https://www.google.co.id/search?q=gerakan+sosial+baru+pdf&oq=gerakan+sosial+baru&aqs=chrome.1.69i57j0l5.15909j0j
8&sourceid=chrome&ie=UTF-8, 4 September 2017
1
Apakah pembangunan benar-benar merupakan jawaban untuk memecahkan masalah-masalah bagi
rakyat kebanyakan, atau semata-mata merupakan alat untuk menyembunyikan penyakit sebenarnya yang lebih
mendasar. Bagi penganut teori perubahan sosial mainstream, teori perubahan sosial dominan ini dianggap
menjanjikan harapan. Namun banyak para pakar ilmu sosial secara kritis meneliti dampak pembangunan, dan
banyak penulis menganggap bahwa ide pembangunan justru telah menciptakan kesengsaraan ketimbang
memecahlan masalah yang dihadapi rakyat Dunia Ketiga
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/
1
Konflik antara rakyat (petani) dan perkebunan PTP XII secara langsung
berarti juga masuknya sistem ekonomi kapitalis ke masyarakat yang berbasis
pertanian. Masuknya sistem ekonomi kapitalis ini juga berarti mulai diperkenal
kannya sistem ekonomi uang. Sistem ekonomi kapitalis dan moneterisasi yang
dibawa masuk perkebunan ke masyarakat pertanian telah banyak
mempengaruhi pola hubungan sosial dari komunalisme ke pola hubungan
rasional, seperti terlihat dari cara persewan tanah memberikan buruh secara
upahan dengan uang tunai (fress money) yang semuanya itu lebih
mengedepankan petimbangan-pertimbangan legal-formal.
Diintroduksinya sistem ekonomi perkebunan yang kapitalistik ke
kehidupan rakyat petani telah menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang
mendasar. Misalnya, munculnya stratifikasi sosial baru, yaitu pengusaha sebagai
kelompok minoritas elit ekonomi-politik dan kelompok buruh
(pekerja)/penduduk pribumi. Mereka terbentuk dalam status ikatan sosial yang
didasarkan pada ikatan ketergantungan antara majikan dan pekerja sebagai
ikatan patron-klien (Kusbandriyo, 1996).
Pihak perkebunan telah mendayagunakan sistem ekonomi modern yang
kapitalistik sementara pada saat yang sama rakyat tetap dengan sistem
ekonomi pertanian yang tradisional. Maka, terbangunlah – sebagaimana
dikemukakan Booke-- dualisme ekonomi. Dualisme ekonomi ini, menurut Paige
(1975) dalam bukunya Agrarian Revolution: Social Movement and Export
Agriculture in the Undedevelopment World, mengakibatkan rendahnya
subsistensi petani penggarap dan kemudian berdampak pada perbedaan-
perbedaan konsep secara mendasar antara pihak perkebunan dan rakyat dalam
memandang masalah status tanah dan pengusahaannya. Dalam sejarah
perkebunan yang bersifat kontraktual dan kapitalistik selain amat jarang terjadi
kepentingan petani diperhatikan sebagaimana semestinya, para petani juga
diposisikan sangat rendah (Lanberger, sebagaimana dikutip Kusbandrijo, 1996).
Menurut Paige (1975), tuntutan ekonomi komersial untuk mengejar keuntungan
cenderung untuk menguasai sebanyak mungkin surplus keuntungan dari pada
berbagi keuntungan dengan petani atau buruh tani.
Perbedaan kepentingan ini sangat rentan terhadap militansi dan
radikalisme petani, baik yang diam-diam maupun terbuka yang merupakan
bentuk mekanisme survival petani untuk mempertahankan kehidupannya
sekaligus menuntut keadilan. Menurut Lanberger (1981) berbagai tekanan yang
dilakukan oleh perkebunan yang menggunakan model ekonomi kapitalistik
tersebut memposisikan rakyat petani sebagai klas masyarakat pinggiran,
marjinal dan inferior yang dalam prosesnya menjadikan sikap mereka gampang
bereaksi secara kolektif. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Scott (1993)
bahwa posisi petani yang terpojokkan akan dengan gampangnya melakukan
pembrontakan secara kolektif.
Ketika ekspansi statis mencapai puncaknya karena keterbatasan lahan,
maka strategi untuk memelihara homogenitas sosial diarahkan pada dinamika
internal komunitas sebagaimana dikemukakan Gerzt2. Di tengah proses berbagi
2
Menurut Gerzt, masyarakat Jawa, dibawah tekanan penduduk yang terus bertambah sementara
sumber daya (tanah) tetap, masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua yakni tuan tanah dan tuna kisma;
melainkan tetap mempertahankan homogenitas sosial-ekonominya dsengan cara membagi-bagi “kue-ekonomi”
2
yang ada, sehingga bagian yang diperoleh masing-masing makin lama makin kecil. Fenomena inilah yang
kemudian disebut dengan pemerataan kemiskinan (sharred poverrty)
3
perlunya menentang orang tua mereka dan “kemapanan” yang tidak memberi
pengakuan kepada mereka. Sementara itu Maslow (1962) mencoba
menggabungkan analisis psikologis dan struktural. Ia melihat gerakan
mahasiswa dan gerakan sosial lainnya sebagai mewakili suatu generasi baru
dengan kebutuhan yang lebih tinggi yang, tepatnya karena mereka muncul
dalam kesenangan kelas menengah, berada dalam posisi mencari nilai-nilai
pascamateri, berkaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan diri (sendiri) dan
tujuan yang lebih altruistik yang berhubungan dengan kualitas hidup. Akhirnya,
Keniston (1965) menganggap gerakan mahasiswa sebagai anggota kelas
menengah yang teralienansi.
Berbagai teori mengenai gerakan sosial tersebut berakar dan dipengaruhi
oleh teori sosiologi dominan, fungsionalisme. Fungsionalisme seringkali juga
disebut sebagai “fungsionalisme struktural” karena penekanannya pada
keperluan, atau “kebutuhan” sistem sosial fungsional yang harus dipernuhinya
ileh bagoan-bagiannya sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan
dan struktur yang ada. Fungsionalisme melihat rakyat dan pranata sosial
sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan
bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dengan demikian
keseimbangan merupakan unsur kunci dalam fungsionalisme. Salah satu
proposisi terpenting fungsionalisme adalah, akan selalu ada reorganisasi
dikarenakan kebutuhan memperbaiki keseimbangan. Dalam menganalisis
bagaimana sistem sosial mempertahankan dan memperbaiki keseimbangan,
mereka condong menggunakan nilai-nilai yang dimiliki atau standar sifat yang
diterima secara umum sebagai konsep sentral. Fungsionalisme menekankan
kesatuan rakyat dan apa yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Itulah
sebabnya maka penganut fungsionalisme condong melihat gerakan sosial
sebagai negatif, yakni menimbulkan konflik yang akan mengganggu harmoni
rakyat.
Meskipun fungsionalisme sebagai aliran pemikiran mengklaim sebagai
teori perubahan, tetapi kalau dilihat asumsi dasarnya maka sesungguhnya
fungsionalisme bersandar kepada gagasan status quo. Oleh sebab itu
fungsionalisme lebih merupakan teori stabilitas sosial dan konsensus normatif.
Doktrin ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa rakyat adalah bagian dari
suatu sistem yang saling bergantung dan berkesesuaian satu sama lain, atau
sekurang-kurangnya dalam proses saling penyesuaian diri kembali secara terus-
menerus. Dengan alasan ini, fungionalisme melihat konflik sebagai sesuatu yang
harus dihindari. Talcott Parsons, yang dikenal sebagai bapak fungsionalisme,
dalam berbagai karya awalnya tentang perubahan sosial dengan jelas
menekankan perlunya keseimbangan. Ia menyetujui perubahan di dalam sistem,
dan bukan perubahan sistem sosial. Sesungguhnya gagasan Parsons adalah
tentang perubahan yang bersifat perlahan-lahan dan teratur yang senantiasa
menyeimbangkan kembali (re-equibrium), dan hal ini menghasilkan suatu
keadaan semacam keseimbangan, meknisme penguasaan, ketegangan dan
kekacauan ketika membahas konflik dan perubahan.
Perspektif kedua melihat gerakan sosial sebagai sesuatu yang baik dan
karena, positif dan konstruktif bagi perubahan sosial. Perspektif teori Konflik ini
dibangun dengan berdasar pada tiga asumsi dasar. Pertama, setiap individu
dalam masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi apa yang mnjadi
4
menemukan bahwa gerakan sosial itu beralih dari perjuangan kelas ekonomi
yang terbatas ke transformasi sosial yang lebih luas.
Escobar dan alvarez selanjutnya berpendapat bahwa teori-teori baru
tentang gerakan sosial justru melihat gerakan sosial sebagai usaha untuk
menghasilkan transformasi mendasar dalam hakikat praktik politik maupun teori
tentang gerakan sosial itu sendiri. Mereka juga menjelaskan bahwa salah satu
ciri gerakan sosial baru adalah penolakannya atas analisis sosial yang
didasarkan kepada pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling
bertentangan secara tegas ( borjuis dan proletar). Dalam situasi baru,
keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang automi mereka dalam
lingkungan sosial dan politik yang terfragmentasi . Berdasarkan analisis dan
pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak gerakan sosial
maka gerakan sosial harus ditempatkan dalam konteks proses demokratisasi
yang sangat luas. Proses demokratisasi ini merupakan proses transformasi sosial
atas aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik, maupun kehidupan
lainnya (Faqih, 1996).
Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi
pendekatan kedua ini yakni teori perubahan sosial yang nonreduksionis,
khususnya teori mengenai hegemoni (hegemoni theory) dengan mengatakan
bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat gerakan revolosioner.
Dengan demikian Gramsci membuka kemungkinan memasukkan kelompok-
kelompok baru ini ke dalam kategori kelas buruh. Ia juga membuat teorisasi
tentang kemungkinan menciptakan aliansi antara unsur kelas buruh dan
kelompok lainnya, dan menekankan transformasi kesadaran sebagai bagian
proses revolusioner. Laclau dan Mouffe (1985) memperluas teori Gramsci
dengan mengangggap “gerakan sosial baru” sebagai model dalam pencarian
alternatif atas kemacetan pendekatan Marxisme tradisional.
Para pemikir pasca Marx, seperti Femia (1979) dan Gramsci (1891-1937)
misalnya, dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting. Gagasannya yang
cemerlang tentang hegemoni dianggap merupakan landasan paradigma
alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma super struktur
dasar. Teori-teorinya muncul sebagai kritik sekaligus alternatif bagi pendekatan
dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas
dan ekonomi Marxisme tradisional.
Analisis Gramscian dianggap signifikan untuk keperluan studi ini
dikarenakan perlunya pemahaman komprehensif tentang peran masa depan
gerakan sosial dan pendidikan massa dalam formasi sosial kapitalis Dunia
Ketiga, khususnya di Indonesia di mana kapitalisme sedang dalam proses
menemukan kemapanannya. Selain itu, pendekatan Gramscian juga tepat
karena analisisnya –khususnya terhadap NGO-- yang bergaya nondeterministik
dan antiredoksionisme, terutama karena Gramsci muncul sebagai kritik terhadap
kebanyakan penganut Marxisme pada waktu itu yang umumnya berdeterminis
ekonomi dan redoksionis kelas. Pengaruh determinisme ekonomi atas
pendekatan analisis sosial mainstream yakni Developmentalisme maupun
pengaruhnya kepada gerakan LSM di Indonesia menjadikan pendekatan
nonredoksionis Gramsci lebih mengenai sasaran (Faqih, 1999).
6
3
Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya pembedaan pekerjaan dan pemukiman berdasarkan ras dan
etnis antara Kolonial, Arab, Cina dan pribumi.
12
4
Persaingan antar aliran ideologi dicegah untuk berkembang melalui pengenalan kembali pada
gagasan-gagasan nasionalisme awal republik yang amat diwarnai oleh interpretasi Soekarno yang sampai batas-
batas tertentu merupakan usaha sinkretisme atas aliran-aliran ideologi tersebut.
13
publik (publik trust) yang tinggi terhadap pranata-pranata sosial dan politik,
serta kuatnya komitmen terhadap kemandirian pribadi dan kelompok.
Jika kita melihat kondisi di negeri kita, maka jelas kedua komponen
tersebut sudah ada walaupun tidak setara, pertumbuhan dan
perkembangannya, bahkan terdapat komponen–komponen yang mengalami
hambatan. Misalnya, pertumbuhan negara dan ekonomi pasar yang sudah
begitu pesat tetapi pada saat yang sama ruang publik bebas yang masih lemah.
Pada tataran kultural, sejatinya telah memiliki landasan yang kuat. Pengakuan
atas pentingnya perlindungan ha-hak dasar secara eksplisit telah termaktub
dalam konstitusi. Begitu pula dengan berbagai ajaran agama-agama yang
dipeluk oleh bangsa Indonesia dan tradisi-tradisi yang dipraktekkan dalam hal
toleransi dan penghormatan terhadap kemajemukan.
Persoalan pemberdayaan civil society di indonesia antara lain adalah
bagaimana mempetakan secara gamblang elemen-elemen mana yang harus
ditunjang, baik pada tataran struktural maupun kultural. Dalam hal
pemberdayaan elemen struktural, perlu memulainya dari pemahaman akan
kekuatan dan kelemahan sruktur yang mendasari proses perubahan melalui
pembangunan dan modernisasi. Sementara itu pemberdayaan elemen kultural
berarti melakukan penemuan kembali (recovery) dan penafsiran ulang
(reinterpretation) terhadap khazanah nilai-nilai dan tradisi milik rakyat serta
melakukan pengambilan khazanah kultural dari luar yang relevan sesuai dengan
keperluan.
Strategi pemberdayaan civil society di Indonesia, menurut Hikam, (1999)
dapat dikembangkan melalui beberapa tahapan. Tahap Pertama adalah
pemetaan atau identifikasi permasalahan dasar menyangkut perkembangan civil
social, khususnya kelompok-kelompok strategis di dalamnya yang harus
mendapat prioritas. Pada tahap ini diupayakan penelitian atau kajian yang
begitu mendalam baik secara umum maupun khusus terhadap potensi yang ada
dalam rakyat untuk menumbuh-kembangkan civil society. Umpamanya
pemetaan terhadap segmen-segmen kelas menengah yang dianggap menjadi
basis bagi tumbuhnya civil society berikut organisasi di dalamnya. Kajian dan
penelitian semacam ini sangat penting agar dapat dengan segera dilakukan
proses recovery dan penetaan kembali setelah munculnya kesempatan karena
jatuhnya rezim otoriter di bawah Soeharto
Tahap Kedua, adalah menggerakkan potensi-potensi yang telah
ditemukan tersebut sesuai dengan bidang atau garapan masing-masing.
Misalnya bagaimana menggerakkan komunitas pesantren di wilayah-wilayah
pedesaan agar mereka dapat ikut memperkuat basis ekonomi dan sosial di
lapisan bawah. Dalam tahapan ini, jelas harus terjadi reorientasi dalam model
pembangunan sehingga proses penggerakan sumber daya di lapisan bawah
tidak lagi berupa eksploitasi karena pola top-down. Justru dalam tahapan ini
sekaligus diusahakan untuk menghidupkan dan mengaktifkan keswadayaan
rakyat yang selama ini terbungkam. Pendekatan-pendekatan partisipatoris harus
dipakai dan dalam hal ini bantuan dari lembaga –lembaga swadaya masyrakat
(LSM) menjadi sangat krusial. Tentu saja, LSM yang dimaksud disini bukanlah
LSM yang hanya berorientasi kepada program saja tetapi juga pada
pemberdayaan.
15
Dalam sebuah diskusi yang berlangsung empat tahun lalu di Jakarta, beberapa penilaian
bermunculan tentang istilah tersebut: “konsep civil society berasal dari Barat,” “tidak perlu ada
dikotomi antara sipil dengan militer”,”tradisi kita belum mengenal apa yang disebut civil culture,”
dan bahwa pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali
data empirisnya tidak ada.”1
Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan modern. Konsep itu
sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-negara modern. Karena itu studi
strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus dilihat berdasarkan proses evolusi dan
pertumbuhan negara (Ali, 1991). “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’i Anwar: “Untuk
konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau menerima dan
1
Menurut Fahri Ali: “… Konsep atau teori tentang civil society lebih merupakan persoalan
modern. Konsep itu sebenarnya baru tumbuh dan mengikuti perkembangan dari negara-
negara modern. Karena itu studi strategis untuk mengetahui lahirnya civil society harus
dilihat berdasarkan proses evolusi dan pertumbuhan negara. Ada kesan bahwa kita lebih
banyak mencari persoalan tentang dasar-dasar pemikirran civil society pada masyarakat kita,
khususnya kekayaan tradisi, dan sebagainya.Saya setuju apa yang dikemukakan oleh Daniel
[Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu tumbuh dan berkembang …Karena
itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan banyak sekali
data empirisnya tidak ada. “Sementara itu, dalam pandangan M. Syafi’I Anwar: “Untuk
konteks Indonesia, saya ragu apakah kebudayaan kita sudah mampu mengabsorb atau
menerima dan memahami civil society…Saya setuju dengan Fachri Ali yang menyatakan
bahwa konsep civil society berasal dari Barat. Dan, ketika konsep ini dicoba untuk dibumikan
di Indonesia, ia segera dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat
tanggapan dan komentar Fachri Ali dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar
Mencari Konsep dan KeberadaanCivil-Society di Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta,
CESDA-LP3ES, 20September 1994, hlm.21-25.
18
memahami civil society… Daniel [Dhakidae] bahwa hanya di Barat-lah konsep negara itu tumbuh dan
berkembang …Karena itu pembicaraan tentang civil society ini tampaknya lebih bersifat teoritis dan
data empirisnya tidak ada. . Ketika konsep ini dicoba untuk dibumikan di Indonesia, ia segera
dihadapkan oleh hambatan kultural maupun konstitusional.”Lihat tanggapan dan komentar Fachri Ali
dan M. Syafi’I Anear ini dalam Laporan Seminar Mencari Konsep dan KeberadaanCivil-Society di
Indonesia, tidak diterbitkan, Jakarta, CESDA-LP3ES, 20September 1994, hlm.21-25.
19
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/