Anda di halaman 1dari 20

Diakses dari

https://www.google.co.id/search?q=gerakan+sosial+baru+pdf&oq=gerakan+sosial+baru&aqs=chrome.1.69i57j0l5.15909j0j
8&sourceid=chrome&ie=UTF-8, 4 September 2017

Gerakan Sosial dan Perubahan Sosial


Mustain mashud
Untuk melihat dinamika perlawanan rakyat diperlukan landasan teoritis
dan praktis bagi peran rakyat sipil terorganisir (organized civil society) dalam
transformasi sosial dalam konteks Dunia Ketiga. Transformasi sosial
didefinisikan sebagai penciptaan hubungan ekonomi, politik, kultural dan
lingkungan yang secara mendasar baru dan lebih baik. Dalam hal ini
transformasi sosial dianggap sebagai salah satu model atau bentuk alternatif
tentang perubahan sosial yang merupakan tujuan utama dari gerakan sosial.
Dalam konteks Dunia Ketiga, studi tentang gerakan sosial dan transformasi
sosial tidak bisa dipisahkan dari masalah pembangunan (Bonner, 1990).
Oleh karena itu studi mengenai transformasi sosial juga dimaksudkan
untuk mencari alternatif terhadap gagasan “pembangunan” yang selama dua
dasawarsa ini telah menjadi “agama sekuler baru” bagi berjuta-juta rakyat di
negeri Dunia Ketiga. Pada dasarnya pembangunan diterima oleh birokrat,
akademisi maupun aktivis LSM tanpa mempertanyakan landasan ideologis
maupun diskursusnya. Namun, pertanyaan terhadap ide pembangunan bukanlah
semata-mata mengenai soal metodologi ataupun soal pendekatan serta teknik
pelaksanaan pembangunan Tetapi yang perlu dipertanyakan secara teoritis
justru pembangunan itu sendiri dianggap sebagai suatu gagasan yang
kontroversial1 (Faqih, 1996:29).
Gerakan sosial yang terjadi di Dunia ketiga seringkali berkaitan secara
tidak langsung dengan pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream
approach), yakni perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa
yang disebut sebagai pembanguan (Development). Pada umumnya pelbagai
studi tersebut dimaksudkan memahami watak perlawanan dan kritik terhadap
modernisasi, yaitu suatu skenario yang diasumsikan dan dirancang untuk
membawa kemajuan dan kemakmuran di Dunia Ketiga. Namun pembangunan
dipandang rakyat ternyata justru sebagai penyebab kemacetan ekonomi, krisis
ekologis, serta berbagai kesengsaraaan rakyat di Dunia Ketiga.
Pertumbuhan Jumlah organisasi gerakan sosial di Dunia Ketiga khususnya
LSM di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sejarah diskursus
pembangunan. Keberaaan LSM dan organisasi sosial di Indonesia senantiasa
berkaitan dengan masalah-masalah pembangunan. Sehingga di banyak negara
Dunia Ketiga istilah LSM/NGO selalu berkonotasi organisasi “pembangunan” non
pemerintah (Fakih, 1996).

1
Apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah bagi
rakyat kebanyakan, atau semata-mata merupakan alat untuk menyembunyikan penyakit sebenarnya yang lebih
mendasar. Bagi penganut teori perubahan sosial mainstream, teori perubahan sosial dominan ini dianggap
menjanjikan harapan. Namun banyak para pakar ilmu sosial secara kritis meneliti dampak pembangunan, dan
banyak penulis menganggap bahwa ide pembangunan justru telah menciptakan kesengsaraan ketimbang
memecahlan masalah yang dihadapi rakyat Dunia Ketiga
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/
1

Konflik antara rakyat (petani) dan perkebunan PTP XII secara langsung
berarti juga masuknya sistem ekonomi kapitalis ke masyarakat yang berbasis
pertanian. Masuknya sistem ekonomi kapitalis ini juga berarti mulai diperkenal
kannya sistem ekonomi uang. Sistem ekonomi kapitalis dan moneterisasi yang
dibawa masuk perkebunan ke masyarakat pertanian telah banyak
mempengaruhi pola hubungan sosial dari komunalisme ke pola hubungan
rasional, seperti terlihat dari cara persewan tanah memberikan buruh secara
upahan dengan uang tunai (fress money) yang semuanya itu lebih
mengedepankan petimbangan-pertimbangan legal-formal.
Diintroduksinya sistem ekonomi perkebunan yang kapitalistik ke
kehidupan rakyat petani telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang
mendasar. Misalnya, munculnya stratifikasi sosial baru, yaitu pengusaha sebagai
kelompok minoritas elit ekonomi-politik dan kelompok buruh
(pekerja)/penduduk pribumi. Mereka terbentuk dalam status ikatan sosial yang
didasarkan pada ikatan ketergantungan antara majikan dan pekerja sebagai
ikatan patron-klien (Kusbandriyo, 1996).
Pihak perkebunan telah mendayagunakan sistem ekonomi modern yang
kapitalistik sementara pada saat yang sama rakyat tetap dengan sistem
ekonomi pertanian yang tradisional. Maka, terbangunlah – sebagaimana
dikemukakan Booke-- dualisme ekonomi. Dualisme ekonomi ini, menurut Paige
(1975) dalam bukunya Agrarian Revolution: Social Movement and Export
Agriculture in the Undedevelopment World, mengakibatkan rendahnya
subsistensi petani penggarap dan kemudian berdampak pada perbedaan-
perbedaan konsep secara mendasar antara pihak perkebunan dan rakyat dalam
memandang masalah status tanah dan pengusahaannya. Dalam sejarah
perkebunan yang bersifat kontraktual dan kapitalistik selain amat jarang terjadi
kepentingan petani diperhatikan sebagaimana semestinya, para petani juga
diposisikan sangat rendah (Lanberger, sebagaimana dikutip Kusbandrijo, 1996).
Menurut Paige (1975), tuntutan ekonomi komersial untuk mengejar keuntungan
cenderung untuk menguasai sebanyak mungkin surplus keuntungan dari pada
berbagi keuntungan dengan petani atau buruh tani.
Perbedaan kepentingan ini sangat rentan terhadap militansi dan
radikalisme petani, baik yang diam-diam maupun terbuka yang merupakan
bentuk mekanisme survival petani untuk mempertahankan kehidupannya
sekaligus menuntut keadilan. Menurut Lanberger (1981) berbagai tekanan yang
dilakukan oleh perkebunan yang menggunakan model ekonomi kapitalistik
tersebut memposisikan rakyat petani sebagai klas masyarakat pinggiran,
marjinal dan inferior yang dalam prosesnya menjadikan sikap mereka gampang
bereaksi secara kolektif. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Scott (1993)
bahwa posisi petani yang terpojokkan akan dengan gampangnya melakukan
pembrontakan secara kolektif.
Ketika ekspansi statis mencapai puncaknya karena keterbatasan lahan,
maka strategi untuk memelihara homogenitas sosial diarahkan pada dinamika
internal komunitas sebagaimana dikemukakan Gerzt2. Di tengah proses berbagi

2
Menurut Gerzt, masyarakat Jawa, dibawah tekanan penduduk yang terus bertambah sementara
sumber daya (tanah) tetap, masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua yakni tuan tanah dan tuna kisma;
melainkan tetap mempertahankan homogenitas sosial-ekonominya dsengan cara membagi-bagi “kue-ekonomi”
2

kemiskinan ini sesungguhnya mulai berkembang adanya pelapisan sosial


berdasarkan penguasaan tanah juga mulai kelihatan kata Prof Sayogjo dalam
Kata Pengantarnya dalam bukunya Gerzt. Seiring dengan itu, juga tengah
berlangsung adanya perbedaan akses atas penguasaan tanah main dominan
menjadi dasar differensiasi sosial (Kano, 1984), bahkan konflik di pedesaan
kemudian seringkali berpangkal pada masalah penguasaan tanah (Lyon, 1984).
Dominasi barat dan perubahan yang menyertainya menyebabkan
goyahnya tatanan masyarakat tradisional beserta nilai-nilai tradisinya. Kondisi
demikian menjadi ladang sumber bagi munculnya gerakan sosial. Karena itu,
gerakan sosial acapkali merupakan ledakan ketegangan pertentangan dan
permusuhan dalam masyarakat. Sebagai aktifitas kolektif gerakan sosial
bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan dalam
(setidaknya) menolak suatu perubahan yang seringkali dilakukan dengan jalan
radikal. (Sartono, 1987: 151-152).
Selain berupa radikalisasi, bentuk perlawanan rakyat juga bis dilakukan
dengan perlawanan terselubung atau pembangkangan-pembangkangan
(Siahaan, 1997). Termasuk pembangkangan di sini adalah penipuan,
pemalsuan, kebodohan yang dibuat-buat, pembelotan, pencurian kecil-kecilan,
penyerangan, pelanggaran, pembakaran rumah dengan sengaja, penyelundupan
dan pembunuhan secara diam-diam. Tindakan ini dilakukan sebagai alternatif
untuk menentang secara terang-terangan dan atau terlalu riskan untuk
mengadakan tantangan terbuka ( Scott, 1989).

4.2. TEORI GERAKAN SOSIAL


Setiap gerakan sosial mempunyai ciri hampir sama yakni kemampuan
partisipasinya untuk membangkitkan rasa rela berkorban, kecenderungan
bertindak secara kompak, fanatis, kebencian, antusiasme, intoleransi dan
kesetiaan tunggal. Peserta gerakan sosial adalah orang-orang yang kecewa dan
tidak puas (Eric Hoffer, 1988). Dalam kondisi demikian telah terjadi depriviasi
relatif, yaitu ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dihadapi
(Sylvia, 1984).
Studi tentang gerakan sosial dapat dianalisis dengan menggunakan dua
perpesktif teori sosiologi: (1) perspektif struktural fungsional dan (2) perspektif
struktural konflik Perspektif pertama terdiri dari pelbagai teori yang cenderung
melihat gerakan sosial sebagai masalah, atau sebagai gejala penyakit masalah
kerakyatan. Herbele (1951), dalam bukunya Social Movement : An Introduction
to Political Sociology, mengkonsepkan bahwa gerakan sosial pada dasarnya
adalah bentuk perilaku politik kolektif non-kelembagaan yang secara potensial
berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan. Sementara itu,
Sosiolog lainnya, misalnya Fruer (1969), cenderung melihat gerakan sosial
sebagai “Konflik generasi”.
Lipset (1967) dengan analisis sosiologisnya menganggap bahwa gerakan
sosial merupakan bagian generasi baru yang memperjuangkan pengakuan, dan

yang ada, sehingga bagian yang diperoleh masing-masing makin lama makin kecil. Fenomena inilah yang
kemudian disebut dengan pemerataan kemiskinan (sharred poverrty)
3

perlunya menentang orang tua mereka dan “kemapanan” yang tidak memberi
pengakuan kepada mereka. Sementara itu Maslow (1962) mencoba
menggabungkan analisis psikologis dan struktural. Ia melihat gerakan
mahasiswa dan gerakan sosial lainnya sebagai mewakili suatu generasi baru
dengan kebutuhan yang lebih tinggi yang, tepatnya karena mereka muncul
dalam kesenangan kelas menengah, berada dalam posisi mencari nilai-nilai
pascamateri, berkaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan diri (sendiri) dan
tujuan yang lebih altruistik yang berhubungan dengan kualitas hidup. Akhirnya,
Keniston (1965) menganggap gerakan mahasiswa sebagai anggota kelas
menengah yang teralienansi.
Berbagai teori mengenai gerakan sosial tersebut berakar dan dipengaruhi
oleh teori sosiologi dominan, fungsionalisme. Fungsionalisme seringkali juga
disebut sebagai “fungsionalisme struktural” karena penekanannya pada
keperluan, atau “kebutuhan” sistem sosial fungsional yang harus dipernuhinya
ileh bagoan-bagiannya sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan
dan struktur yang ada. Fungsionalisme melihat rakyat dan pranata sosial
sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan
bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian
keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme. Salah satu
proposisi terpenting fungsionalisme adalah, akan selalu ada reorganisasi
dikarenakan kebutuhan memperbaiki keseimbangan. Dalam menganalisis
bagaimana sistem sosial mempertahankan dan memperbaiki keseimbangan,
mereka condong menggunakan nilai-nilai yang dimiliki atau standar sifat yang
diterima secara umum sebagai konsep sentral. Fungsionalisme menekankan
kesatuan rakyat dan apa yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Itulah
sebabnya maka penganut fungsionalisme condong melihat gerakan sosial
sebagai negatif, yakni menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni
rakyat.
Meskipun fungsionalisme sebagai aliran pemikiran mengklaim sebagai
teori perubahan, tetapi kalau dilihat asumsi dasarnya maka sesungguhnya
fungsionalisme bersandar kepada gagasan status quo. Oleh sebab itu
fungsionalisme lebih merupakan teori stabilitas sosial dan konsensus normatif.
Doktrin ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa rakyat adalah bagian dari
suatu sistem yang saling bergantung dan berkesesuaian satu sama lain, atau
sekurang-kurangnya dalam proses saling penyesuaian diri kembali secara terus-
menerus. Dengan alasan ini, fungionalisme melihat konflik sebagai sesuatu yang
harus dihindari. Talcott Parsons, yang dikenal sebagai bapak fungsionalisme,
dalam berbagai karya awalnya tentang perubahan sosial dengan jelas
menekankan perlunya keseimbangan. Ia menyetujui perubahan di dalam sistem,
dan bukan perubahan sistem sosial. Sesungguhnya gagasan Parsons adalah
tentang perubahan yang bersifat perlahan-lahan dan teratur yang senantiasa
menyeimbangkan kembali (re-equibrium), dan hal ini menghasilkan suatu
keadaan semacam keseimbangan, meknisme penguasaan, ketegangan dan
kekacauan ketika membahas konflik dan perubahan.
Perspektif kedua melihat gerakan sosial sebagai sesuatu yang baik dan
karena, positif dan konstruktif bagi perubahan sosial. Perspektif teori Konflik ini
dibangun dengan berdasar pada tiga asumsi dasar. Pertama, setiap individu
dalam masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi apa yang mnjadi
4

kebutuhannya. Kedua, kekuasaan dipandang sebagai inti dari struktur sosial


sehingga setiap orang akan saling berusaha mendapatkannya. Ketiga, nilai dan
gagasan dipandang sebagai instrumen konflik yang digunakan antar kelompok
kepentingan untuk mencapai tujuan masing-masing dari pada sebagai instrumen
untuk mempertahankan identitas dan mempersatukan (tujuan) rakyat.
Teori konflik mulanya berakar dalam Marxisme tradisional yang
didasarkan pada asumsi bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan. Sebab, kondisi
masyarakat (proletar) telah semakin memburuk terutama dalam hubungan
produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran.
Namun dalam perkembangannya, cara berpikir Marxisme tradisional ini banyak
dikritik oleh generasi baru marxis seperti golongan Kiri baru (New Left),
maupun dari teoritisi non-Marxian terhadap Marxisme yang mekanistik tersebut.
Kaum Kiri Baru mengajukan analisis alternatif yang menekankan perhatian
kepada peran manusia sebagai agen, termasuk ideologi, kesadaran kritis dan
pendidikan, dalam mentrasformasikan krisis ekonomi menjadi krisis umum.
Mereka menolak gagasan bahwa perekonomian adalah sesuatu yang esensial
dan faktor menentukan bagi perubahan sosial. Mereka juga menolak gagasan
determinisme historis yang mengagungkan manusia sebagai faktor penting di
antara banyak faktor lainnya yang saling bergantung secara dialektis.
Pendekatan ini dipengaruhi oleh Antonio Gramsci dan teoritisi kiri lain (Eyerman
dan Jamison, 1991; Epstein, 1991).
Teori baru yang diajukan para pengritik Marxisme tradisional didasarkan
pada argumen bahwa gerakan sosial yang terjadi pada tahun 1970-an dan
1980-an bukanlah perjuangan kelas dalam pengertian sebagaimana
didefinisikan Marxisme tradisional. Gerakan anarkisme, gerakan spiritualitas,
gerakan feminisme, gerakan hak azasi manusia dan hak-hak sipil, gerakan anti
perang dan anti nuklir, gerakan sosial berbasis komunitas dan gerakan pecinta
lingkungan (environmentalist) serta gerakan LSM maupun berbagai gerakan
sosial lainnya adalah sebagian gerakan yang tidak berkaitan secara langsung
dengan perjuangan kelas dari kelas buruh. Dengan demikian para teoritisi
tersebut merumuskan kerangka kerja yang memandang gerakan sebagai
sesuatu yang berkaitan antar kelompok atau kepentingan sosial lain sambil
melekatkan proses kerakyatan yang lebih luas (Mallet,1976; Gorz,1967).
Touraine (1971) juga menegaskan bahwa dalam gerakan rakyat pascaindustri,
gerakan kelas buruh atau gerakan serikat buruh tidak berada lagi di pusat
konflik rakyat. Touraine menyatakan bahwa “kelas buruh bukan lagi pelaku
sejarah yang istimewa, bukan karena gerakan buruh karena lemah atau
tunduk kepada strategi partai politik tertentu; tetapi lebih dikarenakan
penggunaan kekuasaan di dalam perusahaan kapitalis tidak lagi menempatkan
seseorang pada pusat sistem ekonomi dan konflik sosialnya”(Touraine, 1971).
Ada konsensus umum yang muncul di kalangan mereka yang tertarik
mengamati gerakan sosial, termasuk kaum Marxis sendiri, bahwa kaum proletar
industri di negara-negara kapitalis maju bukan lagi merupakan kekuatan
revolusioner yang potensial untuk perubahan sosial. Gagasan perubahan sosial
mereka tidak lagi memperhatikan revolusi kelas buruh, atau bahkan kelas buruh
secara keseluruhan. Escobar dan Alvarez (1992) dalam pengamatannya
terhadap gerakan sosial di negara-negara Dunia Ketiga Kontemporer juga
5

menemukan bahwa gerakan sosial itu beralih dari perjuangan kelas ekonomi
yang terbatas ke transformasi sosial yang lebih luas.
Escobar dan alvarez selanjutnya berpendapat bahwa teori-teori baru
tentang gerakan sosial justru melihat gerakan sosial sebagai usaha untuk
menghasilkan transformasi mendasar dalam hakikat praktik politik maupun teori
tentang gerakan sosial itu sendiri. Mereka juga menjelaskan bahwa salah satu
ciri gerakan sosial baru adalah penolakannya atas analisis sosial yang
didasarkan kepada pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling
bertentangan secara tegas ( borjuis dan proletar). Dalam situasi baru,
keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang automi mereka dalam
lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi . Berdasarkan analisis dan
pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak gerakan sosial
maka gerakan sosial harus ditempatkan dalam konteks proses demokratisasi
yang sangat luas. Proses demokratisasi ini merupakan proses transformasi sosial
atas aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik, maupun kehidupan
lainnya (Faqih, 1996).
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi
pendekatan kedua ini yakni teori perubahan sosial yang nonreduksionis,
khususnya teori mengenai hegemoni (hegemoni theory) dengan mengatakan
bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolosioner.
Dengan demikian Gramsci membuka kemungkinan memasukkan kelompok-
kelompok baru ini ke dalam kategori kelas buruh. Ia juga membuat teorisasi
tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan
kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian
proses revolusioner. Laclau dan Mouffe (1985) memperluas teori Gramsci
dengan mengangggap “gerakan sosial baru” sebagai model dalam pencarian
alternatif atas kemacetan pendekatan Marxisme tradisional.
Para pemikir pasca Marx, seperti Femia (1979) dan Gramsci (1891-1937)
misalnya, dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting. Gagasannya yang
cemerlang tentang hegemoni dianggap merupakan landasan paradigma
alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma super struktur
dasar. Teori-teorinya muncul sebagai kritik sekaligus alternatif bagi pendekatan
dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas
dan ekonomi Marxisme tradisional.
Analisis Gramscian dianggap signifikan untuk keperluan studi ini
dikarenakan perlunya pemahaman komprehensif tentang peran masa depan
gerakan sosial dan pendidikan massa dalam formasi sosial kapitalis Dunia
Ketiga, khususnya di Indonesia di mana kapitalisme sedang dalam proses
menemukan kemapanannya. Selain itu, pendekatan Gramscian juga tepat
karena analisisnya –khususnya terhadap NGO-- yang bergaya nondeterministik
dan antiredoksionisme, terutama karena Gramsci muncul sebagai kritik terhadap
kebanyakan penganut Marxisme pada waktu itu yang umumnya berdeterminis
ekonomi dan redoksionis kelas. Pengaruh determinisme ekonomi atas
pendekatan analisis sosial mainstream yakni Developmentalisme maupun
pengaruhnya kepada gerakan LSM di Indonesia menjadikan pendekatan
nonredoksionis Gramsci lebih mengenai sasaran (Faqih, 1999).
6

Untuk memahami mengapa dan apa masalah yang ditimbulkan oleh


pendekatan redoksionisme, secara singkat akan dikupas kembali bagaimana
reduksionisme mempengaruhi teori-teori Marxis maupun non-Marxis. Misalnya,
marxisme tradisional memandang munculnya kelas buruh revolusioner akan
mampu merobohkan kapitalisme. Setidak-tidaknya sepanjang tahun 1930an
perspektif ini menjadi kerangka kerja untuk memahami berbagai gerakan di
negara-negara kapitalis maju, di mana perjuangan kelas buruh merupakan hal
yang sentral. Marxisme tradisional juga menyediakan teori untuk memahami
struktur rakyat dan suatu pedoman strategi. Teori-teori tersebut didasarkan atas
keyakinan bahwa aspek ekonomi dari realitas sosial menentukan aspek-aspek
nonekonomi, khususnya berbgai aspek politik dan kultural kehidupan sosial
(Resnick dan Wolf, 1989).
Marxisme tradisional didominasi oleh gagasan determinisme ekonomi dan
determinisme humanis yang sering dinamai sebagai Marxisme “klasik’ atau
aliran “resmi” tentang marxisme. Mereka yakin bahwa Mark dipahami telah
menemukan kebenaran, bahwa aspek ekonomi dalam kehidupan sosial
menentukan aspek nonekonomi. Dengan kata lain, teori Marxis yang dominan
ini secara serentak mengklaim dan “membuktikan” keterkaitannya dengan dunia
nyata. Pendukung aliran determinisme ekonomi Marxis ini selalu berusaha
menguraikan bagaimana proses determinasi bekerja dalam situasi konkret dan
mereka tidak mempercayai teori-teori “keliru” alternatif tentang realitas sosial.
Dengan demikian epistemologi esensialis merupakan suatu keyakinan yang
mempengaruhi banyak teori baik di kalangan Marxis maupun di luar Marxis
(Resnick dan Wolf, 1989). Tradisi inilah yang banyak mempengaruhi teori-teori
perubahan sosial (Faqih, 1996).
Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional
menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial dan
menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat rakyat
kapitalis dari perspektif perekonomian di mana rakyat kapitalis sebagai kelas
utama, yaitu sebagai kelas yang mengekploitasi. Oleh karena itu, dari perspektif
ini, rakyat terdiri atas unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstruktur
(superstructure). Unsur dasar, yaitu ekonomi, dianggap sebagai landasan
sehingga merupakan faktor yang secara esensial menetukan rakyat maka
dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses perubahan. Dengan demikian
berarti bahwa ekonomi merupakan faktor esensial dalam perubahan sosial.
Sementara itu bagi esensialis dan reduksionis, superstruktur yang terdiri atas
pendidikan, kultur dan ideologi berada ditempat kedua karena faktor tersebut
ditentukan oleh perekonomian. Perekonomian kelas dianalisis dengan melihat
cara produksi (modes of production). Jadi, menurut pendekatan ini, perubahan
sosial diturunkan menjadi perjuangan kelas di mana kelas yang dieksploitasi
berjuang melawan eksploitasi dari kelas kapitalis. Dengan kata lain, pada
dasarnya perubahan sosial itu merupakan pengubahan cara produksi rakyat.
Itulah sebabnya maka, menurut paradigma ini, aspek esensial perubahan sosial
adalah revolusi kelas buruh.
Dengan demikian determinisme ekonomi dianggap sebagai landasan
gerakan sosial Marxis tradisional. Analisis ini didasarkan kepada interprestasi
tertentu terhadap materialisme historis Marx. Materialisme historis dianggap
merupakan teori empiris yang didasarkan kepada anggapan bahwa struktur
7

ekonomi rakyat yang diangkat melalui hubungan produksinya adalah landasan


nyata rakyat. Hubungan produksi itu dianggap merupakan dasar munculnya
semua bentuk kesadaran sosial. Oleh karenanya diyakini bahwa jalan umum
sejarah manusia tergantung pada pertumbuhan atau kekuatan produktif.
Kekuatan produktif akan meliputi, di antara hal-hal lainnya, alat produksi,
pengetahuan, buruh, ketrampilan dan pengalaman. Dalam formasi sosial
kapitalis, cara produksi yang terdiri atas hubungan produksi dan kekuatan
produksi (buruh) --menurut pandangan ini -- dianggap mengangkat dasar
seluruh perkembangan sosial. Kekuatan produksi (buruh) dianggap sebagai
instrumen produksi, dan hubungan produksi mencakup hubungan sosial antar
pekerja dan juga antara pekerja dan alat produksi. Hubungan-hubungan ini
menghasilkan kelas pemilik modal (kapitalis) dan kelas buruh yang tidak
memiliki modal apapun. Kepentingan material yang berbeda dari kelas-kelas itu
memecah dan mengarahkan perjuangannya, yang ditandai sebagai perjuangan
kelas. Sejarah setiap rakyat adalah sejarah perjuangan kelas. Keberhasilan atau
kegagalan akhir suatu kelas ditentuan oleh hubungannya dengan kekuatan
produktif. Kelas yang memenangkan perjuangan adalah kelas yang memiliki alat
produki karena secara ekonomi lebih baik dan juga memiliki kekuatan tawar
menawar yang lebih baik.
Berdasarkan paradigma ini kelas buruh dilihat sebagai pusat perubahan
dalam teori perubahan sosial bagi kalangan Marxis tradisional dan perannya
dalam gerakan sosial dianggap esensial. Dengan demikian, kelas buruh
didudukkan sebagai unsur utama dalam proses perubahan. Jadi, menurut
pandangan Marxisme tradisional, ada beberapa ciri teori gerakan sosial dan
organisasi gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial dilihat sebagai gerakan kelas
buruh dari buruh pabrik di perkotaan atau petani tak bertanah atau buruh tani di
pedesan. Kedua, sebagai akibat anggapan pertama, perjuangan atau gerakan
nonkelas, seperti gerakan lingkungan, gerakan perempuan dan feminis serta
jenis gerakan nonkelas lainnya, berada di luar teori ini. Ketiga, titik perhatian
utama teori-teori ini adalah terhadap hubungan proletar kelas buruh dan kelas
kapitalis ketimbang kepada hegemoni ideologis dan kultural, pendidikan, gender
dan lingkungan.
Pendekatan inilah yang ditolak oleh kaum nonreduksionis dan
antiesensialis. Para teoritisi antiesensialis memiliki kesamaan dalam
penolakannya terhadap esensialisme, determinisme atau reduksionisme. Mereka
adalah di antara sedikit teoritisi yang memandang rakyat dengan menggunakan
perspektif materialis dialektis.
Mereka memandang bahwa posisi epistemologi Marxisme sesungguhnya
antiesensialis. Sekalipun memiliki pendekatan dan penjelasan yang berbeda atas
posisi antiesealisnya, mereka mempunyai prinsip yang sama yakni penolakan
atas asumsi apapun bahwa kompleksitas dapat direduksi kepada
penyederhanaan sebab dan akibat. Mereka menganggap bahwa setiap sebab itu
sendiri adalah akibat dan demikian sebaliknya. Mereka menolak mencari sebab
esensial kejadian apapun karena mereka tidak mempercayai adanya penyebab
esensial. Dalam pandangan mereka teori tidak memiliki esensi, sebagaimana
dalam empirisme, bukan juga teori adalah esensi sebagaimana diyakini dalam
rasionalisme. Jadi, posisi epistomologis teori anti esensialisme ini mengganti
esensialisme dengan komitmen mereka kepada dialektika.
8

Tradisi pemikiran dialektis diangkat oleh sarjana-sarjana radikal dan kritis


seperti Luka, Gramsci, Althusser, Resnick dan Wolf, Korsh, Adono, Habermas,
Horkheimer, Marcuse, hingga saat ini. Teori-teori antiesensialis mengajukan
konsep overdeterminasi sebagai alternatif bagi esensialisme. Mereka
menggunakan overdeterminasi sebagai pengganti “dialektika”, karena istilah
dialektika telah dijinakkan dan digunakan secara luas dengan pengertian yang
berbeda. Overdeterminisme merujuk kepada bagaimana keberadaan entitas
tertentu --dalam pengertian bahasa, politik, pengetahuan, eksploitasi, rakyat
yang saling menentukan. Karena masing-masing dipahami berada dengan cara
ini, tak satupun yang kebal dari determinasi emacam itu. Entitas-entitas
tersebut saling mempengaruhi (overdetermin) terhadap eksistensi lainnya.
Dengan kata lain, tidak ada satu entitas pun yang dianggap “lebih
menetukan” ketimbang yang lain. Selanjutnya bahwa asal–usul, esensi, tidak
dapat mereproduksi diri sendiri. Dengan begitu overdeterminasi berarti bahwa
setiap proses dalam rakyat saling ditentukan secara bersama oleh semua
entitas. Dengan pendekatan ini berarti bahwa perubahan sosial adalah hasil
interaksi seluruh aspek rakyat, ketimbang akibat dari beberapa sebab
“esensial” atau aspek seperti yang diyakini oleh kaum esensialis. Dalam
epistemologi overdeterminis, tidak ada pertanyaan untuk mereduksi pada
kausalitas, karena overdeterminisme merupakan epistemologi antiesensialis
(Renick dan Wolf, 1988)
Menurut teori anti esensialis ini, proses teori ditentukan oleh keseluruhan
dari banyak proses lainnya. Penekanan teori ini terhadap ekonomi pada
umumnya dan kepada kelas khususnya, hanyalah dianggap sebagai pintu masuk
belaka. Dalam epistomologi overdeterminis ini-- materialisme dialektis--
menghindari argumen yang meletakkan entitas apa saja, misalnya kelas,
sebagai esensi realitas sosial. Konsep hegemoni Gramsci pada dasarnya adalah
ekspresi posisi antiesensialis-determinis dan kritik terus menerus kepada dan
formulasi alternatif bagi determinisme ekonomi. Jadi penganut antiesensialis
tidak mengakui aspek esensi atau asal-usul, telos, ataupun subyek. Menurut
teori ini, tidak ada teori --termasuk teori Marxis itu sendiri sebagai esensi
perkiraan menjadi esensi realitas. Tidak ada kebenaran absolut tunggal diakui.
Dengan kata lain, teori antiesensialis menolak segala jenis argumen
deterministik, misalnya determinisme ekonomi atau determinisme
kelas, seperti dalam tradisi Marxis klasik. Rakyat adalah totalitas yang
bersifat mempengaruhi satu sama lain dalam satu totalitas (Faqih, 1996).
Konseptualisasi esensialisme dan antiesensialisme yang bertentangan ini
mempengaruhi berbagai aksi individu dan organisasi gerakan sosial dalam
melakukan perubahan sosial. Mereka yang percaya bahwa aspek ekonomi
sebagai faktor yang “menetukan”, cenderung menempatkan masalah ekonomi
sebagai akar segala masalah sosial. Dengan penempatan seperti itu, mereka
cenderung memecahkan masalah-masalah rakyat dengan berupaya
mengubah aspek-aspek ekonomi sebagai penentu. Dengan kata lain,
mereka tidak melihat pentingnya aspek-aspek kehidupan lainnya,
seperti hegemoni kultural dan politik, penindasan gender, dan
pengetahuan/kekuasaan serta diskursus, sebagai bentuk, sebagai
bentuk dominasi yang melanggengkan eksploitasi ekonomi. Di lain pihak,
mereka yang menganggap ‘hegemoni” sebagai satu-satunya penyebab masalah
9

sosial, cenderung mengabaikan kelas sebagai determinan penting dalam


menciptakan masalah-masalah sosial. Teori esensialis ini memberi andil
atas tumbuhnya cara berpikir dogmatis dan fanatis dalam rakyat karena
pendukung teori ini yakin bahwa mereka telah menemukan “kebenaran
absolut”. Teori ini juga menyebabkan sagnasi dengan penolakan
terhadap diskusi dan analisis alternatif. Cara berpikir esensialis juga
mengandung bahaya penciptaan intoleransi politik dan kultural
dikarenakan sifat fanatisnya. Materialisme dialektis atau
overdeterminisme diciptakan untuk menghindarkan fanatisme ini dan
menciptakan rakyat demokratis yang sejati.
Bagi Gramsci, kelas dianggap sebagai salah satu dari banyak entitas
dalam rakyat (seperti ekonomi, politik, kultur, gender dan lingkungan) yang
saling bergantung satu sama lain. Dalam teori nonreduksionisnya tentang
eksploitasi, kelas ekonomi tidak lagi dianggap sebagai dasar rakyat. Teorinya
secara tidak langsung menyatakan bahwa perubahan sosial adalah hasil dari
interakasi seluruh aspek rakyat ketimbang merupakan konsekuensi dari
satu sebab atau aspek “esensial “ tertentu. Dalam perspektif Gramscian,
kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pemeran utama dalam gerakan
utama sosial.
Namun sebaliknya, ada gejala baru dalam analisis gerakan sosial dan
perubahan dari analisis perjuangan menuju ke analisis yang didasarkan pada
non kelas. Epstein (1991) sosial baru (New Social Movement) di Amerika
Serikat. Ia mencatat bahwa gejala ini merupakan lemahnya kepentingan
gerakan sosial baru dan terbatasnya ruang lingkup kepentingan aksi gerakan
mereka. Banyak diantara gerakan menengah, misalnya gerakan
lingkungan/ekologi, gerakan perdamaian, gerakan konsumen, gerakan aksi
langsung dan jenis gerakan lainnya. Gerakan-gerakan tersebut cenderung
memisahkan diri dari perjuangan kelas. Pada saat yang sama beberapa gerakan
sosial di Dunia Ketiga, seperti gerakan lingkungan, gerakan perempuan maupun
gerakan LSM juga bermasalah karena mengucilkan gerakan buruh.
Dengan demikian tipe gerakan yang disebut tipe gerakan sosial baru
tersebut pada umumnya tidak berhubungan dengan gerakan buruh. Kalau
demikian pada dasarnya gerakan sosial baru itupun merupakan bentuk lebih
lanjut dari gerakan reduksionis, atau jenis esensialisme yang lain. Dalam kajian
ini penulis bermakksud mengonstruksi suatu teori baru tentang gerakan sosial
yang tidak menurunkan fenomena sosial ke ekonomi dan juga tidak
mengabaikan eksploitasi kelas dan ekonomi. Tujuan utama buku ini adalah
bukanlah menemukan satu teori yang benar untuk mengganti teori yang salah,
tetapi membangun suatu teori yang akan memberikan pedoman yang lebih luas
bagi proses transformasi sosial.
Teori baru ini sangat dipengaruhi oleh dua pemikir. Pertama, seperti
diungkapkan terdahulu, oleh Antonio Gramsci, terutama kritiknya atas
“determinisme ekonomi” dan konsep hegemoninya; kedua oleh, oleh seorang
pemikir Prancis yaitu Louis Althusser, khususnya konsep overdeterminismenya
sebagai teori antiesensialisme, antireduksionisme dan antideterminisme.
Sebelun menguraikan bagaimana perubahan sosial berlangsung dalam konteks
hegemoni dan bagaimana perubahan sosial cocok dengan semangat dialektika
atau konsep overdeterminisme Althusser dam konsep hegemoni Gramsci.
10

Konsep overdeterminisme digunakan oleh banyak pemikir misalnya


Sigmund Freud, Georg Lukacks dan Louis Althusser. Resnick dan Wolf (1987)
adalah diantara sedikit ekonom determinisme. Mereka menggunakan istilah
tersebut, yang dipinjam dari Althusser, dalam konteks perdebatan tentang
dialektis. Merka berpendapat bahwa overdeterminasi, sebagaimana dilawankan
dengan determinasi dan determinisme, menentang segala bentuk reduksionisme
atau esensialisme. Overdeterminasi adalah penolakan atas segala praanggapan
bahwa kompleksitas dapoat diturunkan kepada penyederhanaan bentuk sebab
dan akibat. Sebaliknya overdeterminasi beranggapan bahwa setiap unsur dalam
konteks kejadian apapun memainkan peran tersendiri dalam penentuan kejadian
itu. Setiap sebab adalah sebab itu sendiri dan juga akibat, demikian sebaliknya.
Oleh karena itu, tidak ada satu hal pun yang menjadi esensi dari sesuatu, atau
dengan kata lain tidak ada pernyataan bahwa sesuatu “lebih” atau “kurang”
ditentukan oleh suatu proses tertentu dalam rakyat.
Sedangkan istilah hegemoni, yang digunakan dalam buku ini erat
kaitannya dengan apa yang dipikirkan oleh Antonio Gramsci. Menurut Gramsci,
negara kapitalis industri membutuhkan kelas buruh yang terlatih dan
termotivasi. Untuk itu dibutuhkan tipe dominasi baru yang disebutnya hegemoni
(Gramsci, 1971). Dengan hegemoni, secara tidak langsung berarti bahwa
paksaan (coersion) bukan lagi alat kontrol sosial yang memadai; karena dengan
hegemoni memungkinkan kelas buruh dibuat memihak dan tunduk kepada
(menyetujui) sistem yang ada. Williams (1960) secara praktis mendefinisikan
konsep hegemoni sebagai: Suatu tatanan dimana cara hidup dan pemikiran
kelompok tertentu menjadi dominan, dimana suatu konsep realitas disebarkan
ke seluruh rakyat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya, yang
mempengaruhi seluruh cita rasa , moralitas, kebiasaan, prinsip agama dan
politik, dan seluruh hubungan sosial, terutama dalam pengertian intelektual dan
moral. (Williams, 1960 ,hal.387).
Dalam kaitan dengan studi mengenai gerakan sosial dan perubahan sosial
konsep hegemoni dianggap sebagai inti pemikiran politik Gramsci. Namun
masalahnya Gramsci tidak mendefinisikannya dengan jelas dalam tulisannya.
Penggunaan definisi Williams membantu kita untuk memahami konsep
hegemoni Gramsci. Walaupun hegemobi diperoleh melalui persetujuan dan
penggunaan paksaan oleh satu kelas atas yang lainnya, persetujuan dalam
proses hegemonik memainkan peranan sangat penting. Hegemoni dibakukan
melalui banyak cara dimana pranata rakyat sipil membentuk persepsi tentang
realitas sosial. Bagi Gramsci, hegemoni adalah bentuk kontrol dan kekuasaan
yang sangat penting. Dengan demikian kekuasaan hegemonik lebih merupakan
kekuasaan melalui “persetujuan”, yang mencakup beberapa jenis penerimaan
intelektual atau emosional atas tatanan sosial-politik yang ada. Menurut Femia
(1975), gagasan Gramsci tentang hegemoni menitik-beratkan pada
superfisialitas persetujuan di dalam sistem kapitalis dimana persetujuan itu
mencangkup bentuk komitmen aktif maupun pasif. Persetujuan sebagaimana
dikonseptualisasi oleh Gramsci, adalah ungkapan intelektual dan arah modal
melalui mana perasaan massa secara tetap terikat dengan ideologi dan
kepemimpinan politik negara sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya.
(Femia, 1975, hal. 29-48).
11

Dalam menggambarkan bagaimana hegemoni bekerja, Gramsci mengambil


contoh dari demokrasi di Barat: pengguanan hegemoni yang “normal” atas
daerah klasik regim parlementer sekarang bercirikan penggabungan antara
kekuatan dan persetujuan, yang keseimbangan antara satu sama lainnya secara
timbal balik, tanpa kekuatan mendominasi secara luas atas persetujuan. Tentu
saja upayanya selalu dibuat untuk memastikan bahwa kekuatan akan muncul
berdasarkan majoritas. (Gramsci, 1971: 90).
Dalam konteks Dunia Ketiga saat ini, hegemoni mengambil bentuk dalam
konsep Pembangunan. Escobar (1992) berpendapat bahwa ide Pembangunan
berhasil dalam menciptakan keberagaman antagonisme dan identitas ( kaum
petani yang diperbedakan, kaum marginal perkotaan, kelompok “tradisional”,
perempuan dan lain-lain ) yang, dalam banyak contoh,menjadi subyek
perjuangan dalam bidang nya masing-masing (Gramsci, 1971: 60).
Oleh karena itu, bagi Gramsci, pendidikan, kultur, dan kesadaran adalah
daerah perjuangan yang penting. Sebenarnya konsep hegemoni adalah inti teori
perubahan sosial Gramsci, karena hegemoni adalah bentuk kekuasaan kelompok
dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran kelompok subordinat.
Bagaimana hegemoni bekerja, dan bagaimana ideologi hegemonik dimasukkan
ke dalam kesadaran merupakan hal yang rumit. Tetapi Gramsci seperti sepenuh
hati percaya terhadap kuatnya kesadaran kritis individu, dan dia menolak
gagasan determinisme historis ekonomi. Formulasi Gramsci tetap memakai
gagasan kelas buruh sebagai pusat gerakan revolusioner, tetapi tetap membuka
kemungkinan memasukkan kelmpok baru dalam kategori kelas buruh,
menciptakan suatu aliansi antara unsur kelas buruh dengan kelompok lain, dan
menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian dari proses revolusioner.
4.3. TEORI CIVIL SOCIETY
Sejarah bangsa Indonesia bisa jadi sejarah kehidupan warganya yang
hampir tidak pernah mengenal kebebasan diri warga itu sendiri. Mereka hidup
dalam sangkar budaya feodalisme, cengkeraman kolonialisme dan kemudian
kekuasaan birokrasi negara. Manusia-manusia yang menjadi warga negara
Indonesia dalam sejarahnya hampir selalu hidup dalam suasanan terpasung oleh
kekuatan-kekuatan sekitarnya sehingga hampir tidak pernah mampu dan
berkesempatan menikmati kebebasan sebagai manusia (civil right)
Sejak kolonialisme Belanda selain tidak cukup menyediakan infrastruktur
sosial yang memadai terhadap kemungkinan tumbuhnya institusi sosial
sukarela, pluralisme dan transaksi sosial lintas kultural, juga ada upaya
sistematik menghambat munculnya civil society 3. Meski setelah politik etis, ada
banyak muncul pribumi terdidik, namun jumlahnya sangat tidak memadai
khususnya terhadap gagasan-gagasan politik kebangsaan Indonesia. Kecuali
kesadaran nasionalisme (1928) dan gagasan nasionalisme generasi kedua
(1945) tidak didukung oleh tersedianya forum dan media yang memungkinkan
elemen-elemen manjemuk dalam civil society berinteraksi dalam kerangka
negara bangsa (nation state) yang modern (Sparringa, 2000).

3
Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya pembedaan pekerjaan dan pemukiman berdasarkan ras dan
etnis antara Kolonial, Arab, Cina dan pribumi.
12

Baru antara 1950-1958 ada indikasi kuat mulai berlangsungnya interaksi


antar elemen-elemen majemuk dalam rakyat dalam ruang publik yang amat
dinamis karena melibatkan proses-proses negosiasi-renegosiasi dan posisi-
reposisi di antara nilai-nilai lokal, partikular dan universal. Perkembangan civil
society tersebut terhambat oleh demokrasi terpimpin (1959-1965), sebab
kompetisi antar aliran idiologi (Islam, tradisional ortodoks, nasionalis, sosial-
demokrat dan komunis) tenggelam4 oleh besarnya kehendak negara yang
selain mengeliminasi polarisasi dan devisi sosial di rakyat, juga mengarahkan
politik massa ke elitis (Sparringa, 2001).
Walaupun melalui motivasi yang berbeda, perubahan politiknya
selanjutnya memperburuk perkembangan civil society. Hadirnya rejim Orde Baru
telah amat menghancurkan kemungkinan elemen-elemen penting dalam Civil
Society di Indonesia untuk melanjutkan proses pertumbuhannya. Kebijakan
yang amat sistematis yang ditempuh oleh Orde Baru untuk melakukan
depolitisasi politik massa dan politik aliran menggenapkan kesempurnaan
proses-proses politik yang dasar-dasarnya telah diletakkan sebelumnya oleh
pemerintahan kolonial. Orde Baru, dalam pemahaman sosiologis, merupakan
fenomena negara yang amat hegemonik karena amat berhasil mengintegrasikan
elemen-elemen penting civil society ke dalam wilayah negara. Interaksi di
antara elemen-elemen majemuk yang memungkinkan berkembangnya ruang
publik bagi perkembangan sebuah rakyat plural praktis tidak banyak
berkembang, bahkan hancur, karena adopsi cara pandang Orde Baru yang
melihat kesempatan semacam itu lebih mungkin menghasilkan disintegrasi
sosial daripada stabilitas sosial --sebuah paradigma yang kemudian diketahui
amat menyesatkan karena stabilitas sosial yang dibangun dengan cara
meniadakan kemajemukan itu justru menimbulkan komplikasi yang amat serius
di kemudian hari (Sparringa, 2001).
Sebagaimana diketahui dari kesejarahan bangsa-bangsa yang telah maju
dan demokratis, keberadaan civil society yang kuat merupakan salah satu
landasan pokok bagi ditegakkannya sistem politik demokrasi. Civil society di sini
didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri
kesukarelaan, keswadayaan, keswasembada an dan kemandirian berhadapan
dengan negara. Dengan tumbuh dan berkembangnya civil society yang kuat
maka dimungkinkan pencegahan terhadap dampak-dampak negatif dari dua
kekuatan tersebut sehingga kehidupan demokratis rakyat tetap terjaga. Dari
pihak negara, kemungkinan monopoli atau dominasinya akan mengakibatkan
hilangnya kemandirian pribadi dan merosotnya karsa-karsa bebas di dalamnya
yang sebetulnya sangat penting bagi kehidupan demokrasi. Dampak negatif dari
negara yang terlalu intervensionis adalah ketergantungan yang sangat tinggi
dari kelompok-kelompok dalam rakyat dan pribadi-pribadi kepadanya (Hikam,
1999).
Namun, dampak negatif dari kekuatan ekonomi pasar pada masyarakat
kapitalistik menyebabkan atomisasi dan pasifikasi rakyat yang mengakibatkan
memudarnya perekat komunitas. Kapitalisme yang pada intinya menuntut

4
Persaingan antar aliran ideologi dicegah untuk berkembang melalui pengenalan kembali pada
gagasan-gagasan nasionalisme awal republik yang amat diwarnai oleh interpretasi Soekarno yang sampai batas-
batas tertentu merupakan usaha sinkretisme atas aliran-aliran ideologi tersebut.
13

individu dibebaskan sepenuhnya agar dapat mencari kepuasaan, pada gilirannya


mendorong terjadinya kompetisi yang tidak sehat di dalam rakyat serta
memungkinkan melebarnya jurang yang memisahkan antara si kaya dan si
miskin. Sistem politik yang mengabaikan kenyataan seperti ini dan tidak mampu
melakukan pengawasan atasnya, kendatipun di luar tampak demokratis tetapi di
dalam sejatinya mengidap penyakit kronis yaitu alienasi kaum lapis bawah dan
kelangkaan partisipasi yang murni dari mereka.
Karena itu, untuk mengurangi dan mengantisipasi ekses-ekses tersebut
civil society menjadi penting. Ia dapat menjadi benteng yang menolak intervensi
negara yang berlebihan melalui berbagai asosiasi, organisasi dan
pengelompokan bebas di dalam rakyat serta keberadaan ruang-ruang publik
yang bebas (the free public sphare). Melalui kelompok-kelompok mandiri itulah
rakyat dapat memperkuat posisinya vis-à-vis negara dan melakukan transaksi-
transaksi wacana sesamanya. Sedangkan melalui ruang publik bebas, rakyat
sebagai warga negara yang berdaulat (baik individu maupun kelompok) dapat
melakukan pengawasan dan kontrol terhadap negara. Pers dan forum-forum
diskusi bebas yang dilakukan para cendekiawan, mahasiswa, pemimpin agama,
dan sebagainya ikut berfungsi sebagai pengontrol kiprah negara.
Dalam pada itu, civil society yang didalamnya bermuatan nilai-nilai moral
tertentu, akan dapat membentengi rakyat dari gempuran sistem ekonomi pasar.
Nilai-nilai itu adalah kebersamaan, kepercayaan, tanggung jawab, toleransi,
kesamarataan, kemandirian dan seterusnya. Dengan masih kuatnya nilai
kepercayaan dan tanggung jawab publik, misalnya, maka akan dapat dikekang
sikap keserakahan individual yang dicoba untuk dikembangkan oleh sistem
ekonomi pasar melalui konsumerisme. Dengan diperkuatnya nilai toleransi dan
kesamarataan, maka akan dapat dikontrol kehendak eksploitatif yang menjadi
motor kapitalisme.
Civil society baik pada tataran institusional maupun nilai ideal menjadi
landasan kuat bagi bangunan demokrasi partisipatoris dan substantif, bukan
hanya demokrasi prosedural dan formal belaka. Civil society yang kuat akan
mampu mendorong proses politik bukan sebatas ritual atau rutinitas yang
hampa makna, karena ia bukan selalu mempertanyakan substansi dari setiap
proses. Civil society juga akan mendorong terciptanya sistem ekonomi yang
peka terhadap distibusi bukan hanya pertumbuhan, kesejahteraan umum bukan
kesejahteraan perseorangan atau kelompok tertentu, kelestarian bukan
kehancuran ekosistem, dan tanggap terhadap pengembangan si lemah
ketimbang hanya mendukung pengembangan si kuat.
Keberadaan civil society di dalam rakyat modern tentu tak lepas dari
hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural inheren di dalamnya.
Komponen pertama termasuk terbentuknya negara yang yang berdaulat,
berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang-ruang publik bebas, tumbuh
dan berkembangnya kelas menengah, dan keberadaan organisasi-organisasi
kepentingan dalam rakyat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang
dan menjadi kuat apabila komponen-komponen kultural yang menjadi
landasannya juga kuat. Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM
dan perlindungan atasnya , khususnya hak berbicara dan berorganisasi, siakp
toleran antar individu dan kelompok dalam rakyat, adanya tingkat kepercayaan
14

publik (publik trust) yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik,
serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok.
Jika kita melihat kondisi di negeri kita, maka jelas kedua komponen
tersebut sudah ada walaupun tidak setara, pertumbuhan dan
perkembangannya, bahkan terdapat komponen–komponen yang mengalami
hambatan. Misalnya, pertumbuhan negara dan ekonomi pasar yang sudah
begitu pesat tetapi pada saat yang sama ruang publik bebas yang masih lemah.
Pada tataran kultural, sejatinya telah memiliki landasan yang kuat. Pengakuan
atas pentingnya perlindungan ha-hak dasar secara eksplisit telah termaktub
dalam konstitusi. Begitu pula dengan berbagai ajaran agama-agama yang
dipeluk oleh bangsa Indonesia dan tradisi-tradisi yang dipraktekkan dalam hal
toleransi dan penghormatan terhadap kemajemukan.
Persoalan pemberdayaan civil society di indonesia antara lain adalah
bagaimana mempetakan secara gamblang elemen-elemen mana yang harus
ditunjang, baik pada tataran struktural maupun kultural. Dalam hal
pemberdayaan elemen struktural, perlu memulainya dari pemahaman akan
kekuatan dan kelemahan sruktur yang mendasari proses perubahan melalui
pembangunan dan modernisasi. Sementara itu pemberdayaan elemen kultural
berarti melakukan penemuan kembali (recovery) dan penafsiran ulang
(reinterpretation) terhadap khazanah nilai-nilai dan tradisi milik rakyat serta
melakukan pengambilan khazanah kultural dari luar yang relevan sesuai dengan
keperluan.
Strategi pemberdayaan civil society di Indonesia, menurut Hikam, (1999)
dapat dikembangkan melalui beberapa tahapan. Tahap Pertama adalah
pemetaan atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan civil
social, khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya yang harus
mendapat prioritas. Pada tahap ini diupayakan penelitian atau kajian yang
begitu mendalam baik secara umum maupun khusus terhadap potensi yang ada
dalam rakyat untuk menumbuh-kembangkan civil society. Umpamanya
pemetaan terhadap segmen-segmen kelas menengah yang dianggap menjadi
basis bagi tumbuhnya civil society berikut organisasi di dalamnya. Kajian dan
penelitian semacam ini sangat penting agar dapat dengan segera dilakukan
proses recovery dan penetaan kembali setelah munculnya kesempatan karena
jatuhnya rezim otoriter di bawah Soeharto
Tahap Kedua, adalah menggerakkan potensi-potensi yang telah
ditemukan tersebut sesuai dengan bidang atau garapan masing-masing.
Misalnya bagaimana menggerakkan komunitas pesantren di wilayah-wilayah
pedesaan agar mereka dapat ikut memperkuat basis ekonomi dan sosial di
lapisan bawah. Dalam tahapan ini, jelas harus terjadi reorientasi dalam model
pembangunan sehingga proses penggerakan sumber daya di lapisan bawah
tidak lagi berupa eksploitasi karena pola top-down. Justru dalam tahapan ini
sekaligus diusahakan untuk menghidupkan dan mengaktifkan keswadayaan
rakyat yang selama ini terbungkam. Pendekatan-pendekatan partisipatoris harus
dipakai dan dalam hal ini bantuan dari lembaga –lembaga swadaya masyrakat
(LSM) menjadi sangat krusial. Tentu saja, LSM yang dimaksud disini bukanlah
LSM yang hanya berorientasi kepada program saja tetapi juga pada
pemberdayaan.
15

Pada tingkat kelas menengah, tahapan kedua ini diarahkan kepada


penumbuhan kembali jiwa enterpreneur yang sejati sehingga akan muncul
sebuah kelas menengah yang mandiri dan tangguh. Potensi demikian sudah
cukup besar dengan semakin bertambah banyaknya generasi muda yang
berpendidikan tinggi dan berpengalaman dalam bisnis yang berlingkup global.
Sementara itu, untuk memacu transformasi sosial menuju civil society
menurut Zald dan McCharty dalam bukunya Social Movements in a
Organizational Society (1987) dan Tarrow Struggle, Politics and Reforms (1990)
adalah melalui kependidikan terhadap organisasi gerakan sosial. Istilah
organisasi sosial didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran diri
yang bertindak in concerto untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai
klaim-klaim penentang dengan kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain
dengan klaim-klaim tersebut.
Namun, berbeda dengan konsep tersebut, Smelser dalam bukunya
Theory of Collective Behaviour (1962) mendefinisikasn gerakan sosial sebagai
perilaku kolektif dimana rakyat ikut serta dalam usaha memperbaiki dan
menyusun kembali struktur sosial yang telah rusak. Demikian halnya dengan
Mcphail (sebagaimana dikutip Faqih, 1996) pada makalah yang berjudul
“Toward Theory of Collecitve Behaviour” yang pernah dipresentasikan dalam
Simposium tentang Interaksi Simbolik mengemukakan bahwa gerakan sosial
adalah perilaku kolektif yang berlangsung spontan dari pada direncanakan, tidak
berstruktur ketimbang diorganisasi, lebih emosional dari pada rasional dan
menyebar dengan kasar, lebih sebagai bentuk komunikasi yang paling dasar
seperti reaksi yang tidak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit sosial dan
keyakinan yang digeneralisir dari pada jaringan komunikasi formal dan informal
yang telah dibentuk sebelumnya. Dalam buku ini, gerakan sosial justru dilihat
sebaliknya, yaitu sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan
metodologi yang diformulasikan secara jelas dan sadar berdasarkan analisis
sosial yang kuat.
Dari perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial
dikategorikan sebagai rakyat sipil yang terorganisir. Konsep rakyat sipil
didasarkan pada analisis Gramsci tentang kepentingan konfliktual dan dialektika
atau kesatuan dalam keberbedaan antara negara dan rakyat sipil. Dalam satu
hal, analisis ini meruapakan bagian penolakannya atas fokus yang sempit
dimana unit analisis adalah kontradiksi dialektis antara buruh dan kapitalis. Ia
menggunakan istilah “negara” (state) dan “rakyat sipil” (civil society) dalam
analisanya tentang supremasi dan hegemoni. Dalam membahas kaitan antara
negara dan rakyat Gramsci (1971, seperti dikutip Faqih, 2000)) mengatakan:
Apa yang dapat kita kerjakan, sejenak, adalah menyediakan dua “aras” superstruktur, satu
yang disebut “rakyat sipil”, yakni ensemble organisme yang biasanya disebut “privat”, dan
aras yang lain yaitu “ rakyat politik” atau “negara. Dua aras ini pada satu sisi dapat
berhubungan dengan fungsi hegemoni dimana kelomok dominan menjalankan seluruh rakyat
dan di sisi lain berhubungan dengan “dominasi langsung” atau perintah yang dijalankan
melalui negara dan pemerintahan “juridis”.
Mayarakat sipil berbeda dengan negara atau rakyat politik, adalah
lingkup privat atau individu. Rakyat sipil terdiri dari berbagai bentuk organisasi
voluntir, dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya itu berada
16

dalam aktivitas ideologis dan intelektual yang dinamis maupun konstruksi


hegemoni. Selain itu, bagi Gramsci, rakyat sipil adalah konteks di mana
seseorang menjadi sadar, dan dimana seseorang pertama kali ikut serta dalam
aksi politik. Dengan demikian sipil adalah suatu agregasi atau percampuran
kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasi menjadi pandangan
yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah, bagi Gramsci
rakyat sipil adalah suatu dunia dimana rakyat membuat perubahan dan
menciptakan sejarah (Gramsci, 1971).
Dengan menggunakan konsep rakyat sipil model Gramscian ini bisa
dipergunakan untuk menganalisis keberadaan organisasi gerakan sosial,
mengonstruksi cara alternatif untuk melihat topologi gerakan sosial dan
organisasinya, termasuk didalamnya keberadaann LSM dalam suatu gerakan
rakyat dalam mengkonstruksi pembangunan. Sebab, pembangunan dianggap
sebagai bentuk baru hegemoni dominan di Dunia Ketiga. Guna membentuk
hegemoni baru bekerja dalam konteks Dunia Ketiga, tidak dapat dihindarkan
untuk melihat diskursus pembangunan secara sungguh-sungguh. Metodologi
Gramscian ini juga bisa dimanfaatkan secara kritis menganalisis posisi idelogis
dan politik LSM serta membuat peta untuk menempatkan gerakan LSM dan
organisasi gerakan sosial lainnya ke dalam dialektika antara rakyat sipil dan
negara menurut perspektif Gramscian. Dalam hal ini secara kritis menelaah
peran organisasi gerakan sosial dalam hubungannya dengan diskursus
pembangunan, yaitu apakah mereka harus dianggap sebagai bagian hegemoni
pembangunan atau tandingannya. Dngan demikian bisa konstruksi bahwa teori
organisasi gerakan sosial sebagai gerakan sosial kontra-hegemonik (Faqih,
2000).
Jika transformasi diartikan sebagai proses penciptaan hubungan secara
fundamental baru dan lebih baik maka rakyat sipil bagi transformasi sosial
berarti suatu proses perubahan oleh rakyat. Dalam studi ini peran organisasi
gerakan sosial Indonesia, ditempatkan dalam proses transformasi. Dalam
konteks hegemoni Modernisasi dan Developmentalisme, sebetulnya penelitian ini
juga mencoba memperhitungkan peran organisasi gerakan sosial dalam
melawan diskursus modernisasi dan pembangunan. Dari titik pangkal ini terlihat
peran kependidikan organisasi gerakan sosial dalam melawan diskursus
pembangunan. Tugas kependidikan utama dari organisasi gerakan sosial akan
bertindak sebagai gerakan kontra-diskursus.
Ada beberapa alasan mengapa organisasi gerakan sosial adalah sarana
yang tepat bagi gerakan kontra-diskursus dan kontra-hegemonik. Organisasi
gerakan sosial—yang dalam banyak kasus dimotori LSM-- adalah organisasi
yang mengajukan perubahan radikal pada aras akar rumput. Para aktifis LSM
juga mengklaim memberdayakan rakyat untuk mengontrol dan menggunakan
pengetahuannya sendiri. Kemungkinan organisasi gerakan sosial menjadi
gerakan kontra-hegemonik maupun gerakan kontra diskursus tergantung pada
komitmen aktifis gerakan sosial pada rakyat. Hal ini penting untuk melihat
bagaimana aktivis bekerja bersama-sama rakyat menciptakan paradigma dan
ideologinya sendiri maupun diskursus alternatif bagi transformasi sosial.
Untuk itu, perlu kajian tentang peran kelompok inti sebagai aktivis LSM
dalam proses transformasi sosial, komitmen kelompok studi LSM untuk
menciptakan ideologi yang lebih baik, teori dan solusi alternatif bagi masalah
17

yang diupayakan pemecahannya, maupun diskursus dan metodologi alternatif


bagi transformasi sosial. Selain ituperlu juga diperhatikan mengenai bagaimana
sekelompok aktivis LSM menciptakan ruang yang memungkinkan memunculkan
kesadaran kritis baik pada kalangan aktifis LSM sendiri maupun pada rakyat.
Memahami landasan teoritis peran kependidikan organisasi gerakan sosial
bermanfaat untuk memahami bahwa teori pendidikan kritis dapat juga
dikelompokkan sebagai teori produksi dalam pendidikan. Teori produksi
pendidikan yang juga sering disebut dengan Teori Perlawanan adalah teori yang
memusatkan perhatian pada cara-cara dimana perlawanan termasuk didalam
proses pendidikan yang menghasilkan pengertian dan kultur melalui
perlawanannya maupun melalui kesadaran kolektif dan individunya sendiri
(Faqih, 1996). Teori yang dikembangkan Paulo Freire dan Gramsci adalah
termasuk dalam katagori teori produksi ini. Tema utama teori produksi Freire
adalah peningkatan kesadaran kritis dimana manusia merupakan pusat dari
pendidikannya untuk perubahan. Peningkatan kesadaran kritis adalah proses
dimana peserta pendidikan mencapai tingkat kesadaran yang memungkinnya
memandang sistem dan struktur sosial yang kritis (Smith, 1976 sebagaimana
dikutip Faqih, 1999).

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung empat tahun lalu di Jakarta, beberapa penilaian
bermunculan tentang istilah tersebut: “konsep civil society berasal dari Barat,” “tidak perlu ada
dikotomi antara sipil dengan militer”,”tradisi kita belum mengenal apa yang disebut civil culture,”
dan bahwa pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali
data empirisnya tidak ada.”1

Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu
sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi
strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat berdasarkan proses evolusi dan
pertumbuhan negara (Ali, 1991). “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’i Anwar: “Untuk
konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau menerima dan

1
Menurut Fahri Ali: “… Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan
modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-
negara modern. Karena itu studi strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus
dilihat berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara. Ada kesan bahwa kita lebih
banyak mencari persoalan tentang dasar-dasar pemikirran civil society pada masyarakat kita,
khususnya kekayaan tradisi, dan sebagainya.Saya setuju apa yang dikemukakan oleh Daniel
[Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu tumbuh dan berkembang …Karena
itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali
data empirisnya tidak ada. “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’I Anwar: “Untuk
konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau
menerima dan memahami civil society…Saya setuju dengan Fachri Ali yang menyatakan
bahwa konsep civil society berasal dari Barat. Dan, ketika konsep ini dicoba untuk dibumikan
di Indonesia, ia segera dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat
tanggapan dan komentar Fachri Ali dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar
Mencari Konsep dan KeberadaanCivil-Society di Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta,
CESDA-LP3ES, 20September 1994, hlm.21-25.
18
memahami civil society… Daniel [Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu tumbuh dan
berkembang …Karena itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan
data empirisnya tidak ada. . Ketika konsep ini dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia segera
dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat tanggapan dan komentar Fachri Ali
dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar Mencari Konsep dan KeberadaanCivil-Society di
Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta, CESDA-LP3ES, 20September 1994, hlm.21-25.
19

http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai