Kebijakan Cultuurstelsel
Kebijakan pemerintah kolonial dalam memaksimalkan hasil produksi pertanian
ditandai ketika Van Den Bosch menjabat sebagai gubernur Jendral. Bosch merupakan
kebijakan penanaman tamanam komerisal yang diberi nama Cultuurstelsel. Sistem yang
mengasilkan surplus besar bagi pemerintah, setelah perang Jawa menghabiskan cadangan
dana kas negara. Cultuurstesel secara terminologi sebenarnya mengacu pada sistem budidaya
tamanam. Maknanya menjadi konotatif ketika sistem tanam paksa pada realitas menunjukkan
kesengsaraan berkempanjangan. Tanaman utama hasil kebijkanan ini antara lian, Gula, Nila
dan Kopi. Ketiganya menjadi komoditi unggulan dipasaran dunia. Sebelum kebijakan
tersebut diterapkan di hindia belanda, komoditi hasil taman mayoritas adalah tebu. Surplus
besar berbanding terbalik dengan kondisi alat produksi, petani sebagai reduksi dari beban
yang kebijakan tersebut. Kesengsaraan petani pada saat sistem taman paksa berlangsung
bersifat ganda. Pertama, kebijakan penanaman tamanan ekspor adalah 1,5 dari total luas
sawah petani. Dalam peraturan kebijakan, seharunsya petani dapat menjual dengan harga
yang ditentukan oleh para pengepul (aparat). Akan tetapi, peraturan hanya berlaku pada taraf
hukum tertulis saja. Diberbagai desa, banyak hasil tamanam yang mereka jual dibeli. Petani
dalam hal ini, tidak memiliki pilihan lain. Ssitem pemasaran harga menjadi monopoli
pengepul sedang petani tidak memiliki akses untuk penjualan hasil tamanam diluar birokrasi
pemerintahan. Kedua, permasalahan semakin dibebankan oleh petani, ketika para kepala desa
yang bertugas untuk mengumpulkan hasil panen ditiap desa sering melakukan korupsi. Salah
satunya dengan memalsukan harga pasaran lebih rendah. Akbiatnya petani sering merugi
bahkan untuk modal taman.
Para petani yang tidak memiliki tanah, sistem tanam paksa mengaharuskan untuk
melakukan wajib kerja. Peraturan wajib kerja diberlakukan dengan mengakomodir para
kepala desa sebagai bagaian pelaksanaan pendataan penduduk. Petani buruh yang tidak
mmemilki tanah mendapatkan upah dari kerjanya mengolah sawah, meski beban kerja
dengan hasilnya memiliki perbandingan jauh. Komersialisasi pertanian merupakan
momentum baru bagi masyarakat pribumi di Jawa. Pengenalan uang dalam proses transaksi
juga dikenalkan pada masa ini. Pola penguasaan petani oleh pemerintah sebenarnya tidak
terlepas dari peran pejabat pribumi dan monopoli pangan di pedesaan Jawa. Dengan
monolopi pangan banyak petani menjadi tergantung dengan upah dan lapangan kerja yang
disediakan oleh pemrintah hindia belanda.
Sistem baru
Sistem taman paksa sudah diterapkan oleh pemerintah kolonial pada akhirnya menuai
protes. Upaya tersebut dilakukan oleh kaum liberal hindia-belanda. Protes yang diajukan tak
lain sebagai tanggapan realitas yang mengerikan dari diberlakukannya sistem tanam paksa.
Banyak penduduk mati kelaparan akibat tidak tersedianya kecukupan pangan. Jalan-jalan
diwilayah perkotaan banyak dipenuhi oleh gelandangan tidak sedikit kondisi psikis juag
dialami oleh mereka. Tuntutan kaum Liberal terjadi sesat setelah terjadinya kamatian masal
diwilayah Demak akbiat kelaparan. Mereka menuntut diberlakukannya sistem pertanahan
yang lebih manusiawi, lebih memberi kebebasaan kepada para petani untuk mengolah sawah
mereka. Protes mulai terjadi pada pertengan abad ke -19, dengan mendesak pemerintah di
Hindia-Belanda bahkan juga disertai gugatan di negeri Belanda. Pandangan lain diberikan
oleh pemerintah yang merasa akan merugi biladiberlkaukan kebijakan liberalisasi pertanahan
di hindia belanda. Kebutuhan pasar dunia mengenai bahan mentah tropis yang besar menjadi
pertimbangan lain. Sehingga wacananya mengalami tarik ulur dan baru diputuskan pada
tahun 1870 ketika dikerluarkannya Agrarische Wet dan Agrarisch Besuilt .
Corak dominan penguasaan tanah pada masa liberalisasi adalah terbukanya pintu bagi
pengusaha swasta untuk turut serta mengambil keuntungan. Para usahawan ini muncul dari
golongan Indo, orang Eropa dan Cina. Yang terkahir dalam perkembanganya mendominasi
jalannya perkembangan monopolisasi tanah. Berbeda dengan sistem monoteisme ekonomi
yang berlangsung pada sistem tanam paksa. Peran negara dalam kebijakan baru ini
mengalami pengurangan, meski masih tetap memilki otoritas penuh. Munculnya tanah
pertikelir dalam sejarah Indonesia juga muncul pada masa ini. Tanah partikel merupakan
tanah yang dijual kepada perorangan oleh pemrintah kolonial. Biasanya dibatai oleh periode
panjang, seperti 25-75 tahun. Pengembangannya pola penguasaan tanah tidak hanya
berlangsung pada sektor ekonomi pertanian semata, dibidang ekonomi perkotaan sistem
tanah partikel juuga menguntungan bagi pihak swasta sebagai pengelola. Tanah-tanah di
perkotaan yang padat dapat digunakan penarikan pajak hunian pada setiap penghuni.
Munculnya proses kontrak perumahaan ini tidak terlepas dari industrialisasi yang sdeang
berlangsung diwilayah perkotaan. Kota menyediakan tempat untuk memilih pekerjaan
dengan banyak variasi dibandingan dengan wilayah asal.