Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di
sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain pihak,
menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik TNI AL
yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205 hektare yang
tersebar di dua kecamatan, yakni Nguling dan Lekok, serta di 11 desa, yakni Desa
Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Brang,
Gejugjati, Tamping, dan Alas Telogo.
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk
pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum
memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan
menempatkan 185 keluarga prajurit.
Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan
pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga
Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan menggugat
kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu. Gugatan itu
ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil dalam sidang 12
Maret lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah hingga berujung pada
bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum persidangan itu, yakni pada 15
Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik meresmikan Prokimal sebagai pusat
latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa yang berjumlah sekitar 5.700 keluarga
rencananya direlokasi ke bagian yang aman. “Sesuai pesan Panglima TNI, 2007 ini
lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan tempur untuk meningkatkan
profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga, karena ada niatan baik dari kami,
tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di hadapan warga,” kata Laksda
Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai Puslatpur.
Janji untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan
kepada warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur.
“Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702
rumah direlokasi di luar garis latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi
sekaligus bentuk pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya
relokasi, TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing,”
tandas Moekhlas Sidik didampingi Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri kepada wartawan
seusai bertemu dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22
Maret lalu.
Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20 persen untuk
pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan masyarakat tidak
resah karena jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya keputusan
hukum atas tanah yang dimilikinya.
Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif Pemkab Pasuruan, bahkan Pemkab
mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke pemerintah pusat ditambah dengan
anggaran dari APBD Kabupaten Pasuruan.
Meski TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa, namun para
kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan menyampaikan lebih
dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk
memenuhi kebutuhan warga.
Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah dengan jalan damai itulah, tiba-tiba
terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu (30/5), yang menyebabkan empat
warga tewas dan enam lainnya luka-luka.
Sengketa masalah tanah antara warga dengan TNI di Kabupaten Pasuruan bukan hanya
terjadi di lahan Prokimal, Grati. Di Raci, Kecamatan Bangil, juga terjadi kasus sengketa
tanah serupa antara warga dengan TNI Angkatan Udara (AU). Namun dalam kasus Raci
ini, pihak TNI AU telah memberikan lampu hijau untuk pengelolaan lahan dengan porsi
60:40 untuk TNI AU dan warga Desa Raci.
Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi
semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya.
Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban dari berbagai kasus yang
bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan
secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan
massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap
menanggung akibat yang paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika
ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat cukup
diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang
gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak
ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy dengan teror,
intimidasi, dan tindakan refresi.
Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru. Di
alam keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai
bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap
terjadi dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya. Sebut
saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh
telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau kasus penangkapan
dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di Garut yang dituduh
sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam
penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang
ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali
lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan
betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya,
selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus
sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering
tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya.
Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah yang
mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)
sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara
untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika
mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat
menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara
dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan
sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat
disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi
jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu,
pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa
kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah
prosedur).
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah
sengketa tanah, diantaranya yaitu :
a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak
beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan
mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum
yang lemah.
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun
2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi
kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-
masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang
tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut
dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri
tentunya.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk
menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa
Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah
diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin
didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk
menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius. Belajar
dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus
sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya
bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan
penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Kesimpulan
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak
beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.
Rekomendasi
ANALISIS KASUS
Dalam kasus sengketa tanah ini awalnya warga Damakradenan menganggap
bahwa tanah itu adalah milik masyarakat setempat, karena pada saat itu berlaku hukum
adat sehingga kepemilikan tanah tersebut atas dasar hak ulayat.
Namun penyewaan tanah kepada pihak asing itu tidak sepenuhya salah, sebab hak
ulayat itu juga dipengaruhi oleh pemerintah belanda. Hal ini bisa dilihat pada
pernyataan 1 hukum Agraris Wet pasal 51 ayat 8 IS bahwa “persewaan tanah oleh orang
pribumi kepada bukan pribumi ditetapkan menurut ordonansi.” Dari ketentuan tersebut
mungkin warga damakradenan dapat menyewakan tanah tersebut kepada pihak asing.
Atau mungkin warga demakradenan tidak dapat membuktikan bukti pemilikan tanah
tersebut. Dan hal itu sesuai dengan Pasal 1 Agrarische Besluit (Domen Verklaring)
bahwa “semua tanah dimana pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai eigendomnya
adalah milik negara.”
Karena beberapa dasar itulah yang menjadi pertimbangan pemerintah memberikan hak
erfpach kepada pengusaha Belanda yaitu Jan Albertus Vander Roeft yang menurut AW
1870, pasal 51 ayat 4 dapat dilakukan selama dalam kurung waktu tidak lebih 75 tahun
dan jika sudah 75 tahun maka tanah kembali menjadi hak milik negara. Pada tahun 1960
terjadi beberapa peralihan sehingga hak itu dikonversi menjadi Hak Guna Usaha
(HGU), hal tersebut lahir setelah berlakunya Undang Undang Pokok Agraria.
Sehingga pada tahun 1967 tanah itu kembali menjadi milik negara.
Pada tahun 1971 pemerintah memberikan Hak Guna Usaha kepada PT. Rumpun
Damakradenan. Hak Guna Usaha yang diberikan pemerintah ini berdasarkan UUPA
BAB II Bagian IV pasal 28 ayat (3) yang mengatakan bahwa “Hak Guna Usaha dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.”
Hal ini juga ada pada pasal 4 ayat 1 UUPA. Disebutkan bahwa pemerintah memiliki
hak utk memberikan HGU pada PT. Rumpun Damakradenan , dalam hal pemberian hak
untuk mengelola perkebunan yang merupakan tanah miliki negara.
Tapi pada tahu 1994 HGU yang semula milik PT. Rumpun Damakradenan
menjadi atas nama PT. Rumpun Sari Antan. Hal ini diatur dalam ketentuan UUPA pasal
29 ayat (1), (2), (3) diatur batasan-batasan waktu dalam pemberian HGU dan
syarat/ketentuan tertentu jika akan dilakukan perpanjangan kepemilikan hak guna usaha
tersebut.
KESIMPULAN KASUS
Jadi kasus ini sebenarnya Cuma atas kepemilikan hak tanah.pada awalnya tanah
yang di anggap warga Damakraden itu milik mereka berdasarkan hukum adat,tetapi
menurut pemerintah setempat berdasarkan hukum adat tersebut tidak mempuyai
kekuatan hukum yang kuat.karena sertifikat tanah tersebut berada di tangan PT.Rumpun
Sari Antan.
Sehingga berdasarkan peraturan hukum yang ada tanah tersebut milik PT
Rumpun Sari Antan.Sehingga inilah yang menyebabkan permasalahan antara kedua
belah pihak di mana warga merasa kalo tanah itu milik mereka berdasarkan hukum adat
tetapi menurut hukum tanah berdasarkan pemerintahan,tanah tersebut milik perkebunan
PT Rumpun Sari Antan.
Sebaiknya pemerintah harus bener-bener melihat permasalahan ini dan harus bisa
menjadi penengah permasalahan ini.pemerintah bener-bener adil bukan hanya melihat
dari kepemilikan tanah tersebut dari segi kepastian hukum.dan harus melihat dari
perkembangaan di dalam masyarakat jadi kedua belah pihak yang bersangkutan tidak
ada yang di rugikan dan permasalahan ini harus diadakan pertemuan antara warga
dengan PT Rumpun Sari Antan untuk membuat perjajian diatas kertas dan kesepakat
kedua belah.sehingga masalah ini dapat terselesai dengan baik dan tidak ada lagi
permasalahan antar warga dengan PT Rumpun Sari Antan.
ronologi dan Penyebab
Akhir 2011 masyarakat Indonesia dikejutkan oleh rangkaian kasus sengketa lahan
antara masyarakat dan perusahaan perkebunan di daerah Mesuji. Setidaknya ada 3 kasus
sengketa lahan yang menimpa masyarakat Mesuji. Keterangan Ketua Komnas HAM
Ifdhal Kasim dalam wawancara dengan detikcom [1], menjelaskan 3 kasus itu adalah:
1. Kasus antara PT Sumber Wangi Alam (SWA) dengan warga di Sungai Sodong,
Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang terjadi 21 April 2011.
2. Kasus antara PT Silva Inhutani dengan warga di register 45 di Kabupaten Mesuji,
Provinsi Lampung, yang terjadi sejak tahun 2009.
3. Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di
register 45, Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, yang terjadi pada 10 November
2011.
Dalam tulisan ini penulis akan mengulas salah satu dari ketiga kasus tersebut yaitu
kasus Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di
register 45, petani dari Desa Sritanjung, Kagungan Dalam Kec. Tanjung Raya dan
Nipah Kuning Kec. Mesuji Kabupaten Mesuji – Prov. Lampung.
Insiden konflik terjadi pada 10 november 2011, Sejak September 2011 masyarakat yang
merasa tanahnya diambil BSMI dan tidak pernah mendapat ganti rugi melakukan panen
kolektif secara bergilir diatas lahan plasma. Dan sebelum melakukan panen masyarakat
telah berkoordinasi dengan Polres Tulang Bawang. Seperti biasanya setiap satu minggu
sekali masyarakat melakukan panen. Petani yang memiliki kendaraan diparkir dipinggir
jalan. Sekitar jam 13.00 Brimob mengambil paksa salah satu motor milik petani yang
sedang diparkir dengan diseret menggunakan truk ke markas Brimob di lokasi pabrik.
Kemudian puluhan orang setelah selesai panen, bersama-sama menuju pos jaga Brimob
untuk menanyakan dan meminta dikembalikan motor yang disita. Namun belum tiba
dilokasi dan belum juga terucap kata, Brimob telah menembak para petani yang sedang
mengendarai motor menuju lokasi. Penembakan menyebabkan 6 orang mengalami luka
tembak dan 1 orang meninggal dunia. Mendapat kabar adanya korban jiwa, sekitar 500
orang dari 10 desa datang ke pos Brimob untuk melakukan perlawanan, namun karena
tidak ada lagi orang, maka pelampiasan kemarahan dilakukan dalam bentuk
pembakaran mes perkantoran dan sarana lainnya milik PT.BSMI.
Penyebab kejadian tersebut berdasarkan hasil investigasi WALHI dan YLBHI[2],
didapati fakta- fakta lapangan bahwa kasus tersebut adalah konflik tanah antara petani
warga desa-desa tersebut diatas sebagai plasma dengan PT.BSMI selaku inti terhadap
lahan sawit seluas 17 ribu ha.
PT.BMSI mengajukan memperoleh izin lokasi seluas 10.000 Ha kebun Inti dan &.7.000
Ha kebun plasma yang terletak di Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung dan Nipah
Kuning Kec. Mesuji kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara yang
tertuang dalam surat Nomor: 0007/BMSI/10/94. Pada tahun yang sama, PT. BSMI
mendapatkan izin lokasi dari Bupati Lampung Utara Nomor : PLU.22 / 460-L / 94.
Tanggal 18 Oktober 1994 atas lahan seluas 10 ribu ha (inti) dan 7 ribu ha (plasma).
Untuk memperoleh lahan tersebut, PT.BSMI diminta membeli lahan petani seluas 10
dengan harga per hektar senilai Rp. 150.000. Namun dalam pembebasan lahan,
masyarakat pemilik tanah langsung tidak dilibatkan dalam permufakatan dalam
menentukan nilai harga tanah, dan dalam pengukuran areal tanah.
Sementara belum ada penyelesaian kasus konflik tersebut, Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN memberikan HGU kepada PT. BSMI atas lahan seluas 9.513.0454
Ha sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Nomor: 43/HGU/BPN/97.
Masyarakat telah melakukan berbagai upaya namun tetap tidak membawa hasill. Pada
April 2007 dilangsungkan pertemuan antara warga dengan PT.BSMI yang difasilitasi
oleh Pemkab Tulang Bawang dengan pokok bahasan segera menyelesaikan masalah
tanah. Namun pihak perusahaan mengabaikan hasil mediasi tersebut. Kemudian
Pemkab Tulang Bawang melalui surat No. 130/1124/I.01/TB/2007 telah memberi
peringatan kepada PT.BSMI agar; 1. Tidak melakukan pengelolaan lahan yang
disengketakan warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning, 2. Diminta
untuk melaksanakan pengukuran ulang atas lahan. Hingga tahun 2010, pihak
perusahaan tetap mengabaikan surat dari Bupati Tulang Bawang.
Setelah pemekaran wilayah, Mesuji menjadi kabupaten sendiri sebagai daerah
pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang, pada 1 Nopember 2011 telah dilangsungkan
rapat dengan menghasilkan terbentuknya tim terpadu menyelesaikan batas wilayah hak
guna usaha (HGU) perusahaan yang beranggotakan Pemkab Mesuji, BPN, DPRD,
Kepolisiaan, TNI, PT. BSMI dan perwakilan masyarakat. Namun untuk menentukan
langkah awal kerja tim terpadu terganjal oleh beda pendapat. Pemda menginginkan agar
segera dialakukan pengukuran ulang lahan, sementara BPN Tulangbawang
menyebutkan pengukuran ulang harus melalui izin BPN Pusat sedangkan PT.BSMI
menolak pengukuran ulang.
Tinjauan Hukum
Dari perspektif Hukum Adat, hubungan antara manusia dengan tanah sangat
erat. Tanah, bagi masyarakat desa manapun termasuk desa-desa tersebut, memiliki
fungsi yang sangat penting. Tanah merupakan tempat tinggal dan tempat penghidupan
warga. Tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah
dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman arwah leluhurnya.
Terhadap tanah adat, masyarakat adat memiliki hak purba (hak ulayat). Hak
masyarakat terhadap tanah adat atau selanjutnya bisa disebut hak ulayat diakui secara
tegas diatur di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1
dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwasanya bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dan
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya hak
menguasai dari Negara tersebut di atas , dalam pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dalam hal ini
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak
guna usaha (HGU) yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 67 ayat 1
disebutkan bahwa Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya berhak:
1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dantidak bertentangan dengan undang-undang; dan
3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Diperjelas dalam memori penjelas undang-undang ini bahwa
masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi
unsur antara lain:
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas;
4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan ketentuan- ketentuan diatas, terlepas dari ada tidaknya status penetapan
dari pemerintah daerah setempat mengenai eksistensi Masyarakat Adat Mesuji, faktanya
di lapangan adalah masyarakat Mesuji telah mendiami tanah dan mengusahakan tanah
sebelum PT. BSMI datang dan mengusahakannya.
Adapun tindakan protes masyarakat Mesuji yang dilakukan tersebut pada bagian awal,
semestinya dipandang bukan sebagai bentuk upaya menghalang-halangi pemberian Hak
Guna Usaha (HGU) dari pemerintah kepada BT. BSMI. Perubahan status tanah dengan
adanya peralihan pengusahaan hutan dan HGU kepada PT.BSMI menyebabkan
masyarakat kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. Undang-Undang No.41
tahun 1999 telah mengamanatkan agar perubahan status tersebut tidak menyengsarakan
masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah bersama pihak penerima izin usaha
pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai,
antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha
pemanfaatan hutan di sekitarnya untuk mewujudkan rasa keadilan dan perikemanusiaan.
Kasus: Warga Tuntut Penyelesaian Sengketa Tanah Bumi Flora
POKOK PERMASALAHAN
Dalam kasus diatas yaitu menyoroti tentang suatu perusaan yakni PT Bumi Flora yang
sejak tahun 1990 telah menyerobot lahan perkebunan warga seluas 3.400 hektar, dan
memasukannya dalam kawasan perkebunannya. Dan objek tanah yang dimilki warga
Banda Alam adalah tanah yang belum terdaftar/ belum didaftarkan oleh warga setempat,
namun eksistensinya diakui oleh warga setempat bahwa lahan itu adalah milik warga
Banda Alam. Dalam kasus ini juga dikemukakan bawha warga Banda Alam tersebut
telah berulang kali melaporkan kasus ini kepada pemerintah daerah Aceh Timur dan
juga kepada pemerintah Aceh. Bupati Aceh Timur yang bersangkutan pernah
menjanjikan akan memberikan lahan baru bagi warga Banda Alam tersebut, namun pada
kenyataannya lahan baru tersebut telah diberikan kepada warga setempat lainnya,
sehingga benar-benar tidak ada ganti rugi secara konkrit dari pihak PT Bumi Flora dan
juga dari Bupati Aceh Timur. Warga Banda Alam sudah berkali-kali complain atas kasus
ini namum penanganannya tidak berjalan dengan baik dan tidaklah sesuai dengan
keadilan yang dirasa oleh masyarakat warga Banda Alam.
ANALISIS KASUS
Subjek :
a. PT Bumi Flora
d. Pemerintah Aceh
Peristiwa Hukum:
Persengketaan tanah antara PT Bumi Flora yang menjadikan lahan masyarakat warga
Banda Alam sebagai lahan perkebunan yang dilandaskan oleh Hak Guna Usaha yang
dimiliki oleh PT Bumi Flora tersebut. Tanah tersebut sudah lama digarap oleh warga
Banda Alam dan diakui sebagai milik mereka, namun warga Banda Alam belumlah
memiliki sertifikat Hak Milik yang sebagai landasan kepemilikan tanah tersebut, tetapi
tanah tersebut telah diakui bersama sebagai kepunyaan desa tersebut dan disepakati
bahwa itu adalah tanah yang diduduki oleh Warga Banda Alam.
Objek:
Tonggak awal permasalahan dalam kasus ini adalah tanah yang dihuni oleh masyarakat
Banda Alam sebesar 3.400 hektar diambil alih oleh PT Bumi Flora sejak tahun 1990
hingga sekarang. Tanah tersebut dibeli oleh PT Bumi Flora melalui Pemerintah Banda
Timur. Namun sebenarnya, tanah tersebut adalah tanah tempat bermukim/bertempat
tinggal para warga dan tempat warga Banda Alam dalam menggarap dan mencari mata
pencaharian. Namun demikian karena PT Bumi Flora merasa telah memiliki Hak Guna
Bangunan diatas lahan tersebut, maka lahan itu diambil dan dipergunakan untuk
perkebunan yang diusahakan oleh PT Bumi Flora, tanpa melihat kepentingan dan
kedudukan rakyat atas tanah tersebut. Hal itu memicu kemarahan warga karena merasa
terganggu lahannya akibat adanya ijin dari pemerintah daerah bagi PT Bumi Flora
tersebut untuk membangun suatu usaha perkebunan diatasnya. Namun ada satu kendala
pula pada masyarakat Banda Ala mini karena mereka tidak memiliki sertifikat hak milik
atas tanah itu sendiri, namun menurut pengakuan seluruh warga setempat, tanah tersebut
adalah tanah mereka yang sudah dimiliki bertahun-tahun dan turun temurun sehingga
menyerupai hak milik, walaupun secara juridis belumlah memiliki bukti yang kuat. Hal
ini dapat dikategorikan seperti atau menyerupai Tanah Adat, karena adanya pengakuan
penuh atas warga akan tanah tersebut dan eksistensinya masih ada akan kepemilikan
tanah tersebut pada warga yang bersangkutan.
Namun dari sudut lain, PT Bumi Flora telah mendapatkan izin atas Hak Guna Usaha
dari pemerintah daerah setempat sehingga kedudukannya menjadi sangat kuat karena
telah memiliki bukti yuridis ( Tanah yang telah terdaftar), sedangkan lawannya adalah
warga Banda Alam yang tanpa bukti kuat yuridis yang menyertainya (Tanah belum
terdaftar). Warga setempat sudah mencoba complain berkali-kali kepada Pemerintah
Aceh Timur yang ditangani langsung oleh Bupati Aceh Timur namun hal itu diabaikan
oleh Pemerintah daerah yang bersangkutan. Bupati Timur juga telah menjanjikan akan
penggantian tanah / lahan baru bagi warga Banda Alam namun ternyata tapi lahan yang
dijanjikan itu juga sudah menjadi pemukiman warga lainnya. Kemelut konflik ini telah
berlangsung cukup lama hingga warga melaporkannya ke DPRD Aceh untuk
penyelesaian kasus ini secara jelas dan tidak berlarut-larut lagi agar hak-hak dari warga
Banda Alam tidak terabaikan.
DASAR HUKUM
Mengenai objek tanah ini hak yang melekat atasnya adalah Hak Guna Usaha dari PT
Bumi Flora, pengertian Hak Guna Usaha itu sendiri menurut UUPA Pasal 28 adalah hak
untuk mengusahakan tanah bagi perusahaan, dan tanah tersebut dikuasai langsung oleh
Negara, penggunaan tanah ini jangka waktu tertentu sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 29, dan Hak Guna Usaha ini digunakan sebagai usaha perusahaan dibidang
pertanian, perikanan ataupun peternakan. Sedangkan mengenai hapusnya HGU ini
diatur dalam Pasal 34 UUPA.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum diubah dalam Perpres Nomor 65
Tahun 2006 menjadi sebagai berikut yang terkait dengan kepentingan umum. Isi dari
Pasal 1 ayat (3) Perpres No. 65 Tahun 2006 adalah “Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah.” Sehingga jika dikaitkan dengan kasus diatas adalah sudah
selayaknya karena pengadaan tanah bagi PT Bumi Flora tersebut seharusnya
memberikan ganti rugi kepada warga Banda Alam yang bersangkutan, tetapi ganti rugi
sama sekali tidak diberikan kepada warga yang bersangkutan atas tanah belum terdaftar
miliknya.
Dalam Pasal 10 ayat (1) Perpres No. 65 Tahun 2006 juga menyebutkan sebagai berikut
“Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan
atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain, maka musyawarah
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender
terhitung sejak tanggal undangan pertama.” Dalam hal ini jelaslah PT Bumi Flora telah
melewati jangka waktu yang ditetapkan seharusnya jika lokasi pemukiman warga
tersebut belum dapat direlokasi, haruslah terlebih dahulu untuk melakukan musyawarah
dengan warga setempat agar tidak menyebabkan konflik yang berkepanjangan serta
berlarut-larut hingga sekarang dan harusnya musyawarah dengan warga setempat itu
dilakukan dalam jangka waktu 120 hari sejak undangan pertama. Dan dalam ayat 2
dalam pasal ini dinyatakan pula harus diadakan pula ganti rugi apabila tentang
pengadaan jika menggangu kepentingan.
Ganti rugi yang diberikan dapatlah berupa uang, tanah, atau pemukiman yang kembali,
juga dapat gabungan dua atau lebih bentuk ganti kerugian, dan juga bentuk-bentuk lain
yang disepakati oleh para pihak-pihak. Dalam kasus warga Banda Alam harusnya
mendapatkan ganti rugi dari pihak PT Bumi Flora. Juga ternyata sebelumnya telah
disepakati oleh Bupati Timur bahwa akan diadakan ganti rugi atas tanah mereka dengan
cara menggantikan lahan baru bagi warga Banda Alam namun ternyata lahan yang
dijadikan ganti rugi ini telah dijadikan pemukiman bagi warga lainnya sehingga
ketentuan tentang ganti rugi ini tidaklah terlaksana, dan Bupati yang bersangkutan telah
ingkar janji terhadap warga Banda Alam.
Seharusnya pula sebelum diadakan jual beli tanah jika tanah tersebut merupakan tanah
yang dimukim oleh suatu warga atau masyarakat adat tertentu apabila dalam Buku
Tanah dan sertifikatnya langsung diatasnamakan pembeli, maka dianggap tidak sah
seharusnya harus atas nama penjual terlebih dahulu. Dan seharusnya diadakan
pengumuman bahwa penjual/wakilnya dan pembeli/wakilnya harus hadir didepan PPAT
untuk menandatangani dengan disaksikan oleh minimal 2 orang saksi yang memenuhi
syarat untuk bertindak sebagai saksi, yakni disini dapatlah warga Banda Alam setempat
yang menjadi saksi jual-beli tersebut yang telah disepakati oleh warga setempat agar
tidak terjadinya sengketa seperti yang terjadi sekarang. Dan seharusnya panitia
pengadaan tanah harus melakukan tugasnya dengan baik dalam rangka melakukan
penyuluhan, penelitian, musyawarah, menetapkan ganti rugi, dan sebagainya berkaitan
dengan objek tanah yang akan dijual tersebut.
Dari kasus sengketa diatas baiknya adalah bahwa warga Banda Alam diberikan ganti
rugi yang sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita, yakni misalnya pemberian
lahan baru sebagai penggantian lahan bagi mereka yang sebelumnya sudah disepakati
oleh warga dan Bupati Aceh Timur namun dalam pelaksanaannya sama sekali tidak
terlaksana. Bupati Aceh Timur haruslah konsisten dengan ganti kerugian yang
dijanjikan tersebut karena pada dasarnya warga Banda Alam sudah menyetujuinya dan
tidak menuntut pencabutan hak dari PT Bumi Flora itu sendiri, melainkan diberikan
ganti rugi yang sesuai. Maka itu seharusnya pemberian ganti rugi tersebut dilakukan
secepatnya dengan sesuai dengan ketentuan dan pertimbagan tuntutan dari warga
setempat pula.
Kasus Sengketa Lahan Senayan City
Sengketa tanah antara pengelola Senayan City dengan ahli waris Alm Toyib bin
Kiming terus berkepanjangan. Bahkan persoalan ini membuat Pusat Pengelolaan
Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) turut gerah. Mereka tidak terima jika lahan
yang dikelolanya itu tidak memiliki surat-surat tanah. Bahkan PPK GBK menantang di
peradilan jika ahli waris Alm Toyib bin Kiming itu memiliki bukti otentik atas lahan
yang diperebutkan itu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta
meminta pemerintah DKI Jakarta segera menutup pusat belanja dan perkantoran
Senayan City. Menurutnya, langkah itu perlu ditempuh agar penyelesaian sengketa tidak
berlarut-larut. Pengelola komplek Gelora Bung karno (GBK) atau Badan Layanan
Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno
(PPKGBK) menyatakan kerja sama dengan proyek Senayan City sudah sesuai aturan.
Pada saat ini, eksekutif, termasuk Government Public Relations diharapkan dapat
membantu mengambil tindakan tegas. Kasus sengketa lahan Senayan City, Jakarta,
muncul karena adanya pengaduan atau klaim atas tanah yang digunakan untuk Senayan
City oleh orang yang mengaku ahli waris Alm Toyib bin Kiming. Sengketa lahan yang
ditempati Senayan City mencuat setelah ahli waris Toyib bin Kiming mengklaim tanah
seluas 6,2 hektare di Jalan AsiaAfrika itu sebagai miliknya. Pengelola GBK yang ada di
bawah Sekretariat Negara (Setneg) membantah klaim bahwa tanah tempat Senayan City
adalah lahan sengketa. Tanah yang digunakan oleh PT Manggala Gelora Perkasa untuk
proyek Senayan City adalah tanah milik negara atau PPK GBK atau Setneg dan apabila
ada pihak-pihak lain yang mengaku mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut
tentunya dapat melakukan upaya hukum. Sebab tanah GBK adalah tanah eks Asian
Games IVtahun 1962 yang kepemilikannya adalah milik negara. Namun, menurut
Government Public Relations Senayan City, sengketa itu adalah masalah antara pihak
Gelora Bung Karno dan keluarga ahli waris. Kepastian dari Sekretariat Negara sangat
dibutuhkan, karena ini tanah negara. Hak kepemilikan tanah berada di tangan Sekretaris
Negara dan pengelolaannya dipercayakan kepada Gelora Bung Karno. Sebagai
penyewa, Senayan City mengajukan permohonan kepada pengelola Gelora Bung Karno
mengenai perjanjian sewa-menyewa akan penggunaan lahan itu selama 35 tahun,
terhitung sejak 2006. Kuasa hukum ahli waris Toyib bin Kiming, Tony Arif,
mengatakan, lahan yang di klaim kliennya berada di luar lahan yang dikuasai
Sekretariat Negara. Kesimpulan itu sudah diverfikasi Badan Pertanahan Nasional, P2U,
pajak, camat, dan lurah setempat. Di sisi lain, Public Relations Manager Senayan City
membantah anggapan bahwa pihaknya menganggap remeh persoalan sengketa tanah itu.
Ia menjelaskan, Senayan City sebagai pihak ketiga harus menyerahkan persoalan
kepemilikan lahan kepada pemerintah. Menurut pendapatnya, mereka hanya penyewa,
tidak berwenang menentukan siapa pemilik tanah, Government Public Relations
Senayan City berkomentar bahwa mereka hanya sebagai pihak ketiga dan penyewa
tanah. Kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum, karena sengketa lahan itu tidak
akan menemui jalan keluar dan tidak menemukan kepastian jika pihak yang bersengketa
tetap berkukuh dengan pendirian mereka.
B. Analisa Kasus senayan city
Kasus sengketa tanah ini terjadi antara pihak Senayan City dengan ahli waris Alm
Toyib bin Kiming, sedangkan pihak Senayan City sudah menyewa lahan tersebut dari
pihak pemerintah selama 35 tahun. Untuk penyelesaian kasus ini, kedua belah pihak
mengadukan kasus ini ke ranah hukum karena kasus ini menyangkut pihak pemerintah
dan berskala cukup besar sehingga harus diselesaikan melalui jalur hukum. Kasus ini
juga harus diselesaikan secepat mungkin karena dapat merugikan berbagai pihak.
Adapun undang-undang yang mengatur kasus Sengketa Tanah di Senayan City tersebut,
meliputi:
PENDAFTARAN TANAH
Dasar Hukum:
v UUPA:
Pasal 19, Ayat (1): Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI menurut ketentuan yang diatur dengan PP.
Pasal 19, ayat (2):
Tujuan
· Antara Lain:
· Yaitu memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya pembuatan hukum
mengenai tanah.
· Kegiatan Pendaftaran tanah
meliputi:
a. Pengukuran, Perpetaan, dan Pembukaan tanah yang menghasilkan peta-peta
pendaftaran dan surat-surat ukur.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
1.Pemalsuan sertifikat
Yaitu berupa pemalsuan blangko sertifikat tanah, stempel BPN dan pemalsuan data
pertanahan nya.
· Subjek HGB:
1.WNI
2. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
diIndonesia.
· Terjadinya HGB:
· PP No. 40 Tahun 1996: Hak Guna Bangunan diberikan untuk waktu paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk 30 tahun.
§ HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
guna perusahaan pertanian, perikanan, atau pertenakan.
§ UUPA pasal 28 s/d pasal 34, PP No. 40 Tahun 1996 pasal 2 s/d pasal 18.
§ PP No. 40 Tahun 1996:
Pasal 8:
Hak guna usaha dapat diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang
untuk waktu paling lama 25 tahun, dan dapat diperbaharui kembali.
Pasal 11:
Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan hak
guna usaha dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan.