Anda di halaman 1dari 2

Nama : Cundradus Jackie Dodok

NIM : 193020701023
Jurusan : Sosiologi/ Kelas A
Mata Kuliah : Lingkungan dan Civil Society
Dosen Pengampu : Paulus Alfons Yance Dhanarto, S.IP., M.ID

ESSAY
"Warisan Kolonial Dalam Kehidupan Masyarakat Sipil"

Secara budaya dan politik, kehidupan masyarakat bernegara di Indonesia berbagi


warisan kolonial yang mengakar kuat. Warisan kolonial ini memiliki lingkup pengaruh yang
kuat khususnya dari segi struktur politik hukum dan ekonomi sampai pada pola pikir
masyarakat. Pengaruh kolonialisme nampak pada kebijakan politik agraria yang
menimbulkan ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat dan sifatnya yang cenderung
tidak populis dan eksploitatif. Produk hukum yang dikeluarkan menjadi kemudahan tersendiri
bagi para penguasa bekerjasama dengan korporasi untuk melakukan konsesi wilayah kelola
masyarakat. Dampak dari benturan kepentingan ini yang paling konsekuensial adalah konflik
agraria yang berkepanjangan yang berujung pada marginalisasi masyarakat adat dan
masyarakat lokal.
Pada periode kolonial, pihak penjajah memberlakukan sistem tanam paksa atau
Cultuurstelsel tahun 1830 yang merupakan masa waktu berlakunya sistem politik-ekonomi
yang memaksa masyarakat memproduksi komoditas demi memenuhi kebutuhan ekspor dan
kepentingan ekonomi para penguasa. Dengan sistem ini, penguasa memonopoli sistem
perdagangan dengan mengeksploitasi para petani untuk menanam jenis komoditas tertentu di
lahan mereka. Praktik ini memberikan kesuksesan ekonomi untuk para pejabat kolonial dan
pejabat daerah. Pejabat daerah memiliki otoritas untuk mengkoordinasikan petani untuk
meningkatkan produktivitas petani. Namun disatu sisi masyarakat dirugikan dengan jumlah
kompensasi yang sangat kecil dengan tidak mempertimbangkan harga pasar pada saat itu.
Terlebih lagi kebijakan ini diperparah dengan sistem kerja rodi yang memakan korban
dipihak rakyat.
Pola dan sistem pertanian ini tercermin dari program pemerintah untuk menjadikan
sebagian wilayah di Indonesia sebagai lumbung pangan melalui program food estate. Food
estate sendiri dilansir detikNews, merupakan "konsep pengembangan pangan yang dilakukan
secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan."
Food estate menjadi bagian dari program ketahanan pangan nasional dengan
mengelompokkan komoditas di setiap daerah.
Program food estate melibatkan pemerintah serta investor demi meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional dan pendapatan daerah. Apalagi dengan berlakunya UU cipta
kerja maka ini akan memfasilitasi pihak swasta dan pemodal asing untuk menerapkan sistem
produksinya di Indonesia. Program food estate yang sedang berjalan bisa kita lihat diberbagai
daerah di Indonesia. Di Kalimantan Tengah tepatnya di kawasan proyek lahan gambut
dengan total luasan mencapai 164.589 hektar. Contohnya food estate dengan komoditas
tanaman singkong di lahan seluas 600 hektar di Gunung Mas, Desa Tewai Baru yang tidak
terurus.
Namun dengan adanya program food estate ini potensi akan timbulnya konflik
semakin besar. Karena adanya food estate ini otomatis akan menggeser metode pertanian
tradisional yang selama ini dijalankan masyarakat. Eskalasi pertanian dalam penggunaan
sumber daya agraria dan industri yang besar ini juga berdampak pada aspek lingkungan.
Selain itu, para petani juga berada pada posisi rentan karena kurangnya akses terhadap hak
atas tanah dan hasilnya. Bahkan, dalam Food Estate tidak ada satu pun rantai produksi dalam
Food Estate yang dikontrol oleh petani. Sebab tanah, bibit, pupuk, harga dan pasar
seluruhnya dikuasai perusahaan. Petani yang dijadikan buruh tani akibat tanahnya dirampas
Food Estate, dipaksa menanam komoditas ekspor tanpa menikmati keuntungan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Food Estate adalah sistem tanam paksa baru Dalam hal ini, para
petani pada akhirnya mendapati posisi sebagai objek dalam pelaksanaan program food estate.
Selain itu, terdapat aspek yang juga digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda
dalam menerapkan Cultuurstelsel dan pemerintah Indonesia saat ini adalah pengerahan aparat
dalam menghadapi konflik dengan petani atau warga. Tindakan ini diwariskan secara turun-
temurun dalam beberapa orde pemerintahan. Terbukti dari siklus konflik sepanjang tahun
2021, tercatat sebanyak empat letusan konflik agraria di sektor fasilitas militer yang tumpang
tindih dengan tanah-tanah rakyat. Aparat TNI terlibat secara langsung melakukan intimidasi,
penggusuran dan melakukan kekerasan.
Proyek food estate dalam skala yang besar juga rentan menyebabkan konflik dan
perampasan tanah-tanah produktif milik rakyat. Faktanya, tanah-tanah produktif yang
dikelola ini lah menjadi sumber penyedia pangan. Selain itu, proyek food estate di lahan
gambut juga dapat merusak ekosistem penting dan unik dari gambut.
Artinya potensi kegagalan menjadi nyata untuk kedepannya. Beberapa faktanya
adalah kegagalan pembangunan satu juta hektar sawah di eks Pengembangan Lahan Gambut
pada era orde baru dan merugikan negara sebesar Rp 1,6 triliun dan menambah anggaran
rehabilitasi sebesar Rp 3,9 triliun. Pada periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono,
100.000 hektar lahan di Ketapang, Kalimantan Barat dan 300.000 hektar di Bulungan,
Kalimantan Utara direncanakan untuk pembangunan food estate dan gagal.
Adapun upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan memahami masalah secara
komprehensif mulai dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tindakan koruptif,
sistem ekonomi yang tidak berpihak dan kapitalistik. Fokus kebijakan perlu digeser dari yang
awalnya berpihak pada kepentingan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah ke arah
kebijakan yang populis demi kesejahteraan rakyat. Artinya rakyat, terutama kaum petani
memiliki kedaulatan dan hak atas sumber-sumber agraria secara adil. Pelibatan masyarakat
perlu dilakukan secara optimal dalam merumuskan kebijakan dalam program pangan sebesar
ini. Kesempatan ini juga mestinya diberikan kepada LSM dan para pemerhati lingkungan
serta untuk bersama-sama memperkuat kapasitas dalam bidang petani dalam hal ini
mempunyai kapasitas yang kuat untuk menentukan sistem yang baik bagi mereka tanpa
diintervensi oleh sistem ekonomi kapitalis yang cenderung menyengsarakan rakyat. Oleh
karena itu, bagi pemerintah juga penting untuk menerapkan model pembangunan dan
perjanjian internasional yang liberal yang berjalan dengan cara-cara menggusur hak-hak
rakyat, melakukan kejahatan lingkungan hidup, dan model pertanian pangan yang
mengamputasi posisi petani, nelayan, petambak, peternak dan masyarakat adat sebagai
produsen pangan utama.

Anda mungkin juga menyukai