Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH

Disusun oleh :
Faris Adianto (200513967)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

TINDAKAN HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH WARGA


TELUKJAMBE ATAS ADANYA SERTIFIKAT HAK GUNA BANGUNAN YANG
DIKELUARKAN OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA TANGERANG

A. Latar Belakang

Hukum sangat memegang peranan penting dimana setiap manusia dilahirkan dengan
memiliki hak dan kewajiban. Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam seringkali
terjadi di Indonesia. Banyaknya kepentingan masyarakat tetapi terbatas atau kurangnya
sumber daya alam banyak menjadi konflik dalam negara Indonesia, pada setiap individua tau
kelompok merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai permasalahan dalam
pengelolaan sumber daya alam. Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam kerap
kali terjadi, salah satunya adalah konflik lahan yang biasanya berbentuk dalam bentuk
sengketa, dimana terjadi perebutan kekuasaan dan perebutan hak milik atas lahan antara
individu dengan individu ataupun kelompok dengan kelompok lainnya.
Masyarakat Indonesia yang berada di wilayah pedesaan masih banyak yang
mengalami berbagai permasalahan perekonomian maupun permasalahan sosial. Masih
banyak warga-warga kecil yang memiliki hak untuk menikmati kekayaan sumber daya alam,
tetapi karena kurangnya kewenangan, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara
Indonesia hanya dinikmati oleh sekolompok orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan.
Struktur penguasaan yang timpang seringkali ditemukan di Indonesia.

Di satu sisi terdapat individua tau kelompok yang menguasai lahan secara berlebihan,
tetapi di sisi lain terdapat individua tau kelompok yang merasa dirugikan karena kekuasaan
tersebut. setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia banyak permasalahan hukum
yang harus dibenahi, khususnya hukum di bidang pertanahan yang secara structural masih
memberlakukan hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi, sehingga akhirnya
pemerintah mewujudkan cita-citanya untuk merombak seluruh sistem dan filosofi hukum
keagrariaan di Indonesia dengan memberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria sejak
tanggal 24 September 1960. Untuk memahami permasalahan yang memiliki kaitan dengan
sengketa tanah, maka terdapat dua subjek hukum yaitu perseorangan dan badan hukum,
dimana kedua subjek hukum tersebut di kendalikan oleh kekuasaan negara. Negara memiliki
peranan yang besar dalam mengatur penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan
alam yang ada pada wilayahnya, sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945)
yang menjelaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pada dasarnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 pada pokoknya
merupakan manifesto dari tujuan Undang-Undang Pokok Agraria yang mana memiliki tiga
tujuan dasar yaitu:

1. Meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan


merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
Negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
Hukum Pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian Hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Jika melihat masyarakat Indonesia secara menyeluruh masyarakat Indonesia tidak
terlepas dari hukum adat yang berlaku pada wilayahnya. Karena itu sebagian besar
masyarakat Indonesia tunduk pada hukum adat, maka pembentukan hukum agraria Nasional
didasarkan pada hukum adat yang dijadikan adat adalah asas atau konsepsi-konsepsi, lembaa-
lembaga dan sistem hukumnya. Selanjutnya terdapat dinamika dalam kehidupan masyarakat
dimana masyarakat menduduki tanah di suatu Kawasan, acap kali tanah tersebut digunakan
turun menurun dan bertahun-tahun lamanya tanpa disertai dengan kepemilikan tanah. Tidak
hanya digunakan untuk tempat tinggal saja namun tanag tersebut dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan memaksimalkan potensi alam yang ada di
wilayahnya.

Salah satunya terdapat konflik pemakaian tanah di Desa Wanajaya, kecamatan


Telukjambe Barat, kabupaten karawang. Konflik kepemilikan tanah tersebut antara
masyarakat adat yang menduduki dan mengelola tanah tersebut puluhan tahun dengan PT
Pertiwi Lestari sebagai pemegang sertifikat Hak Guna Usaha (selanjutnya disebut HGU) dan
sertifikat Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB), sengketa lahan dipicu sejak tahun
2013 silam, saat PT Pertiwi Lestasi (selanjutnya disebut PT PL) yang merupakan sebuah
perusahaan pengembang industri, tiba-tiba memagari lahan yang terlebih dahulu digarap
warga dengan pagar beton di area seluas 791 hektar. Semula sebelum perusahaan masuk di
lahan tersebut telah menjadi ladang garap, berikut ratusan rumah petani.

Melihat riwayat lahan di wilayah Telukjambe bermula pada pengurusan sertifikat


HGU oleh PT Tanjung Krisik Makmur (selanjutnya disebut PT TKM) pada 1974. Perusahaan
ini mengajukan HGU atas lahan seluas 1.000 hektar di wilayah perkebunan Tegal
Waru.Bupati Karawang Dadang S. Muchtar kala itu menyetujui izin HGU bagi PT TKM.
Namun, dengan syarat 315 hektar lahan harus diserahkan kepada 211 anggota legium Veteran
Republik Indonesia (LVRI). Pada tahap awal, hanya 90 orang veteran yang mengurus
perizinan. Lahan yang dilepas PT TKM kala itu sekitar 158 hektar. Pada 1994, LVRI
Telukjambe kembali mengajukan pelepasan HGU seluas 70 hektar untuk 61 anggotanya.
Lalu, sisa lahan HGU 791 hektar itulah yang dibeli PT PL pada 1995.

Meletupnya konflik, lantaran lahan yang sudah puluhan tahun “tidur” tersebut sudah
menjadi garapan wraga yang akan diambil paksa. Hal tersebut diungkap oleh Sekretaris
Serikat Tani Telukjambe Bersatu (STTB) Mad Hardi. Kata Hardi, PT Pertiwi Lestari
menyebut pihaknya sudah memiliki sertifikat HGB di lahan tersebut. Lahan mencakup dua
desa, yaitu Margakarya dan Wanajaya. Atas dasar kepimilikan HGU dan HGB PT PL
melakukan tindakan represif yang dengan sengaja bermaksud untuk mengusir warga dari
daerah yang sudah mereka kuasai puluhan tahun tersebut. PT PL tersebut mengklaim bahwa
lahan yang saat ini menjadi tempat tinggal dan sumber nafkah masyarakat adalah milik
perusahaan tersebut atas dasar kepemilikan HGB yang diterbitkan oleh kantor pertanahan
karawang tahun 199S, nomor 5/Margamulya, sertifikat HGB nomor 30/Wanajaya, dan
sertifikat hak guna bangunan nomor 11/Wanajaya. Atas dasar ini timbul rasa senasib yang
berkembang di kalangan masyarakat lokal dan memicu ikatan solidaritas sosial yang kuat
untuk berjuang masyarakat lokal dan memicu ikatan solidaritas sosial yang kuat untuk
berjuang dalam memperthankan hak keadilan sosial atas sumber agraria yang dikuasainya.

Sejak diturunkannya surat perizinan hak gun bangunan seluas 791 hektar yang terdiri
atas tiga desa, Desa Wanajaya, Desa Margakaya dan Desa Margamulya, kecamatan
Telukjambe Barat, pihak PT PL beberapa kali menghimbau warga untuk mengosongkan
lahan serta tidak menggarap dari lahan yang diklaimnya, namun warga tidak menuruti
keinginan PT PL dan tetap bertahan di lahan sengketa tersebut. Warga sudah sekitar sejak
tahun 1960 tinggal di daerah karawang Telukjambe tersebut, kepemilikan warga terhadap
tanah-tanah tersebut tidak ada, tetapi ada dasar-dasar warga memiliki hak atas tanah yang
ditempati tau dihuni tersebut, karena warga sejak tahun 1960an sudah mengelola tanah
tersebut, secara de facto mungkin warga merasa sudah menguasai tanah tersebut dan tiba-tiba
ada penulisan bahwa "dilarang masuk menggarap tanpa izin" oleh PT PL.

Sementara petani sudah ada dan menggarap lahan itu sejak 1962. Saat ini ada 800
petani yang nasibnya terkatung-katung akibat permasalahan ini. Dampak yang diterima tidak
hanya bagi petani, tapi bagi keluarga dan anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena lahan
digusur oleh pihak PT PL, sementara sumber mata pencaharian petani-petani tersebut hilang,
dimana orang tua mereka memperoleh pendapatan dari lahan tersebut dengan bekerja sebagai
petani. Warga karawang tidak mendapatkan kepastian hukum dan tidak mendapatkan
perlakuan yang sama, karena PT PL sama sekali tidak memberikan informasi apapun terkait
klaim tanah yang dilakukan secam sepihak tampa persetujuan warga karawang, itulah sebab
warga karawang protes dan minta keadilan dan kepastian hukum. Maka. perlu ada
penyelesaian untuk kepastian hukum yang bertujuan untuk mengetahui hak atas kepemilikan
tanah karawang bagi warga didalam konflik perebutan sengketa tanah antara PT PL dengan
masyarakat karawang, Telukjambe Barat.
Hal-hal tersebut dimaksudkan untuk menuntut kepada kita dalam mengkaji lebih jauh
bagaimana sebenarnya dasar-dasar pemikiran yang melandasi ketentuan dimaksud dan
bagaimana pandangan-pandangan tentang hal yang dimaksud secara dimensi ilmiah. Hal
yang demikian sangat perlu untuk dilakukan untuk menghindari agar tidak menimbulkan
masalah-masalah yang tidak dinginkan. Berdasarkan uraian diatas maka diperlukan adanya
penulisan yang membahas kasus sengketa lahan PT Pertiwi Lestari dan masyarakat
Telukjambe Barat ini berdasarkan ketentuan himpunan peraturan-peraturan hukum tanah dan
berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan di
analisis adalah: “tindakan hukum apakah yang dapat dilakukan oleh warga telukjambe
terhadap ha katas tanah yang dikuasai oleh PT Pertiwi Lestari?

C. PEMBAHASAN
Objek pembahasan dalam penulisan ini adalah adanya ketidakadilan terhadap hak-
hak masyarakat adat dalam penguasaan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah daerah
karawang dan BPN Karawang, ketidakadilan tersebut diketahui telah dilakukan dalam waktu
yang cukup lama, yang mengakibatkan hak-hak masyarakat sebagai warga negara terenggut
oleh kepentingan industri. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang PA menyebutkan bahwa
seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut memberikan makna bhawa
seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia dan bersifat abadi, yaitu
seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Selanjutnya bagian-bagian dari tanah hak
bersama tersebut dapat diberikan kepada orang dan badan hukum tertentu. Memang benar
bahwa berdasarkan cita-cita pada pembentukan Undang-Undang PA menjelaskan bahwa
untuk mencapai terciptanya ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dijelaskan dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf a sampai dengan c Undang-Undang PA, bahwa negara selaku
pemegang kekuasaan terhadap penyelenggaraan organisasi pemerintahan memiliki beberapa
kewenangan, diantaranya mengatur dan menyelenggarakan peruntukan serta penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
Secara definitive, pengertian tanah dalam Pasal 4 Undang-Undang PA menjelaskan
bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam ha katas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan hukum. Pembahasan persoalan penguasaan tanah terdapat 3 subjek hukum yang
dapat memiliki dan menguasai tanah dimana terdapat perorangan, masyarakat adat dan
badan-badan hukum. Bahwasannya alam menguasai tanah setiap subjek hukum harus tunduk
pada ketentuan peraturan perundang-undangan, dan tidak bisa melakukan penguasaan tanah
atas kehendaknya sendiri, karena pada dasarnya setiap subjek hukum dalam UUPA
dilindungi dan diakui dalam undang-undang tersebut serta peraturan perundang-undangan
lainnya. Penguasaan tanah UUPA telah mengatur secara tersirat tata cara penguasaan tanah
yang dibagi kepada orang maupun badan hukum, dimana setiap orang dapat memiliki dan
mengajukan hak atas tanah dengan mengajukan permohonan penguasaan tanah, adapun hak
yang diberikan kepada orang baik laki-laki maupun perempuan sebagai subjek hukum adalah
memiliki hak milik.
Sebagaimana Pasal 26 ayat (1) UUPA hak milik dapat dia patan dengan cara jual
beli, penukaran, penghibahan, pem berian dengan wasiat, pem berian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milk serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa UUPA telah mengatur perihal
penguasaan tanah oleh badan hukum, bahwa badan hukum dapat memiliki HGU, HGB, Hak
Sewa terhadap bangunan, dan Hak Pakai sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 28
sampai Pasal 45. Hal tersebut memiliki arti bahwa negara memberikan fasilitas sebesar-
besarnya kepada badan hukum untuk memanfaatkan dan menggunakan tanah yang ada
diseluruh wilayah Indonesia, namun harus melalui proses permohonan pengajuan izin yang
benar kepada pemerintah ataupun badan- badan pengelola tanah. Berbicara pemberian
penguasaan tanah kepada masyarakat adat, diatur dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA dijelaskan
bahwa hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah.
Persoalan ini terdapat konflik penguasaan tanah di Desa Wanajaya, Kecamatan
Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Sengketa lahan antara masyarakat Desa Wanajaya
dipicu sejak tahun 2013 silam. Konflik kepemilikan tanah tersebut antara masyarakat adat
Wanajaya yang telah menduduki dan mengelola tanah tersebut untuk lahan pertanian dan
perkebunanan masyarakat sejak tahun 1962, jauh sebelum PT PL masuk dan menguasai
seluruh tanah pada tahun 2016 yang ditandai dengan dikeluarkannya HGB dan HG oleh BPN.
Lahan tersebut telah menjadi ladang garap berikut ratusan rumah petani, masalah terjadi
ketika Badan Pertanahan Nasional memberikan PT PL sertifikat HGU dan sertifikat HGB
seluas 791 hektar kepada sebuah perusahaan pengembang industri, yang kemudian PT PL
tiba-tiba memagari lahan yang dikuasai masyarakat untuk bertani dan berkebun ditahun 2017.
Bahwa masyarakat Telukjambe keberatan dan menolak adanya pembangunan yang
dilakukan oleh PT PL, meskipun telah mengantongi izin berupa adanya sertifikat HGU dan
HGB yang dikeluatkan oleh Pemerintah Daerah melalui BPN. Masyarakat Telukjambe
memiliki landasan yang kuat terkait penolakan tersebut, pasalnya daerah Telukjambe Bart
merupakan lahan pertanian dan perkebunan hal tersebut selaras dengan julukan Kabupaten
Karawang sebagai lumbung padi nasional. Persoalan tersebut membuat warga melakukan
penolakan besar-besaran. Pasalnya pemberian izin berupa HGU dan HGB kepada PT PL
untuk membangun perusahaan yang memiliki tujuan industri tidak sesuai dengan peruntukan
wilayah Telukjambe Barat, bahwa jika melihat ketentuan Perda Nomor Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karawang Tahun 2011-2031 (selanjutnya disebut
Perda No.2/2013 tentang RT/RW Kabupaten Karawang) membagi zona penataan ruang
dalam memanfaatkan rung yang ada, menjadi 17 zona seperti daerah industri, daerah
pemukiman, resapon hingga perhutanan. Jika merujuk pada ketentuan Perda No.2/2013
tentang RT/RW Kabupaten Karawang Pasal 27 maka wilayah Kecamatan Telukjambe
merupakan kawasan lindung dimana kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang
memilikisifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun
bawahannya seba gai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta memelihara
kesuburan tanah. Hal senada tertuang dalam Pasal 29 ayat (3) dimana daerah Telukiambe
merupakan daerah resapan air, Kawasan resapan air adalah ka wasan yang mempunyai
kemampun tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat pengisian air
bumi (akuifer) yang berguna sebagai sumber air. Bahwa pem berian HGB dan HGU tersebut
tidak mempertimbangkan hal-hal yang dapat mengganggu dan merusak lingkungan hidup,
pengubahan alih fungsi lahan yang berlebih berdampak pada berubahnya ekosistem alam
yang ada di daera tersebut terlebih daerah tersebut merupakan daerah hutan dan kawasan
lindung. Pasalnya menurut Pasal 36 ayat (2) dijelaskan bahwa Telukjambe Barat merupakan
kawasan hutan produksi dimana hutan produksi adalah Kawasan hutan yang mempunyai
fungi pokok mem produksi hasil hutan hal ini selaras dengan Pasal 37 avat (4) dimana
Telukjambe Barat merupakan kawasan holtikultura. Kawasan hortikultura adalah hamparan
sebaran usaha hortikultura yang disatukan oleh faktor pengikat tertentu, baik faktor alamiah,
sosial budaya maupun faktor infrastruktur fisik buatan. Melihat birokrasi pendaftaran tanah
diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional seba gai badan yang mem punyai
kewenangan untuk melakukan administrasi pertanahan, jika melihat ketentuan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah dijelaskan bahwa pada prinsipnya untuk mendapatkan
hak guna usaha maka suatu badan hukum harus mengajukan permohonan GU kepada Kantor
Pertanahan atas tanah milik negara, dengan luas tanah maksimal 5 hektar dan tanah yang
diajukan untuk mendapatkan HGU usaha harus sesuai dengan peruntukannya, dalam hal
tanah yang akan diberikan dengan HGU itu adalah tanah negara yang merupakan kawasan
hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan
dari statusnya sebagai kawasan hutan.
Melihat penjebaran Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Karawang Tahun 2011-2031 dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak
Pakai Atas Tanah banyak terlihat adanya kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dan pejabat yang berwenang dalam admnistrasi pertanahan, hal ini dapat dilihat dari
ketidaksesuaian pendirian PT PL sebagai perusahaan 30°C Berawan yang bergerak dibidang
industri dan diberikan HGB dan HGU oleh pemerintah. Tanah yang diduduki oleh PT PL
merupakan daerah hijau, yang memiliki peruntukan sebagai wilayah perhutanan, resapan air,
holtikultura dan resapan air.
Atas penerbitan izin tersebut negara melalui pemerintah tidak selamas dengan
UUPA Pasal 2 ayat (2) huruf (a) bahwa negara selaku pemegang kekuasaan terhadap
penyelenggaraan organisasi pemerintahan memiliki beberapa wewenang. Suatu tinda kan
pemerintah memiliki batasan-batasan dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan harus berpedoman asas umum pemerintahan yang baik. Atas keadaan tertentu dalam
menjalankan tugs dan kewenangannya seorang pejabat serin g kali terlalu melampaui
kewenangannya, hal tersebut mengakibatkan adanya maladministrasi. oleh sebab itu harus
mengikuti asas-asas umum pemerintahan yang baik. hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal
10 ayat (1) Undang-undang No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang baik,
namun penulis mengambil beberapa asas yang ditentang oleh pemerintah daerah karawang
yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Ketidakberpihakan
Asas ketidak berpiha kan yang dimaksud adalah asas yang mewajibkan Badan dan/tau
Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/tau memberikan Keputusan dan/atau
Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak tidak hanya satu pihak
saja, karena pejabat pemerintah memiliki kewenangan bebas dan sering kali dalam
membuat keputusan maupun tindakan dapat merugikan. Namun dalam kasus ini
pemerintah daerah karawang beserta badan perta nahan nasional terlihat lebih
mengutamakan pihak PT PL sebagai pemohon izin dan menghiraukan masyarakat desa
Telukjambe yang telah menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut sebagai tulang
punggung kehidupan mereka.
b. Kecermatan
Asas kecermatan yang dimaksud adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu
Keputusan dan/tau Tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang
lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan Keputusan
dan/atau Tindakan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan
dan/atau dilakukan, dalam kasus sengeketa lahan antara PT PL dengan masyarakat
desa Telukjambe BPN seakan tidak cermat dimana PT PL mendapatkan HGU tidak
sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna
Usaha itu adalah tanah negara yang merupakan Kawasan hutan, maka pem berian Hak
Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari
statusnya sebagai kawasan hutan.
c. Kepentingan umum
Asas kepentingan umum yang dimaksud adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan dan kemanfaatan umum dan sepenuhnya demi kepentingan masyarakat
dan mengedepankan kepentingan bersama baik pihak yang berkepentingan dan pihak-
pihak lain yang akan merasakan dampaknya. Hal ini sangat kontradiktif dengan sikap
pemerintah yang tidak melihat kepentingan umum, dimana daerah karawang
merupakan daerah pertanian dan merupakan lumbung padi nasional. Pengalih fungsian
lahan hijau menjadi daerah industri jelas akan berakibat buruk dan panjang pada
kebutuhan pangan baik berupa beras maupun buah-buahan hasil lahan pertanian
setempat.

Semangat pembangunan yang berbanding terbalik dengan kesejahteran umum berbuah


panjang pada dilanggarnya aturan-aturan yang telah dibuat, jika melihat ketentuan Pasal 63
Perda No.2/2013 tentang RT/RW Kabupaten Karawang dijelaskan bahwa setiap orang
dan/atau badan hukum yang melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap
pemanfaatan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini akan dikenakan sanksi
administrative dan pembatalan kebijakan daerah serta sanksi pidana dan perdata. Pemerintah
kabupaten karawang sendiri sebagai pembuat perda tersebutjustru menentang, meskipun
pemerintah mempunyai hak bebas untuk membuat keputusan terhadap perizinan namun harus
sesuai kaidah-kaidah yang berlaku.

Ketidakmampun pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara


organisasi pemerintahan berimbas pada sengsaranya masyarakat, terlebih masyarakat
Telukjambe Barat yang terkena imbas langsung atas di keluarkannya izin tersebut. Hal
pembuatan keputusan terhadap badan hukum yang mempunyai kepentingan atas
pembangunan pemerintah tidak bisa serta merta mengabulkan permohonan penguasaan tanah,
karena terdapat pihak lain yang harus didengarkan kepentingannya yaitu masyarakat
setempat. Terdapat mekanisme sosialisai maupun dengar pendapat yang diatur dalam
ketentuan Pasal 46 ayat (1) dimana Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memberikan
sosialisasi kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai dasar hukum, persyaratan, dokumen,
dan fakta yang terkait sebelum menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan yang dapat menimbulkan pembebanan bagi Warga Masyarakat.

Bahwa dalam diterbitkannya TUN dan seseorang merasa dirugikan atas dikeluarkannya
KTUN tersebut maka dapat mengajukan upaya hukum yaitu pengajuan gugatan pada
pengadilan tata usaha negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (I) UU Peratun bahwa
"Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang
berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tapa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi." Ketidakpedulian akan nasib masyarakat adat mengakibatkan carut-marut
penerbitantan izin yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat setempat, hal tersebut
terjadi ketika dalam proses pemetaan dan pengecekan lapangan, pihak yang berwenang sering
tidak memperhatikan sosiologi masyarakat sekitar dan mengenai pembuatan keputusan
berkaitan izin penguasaan tanah maka dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara
sistematik, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh
Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Panitia Ajudikasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu
oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan satuan tugas pengumpul data yuridis. Apabila
data-data lapangan telah terkumpul dan pemohon telah melengkapi persyaratan penguasaan
tanah, pemerintah melalui BPN mengeluarkan keputusan terkait pemberian izin penguasaan
tanah, bahwasannya dalam melakasanakan tugs pengecekan lapangan seorang panitia
ajudikasi harus teliti dan benar-benar turun untuk memastikan apakah suatu tanah memang
layak untuk diberi kan izin.

Akibat terbitnya keputusan pem berian izin HGU dan HGB kepada PT PL masyarakat
Telukjambe Barat kehilangan hak-hak mereka atas tanah adat yang telah mereka gunakan
untuk bertani dan berkebun serta untuk mempertahankan hidupnya sejak tahun 1962. Bahwa
masyarakat tidak hanya kehilangan haknya untuk memanfaatkan tanah ulayat yang ada pada
daerah mereka untuk bertani dan berkebun, mereka juga kehilangan hak ekonomi dan hak
sosial atas pemantaatan tanah tersebut serta beralihnya fungi lahan di Telukjambe Barat yang
semula lahan hijau menjadi daerah industri akiba tdiberikannya HGU dan HGB oleh BPN.
Atas adanya penerbitan HGB dan HGU oleh BPN. maka masyarakat Telukjambe Barat dapat
menempuh upaya hukum untuk mem perjuangkan hak-haknya demi keadilan. Gugatan
KTUN tersebut diarahkan kepada bupati karawang dan BPN Karawang sebagai tergugat,
masyarakat desa Telukjambe melalui kuasa hukum dapat mengajukan gugatan berisikan
pembatalan dan pencabutan terhadap KTUN. sebagaimana diatur dalam Pasal 64 dan 66
Undang-Undang No.30 Tentang Administrasi Pemerintahan.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Bahwa tindakan pemerintah kabupaten karawang dalam melakukan pemberian izin


atas HGB dan HGU untuk PT PL merupakan tindakan yang tidak tepat. Bahwa Teluk
Jambe Barat merupakan daerah pertanian dan hutan sebagaimana diatur dalam Perda
No. 2 Tahun 2013 tentang RT/RW Kabupaten Karawang, pemerintah kabupaten
karawang telah melakukan pengalih fungsian lahan terhadap 791 Hektar tanah hijau
menjadi daerah industri yang ditandai dengan berdirinya PT PL. pemberian izin
tersebut mengakibatkan mematikan hajat dan hidup masyarakat desa Telukjambe
Barat yang pada umumnya merupakan petani.
2. Bahwa pemerintah kota karawang, melanggar AAUPB sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 UU Administrasi Pemerintahan. Bahwa asas yang dilanggar adalah, asas
kecermatan, asas kepentingan umum dan asas ketidak berpihakan. Pemerintah
kabupaten karawang serta BPN sebagai pemegang kekuasaan terhadap diterbitkannya
suatu perizinan telah mengakibatkan kerugian kepada masyarakat Desa Teluk Jambe
Barat, beurpa hilangnya hak ekonomi, hak hidup dan hak sosial atas tanah hijau yang
telah dimanfaatkan sejak tahun 1962. Bahwa masyarakat desa Telukjambe Barat
dapat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya melalui mekanisme
gugatan pengadilan TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU PTUN. Sehingga
gugatan dapat diajukan tertulis kepada pengadilan yang berwenang denga nisi
tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA

Chairuddin K.Nasution, Hukum Agraria, (Medan: Diktat Fakultas Hukum UISU, 2000).

Pujileksono, Sugeng, Perundang-undangan Sosial dan Pekerjaan Sosial Perspektif


Pemenuhan Keadilan dan Kesejahteraan Sosial Masyarakat (Malang: Setara Pers,
2016).

Purwanto, Wawan H., Papua Meradang, Siapa Berani (Jakarta: CMB Press, 2013).

Sembiring, Rosnidar, Hukum Pertanahan Adat (Jakarta: Rajawali Pers, 2017).

Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di


Indonesia (Jakarta: UI Pers, 1976)

Suardi, Hukum Agraria, (Jakarta, BP IBLAM, 2005). Maria. S.W. Sumardjono (selanjutnya
disebut Maria S.W.Sumardjono II), Mediasi Sengketa Tanah: Potensi Penerapan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dibidang pertanahan, (Jakarta: Gramedia,
2008).

Undang-Undang Dasar 1945

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Agraria

Anda mungkin juga menyukai