Anda di halaman 1dari 5

OLIGARKI RAMPAS RUANG HIDUP PEREMPUAN & ANAK

Alih Fungsi Lahan


Lahan pertanian di Kalimantan Selatan (Kalsel) seluas 6.000 hektare beralih fungsi, menjadi
pemukiman atau kawasan usaha. Hal yang terungkap dalam rapat Bappeda Kalsel. Apabila 6000
Ha hilang, maka untuk padi akan ada potensi kehilangan hasil sebesar 25.200 ton, bahkan lebih
karena rata-rata sawah di Kalsel bisa menghasilkan 4,2 ton sampai 4,6 ton per Ha. Padahal, Kalsel
telah dicanangkan sebagai salah satu pemasok utama pangan IKN—sebuah realitas yang
bertentangan dengan peraturan yang ada.

Seperti halnya di Banjarbaru, yang beberapa waktu lalu telah melakukan revisi terhadap Rancangan
Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk tahun 2022-2042. Sebagai upaya agar tetap bisa
mempertahankan lahan pertanian dan produktivitasnya, Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan
Perikanan (DKP3) Banjarbaru telah memiliki Perda LP2B. Dalam Perda itu DKP3 Banjarbaru
mengatur tata letak kawasan, yang boleh digunakan sebagai lahan pertanian. Misalnya, untuk lahan
peternakan, hanya boleh di wilayah Kecamatan Cempaka. Lokasi itu dipilih karena luas lahan yang
memungkinkan untuk usaha skala besar.

Alih fungsi lahan terutama dari sektor pertanian ke non pertanian menjadi ancaman serius
terhadap produksi pangan nasional, khususnya padi. Paling tidak dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir ini. Ancaman ini juga berlaku terhadap produksi pangan di daerah Kalsel, khususnya padi.
Bila alih fungsi lahan tidak dihambat, atau tidak ada solusi antisipasinya, maka tekanan terhadap
peningkatan produksi padi semakin kuat. Hal itu diungkap Dosen Pertanian di Universitas
Lambung Mangkurat, Muhammad Fauzi. Mirisnya lagi, alih fungsi lahan pertanian lebih banyak
digunakan menjadi area pemukiman, perkebunan sawit, dan pertambangan.

Alih Fungsi Lahan Picu Konflik Lahan


Koalisi Masyarakat Kalimantan Selatan (Kalsel) menyambangi kantor Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU). Mereka mengadukan lima hal perbuatan mafia di sana. Lima hal itu yakni konflik
agraria, korban jiwa dalam illegal mining, mandeknya laporan dugaan korupsi di kawasan hutan,
penyerobotan lahan warga oleh perusahaan, dan kasus suap pajak.

Menurut keterangan warga Desa Mekarpura Kotabaru, salah satu perusahaan menawar harga yang
sangat rendah atas 1 pohon sawit, dengan nilai Rp 35.000 untuk biaya pembibitan. Nilai demikian
sangat tidak wajar mengingat standar harga 1 pohon mencapai nilai Rp 2 juta. Tidak setujunya
warga dibalas perusahaan dengan penggusuran lahan, dan teror dari oknum aparat penegak hukum
serta preman. Sebagai catatan, tanah adalah aset sekaligus sumber nafkah warga Mekarpura dan
warga desa lain di Kotabaru. Apabila itu direbut secara zalim, akan timbul kemiskinan struktural
secara turun-temurun.

Tidak adanya kejelasan penyelesaian berbagai kasus pertanahan, telah menyebabkan beberapa
daerah di Hulu Sungai antara lain Hulu Sungai Selatan, Tabalong, dan beberapa daerah lainnya
kini sering terjadi konflik.

Seperti yang terjadi pada akhir Januari 2012, aksi demonstrasi sering dilakukan oleh masyarakat
adat Dayak Meratus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Pada saat itu, masyarakat
memblokade dan menutup jalan operasional perusahaan pertambangan nasional, PT Adaro
Indonesia, dengan tuntutan agar perusahaan segera menyelesaikan ganti rugi lahan sebesar Rp55
Miliar. Warga adat Maratus mengklaim, bahwa sebagian lahan yang kini dikelola oleh perusahaan
terbesar di Kalsel tersebut adalah lahan mereka yang merupakan warisan adat secara turun
temurun. Sementara, pihak perusahaan berkeyakinan, berdasarkan pencitraan satelit, lahan
tersebut merupakan lahan yang telah diberikan izin oleh pemerintah pusat untuk digarap atau
ditambang.

Kasus lain antara perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Subur Agro Makmur (SAM) dengan
warga Kecamatan Daha, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Saat itu, warga menolak pemanfaatan
lahan rawa sebagai perkebunan sawit sebagaimana yang dicanangkan pemerintah daerah setempat.
Pemerintah HSS ingin memanfaatkan lahan rawa yang selama ini dinilai sebagai lahan tidur sebagai
lahan produktif dengan ‘menyulap’ ratusan hektare hamparan rawa tersebut sebagai perkebunan
sawit. Karena perusahaan telah mengantongi izin pemerintah, maka penolakan warga tidak
dihiraukan, dan perusahaan pemenang tender tetap melaksanakan proyek perkebunan sawit itu.

Api Dalam Sekam


Konflik agraria ini layaknya api dalam sekam. Kapan pun bisa menyeruak ke permukaan, bahkan
menyulut konflik yang lebih besar. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama dua
periode pemerintahan Jokowi (2015—2022) saja, ada 69 korban tewas di wilayah konflik agraria.
Sementara itu, Komnas HAM menyebut, jumlah laporan yang masuk ke Komnas HAM pada
periode tersebut mencapai 692 kasus atau setara dengan empat kasus per hari.

Tentu penting diingat bahwa di luar angka tersebut, kasus-kasus lama masih banyak yang belum
tuntas terselesaikan. Sementara itu, kasus-kasus baru pun terus bermunculan. Semua ini
menunjukkan, ada problem besar dan sistemis di balik munculnya kasus-kasus konflik lahan.
Bukan semata ada janji kepada warga yang dilanggar perusahaan, tetapi akar problemnya terkait
penerapan sistem hidup rusak yang memproduksi banyak persoalan, sekaligus mereduksi fungsi
hakiki kepemimpinan. Tidak bisa dimungkiri bahwa sistem yang berlaku hari ini adalah sistem
kapitalisme neoliberal. Sistem ini lahir dari rahim sekularisme yang mengakomodir kerakusan para
pemilik modal. Wajar jika dari sistem ini muncul berbagai kezaliman yang legal melalui legitimasi
kekuasaan.

Negara Salah Peran


Mirisnya, negara dan penguasanya, justru berposisi sebagai kacung bagi para pemilik modal.
Bahkan pada banyak kasus, pengusaha berperan ganda sebagai penguasa. Alhasil
kebijakan-kebijakan negara maupun perangkat-perangkat kekuasaan, termasuk aparat keamanan,
lumrah mewakili kepentingan mereka. Bahkan yang lebih parah, negara justru turut melegitimasi
semua kerakusan mereka, sebagaimana tercermin dalam UU Cipta Kerja. Itulah kenapa, ketika
terjadi kasus-kasus konflik lahan, pihak pemerintah cenderung ada di posisi berseberangan dengan
rakyatnya. Tidak jarang pendekatan represif dilakukan hanya demi menyenangkan para pemilik
modal.

Solusi untuk Konflik Agraria


Dalam situasi seperti ini, negara selayaknya segera menyelesaikan konflik agraria secara adil, dan
tidak memihak korporasi yang menjadi lawan petani dalam kasus sengketa/konflik agraria. Dalam
hal ini, Islam telah memberikan solusinya.

Negara dan aparat pemerintahan wajib berpihak pada syariat Islam, dan tidak mengambil untung
dari proses melayani rakyat. Untuk menyelesaikan kasus ini, negara bisa menanyakan kepada
masyarakat setempat, dan juga kepada korporasi terkait tentang luas lahan yang mampu mereka
garap, lalu memberikannya pada mereka. Negara akan mencegah salah satu pihak menzalimi pihak
lain. Negara akan menindak apabila terjadi pelanggaran hukum berupa kekerasan.

Pada lahan yang tidak (mampu) dikelola/digarap kedua belah pihak, negara bisa menyerahkannya
kepada pihak lain karena termasuk tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya
dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkan tanah
mati (ihya al-mawat) adalah mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya.
Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun yang
bisa menjadikan tanah tersebut hidup.

Ini berlaku secara umum dan mencakup semua bentuk tanah-tanah di Negara Islam ataupun tanah
Negara Kufur, baik tanah tersebut berstatus usyriyah (dikuasai negara Islam tanpa melalui
peperangan) ataupun kharajiyah (ditaklukkan Negara Islam melalui peperangan). Namun,
kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah
tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara digarap atau dimanfaatkan. Apabila
tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka, atau setelah
dibuka, malah dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak kepemilikan orang yang
bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.

Abu Yusuf dalam Al-Kharaj menuturkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab. Disebutkan bahwa
Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkata, “Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan
begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”

Di dalam Sunan Al-Bayhaqi, dari penuturan Amr bin Syu’aib, juga terdapat riwayat bahwa Umar
telah menjadikan masa pemagaran (penguasaan tanah) oleh seseorang adalah selama tiga tahun.
Jika tanah itu dibiarkan hingga habis masa tiga tahun, lalu tanah itu dihidupkan oleh orang lain,
orang yang terakhir ini lebih berhak atas tanah tersebut. Umar ra. menyatakan sekaligus
melaksanakan tindakan semacam itu dengan disaksikan dan didengar oleh para sahabat. Mereka
tidak mengingkarinya. Dengan demikian ketetapan ini menjadi ijma sahabat.

Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi—termasuk tanah—hakikatnya adalah
milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt., “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi
dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur: 42)

Allah Swt. juga berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan
mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid: 2)

Adapun tentang kepemilikan tanah dalam syariat Islam adalah hak yang ditetapkan oleh Allah Swt.
bagi manusia untuk memanfaatkan tanah. Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah dapat dimiliki
dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4)
ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha’
(pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hlm. 51).

Seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alat benih, hewan, dan para pekerjanya.
Ia juga boleh mempekerjakan para pekerja yang ia sewa untuk menanaminya. Jika ia tidak mampu
untuk mengusahakannya, ia akan dibantu negara dengan dana dari kas negara (Baitulmal). Akan
tetapi, jika tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, tanah tersebut akan diberikan kepada
orang lain untuk ia garap sebagai pemberian cuma-cuma dari negara tanpa kompensasi apa pun.

Apabila pemiliknya tidak menggarapnya dan tetap menguasainya, ia dibiarkan selama tiga tahun.
Apabila setelah tiga tahun tersebut tanah tersebut tetap dibiarkan atau ditelantarkan, negara akan
mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan memberikannya kepada yang lain.
Yunus menuturkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu Bakar yang
berkata, “Bilal bin al-Harits al-Muzni pernah datang kepada Rasulullah saw. lalu ia meminta
sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran luas
kepadanya. Ketika pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Umar, beliau berkata kepadanya, ‘Bilal,
Engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw., lalu beliau
memberikannya kepadamu. Rasulullah saw. tidak pernah menolak sama sekali untuk diminta,
sementara Engkau tidak mampu menggarap tanah yang ada di tanganmu.’ Bilal menjawab, ‘Benar.’
Khalifah Umar berkata, ‘Karena itu, lihatlah mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap
lalu milikilah. Mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami dan kami akan
membagikannya kepada kaum muslim.’ Bilal berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan
apa yang telah Rasulullah berikan kepadaku.’ Khalifah Umar kembali berkata, ‘Demi Allah, kalau
begitu Engkau harus benar-benar menggarapnya.’ Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak
mampu ia garap dari Bilal lalu membagikannya kepada kaum muslim.” (HR Yahya bin Adam
dalam Al-Kharaj). Wallahu a’lam bishawab.[]

Anda mungkin juga menyukai