Anda di halaman 1dari 4

Analisis Buku Petani Rasional

Teori rasional berasumsi bahwa setiap manusia pada dasarnya rasional dengan selalu
mempertimbangkan prinsip efesiensi dan efektrifitas dalam melakukan setiap tindakan.
Dengan tetap mengakui adanya determinan faktor solidaritas masyrakat petani yang kuat,
subsistensi perekonomia(material)n dan hubungan produksi masyarakat prakapitalis , namun
pengaruh rasionalitas selalu dalam konteks beroperasinya mekanisme kepentingan rasional
individu anggota komunitas.
Alfrad Marshall (1842-1924) menyatakan bahwa manusia selalu cenderung
memaksimalkan rasionalitasnya, selalu cendrung menghitung nilai sesuatu (utility) yang
hendak dipertukarkan (waters, 1994). Menurut Pareto ( 1848-1923), ada dua bentuk utility,
yaitu economic utility dan moral utility (moral). Keduanya, kata Waters (1994), dalam
realitasnya acap dikaitkan dengan realitas.
Popkin, dalam bukunya berjudul The Rational Peasant: The Political Economi Of
Rural Society In Vietnam, (1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani tidaklah
dimaksudkan untunk menentang program Negara, dalam hal ini revolusi hijau, tetapi lebih
dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elit desa (petani kaya),yang selama ini mengklaim
mewakili komunitas tradisional ; padahal lebih untuk mempertahankan tatanan yang lebih
menguntungkan mereka.
Bagi Popkin, petani adalah manusia-manusia rasional, kreatif dan juga inggin menjadi
orang kaya. Kesempatan itu terbuka untuk petani dan menurutnya, akan bisa didapatkan
seandainya petani memiliki akses yang lebih leluasa dengan pasar. Namun, persoalannya,
petani tidak mempunyai kesempatan sehingga tidak dapat menjula hasil pertaniannya sendiri
kepasar. Mereks mengkalkulasi prospek kembalinya investasi dan kualitas organisasi dimana
mereka memberikan kontribusinya. Bagi Popkin, campur tangan organisasi politik di luar
petani merupakan pendorong timbulnya kesadaran petani untuk menjadi political
entrepreneur.
Dari hasil penelitian Popkin di Vietnam (1997), antara lain, ditemukan,(1) gerakan
yang dilakukan para petani adalah gerakan anti feudal, bukan gerakan untuk mengembalikan
tradisi lama (restorasi), tetapi untuk membvangun tradisi yang baru; bukan untuk
menghancurkan ekonomi pasar, tetapi untuk mengontrol ekonomi kapitalime, ; (2) tidak ada
kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsistensi dan tindakan kolektif, dan (3)
kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting dari pada isu ancaman kelas. Dengan kata
lain, ada perbedaaan yang jelas antara rasionalitas individu dan rasionalitas kelompok.
Kelompok petani kedua ( di distrik ui chu), justru melakukan perlawanan meskipun
mereka tidak menagalami kerisis jangka pendek, karena berdasarkan perhitungan rasional
bahwa perlawanan dinilai sebagai cara yang efektif dan efesien untuk keluar dari kondisi
subsistensinyang membelenggu mereka dan, karena itu, diantara petani dapat dengan mudah
tercapai kesepakatan untuk melakukan gerakan perlawanan bersama (Popkin, 1997: 235-240)
. dalam konteks ini,  nilai kolektifitas dan norma hasil bekerjanya proses tawar-menawar
antar individu yang menjadi anggota komunitas dari pada sebagai bentuk nilai atau norma
yang bersifat taken for granted “… that norm are malleable, renegotiated , and shiffing in
accord with considerations of fower and strategic intraction among individual” (Popkin,
1979: 242).
Robert Bates (1981), melalui bukunya model penerapan rasional dalam konteks
analisis mengenai peran Negara, mengajukan pertanyaan awal: mengapa intervensi Negara
dalam ekonomi Negara-negara di afrika menimbulkan distorsi pasar. Bagaimana distribusi
pasar yang terjadi bisa menimbulkan melemahnya produksi nasional ? (why should
reasonable men adopt public policies that have harmful consequences for the societies the
government ?).
Untuk menjawab pertanyaan itu pertama, bates melihatnya dari dimensi politik. Latar
belakang kebijakan politik yang didugakan memengaruhi terjadinya krisis pertania di afrika.
Dengan menggunakan konsep perilaku birokrasi rasional, bates mengajukan asumsi bahwa
para birokrat adalah aktor rasional yang berusaha memaksimalkan kepentingan mereka
sendiri. Sebagai aktor rasional , mereka akan berpikir bahwa setiap kebijakan yang
dikeluarkan akan selalu didasarkan pada kepentingan politik mereka sendiri.disadari betul
bahwa pilihan kebijakan akan menentukan akibat tertentu. Dan, kata Bates, inilah yang
terjadi di Negara-negara Afrika.
Para aktor kepentingan, masing-masing mempunyai kepentingan yang spesifik;
mereka mengetahui secara persis apa yang menjadi kepentingan mereka sendiri dan
kelompok-kelompokkuat dalam masyarakat; dan mereka yang tidak termasuk dalam koalisi
itu tidak dapat berbuat banyak karena tidak mampu menentang atau memang di tindas.
Focus perhatian Bates adalah kebijakan terhadap harga input pertanian dan harga
produk pertanian ( baik ekspor maupun pangan). Melalui badan pemasaran ( peninggalan
kolonial) Negara mencari keuntungan besar dengan membeli produk pertanian yang sangat
rendah. dari keuntungan ini, dana digunakan untuk pembangunan industrialisasi dan anggaran
belanja Negara. Selain itu, dengan menekan harga produk pertanian yang murah juga
menyenangkan warga kota termasuk “menekan buruh industri kota” untuk tidak melakukan
tuntutan kenaikan upah. Dengan nilai produk yang tidak menguntungkan, maka petani juga
tidak tertarikmeningkatkan, bahkan cendrung mengurangi produk pertaniannya. Ini
menunjukan prilaku ekonomi petani pun cukup rasional juga.
Popkin dan Bates menggunakan pendekatan ekonomi-politik . keduanya secara jelas
menyatakan bahwa biang kladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang dari
penetrasi kapitalisme ke kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi
terhadap para petani oleh para tuan tanah,  oleh Negara dan kaum kapitalis.

Beberapa uraian diatas telah menjelaskan mengenai pola kepemilikan tanah di masyarakt
pedesaan. Dari berbagai peraturan (norma) yang telah disepakati oleh masyarakat,
sebenarnya dari hari kehari mengalami suatu pergeseran secara gradual. Berubahnya
masyarakat dalam mengelola pertahan tidak terelepas dari peran masyarakat desa untuk terus
mengaktulisasikan kehidupannya. Sistem pengolaan dan pembagian tanah sebenarnya
merupkan sebuah warisan dari proses terbentuknya suatu ikatan masyarakat. jalaninan ikatan
masyarakt dilatarbelakangi oleh ikatan emosional yang kuat serta internaliasi kebudayaan
yang diserap oleh perespon kebudayaan. Unsur dari dalam komunitas dalam mengupayakan
adanya perubahan nampaknya dapat diterima secara langsung oleh penduduk. Sebelum
kedatangan kolonialisme yang dibawa orang-orang Eropa (lepas dari ikatan Kerajaan). Dalam
struktur trandisional kepemilikan tanah dapat dibagi menjadi tiga golongan stratifikasi
masyarakat. Pertama, kelompok gogol atau warga desa inti, yaitu keturunan para perintis
yang pada waktu lampau membuka tanah di desa. Mereka mempunyai tanah, rumah dan
perkarangan merekalah yang kemduian menyandang beban penuh dan hak penuh sebagai
warga desa. Kedua, kelompok yang disebut indung,yang memiliki rumah atau tanah, tetapi
bukan kedua-duanya. Mereka tidak mempunyai hak penuh maupun kewajiban penuh. Ketiga,
para numpang, yang tidak mempunyai tanah atau kebun. Rumah merreka dibangun di atas
milik orang lain. Mempunyai status lebih rendah, hidup bersama dalam suatu keluarga
dengan menjadi sebagai pelayan dan sebagainya (van Vollenboven 1918, hlm.527, dan lain-
lain).
Sistem pembagian kerja pada masyarakat pertanian di Jawa sebelum kedatangan
kolonialisme dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, sistem mertelu dimana pemilik tanah
menanggung biaya benih (dan, samapi pada saatr penghapusan sistem ini, juga bayar pajak-
pajak tanah) dan memungut 2/3 hasil panen, sisianya merupakan hak penyewa atau penyekap.
Kedua, Merepat mempunyai persyarakat sama dengan pola mertelu yang membedakan hanya
pemilik tanah mendapat bagian 3/4 bagian hasil panen dan bagian untuk penyekap. Ketiga,
pola Nyeblok atau ngepak penggarap melakukan semua pekerjaan, dari membajak,
menyiangi sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan ( mehngatur
pengairan atau panen). Penggarap menerima 1/5 hasil panen. Keempat adalah sistem Derep,
penggarap atau buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta untuk mengerjakan
pekerjaan lain sampai penen tiba. Buruh ini menerima hasil 1/5 hasil padi. Terakhir, adalah
Gotong royong sebuah sistem yang biasanya mengikutkan anggota keluarga saja. Penggaap
mendapat bagiam yang telah ditentukan sebelumnya dan sesuai dengan kebiasaan.
Pergeresaan pemaknaan kepemilikan tanah dalam masyarakat didahului dengan faktor
kekuatan baik introgen maupun eksogen yang mulai menguat serta perlahan menggeser
sistem tatanan formal. Pengaruh luar dalam proses pergerseran terlihat dengan
diberlakukannya cultuurestelsel dan Agrarische Wet. Petani secara revolusif mengalami
pencopotan hak milik. Tanah-tanah petani dikuasai oleh pemerintah kolonial dan mereka
petani pemilik lahan harus bekerja dilahan mereka sendiri. Proses pencopotan hak
trandisional ini selama periode kedua kebijakan tersebut berlangsung adalah hilangnya tanah
milik komunal desa yang dulu banyak, kini hampir tidak ada hak komunal, penguasaan tanah
lebih bersifat pribadi. Sifat kepemilikan pribadi dalam struktur pemeintahan sulit terjadi
karena terjadi “pengurungan” oleh hak-hak kolektif yang dimnafestasikan oleh penguasa
kolektif.
Faktor endogen yang mempengaruhi ikatan masyarakat adalah pembagian tanah.
Meningkatnya nilai tanah dalam komunitas pedesaan juda dapat dijadikan ukuran. Desa yang
secara adminstratif tidak mengalami perluasan berbanding dengan semakin bertambahnya
penduduk. Contoh ini juga dapat dilihat dari pola pembagian tanah dalam keluarga.
banyaknya anak dalam keluarga memperkuat ketegangan atas hak tanah. Dalam beberapa
studi, terdapat penjelasan menarik dimana pola keluarga pedesaan Jawa dari satu generasi ke
genari berikutnya terus mengalami kemerosotan ekonomi. Penjelasan ini nampak relevan
ketika terjadinya pembagian warisan tanah yang dari generasi ke genarasi berikutnya semakin
kecil. Sehingga tanah yang dijadikan sebagai produksi ekonomi menjadi berkurang. Dalam
masyarakat pedesaan Jawa fungsi desa sebagai ikatan komunal memiliki fungsi domiman
dari pada ikatan kesukuan.

Anda mungkin juga menyukai