Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Indonesia

Cultuurstelsel
XI IPA 5
materi pembahasan

Latar Belakang
Aturan Penyimpangan Dampak Tanam
& Tujuan
Tanam Paksa Tanam Paksa Paksa
Tanam Paksa
Latar Belakang &
Tujuan Tanam Paksa
Dikutip dari Agnes Dian dalam penelitiannya berjudul «Pelaksanaan Sistem
Tanam Paksa di Jawa Tahun 1830-1870» , kebijakan sewa tanah yang
diterapkan pada era Raffles tak berjalan sebagaimana mestinya. De Klerck
dalam History of the Netherlands East Indies , menuliskan bahwa sistem
sewa tanah yang dikeluarkan Raffles gagal memberikan keuntungan bagi
pemerintah dan rakyat. Inilah yang kemudian menjadi dasar van Den
Bosch mencetuskan sistem tanam paksa sejak ia mulai menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830. Selain itu, kebijakan tanam
paksa dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan yang
dialami Hindia Belanda maupun Kerajaan Belanda.

Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan keuntungan yang besar bagi
pemerintah kolonial.
Aturan Tanam Paksa
Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian
Sosial-Ekonomi (1991) yang dikutip dari Lembar Negara (Staatsblad) No. 22
Tahun 1834 menyebutkan Sistem Tanam Paksa dijalankan dengan aturan sebagai
berikut:
Melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk
penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
Tanah yang disediakan untuk penanaman perdagangan tidak boleh melebihi
seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi.
Bagi tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pajak tanah.
Apabila nilai hasil tanaman perdagangan melebihi pajak tanah yang harus
dibayar, maka selisih positifnya harus diberikan kepada rakyat.
Kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
Penduduk desa mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala
yang telah ditugaskan.
Penyimpangan Tanam Paksa
Dalam prakteknya, terjadi banyak penyelewengan dalam pelaksanaan Sistem
Tanam Paksa, antara lain:
Tanah yang harus diserahkan rakyat melebihi ketentuan.
Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap terkena pajak.
Rakyat yang tidak punya tanah garapan harus bekerja di pabrik atau
perkebunan milik kolonial selama lebih dari 66 hari.
Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak tidak dikembalikan.
Kerugian akibat gagal panen ditanggung oleh petani.

Salah satu penyebab terjadinya banyak praktek penyimpangan ini adalah para
pejabat lokal yang tergiur janji dari pemerintahan kolonial yang menerapkan
cultuur procenten. Cultuur procenten (prosenan tanaman) adalah sistem pemberian
hadiah oleh pemerintah kolonial kepada kepala pelaksana tanam paksa (penguasa
lokal dan kepala desa) di daerah yang mampu menyerahkan hasil panen melebihi
ketentuan.
Dampak Tanam Paksa
Robert Van Niel dalam Warisan Sistem Tanam Paksa Bagi Perkembangan Ekonomi
Berikutnya (1988) menyebutkan, beberapa dampak dari Sistem Tanam Paksa.
Selain mempengaruhi tanah (kemudian dikaitkan dengan sistem ekonomi pedesaan)
dan munculnya tenaga buruh yang murah, Cultuurstelsel juga berdampak terhadap
munculnya pembentukan modal di desa. Sistem tanam paksa juga telah
menghancurkan desa-desa di Jawa karena telah memaksa mengubah hak
kepemilikan tanah desa menjadi milik bersama dan dengan demikian merusak
hakhak perorangan yang lebih dulu atas tanah. Selain dampak negatif, Tanam
Paksa juga menghasilkan dampak yang positif. M.C Ricklefs dalam Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008 (2008) memaparkan bahwa terjadi penyempurnaan
fasilitas, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, pabrik dan gudang untuk hasil
budidaya.
Secara garis besar, dampak Cultuurstelsel dapat
dikategorikan dalam beberapa aspek sebagai berikut :

Bidang Bidang
Bidang sosial ekonomi
1.Pekerja mulai mengenal sistem upah.
Pertanian 1.Terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi
yang berprinsip pada pemerataan dalam Sebelumnya, mereka lebih
pembagian tanah. mengutamakan sistem kerjasama dan
1.Penanaman tanaman komoditas di 2.Terjadi bencana kelaparan di berbagai gotong royong terutama.
Hindia Belanda menjadi lebih massif daerah. 2.Terjadi sewa menyewa tanah milik
dan luas, di antaranya kopi, teh, 3.Ikatan antara penduduk dan desanya
penduduk dengan pemerintah kolonial
tebu, dan lain-lain. semakin kuat, namun justru menghambat
perkembangan desa itu sendiri. secara paksa.
2.Meningkatkan kesadaran pemerintah 4.Terjadinya keterbelakangan dan kurangnya 3.Hasil produksi tanaman ekspor
kolonial untuk meningkatkan produksi wawasan untuk perkembangan kehidupan bertambah dan mengakibatkan
penduduk di desa-desa. perkebunan-perkebunan swasta tergiur
5.Timbulnya kerja rodi, yakni kerja paksa bagi untuk ikut menguasai pertanian rakyat
penduduk tanpa upah yang layak. di kemudian hari.
wes dekk
ou e Ia adalah mantan asisten residen di Lebak (Banten)

r
sehingga sangat mengetahui penyelewengan yang dilakukan

eduard
oleh para pejabat pemerintah di bawah sistem tanam
paksa. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max
Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit
pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan
penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem
tanam paksa.
on van h
ar o
b
tokoh

ev
ell
penentang
tanam paksa
Ia menunjukkan sikapnya terhadap selama tinggal di indonesia, Baron Van Hoevell
kebijakan tanam paksa dalam bukunya menyaksikan penderitaan bangsa indonesia
franse

berjudul Sulker Constracten, diterjemahkan akibat sistem tanam paksa. Baron Van Hoevell
dalam bahasa Indonesia berarti "Kontrak bersama fransen Van De Putte menentang
Gula." Ia bersama dengan Douwes Dekker sistem tanam paksa. kedua tokoh tsb jg
merupakan tokoh penentang tanam paksa berjuang keras mengahpuskan sistem tanam
va
n

dari golongan liberal. paksamelalui parlemen belanda.


nd t t e
e pu
selesai
Anggota Kelompok 4 :
Ayu Nurfitriani
Najmi Musaid
Muhammad Reza Haffafi
Muhammad Rizqy Fadhilah
Farabian nabil

Anda mungkin juga menyukai