1. Kebun kelapa sawit diatas lahan seluas 117 hektar (ha) di luar Hak Guma
Usaha (HGU) PT. Hamparan Mawasit Banun Persada (HMBP) adalah milik
masyarakat Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur
(Kotim). Hal itu berdasarkan surat pernyataan 15 oktober 2019 oleh M. Wahyu
Bima Dakta (Manager Legal) dan M. Arif Hidayat NST (Supervisor Legal) yang
bertindak untuk dan atas nama PT. HMBP, yang pada intinya menyerahkan lahan
tersebut kepada warga Desa Penyang.
Jauh sebelum surat pernyataan itu dibuat, Bupati Kotim sudah beberapa kali
menyurati Direktur PT. HMBP, yang pada intinya menyatakan, bahwa PT. HMBP
melakukan aktivitas diluar HGU dan melakukan penggarapan lahan milik warga
desa Penyang. Oleh karenanya, dalam surat tersebut, Bupati Kotim meminta
kepada PT. HMBP agar mengembalikan lahan itu kepada warga atau
memitrakannya.
2. Konflik bermula dari Warga Desa Penyang dan Desa Tanah Putih menuntut
PT. Hamparan Masawit Bangun Persada, seluas 1.865,8 Ha menuntut agar
mengembalikan bekas lahan ladang warga yang dirampas oleh oleh PT.
Hamparan Masawit Bangun Persada karena hasil pengukuran batas luar HGU
ditemukan bahwa perusahaan telah melakukan penanaman diluar batas HGU
seluas 1.865,8 Ha. Tanah masyarakat yang turut diserobot di luar HGU dan IUP
adalah seluas 117 Ha.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia pada tanggal 09 Maret 2011
telah menyampaikan surat kepada Direktur PT. Hamparan Masawit Bangun
Persada untuk menidaklanjuti surat dari Bupati Kota Waringin Timur atas
pengaduan dari desa yang berpotensi terjdinya pelanggran hak asasi manusia
yag diatur dalam pasal 5 ayat (2) UU nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi manusia yang menyatakan bahwa: Tidak seorangpun boleh dirampas
miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Dan berikut
ini rumusan masalah 5W1H :
Who : Konflik terjadi antara warga desa penyang dan desa tanah putih
dengan PT. Hamparan Masawit Bangun Persada.
Konflik bermula dari Warga Desa Penyang dan Desa Tanah Putih menuntut PT.
Hamparan Masawit Bangun Persada, seluas 1.865,8 Ha menuntut agar
mengembalikan bekas lahan ladang warga yang dirampas oleh oleh PT.
Hamparan Masawit Bangun Persada karena hasil pengukuran batas luar HGU
ditemukan bahwa perusahaan telah melakukan penanaman diluar batas HGU
seluas 1.865,8 Ha. Tanah masyarakat yang turut diserobot di luar HGU dan IUP
adalah seluas 117 Ha.
Konflik bermula dari Warga Desa Penyang dan Desa Tanah Putih menuntut PT.
Hamparan Masawit Bangun Persada, seluas 1.865,8 Ha menuntut agar
mengembalikan bekas lahan ladang warga yang dirampas oleh oleh PT.
Hamparan Masawit Bangun Persada karena hasil pengukuran batas luar HGU
ditemukan bahwa perusahaan telah melakukan penanaman diluar batas HGU
seluas 1.865,8 Ha. Tanah masyarakat yang turut diserobot di luar HGU dan IUP
adalah seluas 117 Ha.
Merujuk kronologis yang dihimpun Walhi, konflik berawal pada 13 September 2003.
Bupati Kotawaringin Timur saat itu, M. Wahyudi K. Anwar mengeluarkan surat
bernomor 647.460.42 tentang pemberian izin lokasi pembangunan perkebunan sawit
atas nama PT. Karya Agung Subur Kencana (KASK) di Desa Tanah Putih,
Kecamatan Kota Besi, dan Desa Natai Nangka Kecamatan Mentaya Hilir Utara.
Luasnya 8.200 hektar.
Saat pergantian pemimpin, Plt Bupati Kotim Suandi, menerbitkan surat keputusan
yang mengalihkan izin tersebut ke PT. HMBP di lokasi dan luasan yang sama.
Keputusan tersebut dikeluarkan 6 Juli 2005. Sejak awal, warga menolak keberadaan
perusahaan tersebut.
“Dulu itu ada pendamping semacam advokat, tapi bukan dari Walhi. Namanya Dias
Manthongka,” katanya.
Pada 17 September 2005, muncul surat pernyataan tanah atas nama Yati, Dias
Manthongka, Sile Najir dan Artho Purwiro. Menyatakan, menguasai sebidang tanah
adat dengan luas 100.000 meter persegi di JL. Sampit Pangkalan Bun Km. 45,
Kelurahan Natai Baru, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin
Timur [Kotim]. Surat pernyataan tanah tersebut diketahui Kepala Desa Natai Baru.
Proses pengaduan dan advokasi terus bergulir. Dias Manthongka beberapa kali
mengirim surat aduan ke Bupati Kotim, perusahaan, DPRD Kotim, dan berbagai
pihak.
Pada 31 Juli 2009 Bupati Kotim Wahyudi K. Anwar mengeluarkan surat nomor
525/378/VII/EK.SDA/2009 terkait pembukaan lahan di luar izin yang diberikan
kepada seluruh pimpinan perusahaan perkebunan sawit. Isinya, melarang kegiatan
pada areal di luar izin lokasi dan HGU yang sudah diberikan.
Pada 12 Oktober 2010, Bupati Kotim Wahyudi K. Anwar mengeluarkan surat nomor
525/498/Ek.SDA/X/2010 terkait dengan penyelesaian lahan atas nama Dias
Manthongka dan rekan-rekan. Surat ditujukan kepada Direktur PT HMBP. Isinya
menerangkan, PT. HMBP telah bekerja di luar HGU dan telah menggarap lahan yang
dikuasai Dias Manthongka dan rekan-rekan. Pihak perusahaan juga diminta
mengembalikan lahan tersebut.
DPRD Kabupaten Kotim juga mengeluarkan keputusan pada tanggal 4 Januari 2011
terkait pembentukan Pansus menyoal Perkebunan Besar Sawasta [PBS] Sawit di
Kabupaten Kotim.
Rekomenasi Pansus DPRD Kotim ini kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Supian
Hadi dengan surat yang dikeluarkan pada 25 April 2011 bernomor 525/240/Ek. SDA.
Pada 3 April 2012, Gubernur Kalimantan Tengah saat itu, Teras Narang juga
menerbitkan surat bernomor 525/340/EK. Isinya, penyelesaian lahan adat atas nama
Dias Manthongka dan rekan-rekan dengan PT HMBP.
Gelar masalah tanah antara Dias Manthongka dan rekan-rekannya dengan PT HMBP
dilakukan 2 Mei 2012 oleh pihak Badan Pertanahan Nasional [BPN] Kotim dan pihak
terkait. Kesimpulannya, tanah yang diklaim oleh Dias Manthongka dan rekan-
rekannya berada di luar SHGU No. 35 tanggal 22 September 2006.
Direkomendasikan, tanah seluas 117 hektar itu dikembalikan ke pemiliknya atau
dijadikan plasma.
Komnas HAM juga menindaklanjuti persoalan ini, pada 9 Maret 2011, mengeluarkan
surat bernomor 570/K/PMT/III/2011 yang ditujukan kepada Direktur PT. HMBP.
Isinya mendesak perusahaan mengembalikan lahan yang telah digarap tanpa hak,
juga membayar kompensasi.
Pada 15 Oktober 2019, muncul surat pernyataan dari Manajer Legal PT. HMBP M.
Wahyu Bima Dhakta dan Supervisor Legal M. Arif Hidayat. Isinya, bersedia
menyerahkan atau memitrakan lahan seluas 117 hektar tersebut.
“Kami curiga, Dias Manthongka tidak menjelaskan semuanya kepada warga. Dia
cuma menunjukkan dokumen foto copy-an kepada warga tanpa ada penjelasan sudah
sejauh mana kasusnya. Warga merasa, surat pernyataan dari legal manajer perusahaan
itu menyatakan, menyerahkan lahan tersebut atau kemitraan. Surat ditulis tangan dan
ditandatangani di atas materai. Warga merasa memiliki hak atas lahan tersebut,” papar
Dimas.
Pasca-menerima salinan surat, warga beberapa kali panen massal. Tapi, pada 17
Februari 2020, terjadi penangkapan dua warga dengan tuduhan melakukan pencurian
tandan sawit. Tak terima, warga demo. Mereka membuat hinting pali, semacam portal
yang menutup akses jalan.
“Jadi, sebelum ada peristiwa penangkapan di Jakarta, sempat ada penangkapan warga
di Kalteng. Dua orang berbeda, dengan tuduhan pencurian buah sawit,” lanjutnya.