnya tantangan yang
hadir pada masyarakat tradisional menuju 4. Membumikan Budaya lokal
perubahan yang terjadi pada era revolusi industri Budaya dan kebudayaan secara umum,
4.0 sekarang ini. Maka dalam perubahan ini akan sebagai sebagai budaya yang bersifat lokal
memunculkan prinsip-prinsip bagaimana yang (setempat) atau lokasi tertentu terdapat budaya
cepat maka dia yang akan jadi pemenangnya regional atau bisa disebut sebagai kebudayaan
(Pannen, 2017:1). tradisional suku-suku bangsa (Demina, 2013).
Badan pusat statistik (2018) memaparkan Budaya sebagai singkatan dari kebudayaan yang
bahwa generasi era milenial ini rentang lahir termasuk digunakan dalam antropologi lebih
tahun 1980 sampai 2000, jadi kategori generasi mengarah pada himpunan pengalaman yang
milenial muda saat ini kisaran mulai umur 15-35. dipelajari. Budaya sendiri mengacu pada sebuah
Sebab lahir di era kecanggihan teknologi. pola-pola perilaku yang dibagikan secara sosial.
Generasi ini lebih suka mendapatkan informasi Selain itu kebudayaan juga mencangkup semua
dari ponselnya yang lebih diikuti dan selalu up-to- yang didapat dan dipelajari oleh manusia sebagai
date dengan berita sekitar. Apabila dihadapkan anggota masyarakat.
pada pilihan, maka generasi muda akan memilih Ontologis kebudayaan dapat digambarkan
ponsel dari pada TV. Selain itu bebarapa dampak dalam hubungan-hubungan kekerabatan, baik
negatif dalam masayarakat milineal ini yaitu individu maupun masyarakat, dalam tradisi dan
menurunkan kemampuan sosial dengan adat-istiadat yang dipelihara dan terselenggara
masyarakat umum, terjadi banyak pelanggaran dalam kegiatan organisasi-organisasi, baik yang
hak cipta, pada anak-anak lebih banyak hal berdasarkan profesi, berdasarkan asal-usul
menghabiskan waktu untuk bermain online keturunan, maupun hobi, yang kemudian
didunia maya dari pada bersosialisasi dalam membentuk struktur sosial kemasyarakatan,
dumia myata, tetapi dalam hal baiknya semua sehingga mencakup nilai, simbol, norma, dan
aktifitas sosial lebih praktis dari pada pada era pandangan hidup umumnya yang dimiliki
masyarakat tradisional (Ratnasari, 2011: 4). bersama oleh anggota masyarakat.
Generasi ini cenderung cuek dalam keadaan Banyak dari ungkapan jawa kita dapat
sosial, umumnya manusia itu saling memperoleh nilai yang harus dipegang teguh,
membutuhkan dan berinteraksi. Namun dengan nilai-nilai luhur yang dapat digunakan sebagai
adanya teknologi yang berkembang pesat sumber pendidikan karakter yang bersifat
sekarang ini mengubah banyak tingkah laku dari universal (Budiyono & Feriandi, 2017). Pada
generasi sekarang ini. hakikatnya kebudayaan merupakan proses
Melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini, kreatif diri manusia yang aktual dalam menjawab
terdapat skenerio utama bagi para pemuda tantangan yang dihadapinya. Membumikan
generasi Y agar dapat memanfaatkan kemajuan budaya lokal sendiri merupakan cara agar
teknologi secara bijaksana dengan mengilhami masyarakat muda di era milineal sekarang ini
secara utuh budaya lokal yang dimiliki negeri dan mengetahui masih banyaknya sebuah budaya
bangsa Indonesia khususnya tradisi lokal yang belum dikenal. Seperti budaya aceh dalam
diseluruh plosok. Pada dasarnya peralihan dari membumikan tradisi Peusijuek dimana salah satu
masyarakat tradisional menuju masyarakat era prosesi adat yang bertujuan memohon
milineal akan terjadi akulturasi yang dilakukan keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan
oleh masyarakat karena alasan tertentu, dimana dalam kehidupan sehari-hari. Prosesi ini masih
adanya keharusan penyesuaian dalam masya- tetap dilaksanakan pada masyarakat aceh untuk
rakat. Hal ini kesepakatan bersama baik secara kegiatan pernikahan adat, perayaan adat,
tersirat maupun tersurat ataupun terpaksa. syukuran, dan upacara lainnya (Riezal dkk,
Seperti penuturan mengenai akulturasi bagi 2018:149).
masyarakat di Papua Barat dimana kebudayaan Konsepsi membumikan disini diartikan
yang dijalankan tidak lagi sama dengan sebagai melestarikan budaya yang hampir
kebudayaan asli yang diturunkan oleh para terkikis dalam pelaksanaan dan nilai dari tradisi
leluhur. Sehingga isi dari kebudayaan asli pun nympet. Tradisi nyumpet harus dilestarikan agar
nampak terkikis (Anakotta dkk, 2019:30). masyarakat jawa yang lahir di era modern
Namun kearifan lokal pada tradisi nyumpet sekarang dapat mengetahui, memelihara, serta
memiliki hubungan kekerabatan yang kuat antar menjaga kelestarian prosesi jawa yang banyak
85 | P a g e
IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

memiliki makna kehidupan dan tujuan yang air keberbagai sawah, yang ada di tepi
filosofis. perkampungan desa sekuro, jambu, kawak dan
sekitarnya. Bagi masyarakat yang memiliki
5. Budaya Lokal Dalam Tradisi “Nyumpet” keahlian sebagai tukang kayu, biasanya
Di Masyarakat Sekuro Kabupaten Jepara mempunyai usaha furniture sendiri atau bekerja
pada bos mebel (tetapi semenjak masa krisis
Studi antropologi di Indonesia mengenai akibat anjloknya mata uang asing tidak semua
kajian kelompok suku bangsa sekarang ini orang mempunyai mebel sendiri karena telah
memumasatkan pada kajian masyarakat gulung tikar hanya pengusaha mebel besar yang
perkotaan dan kehidupan sosial pedesaan akibat bisa bertahan karena usahanya masih bisa
dampak pembangunan yang dianggap tidak stabil), dapat juga merantau ke tempat-tempat
merata. kondisi tersebut dalam kajian mengenai yang menyediakan lapangan pekerjaan dibidang
masyarakat terasing telah memberikan sumbang- furniture antara lain kota Jakarta, Yogyakarta dan
sih bagi dunia antropologi khususnya kajian lainnya dipulau jawa atau luar pulau jawa. Profesi
etnografi. Keunggulannya yaitu kajian-kajian sebagai tukang kayu biasanya ditekuni oleh
yang mendalam mengenai keyakinan dan semua kalangan yang tingkat pendidikannya dari
pandangan hidup (Zamzami, 2013:30). SD-SMA (karena pada tingkat sekolah masih
Studi lapangan mengenai budaya nyumpet diberikan muatan lokal mengenai pembuatan
dalam memperoleh data yang akurat cukup ukiran Jepara tetapi mulai masa modern
membuat lelah tetapi sangat menarik untuk sekarang ini muatan lokal di jepara yang
dikupas. Sekuro merupakan nama desa yang diberikan sekolah ditiadakan hanya ada pada
terletak di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten sekolah tingkat kejuruan saja), selebihnya
Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten biasanya berprofesi sebagai petani. Pada saat
Jepara kita kenal dengan kota ukir, karena di krisis ekonomi penghidupan masyarakat sekuro
kota tersebut banyak sekali yang membuat sangatlah mapan disebabkan nilai tukar uang
kesenian ukiran yang terkenal hingga rupiah dan aktivitas perekonomian di Jepara
mancanegara. Desa Sekuro sendiri terletak pada pada umumnya menggunakan standar dollar,
batas–batas sebelah timur dengan kecamatan Dimana saat itu dollar sedang naik sehingga
Bangsri, sebelah barat dengan Laut Jawa, banyak masyarakat Sekuro yang menjadi bos
sebelah utara dengan desa Srobyong mebel. Hampir semua rumah di desa Sekuro
kecamayan Mlonggo, sebelah selatan dengan memiliki gudang untuk menyimpan barang hasil
kecamatan Pakisaji yang mempesona karena kerajinan untuk diekspor keluar negeri. Berbagai
masih dikelilingi oleh sawah-sawah yang asri. persaingan di masyarakat baik persaingan
Secara administratif kecamatan Mlonggo membuat rumah, perkakas mobil, dan lain
membawahi beberapa desa diantaranya desa sebagainya, hingga pada masa itu berakhir.
Jambu barat, Jambu Timur, Karanggondang, Disebabkan karena nilai dollar anjlok dan bahan
Mororejo, Sekuro, Sinanggul, Srobyong dan baku mengalami kepunahan sehingga banyak
Suwawal. pula yang gulung tikar dalam usaha tersebut.
Titik penandaan desa sekuro meliputi bagian Upah yang didapatkan para pekerja pada bulan-
luar wilayah persawahan yang subur, dataran, bulan tertentu tidak mampu untuk memenuhi
dan laut. Dilengkapi beberapa sentra kerajinan keperluan sehari-hari karena munculnya sebuah
furniture sebagai sumber penghasilan di pemikiran tiap-tiap orang memiliki kebutuhan dan
masyarakat tersebut. Sebagai salah satu pusat tanggung jawab sosial dianggap lebih penting
industri furniture, Sekuro dihuni sekitar lebih dari daripada kebutuhannya sendiri yaitu sebuah adat
600 kepala keluarga dengan mata pencaharian kebiasaan ‘menyumbang’ (Widiana, 2015). Awal
80% sebagai pengrajin atau tukang kayu dan dari acara syukuran atau penikahan di desa
selebihnya berprofesi sebagai petani, buruh tani, sekuro disebut nyumbang menyumbang artinya
PNS, dan pedagang (data tersebut diperoleh tiap orang memiliki kewajiban menyumbang
peneliti dari balai desa sekuro). Kesehariannya sebanyak mereka mampu untuk menyokong
peran mereka didukung oleh fasilitas yang cukup kegiatan acara penikahan, sunatan, kelahiran
memadai seperti transportasi dan jalan yang bayi untuk sanak saudara, sahabat, tetangga
beraspal halus jalur Jepara-Pati, serta angkutan yang dikenalnya tanpa pamrih. Sebelum
desa untuk akses pedalaman untuk para munculnya kebiasaan hutang piutang.
pedagang yang turun dari atas atau gunung. Ketika lapisan masyarakat dihadapkan pada
Sementara itu disisi lain dari desa sekuro ini suatu realita hidup yang memunculkan sebuah
di bagian selatan desa dikelilingi sungai yang pemikiran popular bahwa “besar pasak dari pada
mengalir yang aliran airnya di dapatkan dari tiang” hal tersebut dirasakan. Pada saat masa-
gunung muria dan juga mengandalkan sistem masa sulit dirasakan ketika adanya hajatan
tadah hujan yang mengalirkan air menuju laut perkawinan di desa Sekuro. Bahwa untuk
jawa. Ada juga sebuah sistem irigasi klasik merayakan acara khitanan tata upacara sama
berupa selokan sebagai cara untuk mengalirkan persis seperti pola upacara kawinan. Dimana
86 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020 IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

harus ada tata cara yang dilakukan oleh pihak zaman dahulu masih percampuran Islam
yang mempunyai acara. dan Hindu), tetapi bisa saja memiliki
Disini penulis menguraikan mengenai adat- kepercayaan pada agama tradisional, Hindu
istiadat yang dilakukan seminggu sebelum maupun Budha, tetapi memiliki peran utama
menjelang pesta pernikahan atau sunatan yang dalam pendirian sutu desa yaitu sebagai
di sebut ‘nyumpet’. Kegiatan ‘nyumpet’ ini orang yang membuka wilayah yang pertama
dilakukan agar harapan dari pelaksanaan kali (dapat pula disebut babat alas).
kegiatan nikahan atau sunatan dan yang lainnya b. Doa untuk Danyang dibacakan ketika
diberikan kelancaran dari mulai acara hingga “Nyumpet dan Ngrasulake”. Dilakukan
sampai selesai. Tradisi “Nyumpet” mempunyai seminggu sebelumnya dibarengi ngrasula-
makna melindungi, menutupi, merapati, dan ke. Ngrasulake yaitu kirim do’a untuk para
memagari. Atau dalam istilahnya mbuntoni atau rasul, para nabi, sahabat, tabiin sampai
menutup jalan dari berbagai gangguan secara pada leluhurnya.
kasat mata maupun terhindar secara fisik dari c. Nyumpet dilakukan oleh tokoh spiritual yang
musibah apapun. Hal ini seperti tradisi aceh ada di desa atau orang yang dituakan.
bernama tradisi Peusijuek yang memiliki makna Nyumpet dibutuhkan tempat khusus untuk
yang sangat filosofis untuk memohon doa dan membacakan doa-doa beserta perleng-
memperoleh keselamatan, kedamaian, ketentra- kapan seperti dupa, bubur abang, bubur
man serta bahagia dalam kehidupan (Riezal dkk, putih, jadah, paso kekep dan lainya yang
2018: 154). Sama makna serta dalam kegiatan diletakkan di kamar yang disediakan dan
yang dikaitkan dengan agama atau kepercayaan tidak boleh ada orang lain yang
yang dilakukan pada acara pernikahan, sunatan. memasukinya hingga pesta selesai kecuali
Nyumpet atau selametan dilakukan menjelang sang punya hajat (disediakan ruangan atau
pelaksanaan prosesi pernikahan atau 7 hari kamar dirumah yang mempunyai hajad
sebelum dilakukan prosesi sebagai tolak balak untuk berdoa, semedi atau berdiam diri yang
dan dibebaskan dari gangguan metafisik atau diperuntukkan tokoh spiritual).
non metafisik (dalam artian metafisik seperti d. Selanjutnya paso ditutup setelah diberi do’a,
genderuwo, memedi, lelembut, demit, serta sifat kemudian dibuka lagi menjelang sehari
manusia seperti lowo kalong, atau sukmo sebelum pesta dimulai pada saat malam
nglemboro seperti kucing, babi ngepet, kilah agar melek pasian (melek pasian merupakan
jrangkong, wewe gombel, wujung-wujung kegiatan malam sebelum acara dilaksana-
(pocong)) hal yang tidak bisa dilihat oleh mata kan esok hari, biasanya sanak saudara,
telanjang yang akan mengganggu keberhasilan tetangga yang membantu berada di rumah
prosesi pernikahan atau sunatan. Untuk yang mempunyai hajad). Seperti permintaan
melaksanakan prosesi ini dibutuhkan seseorang rezeki dilimpahkan, tidak ada gangguan
yang mampu melaksanakan upacara. Seperti apapun serta cuaca pada saat acara pesta
orang yang dituakan atau orang pintar yang bisa menjadi cerah, Bersamaan waktu membuka
menjalankan ritual tersebut yaitu sesepuh desa paso, carang dan lawe yang diikatkan pada
untuk mbah kawak (karena dahulu dipercaya carangnya diambil dari kamar kemudian
sebagai pelindung desa agar tidak terjadi ditancapkan dibelakang rumah ditempat
bencana pada desa tersebut namanya mbh lapang tanpa ada halangan. Gunanya untuk
kawak). Runtutan ritual nyumpet dapat diuraikan menyingkirkan atau khusus menolak
sebagai berikut: datangnya hujan.
a. Prosesi nyumpet diawali dengan do’a yang e. Kirim nduwo atau kirim do’a pada ahli kubur
dikemas dalam acara slametan. Slametan shohibul hajat pada melek pasian (melek
perwujudan minta ijin kepada danyang agar semaleman di malam hari sebelum pelaksa-
dibantu dalam melaksanakan hajat yang naan pesta esok harinya).
akan diselenggarakan dan dapat dikabulkan
dari Gusti Allah atau Tuhan Yang Maha Esa. Setelah pesta selesai maka ritual ditutup
Danyang merupakan (roh pelindung) dari dengan ‘selamatan sepasar’ (hari pada kalender
tokoh-tokong sejarah pendiri tanah sekuro hitungan jawa) dengan perlengkapan yang
yang telah meninggal. Mbah kawak adalah dibutuhkan yaitu jajan pasar, bubur merah putih,
danyang dari desa sekuro yang pertama kali ingkung, nasi golong. Undangan tetangga
membabat hutan sekuro untuk mendirikan terdekat, tujuannya untuk bersyukur atas
desa tersebut dan membagi wilayahnya keberhasilan hajatnya, dan selamatan penutup
pada pengikut, keluarga, teman-temannya hajat. Tetapi terkadang hanya rumah-rumah
dan mbah kawak sendiri sebagai lurahnya. tertentu saja yang mengadakan runtutan
Mbah kawak sudah masuk Islam ketika kegiatan tersebut secara lengkap dalam
membabad tanah sekuro namun secara prosesinya (kegiatan tersebut apabila seseorang
umum belum tentu beragama Islam (pada dalam perekonomian mampu melaksanakan).
87 | P a g e
IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Karena mulai lunturnya tradisi tersebut, biasanya berperan dalam perubahan bermasyarakat, dari
hanya sekedar membuat selamatan malam saja masyarakat tradisional yang dikenal hanya
sebelum hari terlaksananya kegiatan kawinan condong pada kepercayaan terdahulu mengenai
atau sunatan (khususnya orang yang ekono- pola asuh hingga masyarakat modern atau
minya kurang tidak melaksanakan). Maka, pada masyarakat melek teknologi yang berpola pikir
era milineal sekarang ini perlu adanya praktis. Prinsip kerukunan dalam budaya jawa
pengetahuan terkait kebiasaan-kebiasaan yang bertujuan sebagai alat untuk mempertahankan
ada di masing-masing desa. masyarakat dalam keadaan apapun. Masyarakat
Pada perkembangannya tradisi masyarakat rukun atau selaras dalam kehidupan masyarakat,
Jawa telah mengalami perubahan yang drastis. tenang dan tentram tanpa ada perselisihan.
Ketika budaya Islam masuk ke dalam budaya Dengan menciptakan suasana kerukunan antar
atau tradisi lokal yang menganut budaya Hindu, anggota masyarakat dapat membentuk ikatan
secara perlahan upacara tradisi memasukkan persaudaraan baik bersifat politik, sosial
unsur Islam di dalamnya terutama pada doa-doa keagamaan.
yang menyertai upacara adat tersebut. Fungsi Nilai-nilai budaya lokal sangatlah penting
dan esensi dari upacara tradisi jawa tersebut untuk membentuk keyakinan yang dapat
dalam masyarakat telah dipengaruhi perkem- mempengaruhi sikap, perilaku dalam kehidupan
bangan teknologi dan globalisasi, sehingga masyarakat. Dengan menggunakan nilai-nilai
kegiatan yang runtut dan padat dalam upacara tersebut dapat menyaring dan menyikapi dari
tradisi hanya melaksanakan upacara yang pengaruh global sekarang ini. Cara melestarikan
dianggap penting. Perlengkapan dan tata cara budaya Jawa salah satunya Nyumpet yang
mulai di rampingkan sehingga permaknaan diadakan di desa Sekuro, kecamatan Mlonggo,
upacara tradisi hanya sebatas sarana untuk Kabupaten Jepara mencari tahu dan membumi-
menjalin hubungan sosial kemasyarakatan dan kan atau melestarikan kembali di desa sekuro.
kekeluargaan. “Nyumpet” merupakan kegiatan dimana satu
Membumikan atau melestarikan nilai-nilai minggu sebelum acara pernikahan atau acara
kearifan lokal jawa terutama budaya Nyumpet ini sunatan dilaksanakan, yang banyak menyimpan
dapat pula berorientasi pada prinsip rukun dan nilai-nilai moral, sosial dan spiritual dalam
hormat, sopan santun, menunjukkan sikap kegiatan tersebut.
religius, inisiatir, kreatif di tengah-tengah masya-
rakat yang mewujudkan cita-citanya dalam hal ini E. UCAPAN TERIMAKASIH
masyarakat modern atau masyarakat di era

P
revolusi ini. enulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada bapak Abdul Gafur selaku dosen
D. KESIMPULAN pembimbing yang telah senantiasa mem-
bimbing dan mengarahkan penulis dalam

D
ari pembahasan di atas mengenai menyusun artikel ini hingga terbit. Terimakasih
bagaimana membumikan budaya lokal juga penulis sampaikan kepada program
yang ada di Jawa salah satunya di desa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Sekuro, Kabupaten Jepara mengenai “Nyumpet” yang telah memberi dukungan untuk penerbitan
di era milineal ini dapat diambil beberapa catatan artikel ini.
bahwa melestarikan sebuah upacara sangat

DAFTAR PUSTAKA

Anakotta R, dkk. (2019). Budaya dalam masyarakat di papua: akulturasi budaya lokal dan pendatang.
21(1), 29-37. Retrieved from https://doi.org/10.25077/ jantro.v21.n1.p29-37.2019.
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik gender tematik: profil generasi milenial Indonesia. Kementerian
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Budiyono1 & Feriandi, Yoga Ardian. (2017). Menggali nilai nilai kearifan lokal budaya jawa sebagai
sumber pendidikan karakter. FKIP Universitas PGRI Madiun Prosiding SNBK (Seminar
Nasional Bimbingan dan Konseling) 1(1). Retrieved from ISSN 2580-216X.
Daryanto, (2015). Pengelolaan budaya dan iklim sekolah. Yogyakarta: Gava Media.
Demina. (2013). Membumikan nilai budaya lokal dalam membangun karakter bangsa. Jurnal Ta’dib,
16(1), 1-13. Retrieved from http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id.
Fauzi. (2018). Peran pendidikan dalam transformasi nilai budaya lokal di era millenial. Insania, 23(1),
51-65. Retrieved from https://doi.org/10.24090/insania.v23i1.2006.
Hikmat, Harry. (2010). Strategi pemberdayaan masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

88 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020 IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR
IMANULLAH H. NUR ALAMA, ABDUL GAFUR/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Iskandar, Jihan. (2016). Etnobiologi dan keragaman budaya di Indonesia. Indonesian Journal of
Anthropology. 1 (1), 27-42. Retrieved from https://doi.org/10.24198/umbara.v1i1.9602.
Zamzami, Lucky. (2013). Sekerei mentawai: keseharian dan tradisi pengetahuan lokal yang digerus.
34(1), 29-40. Antropologi Indonesia (Indonesian Journal of Social and Culture Antropology.
Mubah, A. Safril. (2011). Strategi meningkatkan daya tahan budaya lokal dalam menghadapi arus
globalisasi. 24(4), 302-308. Surabaya: Departemen Hubungan Internasional, FISIP, Unair.
Mahmud. (2011). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Nasikun. (2013). Sistem sosial Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
National Chamber Foundation (NCF). (2012). “The Millennial Generation Research Review”
Nugroho, Arie. (2011). Analisis peribahasan mengenai kerukungan dalam kajian semantik. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Nugroho, A. B., & W.S., V. (2010). Akulturasi Antara Etnis Cina dan Jawa: Konvergensi atau
Divergensi Ujaran Penutur Bahasa Jawa?. Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa
Nusantara. . Semarang: Magister Linguistik PPs UNDIP.
Pannen, P. (2017). Pendidikan masa depan. Makalah disajikan dalam seminar nasional pendidikan
sains. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Purbasari, VA, Suharno. (2019). Interaksi sosial etnis cina-jawa kota Surakarta. Jurnal Antropologi:
Isu-isu Sosial Budaya. 21(1), 1-9. Retrieved from https://doi.org/10.25077/jantro.v21.n1.p1-
9.2019.
Ratnaya, I. G. (2011). Dampak negatif perkembangan teknologi informatika dan komunikasi dan cara
mengatasinya. 8(1), 17-28. JPTK UNDIKSHA.
Riezal, Chaerol; Hermanu Joebagio; Susanto. (2018). Krontruksi makna tradisi Peusijuek dalam
budaya Aceh. 20(2), 145-155. Retrieved from https://doi.org/10.25077/jantro.v20.n2.p145-
155.2018.
Soehardi. (2002). Nilai-nilai tradisi lisan dalam budaya jawa. Jurnal Humaniora, 14(3), ISSN: 2302-
9269. Retrieved from https://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/view/763/608.
Taib bin Saearani, Muhammad Fazli dkk. (2014). Non-Formal Education As Culture Transformation
Agent Towards The Development Of Clasical Court Dance In Yogyakarta, Indonesia.
International Journal of Education and Research, 2 (5), 43-52. Retrieved from www.ijern.com.
Widiana, Nurhuda. (2015). Akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi “nyumpet” di desa Sekuro
kecamatan Mlonggo kabupaten Jepara. Jurnal Ilmu Dakwah, 35(2), 286-306, Retrieved from
http://dx.doi.org/10.21580/jid.v35i2.1611.
Widiastuti. (2013). Analisis swot keragaman budaya Indonesia. ISSN 2338-3321, 1 (1), 8-14. e-
journal.jurwidyakop3.com.

89 | P a g e
IMANULLAH HESTI NUR ALAMA, ABDUL GAFUR https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p81-89.2020
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

DINAMIKA KEAGAMAAN MASYARAKAT PERBATASAN PALOH


KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT
1 * 2 3 4 , 5
Aslan ( ),Suhari ( ), Antoni ( ), M. Ali Mauludin ( ) Galuh Nashrulloh Kartika MR ( )
1 2
Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia.
3
Universitas Wijaya Putra, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
4
Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
5
UNISKA Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 20th December, 2019. Paloh is an unseen tribe in the City of Truth or a place where Bunians
Review I : 05th February, 2020 are believed to have supernatural powers up to now from Kalimantan
Accepted : 04th May, 2020 and its surroundings. The purpose of this study is to describe the Paloh
Published : 1st June, 2020 community's belief in the existence of the City of Truth inhabited by
Available Online : June, 2020 subtle people, which isinvisible to the presence of the City of Truth.
However, in the eyes of the mind, Paloh is a city for magical creatures
that are more beautiful, majestic, luxurious, complete facilities and
KEYWORDS infrastructure compared to West Kalimantan. To obtain the required
data, a series of Paloh community interviews, field observations and
Religious Dynamics; Paloh Border Community; documentation have been successfully carried out. The results of this
study include that the Paloh people who are still thick with sacred values
Sambas Regency
believe that the Paloh area is the City of Truth. So that the Paloh
community still applies restrictions and prohibitions that cannot be
CORRESPONDENCE violated by anyone who comes to the Paloh forest. If there are people
who violate restrictions and prohibitions, then they will receive the
*E-mail: aslanmarani88@yahoo.com consequences in the form of illness, mental disorders such as crazy,
stress and even to death. Therefore, Paloh is called the Truth Person,
because if they come there with no good intentions, they will be warned
by the Bunian people. On this basis, so that now Paloh is still known as
the City of Prohibition for those who are intended to do wrong and evil.

A. PENDAHULUAN

Dari ketiga masa perubahan tersebut masing-

P
erubahan adalah niscaya yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat. Perubahan masing mengalami perbedaan dan dampak dari
tidak terlepas dari perjalanan sejarah perubahan yang dialami oleh masyarakat,
manusia dengan mengalami beberapa rentetan, misalnya pada era pertanian, teknologi masih
sehingga setiap rentetan akan mengalami sederhana, era industri teknologi sudah mulai
perbedaan dari rentetan sebelumnya. Oleh canggih, tetapi mengalami keterbatasan bagi
karena itu, banyak para pemikir-pemikir sosial masyarakat untuk menikmatinya. Pada saat
memaknai perubahan dengan berbagai macam manusia hidup di era sekarang, maka teknologi
perbedaan, tetapi disatu sisi tidak terlepas dari suda berlimpah ruah, sehingga dalam buku
persamaan, yang mana perubahan yang dialami selanjutnya, Toffler mengatakan bahwa peruba-
masyarakat nantinya akan segala-galanya han di era sekarang telah mengejutkan manusia
berubah. dari segala-galanya.
Sztompka (1993), Aslan & Hifza (2020), Teknologi mutakhir dalam kehidupan manusia
dalam memaknai perubahan tidak terlepas dari saat ini adalah internet. (Mujiburrahman, 2017);
sejarah yang telah dialami manusia. Sementara, (Mujiburrahman, 2017); (Aslan, 2019). Perkem-
Toffler (1970) (1980), membagi perubahan bangan teknologi yang dianggap mutakhir telah
dengan mengalami tiga masa, yang dimulai membawa manusia hidup di alam dua dunia,
masa pertanian, industri dan masa sekarang. yakni maya dan nyata sekaligus dunia maya
telah banyak menaburkan pesona kepada

90 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

manusia, sehingga dari pesona tersebut manusia Menurut Durkheim, agama yang sakral adalah
lebih lebih banyak hidup di dunia maya sesuatu tanpa adanya perubahan, suci, tidak
dibandingkan dengan dunia nyata. (Mujibur- boleh dilanggar dan apabila dilakukan maka akan
rahman, 2018). Salah satunya fitur yang mendapatkan mara bahaya, yang bisa juga
dihasilkan oleh smartphone saat ini adalah berbentuk tempat, binatang, tumbuhan, maupun
instagram. Instagram disatu sisi mampu lainnya. Sementara, yang profan adalah sesuatu
membuat manusia semakin percaya diri, tetapi yang telah mengalami perubahan dan sudah
disisi lain mempunyai dampak negatif. (Roem & boleh dilangar atau sudah tidak lagi dianggap
Sarmiati, 2019). Perbedaan perubahan yang tabu. (Pals, 2012). Agama yang masih sakral,
dialami masyarakat, sehingga pandangan dalam banyak ditemukan pada masayarakat primitif
agamapun ikut juga mengalami perubahan, yang pada zaman dahulu, dibandingkan pada zaman
mana setiap teknologi dari media siaran televisi informasi saat ini. (Rakhmat, 2013). Masyarakat
yang hadir dalam kehidupan masyarakat dengan yang dianggap primitif adalah masyarakat yang
mengundang ustadz dan ustadzah dengan pe- hidup paling sederhana yang cenderung tinggal
mahaman agama yang berbeda-beda. (Mujibur- di daerah pedesaan, dibandingkan dengan
rahman, 2015). Pada era tahun 80-an, media masyarakat yang tinggal di perkotaan. (Sanaky,
televisi sangat jarang sekali dimiliki oleh 2005). Akan tetapi, tidak semuanya masyarakat
masyarakat. Televisi hanya dimiliki oleh dengan berbagai etnik yang ada di Indonesia,
masyarakat dari kalangan tertentu. Akan tetapi, khususnya masyarakat Sambas di Paloh
saat ini tidak dapat lagi dipungkiri, televisi sudah mengalami perubahan dari sistem kepercayaan
membanjiri rumah masyarakat yang tidak lagi yang dianutnya, seperti halnya yang dilakukan
mengenal tempat tinggal masyarakat dan penelitian oleh Langaji, (2016) tentang dinamika
kalangan strata masyarakat yang bersangkutan. keagamaan dengan adanya perbedaan aliran
Namun, dampak dari perubahan era informasi dalam memahami agama.
saat ini, hubungan agama dengan masyarakat Dinamika keagamaan adalah sebuah gam-
tidak terlepas dari tiga pandangan. baran tentang kehidupan masyarakat tentang
Menurut Thomas F. O’Dea (1996), keyakinan dan interaksi sosial dari keyakinan
Nottingham (1996), hubungan manusia terhadap tersebut. (Ridwan, 2016). Setiap keyakinan yang
agama terdiri dari tiga aspek; Pertama, agama dimiliki mengalami perubahan sesuai dengan
merupakan kesadaran yang tertinggi yang dimiliki perkembangan politik di masyarakat. (Agustono,
oleh manusia. Kedua, agama menyangkut 2016). Perubahan dalam beragama tersebut
pandangan yang suci bagi masyarakat. Ketiga, dikenal sebagai otoritas agama. Disatu sisi
masyarakat dalam beragama tidak terlepas dari agama adalah kepercayaan terhadap Tuhan,
keyakinan yang dianggap supranatural yang tetapi disisi lain agama adalah milik individu yang
tidak bisa dibuktikan secara empiris. Ketiga selalu mengalami perubahan. (Rumadi, 2012).
aspek tersebut, hubungan agama dengan Secara umum, kepercayaan agama secara
masyarakat terdapat perbedaan yang dimiliki individu dimiliki oleh setiap masyarakat yang ada
oleh masyarakat yang bersangkutan. Apalagi, di dunia, tetapi berbeda halnya dengan
masyarakat yang tinggal di desa, masih dianggap masyarakat yang ada di Paloh, yang mana
sebagai masyarakat yang masih kental terhadap hampir secara keseluruhan masyarakat Paloh
kepercayaan nenek moyang atau agama masih mempercayai agama nenek moyang.
animisme dan dinamisme. Paloh merupakan wilayah Kecamatan Sam-
Dinamika keagamaan masyarkat dari hubu- bas, Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sam-
ngan agama dan masyarakat, pada awalnya bas merupakan salah satu daerah Tingkat II
sebelum berkembangnya teknologi, masyarakat Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas wilayah
2
sudah mempunyai pola pemikiran yang terikat 6.395,70 km atau 639.570 ha (4,36 dari luar
dalam hubungannya sesama masyarakat yang wilayah Kal-Bar). (Huruswati., dkk, 2012).
diciptakan oleh masyarakat untuk membuat Sambas yang terletak di bagian utara atau
aturan dalam kehidupan suatu masyarakat yang dikenal juga sebagai daerah bagian pantai. Pada
terikat oleh nilai. (Agus Salim, 2014). Nilai yang awalnya, Sambas merupakan bagian dari Kota
diciptakan oleh masyarakat yang bersangkutan, Singkawang dan Kabupaten Bengkayang dan
sehingga membedakan juga terhadap nilai mengalami pemekaran pada tahun 2000.
agama yang dimiliki oleh masyarakat antara Sambas menaungi 17 Kecamatan dengan me-
daerah yang satu dengan yang lainnya. miliki 175 Desa. (Huruswati., dkk, 2012). Ka-
Perbedaan ini, dianggap oleh Alfani Daud bupaten Sambas, terdiri dari beberapa Keca-
(1997), sebagai “religi komunitas” yang membe- matan, dan hampir secara seluruh masyara-
rikan identitas pada masyarakat lain, dianta- katnya mayoritas Muslim. (Kementerian Agama,
ranya; Pertama, percaya dari sumber ajaran 2017).
Islam. Kedua, percaya kepada yang gaib. Ketiga, Masyarakat Sambas terdiri dari berbagai
kepercayaan terhadap lingkungan. Oleh karena macam etnis dan etnis yang paling terbesar
itu, masyarakat dalam beragama tidak terlepas adalah etnis Melayu. (Arkanudin, t.t.); (Thambun
kepada sesuatu yang sakral dan profan. Anyang, 2003). Etnis Melayu mempunyai sejarah
91 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 ASLAN, et al.
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

yang panjang dalam kehidupan manusia, tetapi stress, gila bahkan meninggal dunia, sehingga
yang paling penting, etnis Melayu adalah etnis untuk pergi ke wilayah Paloh terlebih dahulu
yang suka berlayar, sehingga kata Melayu meminta ijin kepada orang kebenaran atau
mempunyai arti berlayar. (Viktor, 2014). Sejarah makhluk halus.
itu juga, tidak terlepas dari sejarah Melayu yang Filosofi Paloh berasal dari peluh, yang mana
ada di Sambas, ketika Melayu Sambas masih untuk menembus sungai tersebut, bersusah
memeluk agama Hindu, animisme, dinamisme payah sehingga mengeluarkan peluh (keringat).
dan kaharingan. Namun, ketika Melayu Sambas Di Paloh terdapat tempat yang telah dike-
memeluk agama Islam, maka Sambas termasuk ramatkan oleh sebagian masyarakat Paloh atau
Paloh terkenal dengan religiusnya dalam bera- luar Paloh yang sampai sekarang masih terdapat
gama. (Yusriadi, 2014); (Adnan, 2015); (Belo, pantangan dan larangan, yang mana tempat
2016); (Yusriadi, 2019). Agama Islam yang tersebut adalah Batu Bejamban. (Usman (Camat
mempunyai peran penting di Sambas, yakni Paloh), 2013). Kepercayaan sebagian masya-
ketika Raden Sulaiman dari Bruneidarussalam rakat Paloh yang ada di Batu Bejamban, di
menikah dengan mas Ayu Bungsu, anak dari tunggu oleh Buaya Putih yang bisa saja
Ratu Sepudak. (Mardiyati, 2011); (Sunandar, menjelma apa saja, misalnya manusia. (Wawan-
2014); (Sunandar, 2015); (Sunandar, 2015). cara dengan anggota Pokdarwis, surat, 7 Juni
Akan tetapi, masuknya Islam di Sambas tidak 2017). Konon katanya, bagi masyarakat yang
menghilangkan sama sekali kepercayaan mempunyai hati putih, maka akan dinampakan
masyarakat, lebih-lebih lagi masyarakat Paloh oleh makhluk halus tentang kenyataan
tentang agama budaya lokal nenek moyang. sesungguhnya kota Paloh yang disebut juga
Masyarakat Paloh merupakan salah satu sebagai kota kebenaran dan merupakan kota
bagian dari masyarakat Sambas sebagai agama bagi makhlus halus. Bahkan, masyarakat Paloh
terbesar di zaman pemerintahan ratu sepudak yang pernah dinampakkan oleh orang kebe-
pada waktu itu. (Suhardi dkk., 2020). Namun naran, ketika pergi berkunjung ke Batu Bejam-
ketika Islam datang, tidak menyurutkan sama ban, dia melihat kota yang begitu indah dan luar
sekali adat, tradisi dan kepercayaan masyarakat biasa. Dia dibawa kemana-mana di kota makhluk
Paloh. Daerah Paloh merupakan daerah yang halus tersebut dengan kendaraan mobil yang
diapit oleh sungai dan laut, sehingga begitu mewah. Dia mengatakan, keindahan kota
menggambarkan sejarah Melayu Paloh yang kebenaran tidak dapat diungkapkan dengan kata-
bersangkutan. Penelitian ini telah dilakukan oleh kata. (Wawancara dengan salah satu Dukun di
Aslan (2019), bahwa nama Melayu diambil dari Wilayah Paloh, 2017).
nama daerah tempat ia tinggal, sehingga Melayu Penelitian terdahulu yang mengkaji tentang
yang tinggal di Paloh, maka dikatakan sebagai keagamaan nilai-nilai mistik, pernah dilakukan
Melayu Paloh. oleh Langaji, (2016) dan Hermansyah (2010).
Etnis suku Melayu tidaklah beda dengan Langaji mengkaji tentang aliran keagamaan
etnis-etnis lainnya yang ada di Indonesia, dalam perspektif sosiologis dengan memberikan
misalnya Sunda. Orang yang masuk Melayu arti bahwa agama yang aneh dan menyimpang
berarti masuk Islam. Simbol ini juga melekat disebut sebagai agama Sempalan. Namun,
pada etnis Sunda. “Islam teh Sunda, Sundah teh kajian ini hanya literatur sehingga tidak dapat
Islam”. Islam adalah Sunda, Sunda adalah Islam. memberikan sumbangsih yang mendalam
(Herawati, 2019). Masuknya Islam di Indonesia tentang aliran agama Sempalan tersebut. Se-
dengan membawa pengaruh bagi etnis lainnya, mentara, penelitian yang dilakukan oleh
tidak terlepas dari proses Islamisasi. Hermansyah di Kalimantan Barat pada daerah
Islamisasi yang terjadi di Asia Tenggara abad Pontianak dengan judul “Ilmu Gaib di Kalimantan
ke 7 M (Lapidus, 1991); (Azra, 2013); (Azra, Barat”. Hasil penelitian Hermansyah, bahwa Ilmu
2013), maka secara berangsur-angsur masuk ke adalah orang yang mengetahui tentang
wilayah Kalimantan Barat, termasuk di wilayah bermacam-macam ilmu. Kajian dari disertasinya
Paloh. Namun, Islamisasi tersebut masih tidak yang telah menjadi buku dan telah diterbitkannya
mampu mengubah sebagian kepercayaan ma- juga di jurnal, (Hermansyah, 2013) hanya
syarakat Paloh tentang sesuatu yang mistik. menggambarkan tentang ilmu serapah yang
Kepercayaan ini, sejak dahulu hingga sekarang dimiliki oleh orang-orang Pontianak, tetapi
masih tetap saja bersemi tanpa adanya kepercayaan ini juga telah mengalami perge-
perubahan. Hanya sedikit saja yang mengalami seran. Dari bab hasil penutup disertasi Herman-
pergeseran, tetapi hanya pada bagian sesajian syah, bahwa suku Melayu yang tinggal di
dan ritual upacara keagamaan. Bahkan, berbagai daerah Kalimantan Barat, memiliki
kepercayaan tersebut bukan saja di percayai budaya yang berbeda, walaupun ia berasal dari
oleh masyarakat Paloh tetapi juga dari luar suku Melayu. Perbedaan ini juga menggam-
Paloh. Tempat-tempat sakral, yang ada di Paloh, barkan tentang perbedaan agama lokal yang
maka tidak boleh dikotori oleh masyarakat Paloh dimiliki oleh suku Melayu yang tinggal di Paloh.
ataupun luar Paloh, karena dapat menyebabkan Penelitian ini bertujuan untuk menyoroti
sesuatu yang tidak diinginkan, baik itu sakit, dinamika keagamaan masyarakat Paloh yang
92 | P a g e
ASLAN, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

masih mempertahankan nilai-nilai agama mistik nusia dalam keyakinan agama yang dimiliki.
walaupun saat ini manusia telah mengalami (Rumadi, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh
perkembangan teknologi yang luar biasa. Rota & Krüger, (2019), P, (1944) tentang
Pengaruh masuknya agama Islam dimasa zaman dinamika keagamaan yang mengalami perge-
kesultanan Sambas tidak memberikan cukup serah seiring dengan perubahan sosial yang
andil bagi dampak agama Islam tersebut dialami masyarakat, termasuk terbentuknya
terhadap kepercayaan nenek moyang yang komunitas baru dalam keyakinan beragama di
dimiliki oleh masyarakat Paloh. era informasi saat ini.
Agama dari kepercayaan masyarakat tidak
terlepas dari simbol. (Geertz, 1973) (Cassirer,
B. METODE PENELITIAN 1994) (Mujiburrahman, 2013). Dalam agama
Islam, simbol adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama Islam, baik itu pakaian,

P
enelitian ini menggunakan penelitian
lapangan (field research), yang mana dalam melaksanakan ibadah shalat maupun
penelitian ini adalah untuk mendeskrip- ritual dalam pelaksanaan haji. (Mujiburrahman,
sikan, menganalisis dari gejala-gejala yang 2008). Berkaitan dengan itu pula, masyarakat
dialami oleh masyarakat, sesuai dengan fokus Paloh dalam menjalankan agama Islam seperti
dalam penelitian. Jenis dalam penelitian ini masyarakat pada umum lainnya, tetapi
adalah kualitatif. Maksud dari kualitatif adalah kepercayaan tersebut mengalami perpaduan
peneliti berusaha untuk memahami keadaan tentang kepercayaan yang berkaitan dengan
sosial masyarakat atau semua pihak yang dunia mistik.
dianggap terlibat dalam memberikan informasi Perubahan yang terus terjadi, seiring dengan
penelitian. (Jan Jonker, Bartjan J.W. Pennink dan perkembangan teknologi, tetapi dinamika keaga-
Sari Wahyuni, 2011). maan dari otorititas kepercayaan sebagian besar
Penelitian ini dilakukan pada akhir tahun 2019 masyarakat Paloh adalah tentang sesuatu yang
di Paloh. Paloh merupakan wilayah Kabupaten mistik.
Sambas yang memiliki beberapa desa, (Aslan, Mistik adalah sesuatu peninggalan nenek
2019), tetapi yang difokuskan hanya di desa moyang untuk mempercayai sesuatu yang gaib.
Paloh Merbau. (Malefijt, 1968). Sesuatu yang mempunyai nilai
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui keramat yang dapat membentuk perilaku
observasi, wawancara dan dokumentasi. (Sila- manusia dalam beragama. (Anggraini, 2013);
lahi, 2009). Sumber data terdiri dari primer dan (Humaeni, 2012). Kepercayaan masyarakat da-
sekunder, dengan subjek penelitian adalah lam beragama dengan nilai-nilai mistik membe-
dukun Paloh dan beberapa masyarakat Paloh rikan adanya perbedaan budaya lokal agama
yang mau dimintai keterangan tentang keper- yang dipercayai oleh masyarakat.
cayaan nenek moyang yang masih dimilikinya. Menurut Roland Robertson, ed (1995), empat
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan tipe dalam beragama yang dimiliki masyarakat,
data terdiri dari observasi (pengamatan), terdiri dari tingkat rahasia, pribadi, kelompok dan
wawancara dan dokumentasi. Metode observasi seluruh masyarakat, sama-sama juga dimiliki
adalah metode mengamati keagamaan masya- oleh masyarakat Paloh. Kepercayaan itu berawal
rakat di Paloh. (Hancock dkk., 2009); (Imam sejak kejadian misteri hilangnya pesawat TNI AU
Suprayogo & Tobroni, 2001). (M. Djunaidi Ghony di wilayah negeri Paloh pada tahun 1970, yang
& Fauzan Almansur, 2012). Sementara, mana berdasarkan penerawangan para ahli
wawancara adalah percakapan yang dilakukan spiritual bahwa orang-orang yang ada di pesawat
oleh peneliti kepada informan untuk mendapat- tersebut tidak meninggal dunia, tetapi disela-
kan keterangan. (Kuntjaraningrat, 2002). Adapun matkan oleh makhluk halus di Paloh. Semenjak
dokumen adalah berupa catatan, transkip buku, kejadian itu, makhluk halus sering menampakkan
dan keterangan lainnya yang berkaitan dengan keberadaanya termasuk kota besar yang ada di
penelitian. (Arikunto, 2010). Paloh yang dimiliki oleh makhluk halus. Padahal,
Analisis data dalam penelitian ini mengguna- daerah Paloh merupakan hutan belantara yang
kan teori Matthew B. Miles A Michael Huberman kiri kanannya adalah sungai, tetapi bagi
(1994), terdiri dari tiga bagian yakni data masyarakat yang dilihatkan oleh makhluk halus,
reduction, data display, dan conclusion drawing/ Paloh merupakan kota terbesar bagi makhluk
verification. halus. Kemudian, konon katanya banyak
perawan-perawan yang hilang dan anak-anak di
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Paloh ketika bermain dengan temannya, yang
mana makhluk halus yang bisa menyerupai
manusia sehingga telah membawa anak-anak

D
inamika keagamaan adalah gambaran
tersebut di kotanya. Bahkan, ketika sudah
tentang perjalanan kehidupan masyarakat
dalam beragama. (Ridwan, 2016). Agama dibawa ke kota Paloh, maka sangat tipis sekali
yang dimiliki manusia mempunyai otoritas untuk pergi lagi ke dunia nyata. (Mahjuni, surat,
masing-masing yang memberikan simbol ma- 2017); (Indonesia!, t.t.) (Koten, t.t.) (Hafield, t.t.).
93 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 ASLAN, et al.
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Pernah suatu ketika pada tahun 2000-an menjaga di tengah-tengah sungai”. Sejak penja-
masyarakat Paloh dari Merbau bercerita pernah gaan tersebut, maka tadi yang pada awalnya
dibawa oleh orang kebenaran di kota Paloh. daerah Paloh tidak bisa diamankan, telah bisa
Bahkan, dia juga diajak untuk menikah dengan diamankan oleh para Dewa pada waktu itu. Agar
orang kebenaran dengan syarat tidak lagi balik kejadian itu tidak terulang kembali, maka
ke dunia. Namun, persyaratan tersebut tidak keempat Dewa membuat peraturan yang tegas
disetujuinya sehingga ia dilepaskan oleh orang bahwa “bagi siapa yang melakukan peperangan
kebenaran dan balik ke dunia nyata. atau bersikap tidak benar akan diberi hukuman
Sampai saat ini, daerah Paloh dianggap oleh seberat-beratnya” yang bukan saja diperuntuk-
sebagian masyarakat Paloh sebagai “Kota kan untuk orang halus yang jahat tetapi untuk
Kebenaran” atau tempat tinggalnya makhluk manusia, baik yang tinggal di Paloh maupun
halus. (Masyarakat Paloh, surat, 2017). Menurut masyarakat yang tinggal di luar Paloh.
Dukun Paloh, sekaligus mengaku sebagai (Indonesia!, t.t.)
pemegang juru kunci pada kota kebenaran Selang beberapa tahun kemudian, orang-
tersebut, yang mendapat informasi melalui mimpi orang Kalimantan telah melakukan hubungan
dari penunggu Paloh, bahwa Paloh ditempat dagang dengan daerah Pulau Jawa, sehingga
tinggali oleh orang kebenaran dari anak cucu perdagangan tersebut telah banyak mengun-
zuriat “Patek Gole Lender”. Datangnya “Patek tungkan kedua daerah tersebut, lebih-lebih lagi
Gole Lender” ke Paloh bertujuan untuk masyarakat Jawa yang mendapatkan hasil
menyerang Majapahit, tetapi Ia tidak mampu tukaran barang berupa emas, intan dan barang
untuk menyerangnya sehingga pada saat Ia balik tambang lainnya. Atas hasil tukaran tersebut,
ke Malaka, melanggar Batu Bejamban yang ada sehingga niat dari raja Jawa sudah berubah
di Paloh. Diantara zuriat dari “Patek Gole Lender” sehingga raja Jawa mengutus dua buah kapal
yang menjadi orang kebenaran sebagai untuk pergi ke Kalimantan untuk mengambil
penunggu Paloh sampai sekarang ini yang kekayaan yang dimiliki oleh Pulau Kalimantan
menjadi kepercayaan masyarakat Paloh adalah tersebut. Sejak kejadian itu sampai sekarang,
“Datok Panglime Hitam, Datok Panglima Cantek, nama Borneo diambil dari kata berlian atau
Datok Tauhid, Datok Meraje Lela, Datuk Adul, “tanah yang banyak menyimpan harta kekayaan”.
Datuk Raye Pander, Datuk Lidah Bulu, Putri Kapal layar yang pertama dinakhodai oleh Si
Mayang Rampai, Putri Melati”. Penunggu dari Muda dan Si Bungsu, sedangkan kapal yang
penjaga Paloh ini, bisa saja dipanggil sewaktu- kedua dinakhodai oleh Raden Martil dan
waktu, jika masyarakat Paloh memerlukan Pangeran Marta dengan masing-masing mem-
pertolongan. Datok yang paling berkuasa bawa pengawal dan juragan yang setia. Akan
diantara Datok yang lainnya adalah “Datok tetapi, pelayaran mereka mengalami hambatan
Meraje Lela”. Sementara, “Datok Buluh Bulu” karena badai laut yang begitu besar sehingga
tidak boleh dilanggar pantangannya, karena mereka terdampar di wilayah yang berbeda-beda.
kalau ia menyumpah kita, maka ucapannya Kapal layar yang pertama terdampar di
“makbol”/terwujud. (Wawancara dengan Dukun di Kalimantan bagian selatan, sementara kapal
Wilayah Paloh, surat, 2017). Cerita-cerita mitos layar yang kedua terdampar di Paloh dan
ini banyak sekali terdapat perbedaannya, yang melanggar batu di tengah-tengah sungai yang
sampai sekarang masih belum ditemukan saat ini dikenal dengan “Batu Bejamban”. Atas
sumber keaslian dari keontetikan cerita ini, tetapi kejadian yang dilakukan oleh Si Bungsu dan Si
dari sekian banyak cerita dari masyarakat Paloh, Muda, maka Dewa Bungsu marah kepada
bahwa daerah Paloh adalah daerah tempat mereka dan atas kejadian itu juga Dewa Bungsu
tinggal orang kebenaran. memberitahukan kepada ketiga Dewa lainnya,
Tempat yang telah dikeramatkan oleh sehingga mereka dikenakan adat. Pantang
sebagian masyarakat Paloh dan luar Paloh yang larang yang diberikan kepada mereka oleh para
mengandung nilai-nilai kemistikan yang telah Dewa, bahwa Si Bungsu tidak boleh naik ke
terkenal dimana-mana adalah Batu Bejamban. darat dan Si Muda boleh naik ke darat, karena Si
Konon katanya, sejak terjadinya peperangan Bungsu masih belum menguasai ilmu kebatinan,
yang begitu besar di Paloh pada abad ke 15 masih belum bisa untuk berkomunikasi dengan
telah melibatkan orang halus yang berasal dari baik kepada keempat para Dewa tersebut dan
Jawa, Bruneidarussalam dan Pahang sehingga tingkah lakunya masih dianggap kurang baik.
peperangan yang begitu sengit, mengakibatkan Sedangkan, Si Muda sudah mumpuni menguasai
datangnya empat Dewa Kayangan yang masih ilmu kebatinan yang bisa melihat para Dewa.
adik beradik dan mereka turun ke bumi untuk Sewaktu, Si Muda di bawa ke kota mahluk halus
mendamaikan peperangan tersebut. Keempat dengan begitu lama membuat Si Bungsu berpra-
Dewa tersebut mempunyai tugasnya masing- sangka buruk terhadap kakaknya, apakah masih
masing; “Dewa yang tertua menjaga harta yang hidup atau sudah meninggal dunia sehingga ia
ada di atas bukit, Dewa yang tengah menjaga berniat untuk naik ke darat tetapi ia tidak mampu
daerah rawa, Dewa yang muda menjaga di untuk menembus kota makhluk halus tersebut
pinggir sungai, sedangkan Dewa yang bungsu yang dikenal sebagai “Kota Kebenaran atau Kota
94 | P a g e
ASLAN, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Bunian”. Padahal, kakaknya yang hidup di kota apalagi mendapat kesaktian dari para Dewa,
Bunian telah bergelimang dengan kemewahan sehingga ia melihat sosok tubuh kerdil yang
dan kenikmatan, karena Dewa sangat mem- berada di kapal layar di daearah sungai Paloh,
berikan pelayanan yang khusus untuk Si Muda yang mana sosok tubuh tersebut adalah adiknya.
ini. Selain itu juga, ilmu kebatinan yang dimiliki Si Oleh karena itu, raja Muda menyuruh prajuritnya
Muda, maka Dewa sudah berpikir untuk untuk menjemput adiknya dan dibawa ke
meninggalkan Paloh dan menjadikan Si Muda kerajaan Bunian. Adiknya yang telah lama tidak
sebagai raja untuk menjaga Paloh nantinya. berjumpa dengan kakaknya sehingga tidak lagi
Pelantikan kepada Si Muda oleh Dewa kayangan mengenali kakaknya yang telah menjadi raja
untuk menjadi raja penjaga Paloh, terlebih dahulu Bunian tersebut. Kemudian, kakaknya membe-
Para Dewa menanyakan kesanggupannya ritahukan kepada adiknya bahwa ia adalah Si
kepada Si Muda yang mana isi perjanjiannya Muda atau kakaknya, sehingga Si Bungsu
adalah “barang siapa yang menjadi penguasa memeluk erat kakaknya karena berpisah sangat
kota Paloh hendaknya menjadi pemimpin yang begitu lama. Selang lama kemudian, kehidupan
benar, jujur dan tidak melanggar peraturan yang yang begitu mewah yang dirasakan oleh Si
telah dibuat oleh keempat Dewa sebelumnya. Bungsu, sehingga lama kelamaan Si Bungsu
Jika hal itu dilanggar, maka akan turun hukuman mengutarakan hatinya untuk mengajak kakaknya
yang setimpal menimpa kota Paloh”. Hal inilah bersama-sama pulang di Jawa, tetapi kakaknya
yang menjadikan kota Paloh sebagai kota menolak karena kakaknya telah membuat
kebenaran, yang artinya sebagai kebenaran perjanjian dengan Para Dewa sebelumnya.
dalam tingkah laku, tutur kata, dan bijak dalam Akhirnya, Si Bungsu menyadari hal tersebut dan
mengambil keputusan. Setelah kesepakatan itu balik sendiri ke Jawa dengan dibekli uang emas,
dibuat antara Si Muda dan Dewa Kayangan, makanan secukupnya oleh kakaknya dan diawasi
maka Si Muda dilantik sebagai raja penguasa oleh pengawal kerajaan hingga ke laut Jawa.
Paloh, sehingga raja muda memberi kerajaannya Sepulang adiknya, maka raja Muda semakin
dengan nama Batu Bejamban. Menurut memperbesar wilayah kerajaannya di Paloh dan
(Sastranagari, 2017), penghuni Paloh yang membuat jalan perdagangan yang dikenal
disebut sebagai kaum Bunian mempunyai bentuk sebagai “Tanah Merah”. Untuk menjaga keama-
yang hampir sama dengan manusia, tetapi nan di Paloh, apalagi Si Bungsu yang telah balik
perbedaannya terletak pada wajahnya. Kaum ke Jawa, maka pasti akan memberitahukan
bunian tidak memiliki aris antara hidug dan bibir. kekayaan yang ada di Batu Bejamban sehingga
Alisnya menyatu sehingga perbedaan ini sangat yang nantinya akan menimbulkan pertikaian
sungguh menyeramkan. banyak orang nantinya. Agar kejadian itu tidak
Kemudian, nasib yang dialami oleh Si Bungsu terjadi, maka raja Muda meminta pertolongan
yang bertolak belakang dengan nasib kakaknya, kepada Dewa Kayangan untuk mengirim utusan
yang mana Si bungsu yang berkeingian untuk sebagai menjaga kekayaan kerajaannya.
balik ke Jawa tetapi ia tidak bisa untuk balik Permintaan tersebut dipenuhi oleh Dewa
dengan beberapa masalah, seperti pertanggung- Kayangan dan akhirnya Dewa mengutus
jawaban kepada raja Jawa dan ia tidak bisa “Mustika Bintang” untuk menjaga harta kekayaan
sepenuhnya untuk mengemudikan kapal layar. istana yang tersimpan di dalam gua. Harta yang
Semenjak Si Bungsu tinggal di kapal layar, maka begitu banyak, sehingga dapat menerangi
ia sering melanggar larangan yang telah dibuat kerajaan raja Muda pada malam harinya.
oleh Dewa, seperti “mengganggu kehidupan Kemudian, Para Dewa mengutus yang lainnya
hewan di hutan, tumbuh-tumbuhan dan sering untuk menjaga harta tersebut yang bernama
kali mengotori aliran sungai dengan sisa-sisa Mayangsari. Dia diperintahkan untuk memegang
makanan yang diramunya”. Oleh karena itu, kunci gua tempat penyimpanan harta kekayaan
sebagai balasannya, makhluk halus sering di Batu Bejamban. Untuk memperluas kerajaan,
mendatangi Si Bungsu untuk memberi peringatan maka raja Muda membina hubungan persauda-
kepadanya sehingga ia sakit secara tiba-tiba dan raan dengan Kesultanan Sambas yang mana
sembuh juga secara tiba-tiba. (Indonesia!, t.t.). pada waktu itu masih dipimpin oleh Bujang Nadi
Segala kemegahan dari Paloh yang telah dan Dare Nandung. Agar hubungan semakin
dibangun oleh raja muda sebuah kota kerajaan akrab, maka raja Muda, mengadakan pesta
yang begitu megah, tetapi diwaktu lain ia sudah kerajaan di Semenanjung Borneo. Kerajaan
mulai merasakan kehilangan sesuatu yang terjadi Sambas di wakili oleh Raden Sandi dan Raden
pada dirinya. Karena, pada waktu Si Muda pergi Sambir, Kesultanan Brunei diwakili oleh Sultan
ke kota Bunian para Dewa, maka terlebih dahulu Tajudin dan kerajaan Pontianak. Perayaan ini
ingatannya dihapus oleh Dewa agar sejarah juga untuk menetapkan simbol kerajaan sebagai
masa lalunya terlupakan. Akan tetapi ingatan lambang perekat pemersatu, yakni warna kuning
tersebut hanya seketika, sehingga ia baru ingat yang melambangkan Kesultanan sambas, warna
dengan adiknya yang menemani berlayar pada merah melambangkan Kerajaan Brunei dan
waktu ingin pergi ke Kalimantan. Raja muda yang Pontianak dan warna putih melambangkan
mempunyai ilmu kebatinan yang tinggi dan Kerajaan Batu Bejamban. Setelah diadakan
95 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 ASLAN, et al.
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

perayaan tersebut, tersiar kabar bahwa daerah pangkalan pendaratan untuk pasukan kerajaan
Sambas diserang oleh makhluk yang begitu Majapahit, yang berada di Jawai, Paloh yang
kejam yang berasal dari keturunan jin. dimulai pada tahun 1350 M dan mengalami
Kekejaman tersebut terlihat dari ia menyuruh perubahan secara besar-besaran pada tahun
wanita hamil untuk mendorong perahu ke 1364 M. Di awal ini juga, Kota Lama dan Kota
dermaga, wanita perawan menjadi santapan Sebangun menjadi pusat kerajaan Ratu Sepudak.
setiap hari dan bayi dijadikan makanan untuk (Sunandar, 2015c, hlm. 15).
setiap harinya. Jin tersebut dikenal sebagai Tan Rentetan-rentetan sejarah kerajaan Sambas
Unggal. Oleh karena itu, raja muda mengutus yang berawal dari kerajaan yang kejam,
orang kepercayaannya untuk membasmi Tan kemudian digantikan oleh raja-raja lainnya
Unggal dan prajuritnya yang bernama Tan, sampai ke daerah Paloh, tetapi raja Muda yang
(tahan banting) sehingga Tan Unggal dan berasal dari Jawa dan sudah menjadi orang
prajuritnya dibunuh oleh Tan dari utusan raja kebenaran sehingga sampai sekarang tidak
muda. (Mustansyir, 2016, hlm. 33). pernah tergantikan oleh raja-raja lainnya dan
Dalam “kitab Negara Kertagama karya juga sampai sekarang masih dipercayai masih
Prapanca”, sebelum Tan Unggal memerintah hidup dan menjaga Paloh. Konon katanya,
Sambas, maka terlebih dahulu diperintah oleh daerah Paloh yang telah menetapkan simbol
“Nek Riuh”. Setelah Nek Riuh meninggal, maka berwarna putih, sehingga masyarakat yang
kemudian diperintah oleh Tan Unggal. Pada dinampakkan oleh kaum Bunian telah melihat
masa ini, pemerintahan yang begitu kejam pada sesosok buah putih atau “jallu” di daerah Batu
masyarakat Sambas dari Tan Unggal sehingga Bejamban. Dunia misteri di kota Paloh hanya
Tan Unggal dibunuh oleh utusan raja Muda bisa dilihat dari orang-orang tertentu yang
Paloh dan atas kekejamannya, sehingga hampir mendapatkan izin dari orang kebenaran.
puluhan tahun masyarakat Sambas tidak mau Sewaktu kejadian tragedi Sambas antara Suku
lagi untuk mengangkat raja. Dengan adanya Melayu dan Madura pada tahun 1999, begitu
kekosongan kerajaan tersebut, sehingga pada banyak masyarakat Paloh dan juga Sambas
awal abad ke-16 M (1530 M), Sambas pergi ke Batu Bejamban untuk meminta bantuan
kedatangan Bangsawan dari Jawa sekitar 500 kepada orang kebenaran dan pergi ke kerajaan
orang. Mereka melarikan diri dikarenakan dari Sambas untuk meminta bantuan kepada
masalah politik di daerahnya. Kedatangan kerajaan Sambas. Bahkan, pada waktu itu, foto
mereka ke Sambas tidak pernah menimbulkan Kesultanan Sambas menjadi jimat kebal yang
konflik bagi Suku Melayu yang tinggal di Sambas. dibungkus dengan simbol kain putih kemudian
Mereka tinggal lama di sungai Sambas yang dibungkus lagi dengan kain kuning dan jimat
berada di Kota Lama, sehingga mereka tersebut diberi khadam (bacaan) oleh seorang
mendirikan sebuah Panembahan atau Kerajaan Dukun atau orang yang mempunyai Ilmu.
Hindu, kemudian dikenal sebagai “Panembahan Kepercayaan foto Kesultanan Sambas semakin
Sambas”. Pada masa pemerintahan awal kuat ketika ada masyarakat yang menaruh foto
Kerajaan Sambas ini, tidak diketahui namanya. Sultan Sambas dan pada waktu itu terjadi
Kemudian setelah raja pertama wafat, maka kebakaran dengan menghabiskan beberara
digantikan oleh anaknya yang bernama Ratu rumah, tetapi rumahnya tidak terbakar, sehingga
Timbang Paseban dan kemudian digantikan oleh dia beranggapan rumahnya dijaga oleh Sultan.
adiknya yang bernama Ratu Sapudak. Disaat Sampai saat ini, kepercayaan tentang
Ratu Sapudak memimpin kerajaan Sambas, masalah mistik di Paloh masih tetap saja ada,
kemudian kedatangan tamu dari Sultan Sarawak sehingga untuk pergi ke Paloh, maka terlebih
ke 1 atau disebut juga Sultan Tengah sehingga dahulu mengucapkan salam kepada penjaga
sampai menetap di Sungai Sambas di daerah Paloh dan jika tidak permisi maka ditakutkan
Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki Sultan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Untuk
Sarawak yang bernama Sulaiman, terpikat melihat kebenaran tersebut, sehingga pernah
dengan hati dari anak gadis raja Sapudak yang juga orang yang mempunyai indera keenam
bernama Mas Ayu Bungsu, sehingga Sulaiman menerawang dengan mata batin, dan
berubah menjadi Raden Sulaiman. (Murtadlo, mengatakan bahwa Batu Bejamban merupakan
2014). kota yang terbesar di Kalimantan Barat.
Pada awalnya, di masa Sambas dikuasai oleh Pelabuhan yang terbesarnya, ada di Kota Lama.
kekuasaan tradisional, Sambas di perintah oleh Cerita tersebut didukung juga oleh salah satu
kerajaan Majapahit, yang mana pemerintahannya mimpi masyarakat Paloh yang pernah mende-
menyebar di daerah Paloh, “Jawai” (Hade Irma ngar cerita orang tua dahulu, sewaktu ia masih
Wati., dkk, 2015), Kota Lama dan wilayah- kecil bahwa pernah, pada zaman Jepang
wilayah lainnya. Kota Paloh dipimpin oleh Raden melintasi Batu Bejamban pada hari malam.
Janur pada abad ke 14, kemudian digantikan Orang Jepang tersebut, melihat bahwa Batu
oleh Wiqrama Whardana dan dilanjutkan lagi Bejamban adalah Kota yang besar, hampir sama
oleh Raja Gipang. Pada masa kekuasaan Raja dengan Kota di Jepang, kata orang Jepang
Gipang di Paloh, maka Raja ini membuat sendiri. Pada saat dia melintasi Batu Bejamban,
96 | P a g e
ASLAN, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

dia memberi tanda dari sungai tersebut. Namun, peminat dari “tongkat sakti” yang sampai dari
pada waktu siang, orang Jepang kembali lagi, Brunei untuk membelinya, tetapi karena kabar
ternyata hanyalah hutan belantara. Padahal, beritanya tidak ada sehingga dijual kepada Polisi
tanda yang diberinya masih ada. (Masyarakat di Sambas. (Wawancara dengan Dukun di
Paloh, surat, 2017). Kejadian-kejadian ini yang Wilayah Paloh, surat, 2017).
berawal dari pesawat yang hilang, kemudian Kemudian, pada saat kantor Polsek dibangun,
adanya penampakan kota yang modern di Paloh tetapi tidak terlebih dahulu meminta izin kepada
sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian penjaga Paloh sehingga tidak ada polisi yang
masyarakat Paloh dan luar Paloh. berani untuk menidurinya, dan akhirnya dipanggil
Batu Bejamban dan daerah Paloh lainnya Dukun besar Paloh untuk meminta izin kepada
dianggap oleh sebagian masyarakat Paloh orang kebenaran terlebih dahulu. Pada saat
sebagai tempat tinggal makhluk halus yang salah satu anggota polisi kehilangan uang, maka
mempunyai nilai keramat. Hampir setiap minggu, kepada Dukun Paloh, polisi tersebut meminta
selalu ada saja yang mengunjunginya, yang bantuan dan akhirnya barang yang hilang
bukan saja dari Suku Melayu yang tinggal di ditemukan. Pada saat adanya rencana
Paloh/luar Paloh, tetapi berasal juga dari Suku pembangunan jalan dari Paloh Merbau menuju
Cina yang tinggal di berbagai daerah, termasuk Temajuk, maka ia terlebih dahulu dipanggil untuk
Jakarta. Suku Cina, hampir setiap tahun, datang meminta izin kepada penunggu Paloh. Menurut-
ke Batu Bejamban untuk membayar niat. Karena, nya, untuk meminta izin kepada penjaga Paloh
pada saat meminta di Batu Bejamban niat dari atas akan dibangunnya jalan darat menuju
Suku Cina terkabul, sehingga Batu Bejamban Merbau-Temajuk, maka ia menggunakan sesa-
dibangun oleh Cina yang berasal dari Jakarta. jian yang diberikan kepada makhluk halus
Sementara, bagi Suku Melayu pergi ke Batu sebagai ungkapan permisi, yang terdiri dari
Bejamban, tergantung juga niatnya. Ada yang bermacam-macam “bunga, rateh, beras kuning,
minta carikan jodoh, mengobati berbagai macam dan kak gontal”. Pada saat ia memberikan
penyakit dan dalam hal kegiatan lainnya. sesajian tidak menggunakan ayam, karena niat
Banyaknya Suku Cina yang datang di Batu pertamanya tidak dengan menggunakan ayam,
Bejamban untuk meminta kekayaan dengan cara tetapi menggunakan “hidung mak sinar”. Makna
“menyemah” dan menggunakan sesajian babi dari “Hidung Mak Sinar” sebenarnya bacaan dari
untuk memanggil Jin Cina yang bertolak “Roh Ku, Cahayeku, Dagingku dengan Anginku,
belakang dengan penunggu Batu Bejamban, Nyawaku Akiku, Sifatku Kakiku, Jasadku
sehingga penunggu dari Batu Bejamban, merasa Tanahku. Dari Tanah ke Tanah dari Angin ke
dikotori oleh Suku Cina, dan akhirnya penunggu Angin”. (Wawancara dengan Dukun di Wilayah
dari Batu Bejamban telah meninggalkan Batu Paloh, surat, 2017).
Bejamban dan balik ke Istana Sambas. Dan ada Sejak dahulu sampai sekarang, daerah Paloh
juga Dukun yang lainnya mengatakan bahwa masih tetap saja Paloh yang masih saja
balik ke kayangan. Mereka akan datang lagi ke tersimpan dunia mistik sehingga walaupun
Batu Bejamban, kalau dipanggil oleh Dukun yang tempat makhluk halus sudah dikotori oleh Suku
mengetahui cara memanggilnya. Bagi masyara- Cina, tetapi masih saja kalau mau pergi ke Paloh
kat yang mengunjungi Batu Bejamban yang tidak boleh berkata sumbar, baik di darat dan
mempunyai nilai kejujuran, kebenaran, maka juga di laut. Jika sumbar, maka akan menjadi
barang sakti yang ada di Batu Bejamban akan kualat dari penjaga Kota Paloh. Karena, kalau
menghampiri masyarakat tersebut, tanpa perlu masih saja kita melanggar pantangan dan
lagi untuk memintanya. Sementara, orang yang larangannya, maka akan mengakibatkan macam-
pergi ke Batu Bejamban hanya orang yang macam kejadian yang nantinya akan menimpa
serakah dan meminta barang yang bermacam- diri kita sendiri. Mungkin, kalau kita balik dari
macam sehingga tidak akan diberinya. Paloh, nanti kepala kita bisa menjadi gundul
Menurut Dukun Besar Paloh, bahwa ia telah (botak). Oleh karena itu, kalau mau ke Paloh
diberi oleh orang kebenaran yang namanya memang harus permisi dulu. Kalau ada apa-apa,
“tongkat sakti” dan “besi kuning”. “Tongkat sakti”, harus minta maaf. Daerah Paloh merupakan
kegunaannya untuk pergi kemana-mana, agar daerah kebenaran, kejujuran, yang masyarakat-
selalu dilindungi dan “besi kuning” untuk kebal. nya tidak boleh berbuat macam-macam atau
Sebelum mendapatkan barang sakti di Batu melanggar pantangan. Masyarakat pernah
Bejamban, Ia banyak menggunakan ilmu hitam. memancing ikan di sungai Paloh dengan menga-
Sementara ini, karena sudah mendapatkan ilmu takan banyak ikan di Paloh, maka ikan tersebut
di Paloh yang disebutnya sebagai ilmu putih berubah menjadi kayu dan tidak lagi menjadi ikan.
sehingga ilmu hitam tidak lagi digunakan. Ilmu (Wawancara dengan Dukun di Wilayah Paloh,
putih dianggapnya adalah untuk menolong orang. surat, 2017).
Oleh karena itu, untuk mengobati orang yang Hal ini juga telah dibenarkan juga oleh salah
sakit, maka Dukun Paloh terlebih dahulu pergi ke satu polisi yang bertugas di Paloh, yang mana
Batu Bejamban untuk meminta tolong dan dia telah diberi peringatan oleh Dukun Paloh agar
mengadakan beberapa ritual. Banyaknya tidak boleh berkata asal-asal karena ada
97 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 ASLAN, et al.
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

pantangan dan larangan di kawasan Paloh. Lebih Daerah Paloh seiring dengan waktu mengalami
lanjut lagi, polisi tersebut menceritakan pengala- perubahan yang luar biasa, tetapi tidak mampu
mannya pada tahun 2006, bahwa sewaktu ia mengubah dinamika keagamaan masyarakat
menjaga di Pos Perbatasan Temajuk dan balik
Paloh secara keseluruhan.
dari Temajuk melalui jalan pantai dengan
menggunakan sepeda motor dan dalam Sistem kepercayaan masyarakat Paloh meru-
pikirannya agak sumbar sedikit dengan menga- pakan sebuah adat, tradisi yang perlu dilesta-
takan, “bagusnya jalan pantai yang telah rikan sekaligus untuk mengajarkan kepada
dilaluinya”. Setelah beberapa menit kemudian, generasi milinel bahwa mayoritas suku Melayu
ban motornya bocor, sehingga ia terpaksa adalah suku yang bermartabat sehingga kata-
menyerat sepeda motornya. Sejak kejadian kata, tingkah laku yang tidak sesuai dengan nilai-
tersebut, sampai saat ini, ia tidak lagi pernah
nilai agama, mendapat ancaran dari orang
mengucapkan kata-kata yang asal-asal, karena
nantinya akan membawa mala petaka bagi kebenaran terhadap masyarakat di Paloh.
dirinya. (Polisi, surat, 2017). Intinya, untuk pergi ke Paloh harus sesuai
Paloh yang terkenal dengan kemistikannya dengan ucapan dan perkataan sehingga nenek
terhadap dunia gaib, maka masyarakat untuk moyang yang mengajarkan nilai kebaikan kepada
berinteraksi dengan dunia gaib melalui perantara keturunannya dengan nilai mistik, pada hakikat-
seorang dukun, sebagaimana pendapat Paul nya adalah untuk mengajarkan kebaikan.
Reddisha, Penny Toka, and Radek Kundta
(2016) dan Koentjaraningrat (2014), tentang
peran dukun bagi masyarakat dalam beragama
dalam melaksanakan ritual keagamaan. E. UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan demikian, dari beberapa sejarah

T
tentang kepercayaan masyarakat Paloh dalam erima kasih kepada masyarakat Paloh
beragama menggambarkan tentang dinama yang terdiri dari delapa desa, khususnya di
keagamaan masyarakat Paloh dalam beragama. Merbau, Temajuk, Matang Danau,
Kepercayaan yang masih kental terhadap nilai Guntung, Matang Putus, Kalimantan dan Arung
nenek moyang hampir secara keseluruhan pada Parak. Terima kasih juga atas masukan dan
masyarakat Paloh telah mematahkan teori kritikan kepada dosen pembimbing, yakni
Rumadi, (2012) tentang otoritas keagamaan Mujiburrahman (Rektor UIN Antasar Banjar-
setiap individu dan Rota & Krüger, (2019), masin) dan Wahyudin yang bersedia memberi-
tentang komunitas baru masyarakat dalam kan masukan dan kritikan dari artikel ini yang
beragama dari dampak perkembangan teknologi. merupakan bagian terkecil dari pembahasan
Masyarakat Paloh secara global telah disertasi penulis.
mengalami perubahan sebagaimana daerah
yang sudah maju, tetapi nilai-nilai dari kisah
cerita nenek moyang tentang Paloh sebagai kota
kebenaran, kota larangan, kota hukuman bagi
masyarakat Paloh dan luar Paloh yang berniat
jahat terhadap Paloh tersebut. Simbol kemistikan
dan nilai kepercayaan tidak mampu menggeser
dari kepercayaan masyarakat Paloh terhadap
sesuatu yang msitik di era informasi saat ini.

D. KESIMPULAN

D
inamika keagamaan dari dampak
perubahan yang dialami masyarakat
seiring dengan perkembangan teknologi,
tidak mampu mengubah kepercayaan masya-
rakat Paloh terhadap sesuatu yang mistik.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan. (2015). Urgensitas Pendidikan Islami Dalam Membangun Rakyat Sambas di Era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) dalam Proceeding of 1st International Conference on ASEAN
Economic Community in Borneo Region. Kalimetro Intelegensia.

98 | P a g e
ASLAN, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Agus Salim. (2014). Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia
(Cetakan Ke-2). Tiara Wacana Yogya.
Agustono, I. (2016). Dinamika Politik Islam Semenanjung Arab 1800-1930 M dan Pengaruh Berdirinya
Kerajaan Arab Saudi Modern terhadap Praktik Keagamaan. Maraji: Jurnal Ilmu Keislaman,
3(1), 80–105. https://doi.org/10.36835/maraji.v3i1.63
Anggraini, I. (2013). Sikap Masyarakat Surabaya Terhadap Pesan Mistik Dalam Program Acara Dua
Dunia Di Trans 7. E-Komunikasi, 1(1), 1–12.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta.
Arkanudin. (t.t.). Pluralisme Suku Dan Agama Di KALBAR [(Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian
FISIP dan Program Magister Ilmu Sosial, Untan Pontianak)].
Aslan. (2019). Peran Pola Asuh Orangtua di Era Digital. Jurnal Studi Insania, 7(1), 20–34.
Aslan. (2019). Pergeseran Nilai Di Masyarakat Perbatasan (Studi tentang Pendidikan dan Perubahan
Sosial di Desa Temajuk Kalimantan Barat) [Disertasi, UIN Antasari Banjarmasin].
https://idr.uin-antasari.ac.id/10997/
Aslan, & Hifza. (2020). The Community Of Temajuk Border Education Values Paradigm On The
School. International Journal of Humanities, Religion and Social Science, 4(1), 13–20.
Azra, A. (2013). Islamisasi Jawa. Studi Islamika, 20(1), 169–177.
Belo, M. I. O. M. (2016). Islam di Kesultanan Sambas Kalimantan Barat (1600-1732) [Skripsi tidak
diterbitkan]. Sanata Dharma.
Cassirer, E. (1994). An Essay on Man, An Introduction to Philosophy of Human Culture. University
Press.
Daud, A. (1997). Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. PT. Raja
Grafindo Persada.
Geertz, C. (1973). The Interpretation Of Cultures. Basic Books, Inc., Publisher.
Hade Irma Wati., dkk. (2015). Potensi Obyek Dan Daya Tarik Pulau Pontianak Sebagai Wisata Alam
Di Kecamatan Jawai Selatan Kabupaten SambaS. 3(1), 65–73.
Hafield, I. S. (t.t.). Legenda Mistis Negeri Paloh Kerajaan Gaib di Kalimantan | SegiEmpat. Diambil 13
Januari 2019, dari https://segiempat.com/aneh-unik/mistis/legenda-negeri-paloh/
Hancock, B., Ockleford, E., & Windridge, K. (2009). An Introduction to Qualitative Research. University
of Sheffield regent Court.
Herawati, E. (2019). Budaya, Agama, dan Makna Volunterisme Bagi Kader Warga Peduli Aids di Kota
Bandung. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(02), 132–141.
Hermansyah. (2010). Ilmu Gaib di Kalimatan Barat. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia
bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, STAIN Pontianak, KITLV.
Hermansyah. (2013). Islam Dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Muslim Kanayatn Dayak DI
Kalimantan Barat. Islamica, 7(2), 340–359.
Humaeni, A. (2012). Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten. Antropologi Indonesia,
33(3), 159–179.
Huruswati., dkk, I. (2012). Evaluasi Program Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di Desa
Perbatasan—Kalimantan Barat 2012. P3KS Press.
Imam Suprayogo & Tobroni. (2001). Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Remaja Rosdakarya.
Indonesia!, I.-S. B. (t.t.). Misteri dan Keunikan Suku Gaib Paloh dari Sambas Kalimantan Barat.
Diambil 13 Januari 2019, dari http://indoborneonatural.blogspot.com/2014/07/misteri-dan-
keunikan-suku-gaib-paloh.html
Jan Jonker, Bartjan J.W. Pennink dan Sari Wahyuni. (2011). Metodologi Penelitian. Salemba Empat.
Kementerian Agama. (2017). Kementerian Agama Kabupaten Sambas.
Koentjaraningrat. (2014). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
Koten, T. (t.t.). Inilah Kerajaan Siluman, Bangsa Paloh, di Hutan Belantara Ka... Diambil 13 Januari
2019, dari http://www.netralnews.com/news/rsn/read/115943/inilah-kerajaan-siluman-bangsa-
paloh-di-hutan-belantara-kalimantan
Kuntjaraningrat. (2002). Metode Penelitian Masyarakat. Rineka Cipta.
Langaji, A. (2016). Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama.
HIKMAH, XII(1), 141–162.
Lapidus, I. M. (1991). A History of Islamic Societes. Cambridge University Press.
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almansur. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Ar-Ruzz Media.
Mahjuni. (2017). Orang Bunian di Paloh [Surat].
Malefijt, A. D. W. (1968). Religion And Culture: An Introduction to Anthropology of Religion. Macmillan
Publishing Co., INC.
Mardiyati, I. (2011). Perkembangan Pendidikan dan Perilaku Keberagaman Pada Masa Kesultanan
Sambas. Walisongo, 19(2), 335–338.
Masyarakat Paloh. (2017). Cerita dari mulut ke mulut tentang orang Bunian di Paloh [Surat].

99 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 ASLAN, et al.
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Matthew B. Miles A Michael Huberman. (1994). Qualitative Data Analysis: An expanded sourcebook.
SAGE Publication.
Mujiburrahman. (2008). Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi. Pustaka Pelajar.
Mujiburrahman. (2013). Bercermin Ke Barat: Pendidikan Islam Antara Ajaran dan Kenyataan (Cetakan
Pertama). Jendela.
Mujiburrahman. (2015). Agama, Media Dan Imajinasi: Pandangan Sufisme Dan Ilmu Sosial
Kontemporer (Cetakan 2). Antasari Press.
Mujiburrahman. (2017a). Agama Generasi Elektronik (Cetakan Pertama). Pustaka Pelajar.
Mujiburrahman. (2017b). Humor, Perempuan dan Sufi. Kompas, Gramedia.
Mujiburrahman. (2018). Orientasi Penilaian BKD Online, Kopertais Wilayah XI Kalimantan Tahun
2018.
Murtadlo, M. (2014). Masjid Kraton Sambas dalam Konstelasi Pembaharuan Islam di Kalimantan
Barat. Lektur Keagamaan, 12(1), 207–234.
Mustansyir, R. (2016). Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Sambas Dalam Tinjauan Filosofis: Legenda
Rakyat, Filosofi Air dan Tradisi (ed) Amin Ma’ruf. Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.
Nottingham, E. K. (1996). Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul
Muis Nahorang, Ed. CV. Rajawali.
P, C. E. (1944). Religious Dynamics. Journal of the American Academy of Religion, XII(2), 110–112.
https://doi.org/10.1093/jaarel/XII.2.110
Pals, D. L. (2012). Seven Theories Of Religion, Terj. Inyiak Ridwan Muzir & M. Syukri. IRCiSOD.
Paul Reddisha, Penny Toka, and Radek Kundta. (2016). Religious Cognition and Behaviour in Autism:
The Role of Mentalizing. Psychology of Religion, 26(2), 96–112.
Polisi. (2017). Pengalaman Polisi di Paloh [Surat].
Rakhmat, J. (2013). Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Mizan Pustaka.
Ridwan, B. (2016). POTRET ORGANISASI KEAGAMAAN DAN RESPON TERHADAP DINAMIKA
KEHIDUPAN KEBERAGAMAAN DI SALATIGA. INFERENSI, 5(1), 101.
https://doi.org/10.18326/infsl3.v5i1.101-120
Roem, E. R., & Sarmiati. (2019). Perubahan Sosial Budaya Akibat Media Instagram Bagi Kalangan
Mahasiswi di Kota Padang. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(02), 202–210.
Roland Robertson, ed.,. (1995). Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis., terj, Achmad
Fedyani Saifuddin (Cetakan ke-4). PT. RajaGrafindo Persada.
Rota, A., & Krüger, O. (2019). The Dynamics of Religion, Media, and Community: Online - Heidelberg
Journal of Religions on the Internet, 14, 1–20. https://doi.org/10.17885/heiup.rel.2019.0.23945
Rumadi. (2012). ISLAM DAN OTORITAS KEAGAMAAN. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, 20(1), 25–54. https://doi.org/10.21580/ws.20.1.183
Sanaky, H. (2005). Sakral (sacred) dan profan: Studi pemikiran Emile Durkheim tentang sosiologi
agama. laporan). Makalah Diskusi Kelas, Program Doktor [S-3] Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 6, 1–24.
Sastranagari. (2017, Januari 4). Paloh, Negeri Gaib yang Dipercaya Bersemayam di Pedalaman
Hutan Kalimantan. Boombastis.com | Portal Berita Unik | Viral | Aneh Terbaru Indonesia.
https://www.boombastis.com/negeri-gaib-paloh/85116
Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. PT. Refika Aditama.
Suhardi, M., Mulyono, S., Aslan, Syakhrani, H. A. W., & Putra, P. (2020). Perubahan kurikulum
lembaga pendidikan Islam di Sambas pada masa Kesultanan Sambas. Ta’dibuna: Jurnal
Pendidikan Islam, 9(1), 034–048. https://doi.org/10.32832/tadibuna.v9i1.2715
Sunandar. (2014). Melacak Hubungan Kesultanan Sambas dan Bugis (Studi Awal terhadap Naskah
Tuhfat al-Nafis). Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies, 4(2), 117–125.
Sunandar. (2015a). Melayu Dalam Tantangan Globalisasi: Refleksi Sejarah dan Berubahnya Sistem
Referensi Budaya. Khatulistiwa, 5(1), 60–73.
Sunandar. (2015b). Politik Identitas Dan Tantangan Globalisasi Masyarakat Perbatasan Dalam
Menghadapi MEA 2016. Proceeding of 1st International Conference on ASEAN Economic
Community in Borneo Region.
Sunandar. (2015c). Politik Identitas Dan Tantangan Globalisasi Masyarakat Perbatasan Dalam
Menghadapi MEA 2016. Proceeding of 1st International Conference on ASEAN Economic
Community in Borneo Region.
Sztompka, P. (1993). Sociology Of Social Change. Oxford UK.
Thambun Anyang, Y. (2003). Gambaran Kenyataan Keragaman Hukum Di Kalimantan Barat. Seminar
dan Pelatihan Pluralisme Hukum, diselenggarakan oleh HuMA, 1–10.
Thomas F. O’Dea. (1996). Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal (Cet-7). PT. Raja Grafindo
Persada.
Toffler, A. (1970). Future Shock. Bantam Books.
Toffler, A. (1980). The Third Wave. William Morrow and Company, INC.
100 | P a g e
ASLAN, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020
ASLAN, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Usman (Camat Paloh). (2013). Daftar Nama Rupa Bumi Wilayah Kecamatan Paloh. Kecamatan
Paloh.
Viktor, A. et al. eds. (2014). Sejarah Sosiologi Budaya Bernafkah Komunitas Adat Suku Duano.
Paramita, 24(2), 186–199.
Wawancara dengan anggota Pokdarwis. (2017, Juni 7). [Surat].
Wawancara dengan Dukun di Wilayah Paloh. (2017). [Surat].
Yusriadi. (2014). Sejarah dan Perkembangan Orang Melayu di Riam Panjang, Kalimantan Barat.
Khatulistiwa, 4(2), 140–149.
Yusriadi. (2019). Identitas Orang Melayu di Hulu Sungai Sambas. Elmans’ Institute.

101 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p90-101.2020 ASLAN, et al.
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

BUDAYA SIRI’ NA PACCE DAN SIPAKATAU DALAM INTERAKSI SOSIAL


MASYARAKAT SULAWESI SELATAN

1* 2
Auliah Safitri ( ), Suharno ( )
12
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T
The plurality of Indonesian, beside of becoming a property, also
Submitted : 09th September, 2019
becoming a boomerang for the unity of a nation. The conflict that
Review : 02nd March, 2020
arises will not resolve if they are left casually. The disputes can be
Accepted : 13th May, 2020
overcome and avoided if the society can build positive social
Published : 1st June, 2020
interaction among fellow. Therefore, in facing conflicts, it is necessary
Available Online : June, 2020
to realize that an ethnic group is not a social group that must be
considered by, however, a local knowledge that is store in a culture of
KEYWORDS ethnic groups. This research aims to determine the social interaction
of South Sulawesi’s communities, namely the ethnic of Bugis,
Siri’ Na Pacce; Sikapatau; Social Interaction Makassar, Mandar, and Toraja. Those four ethnics have had cultural
characteristics that have been being a customs and philosophies of
their lives because they have normative elements values that can bind
CORRESPONDENCE their members. This research is compiled through a literature study in
which the data obtained from various books and journals. The result
reveals that the ethnics of South Sulawesi have been building social
*E-mail: auliahsyafitri@yahoo.com
interaction based on the culture of Siri’ Na Pacce and Sipakatau,
which are the main foundation in building positive communication
among fellow. Those cultures must be well implemented and
maintained in building social interaction.

A. PENDAHULUAN

M
anusia di dalam menjalankan individu dengan kemlompok, dan kelompok
kehidupannya sebagai makhluk sosial dengan kelompok (Soekanto, 2010).
dan bagian dari masyarakat tidak dapat Pada dasarnya dalam hubungan interaksi
terlepas dari anggota masyarakat lainnya. sosial, dapat terjadi interaksi positif ataupun
Manusia akan selalu membutuhkan manusia negatif. Interaksi positif terjadi apabila terdapat
lainnya untuk dapat berinteraksi maupun bertukar hubungan timbal balik yang saling mengun-
pikiran. Pola hubungan tersebut akan tungkan. Sementara interaksi negatif terjadi jika
membangun interaksi sosial dalam masyarakat. hubungan timbal balik merugikan satu pihak atau
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan keduanya (bermusuhan). Interaksi sosial inilah
sosial yang bersifat dinamis yang berkaitan yang menjadi pondasi dari hubungan yang
dengan orang perorangan, kelompok berupa tindakan berdasarkan norma dan nilai
perkelompok, maupun perorangan terhadap sosial yang berlaku. Interaksi sosial dapat
kelompok atau sebaliknya (Setiadi & Kolip, berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan
2011). Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik.
timbal balik antara individu dengan individu, Jika tidak ada kesadaran atas pribadi masing-
masing maka proses interaksi sosial itu sendiri
102 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

tidak akan dapat berjalan sesuai dengan yang orang atau lebih yang memiliki atau merasa
diharapkan. Pada proses interaksi sosial akan memiliki kepentingan dan tujuan yang
ada hubungan saling mempengaruhi antar satu bertentangan. Ketiga, konflik adalah proses
dengan yang lain atau bisa disebut dengan give pertentangan yang diekspresikan di antara dua
and take baik secara lisan maupun perbuatan pihak atau lebih yang saling tergantung
yang dapat menimbulkan perubahan di dalam mengenai suatu objek konflik, menggunakan pola
perasaan dan juga kesan yang ada dalam pikiran perilaku dan interaksi yang menghasilkan
dan selanjutnya bisa menentukan tindakan yang keluaran konflik.
akan dilakukan. Terjadinya konflik biasanya dipicu oleh
Dalam berbagai macam kelompok sosial di beberapa faktor. Menurut Muslim (2013),
mana manusia menjadi anggota-anggotanya beberapa permasalahan yang dapat memicu
seperti kekeluargaan, keorganisasian, dan konflik dalam interaksi sosial antara lain
berbagai macam kelompok lainnya, setiap etnosentrisme, misunderstanding of culture
anggota akan melakukan interaksi antar satu values, stereotip, dan prasangka. Permasalahan
dengan yang lainnya secara langsung ataupun pertama adalah etnosentrisme. Etnosentrisme
tidak langsung. merupakan suatu sikap yang membuat
Interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalam kebudayaan diri menjadi patokan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat muncul mengukur baik buruk, tinggi rendah, dan benar
sebagai akibat dari kemajemukan dan pluralisme salah kebudayaan lain. Lalu permasalahan
budaya Indonesia (Purbasari & Suharno, 2019). kedua adalah tentang kesalahpahaman antar
Interaksi manusia dengan sesamanya dalam budaya. Sebagai contoh kecil, mabbuse dalam
kehidupan bertujuan untuk menghasilkan bahasa Sidrap sering digunakan kepada orang
pergaulan hidup dalam kelompok sosial. yang dipersilahkan. Namun bagi orang Bone,
Pergaulan hidup akan terjadi apabila manusia istilah tersebut memiliki konotasi yang
dalam hal ini orang perorangan atau kelompok- merendahkan harga diri bahkan dianggap
kelompok manusia yang bekerja sama saling sebagai sebuah pelecehan. Perbedaan-
berbicara untuk mencapai tujuan bersama. perbedaan semacam ini di sisi lain sebagai
Indonesia dengan kemajemukannya mampu khasanah dan kebudayaan yang dimiliki
menjadi satu kesatuan yang dibangun dari Indonesia, namun pada sisi lain merupakan
beberapa perbedaan baik dari segi budaya, suku, bumerang akan lahirnya disintegrasi sosial.
ras, dan agama. Indonesia dengan berbagai Permasalahan ketiga adalah stereotip, yaitu
keberagaman tersebut juga mampu menjadi satu keyakinan yang terlalu menggeneralisir,
yang berlandaskan pada Pancasila dan Bhineka disederhanakan, atau dilebih-lebihkan terhadap
Tunggal Ika. Namun dalam kenyataannya konflik- kelompok etnis tertentu. Dan persoalan yang
konflik dalam keberagaman yang timbul sebagai terakhir adalah prasangka, yaitu sikap yang tidak
akibat dari interaksi sosial tidak dapat beralasan terhadap outgroup yang didasarkan
dihindarkan. Konflik pada dasarnya merupakan pada komparasi dengan ingroup seseorang.
sebuah hal yang selalu ada dan sulit untuk Indonesia dengan kemajemukan yang dimiliki
dipisahkan dalam kehidupan sosial. Konflik sosial juga acap kali dihadapkan dengan beberapa
merupakan gambaran tentang perselisihan, konflik serius yang mengancam persatuan dan
percekcokan, ketegangan atau pertentangan kesatuan Bangsa. Pada tahun 2017 lalu
sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang terjadinya kasus penistaan agama yang
muncul dalam kehidupan masyarakat, baik dilakukan oleh seorang Gubernur. Pada tahun
perbedaan yang bersifat individual maupun 2019 terjadi konflik yang disebabkan oleh
perbedaan kelompok (Irwandi & Chotim, 2017). diskriminasi suku sehingga suku tersebut
Samovar et al. (2009) mendefinisikan mengambil sikap yang sangat ekstrim dan
beberapa definisi konflik. Pertama, konflik adalah semakin mantap untuk memisahkan diri dari
pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, Indonesia. Konflik-konflik semacam ini bisa saja
atau arah serta merupakan bagian yang menyatu diprakarsai oleh permasalahan seperti
sejak kehidupan ada. Karenanya konflik etnosentrisme, kesalahpahaman, stereotip,
merupakan sesuatu yang tidak terelakkan yang maupun prasangka. Dari konflik-konflik tersebut
dapat bersifat positif atau negatif. Kedua, konflik dapat kita pahami bahwa agama dan suku
adalah suatu hubungan yang melibatkan dua adalah dua hal yang sifatnya sangat sensitif.
103 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Oleh sebab itu, hendaknya ucapan dan yaitu proses interaksi manusia di mana seorang
perbuatan tentang kedua hal tersebut maupun individu belajar dan menerima budayanya.
indikator kemajemukan lainnya tetap harus dijaga Setiap bangsa, etnik dan sub etnik memiliki
demi persatuan dan kesatuan Indonesia. kebudayaan yang dipandang sebagai manifestasi
Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis kehidupan setiap orang atau kelompok orang
konflik yang dipandang dari segi materinya. (Ode & Rachmawati, 2017). Kebudayaan yang
Pertama, konflik tujuan, terjadi jika ada dua tersimpan dalam suku bangsa atau etnik
tujuan yang kompetitif bahkan yang kontradiktif. mengandung unsur-unsur dan aspek-aspek
Kedua, konflik peranan, terjadi jika manusia sosial yang menjadi pembeda dengan suku
memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan bangsa lainnya, misalnya sistem ekonomi,
tidak selalu memiliki kepentingan yang sama. pengetahuan dan teknologi, kepercayaan, politik
Ketiga, konflik nilai muncul karena perbedaan organisasi sosial, bahasa, dan kesenian. Unsur-
nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi unsur kebudayaan tersebut yang dapat
sehingga konflik dapat terjadi antar individu, digunakan sebagai media resolusi konflik antara
individu dengan kelompok, bahkan kelompok lain sistem bahasa, sistem peralatan hidup dan
dengan organisasi. Kelima, konflik kebijakan, teknologi, sistem ekonomi dan mata pencarian
yaitu suatu konflik yang terjadi karena ada hidup, sistem kemasyarakatan dan organisasi
ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap sosial, kesenian, dan sistem kepercayaan atau
perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh agama.
satu pihak dan kebijakan lainnya. Unsur pertama adalah sistem bahasa. Bahasa
Anggapan yang menyatakan bahwa konflik merupakan alat komunikasi yang efektif dalam
dapat teratasi dengan sendirinya apabila proses pergaulan manusia. Begitupun dengan
dibiarkan merupakan anggapan yang salah bahasa lokal yang diharapkan mampu
karena kenyataannya konflik akan terus mengkomunikasikan gagasan-gagasan perda-
berkembang dan akan semakin sulit dikelola maian untuk mengakhiri konflik baik dalam fase
apabila tidak segera diselesaikan (Anggraini, pra-konflik maupun pasca-konflik. Unsur kedua
2019). Dalam menghadapi dan menghindari yaitu sistem peralatan hidup dan teknologi. Unsur
konflik-konflik tersebut, diperlukan kebudayaan ini dapat digunakan sebagai media untuk
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai mengembangkan kehidupan di level lokal dengan
normatif karena kebudayaan memiliki kekuatan baik dan terus mengalami perkembangan walau
memaksa setiap pendukungnya untuk mematuhi masih bersifat sederhana. Dengan adanya
segala aturan yang melekat. Seperti yang kehidupan yang stabil, harmonis, dan kondusif
dijelaskan Dharmawan (2019) bahwa budaya maka potensi-potensi yang menggiring ke arah
terdiri dari seperangkat nilai-nilai yang dipelajari, terjadinya konflik dapat diredam.
keyakinan, standar-standar, pengetahuan, moral, Unsur ketiga yaitu sistem ekonomi dan mata
hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh percaharian hidup. Unsur ini memiliki potensi
individu atau masyarakat yang menentukan besar untuk menciptakan peluang terjadinya
bagaimana seseorang bertindak dan konflik sosial. Sistem ekonomi masyarakat lokal
memandang dirinya dan yang lain. Senada dan juga mata pencaharian hidup masyarakat
dengan pendapat Soekanto (2010) yang lokal syarat akan nilai-nilai yang mampu
menyatakan bahwa kebudayaan mencakup menciptakan harmoni dalam masyarakat. Begitu
semua yang telah didapat atau dipelajari oleh juga dengan sistem mata pencarian hidup
manusia sebagai anggota masyarakat yang masyarakat lokal yang tetap memegang teguh
meliputi segala sesuatu yang dipelajari dari pola prinsip toleransi, kebersamaan, dan juga
prilaku normatif. Dalam konteks budaya, manusia kesetiakawanan sosial. Unsur ketiga yaitu sistem
disebut sebagai animal simboly yang merupakan kemasyarakatan dan organisasi sosial. Unsur ini
makhluk yang penuh simbol dan makhluk budaya memegang peranan yang penting sebagai media
yang hidupnya terbentuk oleh produk budaya resolusi konflik di masyarakat. Keberadaan
(Larasati, 2018). Lebih lanjut ia menjelaskan pihak-pihak dalam organisasi-organisasi sosial di
bahwa budaya tidak diwariskan melalui kode tingkat lokal diharapkan menjadi penguat
genetik, melainkan melalui proses enkulturasi persatuan dan konsolidasi masyarakat di level
akar rumput sekaligus juga memainkan peran

104 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

sebagai mediator dalam proses resolusi maupun tersimpan di dalam kebudayaan suku bangsa
rekonsiliasi konflik. seperti unsur-unsur kebudayaan yang telah
Unsur kelima yaitu kesenian. Keberadaan dibahas sebelumnya. Pengetahuan lokal yang
kesenian dapat berfungsi sebagai media untuk penting untuk dipahami salah satunya adalah
mempersatukan masyarakat. Kesenian memiliki dari Provinsi Sulawesi Selatan yaitu suku Bugis,
nilai-nilai universal yang mampu mempersatukan Makassar, Mandar, dan Toraja yaitu budaya siri’
masyarakat baik di level lokal maupun global. na pacce dan sipakatau. Kebudayaan-kebuda-
Media-media kesenian berfungsi sebagai media yaan ini menjadi penting untuk dilestarikan dan
propaganda untuk mengakhiri konflik. Unsur dikembangkan karena di dalamnya terkandung
yang keenam sekaligus terakhir yaitu sistem nilai-nilai yang bersifat normatif yang bisa
kepercayaan atau agama. Sistem kepercayaan menjadi alat pemersatu sekaligus menghindari
atau agama yang dianut masyarakat dipercaya konflik yang terjadi karena bumerang dari
terus mempromosikan pesan-pesan perdamaian kemajemukan bangsa Indonesia. Sebagaimana
kepada pemeluknya. Asumsi bahwa setiap yang termaktub dalam Permendagri Nomor 39
agama tidak mengajarkan tentang kekerasan Tahun 2007 Tentang Pedoman Fasilitas
diyakini mampu secara efektif membentengi para Organisasi Kemasyarakatan Bidang
pemeluknya dari upaya profokasi yang berujung Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam
pada konflik. Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah
Berdasarkan penelitian terdahulu yang bahwa, pertama, Pelestarian Budaya Daerah
dilakukan oleh Ode dan Rachmawati (2017) adalah upaya untuk memelihara sistem nilai
diperoleh kesimpulan bahwa kebudayaan lokal sosial budaya yang dianut oleh komunitas/
mampu membantu upaya resolusi atas konflik- kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang
konflik sosial yang terus terjadi di masyarakat. diyakini akan dapat di dalamnya terdapat nilai-
Nilai-nilai budaya lokal masih dipandang efektif nilai, sikap serta tata cara masyarakat yang
sebagai alat untuk menjaga agar tatanan diyakini dapat memenuhi kehidupan warga
masyarakat tetap stabil dan harmonis sehingga masyarakat. Kedua, Pengembangan Budaya
potensi-potensi konflik dapat diredam sedini Daerah adalah upaya untuk meningkatkan
mungkin dan dapat diatasi ketika konflik telah kualitas sistem nilai sosial budaya yang dianut
terlanjur terjadi. Penelitian terdahulu selanjutnya oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di
yang berkaitan dengan kebudayaan lokal dalam daerah yang diyakini akan dapat memenuhi
memperkuat solidaritas ialah penelitian yang harapan-harapan warga masyarakat dan di
dilakukan oleh Hasbullah (2012) yang menyoroti dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap serta tata
tentang budaya Rewang di Desa Bukit Batu cara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi
Kabupaten Bengkalis. Hasbullah menyimpulkan kehidupan masyarakat.
bahwa dalam tradisi rewang terdapat nilai-nilai Berdasarkan latar belakang dan penelitian
sosial yang perlu dipertahankan seperti sebelumnya, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
semangat goyong-royong, solidaritas sosial, bagaimana budaya siri’ na pacce dan sipakatau
egaliter dan semangat berkorban untuk orang yang menjadi dasar interaksi sosial masyarakat
lain, baik berkorban waktu, materi, maupun Sulawesi Selatan sebagai upaya untuk menjaga
tenaga. Dengan demikian, tradisi ini dapat hubungan individu dengan individu, individu
mewujudkan rasa kebersamaan dan solidaritas dengan kelompok, dan kelompok dengan
sosial sehingga dapat mengurangi berbagai kelompok.
ketegangan di tengah masyarakat dan sifat
individualistis. Oleh sebab itu, tradisi rewang
dapat mempererat rasa kebersamaan dan juga B. METODE PENELITIAN
dapat mewujudkan kerukunan di tengah

M
masyarakat baik dilihat dari aspek sosial maupun etode yang digunakan dalam penelitian
agama. ini adalah studi kepustakaan (library
Oleh sebab itu, dengan berbagai konflik atas research) yaitu sebuah metode
dasar kemajemukan, yang perlu disadari adalah pengumpulan data melalui telaah terhadap
bahwa bukan suku bangsa sebagai kelompok sumber-sumber kepustakaan (Mahmud, 2011).
sosial yang harus diperhatikan, tetapi Kajian pustaka atau studi pustaka merupakan
pengetahuan lokal (local knowledge) yang kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian

105 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

karena memiliki tujuan utama untuk mengem- 1. Budaya Siri’ Na Pacce sebagai Harga Diri
bangkan aspek teoretis maupun aspek praktis dan Solidaritas Kemanusiaan
(Sukardi, 2013). Metode penelitian ini dilakukan
dengan cara mengolah data yang berasal dari Solidaritas adalah kesamaan rasa, senasib,
buku, jurnal, skripsi, maupun tesis yang dan sepenanggungan. Tidak ada masyarakat
berhubungan dengan budaya siri’ na pacce dan yang hidup tanpa adanya solidaritas di dalamnya.
sipakatau dalam interaksi sosial masyarakat Solidaritas kemanusiaan merupakan komponen
Sulawesi Selatan. Setelah diolah, data kemudian penting dalam kehidupan kelompok agar selalu
dianalisis, dirangkum, dan digeneralisasikan menjaga keberadaan kelompok dan bagaimana
dengan menggunakan kajian teori yang relevan solidaritas sosial yang terbangun antar anggota
sehingga menjadi satu kesatuan artikel yang kelompok bisa menjadi keseluruhan. Di dalam
utuh. kehidupan kelompok harus muncul kesadaran
kolektif yang dapat menumbuhkan perasaan-
perasaan atau sentimen atas dasar kesamaan
C. HASIL DAN PEMBAHASAN sehingga tercipta rasa solidaritas sosial untuk
mencapai tujuan bersama. Faktor-faktor yang

B
eberapa konflik yang timbul sebagai mendukung adanya solidaritas dari dalam diri
akibat dari kemajemukan Indonesia perlu individu hendaknya ditumbuhkembangkan men-
dipandang sebagai hal serius yang harus jadi kebiasaan positif. Solidaritas tidak hanya
diselesaikan secara komprehensif. Semaksimal sebatas teori saja yang memiliki tujuan dan
mungkin pula harus diupayakan konflik-konflik peranan penting dalam kehidupan, melainkan
tersebut tidak terjadi lagi di masa mendatang. suatu praktik yang bersifat rendah hati, tulus dari
Meskipun kemajemukan Indonesia justru bisa dalam diri dan dilakukan secara terus menerus
menjadi bumerang, tetapi budaya-budaya yang (Kinasih & Dahliyana, 2018). Budaya siri' na
ada di dalamnya harus bisa diimplementasikan pacce dalam kehidupan suku di Makassar
dengan baik. menjadi salah satu faktor pendukung untuk
Dalam konteks keberagaman suku dan mempertahankan nilai solidaritas kemanusiaan.
budaya, setiap wilayah provinsi di Indonesia Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu
tentunya memiliki ciri khas suku dan kebudayaan atau rasa malu, maksudnya “siri’ lanri
masing-masing. Salah satunya adalah Provinsi anggaukanna anu kodi”, artinya malu apabila
Sulawesi Selatan dengan Kota Makassar seba- melakukan perbuatan tercela. Pengertian siri’
gai ibu kota. Secara umum, Provinsi Sulawesi menurut istilah dapat dilihat dari beberapa
Selatan memiliki empat suku bangsa, yaitu Suku pendapat tokoh seperti B. F. Matthes
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Meskipun (Koentjaraningrat, 1995) mengatakan bahwa siri’
keempat suku tersebut memiliki ciri khas masing- diterjemahkan dengan malu, rasa kehorma-
masing, namun memiliki beberapa adat istiadat tannya, tersinggung, dan sebagainya. Sementara
dan falsafah yang sama yang dijadikan sebagai menurut C. H. Salam Basjah (Mattulada, 1995)
landasan dalam membangun interaksi sosial. bahwa terdapat tiga pengertian pada konsep siri’.
Seperti yang di bahas pada bab sebelumnya, Pertama ialah dalam arti rasa malu. Kedua,
kebudayaan dan pengetahuan budaya yang merupakan daya pendorong untuk membina-
penting dikaji sebagai bentuk interaksi sosial sakan siapa saja yang telah menyinggung rasa
masyarakat Sulawesi Selatan sekaligus bisa kehormatan seseorang, dan ketiga ialah sebagai
dijadikan sebagai resolusi konflik yang tengah daya pendorong untuk bekerja dan berusaha
terjadi di Indonesia yaitu budaya siri’ na pacce sebanyak mungkin. Berbeda dengan pendapat
dan sipakatau. Di dalam budaya-budaya ini sebelumnya, M. Natzir Said (Koentjaraningrat,
terkandung nilai-nilai yang bersifat normatif yang 1995) mengemukakan bahwa siri’ adalah rasa
bisa menjadi landasan utama untuk membangun malu yang memberi kewajiban moril untuk
interaksi sosial yang positif. membunuh pihak yang melanggar adat, terutama
dalam soal-soal hubungan perkawinan. Budaya
siri’ juga berfungsi sebagai upaya pengekangan
bagi seseorang untuk melakukan tindakan
persekusi yang dilarang oleh kaidah adat

106 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

sehingga dapat menguatkan motivasi solidaritas kehidupan sehari-hari dan berperilaku baik
sosial dalam penegakan harkat siri’ orang lain terhadap individu maupun lingkungannya.
(Hijriani & Herman, 2018). Pendapat senada juga disampaikan oleh
Adapun sikap positif dari pengaplikasian nilai Darwis dan Dilo (2012) yang mengemukakan
budaya siri’ na pacce adalah individu akan bahwa falsafah siri’ digunakan oleh orang
bekerja untuk meningkatkan potensi yang ada Makassar untuk membela kehormatan terhadap
pada dirinya. Individu juga akan berusaha orang-orang yang mau menghina atau meren-
mentaati peraturan yang berlaku di masyarakat, dahkan harga dirinya, keluarganya, maupun
menjaga amanah yang telah diterima, dan kerabatnya, sedangkan pacce digunakan untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam membantu sesama anggota masyarakat yang
bekerja. Berdasarkan beberapa hal tersebut, siri’ berada dalam kesusahan atau mengalami
na pacce dapat dijadikan pedoman hidup untuk penderitaan. Pacce dapat memupuk rasa persa-
menumbuhkan sikap positif serta membuat hidup tuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas
lebih berguna dan bermakna. Sehingga individu antara manusia agar mau membantu seseorang
bekerja bukan karena hadiah atau imbalan yang yang mengalami kesulitan. Solidaritas inilah yang
akan diterima, tetapi untuk mendapatkan yang mampu menekankan hubungan antar
kepuasan diri (Rusdi & Prasetyaningrum, 2015). individu dan kelompok dalam keterikatan
Menurut Hamid et al. (2007), siri’ merupakan bersama yang didukung oleh nilai-nilai moral dan
suatu sistem nilai sosiokultural dan kepribadian kepercayaan yang hidup dalam masyarakat
yang merupakan pertahanan harga diri dan (Nuraiman, 2019). Dengan kata lain lain
martabat manusia sebagai individu dan anggota solidaritas berarti keadaan di mana individu
masyarakat. Siri’ merupakan kelayakan dalam merasa telah menjadi bagian dari sebuah
kehidupan sebagai manusia yang diakui dan kelompok.
diperlakukan oleh sesamanya. Orang yang tidak Dari beberapa pendapat tersebut dapat
memperoleh perlakuan yang sama akan merasa disimpulkan bahwa siri’ na pacce dalam interaksi
harga dirinya dilanggar. Perlakuan yang tidak sosial suku di Makassar merupakan sebagai
layak tersebut berupa pelanggaran hak-hak, harga diri dan solidaritas kemanusiaan. Dari
penghinaan, dan sejenisnya yang dapat konsep siri’ sebagai harga diri, dapat dipahami
menimbulkan reaksi dari orang yang dipakasiri’ bahwa dalam kehidupan suku di Makassar tidak
atau yang dibuat malu. Namun siri’ tidak hanya menuntut penghormatan harga diri
bermakna negatif dan tidak hanya bersifat individu dari orang lain tetapi bagaimana sesama
menentang, tetapi siri’ merupakan perasaan manusia mampu untuk menghormati dan
halus dan suci. Lebih lanjut Hamid et al. menjunjung tinggi harkat dan martabat orang
menjelaskan bahwa pacce dalam bahasa lain. Sementara konsep pacce merupakan suatu
Makassar dan pesse dalam bahasa Bugis bentuk solidaritas kemanusiaan dari individu atau
merupakan rasa kemanusiaan yang adil dan kelompok terhadap individu atau kelompok
beradab, semangat rela berkorban, bekerja lainnya untuk ikut merasakan kepedihan dan
keras, dan pantang mundur. Selain itu pacce membantu kesulitan yang dialami. Di dalam
atau pesse merupakan suatu perasaan hati yang budaya siri’ na pacce mengandung unsur
menyayat pilu terlebih apabila sesama warga indikator yang dapat meningkatnya solidaritas
masyarakat, keluarga, atau sahabat yang ditimpa sosial yaitu nilai kepercayaan, saling hormat-
kemalangan, yang menimbulkan suatu dorongan menghormati, bertanggung jawab dan
ke arah solidaritas dalam berbagai bentuk memperhatikan kepentingan bersama. Dengan
terhadap mereka yang ditimpa kemalangan. solidaritas yang muncul diharapkan kecintaan
Solidaritas sosial inilah yang mencari sumber terhadap perbuatan baik akan bertambah.
moral untuk membentuk tatanan sosial di tengah Dari penjelasan tersebut, maka konsep siri’ na
masyarakat (Hasbullah, 2012). pacce bisa dijadikan sebagai jembatan oleh
Rusdi dan Prasetyaningrum (2015) mengemu- masyarakat di Makassar dan masyarakat lainnya
kakan bahwa siri’ na pacce merupakan bentuk untuk senantiasa saling menghargai, memper-
harga diri, martabat, dan rasa senasib sepenang- kuat solidaritas, mengatasi atau bahkan meng-
gungan atau solidaritas dari masyarakat etnis hindari konflik-konflik yang terjadi sebagai akibat
Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja yang dari adanya interaksi sosial dalam masyarakat.
dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan
107 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

2. Menghargai Sesama melalui Budaya hormatan terhadap hak asasi manusia dalam
Sipakatau masyarakat Makassar. Penghormatan dan
perlindungan HAM tersebut mutlak diberikan
Secara etimologi sikap saling menghargai tanpa pengecualian dan tanpa perbedaan
berarti memberi (menemukan, membumbuhi) menurut bangsa, suku, ras, agama, jenis
harga, menaksir harganya, menghormati, kelamin, maupun status sosial dan status hukum
mengindahkan, memandang penting (berman- dari seseorang (Ndaumanu, 2018). Bahkan
faat, berguna). Sikap menghargai orang lain secara internasional, pengawalan hak asasi
berarti kecenderungan seseorang untuk bereaksi manusia memperoleh legitimasi melalui
dalam menghormati atau menghargai orang lain. pengesahan PBB terhadap The Universal
Saling menghargai dalam lisan dan perbuatan Declaration of Human Rights pada tanggal 10
merupakan jembatan pemersatu bukan pemisah Desember 1945. Oleh karena itu orang Makassar
dalam suatu perbedaan. tidak akan memperlakukan manusia lainnya
Sikap saling menghargai satu sama lain dengan seadanya, tetapi cenderung memandang
adalah gambaran idaman masyarakat ideal saat manusia lainnya dengan penuh martabat hingga
ini. Walaupun kadang rasa saling menghargai siapapun yang berada dalam kondisi tersebut
sering dinodai dengan beda pendapat dan akan senang dan bersemangat (Maida, 2016).
perselisihan. Sikap saling menghargai dapat Nilai-nilai sipakatau menunjukkan bahwa
dijadikan sebagai role model sebuah masyarakat budaya orang Makassar memposisikan manusia
ideal jangka panjang. Hal tersebut tentunya akan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan
menjadi contoh baik bagi generasi muda oleh karena itu manusia harus dihargai dan
berikutnya yang pastinya dicecoki dengan diperlakukan secara baik (Rahim, 2019).
berbagai hal positif. Semangat inilah yang mendorong tumbuhnya
Satu perilaku yang dibutuhkan dalam interaksi sikap dan tindakan yang tentunya harus
interpersonal adalah memberikan penghargaan. diimplementasikan dan diinternalisasikan dalam
Perilaku ini akan sangat penting karena melalui menjalin pola hubungan sosial dalam
perilaku ini banyak kebutuhan dapat dipenuhi bermasyarakat sehingga tercipta suasana yang
baik pada pihak orang lain maupun pihak diri harmonis yang ditandai dengan adanya
sendiri meskipun secara tidak langsung. hubungan intersubyektifitas dan saling
Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan menghargai sebagai sesama manusia.
untuk dihargai oleh orang lain. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi
Budaya masyarakat Makassar yang patut landasan utama dalam membangun hubungan
dijadikan contoh dalam kehidupan bermasya- yang harmonis antar sesama manusia serta rasa
rakat yang berkaitan dengan nilai saling saling menghormati terhadap keberadaban dan
menghargai adalah budaya sipakatau. Sipakatau jati diri bagi setiap anggota masyarakat.
berasal dari kata “tau” yang mendapat awalan Sipakatau memiliki makna yang begitu
paka dan imbuhan si. Kata tau dapat diartikan mendalam dalam falsafah suku-suku di Makassar
sebagai manusia, ataupun wujud manusia itu di manapun mereka menetap. Manakala
sendiri dari jasmani dan rohani. Imbuhan “si” memahami dan kemudian mengamalkannya
dapat diartikan sebagai sesama sedangkan kata dalam interaksi kehidupan sehari-hari akan
“paka” dapat berarti menghargai sesama. menjadi pribadi yang dirindukan oleh orang lain
Dengan demikian kata “sipakatau” memiliki sehingga falsafah sipakatau dapat membimbing
makna saling menghormati antara satu sama lain mereka untuk berperilaku sebagai mana layak-
(Patongai dalam Nurnaga, 1999). nya, yaitu pola pikir dan perilaku yang selalu
Menurut Syarif et al. (2016), sipakatau benar, dan tabiat baik (Kaddi & Dewi, 2017).
merupakan sifat untuk memandang manusia Dari beberapa pendapat sebelumnya dapat
seperti manusia. Artinya, dalam menjalani disimpulkan bahwa budaya sipakatau merupakan
kehidupan sosial kita selayaknya memandang budaya suku-suku di Sulawesi Selatan yang
manusia seperti manusia seutuhnya dalam menghormati harkat dan martabat manusia
kondisi apapun tanpa melihat dari latar belakang sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan
status ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. harus diperlakukan selayaknya seperti manusia.
Artinya sipakatau merupakan bentuk peng- Budaya sipakatau juga menjadi penting untuk

108 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

diimplemetasikan oleh manusia dalam menjalani menentukan bagaimana seseorang bertindak.


kehidupan sebagai makhluk sosial. Di tengah Sulawesi Selatan yang terdiri dari empat suku
kemajemukan bangsa Indonesia budaya antara lain suku Bugis, Makassar, Mandar, dan
sipakatau menjadi penting untuk bisa dipahami Toraja memiliki ciri khas budaya yang telah
dan dipatrikan di dalam setiap jiwa sebagai menjadi adat istiadat dan falsafah hidup yaitu Siri’
upaya untuk menjaga hubungan dan interaksi Na Pacce dan Sipakatau. Budaya tersebut
sosial tanpa memandang suku, ras, agama, dan menjadi pondasi utama dalam menjalani
budaya agar terjaganya persatuan dan kesatuan kehidupan mereka sebagai makhluk sosial.
bangsa Indonesia. Budaya-budaya tersebut mengandung unsur
nilai-nilai normatif yang dapat mengikat
anggotanya. Melalui siri’ mereka
D. KESIMPULAN mempertahankan harga diri mereka dan malu
untuk berbuat tercela sehingga melalui siri’ juga

M
anusia dalam hakikatnya sebagai mereka belajar untuk menghormati harga diri
makhluk sosial tidak dapat terlepas orang lain. Sementara pacce adalah rasa empati
hubungannya dengan manusia lainnya. teradap sesama warga, kelurga, dan kerabat
Artinya manusia akan selalu saling membu- yang ditimpa musibah sehingga mendorong rasa
tuhkan satu dengan yang lain sehingga tidak solidaritas mereka untuk membantu. Selain
dapat terlepas dari proses interaksi sosial. kedua budaya tersebut, dalam membangun
Proses interaksi yang dibangun dapat berupa interaksi sosial yang baik, suku-suku tersebut
interaksi positif maupun interaksi negatif. berpegang pula pada budaya sipakatau yaitu
Interaksi positif terjadi apabila terdapat hubungan menghormati harkat dan martabat manusia
yang saling menguntungkan sedangkan interaksi lainnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
negatif terjadi apabila salah satu atau kedua mulia tanpa memandang latar belakang ekonomi,
belah pihak dirugikan. Interaksi negatif inilah etnis, ras, budaya, maupun strata. Ketiga budaya
yang mampu menimbulkan konflik. Konflik-konflik tersebut harus dapat diimplementasikan dengan
tersebut dapat berupa perselisihan, percekcokan, baik dan dipertahankan dalam membangun
ketegangan dan lain sebagainya. Bahkan pada interaksi sosial. Karena melalui interaksi sosial
tahap yang lebih serius konflik dapat mengancam yang baik dalam masyarakat akan terjalin
persatuan dan kesatuan bangsa. hubungan yang harmonis antar sesama. Dengan
Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang demikian kemajemukan Indonesia hanya menjadi
memiliki ragam budaya, etnis, bahasa, dan khasanah bukan justru menjadi bumerang yang
agama. Kemajemukan tersebut selain menjadi mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
khasanah, juga menjadi bumerang bagi
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. E. UCAPAN TERIMAKASIH
Konflik-konflik yang timbul sebagai akibat dari

P
keberagaman budaya, etnis, bahasa, dan agama enulis ingin mengucapkan terimakasih
tersebut dapat diatasi dan dihindari apabila kepada Bapak Suharno selaku dosen
masyarakat Indonesia mampu membangun pembimbing yang telah senantiasa
interaksi sosial yang positif. Konflik tidak dapat membimbing dan mengarahkan penulis dalam
dibiarkan begitu saja tanpa ada langkah menyusun artikel ini hingga terbit. Terimakasih
penyelesaian. Yang terpenting juga adalah juga penulis sampaikan kepada Program
langkah prefentif untuk mencegah terjadinya Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
konflik. Dalam menghadapi dan menghindari yang telah memberi dukungan untuk penerbitan
konflik, diperlukan kebudayaan yang di dalamnya artikel.
terkandung nilai-nilai normatif karena kebu-
dayaan memiliki kekuatan memaksa pendukung-
nya untuk mematuhi segala aturan yang melekat.
Selain itu, budaya terdiri dari seperangkat nilai-
nilai yang dipelajari, keyakinan, standar-standar,
pengetahuan, moral, hukum dan perilaku yang

109 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, S., Afrizal., & Indraddin. (2017). Regulasi Konflik Pemilu (Studi Kasus Resolusi Konflik
Pilkada 2015 dan Persiapan Pemilu 2019 Di Kabupaten Sijunjung). Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 21(2), 177-184.
Dharmawan, L. (2019). Konstruksi Konflik dan Elemen-Elemen Budaya pada Kasus Pembakaran
Bendera HTI. Jurnal Resolusi Konflik, CSR, dan Pemberdayaan, 4(1), 51-55.
Darwis, R., & Dilo, A. U. (2012). Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce pada Masyarakat Suku Makassar Di
Kabupaten Gowa. El Harakah, 14(2), 186-205.
Hamid, A., Farid, Z. A., Mattulada., Lopa, B., & Salombe, C. (2007). Siri’ & pesse: Harga diri manusia
Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka Refleksi
Hasbullah. (2012). Rewang: Kearifan Lokal Dalam Membangun Solidaritas Dan Integrasi Sosial
Masyarakat Di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya, 9(2), 231-243.
Hijriani., & Herman. (2018). The Value of Siri’ na Pacce as an Alternative to Settle Persecution.
Padjajaran Journal of Law, 5(3), 558-580.
Irwandi., & Chotim, E. R. (2017). Analisis Konflik antara Masyarakat, Pemerintah, dan Swasta. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 7(2), 24-42.
Kaddi, S. M., & Dewi, S. R. (2017). Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi, Sipattokong (Studi
Komunikasi Antarbudaya Perantau Bugis di Kota Palu, Sulawesi Tengah). Prosiding
Konferensi Nasional Komunikasi, 01(01), 347-357.
Kinasih, K. P., & Dahliyana, A. (2018). Membangun Solidaritas Peserta Didik Melalui Kegiatan Bakti
Sosial Organisasi Siswa Intra Sekolah, Jurnal Sosioreligi, 16(1), 22-28.
Koentjaraningrat, (eds) (1995). ‘Manusia dan Kebudayaan di Indonesia’, Edisi 15 Jakarta: Djambatan.
Larasati, D. (2018). Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh dan Eksistensi Hallyu (KoreanWave)
versus Westernisasi di Indonesia. Jurnal Hubungan Internasional,11(1), 109-120.
Magfirah, S. (2016). Siri’ Na Pacce dalam Suku Makassar Perspektif Al-Qur‘An dan Hadis. TAHDIS,
7(2), 158-170.
Mahmud. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Maida, N. (2016). Seminar Nasional “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Membentuk Karakter Bangsa dalam
Rangka Daya Saing Global”, 29 Oktober 2016, Makassar, pp. 327-334.
Mattulada, (1995). Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Makassar: Hasanuddin
University Press.
Muslim, A. (2013). Interaksi Sosial dalam Masyarakat Multietnis. Jurnal Diskursus Islam, 1(3), 484-
494.
Ndaumanu, F. (2018). Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Upaya Perlindungan Dan
Penghormatan Masyarakat Hukum Adat Di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jurnal HAM, 9(1), 37-49.
Nuraiman. (2019). Faktor-Faktor yang Memicu Perubahan Solidaritas Dalam Masyarakat Di Nagari
Solok Ambah Kabupaten Sijunjung. Jurnal Ilmu Pendidikan Ahlussunnah 2(2), 6-12.
Ode, S., & Rachmawati, N. A. (2017). Peran Budaya Lokal Sebagai Media Resolusi Konflik. Jurnal of
Goverment, 2(2), 103-119.
Purbasari, V. A., & Suharno. (2019). Interaksi Sosial Etnis Cina-Jawa Kota Surakarta. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(2), 1-9.
Rusdi, M. I. W., & Prasetyaningrum, S. (2015). Nilai Budaya Siri’na Pacce dan Perilaku Korupsi. Jurnal
Indigenous, 13(2), 68-86.
Rahim, A. (2019). Internalisasi Nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge’ dalam Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Al-Himayah, 3(1), 29-52.
Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2009). Communication Between Cultures. Canada:
Lyn Uhl.
Setiadi, E. M., & Kolip, U. (eds) (2011). ‘Pengantar Sosiologi. Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya’, Edisi 2. Jakarta: Kencana.
Soekanto, S, (eds) (2010). ‘Sosiologi Suatu Pengantar’, Edisi 43. Jakarta: Rajawali Press.
Soetopo. (1999). Teori Konflik. Jakarta: PT raja Grafindo Persada.

110 | P a g e
AULIAH SAFITRI, SUHARNO https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020
AULIAH SAFITRI, SUHARNO/JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Sukardi. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Syarif, E., Sumarmi, Fatchan, A., & Astina, I. K. (2016). Integrasi Nilai Budaya Etnis Bugis Makassar
dalam Proses Pembelajaran sebagai Salah Satu Strategi Menghadapi Era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Jurnal Teori Dan Praksis Pembelajaran IPS, 1(1), 13-21.

111 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p102-111.2020 AULIAH SAFITRI, SUHARNO
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

RIAU MALAY IDENTITY POLITICS


1* 2 3
M. Rafi ( ), Eko Priyo Purnomo ( ), Baskoro Wicaksono ( )
12
Department of Government Affairs and Administrations, Jusuf Kalla School of Government,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia.
3
Department of Government Science, Universitas Riau, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 29th December, 2019 This article is a study of the process of the rise of Riau Malay Identity
Review : 01st February, 2020 Politics when it was previously marginalized in the New Order era. The
Accepted : 04th May, 2020 purpose of this article is to look at the stages in the formation of identity
Published : 1st June, 2020 politics in restoring the glory of Malay culture in Riau province. This
Available Online : June, 2020 research is descriptive-explorative library research that explains and
explores ideas about Riau Malay identity politics by answering
questions in problems identified based on reading results and data
interpretation related to the research theme. The results showed that
KEYWORDS
after the reforms, the political elite of the Riau Province government
tried to strengthen Malay identity with a variety of policies that were
Politics; Identity; Malay; Riau disseminated. Then, the negative views that were often directed
towards ethnic Malay in the past, were rectified again by giving Islamic
CORRESPONDENCE values to all the lives of the Malay people. Furthermore, the Local
Government and the Riau Malay Customary Institution try to re-
*E-mail: m.rafi.psc19@mail.umy.ac.id socialize the importance of the use of Malay as the origin of
Indonesian.

A. INTRODUCTION

Cultural and political pressure by the New Order

T
he issue of identity politics is a problem that
is often discussed in Indonesia, because government has caused the weakening of the
many things can be studied and analyzed Malay community in Indonesia. This situation was
through various perspectives. In essence, identity created because the New Order government
politics in Indonesia is more specific to the issue carried out cultural homogenization, which
of race, culture, politics and local preferences contributed to Jawanization. Malay identity
expressed by the elite through the accumulation eroded until reform came (Alfarabi et al., 2019;
of their respective interests (A. Abdullah, 2017; Asrinaldi, 2018).
Erman, 2018; Putra, 2019). Then, the politics of The transition period was a shift in the
regional identity becomes more viscous because structure and governance of the Indonesian State
each region wants to be led by its sons and under the leadership of President Soeharto.
daughters (Alfarabi, 2019). Policies that have traditionally been top-down
In general, the Malays in Southeast Asian have begun to be replaced by the process of
countries are aware of the challenges they face regional autonomy that allows regions to have
together, and unlike the Malays in Indonesia who the power to regulate themselves. The Refor-
have their own individuality in displaying their mation period has given more space for the
culture, the ethnic Malays in Indonesia are bound people of Indonesia to get support for national
together in their respective regions. And do not and national policies. Community participation in
have the same psychological unity to fight. As a the determination of national and local policies is
result of this local development, Malay identity in a direct democratic political system born of
Indonesia has narrowed and developed reform. The political system of direct elections
independently. Malay identity preferences are allows voters to be active in deciding who needs
often dictated by the circumstances they face and to be considered a city representative. In this
change according to the demands of the times. context, the regional identity becomes thicker

112 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

because each region wants to be led by the sons around what they do, but, rather based on what
of the region. The awareness of hosting in their they believe (Hemay & Munandar, 2016; Putra,
own country is a problem that follows the age of 2019; Salim, 2015; Ulum et al., 2017).
independence in the reform era. This situation Identity politics, which are often present on
makes regional identity competitive and the topic the surface of Indonesia's modern history, must
being discussed in the context of local policy. be treated and defended carefully by contextual
Therefore, the birth of a regional autonomy logic that is interpreted accurately and
strategy and a direct election political system intelligently (Habibi, 2017). Tribal sentiments can
have helped to raise awareness of Malay identity only have a positive effect when confronted with
(Alfarabi et al., 2019; Alfarabi, 2019). the image of figures, which means that someone
According to (Heywood, 2014), Identity will support a candidate, whatever his tribe or it
Politics is a political style that seeks to fight group can also be said that the contribution of each
marginalization by embracing a positive and factor can be either negative or positive (Hemay
assertive sense of shared identity. Furthermore, & Munandar, 2016), The emergence of ethnic
according to Morowitz in (Prayetno, 2016), influence as a political force slowly changes the
identity politics is a way to provide a clear line in control of the state and the ruling bureaucrat
determining who will be included and who will be class (Salim, 2015). Selembayung, as a
rejected. Because the determination lines seem characteristic of Malay identity, actually moves
irreversible, then the status as a non-member more freely among its user groups so that
member necessarily seems permanent. Making uniformity and exclusion are not successful
ethnic identity as a political commodity is a step (Salam, 2017), The emergence of identity politics
to influence other parties in order to fulfill their mainly used to strive to change social, political
desires. According to (Castells, 2010), there are and economic structures that do not support the
three formations in building an identity, namely: lives of Malay ethnic groups (Marnelly, 2017;
1. Legitimacy identity is the image of an Venus et al., 2019).
institution that regulates the community, which The process of intellectual Malay Islamic
rationalizes and maintains hegemony over traditions cannot be separated from the process
social actors, such as state institutions that of transmitting and disseminating Islamic
seek to improve the national identity of teachings and ideas, which always involves a
community members. In fact, the organization kind of "intellectual network" between the
has gained credibility to do it. scholars and intellectuals as a whole (Jaya,
2. Resistance identity is a cycle of the formation 2018; Ris’an Rusli, 2018), As far as the political
of identity by social members who are under aspects are concerned, the problem of
pressure because of the dominance and regionalism or main opinion in people's lives
stereotypes by other parties to form an clearly creates a structure for the
opposition and create an identity that is operationalization of identity politics, which can
different from those who govern, with a view be seen in many conditions that arise in culture,
of the existence of a community. as evidenced by a series of collisions (Ulum et
3. Project identity is an identity in which cultural al., 2017), identity is politicized by extreme
members form a new identity that can interpretations and requires support from people
determine a new position in society and who feel the same, whether in gender,
change the overall structure of society. nationality, beliefs or other components (A.
Identity politics is an ideology that exists in Abdullah, 2017; Syu’ib, 2017).
every ethnicity. Its existence is latent and The survival of the supremacy of Malay
potential and at any time, can come to the culture is a big challenge because although it is
surface as a dominant political force (Salim, still active, the current position of Malay is less
2015). The search for identity, both collectively strategic and its influence is starting to decline (I.
and individually, becomes the most basic source Abdullah, 2017; Sanusi, 2017), The reforms have
of the meaning of the fundamental source of allowed the Riau Malay population to continue to
meaning. The search for identity and purpose is show their presence in their area (Alfarabi et al.,
not something entirely new, because identity, 2019; Alfarabi, 2019; Alfarabi et al., 2019;
especially based on religion and ethnicity, has Asrinaldi, 2018). Malay ethnicity as a community
become the root meaning of human life since has the right to be involved in determining Malay
civilization is present on earth. However, today, in political format, not a community that is part of a
a historical period marked by organizational political system based on the royal ideology that
destruction and institutional delegitimation, it has tends to be authoritarian (Jaya, 2018; Marnelly,
eliminated social movements that have a large 2017), President Soeharto's rejection of the
impact and temporary cultural expression. In results of the 1985 Riau Governor election that
other words, although not the only one, identity is won an indigenous son became a monument that
the main source of meaning. People increasingly is always remembered for the authoritarian
organize, organize their meaning of life not attitude of the New Order, which had denied the
113 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020 M. Rafi, et al.
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

will of the majority of the people of Riau (Hapsa, the level of full stakeholders, but only in the form
2019), Malaysia and Indonesia, when this seems of recommendations that do not always represent
to lack understanding of the historical input for these stakeholders (M.Zainuddin, 2018).
background of the two countries. Most of the The government in the Malay Malay environment
recent social and corporate challenges arose places more emphasis on governance based on
from cultural confusion, so even a small concern ideals Islam (Alfarabi et al., 2019; Jaya, 2018),
will cause fires and flames that do not die out Leaders must include all elements, be
quickly (I. Abdullah, 2017; Zed, 2015). transparent and accountable in their decision
An identity can be essential, universal, and making, ensure that justice is served, and pay
eternal. However, the building of identity cannot attention to the public, political, and economic
be separated from socio-cultural influences interests of the community (Syamsuadi, 2018).
(Riswari, 2019), In the meaning of modernity, Previous studies on Malay identity and culture
Malay civilization, which has established its have illustrated that Malay culture has
inheritance, will become more sophisticated and significance for Riau and Indonesia, Riau Malay
at the same time, be able to dominate the great Identity Politics presented in the post-reform era
civilization of the world if it can change something is interesting to study because of the selection of
from domination to hegemonic culture (Sanusi, cultural symbols identified as regional identities to
2017), Malays want their heritage protected by socialize Malay identity. The identity in practice
local government policy and not used for practical requires an instrument to distinguish and at the
politics (Asrinaldi, 2018). same time, to provide similarity with who is called
Malay Modern Ujungbatu Riau is a community Malay and who is not. Studying the identity
of citizenship characterized by attitudes of people politics used by the Riau Malay people to display
in the form of mutual trust, mutual reconciliation, their ethnicity, indirectly also examines the Riau
capacity for collaboration, faith, duty, unity, Malay process in building its long-marginalized
deliberation, solidarity, and cooperation (Yosi local identity. The creation of identity also reflects
Malasari, 2017), Ethnic Bugis, who live in the values sought by Malay culture (Alfarabi et
Indragiri Hilir Regency is ethnic refugees, with a al., 2019; Alfarabi et al., 2019). One of the
total population of 150,816 people, occupying the provinces which are in the process of displaying
third rank among ethnic Malay and Banjar ethnic Malay identity politics is Riau. Riau Province is a
groups. However, ethnic Bugis are able to region that is considered to have a strong Malay
manage power relations in an appropriate history. Malay history in Riau has strong ties with
manner. Evidence of the role of the Bugis ethnic Malay in Riau Islands, Johor Malay, Malacca
group in Inhil has strategic positions in various Malay, Singapore Malay, and Mining Malay.
fields, especially in the legislative body (Hapsa, Efforts to build a Malay identity in Riau are
2019), LAM Riau implements the mechanism of contained in the Vision of Riau 2020 which wants
forming Malay cultural values, the practice of to make Riau a center of Malay culture, not only
Malay cultural values in the community, and the in Indonesia but also in Southeast Asia (Affandi,
implementation of Malay building architecture. 2018; Syamsuadi, 2018; Syu’ib, 2017).
Efforts made by LAM Riau have not yet reached

Table 1. Ethnicities in Riau Province

No Tribe Amount Percentage (%)


1 Melayu 2.103.659 37,74%
2 Jawa 1.431.598 25,05%
3 Minang 672.621 11,26%
4 Batak 400.837 7,31%
5 Banjar 191.787 3,78%
6 Tionghoa 188.897 3,72%
7 Bugis 139.26 2,27%
8 Sunda 103.012 1,6%
Amount 5.726.241 100%
Source: Documentation LAM Riau, 2019

The table above shows that Riau Province Environment in Southeast Asia in 2020 ", Riau
has various ethnic tribes dominated by Malay Vision 2020 becomes a dream and aspiration to
tribes, efforts to build Riau Malay identity identity restore the glory of Malay culture with integrity in
are contained in Riau Vision 2020 "The Riau and the rising degree of Riau Malay people
realization of Riau Province as the Center of after a long time of Malay identity sinking under
Malay Economy and Culture in a Religious, pressure from the New Order era central
Prosperous, Born and Inner Community government (Syu’ib, 2017). This research aims
114 | P a g e
M. Rafi, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

and focused on examining how Malay identity To test the data obtained, qualitative
politics in Riau in realizing a Malay culture of descriptive analysis is used by reducing data,
integrity based on three processes of formation in presenting data, and drawing conclusions. The
building an identity according to Castels, namely main concern in this research will be directed to
Legitimacy Identity, Resistance Identity, and the study of Riau Malay identity politics in the
Project Identity. process of building a collective identity of Malay
people.

B. METHOD
C. RESULTS AND DISCUSSION

T
his research is descriptive-explorative
1. Riau Malay Legitimacy Identity
library research. Explain and explore ideas
about Riau Malay identity politics in the

A
fter the reform period, the political elite of
process of reviving Malay cultural identity. This
the Riau provincial government began to
study uses a qualitative method by answering
try to strengthen and show their true
questions in the formulation of a predetermined
identities, and various discourses were formed
problem based on reading and interpretation of
through policy and disseminated to portray Malay
data relating to the theme under study, consisting
character in Riau.
of primary and secondary sources. Primary
The Riau Malay Customary Institution is
sources consist of national and international
dedicated to protecting and preserving the legacy
scientific journals and also books that directly
of the Malay symbol and working with the Riau
refer to the research theme. While the secondary
Provincial Government in fulfilling the Vision of
sources are the sources mentioned above but
the Riau 2020 Mission. 1 of 2012 in Chapter IX
are not directly related to the theme (Hermawan,
Article 11, Riau LAM plays a role in:
2019).
1. Conduct an inventory of regional customs,
Research collection techniques are reading,
arts, and socio-cultural values.
recording, selecting data, and categorizing data.
2. Conduct an inventory of cultural assets and
In detail, the activity begins with reading the
historical relics of the region.
literature related to research, then proceed with
3. Conduct planning and implementation of
recording the materials to expand the information
management activities and the development
needed. The next step was selecting the data
of traditional activities, arts/socio-cultural
that had been obtained. As the final stage, data
values of the region, and Arranging plans and
categorization is carried out to be included in the
implementing maintenance activities and
appropriate sub-sections (Albi Anggito, 2018).
utilizing cultural assets and the historical relics
of the region.

Figure 1. The Riau Malay Customary Institution and the Riau Provincial Government
work together to strengthen Malay culture (Source: datariau.com 2019)

The collaboration between Riau Malay Customary Institution has had an important role
Customary Institution and the regional in the preparation of regional regulations, and
government of Riau Province is an identity of has been involved in the process of making
legitimacy that is seen in the policymaking regulations regions, especially regional
process, besides that, The Riau Malay regulations regarding inheritance or practices of
115 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020 M. Rafi, et al.
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Malay communities in Riau (Affandi, 2018; which is contained in the Riau Vision Vision
Syu’ib, 2017). 2025, namely: "The realization of Riau Province
Furthermore, the Riau Provincial Government as the Center of Malay Economy and Culture in a
wants to maintain and develop Malay culture as a religious, prosperous and prosperous society
collective identity of the people of Riau, through born in Southeast Asia in 2025".
Riau Provincial Regulation No. 1 of 2012
concerning the Riau Malay Customary Institution
in chapter V Article 6 regarding Purposes, it is 2. Riau Malay Resistance Identity
stated that several objectives of the Riau Malay
In the past, there were negative views
Customary Institution are:
pinned to the Malay community. Each ethnic
1. Riau Malay Customary Institution aims to
group naturally wanted to display a positive
explore, foster, preserve, preserve, and
image that was even better than other ethnic
develop traditional values and social, cultural
groups. Ethnic groups with negative identities try
values as a basis for strengthening and
their best to erase negative stereotypes so that
strengthening the identity of the Malay
ethnic images can be improved. The same
community.
situation was carried out by Riau Malay post-
2. Riau Malay Customary Institution aims to
reformers, who tried hard to change their
protect and defend the traditional and
negative views on their ethnic groups. One of
constitutional rights of indigenous peoples,
them is by rectifying the negative stereotypes
and socio-cultural values in the interests of
inherent in the Riau Malay character. This
enhancing the outward and inner welfare of
discourse was carried out because, in the past,
the Riau Malay community.
there was a negative view pinned on Malay in the
3. Riau Malay Customary Institution aims at
past, namely 'Malays are lazy and not
realizing indigenous peoples and advanced,
hardworking people'. This expression eventually
just, and prosperous socio-cultural values in
led to a negative Malay identity paradigm. In
the civil social order.
general, this negative view is tried to be
eliminated through the discourse on the politics of
Together with the end of the New Order
Malay identity. The process carried out in
Government, Riau Province immediately
changing this view is by giving Islamic values to
established the vision and mission of Riau
all Malay people's life which is often called
Province, which was extended from 2020 to
'Melayunisasi', the concept of melayunisasi is
2025. The extension of Riau's vision and mission
displayed in the selembayung in the local
5 years in the future, is in accordance with Law
government building and traditional institutions in
number 17 of 2007, where the Regional Long-
Riau.
Term Development Plan is equated with the
National Long-Term Development Plan of 2025

Figure 2. The use of Selembayung in government buildings and traditional institutions


(Source: shintadaniel.wordpress.com 2019)

In the picture above, it can be seen that was implemented after the euphoria of
Selembayung as identification in the efforts made independence reform and the expansion of
by Malays to show their host in Riau. This policy regional autonomy. Displaying Malay identity as a
116 | P a g e
M. Rafi, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

whole is the fastest step to show Malay life in related to priority policies or positive policies
Riau. Selembayung is the most impressive visual implemented by local governments to provide
sign to display because it is clearly visible on the space and space for ethnic and non-ethnic
roof of the building. In fact, Malay finds migrants in economic, political, governance, and
Selembayung as a Malay identity politics that has socio-cultural activities.
philosophical meaning. Malay society in general is the same as Islam,
Selembayung can be seen in two ways: Islam Islam is the most strict ethnic boundaries created
and sociology. First selembayung is an by Malay to separate those who belong to Malay
embodiment of rehal the holder of the qur’an at and those who do not. Aside from being a
the time of the recite. The essence of this is the prerequisite for Islam, Islam is also a benchmark
openness of the Malay community to the for the value of the behavior of the Malays
acceptance of outsiders who come to their area. themselves. There is pride in the Malay
The definition of openness is taken from the community with their Islamic identity. The role of
nature of open mind. Such transparency is a Islam in Malay culture is so strong that when
description of the nature of the Malays who, Islam is disturbed, it also means that one's
according to Islamic teachings, want to stay in Malayness is also disturbed. The quality of Islam
touch. Second, selembayung is understood as a in the Malay aspect is shown by the example of
picture of “hablumminnannas” which is reflected someone who came out of Islam, then
in wood that is crossed and “hablumminallah” automatically considered out of Malay itself. The
which is reflected from wood that is perpendicular same thing also applies when a person converts
to the sky. The implication is that Malayan culture to Islam in Malay land, in general the community
maintains bonds with fellow humans and will say that person has become Malay. The
connections with God. In a sociological approach, results of previous studies found that the Malay
Selembayung is called a symbol and a summary community in Pekanbaru Riau was strongly held
of the characteristics of the Malays. not to separate between Islam and Malay.
Islam is the source of reference, and Malay is
3. Riau Malay Project Identity the manifestation. All Malays' actions must be
based on Islamic teachings. So starting from
The introduction of regional autonomy after
thinking to behaving everything is a manifestation
the fall of the New Order system is interesting in
of Islamic values. So it can be said that Islam and
strengthening regional identity. Autonomy is even
Malay are one, Malay which is identical with
defined as indigenous ethnic rights in the region,
Islam has long been used as the identity of the
thus ignoring other ethnic rights as migrants. This
Malay community. It's just that during the New
has been done by the Riau Malay community
Order government, this identity only appeared
when the beginning of the reforms demanded
limited to religious status. After the collapse of
that the central government pay more attention to
the New Order, this identity was revived to reject
development in Riau, especially with the natural
the negative stereotypes of Malay society. Thirty-
resources owned by this region, but cannot be
two years of oppression during the New Order
enjoyed by the people. As a result of this political
era not only marginalized Malay identity, but also
phenomenon, three demands emerged from Riau
gave rise to the stereotype that Malay people are
Malay leaders such as Tabrani Rab, Al Azhar
lazy, do not like to work hard, and like to pretend
and so on to urge the central government to grant
to be.
the widest possible autonomy, the formation of
Identifying Malay is Islam and Islam is Malay
federalism or Riau independent. Even the
is a method used to refute negative stereotypes
discourse for the "the independent riau
before, Malay people who are similar to Islam will
movement" is quite prominent in these demands,
not practice practices that are contrary to Islamic
causing friction with the security forces in this
teachings, such as laziness and others (Alfarabi
area. As a basis for the implementation of
et al., 2019). Speaking Malay is the next criterion
regional autonomy as widely as possible in
that someone is said to be Malay. Malay is an
Indonesia, communities increasingly strengthen
identity politics to show one's Malayness.
their political identities.
Various local political movements emerged in
almost every region in Indonesia. Riau is no
exception, even the issue of the son of the region
is an issue that is often raised, especially in
policy making by local governments. Common
problems of sons and daughters in this region are

117 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020 M. Rafi, et al.
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Figure 3. Preservation of Malay as a way of advancing Riau Malay culture


(Source: Riautelevisi.com 2019)

Malay can be understood in three points of custom. The teaching is that in a nation or
view. First, Malay is seen from a philosophical ethnicity or in a group or organization, one must
point of view, language use, and from a dialect have a good mind and language. Good language
perspective. Malay identity in Riau can be seen and language have been exemplified in religion
from these three perspectives. Philosophically, and customs. Moreover, the customs of Malay
the Malay language is a consequence of the culture, the values of customs are taken from
choice of Malays to choose Islam as something religious values. From a philosophical point of
inseparable from their lives. The presence of view, the Malay language is considered as a
Islam had an impact on the entire Malay culture, radiant of manners, where the inner picture of the
including the use of language in it. Malay dialect Malay community is painted in the appearance of
is the spread of Islamic ideals so that Malay the language.
words prevent controversy. The advice taught by Furthermore, the second viewpoint of the
Raja Ali Haji in Gurindam twelve also provides Malay language is seen from the use of the word.
guidance for members of the Malay community The Malay Languange community is full of
about how Malays should behave and behave as symbolism. The Malay language phrase often
desired by Malay custom. Gurindam Twelve does not refer directly to what is said but is full of
contains twelve chapters. As an illustration, the imagery. Symbolism in Malay is associated with a
following article excerpts: calm tendency and a feeling of cultural diversity,
If you want to know people who are which prevents conflict. There is a concern that
national when a word is used directly on someone, it will
Look at the mind and language offend the person. This has caused many Malay
If you want to get to know people who are proverbs to be found in parables. When
happy associated with language as moral, preserving
so caring for nothing Malay is part of the cultural characteristics of
If you want to get to know a noble person Malay itself. Society believes that language
Look at his behavior damage results in the destruction of the nation.
If you want to know people who have The third perspective in understanding Malay as
knowledge an identity politics is a dialect. Someone is
Asking and learning is not bored considered to speak Malay based on the dialect
If you want to get to know someone who is used in conversation. Dialect is a way to say
intelligent words and phrases in daily communication. The
In the world take stock same words and sentences are possible to be
If you want to get to know a person who pronounced differently. Riau Malay is divided into
has a good temperament two dialects. Riau Malay with suffix e and Malay
Look at it when mixed with crowded people with suffix o.
Gurindam Temple above teaches that a Furthermore, a person is said to be Malay
person behaves and behaves as a Malay cultural when his behavior reflects the Malay culture. Just

118 | P a g e
M. Rafi, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

as the criteria of Islamic religious identity and D. CONCLUSIONS


Malay language have one layer of meaning, the

T
perspective of Malay culture can also be he politics of Riau Malay Identity in
understood because all Malay people's behavior realizing Malay culture with integrity can be
is based on Islamic values. The daily actions of a seen from the three phases of identity
person who is said to be Malay must be creation that have passed, namely the Identity of
encouraged by the teachings of the Qur'an and Riau Malay Legitimacy through the Riau Malayan
the Sunnah of the Prophet, from the smallest Customary Institution dedicated to protecting,
areas to the wider community. developing traditions, preserving Malay culture
Based on the description, it can be seen that and collaborating with the Riau Provincial
Riau Malay culture is a national identity that must Government in fulfilling the Vision Riau 2020,
be maintained because when someone who lives Furthermore, the Riau Malay Project Identity can
in Riau Province does not recognize Malay be seen from the Identification of Malay as Islam
culture as a whole, it will cause a cultural identity and Islam as Malay, which is a method used to
crisis. Then, someone who can speak Malay, he refute these negative stereotypes. Lazy and
will have a higher political value in the eyes of the pretentious are against Islamic teachings. Malay
people of Riau because Malay is considered to society that is identical with Islam will not carry
be a spotlight on politeness and an inner image out activities that are contrary to the teachings of
of the Malay community that is painted in a Islam such as lazing and pretending like the
language display. views that have been directed before, and
In general, the Riau people believe that Malay speaking Malay is a criterion for someone to be
people are those who speak Malay and embrace said to be Malay. Malay is an identity politics to
Islam, while those who do not embrace Islam and show one's Malayness. Secondly, Riau Malay
do not speak Malay cannot be said to be Malay. Resistant Identity is carried out when there is a
This condition is following one of the Malay negative view embedded in Malay in the past
proverbs "If you want to know the people of the namely 'Malay is lazy and not hard-working' This
nation, look at the language". Therefore it can be expression eventually gives rise to a negative
understood that Islam and the Malay Language paradigm on Malay identity in general, negative
are the true identities of the Riau Malay people. views try to be eliminated through discourse
Furthermore, the existence of Selembayung Malay identity politics. The process carried out in
on the roof of community houses, government changing this view is by giving Islamic values to
buildings, and offices of traditional institutions is a all Malay people's lives, which are often called
message and one of the political attributes of 'Melayunisasi', the concept of melayunisasi is
identity that has been communicated to show displayed on selembayung in local government
Malay identity in Riau. In addition to showing buildings and traditional institutions in Riau.
ethnic identity, Selembayung is part of supporting
the Vision of Riau 2020, one of which is to E. ACKNOWLEDGEMENT
become the center of Malay culture in Southeast

T
he authors say to the Leaders of the
Asia, the Government in Riau Province believes
Masters of Government Affairs and
that displaying Malay identity physically is the
Administrations of Yogyakarta Muhamma-
fastest step to show the existence of Malay in
0diyah University for the opportunity that has
Riau.
been given, both in the form of assignments and
Culture and attributes that are socialized to
other support so that the author can studying on
the people of Riau then have an impact on the
campus dreamed of long ago. Not to forget the
term native sons and Malays who are more
author also conveyed to Mr. Eko Priyo Purnomo,
entitled to hold strategic positions in government.
S.IP, M.Sc, M.Res, Ph.D. for all the support and
The use of symbols and Malay cultural
advice that has been given. Especially to Mr.
campaigns as identity aims to improve the fate of
Baskoro Wicaksono, S. IP, M.IP, thanks for the
the Malays in their homeland.
motivation and inspiration that has been given.
May this article be a starting point for writers to
start other writings of higher quality in the future.
Hopefully, the knowledge taught can be charity
Jariyah for him.
REFERENCES

Abdullah, A. (2017). Membaca Komunikasi Politik Gerakan Aksi Bela Islam 212: Antara Politik
Identitas Dan Ijtihad Politik Alternatif. Jurnal An-Nida’ (Pemikiran Islam), 41(2), 202–212.
Abdullah, I. (2017). Glokalisasi Identitas Melayu: Potensi Dan Tantang Budaya Dalam Reproduksi
Kemelayuan. Jurnal Universitas Gadjah Mada, 1(2), 1–7.
Affandi, S. A. (2018). Kapabilitas Lembaga Adat Melayu Riau Dalam Mewujudkan Visi Misi Riau 2020.
119 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020 M. Rafi, et al.
M. Rafi, et al./JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Retrieved from www.repository.umy.ac.id


Albi Anggito, J. S. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa Barat: CV Jejak
Alfarabi. (2019). Simbol Eksistensi Identitas Etnik Melayu Riau Di Pekanbaru. Jurnal Kaganga, 3(1),
67–77.
Alfarabi, Venus Antar, Syafirah Nuryah Asri, & Salam Noor Efni. (2019). Elite Lokal Dan Upaya
Pembentukan Wajah Baru Identitas Melayu Di Indonesia Pascareformasi. Jurnal Akademika,
89(3), 143–154.
Alfarabi, Venus Antar, Syafirah Nuryah Asri, & Salam Noor Efni. (2019). Rekonstruksi Stereotip
Negatif Etnik Melayu. Jurnal Manajemen Komunikasi, 3(2), 131–141.
Alfarabi, Venus Antar, Syafirah Nuryah Asri, & Salam Noor Efni. (2019). Media Identitas Melayu
Pascareformasi Di Indonesia. International Journal Of Multicultural And Multireligious
Understanding, 6(1), 21–31.
Asrinaldi, A. (2018). Dimensi Kekuasaan Penghulu Adat Melayu Riau Dalam Pelaksanaan Demokrasi
Lokal. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 20(1), 57–69.
Castells, M. (2010). The Power Of Identity. Chicester, United Kingdom: John Wiley And Sons Ltd.
Erman, M. A. (2018). Politik Identitas Dan Negara Bangsa Di Riau. Retrieved From www.unri.ac.Id
Habibi, M. (2017). Analisis Politik Identitas Di Indonesia. Jurnal Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 1(3), 1–22.
Hapsa, Purnomo Eko Priyo. (2019). Relasi Kuasa Identitas Etnis Dilembaga Legislatif Periode 2014-
2019. Jurnal Ilmu Pemerintahan & Kebijakan Publik, 3(1), 125–146.
Hemay, I., & Munandar, A. (2016). Politik Identitas Dan Pencitraan Kandidat Gubernur Terhadap
Perilaku Pemilih. Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan, 12(1), 1737–1748.
Hermawan, I. (2019). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif Dan Mexod Method.
Kuningan: Hidayatul Quran Kuningan.
Heywood, A. (2014). Politik (Ke-4; A. L. Lazuardi, Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jaya, A. C. (2018). Konsep Nation-State Dalam Pemikiran Ideologi Politik Melayu Islam Pada Abad
Ke-19 M ( Studi Pemikiran Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi ( 1787-1854 ). Jurnal
Kebudayaan Dan Sastra Islam, XVIII (2), 139–151.
M.Zainuddin. (2018). Mekanisme Lembaga Adat Melayu Riau Dalam Melestarikan Wisata Budaya Di
Provinsi Riau. Jurnal Agregasi, 6(1), 92–107.
Marnelly, T. R. (2017). Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Melayu Pesisir (Studi Pengelolaan Madu
Sialang Di Desa Rawa Mekar Jaya). Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 19(2), 149–
154.
Prayetno. (2016). Menguji Hak Politik Dalam Kontestasi Politik; Analisis Terhadap Politik Identitas
Etnis Di Desa Perdamaian, Kecamatan Binjai, Kabupatan Langkat. Jurnal Pusham Unimed,
VII (2), 39–54.
Putra, D. K. (2019). Relevansi Politik Identitas Pemilih Muslim Dalam Pemilihan Gubernur Sumatra
Utara Tahun 2018. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(2), 236–244.
Ris’an Rusli, Y. (2018). Relevansi Dan Kontinuitas Pemikiran Islam Klasik Dalam Intelektualisme
Islam Melayu Nusantara. Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya Jawa, 3(2), 187–197.
Https://Doi.Org/10.15575/Jw.V3i2.3582
Riswari, A. A. (2019). Komunitas Surabaya Wotagei: Sebuah Kajian Budaya Populer. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(1), 121–131.
Salam, Noor Efni. (2017). Penetapan Simbol Arsitektur Perumahan Masyarakat Riau (Selembayung)
Sebagai Strategi Dalam Melestarikan Budaya Melayu. 2th Celscitech-UMRI 2017, 2, 29–37.
Salim, K. (2015). Politik Identitas Di Maluku Utara Identity Politic In Maluku Utara. Jurnal Kajian Politik
Dan Masalah Pembangunan, 11(2), 1667–1678.
Sanusi, I. (2017). Globalisai Melayu : Peluang Dan Tantangan Membangun Identitas Melayu Dalam
Konteks Modernitas. Jurnal Ilmiah Pendidikan, 1(1), 39–57.
Syamsuadi, A. (2018). Membangun Demokrasi Pemerintahan Di Riau Dalam Perspektif Budaya
Melayu. Jurnal Dinamika Pemerintahan, 1(1), 1–10.
Syu’ib. (2017). Lembaga Adat Melayu Riau Periode 2012-2017 Dalam Menegakkan Identitas Kolektif
Masyarakat Riau. Jurnal Online Mahasiswa Fisipol Universitas Riau, 4(2), 1–16.
Ulum, B., Jannah, S. R., & Arifullah, M. (2017). Hegemoni Sosial Dan Politik Identitas Putra Daerah
Jambi. Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam, 7(1), 225–249.
Yosi Malasari, C. D. (2017). Budaya Adat Pengantin Melayu Riau Dalam Pengembangan Budaya
Kewarganegaraan. Jurnal Humanika, 24(1), 11–23.
Zed, M. (2015). Hubungan Indonesia-Malaysia : Perspektif Budaya Dan Keserumpunan Melayu
Nusantara. Jurnal Tingkap, XI(2), 140–159.

120 | P a g e
M. Rafi, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p112-120.2020
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

PERUBAHAN POLA-POLA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT LAMPUNG SAIBATIN


1 , 2*
Ali Imron ( ) Rinaldo Adi Pratama ( )
1 2
Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Lampung, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 03rd December, 2019 This article discusses the marriage system that occurred in the
Review : 01st February, 2020 Lampung Saibatin community. This study examines how the marriage
Accepted : 04th May, 2020 system change based on their own needed. This study was an
Published : 1st June, 2020 ethnography research that would be described qualitatively, this is
Available Online : June, 2020 intended because the concern of the research is the way of life of the
Lampung Saibatin community. The results showed that the Lampung
Saibatin marriage in the 1970s underwent a change from a very strong
KEYWORDS Bujujogh with patrilineal to a Semanda marriage system. Lampung
Saibatin community develops a new marriage system using Semanda
Lampung; Saibatin; Pepadun; Bujujogh; which is an influence of the Minangkabau people, this is done by
Semanda Lampung Saibatin people because they are reluctant to be called a
failed family or ”mupus”. This study sees that the changes that occur
CORRESPONDENCE due to two vital elements are that emerge from within the Saibatin
community itself which includes privilege and economy. Meanwhile,
*E-mail: rinaldo.adipratama@fkip.unila.ac.id external factors are new cultures that come from other people, get a
better education and government policy.

A. PENDAHULUAN

P
enduduk asli Lampung terdiri dari dua Berbeda degan masyarakat Lampung
masyarakat adat yakni Pepadun dan Saibatin, masyarakat Pepadun mampu
Saibatin. Orang Lampung Pepadun pada mempertahankan adat dari Sekala Berak,
umumnya bermukim di pedalaman dan termasuk pada pola perkawinannya yang masih
sepanjang aliran sungai yang bermuara ke Laut menganut pola bujujogh (Kurniawan &
Jawa sedangkan orang Lampung Saibatin Rudyansjah, 2016; Abdullah, 1978). Namun,
bermukim di pesisir pantai dan di sepanjang masyarakat Saibatin yang tinggal di daerah
aliran sungai yang bermuara ke Samudera pesisir, mengalami berbagai bentuk perubahan,
Hindia. Dalam bertutur orang Saibatin berdialek salah satunya perubahan pola perkawinannya,
“A”, sedangkan orang Pepadun berdialek “O”. dari pola perkawinan bujujogh menjadi pola
Hadikusuma (1990) lebih rinci membedakan semanda. Diterimanya pola perkawinan semanda
antara Saibatin dan Pepadun antara lain tentang ini dikarenakan desakan sebagai penganut
bentuk perkawinan. Jurai Saibatin dengan bentuk sistem kekerabatan patrilineal yang sangat kuat
perkawinan bujujogh dan semanda sedangkan yang mengharuskan setiap keluarga melahirkan
jurai Pepadun hanya bentuk perkawinan anak laki-laki (Febra, 2015). Pada ulun Saibatin
bujujogh. yang menganut sistem bujujogh yang ketat
Perkawinan orang Lampung, pada dasarnya beranggapan bahwa setiap keluarga yang tidak
menganut pola bujujogh. Pola perkawinan mempunyai keturunan anak laki-laki akan mupus
bujujogh merupakan pola perkawinan warisan atau kehilangan hak garis keturunan (Pramudita,
adat orang Lampung yang asli (Abdullah, 1978; Aprilianti & Nurhasanah, 2018).
Imron, 2005). Pada pola perkawinan bujujogh ini Perkawinan dengan pola semanda ini
masyarakat menganut sistem kekerabatan merupakan adopsi dari sebagian kebudayaan
patrilineal yang kuat dimana laki-laki yang Minangkabau, dimana segala sesuatu atau
menentukan garis keturunan. masalah kekerabatan dihitung dari garis
121 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

keturunan ibu (Arifin, 2009). Proses adopsi pola mengadakan kajian ini, karena dengan jelasnya
perkawinan semanda ini terjadi karena kontak pola perkawinan bujujogh atau semanda akan
langsung antara kedua masyarakat pendukung sangat menentukan status anak, status warisan,
kebudayaan di wilayah Lampung. Hubungan atau dan status istri dalam kerabat, maupun sebagai
kontak antara pendukung kedua kebudayaan ibu rumah tangga dalam rumahnya sendiri. Itu
Saibatin dan Minangkabau ini sudah sangat lama semua merupakan bagian dari tujuan suatu
terjadi khususnya dalam sektor perdagangan di rumah tangga masyarakat Saibatin khususnya
pelabuhan Krui (Adatrechtbundels, XXXII Zuid- Krui. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
Sumatera, 1930; Hoesen, 1938). membahas mengenai faktor-faktor apa saja yang
Diadopsinya pola semanda oleh masyarakat mengakibatkan perubahan pola-pola perkawinan
Saibatin yang semula hanya mengenal pola pada masyarakat Lampung Saibatin.
bujujogh yang dalam artikel ini disebut sebagai
perubahan bentuk yang pertama. Namun B. METODE PENELITIAN
demikian, perkawinan dengan pola bujujogh dan

M
semanda sudah menjadi pola perkawinan yang etode yang digunakan dalam penelitian
diakui keberadaannya oleh Punyimbang Adat. ini adalah pendekatan kualitatif dengan
Perkawinan semanda di sini menganut sistem metode etnografi. Aplikasi kualitatif ini
matrilokal, di mana tempat tinggal ditentukan dimaksudkan bahwa tujuan dari etnografi adalah
oleh garis ibu atau wanita. Perkawinan semanda untuk memahami sudut pandang penduduk asli,
yang menganut sistem matrilokal ini sebenarnya hubungannya dengan kehidupan untuk
dimaksudkan untuk mempertahankan sistem mendapatkan pandangannya tentang dunianya
patrilineal yang sangat kuat dalam mayarakat (Spradley, 1997). Teknik pengumpulan data
Lampung pada umumnya, dan pada masyarakat dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
Saibatin pada khususnya. observasi, wawancara mendalam, dan studi
Dalam adat orang Lampung Saibatin, yang dokumentasi. Teknik tersebut dilakukan dengan
menjadi inti dalam penentuan suatu perkawinan harapan data yang dikumpulkan dapat
adalah status atau kedudukan perkawinan itu dideskripsikan sesuai dengan pandangan
sendiri, karena status inilah yang merupakan masyarakat Saibatin.
prinsip untuk melaksanakan proses acara-acara Penentuan informan mengacu pada konsep
adat maupun hubungannya dengan tempat Spradley (1997) dan Jacobson (1991) yang pada
tinggal, status keturunan, dan harta waris prinsipnya menghendaki informan harus paham
(Hidayat, 2016). Makna bujujogh dan semanda betul terhadap budaya setempat. Maka informan
dalam pikiran masyarakat Saibatin merupakan dalam penelitian ini adalah mereka yang
kunci dari perilaku seseorang Saibatin apakah ia mengetahui tentang adat perkawinan bujujogh
akan kawin dengan status bujujogh dan semanda dan semanda dan orang yang menjalani
atau cara yang lain (Sayuti, Shalfiyanti, & Imron, kehidupan dari sistem perkawinan tersebut.
1998). Maksud perkawinan bujujogh atau Maka dari itu informan dalam penelian ini adalah
semanda adalah jika seseorang memutuskan para punyimbang adat dari tujuh marga: marga
pilihannya, berarti ia harus melakukannya Way Sindi, marga La’ay, marga Bandar, marga
dengan segala konsekuensi. Ulu Krui, marga Pedada, marga Way Suluh, dan
Perkawinan bujujogh memberikan kepastian marga Tanumbang. Delapan pasangan keluarga
tentang kedudukan istri sebagai pihak yang batih yang menjalani perkawinan bujujogh dan
diambil. Melalui perkawinan pola bujujogh, gadis semanda. Proses analisis data sehingga
itu hilang hak dan kewajibannya sebagai seorang penelitian ini menjadi suatu etnografi adalah
anggota kerabat asal, atau dari keluarga yang dengan menganalaisis data dengan melakukan
melahirkan dan membesarkannya. Artinya, penilaian dan klasifikasi terhadap data yang
secara lahiriah dan batiniah gadis ini telah dikumpul, dicek kevalidan data hingga
menjadi warga kerabat laki-laki dan keseluruhan data dapat dirangkai dalam prime
menggantikan fungsi dari ibu suaminya. Oleh etnography.
karena itu, perceraian dalam masyarakat
Lampung dapat dikatakan tidak ada, akan tetapi
bila perceraian harus terjadi, orang Lampung C. HASIL DAN PEMBAHASAN
mengatakannya Cadang atau rusak, untuk 1. Perubahan Pola Perkawinan Masyarakat
menghindari peristiwa cadang ini, maka setiap Saibatin
kerabat turut bertanggung jawab menjaga

P
keutuhan keseluruhan keluarga. erubahan pola perkawinan yang terjadi
Sejalan dengan perputaran waktu, nilai dalam masyarakat Saibatin di sini
perkawinan bujujogh dan semanda yang merupakan suatu adaptasi kebudayaan
mengikat solidaritas kerabat kedua pasang suami dalam masyarakat itu, dengan mengadopsi
istri mulai goyang dan terabaikan serta unsur-unsur budaya asing, baik secara langsung
menampakkan gejala individualitas keluarga maupun tidak langsung (Hasran, Jamiluddin &
netral. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk Haq, 2016; Fattah dan Rahmatan, 1993).

122 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020 ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Adaptasi kebudayaan di sini merupakan suatu Lampung pada umumnya, dan pada masyarakat
perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan yang Saibatin pada khususnya.
telah ada yang menyebabkan unsur-unsur itu Perubahan yang terjadi dalam pola
dapat berfungsi lebih baik bagi manusia yang perkawinan Saibatin itu dapat dilihat dalam setiap
mendukungnya. ritual pelaksanaan perkawinan, seperti:
Dalam literatur Adatrechtbundels, XXXII Zuid- pemilihan jodoh, cara berkenalan, tempat
Sumatra 1930; 20, seri I No. 88 Zelfstandigie berpacaran, penyampaian pesan atau hasrat
pasar’s in Bengkuloe (1921-1922), dijelaskan untuk menikah, melamar, upacara perkawinan,
bahwa Pasar Krui –Kecamatan Pesisir Tengah penentuan mas kawin, dan adat menetap setelah
sekarang– dominan di seluruh afdeeling sebagai menikah.
tempat berlabuh yang penting. Sampai sekarang
denyut pertokoan dan pasar di Krui didominasi a. Pemilihan Jodoh
oleh orang-orang Minangkabau. Sebelum sampai pada pernikahan ada
Berdasarkan letak geografinya, wilayah Krui, beberapa tahapan yang harus dilewati. Tahapan
Bengkulu, dan Padang (orang Minangkabau) awal yang harus dilalui adalah tahap pemilihan
termasuk “kota tua” yang berada di sebelah jodoh. Pada masyarakat Lampung, perkawinan
pantai barat Pulau Sumatra dan merupakan jalur adat menganut dua cara, yaitu dengan
perdagangan laut yang sangat dikenal pada penjodohan dan non-penjodohan. Pemilihan
waktu itu (Belle, 1868). Suku Minangkabau jodoh dengan cara penjodohan banyak dilakukan
dikenal sebagai sukubangsa perantau, oleh keluarga punyimbang yang disebut ngeratu.
pedagang, dan penyebar Islam, sehingga tidak Dengan kata lain, kawin ngeratu sama dengan
heran jika sukubangsa Minangkabau ini telah tiba kawin dengan cara dijodohkan. Menurut adat,
di wilayah Krui sejak zaman dahulu dan setiap anak punyimbang harus kawin dengan
menyebarkan pengaruhnya pada masyarakat anak punyimbang pula, yang strata adatnya
setempat. dianggap sama dan berasal dari marga yang
Penulis melihat kebudayaan Minangkabau berbeda. Kriteria atau ukuran yang digunakan
sangat kuat berpengaruh terhadap kebudayaan dalam pemilihan jodoh harus memenuhi
masyarakat Krui, seperti hasil temuan di pertimbangan secara hierarki, dengan memper-
lapangan tentang cara masyarakat Krui mengaji. hatikan beberapa aspek, seperti: kebangsawa-
Cara membaca Al Qur’an pada masyarakat Krui nan (bangsawan–keturunan), kehartawaanan
persis seperti orang Minangkabau mengaji, (harta), kebudimanan, dan kegunaannya (fungsi)
misalnya alif dateh a, alif bawah i, alif dapan u, dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam
dibaca a, i, u. Selain itu, pengaruh adat masyarakat Lampung sangatlah tidak lazim jika
Minangkabau juga terlihat pada pola adat yang terjadi perkawinan antara anak punyimbang
lain, salah satunya terhadap pola perkawinan dengan bukan punyimbang atau anak dari rakyat
masyarakat. Orang Krui mendapat pengaruh biasa.
budaya pantai yang kuat khususnya dari Selain cara pemilihan jodoh dengan cara
Bengkulu dan Minangkabau yang Islami. Orang penjodohan seperti di atas, cara yang kedua
Lampung identik dengan Islam walaupun masih adalah pemilihan jodoh dengan cara non-
menggunakan hal-hal yang berbau mistik penjodohan. Cara pemilihan jodoh yang kedua ini
(Isnaeni & Hakiki, 2016). Misalnya pada waktu biasa dilakukan oleh orang kebanyakan atau
mendirikan rumah, masih menggantungkan orang biasa yang bebas memilih dan dipilih di
kelapa, padi pada tiang tengah rumah, dan antara kelompok-kelompok masyarakat. Namun
setelah itu dilaksanakan azan. Bagi orang demikian, rekayasa punyimbang terhadap bawa-
Lampung, agama Islam adalah satu-satunya hannya tetap saja ada, sehingga penjodohanpun
agama yang dapat diterima di dalam pergaulan sering terjadi pula pada strata masyarakat biasa,
masyarakat adatnya (Baharudin & Luthfan, seperti contoh pernah diperlakukannya eksogami
2020). antar-marga dan antar-etnik pada masyaraakat
Perkawinan semanda di sini menganut sistem ulun Lampung sekitar tahun 1950-an.
kekerabatan matrilineal, yaitu kekerabatan Kini, perkawinan dengan cara penjodohan
dihitung dari garis perempuan atau ibu. Pola telah mulai memudar, dan sekarang dapat
menetap setelah menikah pada perkawinan dikatakan hampir tidak ada lagi. Pada saat
semanda ini adalah matrilokal, di mana penelitian ini berlangsung, penulis tidak lagi
pasangan yang baru menikah akan bertempat mendengar dan melihat adanya penggagalan
tinggal (menetap) dekat dengan kerabat rencana perkawinan pasangan yang akan
perempuan. Perkawinan semanda yang melangsungkan pernikahan pada ulun Saibatin di
menganut sistem matrilokal ini sebenarnya Krui. Penggagalan rencana pernikahan itu
dimaksudkan untuk mempertahankan sistem disebabkan oleh berbagai masalah, antara lain
patrilineal yang sangat kuat dalam mayarakat masalah adat, maskawin, uang jujogh atau daw,
anak punyimbang, masalah penjodohan,
123 | P a g e
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

masalah tempat tinggal setelah menikah, misalnya jika pertemuan dilakukan di rumah,
maupun masalah status bujujogh atau semanda biasaya dilakukan pada malam hari sekitar pukul
bagi pasangan yang akan menikah. Padahal, 20.00-22.30 WIB. Cara mereka berkomunikasi
pola bujujogh atau semanda dalam ketentuan juga sangat bebas, dalam artian tanpa perantara
suatu perkawinan adat mempunyai aspek siapapun, bujang-gadis bisa secara langsung
tanggung jawab terhadap kerabat dan pe- bercakap-cakap baik saat bertemu muka, melalui
ngalihan waris. telephone, hand phone, maupun alat elektronik
Fakta di atas, mengindikasikan bahwa lainnya.
perkawinan dalam masyarakat Saibatin Krui yang Apabila cara pergaulan seperti di atas
memakai pola bujujogh dan semanda telah dilakukan oleh bujang-gadis sebelum tahun
berubah menjadi pola lain, yaitu bukan bujujogh 1970-an, maka mereka dianggap telah melang-
dan bukan pula semanda seperti yang telah gar norma kesusilaan dan hal tersebut tidak
disebutkan di atas sebagai perubahan yang pernah mereka bayangkan sebelumnya akan
pertama. Pada saat penelitian ini berlangsung, terjadi. Ketika melihat hubungan bujang-gadis
pola perkawinan yang terjadi di antara saat ini, yaitu bebas mengadakan komunikasi
masyarakat Saibatin Krui lebih ditentukan atau secara langsung tanpa melalui perantara-
didasarkan pada aturan-aturan keagamaan, dengan tujuan untuk menentukan masa
khususnya agama Islam (Firnando, 2019). depannya ke jenjang perkawinan, maka terlihat
Dengan kata lain, ulun Krui sudah tidak lagi pola hubungan yang independen dan mandiri
memperhatikan cara pemilihan jodoh terutama dari para bujang-gadis karena tidak ada lagi
sistem penjodohan dalam penentuan pasa- pengaturan dari Kepala Bujang-gadis pada setiap
ngannya dengan dasar aturan kesamaan status kampung atau desa. Orang tua bujang-gadis,
kebangsawanan, kehartawanan, dan seba- seolah-olah sudah kehilangan hak dan
gainya, tetapi yang lebih penting jika pasangan kesempatan untuk ikut menentukan pilihan calon
itu sudah merasa cocok dan seiman atau menantunya. Padahal sebelumnya penentuan
seagama, maka pasangan ini menikah. calon menantu merupakan hak orang tua yang
dominan, termasuk menentukan pola perkawinan
b. Perkenalan dan Tempat Berpacaran apa yang akan dilaksanakan.
Pertemuan antara laki-laki dan wanita yang
bukan nakbai (muhrimnya) dianggap sebagai c. Cara Penyampaian Pesan
suatu pelanggaran adat. Oleh karena itu, jika di Setelah melalui tahapan awal dalam menuju
suatu kampung ada bujang ingin bertemu gadis, perkawinan, maka bujang-gadis yang akan
maka ia harus minta izin atau harus melalui membentuk rumah tangga baru, harus melewati
Kepala Bujang-Gadis. Lembaga ini berfungsi tahapan selanjutnya yaitu pemberitahuan kepada
sebagai pengatur pertemuan antara bujang-gadis keluarganya atau dengan kata lain menyam-
yang akan bertemu, antara lain mengatur tempat paikan pesan kepada kerabatnya. Pada jaman
pertemuan, waktu pertemuan, dan berbagai hal dulu, yaitu pada saat perkawinan masih
lain yang berhubungan dengan pertemuan menganut sistem penjodohan, maka sebelum
bujang-gadis itu. Realita tersebut memang kedua anak (yang mau menikah) saling kenal
terlihat sangat tertutup dan sangat formil, tetapi biasanya orang tua dan kerabatnya telah lebih
itulah yang harus mereka patuhi bersama dan dahulu tahu. Namun sekarang ini, tidaklah
realita ini terjadi sebelum tahun 1970-an. demikian, biasanya dua orang saling kenal dan
Setelah tahun 1970-an, lembaga Kepala saling tertarik dulu baru kemudian disampaikan
Bujang Gadis (K-BG) sudah jarang sekali ditemui kepada keluarganya.
dan dapat dikatakan tidak ada lagi. Hal ini Cara penyampaian pesan tentang masalah
mengakibatkan terjadinya keterbukaan pergaulan perkawinan pada masyarakat Saibatin pada saat
dikalangan masyarakat, khususnya bagi bujang- ini juga telah mengalami perubahan, dari sistem
gadis. Pada saat penelitian ini berlangsung, penjodohan menjadi non-penjodohan di mana
pergaulan bujang-gadis tidak lagi ada batasan- anak dibebaskan memilih pasangan hidupnya
batasan yang mengikat sehingga pergaulan masing-masing dengan satu syarat yaitu
mereka hampir tidak ada bedanya dengan seagama atau seiman. Jika bujang-gadis telah
pergaulan bujang-gadis di kota-kota besar sampai pada hasrat untuk melangkah ke jenjang
lainnya di Indonesia. Jika ada bujang atau gadis pernikahan, maka mereka langsung menyam-
yang ingin bertemu dengan pujaan hatinya, maka paikannya kepada kedua orang tuanya masing-
ia dapat bertemu sesuai dengan waktu maupun masing, tidak lagi melalui paman, bibi, atau
tempat yang telah mereka sepakati bersama kerabat mereka yang lain. Dengan demikian,
tanpa melewati kepala bujang-gadis lagi. Tempat maka peranan dan fungsi keluarga luas
pertemuan bujang-gadis ini –selain di rumah- (extended family) di sini terlihat mulai melemah
biasanya dilakukan di pantai, pasar, tempat- dan mulai muncul pengakuan fungsi dan peranan
tempat hiburan, maupun di tempat-tempat dari keluarga inti (nuclear family).
keramaian yang lain. Waktu pertemuan itu juga Jika dilihat dan diukur dengan norma-norma
sudah sangat fleksibel atau tidak terikat, yang berlaku, maka realita yang berkembang

124 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020 ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

dalam masyarakat Saibatin di Krui dewasa ini budiker sudah mulai tergeser dengan munculnya
merupakan suatu hal yang sangat tidak terpuji berbagai hiburan karauke serta permainan
atau tercela. Namun demikian, realita itulah yang sederhana antara muda-mudi, seperti tukar-
terjadi dalam masyarakat saat ini. Selain itu, menukar selendang, bercanda, dan bernyanyi
penulis juga tidak melihat adanya penolakan bersama. Acara pada malam hari tersebut
yang bisa menimbulkan konflik dalam sebenarnya lebih tepat disebut sebagai acara
masyarakat. pengantar kedua mempelai sebelum tidur.
Upacara nayuh balak adalah upacara adat
d. Melamar besar-besaran yang memakan waktu satu
Perkawinan yang sering dilakukan biasanya minggu sampai dua minggu. Satu minggu
selalu didahului oleh perkenalan dari dua kerabat pertama dilakukan di rumah mempelai laki-laki
mempelai. Perkenalan itu dapat terjadi pada saat yang sering disebut ninyuh, dan satu minggu lagi
lamaran yang biasanya selalu datang dari pihak di rumah mempelai wanita yang disebut nelakau.
laki-laki. Acara lamaran ini pada intinya Acara nanyuh balak ini hanya bisa dilakukan oleh
menyampaikan penjelasan dari pihak anak orang yang kaya karena membutuhkan banyak
bujang untuk meneruskan hubungan kedua anak dana, waktu, dan tenaga kerja. Acara hiburan
mereka (bujang-gadis) ke jenjang perkawinan. muda-mudi berisi acara-acara tradisional, seperti:
Dalam acara ini, pihak bujang menjelaskan nyambai, budiker, ngedido, tari bingi. Selain
bahwa anak bujang mereka telah (lama) menjalin acara tradisional, pada acara nanyuh balak ini
hubungan dengan anak gadis mereka (kerabat juga diselingi hiburan orkes maupun group band
gadis) dan bujang-gadis itu ingin melanjutkannya pada malam-malam selanjutnya.
ke jenjang yang lebih jauh yaitu pernikahan. Upacara nanyuh balak bagi ulun Saibatin
Pada acara lamaran ini kedua keluarga sangat jarang dilakukan karena hanya anak
bermusyawarah dan membicarakan semua tertua laki-laki punyimbang-lah yang lazim
aspek yang baik bagi kedua calon pengantin. dipesta-adatkan. Selain memakan waktu, dana,
Saat ini, acara lamaran tidak lagi memakan dan tenaga yang besar, upacara nanyuh balak
waktu yang panjang sampai berbulan-bulan dan jarang sekali dilakukan karena tidak ada sanksi
bertele-tele karena telah ada perjanjian atau adatnya jika tidak dilaksanakan. Dengan
kesepakatan dari kedua calon mempelai dan demikian ulun Saibatin Krui seolah-olah telah
kerabatnya apa yang harus dimusyawarahkan melupakan acara-acara adat seperti yang telah
dalam pertemuan pada acara lamaran itu. Oleh ditetapkan oleh adat. Ulun Saibatin Krui lebih
karena itu, musyawarah antara kedua belah memilih untuk menggunakan upacara yang
pihak pada waktu lamaran itu hanya bersifat sederhana, yaitu budu’a dilamban untuk
konsultatif (mem-fixkan atau meng-clearkan) dan merayakan upacara perkawinan anak-anaknya.
merestui keinginan kedua calon mempelai. Besar-kecilnya upacara adat bagi ulun
Kesederhanaan, keterbukaan, dan kepraktisan, Saibatin tidak akan berpengaruh terhadap status
merupakan ciri yang menonjol dalam acara dan fungsi seseorang dalam stratifikasi keadatan
lamaran ini, yang berbeda dengan acara lamaran setempat. Hal itu berbeda dengan ulun Pepadun,
yang terkesan tertutup dan terlalu berbelit atau yang memperhitungkan besar-kecil atau lengkap-
bertele-tele sehingga memakan waktu yang tidaknya suatu upacara perkawinan. Bagi ulun
lama, seperti yang telah penulis uraikan pada Pepadun, besar atau lengkapnya upacara adat
bab II di depan. dapat mengubah status dan fungsi seseorang
dalam stratifikasi keadatan setempat (Roveneldo,
e. Upacara Perkawinan 2017). Oleh karena itu, jika seseorang
Upacara perkawinan ulun Saibatin Krui dibagi menginginkan peningkatan status dalam adat,
dalam dua kategori, yaitu nayuh balak atau pesta maka ia akan mengadakan upacara adat sesuai
besar-besaran dengan segala kelengkapan dengan putusan prowatin dalam musyawarah
adatnya, dan yang lain adalah budu’a di lamban adat.
yaitu upacara sederhana atau sekedar kenduri
yang dipusatkan di dalam rumah pengantin laki- f. Pembatasan Jodoh
laki. Acara pokok dalam upacara perkawinan Pembatasan jodoh atau endogami dalam
adalah akad nikah di depan penghulu menurut perkawinan ulun Lampung Saibatin di Krui pada
agama Islam. Setelah selesai akad nikah, maka awalnya adalah endogami kelas. Endogami kelas
selesailah upacara perkawinan tersebut. Pada di sini berarti perkawinan harus dibatasi oleh
malam harinya, sekitar pukul 18.30 sampai strata masing-masing individu, misalnya anak
dengan pukul 22.30 WIB, ada lagi acara yang punyimbang harus menikah dengan anak
diperuntukkan bagi muda-mudi. Acara tersebut punyimbang pula yang disebut ngeratu, atau
antara lain berzanjian yang diikuti oleh gadis- anak orang kebanyakan (biasa) dengan anak
gadis, dan budiker yang diikuti oleh para bujang orang biasa pula. Pada perkawinan ulun Krui
dan orang tua. Saat ini acara berzanji dan yang dibatasi dengan kelas ini, biasanya
125 | P a g e
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

memaksa penjodohan antar marga. Sebagai maskawin yang melebihi kapasitas atau
contoh perkawinan antara orang dari marga kemampuan pihak laki-laki, dan waktunya ditarik-
Pasar dengan marga Pedada atau ulun ulur.
saunggak dan pada tahun 1950-an, bahkan ada Penentuan maskawin pada ulun Saibatin
beberapa juga terjadi antara etnik Lampung pada saat ini telah banyak berubah dan tidak lagi
dengan etnik Jawa. menjadi masalah yang kritis ketika melamar,
Pembatasan jodoh dalam perkawinan apalagi menjadi suatu hal yang dapat mengga-
masyarakat ulun Krui yang paling disukai oleh galkan rencana anak-anak mereka untuk mem-
masyarakat Saibatin pada umumnya adalah bentuk keluarga yang baru. Maskawin bagi ulun
perkawinan antara anak bujang dan gadis dari Saibatin merupakan syarat pernikahan di depan
garis kedua atau perkawinan dengan cucu dari penghulu, dan pada saat penelitian ini berlang-
saudara kakek. Perkawinan seperti ini disebut sung, umumnya jenis maskawin yang digunakan
mulang mik lamban atau pulang ke rumah. berupa Kitab Suci Al Quran dan seperangkat alat
Sedangkan perkawinan yang tidak disukai adalah sholat.
perkawinan bujang-gadis dari dua saudara
sekandung, yang sering disebut pecoh periuk h. Adat Menetap Setelah Menikah
atau incest. Namin, pembatasan seperti ini sudah Dalam menganalisis suatu masyarakat lokal,
tidak ada lagi. seorang peneliti harus memperhatikan suatu hal
yang sangat penting yang berhubungan dengan
proses pernikahan atau pembentukan keluarga
g. Penentuan Maskawin baru, yaitu tentang adat menetap sesudah
Maskawin (bride price) adalah sejumlah harta menikah (residence patterns) pada masyarakat
yang diberikan dari pihak laki-laki kepada gadis yang bersangkutan. Adat menetap sesudah
atau pihak kerabat gadis sebagai mahar dalam menikah ini sedikit banyak akan mempengaruhi
proses pernikahan. Arti dasar dari maskawin ini sistem kehidupan masyarakat setempat,
mula-mula merupakan pengganti kerugian dari terutama tentang pergaulan kekerabatan dalam
pihak gadis. Maskawin ini sudah ditentukan jenis, suatu masyarakat.
rupa, dan nilainya, dan diberikan setelah acara Perkawinan ulun Saibatin Krui semula hanya
lamaran atau setelah kunjungan pihak laki-laki dilakukan dengan pola bujujogh, dan tempat
yang ketiga atau keempat. Penentuan maskawin menetap setelah menikah semula adalah
pada zaman dahulu merupakan salah satu patrilocal atau virilokal, di mana perempuan
rentetan ritual adat yang sangat rumit karena harus tinggal serumah bersama suami dan
pada tahapan itu terjadi negosiasi dengan anggota keluarga dari kerabat suaminya yang
menggunakan bahasa-bahasa samar yang saling lain. Dalam perkembangan selanjutnya, ulun
menjajak, saling memberi, saling berharap, dan Saibatin juga menganut pola perkawinan
saling menjunjung kehormatan persaudaraan semanda, maka adat menetap setelah menikah
atau akan terjadi sebaliknya, yaitu hanya sampai juga berubah menjadi adat matrilocal atau
saat itu saja tanpa diteruskan ke jenjang uxorilokal, di mana laki-laki harus tinggal
perkawinan. serumah dengan istri bersama dengan anggota
Oleh karena itu, biasanya orang yang menjadi keluarga dan kerabat istrinya yang lain (Hidayat,
utusan pada saat akan menentukan maskawin 2016).
adalah mereka yang dipilih sebagai pakar adat Namun demikian, tidak menutup kemung-
dan sastra yang tangguh dan berpengalaman kinan pula jika pasangan keluarga yang baru
(Nugroho, 2019). Salah satu contoh bahasa menikah ini akan bertempat tinggal terpisah dari
samar yang mereka gunakan antara lain: “agak- rumah orang tuanya. Jika pasangan baru ini
agak samaliak, ngajinjok rasa-rasa, tuntong way memutuskan untuk hidup terpisah dari rumah
tuntong tuba, yang artinya hampir sama dengan orang tuanya, maka mereka harus minta izin dan
peribahasa “bulat air karena buluh, bulatnya kata restu dari anak (laki-laki) tertua dalam keluarga
karena mufakat,” yaitu bila niat dan memang ada itu dan harus dimusyawarahkan terlebih dulu
restu dari pihak keluarga perempuan, biasanya dengan anggota keluarga yang lain. Pada saat
sangat mudah. Kemudahan itu antara lain penelitian ini dilakukan, banyak pasangan yang
masalah penentuan maskawin yang diminta baru menikah memilih untuk bertempat tinggal
pihak gadis, seringkali diserahkan sepenuhnya terpisah dari rumah orang tua atau kerabat yang
oleh pihak perempuan untuk masalah jenis lain. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh
maupun jumlahnya, dengan kata lain pihak adanya tuntutan profesi mereka, misalnya
perempuan tidak meminta hal-hal yang sebagai pegawai negeri, atau pegawai swasta
menyulitkan pihak laki-laki dalam hal maskawin. lainnya yang mengharuskan keluarga itu mencari
Sebaliknya, jika pihak keluarga perempuan tempat tinggal atau bertempat tinggal di dekat
berniat menolak atau tidak setuju dengan tempatnya bekerja. Dengan banyaknya pasa-
lamaran laki-laki, maka pada saat penentuan ngan keluarga baru yang memilih untuk
maskawin itu akan terjadi penolakan secara memisahkan tempat tinggal dari kerabatnya ini,
halus, yaitu dengan menentukan besarnya maka akan banyak timbul keluarga yang mandiri

126 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020 ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

atau mempunyai otonomi rumah tangga masing- gelar. Pemanfaatan harta warisan yang berasal
masing dan mereka semakin lama juga akan dari orang tua sebenarnya digunakan untuk
mengabaikan pola menetap setelah menikah kepentingan ahli waris secara bersama. Harta
secara bujujogh atau pun semanda. waris tidak dibagi-bagikan kepada para ahli
waris, tetapi mereka tetap mempunyai hak untuk
2. Faktor-faktor Penyebab Perubahan Pola menggunakannya terutama untuk membiayai
Perkawinan Masyarakat Saibatin kehidupan seluruh anggota keluarganya. Oleh
Dalam penelitian ini, ada beberapa faktor karena itu, di sini kita melihat bahwa selain
yang mempengaruhi perubahan pola perkawinan adanya hak-hak istimewa yang diberikan kepada
pada masyarakat Saibatin yang dapat dikelom- anak laki-laki pertama, ada juga konsekuensi
pokkan menjadi dua faktor penting, yaitu faktor tanggung jawab yang sangat berat dibebankan
internal dan faktor eksternal. pada anak laki-laki tertua dalam suatu keluarga.
Selain bertanggung jawab mencukupi
a. Faktor Internal, berupa: kebutuhan istri dan anak-anaknya sendiri, anak
laki-laki pertama pada ulun Lampung juga harus
i. Hak-hak Istimewa (Privilege) bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anak
Anak laki-laki tertua atau pertama dalam adat dari adik laki-laki sekandung. Jika terjadi musibah
ulun Saibatin mempunyai hak istimewa (privilege) dalam keluarga itu, misalnya adik laki-lakinya
dari keluarganya, yaitu hak menjadi penerus meninggal dunia, maka kebutuhan hidup istri dan
keturunan, punyimbang adat atau pemimpin klan, anak-anak yang ditinggalkan adiknya itu menjadi
serta penerima waris tunggal keluarga yang tanggung jawabnya. Bahkan untuk menjaga
bertanggung jawab terhadap seluruh anggota nama baik keluarga dan menjaga keutuhan klen,
keluarga termasuk istri dan anak dari adik maka tidak jarang pula istri almarhum adiknya itu
kandung laki-laki. ia nikahi. Pernikahan seperti ini sering disebut
Sebagai penerus keluarga, anak laki-laki dengan istilah buiwak.
tertua dalam keluarga secara otomatis
merupakan penerus dinasti keluarganya. Oleh ii. Ekonomi
karena itu, kehadiran seorang anak laki-laki di Kita melihat banyak ritual yang harus
tengah keluarga sangat bermakna dalam dilakukan masyarakat untuk acara-acara adat
kehidupan rumah tangga ulun Saibatin. Rumah tertentu yang memerlukan biaya tidak sedikit,
tangga dikatakan tidak beruntung jika tidak khususnya dalam acara perkawinan adat.
mampu melahirkan seorang anak laki-laki, atau Semakin lengkap tata cara yang dilakukan, maka
dengan kata lain jika suatu rumah tangga (hanya) semakin besar pula biaya yang dikeluarkan. Oleh
mempunyai anak perempuan saja, maka karena itu, semakin lama masyarakat akan
perkawinan itu dianggap gagal dan hal ini sangat semakin mengabaikan acara-acara adat perka-
ditakuti oleh para istri orang Lampung. winan itu, yang penting sah menurut agama. Apa
Menurut anggapan masyarakat Lampung, yang teradi pada punyimbang akan diikuti oleh
keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki masyarakat adat dibawahnya.
dianggap akan mupus (habis) garis
keturunannya. Ketakutan para istri ini cukup b. Faktor Eksternal
beralasan karena bagi seorang istri yang tidak Semakin terbukanya suatu masyarakat
bisa melahirkan anak laki-laki akan dianggap terhadap dunia luar, maka semakin banyak pula
sebagai istri sial, banyak dosa, dan dianggap pengaruh yang masuk ke dalam masyarakat itu
sebagai perempuan yang tidak berguna atau (Anakotta, Alman & Solehun, 2019; Abdurrah-
berbagai predikat lain yang memojokkan sang man, 1978). Pengaruh kebudayaan dari luar –
istri. Oleh karena itu, untuk menebus atau atau sering disebut faktor eksternal - itu dapat
menghilangkan label-label kesialan yang mempengaruhi nilai-nilai yang telah ada, dan
ditimpakan padanya, maka seorang istri harus dapat berdampak pada sistem kebudayaan
rela dan dengan jiwa yang besar mencarikan setempat, baik pengaruh yang positif maupun
wanita lain sebagai madunya dengan harapan pengaruh negatif.
dapat melahirkan seorang anak laki-laki sehingga
statusnya sebagai istri tetap terjaga, hal ini i. Pengaruh Kebudayaan Baru
berlaku berlaku bagi istri punyimbang maupun Pada sekitar tahun 1950-an terjadi
istri dari kelas biasa. perpindahan penduduk dari satu tempat ke
Hak istimewa anak laki-laki tertua pada ulun tempat yang lain, teramasuk masyarakat
Lampung yang lain adalah hak untuk menjadi Lampung. Banyak pemuda dan ekspejuang
pewaris tunggal atas harta dan pusaka secara kemerdekaan Lampung yang pindah atau
turun-temurun. Harta warisan yang dimaksud merantau ke Jawa, terutama Jakarta dengan
antara lain berupa tanah, rumah atau lamban, maksud untuk menambah pengetahuan dan
alat perlengkapan adat, serta jabatan adok atau pengalaman. Mereka melanjutkan pendidikan ke
127 | P a g e
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi iii. Kebijakan Penguasa


yang belum ada di daerah asalnya pada waktu Pada 1970 sistem pemerintahan Negeri di
itu. Sebaliknya, banyak pula orang Jawa yang tiadakan, sehingga di tingkat bawah
berpindah ke Lampung untuk mendapatkan pemerintahan hanya terbagi dalam pemerintahan
lahan pertanian dengan membuka hutan. desa atau kampung, kebijaksanan yang
Mobilitas yang terjadi membawa pengaruh diterapakan sering tidak sejalan dengan kepala-
budaya atau adat istiadat yang baru tersebut di kepala adat karena bertentangan dengan norma
masyarakat, termasuk adat perkawinan. Para adat yang hidup ditengah masyarakat adat
pemuda yang merantau ke Jawa melihat pola setempat.
perkawinan orang Jawa “lebih bebas” daripada Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang
pola perkawinan di daerah asalnya yang Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang
menganut pola bujujogh maupun semanda. Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan
Ketika mereka kembali ke daerah asalnya, para Desa. Berlakunya kedua undang-undang itu,
pemuda seringkali telah menikah dengan gadis pemerintah sebenarnya mulai mewujudkan
Jawa atau gadis di luar ulun Saibatin. Dengan proses marjinalisasi masyarakat adat dan
kata lain, mereka sudah tidak lagi kebijaksanaan bersifat sentralistik. Kebijak-
memperhatikan aturan atau norma-norma yang sanaan itu, mengubah sistem wilayah kekuasaan
dianut oleh masyarakat di daerah asalnya. dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan
Selain dari para perantau yang kembali ke desa. Dengan kata lain bahwa pemerintah:
daerah asalnya, yaitu ulun Lampung, pengaruh Pertama, tidak mengakui “organisasi politik”
kebudayaan baru juga dibawa oleh para masyarakat Adat. Desa yang semula bukan
transmigran dari luar ulun Lampung yang hanya sekedar memiliki wilayah kehidupan, tetapi
menetap di wilayah itu. Oleh karena itu, juga hak politik, hak hukum dan hak-hak lainnya
perubahan adat-istiadat pada masyarakat tidak lagi diakui. Desa didefinisikan sebagai
Lampung di sini dapat dilihat sebagai hasil dari wilayah kehidupan yang hanya berhak
proses akulturasi. menyelenggarakan rumah tangga atau kehidu-
pan sendiri (otonomi). Kedua, hilangnya hak
ii. Pendidikan ulayat dan hak atas sumber kehidupan seperti
Beberapa tahun setelah kemerdekaan hutan yang dimiliki desa atau marga serta
Indonesia, semakin banyak sekolah-sekolah pungutan atas kekayaan alam diambil alih oleh
yang didirikan oleh pemerintah untuk pemeritah daerah Tk II dan TK I. Sebagai
meningkatkan pendidikan masyarakat setempat. penggantinnya, desa-desa diberi uang bantuan
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah desa atau Bangdes yang justeru menimbulkan
ini berdasarkan instruksi presiden atau sering masalah, karena menjadi sumber korupsi dan
disebut sekolah Inpres. konflik.
Jika pada waktu dulu hanya kaum laki-laki Dari keterangan di atas, pemerintah secara
yang diberi hak untuk mengenyam pendidikan, sistimatis telah menghilangkan institusi adat
maka saat ini banyak juga wanita yang ikut dengan jalan memproduk undang-undang yang
merasakan pendidikan sehingga banyak wanita intinya mengarah kepada sistem pemerintahan
terpelajar dalam masyarakat di daerah. Jika pada sentralistik. Akhirnya masyarakat adat sebagai
jaman dulu wanita hanya mengurusi masalah organisasi fungsi, yang merupakan `pagar`
dapur atau belakang saja, maka sekarang ini sekaligus sebagai kontrol yang memiliki norma-
wanita telah berani menentukan sikapnya sendiri, norma dengan ukuran-ukuran tertentu untuk
misalnya dalam menentukan hidupnya, termasuk memeriksa dan meyaring anasir-anasir yang
dalam pemilihan jodohnya. Saat ini telah banyak dapat merugikan. Akibat dari tidak lagi berfungsi
gadis-gadis Lampung yang bergaul dan organisasi masyarakat adat termasuk sistem
menentukan jodohnya dari luar ulun Lampung. perkawinan bujujogh dan semanda yang
Selain para wanita Lampung yang memerlukan biaya, waktu dan tenaga tidak lagi
menentukan jodohnya sendiri, kaum priapun juga dapat dilaksanakan masyarakat desa, karena
demikian. Saat ini pola perkawinan bujujogh sumber kehidupan mereka seperti: tanah ulayat
maupun semanda telah berubah, jika ada dan hutan marga yang merupakan sumber
pasangan yang mau menuju jenjang perkawinan, kehidupan telah dikuasai negara.
maka pasangan itu tidak lagi memperhatikan dari
kalangan mana calonnya, memakai adat apa, D. KESIMPULAN
dan sebagainya; asalkan mereka merasa cocok

P
satu dengan yang lain dan seiman, maka erkawinan awal masyarakat Saibatin
menikahlah mereka. adalah pola bujujogh yakni patrilineal.
Kemudian, masyarakat Saibatin menga-
dopsi pola perkawinan cara semanda dari orang
Minangkabau, sehingga pola perkawinan Saiba-
tin menjadi dua pola yaitu bujujogh dan
semanda. Semanda dalam hal ini disama

128 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020 ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

artiakan dengan matrilinieal dan oxrolokal. Na- jodoh, maskawin, upacara perkawinan dan adat
mun, seiring dengan berjalannya waktu sampai menetap setelah menikah. Pada dasarnya
tahun 70-an pola perkawinan bujujogh dan perubahan pola perkawinan yang terjadi pada
semanda inipun mengalami perubahan menjadi ulun Saibatin mengarah pada kebebasan
bukan lagi bujujogh dan bukan pula semanda, masyarakat (bujang-gadis) dalam memilih
akan tetapi lebih tepat disebut bilineal dan pasangan hidup dan menentukan hidupnya
neolokal. Masyarakat setempat menyebut pola sendiri berasaskan Islam demi memastikan
perkawinan seperti itu disebut makngedok bunyi- keturunan terus berlangsung.
bunyi atau tanjar lamban.
Perubahan terjadi karena dua faktor penting E. UCAPAN TERIMAKASIH
yaitu faktor internal yang berasal dari dalam

P
masyarakat Saibatin sendiri seperti, privilege dan enulis mengucapkan terima kasih kepada
ekonomi. Sedangkan, faktor eksternal adalah para Punyimbang Adat dari tujuh marga
budaya yang berasal dari orang lain, pendidikan yakni Marga Way Sindi, La’ay, Bandar, Ulu
dan kebijaksanaan penguasa atau pemerintah. Krui, Pedada, Way Suluh, dan Tanumbang. Serta
Perubahan pola perkawinan itu dijumpai dalam tidak lupa untuk delapan pasangan keluarga
tata cara perkawinan pasangan ulun Saibatin batih yang menjalani perkawinan bujujogh dan
antara lain dari cara memilih jodoh, cara semanda yang telah berpartisipasi dan berkon-
berkenalan dan tempat berpacaran, cara tribusi dalam kegiatan penelitian.
penyampaian pesan, melamar, pembatasan

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Kantan. (1978). Pola Perkawinan Menurut Adat Lampung Pepadun. Peter McDonald dan
Kasto (eds), dalam Kumpulan Kertas Kerja: Lokakarya Pola Perkawinan, Yogyakarta,
Lembaga Kependudukan Gadjah Mada, hal. 44-58
Abdurrahman, E. H. (1978). Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pola Perkawinan di Jawa Barat.
Peter McDonald dan Kasto (eds) dalam Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah
Kependudukan Pola Perkawinan di Beberapa daerah di Jawa Barat, Bandung; PSK
Lembaga Penelitian Univeritas Pajajaran, hal. 50-66.
Adatrechtbundels, XXXII Zuid-Sumatera (1930); 20, seri I No. 88 Zelfstandigie pasar’s in Bengkuloe
(1921 –1922).
Anakotta, R., Alman, & Solehun. (2019). Akulturasi Masyarakat Lokal dan Pendatang di Papua Barat.
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 21(1), 29-37.
Arifin, Z. (2009). Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau. Humaniora. Vol. 21(2), 150-161.
Baharudin, M., & Luthfan, M. A. (2020). Aksiologi Religiusitas Islam pada Falsafah Hidup Ulun
Lampung. International Journal Ihya''Ulum al-Din, 21(2), 158-181.
Beele, B. S. (1868). Les manuscrits Lampongs, Publies par H.N. Van Der Tuuk, Bandarlampung,
diterjemahkan oleh Razi Arifin, SH.
Fattah, B. & A. Rahmatan. (1993). Tangguh Rasan Buhimpun, Bandar Lampung, Gunung Pesagi.
Febra, A. (2015). Sistem Pewarisan Masyarakat Adat Saibatin Dalam Keluarga Yang Tidak
Mempunyai Anak Laki-Laki (Studi Di Kota Bandar Lampung (Doctoral dissertation,
Universitas Brawijaya).
Firnando, F. (2019). Muatan Nilai-Nilai Islam Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Lampung Saibatin
Desa Suka Negeri Jaya Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus (Doctoral
Dissertation, UIN Raden Intan Lampung).
Hadikusuma, H. (1990). Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung, Bandung, Mandar Maju.
Hasran, Jamiluddin, & Haq, P. (2016). Perubahan Makna dan Nilai Fitu Kabintingia Dalam Proses
Perkawinan Adat Muna (Studi di Kecamatan Kabawo Kabupaten Muna). HISTORICAL
EDUCATION: Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah. Vol. 1(1), 127-139.
Hidayat, D. (2016). Konstruksi Gender Dalam Perkawinan Nyakak Dan Semanda Di Masyarakat Adat
Saibatin Lampung. Jurnal Liski (Lingkar Studi Komunikasi), 2(1), 1-28.
Hoesen, K. (1938). Oendang-Oendang Adat Lembaga Ordrafdeeling Kroë 1912. dalam Koempoelan
Oendang-Oendang Adat Lembaga; Dari Sembilan Orderafdeelingen, Benkoelen, Drukkerji
”TJAN”.
Imron, A. (2005). Pola Perkawinan Saibatin. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Isnaeni, A. & Hakiki, K. M. (2016). Simbol Islam dan Adat dalam Perkawinaan Adat Lampung
Pepadun. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 10(1), 193-222.
Jacobson, David. (1991). Reading Ethnography, State University of New York Press.
129 | P a g e
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020
ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Kurniawan, A. & Rudyansjah, T. (2016). Kajian Mengenai Perubahan Afiliasi Pada Sistem Organisasi
Sosial Masyarakat Lematang. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 18(2), 89-103.
Nugroho, A. T. 2019. Seserahan Dalam Perkawinan Masyarakat Adat Lampung. Sabda. Vol. 14(1),
31-41.
Pramudita, R.O., Aprilianti, & Nurhasanah, Siti. (2018). Penyelesaian Kawin Lari (Sebambangan)
Pada Masyarakat Adat Lampung Saibatin di Kecamatan Gunung Alip, Tanggamus. Pactum
Law Journal. Vol. 1(2), 129-136.
Roveneldo. (2017). Prosesi Perkawinan Lampung Pepadun: Sebagai Bentuk Pelestarian Bahasa
Lampung. Ranah:Jurnal Kajian Bahasa. Vol. 6(2), 220-234.
Sayuti, H., Shalfiyanti, & Imron, A. (1998). Sejarah Lokal Propinsi Lampung: Dinamika Masyarakat
Dalam Pembentukan Proponsi Lampung, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi, Terj. Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

130 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p121-130.2020 ALI IMRON, RINALDO ADI PRATAMA
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

INTERNALIZING MULTICULTURALISM VALUES THROUGH EDUCATION:


ANTICIPATORY STRATEGIES FOR MULTICULTURAL PROBLEMS AND
INTOLERANCE IN INDONESIA

1* 2 3
Firdaus ( ), Dian Kurnia Anggreta ( ), Faishal Yasin ( )
123
Sociology Education Department, STKIP PGRI, Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T

Submitted : 16th November, 2019 Diversity is an inherent fact in Indonesia as a country with diverse
Review : 06th March, 2020 ethnicities, religions, customs and cultures from Sabang to Merauke. On
the one hand, this diversity is an advantage for Indonesia, on the other
Accepted : 05th May, 2020
hand thie diversity can also threaten the integrity of Indonesia whose
Published : 1st June, 2020 motto is “unity in diversity”. Various cultural frictions to ethnic and
Available Online : June, 2020 religious conflicts have influenced the dynamics of Indonesia's diversity
since the Old Order until now. It is clearly a serious threat to Indonesia’s
integrity. Therefore, since the Reformation era, the Indonesian
KEYWORDS government has adopted a multiculturalism approach to solve the
multicultural problems. This paper describes the values of
Multiculturalism Value; Multicultural Problem; multiculturalism that can be used as a spirit in organizing the social
system among a plural society. Education, both formal and informal,
Internalizing Value
constitutes a strategic institution to internalize those values of
multiculturalism. The research method uses a literature review, with a
CORRESPONDENCE hermeneutic approach. The findings of this study, the process of
internalizing multicultural values through education involves the
environment, actors and schools. We argued, the success of
*E-mail: firdaus@stkip-pgri-sumbar.ac.id internalization process is determined by the mutual support between
knowledge, process and multiculturalism values acceptance.

A. INTRODUCTION

certain places there is no diversity-related

T
he most of problem arised in various
countries with diversity (ethnicity, religion, problem that leads to conflicts such as in Binjai
race, and custom). For example, the cases City, North Sumatera (Firdaus, 2012) and in the
of racial discrimination in America and France village Nagari Koto Baru, West Pasaman
(Germain, 2014) racism and tensions between Regency, West Sumatera (Debora, Anggreta, &
ethnic groups in Canada and racism in Ecuador Yasin, 2013). However, Indonesia experienced
(Fleras, 2014) and Switzerland (Cretton, 2018) as ethno-religious violence occurred between 1996
well as other diversity-related issues arising to 2001 in Ambon, Poso, Sampit, and Sambas
across the globe. These problems result, among (Hefner, 2007; Klinken, 2007). Moreover, cases
other things, from friction between various involving disharmony among ethnic groups also
different groups as a result of such diversity. In occurred in various regions such as ethnic
ethnically diverse countries, theissue of segregation in Bukittinggi (Viri, 2012); conflicts
multiculturalism arises due to the absence of between Chinese and Javanese ethnic groups in
mutual understanding and respect among their Lamongan, East Java, and Surakarta (Varbena
ethnic groups (Firdaus, Yasin, & Anggreta, 2015). Ayuningsih Purbasari & Suharno, 2019); the
Indonesia as a multicultural country often ethnic conflict between the indigenous people of
deals with such a problem as well. Although in Lampung and the Javanese ethnic group known
131 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

as the “bungkuk” conflict; the Kebondamar ethnocentrism is reduced in the midst of


conflict involving the Lampung ethnic group and multicultural society? Amirin (2012) suggests the
the Java-Bali ethnic group in 2003, the conflict need to apply a multicultural education approach
between Muslims and Christians in Mataram, and in informal education. His research emphasizes
many more, all of which reflect the issue of the workings of informal education structures and
Multiculturalism in Indonesia. systems, as a learning process so that students
The long list of problems on multicultur in have the values of multiculturalism. But the
Indonesia continues to increase and expand as learning process is not only through formal
though it will never end. At the end of 2016 and education. The individual's first learning process
2017, there are a number of multicultural issues is in the family, so it's also important to highlight
that managed to attract public attention and informal education. This article claims that it is
received coverage in the mass media, and necessary to internalize the values of
sparked off debate. The “411” and “212” multiculturalism through education, formal, non-
movementsas a result of the intolerant remark formal and informal. Research the internalizing of
made by the former governor of the Special multiculturalism values generally focuses on
Capital Region of Jakarta and controversy over formal education (Kartikawati, Rajagukguk, &
the Constitutional Court decision concerning the Sriwartini, 2019; Ma’arif, 2019). Kartikawati et.al
inclusion of cults in the Religion column in ID (2019), for example, highlighted teachers being
Cards (KTP) are forms of diversity-related those who educate multiculturalism values in
disharmony. Lastly, the case of circulars for non- schools must have communication
Muslims residing in Bumi Anugerah Sejahtera competencies. Ma’arif (2019) highlights student
Housing Estate in Rajeg Village, Tangerang, activities as a space to internalize multicultural
Banten also constitutes intolerance towards values. This study is different from previous
diversity. The above-mentioned problems can be studies, which focus on formal and informal
considered as multicultural problems, which arise education and analyze the process of
from lack of an understanding of the internalizing the value of multiculturalism that has
multiculturalism values in Indonesia, namely a never been discussed by previous researchers.
value of placing all ethnic groups, religions,
customs and culture in a parallel position without
denying the others (Suparlan, 2002). B. METHOD
Tolerance may exist among an ethnically
diverse society if the cultural relativism adopted

T
his paper is written based on literature
among the society. It’s can be seen in interaction review. The data were collected through
between Javanese and Chinese in Surakarta, reading material in the books, journals,
Central Java (Verbena Ayuningsih Purbasari & research reports, news media and other relevant
Suharno, 2019). The cultural relativism can be sources. The data are presented in analytical
understood as the assessment of goodness and descriptive to explain the aim of research. Data
badness of one’s cultures using that person’s analysed through hermeneutic approach that
own cultures as the parameters. Cultural purpose the art of understanding (Muhadjir,
relativism views a culture from the stand point of 1998) to find the link between text as reflexive
a society owning the said culture, rather than and reality as representation of things as
from the stand point of another culture. Favorable mentioned by Gadamer (1983) (Laverty, 2003).
views over other cultures are known as the noble In this article, the hermeneutic approach used to
savage, that is a view which places that all find the link between authors and various facts of
human civilization is naturally good and moral. multicultural problem and its relation to
While those perceiving that other cultures are not Indonesian education system and curricula. As
good and bad, and lag behind compared to one’s result of interpretation, authors purpose the
own cultures are as Ember & Ember (1996) said strategy to anticipate the multicultural and
known as ethnocentric (Ihromi, 1996). intolerance problems in Indonesia.
Ethnocentrism is the tendency to see others and
their behaviors through own cultural filters. It’s
the tendency to evaluate the values, beliefs, and C. RESULTS AND DISCUSSION
behaviors of own culture as superior— as more 1. Multiculturalism as an Ideology
positive, logical, and natural than those of other
cultures (DeVito, 2012:47). Ethnocentrism exists he term of ‘multiculturalism’ has become
among a society that is not unfamiliar with
pluralism. If measures need to be taken
immediately to address these multicultural
problems in Indonesia, unless they will continue
T very popular in the last few decades and,
as often happens to popular words
(Colombo, 2015). It has ended up
expressing quite different meanings between
to increase and never end. term multicultural and multiculturalism.
Then, how is the understanding of cultural ‘Multicultural’ refers to the coexistence of ‘several
relativism owned by the community, so cultures’ within a single society (Eriksen,
132 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020 FIRDAUS, et al.
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

2015:29). Literally, multicultural derived from the terms of politics of recognition, differentiated
words “multi, which in Indonesian means more citizenship or the rights of ethno-cultural
than one or many and “culture”. Ralph Linton minorities (Gozdecka, Ercan, & Kmak, 2014).
defines cultures as a set of ways of living of any Michael Murphy (2012), identified several work
society and these do not concern the various that focused on specialized themes within
ways of life only, namely parts considered higher multicultural studies. The themes such as politics
or desirable by society. Carol R. Ember and of identity, religious diversity, democratic
Melvin Ember define cultures by referring to inclusion, nationalism and self-determination,
various aspects of life, including how to behave, racial differences, language rights, gender
beliefs and attitudes, and results of a typical equality, and the politics of indigeneity. The other
human activity for a particular society or group more specific studies such as toleration, internal
(Ihromi, 1996). Cultures have a typical, universal minority rights, sexual justice and multicultural
nature, consisting of languages, religious education.
systems, knowledge systems, technological Generally, multiculturalism refers to situations
systems, livelihood systems, social organizations, in which people who hold ‘different’ habits,
and the arts (Koentjaraningrat, 2009). It is this customs, traditions, languages and/or religions
universal element that distinguishes one culture live alongside each other in the same social
from another. From the mention above, space, willing to maintain relevant aspects of
multicultural refers to the condition of a society their own difference and to have it publicly
where there is more than one culture that has its recognized. Multiculturalism is closely associated
own peculiarities. In short, multicultural in the with ‘identity politics’, ‘the politics of difference’
article is the term used to describe people with and ‘the politics of recognition’, all of which
diverse backgrounds and living together. consider proper recognition of cultural diversity a
As mentioned earlier, multiculturalism is a necessary step towards revaluing disrespected
different concept from multicultural. Since it first identities and changing dominant patterns of
emerged, the issue of multiculturalism is often representation and communication that
discussed by many, especially after European marginalize certain groups (Song, 2010 as cited
and American countries discussed and used this by Colombo, 2015:801). According to Suparlan in
approach to solve diversity-related issues in their Fay (1996); Jary and Jarry (1991); and Watson
country (Firdaus et al., 2015). Until second World (2000), multiculturalism refers to an ideology that
War, European and American countries only recognizes and values differences in equality,
recognized one culture, i.e. the white Christian both individually and culturally. Multiculturalism
culture. Other groups as a minority had limited here does not only emphasize on cultural
right, even they could not exercise their rights. diversity, but also the importance of
This condition triggered a demand for equality of understanding such cultural diversity in the
rights, which began to emerge in the 1950s. Then context of equality. The discussion about
in the 1960s, a ban on discrimination was multiculturalism should address the issues that
imposed, which was done by the white people to support the ideology as well, in politics and
the black people. Then, the concept of democracy, justice and law enforcement,
multiculturalism began to be spread in schools in opportunities to find employment and run
the 1970s (Suparlan, 2002). Such dissemination business, human rights, cultural rights of
of the concept of multiculturalism was later communities and minority groups, ethical and
discussed in various writings in various moral principles, and levels and quality of
multicultural countries. productivity (Suparlan, 2002). In short, the term
Multiculturalism applies not only to diverse multiculturalism here can be understood as an
types of difference within society, it also entails ideology adopted by understanding the diversity
various theoretical perspectives that pose of cultures owned by various ethnic groups and
specific questions and highlight distinctive other forms of diversity, all of which have a
aspects of living with diversity in current societies parallel (horizontal) position.
(Colombo, 2015). For this reason, The scholars who argue the multiculturalism
multiculturalism defined differently by scholars as an ideology, assign the multiculturalism as an
according to their scientific backgrounds, and it’s effort to promote social and cultural diversity, and
interpreted differently by various countries in an advocates tolerance for cultural differences
institutional manner. Auster for example, use the (Suparlan, 2002). However, it’s interpretation
term of multiculturalism as as an expression of rarely occurs because the tolerance of cultural
the revolutionary increase of racial diversity that diversity has become the domination of modern
was unleashed by the 1965 Immigration Act liberal ideology and cultural pluralism (Pakulski,
(1991), and in the other article he saw the 2014). As an ideology Multiculturalism can be
multiculturalism as an ideology (Auster, 2004). applied to a multicultural society, if society avoids
Commonly, multiculturalism conceptualized in the type of cultural relativism which is
133 | P a g e
FIRDAUS, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

ethnocentric in nature. Ideally, the conceptual requires processes and time to produce
framework of cultural relativism can be adopted generations that are aware of and appreciate
to understand diverse cultures instead to refusing diversity by accepting that such diversity has an
the diversity. Thus, to understand why Muslims equal position. Thus, this paper will describe
did the “411” and “212” movements, one needs to attempts to internalize the values of
see it from the perspective of Muslims itself. multiculturalism in Indonesia through education.
Likewise, to understand why a particular society
has a particular religious system (religious
2. Multicultural Problems in Indonesia
devotion), which is different from religions that
have been established and recognized by the
government, see it from the perspective of the Furnivall use the term a plural society refers to
concerned society, rather than perceive it as a such a situation, i.e. a society comprised of two
primitive religious system. or more elements that live separately, not
As an ideology, multiculturalism need to be intermingling with one another to form a political
disseminated and internalized among society. unity (Budiman, 2012; Nasikun, 2000). The issue
Here, we use equality of all cultures and inclusion of diversity, whether in ethnic or cultural
as the two principles of multiculturalism (Auster, sentiment or conflict will be greatly influenced by
2004). The most effective dissemination and the type of cultural groups that exist in society.
internalization process are through formal and There are three types of culture according to
informal education. Multicultural values are seen Parekh categorization, isolated cultures,
as savings accepted by young people as revers. cosmopolitan multicultures, and accommodative
Of course, these are not easy and take time. It cultures.

Table 1. Categories of a Multicultural Society According to Parekh


Category Characteristic Potential
Isolated cultures 1. Cultures that live separately (within the sphere of In the event of an encounter with other cultures,
homogeneous cultures); the likelihood for such an encounter to result in
friction or conflicts is great.
2. The absence of a strong interaction with other
cultures, partly because of geographic
boundaries
Cosmopolitan Cultures that blend; sometimes without borders, so In the event of an encounter with other cultures,
multicultures that “members of the group” (ethnic, sub-ethnic or the likelihood for such an encounter to result in
ethnic group) do not care very much about their own friction or conflicts is relatively low.
cultures and values
Accommodative The cultures of the dominant “sub-ethnic”group In the event of an encounter with other cultures,
culture (adopted by the majority of the population); however, friction or conflicts may arise if another sub-
there are also cultures of another sub-ethnic group ethnic group demands a change to the
that co-exist without any friction and discrimination domination of a certain sub-ethnic group.
Source: Cited and developed based on Amirin (2012)

Ethnocentrism and tolerance varies among


In addition to the above categories,
societies with isolated cultures, cosmopolitan
multicultural issues will also occur as a result of
multicultures, or accommodative cultures
ethnocentrism and intolerance that exist among a
because these are affected by the tendency to
particular community group (Amirin, 2012).
interact with other cultural groups

Table 2. Ethnocentrism and Tolerance in a Multicultural Society


Cosmopolitan Accommodative
Categories Isolated Culture
Multicultural Culture
Ethnocentrism High Low Moderate
Tolerance Low High High

Source: Developed from Amirin (2012) and Suparlan (2006)

The opposite of ethnocentrism in this paper is they live in homogeneous cultures, thus they
understood as tolerance (respect for diversity). A hardly interact with other cultures and in the
society with isolated cultures tend to show event of an encounter with other cultures, the
ethnocentric attitudes and low tolerance because likelihood for such an encounter to result in
134 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020 FIRDAUS, et al.
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

friction is getting increasingly higher. In a society carrying out the census, BPS claimed to have
with cosmopolitan multicultures, ethnocentrism is difficulty in calculating the number of ethnic
relatively lower because there is a tendency to groups in Indonesia due to the complexity of how
mingle with other cultures. Low ethnocentrism in to identify someone to enter a certain ethnic
this society results from the weakening of their group because of heredity, living habits, kinship
cultural values. Moreover, this society tend to relationships and others. Despite the difficulty in
have a high level of tolerance as well since they calculating the number of ethnic groups in
are accustomed to diversity (being among a Indonesia, BPS data show that there are 1,340
community with heterogeneous cultures). ethnic groups in Indonesia (BPS, 2010). (BPS,
Meanwhile, in a society with accommodative 2010). With the relatively large number of ethnic
cultures, ethnocentrism is said to be of moderate groups, the meeting of one ethnic group with
level because of potential friction with the other ethnic groups has the potential to cause
dominant group. Parsudi Suparlan states that in a friction and lead to conflict if not managed
society with dominant cultures, those belonging properly. Multicultural issues in Indonesia will
to non-dominant ethnic groups will adapt to and arise if a particular ethnic group with its own
comply with the rules of the game set by the culture encounters another ethnic group.
dominant society (Suparlan, 2006). But, in this As a state that built from a variety of ethnics
paper, it is stated that if the dominant group and cultures, until now in Indonesia there are still
exerts pressure on the minority group, friction communities with the three cultural categories
may occur. So, on the surface, it seems that mentioned above. The type of society with
discrimination does not exist among this society isolated culture category is mainly found in rural
(a high level of tolerance), but this situation may areas which traditional live, while the type of
change when the dominant group exerts society with the cosmopolitan multicultural
pressure on the minority group. category mainly lives in metropolitan cities.
The state’s assimilation policy during the New Communities with accommodative culture
Order era intended to address the multicultural category are usually in small cities and district
issues between Chinese people and Indonesian capitals. Overall, in these three categories of
people by restricting the Chinese-speaking culture, conflicts that caused by cultural diversity
media, the number of schools for members of the are not easy to occur unless triggered by certain
Chinese ethnic group, the use of non-Chinese factors such as politics and economics.
names as proof of allegiance to the Republic of Religious, racial, and ethnic sentiments were
Indonesia, and identification using Indonesian all then drawn to political conflict political and
constitute efforts grounded in accommodative economic background. Some ethnic conflicts in
cultures. However, regime change gave the small cities in Indonesia, for example, concluded
Chinese ethnic group a room to maintain their by Klinken (2007) caused by political conflicts
ethnic group’s identity freely. The state policy on that extended to ethnic and religious conflicts.
the Chinese ethnic group has changed presently The same thing happened in various violence
(after the Reformation). Nevertheless, society still that accompanied political conflicts during the
differentiate between the indigenous people of transition of power and democracy in Indonesia
Indonesian and the Indonesian population of in 1990-2001 (Tadjoeddin, 2002). Ethnic
Chinese descent (Suryadinata, 2003). Thus, sentiments that caused violence against Chinese
despite their status as an Indonesian national, citizens after Indonesian independence,
there is a tendency where they have not been economic and political factors were more
fully accepted as part of the ethnic groups that dominant as triggers (Bahar & Tadjoeddin, 2004).
exist in Indonesia. The assimilation policy In addition to political and economic factors,
implemented in the New Order era was Indonesian people are easily provoked by ethnic
considered to have failed as the anti-Chinese and religious issues that are often used by
riots erupted in 1998. As a result, after the interest and power groups for the benefit of their
Reformation, a multicultural approach was groups and power. This condition can be seen for
adopted to rebuild a multicultural nation (Hoon, example in the case of the 114 and 212
2006). movements which started with religious issues
In a country with ethnic diversity, diversity and then extended to the political issue of the
should ideally be understood as an asset that DKI Jakarta Governor election (Nastiti & Ratri,
needs to be maintained by fostering tolerance 2018; Osman & Waikar, 2018). Then, the
and equity rather than as something that needs religious movement by some religious
uniformity. As a multicultural country, Indonesia organizations quite clearly shows the intolerant
consists of various ethnic groups. According to attitudes and behaviors towards differences. The
information from Central Bureau of Statistics conditions where the community is very easily
(BPS), data on ethnic groups in Indonesia provoked by religious and ethnic issues, making
collected by conducting a population census. In
135 | P a g e
FIRDAUS, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Indonesia a country prone to ethnic and religious foster values in order to change the attitudes and
conflicts. behavior of humans that formerly develop
ethnocentric mindset, attitudes, and behavior into
a mindset, attitudes, and behavior that put all
3. Internalizing the Multiculturalism Values
ethnic groups, religions, customs, and so on in an
through Education equal position, none is better or worse (Firdaus et
al., 2015). In practice, attempts to internalize the
Durkheim believes that social order in society values of multiculturalism can made in the three
must be grounded in individuals’ moral values. domains of education, namely affective,
Hence, it is imperative to teach morals through cognitive, and psychomotor. According to Saha
educational processes to strengthen their social (1997), attitudes (affective) refer to attempts to
integrity and solidarity (Johnson, 1994). Such develop awareness and sensitivity towards
moral instruction is intended to internalize a value culture, cultural tolerance, appreciation for
into students, which later will serve as a basic cultural identity, responsiveness to other cultures,
concept to view a particular belief underlying their and skills to avoid and resolve conflicts. Then,
action, or to judge something valuable for their the cognitive domain of education serves to gain
life. The term of value refer a normative pattern knowledge of the language and culture of others,
that determines the behavior desired by a system and the ability to analyze and translate cultural
that lives in a particular social environment. This behavior, and knowledge of the awareness of
value gives priority to maintaining the pattern of a cultural perspectives. Lastly, the psychomotor
social system (Mulyana, 2004). At the beginning, domain of education serves to correct distortion,
an individual acquires a value from his/her own stereotypes, and misconceptions about particular
family, which is the smallest unit of society. It is ethnic groups in textbooks and instructional
within a family that the value one refers to in media by providing various strategies for
taking an appropriate action is internalized for the directing differences in front of people, providing
first time. Parents in the family transfer values conceptual tools to facilitate intercultural
from the previous generation to their children communication in an attempt to develop
(Mulyana, 2004). This process of internalizing interpersonal skills, providing evaluation
value begins with the process of socialization in techniques, and explaining cultural dynamics
the family. Once children grow up, the transfer of (Firdaus et al., 2015).
virtues to children takes place at school (Boyd, Education is a planned process of learning,
1952). At school, the process of internalizing and at the same time a conscious effort in
various values takes place for a long period and students that aims to provide basic guidelines in
intensively through formal education. religious, intelligent, critical and dynamic,
Education is a process for developing all responsible, and active skills to make them good
aspects of one’s personality, including his/her citizens. Ki Hadjar Dewantara states that
knowledge, values, attitudes, and skills education is a guide in the life and growth of
(Sadulloh, 2008). That is why education children. This is interpreted as an effort to
constitutes all the power and efforts to internalize demand all natural strength possessed by
knowledge, skills, and attitudes in humans with children so that they can achieve the highest
various institutions to make them able to develop welfare and happiness (Tamansiswa, 2013). All
their potential to have religious spiritual power, these efforts can be obtained through formal,
self-control, good personality, and noble informal and non-formal education.
characters and possess the necessary skills as Formal education according to Law No.
members of society and citizens (Amirin, 2012; 20/2003 on National Education is a conscious
Manan, 1989). Morrison states that education and planned effort to create an atmosphere of
aims to internalize various interests and build learning and learning process so that students
capacity to construct an independent intellectual actively develop their potential to have religious
life. Education internalizes situational values to spiritual strength, self-control, personality,
address the needs in the era where they live intelligence, noble character, and skills which is
(Gutek, 1997). needed by himself, society, nation and state.
Based on the concept and objectives of Formal education is regulated through a
education above, internalizing the values of curriculum prepared by the central government
multiculturalism through education can be called the national curriculum and developed in
understood as a process of changing the attitude the school environment so that curriculum goals
and behavior of a person or a group of people in are achieved. Referring to these rules, then in
understanding the condition of a multicultural formal education, students are required to learn
society. This aims to make everyone or every in educational units such as schools where the
group respect other people (ethnic groups) in a learning process is carried out in schools and
country (state) with a plural society. In this case, taught by teachers. Schools as places for the
internalizing the values of multiculturalism implementation of education, have an important
through education is defined as an activity to role in running the curriculum that is revealed to
136 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020 FIRDAUS, et al.
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

children's learning competencies. Schools reduce through non-formal education, such as tutoring,
basic competencies through subject matter to private tutoring, MDA or TPA. c) as supplement if
achieve the objectives of learning. The learning the student in the formal education unit feels the
process in formal education takes place through need to add knowledge, skills, and attitudes
interactions between students and teachers, through non-formal education channels, such as
where teachers have reading books (modules) in computer courses, foreign languages, personality
each learning process. courses (Kemendikbud, 2017).
In addition to formal education, the education Education, in various forms (formal, informal
process also takes place in families and and non-formal) according to Morrison is aims to
communities which is the initial education since planting various interests, one of which is
humans were born and raised. This education dominant, and to capacity building for
process is called informal education which is independent intellectual life. Education instills
education in the family that is given to children. values that are situational, as in the current era of
This education is a socialization of values and globalization has made an impetus for economic
norms prevailing in society. The family as the change, the value given to children is related to
basis of inheritance of values and norms aims to the era of globalization, in intellectual
make children able to survive with global change development during the educational process
as a whole, as well as making the abilities of (Gutek, 1997). Therefore, education is the most
children in surviving with the wider community. important medium in the process of internalizing
The family is the smallest unit in society, which multiculturalism values.
sociologically has various functions. One of its In the process of education, both formal and
main functions is education (educative) (Yasin, informal, the values of multiculturalism are
2016). Education in the family begins when the internalized by inserting those values into each
children interested to knowing their parents, aims learning process, both through words, deeds, and
to build children's competence in dealing with the attitudes. Therefore, the process of internalizing
environment and recognize the values and norms the values of multiculturalism is the process of
of social, customary, religious and cultural in their internalizing or transforming values through the
environment. learning process (Firdaus et al., 2015) which
In addition to formal education, there is also prepares students to acquire the system of
non-formal education, namely education that is values (including the values of multiculturalism),
not included in the formal education category. which serves as the basic thing (human capital)
This education model is regulated in article 1, of (Maliki, 2010) to live the life in a plural
Law No. 20/2003 on National Education System, environment. The process of internalizing
in conjunction with article 1 of Government multiculturalism values involves three parties,
regulation No. 17/ 2010 on Management and namely: participants, schools and the
Implementation which states that non-formal environment. Participants are actors (students or
education is the path of education in outside teenagers) who are the subjects in the
formal education which can be implemented in a internalization process. These are those who
structured and tiered manner. Non-formal accept and apply the value of multiculturalism.
education functions as, a) as substitute education Schools and the environment as a realm for
for the community who do not have access to actors, in order to transfer and receive the value
formal education units or dropping out of formal of multiculturalism (see figure 1). Thus, through
education. b) enhancing formal education, education, it is expected that the process of
meaning that if the knowledge, skills and internalizing values be like the process of
attitudes acquired by children in formal education depositors, which continues to grow and be
units are deemed inadequate, they can add them internalized among students.

137 | P a g e
FIRDAUS, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Figure 1. Scheme of Internalizing the Multiculturalism Values

In formal education, this value-internalizing national level, i.e. Indonesia (certainly with
process is carried out by teachers while in non- some adjustments to the level of education)
formal education, it is undertaken by parents,
2. Understanding that diversity should be
extended family, and the community surrounding
viewed from the perspective of equality. It is
the environment where children grow. In formal
necessary to give an understanding that
education, materials about diversity of cultural
diversity should be viewed from a “horizontal”
values can be incorporated into the following
perspective, meaning that none of the groups
subjects: Civics, Social Science, and Religion.
is either higher or lower than the others.
Local wisdom in attempts to encourage tolerance
and mutual respect for harmony and tolerance 3. Anticipating ethnocentric attitudes by
can also be utilized in the process of internalizing providing understanding such attitudes are
the values of multiculturalism (Amirin, 2012). As not good attitudes and result in the absence
the values of multiculturalism have been of mutual respect. In the absence of mutual
internalizeded, cooperation, accommodation, and respect, conflicts will be inevitable.
assimilation as a strategy to live in a multicultural
4. Fostering the world view of cultural relativism
society (Debora et al., 2013) can run naturally.
Participants, schools and the environment by providing understanding that to
ideally work together. There is a driving force understand another ethnic group, it is
necessary to use the perspective of the
from each party so that the process of
concerned group.
internalizing multiculturalism is more optimal. If
The process of internalizing the multicultural
one party does not work, it will affect the process
values of informal education is certainly not
of internalizing multicultural values. For example,
participants and schools support the process of structured as it is in schools which are shaded by
internalizing multiculturalism values. But it is not curriculum and scheduled learning processes. In
informal education, the process of introducing
supported by the environment (tends to be
diversity, understanding diversity, anticipating
homogeneous, not accustomed to diversity), so
ethnocentric attitudes and fostering a view of
the process of planting multicultural values is not
cultural relativism, is carried out with the
optimal. This condition requires the intervention
of other parties, such as the government by empirical reality that is around where they live. If
empowering traditional leaders as a support the residential environment tends to be
homogeneous, the scope of administrative
system to support multiculturalism.
territory of the sub-district, district and province
In the process of internalizing the values of
can be expanded. Young people are introduced
multiculturalism at school, some of the aspects of
to various ethnic groups, races, religions and
multiculturalism that can be introduced include:
different customs.
1. Introduction of Indonesia’s diversity. Students Family is a strategic medium to grow
are invited to identify various forms of children's awareness of social and cultural
diversity in Indonesia, such as in terms of values. The role of parents must be able to instill
ethnic groups, races, religions, and customs. understanding that minimizes the prejudice
From the smallest unit, i.e. in the classroom caused by the view of differences between
(if the class comprises different ethnic groups, such as parents introducing differences
groups, races, religions, and customs) to the between extended family and neighbors. Parents
must be able to instill an open attitude because

138 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020 FIRDAUS, et al.
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

contact between humans who are aware of another. Those values can be internalized
tolerance, mutual respect and respect, and through education, both formal (at school) and
sincere togetherness is very important. The head informal (around the environment where
of the family is a mentor (teacher) who will
everyone is lives). The process of internalizing
provide family education material, therefore
informal education cannot be ignored, but must values is done through the affective, cognitive
receive serious and immediate attention. The and psychomotoric aspects in order that the
family is also an initial movement in breaking attitude of mutual understanding in tolerance can
down the occurrence of a social problem. If the be fostered in individuals and reflected in their
family cannot prepare offspring or a good everyday life.
generation, it will create social tensions in the The process of internalizing multiculturalism
middle of society (Yasin, 2016).
through formal education is carried out through
Such attempts to internalize the values of
multiculturalism are made by employing the schools by providing specialized curricula related
principle of depositors, the party responsible for to aspects of diversity and social, religious and
providing education certainly must understand cultural values that must be used to live in
and be able to apply those values. The success diverse societies. In addition to the special
or failure of such attempts will be influenced by: curriculum, the process of internalizing the values
1. Knowledge of the party Internalizing such of multiculturalism in schools can also be carried
values (teachers, parents, extended family, out by inserting multiculturalism values in
and society) of those values, relevant subject matter, especially on social
2. The process of internalize the values of science subjects. In addition, the process of
multiculturalism (teach; provide concrete internalizing values can also be carried out by
examples of respecting differences and avoid implementing multiculturalism values through
intolerance in everyday life; discuss the everyday life behaviors that are applied by all
consequences of intolerance), elements of education in schools. The process of
3. Acceptance of those values of internalizing multiculturalism values as can be
multiculturalism among children (young applied in formal education can also be applied in
generation). non-formal education processes.
As a party internalizing the values of In informal education, the process of internalizing
multiculturalism, teachers, parents, extended multiculturalism values is carried out through
family, and society certainly must understand families and the environment by implementing
those values first. Through the process of multiculturalism values in daily life practices.
education, a personality that views that all forms
of diversity have an equal position can be built. Such applications are like prejudice against
By conducting activities together, this will raise ethnicity, religion and other cultures, open to
children’s character to live in togetherness in a differences, tolerance, mutual respect for
joint activity (Yasin, 2016). differences and cooperation. By utilizing
education in internalizing the values of
D. CONCLUSSION multiculturalism, the three main elements in this
case are schools, the environment and

D
iversity which is not managed properly participants. The better these three elements
through attitudes and characters that work, the better the process of planting
show mutual understanding in terms of multiculturalism values through education.
tolerance will lead to cultural friction and end in
conflict, or at least intolerance. In the presence of E. ACKNOWLEDGMENT
intolerance, differences that form such diversity
cannot co-exist one another. Therefore, attitudes

T
his article was written from research funded
that show tolerance should be fostered and by the authors. The authors would like to
nurtured using the values of multiculturalism thank to STKIP PGRI Sumatera Barat that
internalized into each individual. Those are the provide all access to reading resources, libraries
and various facilities to support the writing of this
values that put all races, ethnic groups, religions,
article.
customs, and cultures in a parallel position
without any attitudes which scorn or praise one

139 | P a g e
FIRDAUS, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

REFERENCES

Amirin, T. M. (2012). Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis


Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 1(1),
1–16.
Auster, L. (1991). The Path to National Suicide: An Essay on Immigration and Multiculturalism. USA:
The American Immigration Control Foundation.
Auster, L. (2004). How the Multicultural. The Social Contract, 197–208.
Bahar, S., & Tadjoeddin, M. Z. (2004). Masih ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam
Hidup Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus.
Boyd, W. (1952). The History Of Western Education. London: J.W. Arrowsmith LTD.
Budiman, H. (2012). Mendiskusikan Kembali Furnival: Satu Lagi Cerita dari Bagansiapiapi. Jakarta:
The Interseksi Foundation (Yayasan Interseksi).
Colombo, E. (2015). Multiculturalisms: An Overview of Multicultural Debates in Western Societies.
Current Sociology Review, 63(6), 800–824. https://doi.org/10.1177/0011392115586802
Cretton, V. (2018). Performing Whiteness: Racism, Skin Colour, and Identity in Western Switzerland.
Ethnic and Racial Studies, 41(5), 842–859. https://doi.org/10.1080/01419870.2017.1312006
Debora, E. K., Anggreta, D. K., & Yasin, F. (2013). Strategi Masyarakat Multikultural Pasaman Barat
Menghindari Konflik. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, 2(1), 22–37.
DeVito, J. A. (2012). The Interpersonal Communication Book (13th ed.). Boston: Pearson.
Eriksen, T. H. (2015). Multiculturalism, Anthropology of. International Encyclopedia of Social &
Behavioral Sciences (Second Edi, Vol. 15). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-
097086-8.12113-0
Firdaus, F. (2012). Relasi Etnik dan Identitas Kewargaan di Kota Binjai. In H. Budiman (Ed.), Kota-
Kota di Sumatra; Enam Kisah Kewargaan dan Demokrasi (pp. 133–190). Jakarta: The
Interseksi Foundation.
Firdaus, F., Yasin, F., & Anggreta, D. K. (2015). Penanaman Nilai-Nilai Multikulturalisme Melalui
Pendidikan Untuk Menyiasati Masalah Multikultur Di Indonesia & Malaysia. In ASEAN
Comparative Education Research Conference (ACER-N 2015) (pp. 1755–1767). Fakulti
Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.
Fleras, A. (2014). Racisms in a Multicultural Canada: Paradoxes, Politics, and Resistance. Ontario,
Canada: Wilfrid Laurier Uiversity Press.
Germain, F. (2014). A “New” Black Nationalism in the USA and France. Journal of African American
Studies, 18(3), 286–304. https://doi.org/10.1007/s12111-013-9269-y
Gozdecka, D. A., Ercan, S. A., & Kmak, M. (2014). From Multiculturalism to Post-Multiculturalism:
Trends and Paradoxes. Journal of Sociology, 50(1), 51–64.
https://doi.org/10.1177/1440783314522191
Gutek, G. L. (1997). Philosophical and Ideological Perspectives on Education. Boston: Allyn and
Bacon.
Hefner, R. W. (2007). Politik Multikulturalisme; Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Hoon, C.-Y. (2006). Assimilation, Multiculturalism, Hybridity: The Dilemmas of The Ethnic Chinese in
Post-Suharto Indonesia. Asian Ethnicity, 7(2), 149–166.
https://doi.org/10.1080/14631360600734400
Ihromi, T. (1996). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Johnson, D. P. (1994). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Kartikawati, D., Rajagukguk, D. L., & Sriwartini, Y. (2019). Penanaman Nilai-Nilai Multikultural yang
Dipengaruhi oleh Kompetensi Komunikasi Guru di Sekolah Dasar Inklusi Trirenggo,
Yogyakarta. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(20), 168–176.
Kemendikbud. (2017). Bahan Ajar Pengenalan Pendidikan Formal Dan Informal, Bandung. Jakarta:
Pusat Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PP-PAUD
dan DIKMAS).
Klinken, G. Van. (2007). Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Laverty, S. M. (2003). Hermeneutic Phenomenology and Phenomenology : A Comparison of Historical
and Methodological Considerations. International Journal of Qualitative Methods, 2(3), 21–
35. https://doi.org/10.1177/160940690300200303
Ma’arif, M. A. (2019). Internalisasi Nilai Multikulutural dalam Mengembangkan Sikap Toleransi (Studi
Di Di Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Malang). Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam,
140 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020 FIRDAUS, et al.
FIRDAUS, et al. /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

2(1), 164–189. https://doi.org/10.31538/nzh.v2i1.179


Maliki, Z. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press.
Manan, I. (1989). Antropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Jakarta: Dirjen DIKTI.
Muhadjir, N. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif, Pendekatan Positifistik, Rasionalistik,
Penomenologik dan Realisme Mathafisik : Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama.
Yogyakarta: Rake Sarasish.
Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Murphy, M. (2012). Multiculturalism : A Critical Introduction. London & New York: Routledge.
Nasikun. (2000). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Nastiti, A., & Ratri, S. (2018). Emotive Politics: Islamic Organizations and Religious Mobilization in
Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 40(2), 196–221. https://doi.org/10.1355/cs40-2b
Osman, M. N. M., & Waikar, P. (2018). Fear and Loathing: Uncivil Islamism and Indonesia’s Anti-Ahok
Movement. Indonesia, 106, 89–109. https://doi.org/10.5728/indonesia.106.0089
Pakulski, J. (2014). Confusions about multiculturalism. Journal of Sociology, 50(1), 23–36.
https://doi.org/10.1177/1440783314522190
Purbasari, Varbena Ayuningsih, & Suharno. (2019). Interaksi Sosial Etnis Cina-Jawa Kota Surakarta.
Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(1), 1–9.
Purbasari, Verbena Ayuningsih, & Suharno, S. (2019). Interaksi Sosial Etnis Cina-Jawa Kota
Surakarta. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 21(1), 1–9.
https://doi.org/10.25077/jantro.v21.n1.p1-9.2019
Sadulloh, U. (2008). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Saha, L. J. (1997). International Encyclopedia of the Sociology of Education. New York: Pergamon
Press.
Suparlan, P. (2002). Keynote Adress: Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. In Antropologi
Indonesia (pp. 94–105). Denpasar.
Suparlan, P. (2006). Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan.
Antropologi Indonesia, 30(3), 229–236.
Suryadinata, L. (2003). Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke
Multikulturalisme? Antropologi Indonesia, 71, 1–12.
Tadjoeddin, M. Z. (2002). Anatomi Kekerasan Sosial Dalam Konteks Transisi; Kasus Indonesia 1990-
2001 (Project INS/99/002 – Policy Support for Sustainable Social Economic Recovery No.
02/01-I). Jakarta.
Tamansiswa. (2013). Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap merdeka
(Bagian I : Pendidikan). Yogyakarta: UST-Press.
Viri, K. (2012). Pengelompokan Pemukiman Warga Berdasarkan Etnis dan Agama di Kota Bukittinggi,
Sumatera Barat. In H. Budiman (Ed.), Kota-Kota di Sumatra; Enam Kisah Kewargaan dan
Demokrasi (pp. 191–260). Jakarta: The Interseksi Foundation (Yayasan Interseksi).
Yasin, F. (2016). Pendidikan Multikultural Dalam Keluarga Modern (Studi: Keluarga Di Kecamatan
Padang Selatan). In The ASEAN Theacers; Toward Standardization of Quality and
Qualifications (pp. 375–382). Indonesia: Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan
Malaysia,Kopertis Wilayah X, Indonesia, Universitas Negeri Padang (UNP), Indonesia &
STKIP PGRI Sumatera Barat, Indonesia.

141 | P a g e
FIRDAUS, et al. https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p131-141.2020
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Available online at : http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/

Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya


| ISSN (Online) 2355-5963 |

ETNOSENTRISME DAN SIKAP INTOLERAN PENDATANG TERHADAP ORANG PAPUA

1* 2
Elia Nurindah Sari ( ), Samsuri ( )
12
Department of Civic Education, Graduate School of Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia.

ARTICLE INFORMATION A B S T R A C T
This article is aimed to raising awareness for pluralistic Indonesian.
Submitted : 28th September, 2019
Awareness to be able to appreciate anything about the differences in
Review : 03rd April, 2020
Indonesia, including those who are from Papua. Indonesia is now has
Accepted : 22nd May, 2020
any issues of tolerance. Although there are many public slogans or
Published : 1st June 2020
appelas to be tolerant, in fact not a few cases of intolerant attitudes
Available Online : June, 2020
occur. There are so many cases that lead to racism in Papuans.
Ethnocentrism attitude told us how someone from a certain group feels
KEYWORDS better than another group. This will be linked to the intolerant attitudes
to the Indonesian people towards Papuans, and learning study
implications of what happened from that situation. The purpose of this
Ethnocentrism; Intolerance; Tolerance; Papua
article is to build awareness of all Indonesians to reduce their intolerant
attitude towards Papuans. This article used the method of literature
CORRESPONDENCE review. Some of the literature taken is, among others, related to the
literacy of tolerance, Papuans culture and some cases of Indonesian
intolernace towards Papuans. The results of research through this
*E-mail: elianurindahsari@gmail.com literature study found that intolerant cases carried out by non-Papuans
against Papuans had implications or the attitude of Papuans who
became inferior, lacked confident and felt unappreciated.

A. PENDAHULUAN

menimbulkan reaksi dari aparat dan ormas yang

I
ndonesia adalah negara majemuk, hal ini
merupakan suatu wawasan nusantara yang mengepung asrama tersebut. Pihak aparat
dipahami seluruh warga negara Indonesia. menduga perusakan bendera merah putih
Bhineka Tunggal Ika, semboyan bagi bangsa dilakukan oleh oknum mahasiswa Papua yang
Indonesia untuk memahami bahwa negara tinggal di asrama.
majemuk ini memiliki banyak jenis budaya, Beberapa hal yang disayangkan dari tindakan
bahasa, ras, suku, agama dan lain sebagainya. di atas adalah pada saat aparat dan ormas
Kemajemukan ini melahirkan suatu kewajiban menyerang asrama mahasiswa Papua, mereka
bagi Bangsa Indonesia agar dapat bersikap tidak terlebih dahulu melakukan investigasi
toleran terhadap berbagai macam perbedaan mendalam sebelum melakukan pengepungan ke
yang ditemui di Indonesia. Namun sayangnya, asrama. Selain itu, aparat juga malah mem-
akhir-akhir ini terjadi banyak sekali peristiwa- biarkan ormas yang reaksioner turut melakukan
peristiwa intoleran di dalam bangsa ini. Kasus- pengepungan. Aparat juga mengucapkan kata-
kasus yang paling sering terjadi adalah kasus kata yang bernada rasisme terhadap mahasiswa
intoleransi mengenai agama dan ras. Papua. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai
Kasus intoleran yang masih hangat dalam rakyat Indonesia non Papua, belum bisa
ingatan adalah mengenai kasus mahasiswa menghormati satu sama lain dalam hidup
Papua yang kuliah di Pulau Jawa, tepatnya di berbangsa.
Surabaya. Kasus ini bermula ketika ditemukan Terlepas dari hal apa yang melatarbelakangi
bendera merah putih yang rusak di depan masalah tersebut, memiliki sikap toleran selalu
asrama mahasiswa Papua tersebut. Hal itu masuk menjadi kunci pencegahan dari kasus-
142 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020 Attribution-NonCommercial 4.0 International. Some rights reserved
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

kasus rasisme. Maka dari itu menjadi penting non Papua terhadap sikap intoleran yang kerap
ketika sebagai warga negara yang majemuk kita kali dilakukan terhadap orang Papua.
memahami dulu bahwa Negara Indonesia ini
negara yang luas dengan segala macam
perbedaan di dalamnya. Mempelajari sikap B. METODE PENELITIAN
toleran dari sisi kasus-kasus intoleransi dan
berbicara mengenai etnosentrisme diharapkan Penulisan artikel ini dilakukan dengan
dapat membuka mata bangsa ini bahwa kita menggunakan metode kajian pustaka. Metode
pada intinya harus mengakui bahwa kita berbeda kajian pustaka merupakan metode pengumpulan
dan kemudian dapat menerima perbedaan data melalui telaah terhadap sumber-sumber
tersebut dengan sikap yang bijak. kepustakaan (Mahmud, 2011). Metode kajian
Berangkat dari jurnal fenomenologi penga- pustaka yang dilakukan yakni dengan meman-
laman penyesuaian diri mahasiswa Papua di faatkan sumber dan bahan kepustakaan yang
Surabaya (Wijarnako & Syapiq: 2013), menya- ada baik dari buku atau artikel, maupun laporan
takan bahwa mahasiswa Papua di Surabaya hasil penelitian dari penelitian terdahulu terkait
mengalami berbagai hambatan dalam menye- masalah etnosentrisme dan sikap-sikap intoleran
suaikan diri. Penyebab hambatan tersebut terhadap orang Papua. Setelah mendapat
adalah perbedaan dalam bahasa dan kebiasaan beberapa referensi terkait tema penelitian, bahan
budaya. Hal lainnya yang menyebabkan adanya dibaca bagian poin-poin penting yang berhu-
hambatan interaksi dengan warga lokal adalah bungan dengan tema, lalu mengutip informasi,
karena perbedaan warna kulit dan perbedaan menganalisis kemudian merangkum. Rangkuman
fisik. selesai, kemudian tulisan digeneralisasikan
Perbedaan bahasa menjadi penyebab dengan kajian teori yang relevan sehingga
interaksi. Dikarenakan mahasiswa Papua tidak membentuk satu tulisan hasil penelitian yang
memahami bahasa lokal, dalam hal ini bahasa utuh.
Jawa, mereka kerap kali salah faham terhadap
warga lokal saat sedang berbicara dengan C. HASIL DAN PEMBAHASAN
bahasa Jawa sambil tertawa. Mereka merasa 1. Etnosentrisme dan Intoleransi
tersinggung karena merasa sedang menjadi
bahan perbincangan.

E
tnosentrisme merupakan kecendrungan
Perbedaan fisik yang dimiliki orang Papua untuk berfikir bahwa budaya etniknya lebih
juga dirasakan membuat mereka sering unggul diandingkan dengan budaya etnik
dipandang seperti orang asing. Mereka kerap kali lain (Irianto: 2013). Segala sudut sesuatu dilihat
dipandang secara berbeda dan ditertawakan oleh dari sudut pandang etniknya sendiri. Etno-
warga lokal (Wijarnako & Syapiq: 2013). Hal sentrisme meyakini superioritas kelompok etnis
senada juga terjadi pada mahasiswa Papua di dan kelompok kebudayaannya serta mengang-
Kota Malang. Tindakan warga lokal terhadap gap hina kelompok lain (Myers, 2012). Terdapat
mahasiswa asal Papua yakni sering melihat beberapa aspek yang menyebabkan timbulnya
dengan pandangan aneh dan menertawakan entosentrisme, yaitu antara lain perbedaan fisik
(Ulaan, dkk: 2016). Hal semacam ini membuat (biologis), perbedaan lingkungan (geografis),
mereka merasa minder, kurang percaya diri dan perbedaan kekayaan (status sosial), perbedaan
merasa berbeda dengan warga lokal. Mahasiswa kepercayaan, dan perbedaan norma sosial
Papua membutuhkan pengertian untuk dipahami (Ahmadi, 2007).
oleh warga lokal atas perbedaan yang dimiliki Etnosentrisme berpeluang untuk menghambat
oleh mahasiswa Papua. Hal-hal di atas adalah keserasian interaksi dan komunikasi antar etnik
penyebab seringnya mahasiswa Papua yang (Susanto, 2009). Etnosentrisme adalah fanatisme
melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa, suku bangsa, yaitu suatu persepsi yang dimiliki
cenderung memilih untuk bergabung dengan oleh setiap individu yang mengganggap bahwa
sesama warga Papua dan terkesan menutup diri kebudayaan yang mereka miliki lebih baik dari
dari warga sekitar. Mereka merasa kurang kebudayaan lainnya. Etnosentrisme juga me-
dihargai. nganggap cara hidup bangsanya merupakan
Hal yang paling mencolok dari perbedaan cara hidup yang paling baik.
antara masyarakat Indonesia non Papua dengan Kemajemukkan bangsa Indonesia melahirkan
orang Papua adalah warna kulit. Tidak bisa banyak sekali wacana yang perlu dipelajari dan
dipungkiri bahwa kerap kali saat berpapasan ditanamkan sejak dini, seperti salah satunya
dengan orang Papua di tempat-tempat umum, mengenai integrasi nasional. Banyak hal yang
akan mengundang keinginan untuk memandang sebenarnya dapat dikaitkan dengan integrasi
mereka dengan pandangan lain daripada nasional seperti di dalamnya tentang peng-
masyarakat Indonesia non Papua. Maka dari itu hormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
penulisan artikel ini bertujuan untuk menjabarkan Banyak hal yang dapat dijabarkan untuk merujuk
bagaimana etnosentrisme masyarakat Indonesia pada hal-hal yang berkaitan dengan HAM.

143 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020 ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Toleransi merupakan elemen penting dalam beragama dan berkeyakinan dengan 99


menghormati hak-hak individu yang hidup dalam tindakan. Setara menyebutkan peningkatan
keberagaman. Sebaliknya juga hak-hak individu tersebut secara umum disebabkan beberapa
dalam keberagaman itu tidak bisa dihormati, faktor, diantaranya peningkatan intensitas
maka telah terjadi sikap intoleran. politisasi agama, kasus intoleran yang dilakukan
Sebuah artikel yang ditulis oleh orang Papua, oleh individu dan kelompok keluarga, dan
yang menyatakan kekecewaannya atas stigma kompleksitas pasal penodaan agama. Dari
yang kerap kali muncul dari masyarakat non pernyataan di atas bisa dilihat dua dari tiga
Papua terhadap orang Papua. Artikel tersebut faktornya adalah datang dari sikap-sikap individu
dimuat dalam sebuah jurnal Indoprogress.com itu sendiri. Ini memperlihatkan bagaimana
dalam kolom Papua Bicara pada tanggal 22 lemahnya sikap toleransi bangsa Indonesia
September 2016. Stigma yang kerap kali muncul tentang beragama. Padahal sudah jelas dalam
dari masyarkat non Papua dalam menyikapi undang-undang mengenai HAM dijelaskan
kasus rasisme orang Papua adalah mereka adanya kebebasan untuk memeluk agama
pantas mendapat kecaman dari masyarakat non sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Papua karena perilaku orang Papua itu sendiri. Kemudian kasus intoleran terhadap etnis
Orang Papua tidak memiliki privilese seperti yakni kasus Konflik Sampit pada 2001 silam.
masyarakat Indonesia lain yang non-Papua, yaitu Kasus antara etnis Dayak dan etnis Madura yang
ketika ada satu warga yang bersalah maka yang dilatarbalakangi oleh hal-hal yang sepele.
lain tidak akan kena imbasnya. Berbeda dengan Pertikaian yang sering terjadi dipicu oleh kedua
orang Papua, ketika salah satu atau sekelompok belah kubu memiliki etnosentrisme yang tinggi.
orang Papua bersalah atas tindakan tertentu, Hal tersebut diperparah dengan kebiasaan dan
maka seluruh orang Papua mendapat kecaman nilai-nilai yang berbeda bahkan berbenturan.
tersebut. Mereka dikatakan separatis dan sering Orang Madura biasa membawa parang
membuat onar, maka dianggap pantas mendapat kemanapun mereka pergi, akan tetapi hal itu
perlakuan lain dari masyarakat non Papua. malah dinilai lain oleh orang Dayak. Bagi orang
Papua adalah provinsi terluar di Indonesia. Dayak membawa parang dilihat sebagai orang
Banyak hal yang dikontribusikan provinsi Papua yang siap mengajak bertarung. Maka dari itu jika
terhadap bangsa Indonesia melalui sumber daya terjadi masalah sepele pun dapat berakibat
alamnya. Akan tetapi hal yang saat ini miris besar.
terjadi bahwa banyak sekali sikap-sikap intoleran Kasus rasisme lain yang selalu lekat dalam
yang ditunjukkan oleh suku-suku lain bangsa ingatan adalah mengenai kasus rasialisme etnis
Indonesia terhadap orang Papua. Kasus yang Tionghoa. Kebencian rasialis dan penindasan
masih segar di ingatan adalah kasus penghinaan terhadap etnis minoritas Tionghoa masih terasa
terhadap mahasiswa Papua dengan kata-kata memprihatinkan jika mengingat tragedi
yang kurang baik yang terjadi di wilayah Jawa kerusuhan 1998. Penyebab dari peristiwa ini
Timur. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda adalah salah satunya mengenai rasa iri yang
tetapi tetap satu jua. Semboyan untuk bangsa timbul karena perbedaan keadaan ekonomi
Indonesia yang sudah kita fahami saat di bangku warga pribumi dengan etnis keturunan Tionghoa.
sekolah, namun apakah hal ini lantas dipahami Hal-hal yang semuanya bermula dari individu
dengan seksama dan kemudian diamalkan bisa meledak menjadi masalah bersama, dari
dalam kehidupan di masyarakat? Perbedaan situlah kerusuhan dapat mencuat.
suku, ras, bahasa, etnis, agama dan lain Kasus tersebut juga berimbas pada
sebagainya adalah anugerah bagi bangsa diskriminasi dan konflik kekerasan yang berbau
Indonesia. Namun untuk mengelola hal itu semua etnis Tionghoa di Surakarta, Jawa Tengah. Etnis
tidak mudah, perlu suatu formula yang nyata Tionghoa yang tinggal di Surakarta sudah
agar bangsa Indonesia mampu memahami itu bermukim ratusan tahun dan hidup berdam-
hingga kemudian dapat hidup berdampingan pingan dengan warga lokal yaitu masyarakat
dengan baik satu sama lain. Jawa. Berbagai sentimen dan konflik etnisitas
Kasus-kasus intoleran yang terjadi di muncul. Namun upaya rekonsiliasi dan integrasi
Indonesia, misal dari kasus intoleransi agama. terus menerus dilakukan demi menjaga keda-
Setara Institue, sebuah lembaga swadaya maian hubungan yang telah terbentuk antara
masyarakat Indonesia yang melakukan penelitian etnis Tionghoa dan masyarakat Jawa di
dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan Surakarta (Purbasari: 2019). Keberadaan etnis
politik dan HAM melakukan riset pada tahun Tionghoa di Surakarta memberikan kontribusi
2017 tentang kasus intoleransi agama. Seperti dalam memperkaya keanekaragaman masyara-
yang dikutip oleh tempo.co pada artikelnya yang kat yang menjadi bukti bahwa adanya multi-
berjudul Setara Institue : Intoleransi terhadap kultural di sana.
Keyakinan Meningkat, menyebutkan bahwa pada Melalui kasus-kasus tindakan intoleransi di
tahun 2017 terjadi 80 pelanggaran kebebasan atas, satu hal yang menurut penulis dapat ditarik
144 | P a g e
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

kesimpulannya adalah bagaimana sebelum perlakuan manusiawai tidak berlaku. Tentu saja
pertikaian antar golongan terjadi, sebenarnya hal hal ini merupakan kenangan kelam bagaimana
itu bermula dari masalah yang terjadi antar sebuah rasisme begitu kejamnya hingga
individu. Sikap toleransi sangat menjadi hal mengancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Hak asasi
utama untuk membendung hal yang demikian itu. manusia pada saat itu benar-benar tidak
Beberapa gambaran di atas cukup membuat kita dianggap melekat kepada semua orang sejak
menyadari bahwa betapa Negara Indonesia yang lahir, melainkan hanya melekat pada mereka-
penduduknya majemuk ini masih kurang mereka yang memiliki hak istimewa Karen
toleransi. aterlahir dalam ras yang baik.
Saat ini banyak sekali warga Papua yang
2. Tindakan Intoleran terhadap Orang tinggal di luar Papua, entah untuk kepentingan
Papua pekerjaan, usaha ataupun pendidikan. Perla-
kuan-perlakuan yang mereka terima selama
Definisi orang asli Papua secara historis mereka berada di luar wilayah begitu menjadi
muncul dari pengalaman ‘memory passionist’ perhatian. Tindakan-tindakan kecil yang dilakuan
akan masa-masa di waktu lalu yang penuh individu saat berhubungan dengan orang Papua
tantangan dan pergulatan untuk menunjukkan jati yang dapat menyebabkan tindakan intoleran
diri, sehingga dasar ini menjadi konsensus hingga rasialisme. Seperti kejadian yang di alami
bersama seluruh pemangku kepentingan di mahasiswa Papua yang merantau ke Jakarta
Tanah Papua (Deda & Mofu, 2014). Wikipedia untuk kuliah. Mereka terkadang kesulitan
menuliskan bahwa respon penduduk terhadap mencari kos-kosan karena tidak ada yang
nama Papua cukup baik. Nama Papua menerima orang Papua (tirto.id). Kemudian
mencerminkan identitas diri mereka sebagai perlakuan lain yang kurang baik adalah
manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda mengatakan bahwa orang Papua memiliki aroma
dengan penduduk bangsa Indonesia. akan tetapi badan yang kurang enak sehingga mereka
hal tersebut sangat bertolak belakang dengan seringkali melihat mahasiswa di kampus sering
respon-respon orang-orang non Papua. Orang menutup hidungnya saat mahasiswa asal Papua
Papua tak terima dengan ejekan yang selalu lewat.
dilontarkan warga pendatang. Ada yang Dikutip dari artikel Indoprogress.com
memaknai nama Papua sebagai bentuk ejeken mengenai Papua, pada tanggal 26 Oktober 2016,
tehadap warga setempat yang primitif tertinggal di Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, terjadi
dan bodoh yang merupakan slogan yang tidak kontak senjata yang mengakibatkan seorang laki-
mempunyai arti apapun. laki Papua tewas terkena peluru. Kasus lainnya
Etnosentrisme merupakan perasaan yang adalah hak berbicara dan berpendapat dalam
muncul pada suatu bangsa yang memandang bentuk dialog dengan Jakarta terkait masalah
cara hidup bangsanya lebih baik dari bangsa lain. Papua tidak diberikan ruang. Dialog tersebut
Etnosentrisme erat kaitannya dengan sikap rasis. justru dianggap sebagai suatu gerkan
Sejaah panjang rasis salah satunya pada sejarah pemberontakan yang harus diselesaikan dnegan
perbudakan yang pernah terjadi di Amerika peluru oleh aparat terhadap orang Papua.
Serikat. Para budak adalah manusia-manusia Beberapa peristiwa di atas sebenarnya tidak
yang dimiliki oleh seorang tuan atas dasar asing untuk kita ketahui. Tidak usah jauh-jauh,
superioritas. Para budak melakukan apapun kita sendiri sebagai warga non Papua yang
yang tuannya inginkan,mereka bekerja tanpa memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan orang
digaji dan tidak memiliki hak asasi manusia. Papua, setidaknya jika sudah melihat orang
Sangat menyedihkan. Dalam situasi ini harga Papua berada di sekitar kita, kita akan mencuri-
atau nilai kemanusiaannya tidak diperhitungkan curi pandang ke arahnya. Kita selalu melihat
lagi atau sudah dicabut. Sistem perbudakan yang mereka seakan-akan mereka benar-benar
demikian tidak hanya terjadi pada urusan berbeda dengan kita dalam konotasi yang
perorangan dan dalam urusan pekerjaan rumah negatif. Hal ini hampir mirip dengan peristiwa
tangga, melainkan pada urusan keagamaan perbudakan di Amerika yang memandang warga
sekalipun. Bangunan-bangunan tua megah baik kulit hitam lebih rendah derajatnya dibanding kulit
gererja-gereja di daratan Eropa dibangun oleh putih. Warga kulit hitam seringkali mendapat
para budak. Mereka dijadikan alat mekanik untuk yang berbeda dari kulit putih. Hal tersebut tentu
mendirikan bangunan megah tersebut. saja sudah tidak sejalan dengan penghormatan
Praktek perdagangan budak bahkan lazim terhadap hak asasi manusia. Bukan tidak
terjadi pada masa dulu. Dahulu banyak orang mungkin, mereka sebagai orang Papua pasti
Afrika yang diangkut ke Eropa untuk djadkan merasa risih dengan tindakan yang demikian.
budak. Mereka dijadkan pekerja kasar. Mereka Sikap atau tindakan-tindakan merendahkan di
memandang orang hitam Afrika diidentikan atas dapat masuk dalam kategori etnosentrisme.
dengan keras dan kuat, oleh karena itu pantas Sikap merasa diri sendiri lebih baik dari mereka,
dijadikan pekerja keras. Hak bicara, hak dalam hal ini yakni ciri-ciri fisik. Tak jarang di
mengungkapkan perasaan dan meminta acara-acara televisi nasional pun, sering
145 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020 ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

terdengar nada-nada sumbang yang menying- dengan asumsi bahwa perilaku kurang baik
gung ciri-ciri fisik orang Papua, yang tentunya lama-lama akan berkurang, dan (2) mencoba
merasa (ciri fisik) dirinya lebih baik dari Papua. mengubah rasa keberatan menjadi ketidak-
Bermula dari hal-hal seperti ini, menjadi mungkin pedulian terhadap karakteristik rasial tertentu.
ketika meletus suatu masalah kecil antara orang Sikap atau tindakan intoleran ini seringkali
Papua dan non-Papua, pasti kemudian meletus berimplikasi hal yang sama. Seperti contoh pada
menjadi masalah besar. Inilah cikal bakal kasus pelarangan pendirian masjid di Papua.
intoleran yang sering kita tida sadari. Seperti dilansir dari tirto.id mengenai Di Balik
Tindakan intoleransi biasanya dalam bentuk Polemik Penolakan Menara Masjid di Papua
larangan atau tekanan terhadap bentuk-bentuk yang diunggah pada tanggal 20 Maret 2018.
material, seperti makanan dan cara berpakaian. Tindakan warga nasrani Papua yang menolak
Juga dalam bentuk larangan mengenai adanya renovasi masjid Agung Al-Aqsha di
kebiasaan, agama atau budaya yang berlanjut Sentani, Papua merupakan dampak dari sikap
hingga menjadi diskriminasi dan intoleransi. Pada yang sama ketika sejumlah warga muslim di luar
tahap yang lebih parah adalah tindakan papua menghambat kebebasan beribadah
kekerasan seperti menggusur, menyerang, dan penganut kristen.
menyiksa (voaindonesia.com). Hal ini yang Sebuah jurnal psikologi menyebutkan bahwa
terjadi pada peristiwa rasisme yang dilakukan mahasiswa Papua di Surabaya mengalami
aparat setempat terhadap mahasiswa Papua di berbagai hambatan dalam menyesuaikan diri
Surabaya. Entah penyebab utamanya seperti dengan lingkungannya saat merantau. Perbe-
apa, akan tetapi sikap dari aparat dan warga daan fisik dan warna kulit sebagai penyebab
sekitar sangat menunjukkan sikap yang merasa hambatan tersebut. Hambatan ini menimbulkan
derajatnya lebih tinggi dari mereka sehingga dampak persona dan sosial. Mereka kemudian
dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan cenderung memilih bergaul hanya dengan
tersebut berupa keluarnya ucapan-ucapan yang sesama mahasiswa Papua. Hal tersebut
kurang berkenan bagi mahasiswa Papua. menimbulkan lingkungan pergaulan mereka
Bahaya rasisme adalah tindakan rasis yang sangat terbatas. Meskipun mereka sedang
melanggengkan distribusi kekuasaan yang tidak merantau, mereka seperti tidak bisa
merata berdasarkan karateristik ras (Paradies, memanfaatkan lingkungan baru mereka untuk
2006). bisa berbaur dengan warga setempat dan
Belum lagi jika sudah berbicara pada ranah mempelajari budaya lain di luar Papua.
agama dan keyakinan. Indonesia sebagai negara Warga Papua sesungguhnya dapat hidup
yang mayoritas warga negaranya beragama dengan sangat toleran. Mereka melakukan
Islam, akhir-akhir ini sangat sensitif dengan hal- akulturasi budaya sebagai sebuah keharusan
hal yang behubungan dengan non-islam. Warga penyesuaian dalam masyarakat. Warga lokal dan
Papua mayoritas beragama non-islam. Plura- warga pendatang di Papua melakukan
lisme diperlukan dalam hal ini. Tokoh pluralisme perubahan dan mengikutinya. Hal tersebut
yang paling dikenal di Indonesia yakni Gusdur tidaklah merugikan dan para warga dapat hidup
menyatakan bahwa pluralisme tidak seharusnya berdampingan dan menjalankan budayanya
menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya (Anakota: 2019).
menjadi sarana bagi manusia untuk memahami Hasil penelitian mengenai kajian skala
anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan karakter toleransi (Supriyanto & Wahyudi: 2017),
harmoni di tengah kehidupan (Kompas, 2010). menemukan tiga aspek yaitu kedamaian,
Toleransi dipahami sebagai kesediaan untuk menghargai perbedaan dan individu, serta
bertahan dengan orang lain meskipun berbeda kesadaran. Salah satu aspek di atas yang
(Rapp, 2015). Seseorang dapat dikatakan toleran relevan dengan pembahasan ini adalah
jika dia yang awalnya menolak suatu kelompok, mengenai aspek menghargai perbedaan dan
kemudian memberikan mereka hak politik dan individu yakni meliputi indikator saling
sosial yang sama terlepas dari kenyataan bahwa menghargai satu sama lain.
ia tidak menyukai kelompok tersebut. Menurut
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang 3. Siklus Rasisme terhadap Orang Papua
Diskriminasi Ras dan Etnis, diskriminasi adalah
tindakan pembedaan, pengecualian, pemba- Pada tahun 2016, di Yogyakarta, salah
tasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan seorang mahasiswa Papua ditangkap paksa,
etnis yang mengakibatkan pencabutan atau asrama mereka dikepung organisasi masyarakat
pengurangan pengakuan hak asasi manusia. dan mahasiswanya dikriminalisasi. Peristiwa ini
Peter Ballint (2015), memberikan dua strategi terjadi saat mahasiswa Papua akan menyua-
alternatif bagi sikap intoleran yaitu: (1) mencoba rakan aspirasinya di jalan dalam rangka
untuk mengubah rasa keberatan menjadi menyuarakan isu ras Melanesia. Akan tetapi aksi
keyakinan atau sikap yang jauh lebih positif tersebut dhentikan oleh aparat keamanan dan
146 | P a g e
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

ormas. Polisi menangkap salah satu mahasiswa masuk ke kontrakan mahasiswa Papua untuk
Papua bernama Obby Kogoya. Ia diperlakukan diajarkan mata pelajaran sekolah. Ia menyatakan
tidak manusiawi oleh polisi. Tubuhnya dibanting, bahwa framing Papua oleh orang-orang yang
lehernya diapit siku, dan lubang hidungnya tidak bertanggung jawab itu salah besar. Orang-
dmasuki dua jari polisi kemudian ditarik. Ia orang Papua nayatanya asyik diajak bergaul dan
mengaduh kesakitan. Peritiwa tersebut berhasil dapat berteman baik. Satu hal yang penting
diabadikan oleh seorang jurnalis yang kemudian adalah untuk menghargai perbedaan.
tersebar luas di sosial media. Akan tetapi pihak Cerita baik lain datang dari Bandung, warga
kepolisian menyatakan bahwa tidak ada yang bertetangga dengan tempat tinggal
kerusuhan apapun dan juga menyangkal mahasiswa dari Papua menyatakan bahwa
mengenai foto yang sudah tersebar, mereka hubungan mereka dengan warga sekitar
mengatakan itu adalah hoaks. cenderung baik, meskipun dulu suka ada ribut-
Pada tahun 2017, terjadi pembubaran aksi ribut karena sering mabuk-mabukan, nyatanya
demontarsi dan diskusi-diskusi yang sedang sekarang mereka hidup berdampingan dengan
diadakan oleh mahasiswa Papua. Aksi baik dengan warga sekitar.
demonstrasi peringatan hari kedaulatan Papua di Rasisme erat kaitannya dengan sistem
Jakarta dilarang oleh polisi. Berkat hasil perbudakan yang meiliki sejarah panjang dalam
negosiasi, demonstrasi itu akhirnya dapat tetap peradaban manusia. Dua hal tersebut berhu-
berjalan dengan dijaga oleh 400 personel polisi bungan erta karena paham dan tindakan rasis
dan tiga mobil rumah tahanan. lahir dari perbudakan. Praktik perbudakan dan
Kemudian beberapa diskusi yang pernah tindakan rasis tidak ada bedanya. Keduanya
dibubarkan antara lain, diskusi aliansi mahasiswa memiliki semangat superioritas yang sama
Papua dibubarkan oleh kelompok ormas di (Mulait, 2019). Hal tersebut dilandasi karena
Malang. Ada pula diskusi pemutaran film bangsa atau pribadi tertentu merasa diri atau
‘Peringatan 20 Tahun Peristiwa Biak Berdarah’ di rasnya lebih tinggi daripada ras lain. Hal ini tentu
Surabaya dibubarkan aparat gabungan TNI, Polri senada dengan konsep etnosentrisme.
dan Satpol PP dengan alasan operasi yustisi. Ujaran rasis yang dialami orang Papua
Adapun kisah rasisme lain yang dialami adalah suatu konsep yang diterjemahkan ke
mahasiswa Papua yang kuliah di tanah Jawa dalam tindakan diskriminatif. Dalam perjuangan
adalah yang terjadi pada beberapa mahasiswa orang Papua sebagai bangsa yang beradab,
Papua di Jakarta. Para mahasiswa tersebut tidak suah mengalami tindakan diksriminatif hampir di
menduga bahwa dirinya akan mengalami masa- seluruh lini kehidupan dan yang paling keras
masa sulit. Mereka mengalami kesulitan mencari adalah pelrindungan hukum dan keamanan
kamar kos. Pernah menghampiri sebuah kos- (Mulait, 2019). Hukum d republik ini seakan tidka
kosan, tetapi pemilik kos bilang bahwa kosannya berlaku bagi orang Papua. Ketika orang Papua
sudah penuh dan ia tidak bisa menerima orang diperlakukan kurang manusiawi, harkat dan
Papua. martabatnya dihina dengan tindakan kekerasan
Selain itu, sikap rasisme lain yang dialami ataupun pembunuhan oleh oknum tertentu baik
mahasiswa Papua di Jakarta adalah saat mereka sipil maupun militer, tidak berlaku hukuman bagi
berbelanja di toko. Pemilik toko terebut enggan pelakunya.
melayani mereka dengan baik. Pada saat itu Kasus-kasus pelangagaran hak asasi
mereka meminta pemilik toko untuk mengantar manusia yang terjadi pad aorang Papua banyak
dan memasangkan gas di kos-kosan mereka, yang tidak diproses secara hukum. Maka dari itu
namun pemilik toko terebut menolak dengan tidka heran banyak tindakan sewenang-wenang
mengatakan bahwa mahasiswa Papua bau. yang dlakukan orang-orang non Papua terhadap
Bahkan kasus rasisme juga dialami saat di orang Papua.
kampus. Ada seorang dosen yang pernah Jaminan keamanan pun menjadi terancam
menanyakan langsung apakah mereka suka bagi orang Papua dnegerinya sendiri. Dari
makan babi atau tidak. Dan tentu saja hal itu beberapa kasus yang sudah dijelaskan di atas,
dijawab tegas oleh mahasiswa Papua bahwa sudah kentara sekali bahwa pemerintah melalui
merek atidka pernah memakan bagi secara tangan aparat kemanan menggunakan cara-cara
mentah, melainkan dmasak dahulu. teror dan kekerasan terhadap orang Papua. Hal
Beberapa tindakan rasisme yang diterima ini tentu dlakukan atas adasar superioritas.
orang Papua karena mereka dianggap tukang Seperti ujaran rasis yang terjadi pada mahasiswa
buat onar. Nyatanya stigma itu tidak selamanya Papua di Surabaya yang dilakukan oleh aparat.
benar. Iswahyudi, adalah warga asli Tangerang Tentu itu atas dasar etsontrisme itu.
yang memiliki kenangan manis saat bertetangga Sebuah tulisan opini yang dtulis langsung
dengan mahasiswa Papua. Iswahyudi mence- oleh orang Papua dalam artikel mengenai Papua
ritakan walaupun pada mulanya merasa asing di SuaraPapua.com menyatakan bahwa rasime
dengan orang Papua, namun lambat laun warga terhadap orang Papua seperti ideologi terse-
dan mahasiswa tersebut dapat berbaur dengan lubung. Ia mengisahkan ada anak-anak kecil di
baik. Ia mengatakan dulu dirinya sering diajak Jawa secara spontan memanggil mahasiswa
147 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020 ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Papua yang lewat dengan sebutan monyet. diperlakukan dengan semena-mena oleh warga
Pengalaman lain juga dtemukan bahwa ketika non Papua. Dari beberapa kasus rasisme yng
orang-orang Papua naik angkot, seringkali terjadi warga Papua berbuntut ada peristiwa
masyarakat yang ada satu angkot dengan bentrok yang dilakukan warga Papua terhadap
mereka menutup hidung atau buang muka. pemerintah setempat sebagai tindakan pro-
Kasus lain yang senada terjadi saat tesnya. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka
kesebelasan sepak bola asal Papua (Persipura) bangsa Indonesia tidak pernah belajar untuk
yang hendak bermain diteriaki monyet dan dapat mengamalkan semboyan Bhineka Tunggal
dlempari kulit pisang. Dari beberapa peristiwa di Ika yang sesungguhnya.
atas menjadi suatu ujaran yang lazim secara Peristiwa-peristiwa kericuhan yang terjadi di
terstrukutur dan masif. Peristiwa-peritiswa yang Papua dan Papua Barat yang merupakan buntut
mungkin terkesan biasa bagi orang non Papua ini dari tindakan rasisme yang terjadi pada
memperlihatkan semacam ideologi terselubung mahasiswa Papua di Surabaya. Aksi tersebut
dalam pola pikir masyarakat Indonesia. Hal merupakan akumulasi dan kegerahan yang
tersebut yang membuat kesan orang Papua drasakan masyarakat Papua atas tindakan-
sebagai orang yang cenderung dekat dengan tindakan rasis yang selama ini mereka alami.
hal-hal yang negatif dan dinomorduakan atau Gerakan separatis yang ada di Papua yakni
bahkan dianggap binatang. Operasi Papua Merdeka (OPM) bisa menjadi
Tindakan-tindakan rasisme tersebut tentu ancaman serius jika masalah rasisme yang
melukai hati semua orang Papua. Dan yang lebih dilakukan masyarakat Indonesia non Papua
menyayat hati lagia adalah fakta bahwa tindakan terhadap orang Papua terus berkelanjutan dan
rasialis tersebut dbantah oleh aparat ketika tidak pernah ada titik terangnya. Apa perlu bagi
peristiwa rasialis muncul di Surabaya. Pihak mereka, orang Papua, meminta intervensi asing
aparat justru mengklaim bahwa tindakan rasialis agar pemerintah Indonesia dapat memberikan
yang dilakukan oleh pihaknya merupakan sikap tegas atas tindakan-tindakan rasisme yang
pemanfaatan isu demi kepentibgan politik dialami orang Papua.
kelompok-kelompok yang ada hubungannya Namun demikian, ada beberapa kisah yang
dengan orang Papua (Mulait, 2019). tidak selamanya menggambarkan hubungan
kurang baik antara masyarakat Indonesia non
Papua dengan orang Papua. Masih ada mereka-
D. KESIMPULAN mereka yang memiliki pemikiran yang maju yang
masih mengedepankan hati nurani dan
menghormati hak asasi manusia, menghormati

B
erdasarkan tulisan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa sikap etnosentrisme persamaan dearajat sebagai sesame manusia
dan sikap intoleran merupakan tindakan cipataan Tuhan yang memperlakukan orang
yang dapat memecah belah bangsa. Tindakan Papua dengan baik. Hal-hal yang demikian
tersebut sangat tidak dibenarkan oleh undang- sebenarnya yang dapat memperbaiki hubungan
undang. Toleransi merupakan identitas sikap antara masyarakat non Papua dengan orang
permisif masyarakat terhadap pendapat, Papua agar terciptanya hubungan yang harmonis
kepercayaan, dan praktik yang berbeda dari milik sebagai sesama orang Indonesia.
sendiri (Preston, 2018). Menjadi catatan penting bahwa Indonesia
Mengingat Indonesia adalah negara besar negara majemuk, dan bersikap toleran sudah
dengan penduduknya yang majemuk, sudah menjadi kewajiban bagi bangsa Indonesia
menjadi barang tentu menumbuhkan sikap terhadap seluruh ras dan etnis yang ada di
toleransi adalah suatu kewajiban bagi Indonesia. sikap-sikap toleran tersbeut bisa
penduduknya. Sikap toleransi ini agar terciptanya dilakukan dengan cara mencoba untuk me-
hubungan warga negara yang baik satu sama ngubah rasa keberatan menjadi keyakinan atau
lain. Sebenarnya bukan hanya ada tataran di sikap yang jauh lebih positif dengan asumsi
dalam negeri saja kita harus memiliki sikap bahwa perilaku kurang baik lama-lama akan
toleran, melainkan dalam hal apapun dan berkurang. Sikap lain yang bisa dilakukan adalah
dimanapun saat kita menemukan sebuah dengan cara mencoba mengubah rasa keberatan
perbedaan. menjadi ketidakpedulian terhadap karakteristik
Menguatnya sentimen keetnisan terkait rasial tertentu dengan sikap yang tetap
dengan sebuah situasi ketidakadilan di berbagai menghormati satu sama lain.
bidang termasuk ekonomi dan politik, sosial dan
budaya yang dihadapi oleh sebuah kelompok
etnis, baik berupa pengabaian, eksploitasi,
dominasi, represi atau diskriminasi (Rozi: 2009).
Papua adalah provinsi yang kaya akan sumber
daya alam bagi Indonesia, akan tetapi kerap kali
148 | P a g e
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

E. UCAPAN TERIMAKASIH juga penulis sampaikan kepada Program


Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberi dukungan untuk penerbitan

T
erimakasih penulis sampaikan kepada
Samsuri selaku dosen pembimbing yang artikel.
telah membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyusun artikel ini. Terimakasih

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2007). Psikologi sosial edisi revisi (Cetakan Ketiga). Jakarta:PT. Rineka Cipta.
Anakota, R. (2019). Akulturasi Masyarakat Lokal dan Pendatang di Papua Barat. Jurnal Antropologi:
Isu-isu Sosial Budaya, Vol. 21 No.1 (35).
BBC.com. Mahasiswa Papua bicara soal rasialisme: ‘ih kalian bau’ dan tudingan tukang minum.
Artikel dterbitkan 23 Agustus 2019 dan diakses pada 18 Mei 2020. https://www.bbc.com
Balint, P. (2016). The Importance of racial tolerance for anti-racism. Ethnic and racial studies, VOL.
39, NO. 1, 16–32, http://dx.doi.org/10.1080/01419870.2016.1099713
Deda, J.A. & Mofu, S.S. (2014). Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat di Provinsi Papua Barat
sebagai Orang asli papua ditinjau dari sisi adat dan budaya: sebuah kajian etnogafi kekinian.
Jurnal Administrasi Publik, Vol. 11 Nomor 2 ISSN 1412-2740.
Faqieh, M. (2010). Fatwa dan Canda Gus Dur. Jakarta: Kompas.
Irianto, A. M. (2013). Integrasi Nasional sebagai Penangkal Etnosentrisme Di Indonesia. Humanika
vol.18 No.2 DOI: https://doi.org/10.14710/humanika.18.2.
Indoprogress.com. HAM, Gereja Katolik dan Orang Asli Papua. Artikel ini diterbitkan pada 10
November 2016 dan diakses pada tanggal 16 April 2020. Indoprogress.com/2016/11/HAM-
gereja-katolik-dan-orang-asli-papua/
Indoprogress.com. Papua, Stigma, & 1965. Artikel diterbitkan pada 22 September 2016 dan diakses
pada tanggal 16 April 2020. Indoprogress.com/2016/09/papua-stigma-dan-1965/
Mahmud. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Myers, D. G. (2012). Psikologi sosial, edisi 10 buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Paradies, Y. (2006). Defining, Conceptualizing and Characterizing Racism in Health Research. Critical
Public Health, VOL.16 (2): 143–157.
Preston, J. (2018). You are embued with tolerance. Artchitecture and Culture journal, DOI
10.1080/20507828.2018.1551050
Purbasari, V. A. (2019). Interaksi Sosial Etnis Cina-Jawa Kota Surakarta. Jurnal Antropologi:Isu-isu
Sosial Budaya, Vol.21 No. 01.
Rapp, C. (2015). More diversity, less tolerancy? The effect of type of cultural diversity on the erosion
of tolerance in swiss municipalities. Ethinc and Racial studies, Vol. 38, No. 10, 1779–1797,
http://dx.doi.org/10.1080/01419870.2015.1015582
Rozi, S. (2009). Nasionalisme, Demorkatisasi, dan Sentimen Primordialisme di Indonesia:
Problematika Identitas Keetnisan versus Keindonesiaan pada studi kasus Aceh, Papua, Bali,
dan Riau. Jurnal LIPI Vol. 6 No.1 DOI: https://doi.org/10.14203/jpp.v6i1.529
SuaraPapua.com. Menyusuri historis rasis terhadap orang asli Papua. Artikel dterbitkan pada tanggal
8 oktober 2019 dan diakses pada tanggal 21 Mei 2020. https://suara-papua.com
Supriyanto, A. & Wahyudi, A. (2017). Skala Karakter Toleransi: Konsep dan Operasional Aspek
Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan kesadaran Individu. Jurnal Ilmiah Counsellia, Vol. 7
No. 2 (61-70).
Susanto, E. H. (2009). Etnosentrisme, Pemekaran Wilayah dan Komunikasi Antar Budaya. Jurnal
Untar. http://repository.untar.ac.id/id/eprint/487
Tempo.co. Setara Institue : Intoleransi terhadap Keyakinan Meningkat. Artikel diterbitkan pada 20
Agustus 2018 dan diakses pada tanggal 26 September 2019.
https://nasional.tempo.co/read/1118802/setara-institut-intoleransi-terhadap-keyakinan-
meningkat/full&view=ok
Tirto.id. Di Balik Polemik Penolakan Menara Masjid Di Papua. Artikel diterbitkan pada 20 Maret 2018
diakses pada tanggal 25 September 2019. https://tirto.id/di-balik-polemik-penolakan-menara-
masjid-di-papua-cGrd
Voaindonesia.com. Jaringan Gusdurian: Praktik Intoleransi dalam Masyarakat Menguat. Artikel
diterbitkan pada 19 Desember 2018 diakses pada tanggal 26 September 2019.
https://www.voaindonesia.com/a/jaringan-gusdurian-praktik-intoleransi-dalam-masyarakat-
menguat/4704193.html

149 | P a g e
https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020 ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI /JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA - VOL. 22 NO. 01 (JUNE 2020)

Wijanarko, E., & Syapiq, M. (2013). Studi Fenomenologi Pengalaman Penyesuaian Diri Mahasiswa
Papua di Surabaya. Jurnal Psikologi: Teori & Terapan, vol.3 No.2 (83-84).
Wikipedia. Papua. https://id.wikipedia.org/wiki/Papua diakses pada tanggal 27 September 2019.

150 | P a g e
ELIA NURINDAH SARI, SAMSURI https://doi.org/10.25077/jantro.v22.n1.p142-150.2020
PETUNJUK PENULISAN YANG WAJIB DIKETAHUI OLEH PENULIS
JURNAL ANTROPOLOGI: ISU-ISU SOSIAL BUDAYA

JENIS NASKAH SEBAGAI BERIKUT:

Naskah yang diterima adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya (original). Naskah dapat berupa
jurnal laporan hasil penelitian atau artikel review. Naskah ditulis mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa
Inggris.

SISTEMATIKA NASKAH SEBAGAI BERIKUT:

1. Judul artikel
2. Nama lengkap penulis (tidak disingkat, tanpa gelar)
3. Afiliasi penulis (instansi tempat penulis bekerja dan alamat korespondensi)
4. Abstrak dan Kata kunci (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)
5. Pendahuluan
6. Metode Penelitian
7. Hasil dan Pembahasan
8. Kesimpulan & Saran
9. Ucapan terimakasih
10. Daftar Pustaka (Sistem APA)

PETUNJUK PENULISAN
1. Artikel ditulis sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa yang berlaku. Artikel diketik dengan satu spasi
pada kertas A 4 dengan menggunakan program pengolah kata MS-Word for Windows, menggunakan
huruf “Arial” 10 font, rata kiri, tanpa pemenggalan kata (hard-hyphenation), dan panjang tulisan 5.000-
5.500 kata.
2. Judul artikel ditulis secara spesifik dan efektif, tidak lebih dari 11 kata.
3. Artikel dilengkapi dengan abstrak dalam bahasa Inggris dan Indonesia (dua bahasa), masing-masing
berisi 100 s.d 150 kata, disertai 3 s.d 5 kata kunci
4. Artikel ditulis dalam bentuk essay, sehingga tidak ada format numeric (atau abjad) yang memisahkan
antarbab/bagian, ataupun untuk menandai bab/bagian baru; Kesimpulan tidak dirinci dalam poin-poin,
tetapi berupa paragraph. Setiap kutipan harus menyebutkan sumber pustaka yang termutakhir secara
lengkap dan ditulis dengan sistem running note, misalnya:

Jurnal:
Zamzami, Lucky. (2011). Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Jurnal MIMBAR: Sosial dan Pembangunan. Vol. 8,
No.3, pp. 209–223.
Buku:
Effendi, Nursyirwan, (eds) (2007). ‘Pembangunan Sosial dan Pembangunan’, Edisi 1, Laboratorium Antropologi
Bagian dari buku:
Manan, B. (2010). Managing Innovation in the Information Age, in: Soelaiman, T.M. (Ed.) Seeing Differently: Insight
on Innovation, Harvard Business Review Book, pp.193-202.

Conference paper (proceedings):


Dahlan, M.D. dan Tirtosudiro, A. (2010). Quality System Based on ISO 9000 Combined with QFD Proceedings:
World Innovation & Strategy Conference 1998 incorporating 4th International Symposium on Quality Function
Deployment, 2-5 August, Sydney Australia, pp.1-8.

Internet (bila ada) disusun dengan menyebutkan nama, judul artikel dan alamat situs web dalam kurung siku serta
waktu mengakses. Contoh: R. Ceha (2010). Fenomena Anak Jalanan. (http://www.mailarchive.com/kimia
ui.html+anak+jalanan&hl) diunduh pada 1 Januari 2014.

Penulis yang ingin memasukkan naskah harus memperhatikan poin-poin di bawah ini. Jika naskah tidak sesuai
dengan persyaratan yang telah dicantumkan, ada kemungkinan naskah tersebut akan dikembalikan.

1. Dengan ini penulis menyatakan, bahwa naskah ini adalah hasil karya penulis sendiri.
2. Dengan ini penulis menyatakan, bahwa naskah ini belum pernah diterbitkan atau dalam proses
penerbitan pada media apapun.
3. Dengan ini penulis menyatakan, bahwa naskah ini dibuat tanpa ada unsur plagiasi sedikitpun.
4. Dengan ini penulis menyatakan, panjang naskah yang diberikan adalah antara 10 sampai 15 halaman A4
(210 x 297 mm) termasuk di dalamnya gambar dan tabel.
5. Dengan ini penulis menyatakan, format dan aturan penulisan dalam naskah ini telah sesuai dengan
format yang telah ditentukan dan telah menggunakan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD)
6. Penulis menyatakan, bersedia bertanggung jawab penuh terhadap isi naskah yang telah di submit
maupun yang diterbitkan jika dikemudian hari ada pihak-pihak yang mempermasalahkan-nya.
7. Dengan ini penulis menyatakan, referensi yang digunakan minimum 10 sumber referensi, dengan > 70%
adalah berasal dari 10 tahun terakhir.

Jurnal Antropologi:Isu-Isu Sosial Budaya telah mendapatkan akreditasi nasional peringkat 2 Ristek Dikti,
dengan nomor SK: 34/E/KPT/2018 Tanggal 10 Desember 2018
Percetakan:
CV. Gemudi Group
Jalan Perak Kota Padang

Anda mungkin juga menyukai