Anda di halaman 1dari 10

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK

(TAKE HOME TEST)

Arini Natasya Aisyah (3613100014)

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


1. Urutan Kejadian
Versi Masyarakat

Belanda membuka perusahaan


perkebunan dan mendatangkan
tenaga kerja dari Pulau Madura.
Para pekerja yang didatangkan
dibuatkan rumah-rumah
mengelompok untuk mengelola
perkebunan Jengawah.

Selama berturun turun sampai


masa kemerdekaan masyarakat
mengelola perkebunan tanah
Jengawah.
Sedangkan Tanah Ketajek
merupakan lahan yang
ditelantarkan sehingga sebagian
lahan yang dibuka digarap oleh
masyarakat setempat.

Hak Pengelolaan Masyarakat Perkebunan


Ketajek semakin tidak jelas.

Masyarakat perkebunan Jenggawah


merasa PT Perkebunan XXVII
memanipulasi keadaan perkebunan
mereka. Masyarakat merasa memiliki
perkebunan Jenggawah karena turun
temurun mengelola perkebunan
tersebut.

Tahun

Versi Pemerintah Kab. Jember. PTPN


XXVII dan PDP

1879
1887

Pemerintah Hindia Belanda membuka


Perusahaan Perkebunan dan mendirikan
rumah rumah untuk pekerja pekerbunan
di sekitar tanah perkebunan Jengawah.

1960

UU No. 51/Perpu/1960 bahwa tanah hak


erfpacht menjadi tanah negara. Maka
tanah Jenggawah yang merupakan tanah
penguasaan Belanda dan memiliki Hak
Erfpacht setelah kemerdekaan menjadi
tanah kepemilikan Negara.

1972

Pihak PDP Jember


mempertanyakan status lahan
Ketajek.
PDP mengajukan permohonan
serifikat HGU kepada Menteri
Dalam Negeri atas Kebun Ketajek
seluas 477,78ha

1973

Pemkab Jember mengeluarkan SK Bupati


Kepala Daerah Tingkat II, tanggal 10
Oktober 1973, No. 84 tentang
pemebentukan panitia pengalihan Hak
Atas Tanah kebun Ketajek I dan II

1994

KepMen Agraria/BPN No.


74/HGU/BPN/1994 tentang pemberian
perpanjangan Hak Guna Usaha PT
Perkebunan XXVII atas tanah perkebunan
Ajung Gayasan di Kab. Jember

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 1

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


2. Pemetaan Konflik

Pemerintah
Kab. Jember

Kementrian
Dalam
Negeri

Masyarakat
Perkebunan
Kejatek

PDP Kab.
Jember

Masyarakat
Perkebunan
Jenggawah

PT
Perkebunan
XXVII

Kementrian
Agraria

Keterangan:
Aliansi
Berkonflik
Hubungan Kerja Vertikal
Hubungan Kerja dan Aliansi yang Kuat
Di Kabupaten Jember terjadi konflik agraria yang melibatkan petani dan negara, salah satunya
konflik tanah Jenggawah. Tanah perkebunan Ajunggayasan Jenggawah yang terletak di Kabupaten
Jember, Propinsi Jawa Timur adalah tanah perkebunan bekas hak Erfpach, tercatat atas nama
Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD) dan berdasarkan Undang-Undang nomor 86 tahun
1958 tanah tersebut terkena Nasionalisasi sehingga menjadi tanah negara yang penguasaanya
dipegang oleh PT. Perkebunan XXVII Jember.
Konflik agraria yang melibatkan ratusan petani terjadi di Jenggawah pada tahun 1979, dan
merupakan masalah nasional dengan ciri kekerasan massa yang menyertainya. Kekerasan pada
tanggal 2 Juni 1979, ditandai dengan adanya pengroyokan petani terhadap karyawan PTP yang
berusaha mentraktor tanah garapan milik seorang petani penggarap di Desa Cangkring Baru.
Peristiwa serupa juga terjadi Di Desa Klompangan pada tanggal 4 Juni 1979. Dengan adanya
peristiwa tersebut Kecamatan Jenggawah mulai terusik, Sebagian warga lebih memilih berdiam diri
di rumah karena takut kekerasan itu kembali terjadi (Arifin, 1989:6).
Ada beberapa sebab yang melahirkan ketegangan di antara keduanya. Salah satu penyebab
utamanya, pengelola perkebunan dalam hal ini PTP XXVII berkepentingan untuk peningkatan

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 2

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


produksi tembakau. Namun di sisi lain sangat merugikan tanah rakyat yang digarap turun temurun.
Selain itu, terjadi penyempitan lahan yang menyebabkan pendapatan panen petani rakyat berkurang
untuk memenuhi kebutuhan subsistennya. PTP XXVII mengadakan herkaveling dan her-registrasi
lahan, hal tersebut mendapat dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Jember, pada tanggal 15
Juli 1978.
Rakyat sama sekali tidak diajak berunding dan bermusyawarah (Hafid, 2001, 41). Padahal petani
menganggap tanah tersbut adalah tanah hak milik yang telah digarap secara turun-temurun hasil
kerja keras para orang tua mereka membabat hutan belantara sejak jaman penjajahan Belanda.
Mereka tidak setuju dengan adanya her-kavelig dengan alasan, karena pelaksanaannya banyak
terdapat penyelewengan, ketidakadilan serta penyempitan lahan produksi yang dilakukan PTP XXVII.
Seiring dengan berjalannya waktu dan proses yang cukup panjang selama HGU berlangsung kurang
lebih 25 tahun, isu konflik antara petani dan PTP XXVII kembali terjadi pada tahun 1994-1995, pada
tahun inilah konflik kembali pecah dan menjadi isu baik di Jember maupun nasional. Konflik ini
melibatkan beberapa Desa di Kecamatan Jenggawah antara lain Desa Ajung, Cangkring, Jenggawah,
Kaliwining, Pancakarya, Mangaran, Sukamakmur, dan Lengkong. Kemarahan petani lahir kembali
karena tanah mereka yang semula dikelola PTP yang menggunakan hak guna usaha (HGU) akan
diperpanjang oleh pihak PTP.

Konflik Tanah Kabupaten Jember


No

Tipologi

Sebelum Merdeka

Setelah Merdeka

Orde Reformasi

Subyek

Masyarakat/ Penggarap
Perkebunan vs Pengusaha
Perkebunan
(Pemerintahan Belanda)

Masyarakat/Penggarap
Perkebunan vs Pengusaha
Perkebunan Milik Daerah
ataupun Pemerintah

Masyarakat/Penggarap
Perkebunan vs Pengusaha
Perkebunan Milik Daerah
ataupun Pemerintah

Obyek

Tanah Hak
(Erfpacht)
Tanah Konsensi

Penyebab
Konflik

Hak tanah jaluran


Sistem
pengupahan

Upaya
Tuntutan

Protes/pemberont
akan
Okupasi/pengrusa
kan
Represi
Kontrak

Tanah Hak (HGU,


dan tanah adat)
Tanah Negara
Tumpang tindih
hak
Hak tanah jaluran
Ganti rugi tanah
Pelepasan hak
Faktor politik
Protes
Okupasi/pengrusak
an

Tanah hak (HGU. Dan


tanah adat)
Tanah Negara
Tumpang tindih hak

Hak tanah jaluran


Ganti rugi tanah
Perpanjangan HGU

Protes
Okupasi
Penjarahan/pengrusa
kan
Litigasi
Non Litigasi

Upaya

Represi

Penyelesaia

Non litigasi

n
Litigasi
Sumber: Pelzer (1985, 1991) dan Sembiring dkk (2001, 2002a, 2002b, 2002c, 2004, 2005)

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 3

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


3. Penahapan Konflik
Penahapan Konflik Tanah di Kabupaten Jember adalah sebagai berikut:
1) Pra Konflik : Merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran
diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik, meskipun satu pihak atau lebih
mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi, mungkin terdapat ketegangan
hubungan diantara beberapa pihak dan atau menghindari kontak satu sama lain. Dalam
kasus ini Pra Konflik dimulai saat Pengusaha Perkebunan Belanda mendatangkan pekerja
yang mengelola perkebunan sampai masa kemerdekaan dimana mereka mengklaim
tanah tersebut sebagai hak milik masyarakat. Masa kolonial Belanda 1972.
2) Konfrontasi : Pada tahap ini konflik semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa
ada masalah, kemungkinan para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau
perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah
lainnya terjadi diantara kedua pihak, mulai mengumpulkan sumberdaya atau mencari
sekutu, dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Konfrontasi
dalam tahap ini terjadi saat pihak pemodal dan pemerintah mengeluarkan kebijakan dan
mengajukan sertifikasi hak guna umum, yang semakin meniadakan hak masyarakat yang
selama turun temurun berperan sebagai pengelola. 1972 1994.
3) Krisis : Merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling
hebat Komunikasi normal putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh
dan menentang pihak pihak lainnya. Terjadi saat munculnya keputusan menteri negara
agraria No. 74 Tahun 1994 dimana kebijakan terseut memberikan perpanjangan HGU
terhadap PT Perkebunan XXVII atas tanah perkebunan Ajung Gayasan.
4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat, Satu pihak mungkin
menaklukan pihak lain, mungkin terjadi gencatan senjata. Kedua pihak mungkin
bernegosiasi atas desakan pihak lain. Satu pihak lain yang memiliki otoritas atau power
memaksa untuk menghentikan pertikaian. Akibat yang terjadi dalam tahap studi kasus
ini adalah terjadi konflk laten yang berangsur angsur selama bertahun tahun yang tentu
nya merugikan kedua belah pihak. Dalam kasus ini selama belasan tahun penggarap
perkebunan Jengawah dan Ketajek menyuarakan keinginan mereka yaitu memiliki hak
atas tanah perkebunan negosiasi pun terus dilakukan antara PT Perkebunan serta PDP
dengan pihak penggarap perkebunan yan tidak lain adalah masyarakat sendiri.
5) Pasca konflik : Akhirnya situasi dapat diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai
konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke bentuk yang
normal. Namun bila isu dan masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling
bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini menjadi situasi prakonflik. Dalam kasus
ini masyarakat Jenggawah dan Ketajek mendapatkan hak mereka yaitu memiliki
sertifikasi atas perkebunan yang selama ini turun temurun di garap. (Jurnal Publika
Budaya, Hal 25 -34) akan tetapi terdapat pertentangan antar warga tentang isi dari
sertifikat itu sendiri dimana masyarakat merasa bahwa pemerintah dengan setengah
hati memberikan sertifikat kepada mereka. Hal ini harus diimbangi dengan sosialisasi
yang baik dikarenakan apabila masyarakat tidak terinformasi secara jelas akan
menimbulkan konflik selanjutnya mengenai isi sertifikat yang menyangkut penguasaan.

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 4

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


Tabel Penahapan Konflik Kasus Tanah Kabupaten Jember
No

Tahapan

Pra Konflik

Konfrontasi

Krisis

Akibat

Pasca Konflik

Deskripsi

Waktu

Pengusaha Perkebunan Belanda


mendatangkan pekerja yang mengelola
perkebunan sampai masa kemerdekaan
dimana mereka mengklaim tanah tersebut
sebagai hak milik masyarakat.
Pihak pemodal dan pemerintah mengeluarkan
kebijakan dan mengajukan sertifikasi hak guna
umum, yang semakin meniadakan hak
masyarakat yang selama turun temurun
berperan sebagai pengelola. Para Petani tidak
dapat menerima keadaan ini dan mulai timbul
aksi yang menyalahkan pihak pemodal dan
pemerintah.
Terjadi saat munculnya keputusan menteri
negara agraria No. 74 Tahun 1994 dimana
kebijakan terseut memberikan perpanjangan
HGU terhadap PT Perkebunan XXVII atas tanah
perkebunan Ajung Gayasan. Pertikaian
pertikaian dan tindakan represif masyarakat
sebagai bentuk penolakan terhadap hal ini
terus bergulir.
Dalam kasus ini selama belasan tahun
penggarap perkebunan Jengawah dan Ketajek
menyuarakan keinginan mereka yaitu memiliki
hak atas tanah perkebunan negosiasi pun
terus dilakukan antara PT Perkebunan serta
PDP dengan pihak penggarap perkebunan yan
tidak lain adalah masyarakat sendiri. Negosiasi
terus dilakukan oleh pemerintah untuk
mencapai kesepakatan dan menghentikan
konflik yang berkepanjangan.
Dalam kasus ini masyarakat Jenggawah dan
Ketajek mendapatkan hak mereka yaitu
memiliki sertifikasi atas perkebunan yang
selama ini turun temurun di garap. (Jurnal
Publika Budaya, Hal 25 -34) akan tetapi
terdapat pertentangan antar warga tentang isi
dari sertifikat itu sendiri dimana masyarakat
merasa bahwa pemerintah dengan setengah
hati memberikan sertifikat kepada mereka.
Hal ini harus diimbangi dengan sosialisasi yang
baik dikarenakan apabila masyarakat tidak
terinformasi secara jelas akan menimbulkan
konflik selanjutnya mengenai isi sertifikat yang
menyangkut penguasaan.

Masa Kolonial Belanda


Masa Orde Baru

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Masa Orde Baru (1972


1994)

Masa Orde Baru


Masa Reformasi (1994
1998)

Masa Reformasi (1998


2001)

Masa Reformasi (2001


sekarang)

Page 5

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


Grafik Penahapan Konflik Tanah Kabupaten Jember

Krisis (Masa Orde


Baru Reformasi)

Konfrontasi(Masa
Orde Baru)

Akibat (Masa
Reformasi)

Prakonflik (Masa
Kolonial Orde Baru)

Pascakonflik (Masa
Reformasi Sekarang)

4. Strategi Penanganan Konflik


Salah satu tujuan pentingnya penyelesaian sengketa adalah untuk memperoleh jaminan
kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan. Tujuan kepastian
hukum itu sendiri akan dapat terpenuhi bila seluruh perangkat atau sistem hukum itu dapat
berjalan dan mendukung tercapainya kepastian hukum, khususnya peranan lembaga-lembaga
yang diberi wewenang untuk itu.
Penyelesaian sengketa pertanahan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas sering
mengundang permasalahan yang mengakibatkan masyarakat maupun negara dirugikan. Salah
satu penyebabnya adalah lemahnya atau inkonsistennya sistem peradilan dan banyaknya
putusan hakim tumpang tindih atau saling bertentangan mengenai sengketa tanah sehingga
putusan tidak dapat dilaksanakan atau di eksekusi. Fungsi lembaga peradilan maupun lembagalembaga yang bersentuhan dengan proses penyelesaian sengketa pertanahan menjadi tidak
maksimal dan cenderung menjadi sangat kompleks, memerlukan waktu yang panjang dengan
biaya yang sangat banyak, dan pada akhirnya tidak memberi kepastian hukum bagi masyarakat
dan negara.
Berdasarkan strategi manajemen konflik yang disampaikan oleh Ross (1993), pilihan strategi
yang dapat digunakan dalam untuk mengatasi konflik lahan di Kabupaten Jember adalah strategi
Joint Problem Solving, dimana dalam strategi ini memungkinkan adanya kontrol terhadap hasil
yang dicapai oleh kelompok-kelompok yang terlibat. Keputusan diambil secara bersama dan
memberikan keuntungan dengan kadar yang berbeda untuk setiap kelompok. Pentahapan dari
strategi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 6

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


1. Identification of Conflict, menterjemahkan keluhan yang tersamar dari pihak lain
menjadi keinginan aktual/konkret;
2. Weighting Interest, menstrukturkan nilai yang dimiliki masing-masing pihak untuk
mendapatkan kesamaan pandangan dalam memandang suatu masalah;
3. Third Party Assistence Support, menyediakan tempat untuk mempertemukan pelaku,
memfasilitasi komunikasi, membuat prosedur, membantu mendefinisikan perbedaanperbedaan yang mendasar;
4. Effective Communication, menjamin berlangsungnya komunikasi efektif walaupun
tanpa disertai pertemuan fisik.
Memungkinkan Suatu Penyelesaian dalam konflik dapat diterapkan beberapa metode berikut:
1. Membangkitkan Kepercayaan : membangkitkan kembali dan meningkatkan saling
percaya dan keyakinan diantara pihak yang berkonflik
2. Memfasilitasi dialog : memungkinkan pihak yang berkonflik untuk berkomunikasi secara
langsung.
3. Negosiasi : suatu proses untuk memungkinkan pihak yang berkonflik mendiskusikan
perbagai kemungkinan pilihan dan mencapai penyelesaian melalui interaksi tatap muka.
4. Mediasi : Suatu proses interaksi yang dibantu pihak ketiga , sehingga pihak yang
berkonflik menemukan sendiri segala hal yang mereka sepakati sendiri
5. Arbitasi/Perwalian dalam sengketa: Tindakan oleh pihak ketiga yang diberi wewenang
untuk memutuskan dan menjalankan suatu penyelesaian.
5. Rekomendasi
Pada hakekatnya berbagai konflik di wilayah hidup dengan kasus perebutan sumber agraria
yang terjadi di lahan perkebunan merupakan ledakan-ledakan lanjutan dari suatu bara yang
sudah berlangsung sejak lama. Saking lamanya, dalam suatu konflik yang bersifat manifest,
biasanya yang menonjol adalah prosesnya, dan perilaku aktornya, sedangkan objek yang
menjadi akar masalahnya lalu menjadi sekunder.
Sehingga alur sejarah konflik di wilayah hidup yang berbasis perebutan sumber agraria ini
lebih terkesan memperebutkan tanah sebagai asset utamanya. Oleh karena itu, dalam rangka
penyelesaian konflik di wilayah hidup ini harus tetap dalam kerangka tidak sematamata
menyelesaikan konflik itu sendiri. Lebih jauh dari itu penawaran kerangka penyelesaian konflik
di sini adalah lebih dalam dan lebih mendasar yaitu merombang struktur sosial-ekonomi
masyarakat dan, penataan dan pengelolaan sumber agraria menjadi basis pembangunan
nasional.
Ada beberapa langkah inisiatif yang bisa dilakukan dan itu dikawal oleh banyak pihak. Langkah
inisiatif ini tidak semata-mata langkah yang kemudian menjadi kesepakatan bersama antara
kekuatan yang sedang berkonflik. Tapi terdapat kerangka tertulis berupa naskah inisiatif dari
masing-masing pihak tentang perbedaan pandangan yang selama ini terjadi. Masing-masing
melakukan rekam jejak mengenai: (i) masa lalunya baik itu mengenai asset agrarianya; maupun
(ii) kehidupan sosialnya selama ini, hingga (iii) cita-cita apa yang dibayangkan tentang sumber
hidup berupa lahan perkebunan tersebut.

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 7

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


Tentu saja hal ini bisa dibantu oleh kelangan akademisi. Proses ini tentunya juga dibarengi
dengan kajian bersama tentang berbagai peraturan perundang-undangan, guna menelaah
pengaturan mengenai aspek bekerlanjutan, perlindungan tata kelola masyarakat, partisipasi
publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber agraria. Selain itu dibutuhkan
juga proses singkronisasi dengan perundang-undangan yang lainnya, termasuk dimasukkannya
perspektif hak asasi manusia dan lingkungan. Untuk proses ini bisa betul-betul melibatkan
secara aktif pihak ketiga dalam hal ini kalangan akademisi.
Lebih menegaskan, sehingga penyelesaian konfliknya tidak semata-mata mengkalkulasi jumlah
korban dan jumlah kerugian akibat konflik sepanjang sejarah. Sekaligus bagaimana penyelesaian
konflik yang juga memberi ruang bagi perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan
memberikan kejelasan status kuasa hak tata kelola sumber agraria serta mempertimbangkan
kelembagaan yang tepat dalam rangka penataan dan pengelolaan sumber agraria pasca konflik.
Banyaknya sengketa agraria yang terjadi menunjukkan belum terlindunginya hak rakyat atas
tanah. Adanya kepentingan yang sama terhadap sumber produksi yang sama merupakan
sumber konflik bagi masing-masing pihak, baik bagi rakyat (rakyat kecil/petani), negara,
maupun pemilik modal. Dalam hal ini rakyat (rakyat kecil/petani) merupakan pihak yang selalu
dikalahkan. Ketidakadilan yang mereka peroleh tidak diterima begitu saja oleh mereka. Protes
dan perlawanan mereka lakukan dengan dukungan pihak-pihak yang bersimpati dengan nasib
mereka. Pemerintah pada saat ini hendaknya dapat memberikan keberpihakannya pada rakyat
untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Untuk mencegah berulang-ulangnya kembali
perlawanan rakyat yang menyangkut masalah tanah, maka pemerintah dituntut untuk
membuat kebijakan pertanahan yang tidak berat sebelah. Kebijakan tersebut tidak boleh hanya
berpihak pada kepentingan penguasa sendiri atau kepentingan pemilik modal saja. Negara
harus berusaha memberikan sumber-sumber kekayaan yang ada di negara ini dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 8

QUIZ MANAJEMEN KONFLIK (TAKE HOME TEST)


Refrensi
Atikah Warah, PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN
JEMBER.
Badri Mohamad Il, Edi Burhan Arifin, Hendro Sumartono. KONTROVERSI SERTIFIKASI
TANAH KONFLIK TANAH JENGGAWAH TAHUN 1999-2001 (STUDI KASUS KONFLIK
TANAH DI KECAMATAN JENGGAWAH KABUPATEN JEMBER). Program Studi Ilmu Sejarah,
Fakultas Sastra, Universitas Jember.
Darini Ririn. Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan Dari Masa ke Masa
Aprianto Tri Chandra. Manakala Konflik Berkepanjangan Harus Diselesaikan: Kasus
Konflik Perkebunan Ketajek, Jember. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, Nomor
1, Juli 2009

ARINI NATASYA AISYAH (3613100014)

Page 9

Anda mungkin juga menyukai