Anda di halaman 1dari 13

Analisis Terhadap Buku Dua Abad Penguasaan Tanah

(Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa)


Penulis : Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi
Yayasan Obor Indonesia, PT Gramedia. 1984. Jakarta

Buku ini merupakan dokumentasi penting mengenai serangkaian penelitian yang


berhasil tentang masalah tanah. Tentu saja laporan-laporan ini sangat membantu pengamatan
ahli-ahli ilmu-ilmu sosial dan calon-calonnya. Analisis dalam buku ini memotret secara
komprehensif dan menarik mengenai penguasaan tanah dari abad 19, 20 dan awal abad 21.
Untuk melengkapi kajian, disajikan pula pengalaman land reform di beberapa negara : Korea
Selatan, Taiwan, Jepang dan India.

Masalah pertanahan menjadi studi menarik ketika permasalahannya selalu menempel


setiap gerak zaman. Membentuk suatu kontinuitas polekmik didalam masyarakat. Meski telah
banyak upaya hukum dan penanggualngannya konflik tersebut tidak pernah padam. Kondisi
konflik ini sebenarnya muncul dari sifat tanah yang tidak dapat digantikan dengan komponen
lainnya. Tanah mengalami penysusutan setiap tahun, konsekuensi dari perkembangan
manusia yang tidak terkontrol. Peperangan antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya
teraikat dengan penguasaan tanah menjadi suatu ciri umum gerak jaman. Perebutan masalah
tanah menjadi inten ketika manusia mulai menetap pada suatu tempat untuk memproduksi
makanan, dari sebelumnya yang masih nomaden dengan menggumpulkan makanan. Tanah-
tanah di wilayah subur selalu menjadi komponen vital bagi perebutan kekuasaan. Di
Indonesia (nusantara) tanah memiliki suatu permasalahan ganda, pertama perebutan tanah
yang dilakukan pemerintah kolonial. Kedua, sistem pengaturan kepemilikan tanah yang
masih simpang siur. Ketelenturan pengaturan tanah tidak hanya terjadi pada masa kerajaan
maupun kesultanan melainkan di masa pemerintah kolonial berkuasa kondisinya masih sering
terjadi.
Pola pertanahan di wilayah Hindia-belanda pada periode awal abad ke-19 masih
belum sepenuhnya terkoordinir. Kondisi ini bukan merupakan orientasi pemerintah kala itu
belum tertatik dalam hal pertanahan, melainkan fase pada awal pergantian abad digunakan
pemerintah untuk menstabilkan pemerintahan serta membangun pondasi kokoh struktur
kelembagaan. Pemerintah Hindia Belanda kala itu masih menggunakan sistem lama untuk
mengatur kebijakan pertanahan. Meski dengan sedikit reformasi di berbepa bagian, secara
umum masih sama. Konflik yang melanda negara Induk (Nedherland) akibat perang
berkepanjangan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Secara beruturut
di hindia belanda sudah terjadi dua kali perpindahan kekuasaan hanya selang periode dua
dasawarsa awal abad ke-19. Pertama adalah W.H Deandles yang berkuasa mewakili Prancis
tahun (1808-1811), disusul selanjutnya Thomas Raflles (1811-1816) mewakili Inggirs. Pada
masa pemerintahan Rafles sudah terdapat penanganan dalam bidang agraria. Diantaranya
adalah sistem pembayaran pajak bagi para petani untuk hasil sawah mereka. Sistem tersebut
menjadi titik tolak perubahan mekanisme pembayaran pajak pada pertanian. Dampaknya
adalah semakin lemahnya para pejabat pribumi, sepeti priyayi dan bupati karena tidak dapat
mengeruk kekayaan dari rakyat. Sebelumnya bayaran mereka adalah sawah apanage
(lungguh) didesa-desa kekuasaan administratifnya , selama Raflles berkuasa dipotong dengan
pengajian setiap bulannya.
Sistem baru pengolaan tanah paska lengsernya Gubernur Jendral Inggris, digantikan
dengan sistem semula lama. Artinya terdapat suatu pengulangan mekanisme yang ada,
sehingga tidak jarang petani menjadi korban ekplotasi kekuasaan. Memang disadari atau
tidak, pola sistem kekuasaan di dalam pemerintah koloinial Belanda sengaja menggunakan
sistem indeirect rule, dengan memanfaatkan struktur hierarkis pribumi yang telah lama
terbentuk. Kondisi berbeda tentunya terjadi ketika dibawah Inggris yang menerapkan struktur
adminsistrasi negera modern. Pola sistem kekuasaan pemerintah kolonial memang
memberikan perlindungan didalamnya sebab peraturan yang memberatkan rakyat sengaja
ditampilkan agar rakyat memusuhi para elit pribumi. Bupati serta struktur kebawah
mesarakan sentimen dari rakyatnya yang dahulu begitu patuh terhadapnya. Kondisi rakyat
yang miskin menjadikan konflik dapat diartikan sebagai lahan kering yang, setiap saat akan
bisa terbakar (Mao tse Tung). Konkritnya adalah perang Jawa yang berlangsung dari 1825-
1830. Meski tujuan awalnya adalah untuk mengulingkan kondisi kesultanan Jogjakarta dalam
realitasnya menjadi meluas ke ranah konflik ras, antar pribumi dengan pemerintah kolonial
dan orang Tionghoa. Sasaran akumulasi kekecewa masyarakat lapis bawah dengan para
penikmat keringat mereka.

Kebijakan Cultuurstelsel
Kebijakan pemerintah kolonial dalam memaksimalkan hasil produksi pertanian
ditandai ketika Van Den Bosch menjabat sebagai gubernur Jendral. Bosch merupakan
kebijakan penanaman tamanam komerisal yang diberi nama Cultuurstelsel. Sistem yang
mengasilkan surplus besar bagi pemerintah, setelah perang Jawa menghabiskan cadangan
dana kas negara. Cultuurstesel secara terminologi sebenarnya mengacu pada sistem budidaya
tamanam. Maknanya menjadi konotatif ketika sistem tanam paksa pada realitas menunjukkan
kesengsaraan berkempanjangan. Tanaman utama hasil kebijkanan ini antara lian, Gula, Nila
dan Kopi. Ketiganya menjadi komoditi unggulan dipasaran dunia. Sebelum kebijakan
tersebut diterapkan di hindia belanda, komoditi hasil taman mayoritas adalah tebu. Surplus
besar berbanding terbalik dengan kondisi alat produksi, petani sebagai reduksi dari beban
yang kebijakan tersebut. Kesengsaraan petani pada saat sistem taman paksa berlangsung
bersifat ganda. Pertama, kebijakan penanaman tamanan ekspor adalah 1,5 dari total luas
sawah petani. Dalam peraturan kebijakan, seharunsya petani dapat menjual dengan harga
yang ditentukan oleh para pengepul (aparat). Akan tetapi, peraturan hanya berlaku pada taraf
hukum tertulis saja. Diberbagai desa, banyak hasil tamanam yang mereka jual dibeli. Petani
dalam hal ini, tidak memiliki pilihan lain. Ssitem pemasaran harga menjadi monopoli
pengepul sedang petani tidak memiliki akses untuk penjualan hasil tamanam diluar birokrasi
pemerintahan. Kedua, permasalahan semakin dibebankan oleh petani, ketika para kepala desa
yang bertugas untuk mengumpulkan hasil panen ditiap desa sering melakukan korupsi. Salah
satunya dengan memalsukan harga pasaran lebih rendah. Akbiatnya petani sering merugi
bahkan untuk modal taman.
Para petani yang tidak memiliki tanah, sistem tanam paksa mengaharuskan untuk
melakukan wajib kerja. Peraturan wajib kerja diberlakukan dengan mengakomodir para
kepala desa sebagai bagaian pelaksanaan pendataan penduduk. Petani buruh yang tidak
mmemilki tanah mendapatkan upah dari kerjanya mengolah sawah, meski beban kerja
dengan hasilnya memiliki perbandingan jauh. Komersialisasi pertanian merupakan
momentum baru bagi masyarakat pribumi di Jawa. Pengenalan uang dalam proses transaksi
juga dikenalkan pada masa ini. Pola penguasaan petani oleh pemerintah sebenarnya tidak
terlepas dari peran pejabat pribumi dan monopoli pangan di pedesaan Jawa. Dengan
monolopi pangan banyak petani menjadi tergantung dengan upah dan lapangan kerja yang
disediakan oleh pemrintah hindia belanda.

Sistem baru
Sistem taman paksa sudah diterapkan oleh pemerintah kolonial pada akhirnya menuai
protes. Upaya tersebut dilakukan oleh kaum liberal hindia-belanda. Protes yang diajukan tak
lain sebagai tanggapan realitas yang mengerikan dari diberlakukannya sistem tanam paksa.
Banyak penduduk mati kelaparan akibat tidak tersedianya kecukupan pangan. Jalan-jalan
diwilayah perkotaan banyak dipenuhi oleh gelandangan tidak sedikit kondisi psikis juag
dialami oleh mereka. Tuntutan kaum Liberal terjadi sesat setelah terjadinya kamatian masal
diwilayah Demak akbiat kelaparan. Mereka menuntut diberlakukannya sistem pertanahan
yang lebih manusiawi, lebih memberi kebebasaan kepada para petani untuk mengolah sawah
mereka. Protes mulai terjadi pada pertengan abad ke -19, dengan mendesak pemerintah di
Hindia-Belanda bahkan juga disertai gugatan di negeri Belanda. Pandangan lain diberikan
oleh pemerintah yang merasa akan merugi biladiberlkaukan kebijakan liberalisasi pertanahan
di hindia belanda. Kebutuhan pasar dunia mengenai bahan mentah tropis yang besar menjadi
pertimbangan lain. Sehingga wacananya mengalami tarik ulur dan baru diputuskan pada
tahun 1870 ketika dikerluarkannya Agrarische Wet dan Agrarisch Besuilt .
Corak dominan penguasaan tanah pada masa liberalisasi adalah terbukanya pintu bagi
pengusaha swasta untuk turut serta mengambil keuntungan. Para usahawan ini muncul dari
golongan Indo, orang Eropa dan Cina. Yang terkahir dalam perkembanganya mendominasi
jalannya perkembangan monopolisasi tanah. Berbeda dengan sistem monoteisme ekonomi
yang berlangsung pada sistem tanam paksa. Peran negara dalam kebijakan baru ini
mengalami pengurangan, meski masih tetap memilki otoritas penuh. Munculnya tanah
pertikelir dalam sejarah Indonesia juga muncul pada masa ini. Tanah partikel merupakan
tanah yang dijual kepada perorangan oleh pemrintah kolonial. Biasanya dibatai oleh periode
panjang, seperti 25-75 tahun. Pengembangannya pola penguasaan tanah tidak hanya
berlangsung pada sektor ekonomi pertanian semata, dibidang ekonomi perkotaan sistem
tanah partikel juuga menguntungan bagi pihak swasta sebagai pengelola. Tanah-tanah di
perkotaan yang padat dapat digunakan penarikan pajak hunian pada setiap penghuni.
Munculnya proses kontrak perumahaan ini tidak terlepas dari industrialisasi yang sdeang
berlangsung diwilayah perkotaan. Kota menyediakan tempat untuk memilih pekerjaan
dengan banyak variasi dibandingan dengan wilayah asal.

Sistem Kepemilikan Tanah Masyarakat


Masyarakat desa memiliki sistem tersendiri dalam pembagian tanah. Kepemilikan
tanah pada umumnya memang telah terjalin sejak lama. Hal yang umum dalam sistem
kepemilikan tanah di desa adalah milik perorarngan turun temurun. Penemuan tanah dalam
sistem ahli waris penerima tanah pada umumnya anak pihak laki-laki keluarga (paterlinial).
Pola kepemilikan tanah jenis ini juga didahalui dengan sistem penemuan tanah (occupatio)
tanah yang ditemukan oleh penggarap pertama akan menjadi hak miliknya. Fungsi terus
menerus menerus berjalan dengan pembagian tanah secara merata kepada keluarga.
Selanjutnya adalah jenis kepemilikan tanah secara komunal (gemeen bezit). Penggunaan
tanah komunal dalam masyarakat desa harus meminta ijin kepada lurah serta perangkat desa
lainnya. Untuk pembagiannya tanah komunal dipekerjkan secara bergilih oleh masyarakat
desa dengan kesepakatan bersama.Tanah komunal tidak dapat diperjual belikan hanya dapat
digunakan saja. Dalam pembagiannya tanah komunal mempunyai kencedurngan
menimbulkan konflik. Hal ini tidak terlepas dari pembagian wewenang penggarap yang kaku.
Jenis lahan yang dikenal oleh masyarakat desa lainnya adalah tanah Bengkok. Fungsi
tanah ini adalah untuk gaji para pejabat desa dengan memiliki lahan ini selama menjabat
sebagai kepala desa. Terdapat tiga komponen perangkat yang mendapat tanah bengkok tentu
dengan luas yang berbeda sesuai dengan jabatan. Lurah ( kepala desa) mempunyai tanah
bengkok paling luas dibandingan dengan milik carik maupun kamituwa. Saat ini upah berupa
tanah bengkok kepada kepala desa masih berlaku di pedesaan Jawa, meski beberapa
diantaranya sudah menggunakan sistem gaji tunai dari pemerintah. Bengkok dewasa ini
mengalami sebuah penyusutan terus menerus. Hal ini terjadi ketika tanah komunal milik desa
yang sudah habis untuk pembangunan desa. Sehingga tanah bengkok dijadikan sebagai
pengganti tanah komunal untuk keperluan lahan desa.
Selain tanah persawan seperti yang diuraikan, jenis tanah pekarangan dan tegalan juga
terdapat pembagian tersendiri. Meskipun fungsi keduanya tidak sebesar tanah persawahan,
setidaknya peran keduanya menjadi sumber cadangan bagi masyarakat untuk melewati masa
paceklik. Khusus tanah tegalan dibeberapa desa di Jawa fungsinya menjadi utama ketika
diwilayah desa tersebut kurang cocok untuk hasil persawahan. Desa-desa yang mengandalkan
pola tegalan umumnya memiliki iklim kering dan gersang. Hasil tamanan dari pola
penanaman tegalan adalah palawija, seperti ketela, kedelai dan kacang. Bila penggunaan
sistem tegalan lebih merupakan suatu pilihan geografis, kepemilikan pekarangan memiliki
peran yang berbeda. Umumnya dipedesaan Jawa masa kolonial banyak yang memiliki tanah
pekarangan. Fungsinya sebagai media ketahanan pangan dan kesehatan, sebab umumnya juga
banyak ditaman jenis obat-obatan herbal. Kedua jenis tamanam dalam pola kepemilikannya
hampir menyerupai sistem kepemilikan tanah persawahan. Yang membedakan adalah tanah
pekarangan bila tak memilki hak waris akan digunakan oleh desa atau disewakan kepada
masyarakat dengan perantara kepala desa. Otoritas desa juga berperan dalam pengawasan
penggunaan tanah liar (woeste ground) diwilayah desa. Sebelum pesatnya penduduk di Jawa
dan maksimasilasi lahan, desa banyak memiliki lahan liar yang tak memiliki tuan. Biasanya
adalah wilayah hutan, untuk mengamankan aset desa, kepala desa menerapkan beberap
kebijakan untuk membatasi eksplotasi hasil tanah tersebut. Beberap kasus, tanah liar juga
sering disewakan oleh lurah.
Masyarakat Perdesaan Jawa dalam Perubahan
Selama dasawarsa terakhir masyarakat pedesaan Jawa telah mengalami perubahan-
perubahan secara struktural yang menentukan. Hal ini tercermin dalam berbagai pola
penguasaan tanah. Berlakunya kebijakan baru yang telah diuraikan diatas memberikan
konsuensi perubahan terhadap masyarakat desa. Kebutuhan materil mulai menampakan
interfensi kepada norma kabudayaan desa. Penggunaan monetiesme dalam penukaran “uang”
memberikan pukulan terhadap masyarakat desa. Petani yang sebelumnya mengenal sistem
tukar menukar secara “barter”berlangsung harus menggantinya. Memang dalam sejarahnya,
penggunaan “uang” guna keperluan transaksi di Jawa sudah dikenal beberapa puluhan tahun
(periode VOC) namum fungsinya hanya sebagai pemambah, sedang transaksi trandisional
masih diperbolehkan. Pengenalan mata uang kemudian akan merubah pola masyarakat desa
yang bersiafat “horisontal” secara bertahap berubah kearah kepemilikan “vertikal”. Berbeda
dengan kebijakan pendahulunya nampaknya perintah kolonial ini menerapkan seutuhnya
kebijakan monoteisasi. Akibatnya tidak ada tukar menukar hasil kerajinan masyarakat dengan
komunitas luar. Sedikit tambahan, pedesaan Jawa memiliki mata pencarian sebagai pengrajin
industri kecil. Usaha ini meningkat ketika penati mengalami musim tunggu sebelum musim
panen dan taman kembali.
Desa menjadi tempat pemupukan golongan termajinalkan yang sebelumnya dapat
bertahan. Golongan tersebut adalag para numpang yang secara status sosial tidak mempunyai
saluran ekonomi secara tetap. Komersialisasi hasil tanaman mendorong orang dari golongan
numpang ( nusup, tlosor atau bujang) semakin banyak dipedesaan jawa. Munculnya
fenomena numpang terjadi ketika banyak petani ( yang memiliki tanah kecil) kehilangan
tanah akibat tidak bisa mengolahnya. Tekanan dari sistem liberalisme mebuat banyak petani
kecil menjual sawah mereka dan menjadi buruh. Seperti studi kasus yang dilakukan oleh
Chandra Bhal Tripathi, di desa terdapat beberapa golongan buruh tani. Diantaranya adalah
kuli keceng, kuli kendo, gundul, magersari, dan mondok empok. Terpisahnya golongan buruh
menjadi bererapa bagian menjelaskan adanya pemisahan secara hierarkis masyarakat desa
dalam beberapa bagian yang semakin kompleks.
Pengaruh lain dari terakumulasinya kebijakan pemerintah kolonial adalah munculnya
sistem buruh. Menurut teori marxisme, buruh pekerjaan yang tumbuh pada era industrialisasi,
menggantikan pola ferodalimse menuju kapitalisme. Buruh menurut terminologi marxis dapat
dikatakan sebagai orang yang memiliki alat produksi sendiri. Mereka terlepas dari
pekrjaannya, pola ini yang dimanakan oleh pengikut Marx sebagai “keterasingan” manusia.
Meskipun kondisi tersebut tidak baku seperti terjadi di Hindia-Belanda, setidaknya menurut
pengertinanya munculnya kapitalisme memuculkan golongan pekerja. Kondisi buruh di
Hindia-Belanda memiliki dilema panjang, sebagai konsekuensi belum matangnya
industrilisasi. Pemerintah Hindia-Belanda yang masih mengalami “ketidakstabilan” lebih
banyak mengupayakan buruh paksa tanpa upah. Mobilisasi pemerintah untuk mendorong
para petani menjadi buruh juga mengalami kendala. Petani pedesaan yang dikatan pasif
dalam meingkatkan pengasilhannya, mengalami suatu ketenangan batin dan selalu merasa
cukup. Kondisi yang tentu berbeda di Eropa dimana persaingan peningkatan ekonomi
menjadi sutau kewajaran, orang Jawa dengan sloganya nrima ing pandum menangappinya
dengan arif. Buruh upah hanya ada terdapat dikota-kota besar pusat admintrattif dan
perdagangan yang umumnya memiliki mekanisme terstuktur guna pembagian buruh.
Sebenarnya di wilayah pedesaan menurut Malinowski juga banyak orang yang menganggur,
seperti para numpang akan tetapi mereka difalitasi oleh penduduk desa dengan gotong
royong. Perilaku sambatan dan gotong royong dalam masyarakat mengalami pelapukan
ketika terjadinya monoteisasi alat tukar.

Munculnya Konflik Pertanahan


Gerakan gerakan pertani dalam sejarah Indonesia mengalami beberapa fase dalam
setiap konflik yang timbul. Masyarakat desa yang adem ayem, trentem gemah ripah loh
jinawi terusik oleh perubahan masyarakat yang menyeret mereka dalam percaturan politik
meluas. Terjadinya konflik memiliki penjelasan berbededa dalam mendeskripsikan
maknanya. konflik terjadi ketika masyarakat dalam suatu komunitas tidak dapat menerima
paksaan dari luar (sistem), atau bisa terjadi ketika sistem yang ditawarkan menyalahi aturan
masyarakat. Konflik juga dapat muncul menjadi suatu letusan peristiwa yang dijadikan
sebagai tujuan. Yang terkahir ini menjadi pola umum dalam serangkain pergerakan kaum
tani. Tanah mereka dan hak-hak yang sudah tidak dapat ditawar oleh mereka menjadi titik
nadir terjadinya suatu pemberontakan. Gerakan petani dalam historiografi Indonesia yang
paling fundamendal dalam mengupas gerakan adalah studi Sartono Kartodjirjo tentang
Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Hingga kini studi tersebut menjadi bahan rujukan
wajib bila ingin mengetahui sejarah konflik pertanahan di Indonesia. Bila dilihat dari masa
studi tersebut setidaknya didapati sebuah masa dimana kebiajakn pertanian kolonial sudah
berlangsung hampir setengah abad (dari Cultuurstelsel,1830) dan Agrarische Wet 1870.
Interpretasi penulis menjelaskan peristiwa pertsebut merupakan akumulasi permaslaah
pertanian yang terus mengalami kemsrostotan.
Timbulnya gerakan petani sering terjadi akibat dorongan-dorongan spiritual dalam
mentalitas penduduk desa. Agama menurut Cristoper Dowson adalah kunci dalam sejarah
karena gerakan akan mempengahuri pola dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Ikatan
agama menjadi unsur penting selain kesamaan status dan kemiskinan materil. Dalam gerakan
petani Banten diatas, muncul pemimpin kharismatik dalam mempimpin suatu gerakan.
Mesianisme atau gerakan “Ratu Adil” menjadi unsur penting dalam memahami corak dalam
gerakan. Kyai dalam dalam peranan ini membantu untuk menguatkan semangat para petani
untuk memberontak. Salah satu gerakan paling umum di negara-negara sedang terjajah
adalah mengusir orang “kafir” dari bumi petiwi. Semangat untuk melawan musuh agama
menjadi suatu keharusan bagi petani. Faktor agama yang menjadi pioner contoh pergerakan
petani kemudian mengalami perubahan pada abad ke-20 ketika banyaknya ideologi serta
intelektualitas yang memerankan menciptakan gerakan.
Awal abad ke-20 memilik sedikit banyak memiliki karakteristik berbeda dengan jiwa
jaman abad ke-19. Periode ini dipandang sebagai periode pencerahan bagi bangsa Indonesia.
Politik Etis sebagai usaha pembebasan ketidakberadaban penduduk Hindia-Belanda dijadikan
patokan munculnya bibit-bibit baru kaum pergerakan nasional. Pergerakan konflik petani
belum muncul selama dasawarsa abad ini konsidi lainya ditandai sebagai munculnya
organisasi kenasionalan, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam (SI) dan Indische Partij. Gerakan
kaum petani menjadi semakin mantap dengan dorongan munculnya partai beraliran Marxis
yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1920. Partai yang mengusung gerakan
revolusi tersbebut mendapat pengikut ribuhan pada awal pendiriannya yang sebagian besar
merupakan kaum buruh pabrik dan bauruh tani. Pemberontakan Banten pada tahun 1926-
1927 terdapat isu bahwa paratai ini memfalitasinya. Kondisi pemberontakan serua juga trjadi
di Sumatra Utara yang banyak dilakuakn oleh para buruh pabrik tambang batu bara dan
sebagian petani. Meski gagal, dan banyak kemduian dari akitifi peberontakan dipenjarakan
dan di asingkan periode ini dapat dijadikan sebagai awal adanya ideologi politik dalam
gerakan petani. Dibanten pemebrontakan awalnya terlihat berhasil dalam bebarap minggu
dengan menduduki kota banten, akan tetapi tersu menerus turun sebelum padam seluruhnya.
Sejauh paruh pertama abad ke-20 stabiltas ekonomi pemrntah kolonail mengalami
kurva stabil. Kembalinya stablitas ekonomi merupakan wujud dari usaha penanatan
pemerintahan di Hindia-Belanda. Seletah terjadinya pemberontakan petani yang di backup
oleh PKI kondisi beranngsur membaik. Meski adanya pelarangan partai tersebut untuk
melakukan kegiatan partai, organisasi bawah tanah masih memiliki peran besar dalam
mempengaruhi opini masyarakat untuk selalu sigap. Ekonomi Hindia Belanda yang sudah
sttabil mengalami guncangan hebat pada tahun 1930 dengan adanya krisis yang melanda
dunia. Harga gula untuk ekpor mengalami penurunan harga sehingga banyak pabrik-pabrik
yang tidak berporduksi. Macetnya produksi gula hingga berakhirnya masa kolonialime tahun
1942 belum bisa teratasi. Tutupnya pabrik gula menimbulkan dampak pada menganggurnya
buruh pabrik yang sangat mengantungkan upah dari pekerjaannya sebagai buruh. Begitu
sebaliknya pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 kondisi inflasi dan penurunan ekonomi
tidak dapat teratasi. Jepang hanya ingin memfokuskan diri guna mempersiapkan perang di
Asia raya mencoba memobilisasi penduduk untuk melakukan kerja romussa. Petani di
pedesaan dihimbau untuk menanam bahan pangan dan bahan keperluan minyak. Tanaman
jarak menjadi tamanan umum pada masa pendudukan, karena digunakan untuk pelumas
bahan perang. Politik Jepang di Indonesia secara umum menerapkan peraturan pemerintah
kolonial. Masa pendudukan Jepang yang singkat dimata penduduk memiliki makna yang
membekas, penjajah yang mengakui diri sebagai saudara tua, ternyata melakukan penjajahan
lebih tidak manusiawi. Kelaparan melanda seluruh negeri karena bahan makanan hampir
seluruhnya diserahakan pada kebutuhan pasukan perang jepang dibeberapa negara.
Kekalahan Jepang dari sekutu pada tanggal 16 Agustus 1945 dimanfaatkan oleh bangsa
Indonesia untuk merumuskan kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 agusutus 1945.
Masalah tanah yang tidak pernah berakir sepanjang jaman yang telah diuraikan oleh
penulis didepan menjadi acuan untuk melihat konflik tanah paska kemerdekaan. Negara yang
masih dalam keadaan “setengah sadar” mengalami keterpurukan ekonomi mendalam. Tidak
ada pemasukan dalam kas negara, sebab paska perang kondisi Indonesia mennyerupai negara
tidak berpenghuni, khsusunya dikota-kota besar. Kondisi kota yang untuk sementara waktu
mengalami kekosongan ketika perang, berubah menjadi ramai paska perang. Peristiwa ini
bukan terjadi karena sorak-sorai rakyat yang telah berhasil mengusir penjajah melainkan
karena perebutan ruang kota oleh penduduk ilegal dengan penduduk legal. Legal tidak legal
terletak pada presepsi bahwa penguhi sebelumnya “legal” tinggal dirumah tersebut mendapi
tanahnya dijarah dan diduduki. Mirip penemuan tanah “occupatio” namum yang
membedakan adalah fungsinya yang tidak sama. Untuk sementara waktu pemerintah seolah
membiarkan selama tidak menyebabkan konflik yang meluas di masyarakat.
Perdesaan Jawa selama periode revolusi fisik hampir menyerupai keadaan kota.
Perbadaannya terletak pada keteraturan penduduk desa dalam membagi hak milik atas tanah.
Hak milik individu sebelum pendudukan dikembalikan kepada penduduk yang berhak. Akan
tetapi kondisi demikiantidak berlangsung lama, kestabilan penduduk mulai mendapat
guncangan ketika partai politik gaya lama PKI dan dibantu oleh Barisan Tani Indonesia (BTI)
mengakomdasi keluhan masyarakat, khsususnya para buruh dan numpang yang tidak
memiliki pekerjaaan. Penduduk Jawa mengalami dampak pembagian hierarkis keluarga.
kepimilikan tanah yang terlaif sempit membtuhkan daya kerja lebih intensif guna
menghasilkan panen. Sementara pengenalan pestisida belum digunakan pada daswarsa paska
kemerdekaan. Kedua organisasi kepartaian diatas kemudian membuat racangan
diberlakukannya reformasi Agraria. Tujuan yang digunakan untuk meratakan ekonomi
masyarakat tenryata mendapatkan tentangan yang menimbulkan peristiwa pembantian masal
mulai Oktober 1965.
Pertetangan mengenai rumusahan landreform secara kaku kemduian memisahkan
masyarakat desa dalam beberapa bagian kepentingan. Oreintasi keagaman sebagai sumber
indentitas orang pedesaan Jawa menjadi lebih penting setelha masuknya organisasi politik
masa yang cenderung memakai simbol agama. Akar orientasi yang berbeda dalam
masyarakat Jawa juga dapat diamati pada sosio-budaya masyarakat. Dua agama yang masuk
mempengaruhi masyarakat, seperti agama islam, dan Hindu-budha secara perlahan
memisahkannya. Masyarakat seacara umum digolongkan menajdi tiga bagian stratifikasi
sosial yaitu priyayi, santri dan abangan (Cliford Greetz). Keitganya mewakili sebuah
intentitas komunitas secara imajiner terpisah. Golongan priyayi mewakili orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan aritrokrasi teurun-temurun yang berakar dalam struktur
kerajaan lama. Dalam dirinya priyayi dapat dikatakan mewakili keadaan luhur karena
keluarga bangsawan mengajarinya. Kedua adalah santri kelompok ini sebenarnya dalam
pemaknaan mengalami pergeseran. Bila semula santri diidentikan sebagai seseorang
pedagang, saudagar melami kekhususan. Santri dianggap mewakili golongan agama yang
secara implifis membawa ajaran fundamental islam, dengan mendiskriditkan kebudayaan
Jawa. Sedang abangan mewakili gaya hidup mayoritas orang Jawa pedalaman (agraris).
Memiliki unsur sinkretisme kuat dengan model kepercayaan bersifat longgar.
Land Reform sebenarnya bukanlah merupakan kebijaksanaan pertanahan yang
rasional untuk Jawa, masalah lebih pokok adalah masalah kelangkaan tanah di samping
masalah distribusi pemilihan tanah yang tidak merata. Distirbusi dalam undang-undang Land
Reform sebenarnya memiliki mekanisme tepat dalam bidang ekonomi sebagai katalisator
pembagian tanah. Namum kondisi kestabilan berbanding dengan kondisi sosial dalam
masyarakat. UUPA (Undang-undang pokok agraria) disahakan oleh pemerintah pada tahun
1960. Kebijakannya pemberlakuan undang-undang yang membahas maslaah tanah
sebernanya merupakan embrio dari pemrintah Indonesia untuk merevisi UU masalah sama
pada tahun 1870. Hal ini menandakan bahwa kemunculannya tidak terlepas dari kebijakan
serupa yang pernah diterapkan pemerintah kolonial pada abad lalu. Embrio dari permasalahan
UUPA terletak menurut penulis pada pasal 7 dan 17 UUPA, dimana pembatasan hak milik
maksimum dan minimum ditetapkan. Pasal ini berlaku sesuai dengan kepadataan dan luas
perdesaan masing-masing. Sebelumnya pasal lebih awal dalam UUPA hanya mensyaratkan
pembagian hasil antara petani pemilik dengan penggarap. Dari status pasal ini mengdikasikan
bahwa petani kaya mengalami diksriminasi dan secara ekonomi paling dirugikan. Mereka
tidak diperkenankan memindahkan hak milik kepada orang lain tanpa seizin Departemen
Agraria.
Masalah sosial menyangkut diberlakukan UUPA adalah rusaknya distablitas politik
kaum elit perdesaan. Status quo sebelum dicanangakannya peraturan tanah kondisi pedesaan
relatif stabil (secara politik). Kekesaan elit desa akan termanifetasikan sedikitnya adalah aksi
pembalasan 1965. Disadari atau tidak, merosotnya kewenangan adat dalam mengatur
masyarakat terletak pada pendidikan politik yang diprogandakan oleh partai-partai
pendukung aksi. PKI dan BTI yang membawahi gerakan perburuhan bertujuan untuk
menyadarkan petani, menurut partai harus adanya revolusi pertanian. UUPA hanya sebagai
letupan masyarakat untuk mendapatkan hak mereka secara nasional yakni warga negara
Indonesia. Aksi keperpihakan yang semula menuntut adanya kesamaan hak, menjadi semcam
keperluan untuk mensejahterkan kaum buruh. Hal ini dibutkikan dengan usul-usulan PKI
dalam membuat pasal dalam UU Agraria.
Konflik antar partai mulai menghiasi negeri setelah peraturan-peraturan dalam UUPA
dilaksanakan. Basis ketegangan terjadi antara partai mayoritas pemilik tanah dan buruh.
Disisi lain hembusan perang ideologi namapk jelas dalam kaitannya memicunya terjafi
konflik. Nadhatul Ulama (NU) mewakili partai islam secara sadar melakukan tindakan-
tindakan banding menyatakan beberapa protes mengenai UU yang disahkan. Wajar memang
partai melakukan protes sebab NU banyak dari golongan kyai dalam strukutr kepngurasanya.
Seorang Kyai yang dihormati oleh rakyat sebagai pemimpin agama rata-rata juga memiliki
kekayaan lebih, dengan mengusai tanah luas perdesaan. Konfrontasi mulai timbul antara
kaum agamis (santri) dengan kaum abangan yang lebih condong pada PKI. Fenoma serupa
sebenarnya pada masa akaru rumput sering terjadi secara anarkhi. Seperti mobiliasasi Barisan
Tani Indonesia untuk menduduki tanah-tanah kosong. Tanah yang telah ditanami menurut
hukum adat akan menjadi hak garap pada para penanam. Upaya gerakan pendudukan lahan
umumnya dilakukan pada malam hari. Konflik yang tidak mendukung aksi BTI terutama tuan
tanah juga sering mengerahkan masa untuk mengusir para pencongkel lahan mereka.
Perkelahian antara penduduk berbeda kepentingan tersebut sering menimbulkan korban.
Kesimpulan
Permasalahan tanah memang menjadi isu yang krusial dalam berbagai permaslahan
terkait diatas. Tanah tetapi dijadikan sebagai aset penting dalam masyarakat karena nilanya
dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Monopolisasi tanahlah menurut penulis menjadi
permasalahan penting bagi penduduk. Momopolisasi disini dalam arti adalah kepemilikan
tanah yang dilakukan dengan penyerobotan atau pengambilan secara paksa. Pemerintah
kolonial yang mulai menerapkan ekplotasasi tanah diluar norma hukum penanaman
penduduk sebelum merupakan persoalan yang menimbulkan konflik. Banyaknya tani yang
dulu dapat hidup dengan kesederhanan dan tidak mengoptimalkan hasil keuntungan menjadi
tantangan. Tanah mereka dipatok dengang kententuan hukum luar yang tidak berpihak pada
petani. Ikatan komunal yang dibangun diatas sosio-budaya masyarakat mengalami
pemudaran secara gradual.
Konflik yang terjadi dimasa berbeda seperti land reform menghembuskan
permasalahan lain. Selain bentuk dari perubahan masyarakat desa yang mejemuk mulai
lemah dengan idoelogi politik memberikan motif lain dalam permaslahan ini. Petani yang
dulu memiliki tanah kecil selama sebelum kemerdekaan dan dijiual karena adanya tuntutan
ekonomi mulai meminta kembalinya tanah mereka. Sebenarnya membesarkan permaslahan
pada salah satu parpol menurut penulis kurang tepat. Kondisi ini dapat ditarik dari beberapa
faktor yang salah berhubungan. Pertama, masalah makna kemerdekaan yang diartikan secara
fullgar oleh masyarakat umumnya bahwa lepasnya dari belenggu penjajahan metrupakan
sebuah rahmad, rakyat berhak memanfaatkan fasilitas yang ada termasuk didalamnya adalah
pengambilalihan tanah sepihak. Kedua, dalam beberapa kasus upaya penyerobotan tanah juga
disetujui pemerintah meski ditanggapi secara berbeda oleh masyarakat. Sebagai contoh
adalah nasionalisasi aset asing, selain melakukan penyitaan. Beberapa perusahan yang belum
terdaftarkan dalam rencana sudah terlebih dahulu diduduki oleh petani dan buruh. Terakhir
adalah gembar-gembor mengani ekonomi berbasis kerakyatan yang digagas pada
pemerintahan Soekarno. Mandiri dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan rakyat
untuk bekerja dalam berbagai sektor termasuk unggulannya adalah dibidang pertanian.
Sebenarnya untuk memaksimalkan hasil refomrasi UUPA tahun 1960 perlu diadakan
sebuah usaha kontinyu dari segala komponen dengan pemerintah sebagai fasalitator. Penulis
sendiri beranggapan bahwa konflik dalam permasalahan agararia masa konteporer terjadi
karena orintasi pemerintah yang kurang tepat dalam menanggapi kesesuaian ekonomi dalam
negeri. Saat ini Indonesia mulai menuju masa industrilisasi pabrik-pabrik dibangun dengan
menggunakan modal-modal asing. Sementara disisilain kondisi pertanian yang seharunsya
dapat dimaksimalkan memngingat kondisi luas tanah Indonesia dan keseburun tanah yang
baik kurang mendapat perhatian. Hal ini terbukit dengan permasalahan yang baru-baru hangat
secara umum konflik tanah terjadi antara masyarakat desa dengan pihak pembembang. Dalam
hal ini adalah para pengusaha yang menerobos tanah mamsyarakat. Ekonomi berbasis
kerakyataan ternyata di era manodial ini semakin jauh dari cita-cita masa pemerintahan awal
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai